The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KUALITAS LABA DENGAN MANAJEMEN LABA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Empiris pada Industri Perbankan di Indonesia dengan Menggunakan Path Analysis)
Astri Dyah Kartikasari1 Doddy Setiawan Universitas Sebelas Maret
Abstract
This research tried to explain phenomenon of the accounting information quality, especially the informativeness of earnings that is determined by factors of earnings management and corporate governance mechanism, namely board of commissioner composition, the existence of audit committee, managerial ownership, and institutional ownership. The purpose of this research is to examine empirically the influence of both corporate governance mechanism and earnings management to the informativeness of earnings, which measured as earnings response coefficient (ERC). More specifically, we use the informativeness of earnings to investors as a measure of earnings quality. Population of this research was the firms that are included in the categories of banking industry. Purposive sampling method was used to determine research sample. Sample used in this research was the public bank companies existed in Indonesia in the year of 2001-2005 which were listed in Indonesia Stock Exchange. In this research, specific accrual model are used to decomposition accrual total in to discretionary and non-discretionary accrual. The existence of earnings management in banking industries is indicated by discretionary accrual that not equal to zero.
1
Contact authors:
[email protected]/
[email protected]
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
By using path analysis, we examine causal association between exogenous and endogenous variable. We find that board of commissioner composition, the existence of audit committee, managerial ownership, and institutional ownership are simultaneously and significantly affect the earnings management, but the effect was weak. Only institutional ownership that partially and significantly affects the earnings management. We also find both corporate governance mechanism and earnings management are simultaneously and significantly affect earnings quality, the effect was quite strong. Additionally, we find that the existence of audit committee, managerial ownership, institutional ownership, and earnings management are partially
and
significantly
affect
the
earnings
quality,
whereas
board
of
commissioners do not significantly affect the earnings quality.
Keywords: corporate governance, board of commissioners, audit committee, managerial ownership, institutional ownership, earnings management, specific accrual model, earnings quality, the informativeness of earnings, earnings response coefficient.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini corporate governance menjadi suatu buzzword yang semakin banyak didengungkan. Sejak krisis moneter di era 1990-an terjadi, corporate governance dianggap sebagai hal yang sangat krusial dalam pengelolaan perusahaan. Lemahnya corporate governance seringkali disebut-sebut sebagai salah satu penyebab krisis keuangan tahun 19971998 di negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia (Mitton, 2002, Alijoyo et al., 2004 dan Veronica et al., 2004). Namun, krisis jugalah yang membuat banyak pihak menyadari pentingnya keberadaan konsep corporate governance. Mencuatnya konsep corporate governance di Indonesia merupakan reaksi atas perilaku para pengelola perusahaan yang tak memperhitungkan stakeholdernya, hal itu terungkap dengan jelas ketika krisis menimpa negeri ini (Djatmiko, 2001). Akan tetapi bertolak dari kesadaran tersebut, kenyataannya sampai sekarang good corporate governance (GCG) belum benar-benar diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Masih banyak perusahaan yang menerapkan GCG sekedar untuk kosmetik guna mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang (Poeradisastra, 2005). Masih lemahnya praktik corporate governance di Indonesia ditunjukkan dengan terjadinya berbagai skandal keuangan pada perusahaan publik. Tahun 1998-2001 tercatat skandal PT Lippo Tbk., PT Kimia Farma Tbk. Tahun 2003 terbongkar kasus skandal Rp 1,7 triliun yang melibatkan Bank Negara Indonesia (BNI), padahal tahun 2002 BNI menempati peringkat ke7 Corporate Governance Perception Index (CGPI), yang berarti perusahaan dinilai bagus dalam menerapkan prinsip GCG. Fenomena terjadinya berbagai skandal keuangan menjadi bukti masih lemahnya praktik corporate governance sekaligus mengindikasikan kegagalan laporan keuangan mencapai tujuannya dalam memenuhi kebutuhan informasi para penggunanya, dimana Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
laporan keuangan gagal menyajikan fakta riil mengenai kondisi ekonomis perusahaan yang sesungguhnya. Padahal, laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi akuntansi yang paling mendasar bagi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh investor pasar modal. Seringkali investor dan pemakai laporan keuangan lainnya bergantung pada laporan keuangan, terutama angka laba sebagai parameter utama dalam mengukur kinerja manajemen perusahaan, tanpa memperhatikan lebih jauh terhadap prosedur yang digunakan untuk menghasilkan angka laba tersebut. Ketergantungan tersebut turut mendorong manajer melakukan manipulasi terhadap laba. Akibat dari manipulasi tersebut, laba tidak dapat memberikan informasi guna mendukung pengambilan keputusan. Laba semacam itu dikatakan sebagai laba yang berkualitas rendah, karena angka laba tidak mencerminkan kondisi ekonomis perusahaan dan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya, sehingga dapat mengakibatkan interprestasi yang keliru yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah bagi investor dan pemakai laporan keuangan. Kualitas laba yang dilaporkan perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap reaksi pasar, dengan kata lain informasi laba yang dilaporkan memiliki kekuatan respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan semakin berkualitas. Banyak penelitian mengenai corporate governance menunjukkan bahwa corporate governance merupakan aspek kritikal dalam pengelolaan perusahaan. Penelitian Black et al. (2003) menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara corporate governance dengan nilai pasar perusahaan. Joh (2003) menemukan bahwa praktik corporate governance yang buruk mengakibatkan kinerja yang rendah. Penelitian mengenai corporate governance banyak diantaranya yang berfokus pada karakteristik dewan komisaris dan komite audit perusahaan. Penelitian Beasley (1996) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang signifikan lebih rendah Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
dibanding perusahaan yang tidak melakukan kecurangan. Klein (2002) menemukan bahwa bahwa struktur dewan dan komite audit yang independen terhadap CEO, efektif dalam memonitor proses pelaporan akuntansi keuangan perusahaan. Xie et al. (2003) membuktikan bahwa komite audit secara efektif mampu melindungi kepentingan investor, membatasi kesempatan manajer untuk melakukan earnings management. Penelitian corporate governance juga telah banyak dilakukan di Indonesia. Darmawati et al. (2004) membuktikan bahwa penerapan corporate governance berhubungan positif dengan kinerja operasional perusahaan. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan bahwa komite audit berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Akan tetapi, Wedari (2004) justru menemukan bahwa corporate governance berhubungan positif dengan earnings management. Artinya, praktik corporate governance di Indonesia tidak efektif, belum mampu melindungi investor dari tindakan mementingkan diri yang dilakukan manajer. Faisal (2004) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diukur dengan asset turnover dan berhubungan positif dengan operating expense. Hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial belum berfungsi sepenuhnya sebagai mekanisme pemanfaatan aktiva perusahaan dan belum dapat menekan diskresi manajerial. Selanjutnya, ukuran dewan komisaris berhubungan positif dengan biaya keagenan dan berhubungan negatif dengan operating expense. Hal itu justru menimbulkan tanda tanya karena berlawanan dengan teori keagenan yang memprediksi bahwa semakin besar ukuran dewan, maka semakin besar biaya operasi. Veronica dan Utama (2006) menemukan bahwa praktik corporate governance yang diukur dari kualitas audit, proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit, tidak terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap besaran manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Meski telah cukup banyak penelitian mengenai pengaruh dan keterkaitan antara mekanisme corporate governance dan earnings management, namun jarang yang menguji Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pengaruhnya terhadap kualitas laba, hal itulah yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian ini. Hal itu penting dilakukan karena praktik corporate governance yang baik mempengaruhi kualitas laporan keuangan (Goodwin dan Seow dalam Setiawan, 2006). Dikaitkan atau dipilihnya earnings management sebagai variabel intervening dalam penelitian ini dikarenakan seringkali kualitas earnings suatu perusahaan dipengaruhi oleh manajemen laba yang diproksikan dengan akrual kelolaan. Terlebih lagi manajemen laba telah meluas dan ada di setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan (temuan Gu dan Lee dalam Rahmawati, 2006). Kualitas laba diduga kuat dipengaruhi oleh indikasi earnings management dan mekanisme corporate governance. Hal itu karena rendahnya kualitas laba diduga disebabkan karena lemahnya penerapan corporate governance, sedangkan ciri utama dari lemahnya corporate governance sendiri adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri yang dilakukan pihak manajer perusahaan (Darmawati et al., 2004), yang seringkali dilakukan dalam bentuk manipulasi laba. Dengan kualitas laporan keuangan yang baik, pengumuman laba akan mempunyai kandungan informasi yang kuat, yang tercermin dari reaksi pasar. Dengan kata lain, laba yang memiliki kemampuan untuk memberikan respon kepada pasar menunjukkan bahwa laba berkualitas. Penelitian yang mengaitkan mekanisme corporate governance dan kualitas laba di luar Indonesia diantaranya dilakukan oleh Warfield et al. (1995), hasil penelitian menemukan bahwa kepemilikan manajerial secara positif berhubungan dengan kualitas informasi laba dan sebaliknya berhubungan negatif dengan besarnya accounting accrual adjustments. Penelitian Vafeas (2000) menunjukkan bahwa ukuran dewan yang lebih kecil dipahami lebih informatif oleh pelaku pasar, sebaliknya tidak terdapat bukti bahwa ukuran dewan mengurangi kualitas informasi laba. Anderson et al. (2003) membuktikan bahwa komite audit independen dan ahli meningkatkan ERC perusahaan. Di Indonesia, Boediono (2005) menunjukkan bahwa Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pengaruh mekanisme corporate governance secara simultan terhadap manajemen laba adalah lemah, sedangkan pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas laba secara simultan adalah cukup kuat. Sebelumnya Midiastuty dan Mahfoedz (2003) melakukan penelitian sejenis, hasilnya juga secara simultan komponen corporate governance berpengaruh terhadap ERC. Tahun 2001-2005 dipilih sebagai periode dilakukannya penelitian, karena salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas peraturan mengenai corporate governance yang dikeluarkan oleh pihak regulator di Indonesia. Kerangka peraturan mengenai penerapan corporate governance di Indonesia baru secara resmi tertuang dalam Code for Good Corporate Governance tahun 2001. Selain itu peraturan mengenai good corporate governance baru dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2000. BEI mewajibkan perusahaan tercatat memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris perusahaan melalui Surat Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta Nomor Kep315/BEJ/06-2000, yang dikeluarkan tanggal 30 Juni 2000 dan diberlakukan tanggal 1 Juli 2000. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menguji mekanisme corporate governance yang difokuskan pada struktur internal governance devices perusahaan. Proksi yang dipergunakan diantaranya: ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional perusahaan. Hal itu disebabkan karena salah satu faktor yang yang membedakan antar perusahaan dan membatasi kemampuan manajer dalam mengatur laba meliputi struktur internal governance perusahaan (Dechow et al., 1995). Pengelompokan mekanisme corporate governance menjadi kategori eksternal dan internal sejalan dengan kerangka corporate governance menurut World Bank. Komponen yang termasuk dalam kategori internal adalah yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
bersinggungan langsung dengan proses pengambilan keputusan perusahaan (Syakhroza, 2002). Tidak seperti kebanyakan penelitian corporate governance di Indonesia lainnya yang sampelnya adalah perusahaan manufaktur, penelitian ini mengambil sampel perusahaan perbankan. Hal itu didasari oleh pentingnya fungsi dan peran strategis sektor perbankan dalam perekonomian.
Tumbuhnya sektor perbankan dengan sangat pesat tanpa
memperhatikan kekuatan dan kesehatan sektor perbankan, menyebabkan corporate governance di level mikro berorientasi pada perbankan yang cacat (Syakhroza, 2002). Bank adalah lembaga kepercayaan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, memberikan pelayanan dalam lalu lintas sistem pembayaran, sekaligus sebagai sarana pelaksanaan kebijakan moneter. Keberadaan bank yang sehat, baik secara individu maupun sebagai suatu sistem, merupakan suatu prasyarat bagi suatu perekonomian yang sehat, prasyarat bagi kebijakan moneter yang efektif. Tidak sehatnya sektor perbankan dapat mengakibatkan rusaknya perekonomian suatu negara, terlebih mengingat hampir seluruh proses perputaran uang terjadi melalui perbankan (Suseno dan Abdullah, 2004), selain itu sekitar 93% dari total aset industri keuangan di Indonesia dikuasai oleh industri perbankan (Yunus dalam Suseno dan Abdullah, 2004). Oleh karenanya, kondisi bank yang sehat yang didukung melalui penerapan GCG mutlak diperlukan. Aplikasi teori keagenan dalam industri perbankan menjadi unik karena berbeda dengan industri yang lain, industri perbankan sarat dengan regulasi. Perbankan dilengkapi dengan “prudential banking regulation” serta mekanisme pengaturan dan pengawasan lainnya dalam rangka memelihara kesehatan sistem perbankan. Dengan adanya regulasi, hubungan keagenan dalam perbankan melibatkan pihak lain, yaitu regulator, yang dalam hal ini adalah pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), hal itu mengakibatkan masalah keagenan menjadi semakin kompleks. BI mengatur dan mengawasi operasi bisnis seluruh bank di Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Indonesia, dengan mempergunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status suatu bank, apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak, oleh karena itu manajer mempunyai insentif untuk melakukan earnings management supaya perusahaan dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan BI (Setiawan dan Nasution, 2007). Selain itu, untuk mengetahui adanya indikasi manajemen laba dalam perusahaan, peneliti menggunakan model akrual khusus perbankan. Sebagaimana peneliti ketahui, belum banyak penelitian yang mengeksplorasi perilaku manajemen laba di Indonesia dengan menggunakan model akrual khusus. Sebagian besar penelitian mengenai manajemen laba biasanya berfokus pada model akrual Jones, Jones modifikasian, Healy, De Angelo, atau model industri untuk mendekomposisi total akrual. Oleh karenanya, dalam penelitian ini digunakan model akrual khusus yang dikembangkan oleh Beaver dan Engel (1996). Model tersebut telah diuji oleh Rahmawati (2006) dan dinyatakan sebagai model pemisahan akrual yang paling baik dalam memisahkan akrual non-kelolaan dari total akrual untuk mendeteksi manajemen laba perusahaan perbankan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba pada industri perbankan di Indonesia? b. Apakah mekanisme corporate governance, dalam hal ini ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan kepemilikan institusional perusahaan, serta manajemen laba terhadap kualitas laba?
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan bukti-bukti empiris yang terkait dengan pertanyaan penelitian, permasalahan di atas.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran, kontribusi praktik, dan kontribusi kebijakan, diantaranya bagi: 1) Pihak regulator. Bagi BAPEPAM dan BEI, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai efektivitas peraturan yang telah dikeluarkan mengenai dewan komisaris dan komite audit guna mendorong peningkatan praktik corporate governance di Indonesia. Bagi BI, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam melakukan pengawasan terhadap bank, yakni membantu mendeteksi manajemen laba yang dilakukan bank-bank, misalnya dengan memperhatikan struktur governance atau penerapan good corporate governance dalam perusahaan. Pengawasan kesehatan bank yang dilakukan BI akan semakin lebih baik jika tidak hanya didasarkan pada laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. 2) Pihak investor atau masyarakat pelaku pasar modal di Indonesia, diharapkan penelitian ini turut memberikan informasi tentang bagaimana menggunakan informasi laba yang dilaporkan perusahaan dan menggunakan pertimbangan yang lebih rasional ketika berinvestasi. Hanya laba yang berkualitas yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan investasi maupun dalam pengambilan keputusan ekonomik. 3) Kreditor, analis keuangan, dan auditor. Penelitian ini diharapkan membantu memahami angka laba yang dilaporkan perusahaan serta mengetahui mana laba yang benar-benar berkualitas, mengingat laba dapat dinaikkan atau diturunkan dengan memanfaatkan fleksibilitas kebijakan akuntansi yang ada.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4) Pihak perusahaan. Bagi pihak manajemen, yaitu memberikan pemahaman serta masukan guna menelaah lebih jauh mengenai efektivitas dan dampak penerapan corporate governance, sehingga perusahaan dapat mengoptimalkan fungsi mekanisme tersebut dalam mengurangi tindakan manajemen laba dan meningkatkan nilai tumbuh perusahaan di mata investor dan pihak-pihak pengguna laporan keuangan. 5) Pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan akuntansi keuangan, secara khusus mengenai positive accounting theory, agency theory, dan corporate governance theory. Dari penelitian diharapkan dapat diperoleh model-model mekanisme corporate governance yang secara konseptual mempengaruhi tindakan manajemen laba serta berdampak pada tingkat kekuatan responsif laba yang dilaporkan perusahaan.
II. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Komposisi Dewan Komisaris, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba Penelitian mengenai mengenai karakteristik dewan komisaris perusahaan banyak dilakukan oleh para peneliti. Hal tersebut karena dewan komisaris secara luas dipercaya memainkan peranan penting dalam corporate governance, khususnya dalam memonitor manajemen tingkat atas. Penelitian mengenai komposisi dewan komisaris sebagian besar di antaranya menyimpulkan bahwa masuknya dewan yang berasal dari luar perusahaan, meningkatkan efektivitas dewan dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan laporan keuangan, membatasi manajemen laba yang dilakukan manajer, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Beasley (1996), Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003) Penelitian mengenai keterkaitan antara karakteristik dewan komisaris dengan kualitas pelaporan keuangan diantaranya dilakukan oleh Song dan Windram (2000). Penelitian mereka melaporkan bahwa masuknya dewan komisaris non eksekutif dalam institusi dewan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
berhubungan secara signifikan dengan efektivitas pengawasan
pelaporan keuangan.
Komposisi komisaris yang memiliki jabatan komisaris non eksekutif juga membantu memperoleh pengalaman tertentu dalam pelaporan keuangan yang lebih cepat dan ekonomis. Hasil tersebut mendukung diperkuatnya independensi dewan di Inggris, namun dengan tetap memperhatikan bahwa terdapat komposisi dewan yang optimal untuk tiap perusahaan dengan karakter yang berbeda. Vafeas (2000) menguji apakah kualitas informasi laba yang diproksikan dengan earnings-returns relationship berkaitan dengan struktur dan ukuran dewan komisaris. Akan tetapi dia tidak menemukan bukti bahwa komposisi dewan dapat mengurangi earnings-returns relationship atau dengan kata lain komposisi dewan tidak berpengaruh terhadap kandungan informasi laba. Penelitian terkait dengan komisaris independen juga telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan bahwa persentase dewan komisaris independen tidak berkorelasi secara signifikan terhadap akrual kelolaan, walaupun begitu interaksi antar variabel akrual kelolaan dan dewan komisaris independen menunjukkan koefisien positif yang signifikan terhadap return perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi persentase dewan komisaris independen, maka akrual kelolaan semakin berpengaruh terhadap return. Dengan menggunakan analisis jalur Boediono (2005) meneliti mekanisme corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas laba. Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara individual pengaruh komposisi dewan komisaris terhadap manajemen laba adalah sangat lemah. Hasil penelitian Veronica dan Utama (2006) menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Setiawan (2006) menunjukkan bahwa komisaris independen sebagai salah satu mekanisme corporate governance dalam perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Karakteristik dewan komisaris memegang peran sukses tidaknya dewan dalam menyelesaikan tugas yang diemban (Syakhroza, 2002). Karakteristik dewan komisaris secara umum dan khususnya komposisi dewan komisaris dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Dengan adanya komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik (Gunarsih dan Hartadi, 2002). Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan pelaporan keuangan (Boediono, 2005). Adanya komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi. Dari situ terdapat dugaan kuat bahwa komposisi dewan komisaris akan berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba yang dilakukan perusahaan dan selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. Maka, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1a : komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba H2a : komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap kualitas laba
2.2 Keberadaan Komite Audit, Manajemen Laba , dan Kualitas Laba Pengertian komite adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau tugas-tugas khusus. Komite audit adalah suatu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu tugas dan fungsinya. Kehadiran komite audit disadari sangat penting, sehingga regulator perusahaan negara maupun perusahaan publik mengharuskan pembentukan komite audit. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik, BEI mewajibkan perusahaan yang tercatat memiliki komite audit, melalui Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No: SEBridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
008/BEI/12-2001 tanggal 7 Desember 2001, di dalamnya diatur mengenai keanggotaan komite audit. Keberadaan komite audit tentu saja sangat penting bagi pengelolaan perusahaan, karena komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit diperlukan untuk memenuhi market expectation mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap conduct
perusahaan,
melindungi
kepentingan
investor
(minority
sahareholders),
meningkatkan kualitas laporan keuangan dan pengendalian internal, meningkatkan fungsi auditor internal, serta mematuhi ketentuan regulasi, aturan BUMN, BAPEPAM, BEI, dan Code of Corporate Governance (Habsyah dalam Salim, 2004). Komite audit berperan dalam meningkatkan value of the firm dengan menyeimbangkan kepentingan stakeholders, mempertahankan pertumbuhan, menjaga ethical business conduct serta mengelola risiko bisnis perusahaan dan mencegah krisis. Tugas dan fungsi komite audit adalah memberikan pendapat kepada dewan komisaris atas laporan yang disampaikan oleh direksi, mengidentifikasi masalah yang perlu mendapat perhatian dari dewan komisaris, menelaah kebijakan akuntansi yang ditetapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal, dan kepatuhan terhadap peraturan. Dalam pelaksanakan tugasnya, komite audit menyediakan komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal (Bradburry et al., 2004). Komite audit memiliki wewenang secara penuh terhadap sumber daya perusahaan, untuk bekerjasama dengan auditor, dan memiliki akses terhadap direksi dan informasi perusahaan. Komite audit memiliki tanggung jawab yang penting dalam perusahaan. Menurut Salim (2004), secara umum tanggung jawab komite audit dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: pengawasan proses pelaporan keuangan, pengawasan proses manajemen risiko dan pengendalian, mereview kebijakan perusahaan yang terkait Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
dengan hukum dan peraturan, etika bisnis, conflict of interest, review kebijakan perusahaan yang terkait dengan hukum, peraturan, etika bisnis, conflict of interest, investigasi terhadap fraud (hal-hal yang terkait dengan corporate governance). Terdapat cukup banyak penelitian yang menguji hubungan antara komite audit dan manajemen laba, beberapa diantaranya menyimpulkan bahwa keberadaan komite audit dapat mengurangi aktivitas manajemen laba, yakni Chtourou et al. (2001), Xie et al. (2003), Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004), dan Sugiarta (2004). Akan tetapi, sebagian penelitian membuktikan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara keberadaan komite audit terhadap manajemen laba atau kecurangan pelaporan keuangan, diantaranya penelitian yang dilakukan Beasley (1996), Klein (2000), Veronica dan Utama (2006). Beberapa penelitian yang menguji hubungan antara komite audit terhadap kualitas pelaporan keuangan, seluruhnya cenderung mendukung keberadaan komite audit karena dianggap meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Diantaranya adalah Song dan Windram (2000), Anderson et al.(2003), dan Bradbury et al. (2004), Sugiarta (2004), Suaryana (2005), dan Setiawan (2006). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan komite audit meningkatkan kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan. Peran komite audit sangat penting karena mempengaruhi kualitas laba perusahaan yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat digunakan oleh investor dalam menilai perusahaan. Hal itu karena komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Dari situ, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1b
: keberadaan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba
H2b
: keberadaan komite audit berpengaruh terhadap kualitas laba
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.3 Kepemilikan Manajerial, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba Konsep corporate governance sangat didominasi oleh pemisahan antara fungsi kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan yang disebut dengan the separation the decision-making and risk beating functions of the firm, yang selanjutnya dimodelkan sebagai agency theory. Akibat pemisahan kedua fungsi tersebut, di dalam perusahaan terdapat konflik kepentingan antara berbagai pihak yang memiliki tujuan yang berbeda, yang dikenal dengan agency problems. Agency problems terjadi ketika manajer cenderung bertindak untuk kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan perusahaan. Konflik keagenan tersebut pada akhirnya turut mendorong munculnya hazard dari manajer, seperti perilaku oportunis manajer dengan cara memanipulasi laba. Untuk mereduksi konflik keagenan diperlukan keberadaan aturan dan mekanisme kontrol yang secara efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda (Syakhroza, 2003). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi adalah dengan memperhatikan struktur kepemilikan perusahaan sebagai dasar untuk mengidentifikasi distribusi kekuasaan di antara berbagai pihak yang berkepentingan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976), bahwa perilaku manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring yang bertujuan untuk menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan
tersebut.
Namun,
munculnya
mekanisme
pengawasan
tersebut
akan
menimbulkan biaya yang disebut dengan agency cost. Salah satu alternatif untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan saham manajerial. Jensen dan Meckling dalam hipotesis pemusatan kepentingan (convergence of interest hypothesis), menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
dari keputusan yang diambil, juga kerugian yang muncul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Sehingga, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial pada akhirnya akan menyebabkan kinerja perusahaan semakin baik. Secara umum persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer, pemikiran itu didukung oleh hasil penelitian Warfield et al. (1995). Midiastuty dan Machfoedz (2003) melakukan pengujian di Indonesia, hasilnya diperoleh kesimpulan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif sangat signifikan dengan manajemen laba dan berhubungan positif signifikan terhadap kualitas laba yang diukur dengan ERC. Hasil tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme good corporate governance yang mampu mengurangi masalah ketidakselarasan kepentingan antara manajer dengan pemilik atau pemegang saham. Namun, sebagian peneliti tidak menemukan adanya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba yang dilakukan perusahaan, diantaranya Wedari (2004) dan Boediono (2005). Faisal (2004) menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang lebih tinggi, lebih efisien dalam penggunaan aset dibanding perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah, meski perbedaannya tidak signifikan. Selain itu, ditemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diukur dengan asset turnover, dan berhubungan positif dengan operating expense. Hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi belum sepenuhnya dapat menekan biaya operasi dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda pula, seperti antara owner-manager dan non-owner manager (Boediono, 2005). Dengan adanya kepemilikan manajerial, manajer yang merangkap sebagai pemegang saham Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
(owner manager) dapat ikut menentukan keputusan terhadap pemilihan kebijakan dan metode akuntansi yang diterapkan perusahaan. Ketika manajer ikut memiliki perusahaan, manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan principal, karenanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan manajemen laba, sehingga laba yang dilaporkan dapat merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan. Semakin meningkat proporsi kepemilikan manajerial dalam perusahaan diduga kuat akan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dan turut berpengaruh terhadap kualitas laba yang dilaporkan. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini : H1c : kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba H2c : kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kualitas laba
2.4 Kepemilikan Institusional, Manajemen Laba, dan Kualitas Laba Kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. Investor institusional sering disebut juga sebagai investor yang canggih (shopisticated) dan seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang di dalam memprediksi laba masa depan (Veronica dan Utama, 2006). Investor institusional diyakini mampu memonitor tindakan para manajer dengan lebih baik dibanding investor individual. Adanya kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen (Wahidahwati, 2002). Menurut Jensen & Meckling (1976), kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional, semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
oleh pihak eksternal terhadap perusahaan, sehingga agency cost yang terjadi di dalam perusahaan semakin berkurang dan nilai perusahaan juga dapat semakin meningkat. Selain itu, dengan semakin kuatnya tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak eksternal tersebut, diharapkan tingkat pengendalian internal perusahaan juga semakin baik. Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) mengindikasikan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh signifikan negatif terhadap discretionary accrual dan berhubungan positif sangat signifikan terhadap kualitas laba. Boediono (2005) menyimpulkan bahwa mekanisme kepemilikan institusional berpengaruh kuat terhadap manajemen laba, tetapi berpengaruh lemah terhadap kualitas laba. Sedangkan Wedari (2004) menemukan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap aktivitas manajemen laba. Adanya investor institusional dapat berfungsi sebagai monitoring agent. Kepemilikan institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunis manajer yang memanfaatkan management discretion untuk kepentingan pribadinya yang kemungkinan dapat merugikan pihak lain. Hal itu karena tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menyebabkan pengawasan (monitoring) yang lebih besar dan lebih efektif. Dengan investor institusional yang mampu memonitor kinerja manajemen dengan lebih baik maka tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer dapat dikurangi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan. Dari situ, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1d
: kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba
H2d
: kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kualitas laba
2.5 Manajemen Laba dan Kualitas Laba Laba sebagai informasi yang terkandung dalam laporan keuangan yang diterbitkan akan menyebabkan pasar bereaksi, dengan kata lain laba memiliki kekuatan respon (power of Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
response) pada pasar. Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi, yang menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap laba (Cho dan Jung dalam Boediono, 2005). Reaksi yang ditunjukkan oleh pasar tergantung dari kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. Laba yang kredibel dan berkualitas akan direspon lebih kuat (Anderson et al., 2003). Dalam penelitian ini, kualitas laba diproksikan dengan Earnings Response Coefficient (ERC). Scott (2003) mendefinisikan ERC sebagai koefisien untuk mengukur unexpected accounting earnings dalam regresi abnormal return saham dan varibel-variabel lain. Secara intuitif besaran ERC mencerminkan kualitas earnings yang tinggi pula, semakin tinggi ERC menunjukkan laba yang dilaporkan semakin berkualitas dan semakin rendah ERC menunjukkan laba yang dilaporkan kurang atau bahkan tidak berkualitas. Pelaporan earnings dilakukan oleh manajemen yang lebih mengetahui kondisi di dalam perusahaan, hal itu diprediksi oleh Dechow et al. (1995) dapat menimbulkan masalah karena manajemen sebagai pihak yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan yang dibuatnya sendiri. Padahal, seperti kita ketahui bahwa dalam proses pengambilan berbagai keputusan ekonomi, investor dan pemakai laporan keuangan lainnya sangat bergantung pada informasi dalam laporan keuangan,
khususnya
informasi
laba.
Ketergantungan
investor
ditambah
dengan
kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri (moral hazard) mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba yang bersifat oportunis. Manajemen laba merupakan campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kredibilitas laporan keuangan. Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000). Dari situ diketahui bahwa kualitas laba suatu perusahaan akan dipengaruhi oleh manajemen laba Hasil penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) menunjukkan bahwa corporate governance dan earnings management secara simultan berpengaruh terhadap ERC. Penelitian Boediono (2005) mengindikasikan bahwa corporate governance dan manajemen laba secara simultan menunjukkan pengaruh yang cukup kuat terhadap kualitas laba. Akan tetapi, ia tidak berhasil membuktikan pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba, secara parsial manajemen laba berpengaruh sangat lemah terhadap kualitas laba. Pudjiastuti (2006) menemukan bahwa manajemen laba yang tinggi akan diikuti dengan kualitas laba yang tinggi pula. Dari penjabaran di atas, maka selanjutnya hipotesis dalam penelitian ini adalah : H2e :
manajemen laba berpengaruh terhadap kualitas laba
2.6 Kerangka Teoretis Berdasarkan telaah literatur yang telah dikemukakan di atas, kerangka teoritis yang menjadi dasar pengembangan hipotesis dapat digambarkan sebagai berikut:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Gambar 1. Kerangka Teoritis Penelitian
Komposisi Dewan komisaris
Keberadaan Komite Audit
Manajemen Laba
Kualitas Laba
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang menjelaskan mengenai sifat dari hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah mekanisme corporate governance, diantaranya: komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional perusahaan berpengaruh terhadap earnings management. Penelitian juga menguji pengaruh mekanisme corporate governance dan earnings management terhadap kualitas laba. 3.2 Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang termasuk dalam kategori industri perbankan di Indonesia pada periode pengamatan tahun 2001-2005. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1) Perusahaan telah go public atau terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia pada periode 20012005. 2) Perusahaan tidak mengalami delisted dan sahamnya aktif diperdagangkan selama periode 2001-2005. 3) Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan yang dinyatakan dalam rupiah (Rp) untuk periode yang berakhir 31 Desember tahun 2001-2005 yang dipublikasikan melalui www.jsx.co.id., media cetak, atau situs resmi perusahaan. 4) Keseluruhan data dan laporan keuangan perusahaan secara lengkap tercantum dalam publikasi Direktori Perbankan Indonesia tahun 2001-2006 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 5) Perusahaan secara lengkap memiliki data corporate governance yang dibutuhkan dalam penelitian.
3.3 Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah mekanisme corporate governance yang terdiri dari : •
Komposisi Dewan Komisaris (X1) Indikatornya adalah persentase jumlah anggota dewan komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan (outside directors) terhadap jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris.
•
Keberadaan Komite Audit (X2) Variabel ini merupakan variabel dummy, ditunjukkan dengan ada atau tidaknya komite audit dalam perusahaan. Bila diketahui perusahaan sampel memiliki komite audit, maka dinilai 1, sebaliknya jika perusahaan tidak memiliki komite audit, maka dinilai 0.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
•
Kepemilikan Manajerial (X3) Variabel ini merupakan variabel dummy, diukur berdasarkan ada atau tidaknya sejumlah saham bagian dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar yang dimiliki pihak manajemen perusahaan (baik eksekutif maupun direktur). Jika ada kepemilikan manajerial, maka dinilai 1, sebaliknya jika tidak ada dinilai 0.
• Kepemilikan Institusional (X4) Diukur dari persentase jumlah saham yang dimiliki investor institusi dari total saham yang beredar. Sedangkan variabel endogen dalam penelitian yakni : •
Manajemen laba (Y) Manajemen laba dalam penelitian ini diproksikan oleh discretionary accrual. Variabel ini berskala rasio. Untuk mendeteksi discretionary accrual dalam perusahaan sampel digunakan model akrual khusus Beaver dan Engel (1996). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai untuk mendeteksi manajemen laba dalam industri perbankan di Indonesia (Rahmawati, 2006). Model tersebut dituliskan sebagai berikut : NDAit = α0 + α1COit + α2LOANit + α3NPAit + α4ΔNPAit+1 + εit Dimana: COit
= loan charge offs (pinjaman yang dihapus bukukan)
LOANit = loans outstanding ( pinjaman yang beredar) NPAit
= non performing assets (aktiva produktif yang bermasalah), terdiri dari aktiva produktif
perusahaan, yang berdasarkan tingkat
kolektibilitasnya digolongkan menjadi Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M) ΔNPAit+1= selisih non performing assets t+1 dengan non performing assets t
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Semua variabel dideflasi dengan nilai buku ekuitas plus cadangan kerugian pinjaman. Selanjutnya, untuk menghitung total akrual : TAit = NDAit + DAit Dimana: DAit TAit
= akrual kelolaan (discretionary accrual) = total akrual
NDAit = akrual non kelolaan (non discretionary accrual) Sehingga, untuk menghitung total akrual diperoleh model sebagai berikut : TAit = α0 + α1COit + α2LOANit + α3NPAit + α4ΔNPAit+1 + DA it + ε Jika: DA it + ε = z it , maka: TAit = α0 + α1COit + α2LOANit + α3NPAit + α4ΔNPAit+1 + z it Total akrual pada model dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Sebagaimana kita ketahui sebelumnya: TAit = NDAit + DAit Sehingga untuk menghitung akrual kelolaan: DAit = TAit - N DAit •
Kualitas Laba (Z) Kualitas laba dalam penelitian ini diproksikan dengan Earnings Response Coefficient (ERC). Perhitungan ERC dilakukan dengan meregresi Cumulative Abnormal Return (CAR) dengan Unexpected Earnings (UE), sehingga koefisien beta merupakan ERC dari tiap perusahaan. ERC pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan pendekatan Firm Specific Coefficient Methodology (FSCM). Dalam pengujian hipotesis yang terkait dengan pengaruh terhadap kualitas laba, ERC akan dihitung dalam periode bulanan dan harian. Untuk periode harian akan dihitung dengan menggunakan market model dan market adjusted model. 1) ERC periode bulanan Untuk menghitung ERC periode bulanan, dipergunakan return bulanan (Ri,t).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
R i,t = Pt - Pt-1 Pt-1 Dimana : Pt
= harga saham pada akhir bulan = harga saham pada akhir bulan sebelumnya
Pt-1
Return bulanan pasar (Rmt) dihitung dengan dengan formula berikut: Rmt =
IHSGt - IHSGt-1 IHSGt-1 = indeks pasar pada perdagangan akhir bulan
Dimana: IHSGt IHSGt-1
= indeks pasar pada perdagangan akhir bulan sebelumnya
Abnormal return adalah return aktual perusahaan dikurangi dengan return pasar. AR i,t = R i,t - Rmt Dimana : AR i,t = abnormal return sekuritas i pada bulan ke-t = return aktual sekuritas i pada bulan ke-t
R i,t
Rmt = return pasar pada bulan ke-t Selanjutnya dilakukan penghitungan CAR menjumlahkan abnormal return bulanan selama tahun t. CARi,t = Σ AR i,t Dimana : CAR i,t = cummulative abnormal return sekuritas i pada tahun t AR i,t
= abnormal return sekuritas i pada bulan ke-t
Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba ekspektasian. UE i,t = Ei,t - Ei,t-1 [Ei,t-1] Dalam hal ini : UE i,t
= laba kejutan perusahaan i pada tahun t
Ei,t
= laba akuntansi perusahaan i pada tahun t
Ei,t-1
= laba akuntansi perusahaan i pada tahun t-1
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Dalam penelitian ini, perhitungan unexpected earnings mempergunakan laba bersih, karena laba bersih dianggap lebih bisa menggambarkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Setelah CAR dan UE dihitung, maka dilakukan regresi dengan mengikuti persamaan regresi berikut: CARi,t = α + β UE i,t + εi,t Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi merupakan koefisien respon laba (ERC) tiap perusahaan.
2) ERC periode harian Untuk periode harian akan dipergunakan metode market model dan market adjusted model. a) Market Model Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market model, digunakan event studies, yaitu dengan menggunakan peristiwa pengumuman laba (t), yakni tanggal penerbitan laporan keuangan tahunan perusahaan. Periode estimasi yang dipergunakan adalah 200 hari dan periode jendela 10 hari, yakni 5 hari sebelum dan 5 hari sesudah tanggal pengumuman laba perusahaan. Prosedur menghitung CAR adalah dengan menggunakan perhitungan model ekspektasi (Ordinary Least Square), yaitu: R i,t = α i + β i . Rmt + εit Dimana: R i,t = return aktual sekuritas i pada periode estimasi t α i = intercept untuk sekuritas i βi
= koefisien slope yang merupakan beta dari sekuritas i
Rmt = return indeks pasar pada periode estimasi ke-t εit = kesalahan residu sekuritas i pada tahun t
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Pengujian tersebut mengacu pada prosedur yang disarankan Hartono (2000). Return harian aktual perusahaan (Ri,t) dihitung dengan cara mengurangkan harga saham pada hari tersebut (Pt) terhadap harga saham pada hari sebelumnya (Pt-1), kemudian dibagi dengan harga saham pada hari sebelumnya. R i,t = Pt - Pt-1 Pt-1 Return harian pasar dihitung dengan cara mengurangkan indeks pada hari perdagangan tersebut, dalam hal ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSGt) dengan indeks perdagangan hari sebelumnya (IHSGt-1), kemudian dibagi dengan IHSGt-1. Secara matematis dituliskan sebagai berikut: Rmt =
IHSGt - IHSGt-1 IHSGt-1
Pada penelitian ini peneliti mengasumsikan bahwa pasar bersifat efisien dan investor memiliki expected return. Besarnya expected return pada tanggal pengumuman laba dan periode jendela dapat dihitung setelah meregresi Ri,t dan Rmt periode estimasi dan diperoleh besarnya nilai α i dan β i dari persamaan regresi. Besarnya expected return dihitung dengan formula berikut : E(Ri,t) = α i + β i . Rmt Dimana : E(Ri,t) = expected return pasar pada hari ke-t αi
= intercept untuk sekuritas i (merupakan hasil regresi periode estimasi
sekuritas i) βi
= koefisien slope yang merupakan beta dari sekuritas i (hasil regresi
periode estimasi) Rmt
= return indeks pasar pada hari ke-t
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Abnormal return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal (Hartono, 2000). Abnormal return dihitung dengan menggunakan formula berikut: AR i,t = R i,t - E(R i,t) Dimana : AR i,t
= abnormal return sekuritas i pada hari ke-t
R i,t
= return aktual sekuritas i pada hari ke-t
E(Ri,t)
= expected return pasar pada hari ke-t
Selanjutnya dilakukan penghitungan cummulative abnormal return (CAR) dengan cara menjumlahkan abnormal return hari t-5 sampai dengan t+5. t+5
CAR i(t-5,t+5) = Σ AR i,t t-5
Unexpected earnings adalah selisih antara laba yang sesungguhnya dengan laba ekspektasian. UE i,t = Ei,t - Ei,t-1 [Ei,t-1] Dalam hal ini : UE i,t = laba kejutan perusahaan i pada periode t Ei,t
= laba akuntansi perusahaan i pada periode t
Ei,t-1 = laba akuntansi perusahaan i pada periode t-1 Setelah itu dilakukan regresi atas persamaan regresi berikut: CAR
i(t-5,t+5)
= α + β UE i,t
+ε Dimana : CAR i(t-5,t+5) = cummulative abnormal return perusahaan i UE i,t
= laba kejutan perusahaan i pada periode t
ε
= kesalahan residu sekuritas i pada periode t
Koefisien beta yang diperoleh dari hasil regresi persamaan di atas merupakan ERC tiap perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
b) Market Adjusted Model Untuk perhitungan ERC periode harian dengan metode market adjusted model, return harian aktual (Ri,t) dan return harian pasar (Rmt), dihitung dengan formula yang sama seperti pada market model.
R i,t = Pt - Pt-1 Pt-1 Rmt =
IHSGt - IHSGt-1 IHSGt-1
Model perhitungan abnormal return (AR i,t ) adalah sebagai berikut : AR i,t = R i,t - E(R i,t) Ketika menggunakan metode market adjusted model, besarnya return yang diharapkan oleh investor untuk tiap sekuritas perusahaan (E(R i,t)) dianggap sama dengan besarnya return indeks pasar (Rmt), sehingga: AR i,t = R i,t - Rmt Cummulative abnormal return dihitung dengan menjumlahkan abnormal return hari t-5 sampai dengan t+5. t+5
CAR i(t-5,t+5) = Σ AR i,t t-5
Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan unexpected earnings (UE). UE i,t = Ei,t - Ei,t-1 [Ei,t-1] Selanjutnya juga dilakukan regresi atas persamaan regresi berikut : CARi(t-5,t+5) = α + β UE i,t + ε Penggunaan ketiga macam proksi kualitas laba tersebut dilakukan sebagai sensitivity analysis, yakni apakah model ini dapat digunakan dalam berbagai keadaan. Untuk
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
menentukan model pengukuran mana yang akan digunakan dalam analisis utama, akan dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran tersebut. Model pengukuran terbaik yang akan digunakan pada analisis atas pengujian hipotesis utama yang menguji pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua), sedangkan kedua model lain akan digunakan dalam analisis sensitivitas.
3.4 Metode Analisis Data Penelitian ini menggambarkan pola hubungan yang mengungkapkan pengaruh seperangkat variabel terhadap variabel lainnya, baik secara langsung maupun melalui variabel lain sebagai variabel intervening. Dalam pengujian hipotesis digunakan metode analisis jalur (path analysis) dalam menaksir hubungan kausalitas antar variabel (model casual) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori untuk mengetahui pengaruh antara variabel eksogen dan variabel endogen. Analisis jalur berbeda dengan analisis regresi lainnya, dimana analisis jalur memungkinkan pengujian dengan menggunakan variabel intervening (Ghozali dan Fuad, 2005). Pengujian hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows versi 15.0. Sebelumnya untuk mempermudah pengujian, agar model penelitian dapat tergambar dengan jelas, dapat dispesifikasi, serta dirumuskan persamaannya, maka disusun diagram alur dari konseptualisasi model dalam rerangka teoritis. Dari hasil konseptualisasi model, kemudian kita rumuskan hipotesis penelitian dalam persamaan struktural. Selanjutnya dilakukan uji terhadap asumsi dasar yang melandasi path analysis, terdiri dari: a) Uji Normalitas Data Pada model path analysis hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif, dan bersifat normal. Untuk menguji apakah variabel dependen dan independen dalam model memiliki distribusi normal atau tidak digunakan uji Kolmogrov Smirnov. Kriteria yang Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
digunakan adalah pengujian dua arah (two tailed test), yaitu dengan membandingkan p value yang diperoleh dengan taraf signifikansi yang digunakan. b) Uji Linieritas Dalam path analysis hubungan antar variabel harus bersifat linier dan adaptif. Uji linieritas model dalam penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier yang dikembangkan oleh Engle tahun 1982. c) Uji Variance Influence Factor (VIF) Dalam path analysis, hanya model recursive yang dapat dipertimbangkan, artinya hanya sistem aliran kausal ke satu arah, tidak ada arah kausalitas yang berbalik. Suatu model dikatakan recursive jika antara variabel epsilon (ε ) saling bebas dan hubungan antara i
variabel epsilon dengan variabel endogen saling bebas. Untuk menguji apakah model recursive bisa digunakan uji variance influence factor (VIF), dimana suatu hubungan antar variabel epsilon dikatakan saling bebas dan antara variabel epsilon dengan variabel endogen memiliki hubungan yang saling bebas jika nilai VIF tidak lebih dari 10 (Algifari, 1997). d)
Memastikan variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio
e)
Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan reliable) Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas, karena menggunakan data sekunder.
f)
Model yang dianalisis dispesifikasikan dengan benar (Model Fit) Bila ingin dikatakan bahwa model tersebut adalah fit, seluruh hipotesis dan rancangan model dalam penelitian dibangun berdasar teori dan konsep yang relevan didukung bukti
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
empiris yang memadai dari suatu hasil penelitian, artinya model diuji dibangun berdasarkan kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti. Selanjutnya kita akan melakukan pendugaan parameter, menentukan besarnya koefisien tiap jalur (ρ) guna menghitung besarnya pengaruh terhadap earnings management (y) dan earnings response coefficient (z). Menurut Riduwan dan Kuncoro (2007), pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu koefisien regresi yang dihitung dari basis data yang telah diset dalam angka baku atau Z-score (data yang diset dengan nilai rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Dalam path analysis, di samping ada pengaruh langsung juga terdapat pengaruh tidak langsung dan pengaruh total. Pengaruh langsung diambilkan dari hasil regresi yang ditunjukkan oleh output Coefficient yang dinyatakan sebagai standardize coeficients beta dan diberi simbol Pyixi. Sedangkan pengaruh tidak langsung merupakan perkalian antar Pyixi. Pengaruh total merupakan penjumlahan dari pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Setelah kita peroleh besarnya koefisien tiap jalur pada struktur model, selanjutnya akan dapat kita lakukan pengujian hipotesis, kita tentukan besarnya pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen dengan uji validitas model. Sahih tidaknya suatu hasil analisis tergantung dari terpenuhi atau tidaknya asumsi yang melandasinya. Indikator validitas model di dalam path analysis menggunakan uji ketepatan parameter (koefisien 2
determinasi total). Koefisien determinasi total (R ) diuji dengan uji statistik F, sedangkan uji validitas koefisien jalur pada setiap jalur untuk pengaruh langsung menggunakan nilai p dari uji statistik t. Hipotesis utama yang dibangun dan diuji dalam penelitian ini adalah sebanyak 11 hipotesis, sedangkan hipotesis tambahan yang muncul sebagai akibat dilakukannya
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
analisis sensitivitas adalah sebanyak 12 hipotesis. Analisis akan dibagi menjadi dua tahap : Analisis Jalur Sub-Struktur Pertama dan Analisis Jalur Sub-Struktur Kedua.
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Hasil Seleksi Sampel Dari proses pengumpulan data dan penyeleksian sampel, diperoleh sampel sebanyak 21 perusahaan, dengan jumlah observasi sebanyak 105 observasi yang terdiri dari data tahun 2001-2005. Hasil seleksi sampel beserta data perusahaan sampel dapat dilihat pada bagian lampiran. B. Hasil Path Diagram Dari Konseptualisasi Model Hasil penyusunan diagram alur dari konseptualisasi model yang digambarkan dalam rerangka teoritis dapat dilihat pada bagian lampiran. Dari hasil konseptualisasi model, diperoleh rumusan hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam persamaan struktural berikut :
Y = ρyx1 x1 + ρyx2 x2 + ρyx3 x3 + ρyx4 x4 + ρy ε1 Z = ρzx1 x1 + ρzx2 x2 + ρzx3 x3 + ρzx4 x4 + ρzy y + ρz ε2 C. Hasil Uji Asumsi Dasar Path Analysis Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa pada variabel residual persamaan model pertama berdistribusi normal. Pada persamaan model kedua dengan menggunakan ERC periode bulanan, variabel residualnya berdistribusi tidak normal, artinya data tidak tersebar merata dalam tiap nilainya. Untuk mendapatkan hasil pengujian yang lebih baik dan valid, maka dilakukan pengobatan, yakni dengan cara melakukan transformasi data mentah ke dalam bentuk logaritma natural dari tiap-tiap data yang akan diuji.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Data yang telah ditransformasi mengalami perubahan terkait dengan sebaran data, hal itu ditunjukkan dengan nilai p value > 0,05. Transformasi data telah mengubah jumlah data yang valid dan dapat diolah menjadi 26 observasi. Untuk seterusnya, ketika digunakan data ERC periode bulanan, jumlah observasi yang diuji adalah sejumlah tersebut. Hasil uji normalitas dan pengobatan model dapat dilihat pada bagian lampiran. Dari hasil uji linieritas dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier dapat disimpulkan bahwa model berbentuk linier. Hal itu karena, nilai c2 hitung < c2 tabel, maka dapat disimpulkan bahwa model bersifat linier. Hasil uji linieritas dapat dilihat pada bagian lampiran. Uji asumsi ketiga yakni apakah model memenuhi model rekursif atau tidak. Dari hasil pengujian disimpulkan bahwa model memenuhi model rekursif. Hal itu ditunjukkan dengan nilai VIF yang tidak lebih besar dari 10. Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran. Uji asumsi keempat tentang apakah variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval atau rasio telah terpenuhi. Sebagaimana kita ketahui bahwa variabel endogen dalam penelitian ini, yakni manajemen laba dan kualitas laba, keduanya berskala rasio. Uji asumsi kelima tentang validitas tidak dilakukan, sebab data yang dikumpulkan merupakan data skunder yang diumumkan kepada publik oleh BEI dan BI dengan tanggung jawab hukum yang jelas, karena itu validitas data seharusnya tidak perlu diragukan lagi. Dari landasan teori dan pengembangan hipotesis diketahui bahwa seluruh hipotesis dan rancangan model penelitian dibangun berdasarkan teori dan konsep yang relevan yang didukung bukti empiris. Oleh karena itu, model yang dirancang adalah fit, sehingga asumsi dasar keenam juga terpenuhi. D. Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis Model yang digunakan dalam pengujian hipotesis utama yang menguji pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur kedua) dalam penelitian ini adalah model pengukuran Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
yang menggunakan ERC periode harian–market adjusted model. Hal itu karena setelah dilakukan analisis perbandingan antara ketiga model pengukuran, model tersebut merupakan model pengukuran terbaik, yakni model yang mempunyai R2 (R square) paling tinggi, ketepatan perkiraan (ketepatan prediksi terhadap membuktikan hipotesis yang diajukan dalam penelitian), serta proporsi tanda koefisien yang sesuai prediksi paling tinggi. a. Analisis Jalur Sub-Struktur Pertama (Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur substruktur 1) 1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba Hasil uji statistik F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 1. Dari tabel Anova diperoleh nilai F untuk Model 1 sebesar 2,163 dengan nilai probabilitas (Sig.) = 0,080. Karena 0,10 > Sig., maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan pada taraf signifikansi 10%, yakni komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap manajemen laba. Berdasarkan nilai R2 pada hasil Model Summary, kita ketahui besarnya pengaruh simultan variabel-variabel tersebut terhadap manajemen laba adalah sebesar 0,079 = 7,9%. 2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba Dari tabel Coefficient, kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig., sehingga pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan. Pengaruh variabel komposisi dewan komisaris (X1) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,132 (ρyx1). Secara statistik pengaruh variabel X1 terhadap Y adalah tidak signifikan, yakni = 0,132 x 0,132 x 100% = 1,74%. 3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Manajemen Laba Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Dari hasil analisis kita ketahui bahwa 0,05 < nilai probabilitas Sig. (0,05 < 0,442), artinya pengaruh keberadaan komite audit terhadap manajemen laba adalah tidak signifikan. Pengaruh variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,079 (ρyx2). Besarnya pengaruh variabel X2 terhadap Y adalah sebesar = 0,079 x 0,079 x 100% = 0,62%. 4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba Kepemilikan manajerial juga berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba. Hal itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas < nilai Sig. (0,05 < 0,920). Pengaruh variabel kepemilikan manjerial (X3) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan besarnya koefisien jalur sebesar 0,010 (ρyx3). Dari situ diketahui besarnya pengaruh X3 terhadap Y hanya sebesar = 0,010 x 0,010 x 100% = 0,01%. 5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba Karena 0,05 > nilai probabilitas Sig. (0,05 > 0,011), maka kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap manajemen laba (Y) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,266 (ρyx4). Secara statistik besarnya pengaruh X4 terhadap Y adalah sebesar = 0,266 x 0,266 x 100% = 7,08%. b. Analisis Jalur Sub-Struktur Kedua (Hasil pengujian dapat dilihat pada bagian lampiran: hasil perhitungan analisis jalur substruktur 2) 1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba Hasil uji F ditunjukkan oleh Tabel Anova Model 2 yang menggunakan ERC periode harian – market adjusted model. Dari tabel diperoleh nilai F sebesar 6,551 dengan nilai
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
probabilitas (Sig.) = 0,000. Karena 0,05 > Sig., berarti signifikan, artinya komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan manajemen laba berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Berdasar nilai R2 (R square), kita ketahui besarnya pengaruh simultan variabel-variabel tersebut terhadap kualitas laba adalah sebesar 0,249 = 24,9%. 2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Kualitas Laba Dari tabel Coefficient diperoleh nilai probabilitas Sig. variabel komposisi dewan komisaris sebesar 0,156. Karena 0,05 < Sig., maka pengaruh komposisi dewan komisaris terhadap kualitas laba adalah tidak signifikan. Pengaruh langsung komposisi dewan komisaris (X1) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,139 (ρzx1). Besarnya pengaruh langsung (direct effect) variabel X1 terhadap Z adalah = (-0,139) x (-0,139) x 100% = 1,93%. Besarnya pengaruh tidak langsung (indirect effect) harus dihitung dengan mengalikan koefisien tidak langsungnya. Pengaruh total (total effect) variabel X1 terhadap Z diperoleh dengan menjumlahkan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsungnya, yakni = ρzx1 + (ρyx1 x ρzy) = (-0,139) + (0,132 x (-0,177)) = -0,162. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris terhadap kualitas laba adalah sebesar = (-0,162) x (-0,162) x 100% = 2,62%.
3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Kualitas Laba Nilai probabilitas Sig. < 0,05 (0,05 < 0,017), artinya keberadaan komite audit berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh langsung variabel keberadaan komite audit (X2) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,227 (ρzx2). Besarnya pengaruh langsung variabel X2
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
terhadap Z adalah sebesar = 0,227 x 0,227 x 100% = 5,15%. Sedangkan pengaruh total variabel X2 terhadap Z = ρzx2 + (ρyx2 x ρzy) = 0,227 + (0,079 x (-0,177)) = 0,213. Sehingga, besarnya pengaruh total variabel X2 terhadap Z adalah sebesar = 0,213 x 0,213 x 100% = 4,54%. 4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kualitas Laba Karena 0,05 > Sig. (0,05 > 0,001), maka kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh langsung kepemilikan manajerial (X3) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar 0,325 (ρzx3). Besarnya pengaruh langsung variabel X3 terhadap Z = (-0,325) x (-0,325) x 100% = 10,56%. Pengaruh total variabel X3 terhadap Z adalah = ρzx3 + (ρyx3 x ρzy) = (-
0,325) + (0,010 x (-0,177)) = -0,327. Sehingga, besarnya pengaruh total X3 terhadap Z adalah sebesar = (-0,327) x (-0,327) x 100% = 10,69%. 5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kualitas Laba Kepemilikan institusional (X4) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba perusahaan perbankan, hal itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas > nilai probabilitas Sig. (0,05 > 0,002). Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Pengaruh langsung variabel kepemilikan institusional (X4) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -0,314. Besarnya pengaruh langsung X4 terhadap Z adalah sebesar (-0,314) x (-0,314) x 100% = 9,86%. Pengaruh total variabel X4 terhadap Z = ρzx4 + (ρyx4 x ρzy) = (-0,314) + (0,266 x (-0,177)) = -0,361. Jadi, besarnya pengaruh variabel kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah = (0,361) x (-0,361) x 100% = 13,03%.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
6) Pengaruh Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba Nilai Sig. variabel manajemen laba yang diperoleh dari tabel Coefficient adalah 0,055. Karena 0,10 < nilai Sig., artinya manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh variabel manajemen laba (Y) terhadap kualitas laba (Z) ditunjukkan dengan koefisien jalur sebesar -0,177 (ρzy). Besarnya pengaruh Y ke Z adalah = (-0,177) x (-0,177) x 100% = 3,13%.
E.
Pembahasan Hasil Analisis
a. Pembahasan Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis Pertama 1) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Secara Simultan Terhadap Manajemen Laba Hasil analisis menujukkan bahwa mekanisme corporate governance, dalam hal ini komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap manajemen laba perusahaan perbankan. Pengaruhnya teruji dengan tingkat pengaruh sangat lemah, yakni sebesar 7,9%. Artinya bahwa manajemen laba dijelaskan oleh variabel-variabel tersebut sebesar 7,9%, sisanya sebesar 92,1% dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Boediono (2005). 2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1a) Hipotesis 1a: ditolak, karena komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya 1,74%. Namun, jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya positif, artinya semakin besar keanggotaan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan akan semakin meningkatkan tindakan manajemen laba. Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Beasley (1996), Song dan Windram (2000), Chtorou et al. (2001), Xie et al. (2003), serta Nasution dan Setiawan (2007) yang menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun, konsisten dengan beberapa hasil penelitian lain di Indonesia, diantaranya: Veronica dan Bachtiar (2004), Veronica dan Utama (2006), serta Boediono (2005). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar komposisi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan, kemungkinan dapat menyebabkan semakin menurunnya kemampuan dewan dalam melakukan pengawasan karena timbulnya masalah dalam koordinasi, komunikasi, dan pembuatan keputusan. Kondisi tersebut ditegaskan oleh hasil survey Asian Development Bank dalam Boediono (2005) bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya menjadi tidak efektif. Terdapat kemungkinan penempatan atau penambahan anggota dewan dari luar perusahaan dilakukan sekedar untuk memenuhi ketentuan formal, sementara pemegang saham mayoritas/pengendali (founders) masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan tidak meningkat, bahkan bisa menurun. 3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1b) Hipotesis 1b: ditolak, keberadaan komite audit tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap besaran manajemen laba, besarnya pengaruh hanya sebesar 0,62%. Namun, jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif, artinya adanya komite audit pada perusahaan perbankan justru meningkatkan manajemen laba. Hal tersebut berarti bahwa keberadaan komite audit sebagai salah satu bentuk penerapan mekanisme corporate governance belum berjalan efektif sebagaimana mestinya, belum mampu mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 41
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hal itu kemungkinan karena pembentukan komite audit dilakukan sebatas untuk pemenuhan regulasi, belum benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan atau menerapkan prinsip GCG. Kehadiran komite audit dalam perusahaan perbankan mungkin masih belum dapat berfungsi optimal, sebagaimana dulu kehadiran dewan audit yang kemudian digantikan dengan direktur kepatuhan tidak membawa dampak positif bagi fungsi pengawasan perusahaan perbankan (Effendi dalam Nasution, 2007). Berdasarkan review penelitian sebelumnya, tampak bahwa hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Chtorou et al. (2001) , Xie et al. (2003), Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004). Akan tetapi hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley (1996), Klein (2000), Veronica dan Utama (2006). 4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1c) Hipotesis 1c: ditolak, larena kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, pengaruhnya sangat kecil, yakni hanya sebesar 0,01%. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Wedari (2004) dan Boediono (2005), namun berlawanan dengan penelitian Warfield et al. (1995), Midiastuty dan Machfoedz (2003). Jika dilihat dari pola hubungannya, pengaruhnya adalah positif. Artinya adanya kepemilikan manajerial justru meningkatkan manajemen laba. Menurut judgment peneliti, proporsi kepemilikan manajerial dalam kebanyakan perusahaan perbankan yang sangat kecil menyebabkan tidak/belum efektif dan optimalnya kepemilikan manajerial dalam menyalaraskan kepentingan agent dan principal, sehingga belum mampu mengurangi diskresi manajerial. 5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba (Hipotesis 1d) Hipotesis 1d: diterima, kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan terhadap besaran manajemen laba. Pengaruhnya adalah sebesar 7,08%. Namun, jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif. Hal itu berarti bahwa Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 42
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
semakin tinggi tingkat kepemilikan saham oleh institusi, maka semakin tinggi besaran manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Midastuty dan Machfoedz (2003) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, namun sejalan dengan hasil penelitian Boediono (2005). Hal itu kemungkinan karena emiten yang dianalisis (perusahaan perbankan Indonesia) kebanyakan memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang mencerminkan kekuasaan, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan, sehingga manajer terpaksa melakukan tindakan manajemen laba untuk memenuhi keinginan pihak tertentu. b. Pembahasan Hasil Analisis atas Pengujian Hipotesis Kedua 1) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris, Keberadaan Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba Hasil analisis menunjukkan komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan manajemen laba berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Jika besarnya pengaruh tersebut diinteprestasikan lebih lanjut berdasarkan ukuran kuat lemahnya hubungan pengaruh, maka besarnya pengaruh adalah cukup kuat, yakni sebesar 24,9%. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Midiastuty dan Machfoedz (2003) dan Boediono (2005). 2) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2a) Hipotesis 2a: ditolak., komposisi dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba perusahaan (ERC), pengaruh langsungnya tidak signifikan yakni hanya sebesar 1,93%. Besarnya pengaruh total variabel komposisi dewan komisaris terhadap kualitas laba adalah sebesar 2,62%. Jika ditinjau dari kuat-lemahnya hubungan, Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 43
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
maka pengaruhnya adalah sangat lemah. Artinya dewan komisaris sebagai salah satu mekanisme corporate governance dianggap belum mampu meningkatkan kualitas laba. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Vafeas (2000) Boediono (2005), dan Setiawan (2006). 3) Pengaruh Keberadaan Komite Audit terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2b) Hipotesis 2b : diterima, keberadaan komite audit terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh langsung keberadaan komite audit terhadap kualitas laba adalah sebesar 5,15%, sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 4,54%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah positif, artinya dengan adanya komite audit, perusahaan dapat meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa keberadaan komite audit meningkatkan kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan, sehingga laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang membentuk komite audit dinilai memiliki kualitas yang baik. Hasil tersebut sejalan dengan temuan Anderson et al. (2003), Suaryana (2005), dan Setiawan (2006). 4) Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2c) Hipotesis 2c: diterima, yakni kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh langsung variabel kepemilikan manajerial terhadap kualitas laba adalah cukup kuat, yakni sebesar 10,56%, sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 10,69%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhya adalah negatif. Artinya semakin tinggi kepemilikan manajerial, maka kualitas laba akan menurun. Temuan ini berlawanan dengan hasil penelitian Warfield (1995), Midiastuty dan Machfoedz (2003), dan Boediono (2005) yang menunjukkan kepemilikan manajerial berhubungan positif dengan kualitas laba. Hal itu mungkin karena adanya kepemilikan manajerial justru menimbulkan “semacam mosi tidak percaya”, keraguan bagi para Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 44
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pelaku pasar/investor di Indonesia pada perusahaan, mereka beranggapan bahwa pihak manajerial tentu cenderung bertindak mementingkan perusahaan dibanding pemegang saham, sehingga kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan menurun. 5) Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2d) Hipotesis 2d: diterima, kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba perusahaan. Pengaruhnya adalah negatif, artinya semakin tinggi kepemilikan institusi dalam perusahaan, kualitas laba yang dilaporkan semakin menurun. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah sebesar 9,86%, sedangkan pengaruh totalnya adalah sebesar 13,03%. Temuan ini berlawanan dengan hasil penelitian Midiastuty dan Mahfoedz (2003) dan Boediono (2005) yang menemukan bahwa kepemilikan institusional berdampak positif terhadap kualitas laba. Hal tersebut karena adanya kepemilikan institusional pada perusahaan perbankan di Indonesia belum mampu mengurangi tindakan manipulasi laba pada perusahaan, pada akhirnya juga tidak akan meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. 6) Pengaruh Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba (Hipotesis 2e) Hipotesis 2e diterima, manajemen laba terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba pada tingkat signifikansi 10%. Pengaruh manajemen laba terhadap kualitas laba adalah sebesar 3,13%. Jika dilihat dari pola hubungannya, maka pengaruhnya adalah negatif. Hal itu berarti investor perusahaan perbankan dapat mendeteksi indikasi manajemen laba, investor perusahaan perbankan biasanya merupakan investor institusi yang tentunya shopisticated (canggih), sehingga bereaksi negatif ketika terdapat indikasi perusahaan melakukan manajemen laba. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Pudjiastuti (2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 45
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
F.
Hasil Analisis Sensitivitas Pada penelitian ini digunakan 3 macam proksi kualitas laba, yakni ERC periode
bulanan dan harian market model dan market adjusted model untuk menguji sensitivitas dan mengetahui apakah model dapat digunakan dalam berbagai keadaan, dalam pengujian hipotesis yang terkait dengan pengaruh terhadap kualitas laba (sub-struktur 2), Dari hasil analisis sensitivitas, diketahui bahwa hasil uji pengaruh simultan corporate governance dan manajemen laba terhadap kualitas laba (pengujian sub-struktur 2) dengan menggunakan ERC periode bulanan maupun ERC periode harian–market model konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Hasil pengujian pengaruh individual/parsial yang menggunakan data ERC periode harian–market model umumnya konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Perbedaannya, keberadaan komite audit dan manajemen laba berpengaruh tidak signifikan terhadap kualitas laba yang diproksikan dengan ERC periode harian–market model, namun jika dilihat dari pola, arah hubungan, hasilnya konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama. Untuk hasil pengujian pengaruh individual/parsial yang menggunakan ERC periode bulanan umumnya agak kurang konsisten dengan pengujian hipotesis utama. Hanya kepemilikan institusional yang berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Jika dilihat dari pola, arah hubungan, hasilnya juga tidak konsisten dengan hasil pengujian hipotesis utama. Ketidakkonsistenan tersbut kemungkinan besar disebabkan karena data-data bulanan kurang dapat memberikan gambaran serta merepresentasikan keadaan dan fluktuasi/perubahan keadaan perusahaan yang sesungguhnya secara akurat. (NB: Hasil analisis sensitivitas secara lengkap ada pada penulis)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 46
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
V. KESIMPULAN A. Kesimpulan Mekanisme corporate governance, dalam hal ini komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terbukti secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manjemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang lemah. Secara individual, hanya variabel kepemilikan institusional yang berpengaruh signifikan terhadap besaran manajemen laba. Kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, namun dengan arah positif, artinya semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional, maka semakin tinggi manajemen laba. Sedangkan ketiga variabel mekanisme corporate governance lainnya, yakni komposisi dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan kepemilikan manajerial tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Mekanisme corporate governance dan manajemen laba terbukti berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kualitas laba. Besarnya pengaruh mekanisme corporate governance dan manajemen laba teruji dengan tingkat pengaruh yang cukup kuat. Secara individual, variabel keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan manajemen laba masing-masing berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas laba, hanya variabel komposisi dewan komisaris yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas laba. Secara terperinci, pengaruh masing-masing mekanisme corporate governance dan manajemen laba secara individual/parsial terhadap kualitas laba adalah sebagai berikut: a. Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas laba.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 47
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
b. Pengaruh keberadaan komite audit terhadap kualitas laba perusahaan adalah signifikan dengan arah positif. Pengaruhnya terbukti, namun dengan tingkat pengaruh yang lemah. c. Kepemilikan manajerial terbukti berpengaruh signifikan dengan arah negatif terhadap kualitas laba perusahaan. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kualitas laba adalah cukup kuat. d. Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan dengan arah negatif terhadap kualitas laba. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kualitas laba adalah cukup kuat. e. Manajemen laba berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap kualitas laba, tetapi dengan tingkat pengaruh lemah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan manajemen laba merupakan mekanisme yang turut mempengaruhi respon yang dilakukan pasar serta berpengaruh terhadap kredibilitas dan persepsi kualitas laba perusahaan di mata investor. B. Keterbatasan 1. Hasil penelitian memiliki keterbatasan, karena jumlah sampel yang diperoleh dalam penelitian ini cukup kecil, selain itu riset di Indonesia terbatas, hanya bisa dilakukan pada perusahaan yang listed di BEI atau go public. Keterbatasan sampel dalam penelitian ini disebabkan karena alasan jumlah perusahaan perbankan yang go public, yang bisa dijadikan sampel sangat sedikit. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan di Indonesia, dari sekitar 141 bank yang terdaftar pada tahun 2002, hanya 24 bank (17%) yang telah go public, itupun beberapa diantaranya mengalami delisting pada periode pengamatan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 48
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2. Penggunaan proxy corporate governance yang tidak menangkap mekanisme corporate governance sebagai satu kesatuan, karena corporate governance tidak diukur melalui indeks tertentu, melainkan melalui variabel-variabel yang terpisah. Hal itu dikarenalan terdapat pula keterbatasan mengenai data indeks corporate governance sebagai instrumen pengukuran penerapan corporate governance di Indonesia. 3. Proxy kepemilikan institusional dalam penelitian ini mencakup seluruh investor yang bersifat institusi, tidak memisahkan antara kepemilikan institusi pemerintah, swasta, asing, maupun institusi keuangan. Hal tersebut karena terbatasnya pengungkapan data detail mengenai kepemilikan perusahaan. 4. Untuk proxy komite audit dan dewan komisaris, masing-masing hanya digunakan satu karakteristik. 5. Ketidakkonsistenan data-data yang tercantum pada laporan keuangan tahunan auditan perusahaan yang dipublikasikan BEI dan BI, ketidakonsistenan data dari tahun ke tahun. C. Saran 1. Perlu direkomendasikan kepada bank-bank untuk melakukan go public guna meningkatkan market for corporate control, mengingat masih sangat sedikit perusahaan perbankan yang go public. 2. Hasil penelitian akan lebih bisa merepresentasikan pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba maupun kualitas laba, jika mekanisme tersebut diukur sebagai suatu kesatuan melalui indeks tertentu. Sehingga perlu untuk dikembangkan suatu instrumen pengukuran guna menghitung indeks corporate governance perusahaan publik di Indonesia. 3. Penelitian selanjutnya dapat mencoba mengidentifikasi karakteristik lain dari dewan komisaris dan komite audit, seperti ukuran/jumlah, kompetensi, latar belakang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 49
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pendidikan, pengalaman, dan sebagainya untuk digunakan sebagai proxy corporate governance terkait dewan komisaris dan komite audit perusahaan. 4. Meski dalam penelitian telah digunakan model pengukuran manajemen laba yang dinilai lebih akurat, yakni model akrual khusus, per indusri, peneliti lain dapat mengembangkan model pengukuran yang lebih baik lagi, mengingat banyak sekali model lain untuk menghitung discretionary accrual sebagai proksi dari manajemen laba, misalnya crosssectional abnormal accrual model (Peasnell), absolute discretionary accrual (Rajgofal et al.), Healy Model, De Angelo Model, Industry Adjusted Model, dan sebagainya. 5. Untuk keterbatasan yang berupa keberadaan pengungkapan data dan ketidakkonsistenan data, peneliti berharap akan adanya pengungkapan yang lebih detail, lengkap dan perbaikan mengenai validitas dan kekonsistenan, baik terkait dengan data-data perusahaan maupun laporan keuangan auditan perusahaaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 50
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA Agoes, Sukrisno. (2004). Good Corporate Governance Practice in Indonesia and Malaysia. Manajemen Usahawan No. 10 Tahun XXXIII, Oktober. Alijoyo, Antonius, Elmar Bouma, TB. M. Nazmudin Sutawinangun, dan M Doddy Kusadrianto. (2004). Review of Corporate Governance in Asia: Corporate Governance in Indonesia. Forum for Corporate Governance in Indonesia. Anderson, Kirsten L., Daniel N. Deli, and Stuart L. Gillan. (2003). Boards of Directors, Audit Committees, and the Information Content of Earnings Working paper. Available on-line at http://www.lerner.udel.edu/ccg. Assih, Prihat dan M. Gudono. (2000). Hubungan Tindakan Perataan Laba dan Reaksi Pasar atas Pengumuman Informasi Laba Perusa.haan yang Terdaftar di BEJ. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No.1, Januari: 35-53. Bank Indonesia. (1998). Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/148/KEP/DIR tentang Pembentukan Penyisihan Pengkapusan Aktiva Produktif. ________. (2001-2006). Direktori Perbankan Indonesia. Beasley, Mark S., (1996). An Empirical Analysis of The Relation Between The Board of Director Composition and Financial Statement Fraud. The Accounting Review, Vol. 71, No. 4, October, p. 443-465. Beaver, William H. and Ellen E. Engel. (1996). Discretionary Behavior with Respect to Allowances for Loan Losses and Behavior of Security Prices. Journal of Accounting and Economics 22, p. 177-206. Black, Bernard S., Hasung Jang, and Woochan Kim. (2003). Does Corporate Governance Affect Firm Value? Evidence from Korea. Working Paper. Available on-line at www.ssrn.com. Boediono, Gideon SB., (2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 51
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Bradburry, M. E., Y. T. Mak., and S.M. Tan. (2004). Board Characteristics, Audit Committee Characteristics, and Abnormal Accruals. Available on-line at www.ssrn.com. Bursa Efek Indonesia. (2001). Kep-315/BEI/07-2001. Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa. Bursa Efek Indonesia. (2001). Kep-339/BEI/07-2001. Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa. Bursa Efek Indonesia. (2001). SE-008/BEI/12-2001. Keanggotaan Komite Audit. Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard, and Lucie Courteau. (2001). Corporate Governance and Earnings Management. Available on-line at www.ssrn.com. Darmawati, Deni, Khomsiyah, dan Rika Gelar Rahayu. (2004). Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar. Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan, and Amy P. Sweeney. (1995). Detecting Earnings Management. The Accounting Review, Vol. 70, No. 2, p. 193-225. Djatmiko, Harmanto Edy. (2001). Saatnya Menjadi Perusahaan Terpercaya. SWA No.19/X7/20 September-30 Oktober. Financial Accounting Standards Boards. (1980). Statement of Financial Accounting No.1: Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises. Stanford, Connecticut. Faisal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar. _______. (2005). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.8, No.2, Mei: 175-190. Febrianto, Rahmat. 2005. The Effect of Ownership Concentration on the Earnings Quality: Evidence from Indonesian Companies. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 8 No. 2, Mei: 105-120.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 52
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Available on-line at www. fcgi.org.id. Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi 3. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. _______ dan Fuad. (2005). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gujarati, Damodar. (2003). Basic Econometrics. International Edition. New York: MC. Graw-Hill Inc. Gumanti, Tatang Ary. (2003). Motivasi di balik Earnings Management. Manajemen Usahawan No. 12 Tahun XXXII, Desember. _______. (2006). Manajemen Laba: Apa dan Mengapa. Kajian Akuntansi, Vol. 1, No. 1, Juni: 1-13. Gunarsih, Tri dan Bambang Hartadi. Pengaruh Pengumuman Peningkatan Komisaris Independen terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta. Jurnal riset Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi, Vol. 2, Agustus: 221-239. Hadad, Muliaman D, Agus Sugiarto, Wini Purwanti, M. Jony Hermanto, dan Bambang Arianto. (2003). Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia. Available on-line at www.bi.go.id. Harahap, Khairunnisa. (2004). Asosiasi antara Praktik Perataan Laba dengan Kofisien Respon Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar Hartono, Jogiyanto. (2000). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. _______. (2004). Metodologi Penelitian: Pengalaman dan Salah Kaprah. Yogyakarta: BPFE. Haryono, Slamet. (2005). Struktur Kepemilikan dalam Bingkai Teori Keagenan. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol . 5 (1): 63-71. Ikatan Akuntan Indonesia. (2007). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 53
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. (1976). Theory of Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Available on-line at www.ssrn.com. Joh, Sung Wook. (2003). Corporate Governance and Firm Profitability: Evidence from Korea before Economic Crises. Journal of Financial Economics (68): 267-273. Kalihatu, Thomas S. (2006). Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.8, No.1, Maret: 1-9. Klein, April. (2000). Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings Management. Available on-line at www.ssrn.com. Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Midiastuty, Pratana Puspa dan Mas’ud Machfoedz. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 6, Surabaya. Mitton, Todd. (2002). A Cross-Firm Analysis of the Impact of Corporate Governance on the East Asian Financial Crisis. Available on-line at www.ssrn.com. Nasution, Marihot. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia. Unpublished skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2007. _______ dan Setiawan. (2007). Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 10, Makasar. Organisation for Economic Co-operation and Development. The OECD Prinnciples of Corporate Governance. Available on-line at www.oecd.org/daf/governance. pinciples. Poeradisastra, Teguh. (2005). 10 Peringkat Perusahaan Terpercaya 2005 (GCG). SWA No. 09/XXI/ 28, April. Pudjiastuti, Widanarni, dan Aida Ainul Mardiyah. (2006). The Influence of Earnings Management on Earnings Quality. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 54
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Rahmawati. Pengaruh Asimetri Informasi, Regulasi Perbankan, dan Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba dengan Model Akrual Khusus Perbankan. Unpublished doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada. 2005. _______. (2006). Model Penelitian Manajemen Laba pada Industri Perbankan Publik di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perbankan. Paper presented at Seminar Bulanan Jurusan Akuntansi FE-UNS. _______ dan Zaki Baridwan. (2006). Pengaruh Asimetri Informasi, Regulasi Perbankan, dan Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba dengan Model Akrual Khusus Perbankan. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 6, No. 2, Februari : 139-150. Riduwan dan Engkos Ahmad Kuncoro. (2007). Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta. Salim, Imbuh. (2005). Komite Audit : Peran yang Diharapkan dan Sejauh Mana Eksistensinya. Manajemen Usahawan No. 11 Tahun XXXIV, November. Sandra, Dessy dan Indra Wijaya Kusuma. (2004). Reaksi Pasar terhadap Tindakan Perataan Laba dengan Kualitas Auditor dan Kepemilikan Manajerial sebagai Variabel Pemoderasi. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar. Santoso, Singgih. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Prametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Scott, William. R. (2003). Financial Accounting Theory. 3rd Edition. Ontario: Prentice-Hall Canada Inc. Sekaran, Uma. (2003). Research Methods for Business: A skill Building Approach Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Setiawan, Doddy. (2006). The Comparisons of Corporate Governance Practice in Indonesia, Malaysia, and Singapore. Project Paper of Asia Europe Institute University of Malaya. Setiawan, Wawan. (2006). Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas Laba. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 6, No. 2, Agustus: 163-172.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 55
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Setiawati, Lilis dan Ainun Na’im. (2000). Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.15, No.4, 424-441. ________. (2001). Bank Health Evaluation by Bank Indonesia and Earning Management in Banking Industry. Gadjah Mada International Journal of Business, May, Vol. 3, No.2, p. 159-176. Song, Jihe, and Brian Windram. (2000). Benchmarking Audit Committee in The UK. Working Paper from Napier University. Suaryana, Agung. (2005). Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo. Sugiarta, I Putu. (2004). Earnings Management and Information Content of Audit Committee Announcement. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar. Suseno dan Piter Abdullah. (2004). Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)-Bank Indonesia. Syakhroza, Ahmad. (2002). Mekanisme Pengendalian Internal dalam Melakukan Assessment Pelaksanaan Good Corporate Governance. Manajemen Usahawan No. 08 Tahun XXXI, Agustus: 41-52. _______. (2003). Teori Corporate Governance. Manajemen Usahawan No. 08 Tahun XXXII, Agustus :19-25. Sutrisno. (2002). Studi Manajemen Laba: Evaluasi Pandangan Profesi Akuntansi, Pembentukan dan Motivasinya. Kompak, No. 5, Mei: 158-179. Vafeas, Nikos. (2000). Board Structure and the informativeness of earnings. Journal of Accounting and PublicPolicy, Vol.19, p. 139-160. Veronica, Silvia, dan Yanivi S Bachtiar. (2004). Good Corporate Governance Information Asymetry and Earnings Management. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 56
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Veronica, Silvia, dan Siddharta Utama. (2006). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.9, No.3, September, 307-326. Wahidahwati. (2002). Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif Theory Agency. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 5, No. 1, Januari: 1-16. Wahyudi, Untung dan Hartini Prasetyaning Pawestri. Implikasi Struktur Kepemilikan terhadap Nilai Perusahaan: dengan Keputusan Keuangan sebagai Variabel Intervening. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang. Warfield, T.D., J.J. Wild, and K.L. Wild. (1995). Managerial Ownership, Accounting Choices and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 20, p. 61-91. Watts, Ross L. And Zimmerman, Jerold L. (1986). Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Wedari, Linda Kusumaning. (2004). Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Paper presented at Simposium Nasional Akuntansi 7, Denpasar. Xie, Biao, Wallace N Davidson III, and Peter J. Dadalt. (2003). Earnings Management and Corporate Governance: The Role of The Board and The Audit Committee. Journal of Corporate Finance 9: 295-316.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV01- 57
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN
Doddy Setiawan Universitas Sebelas Maret
Abstract
This research aims at examining the impact of corporate governance on the dividend policy. The authors use Transparency and Disclosure Index (TDI) as a proxy of corporate governance. There are two theories about the relation between corporate governance and dividend policy: outcome theory and substitution theory. Outcome theory argues the positive relation between corporate governance and dividend policy while substitution theory argues the negative relation between corporate governance and dividend policy. The samples of this research 248 firms from Indonesian Stock Exchange during 2004-2006. The authors find that TDI Indonesian firms are low, only 32% from the maximum scores. This score mean that Indonesian corporate governance still low. The results show that there is negative relation between corporate governance and dividend policy in Indonesia. Thus, the Indonesian companies pay more dividends when corporate governance practice is low.
Keywords: corporate governance, dividend policy, substitution theory
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
A. LATAR BELAKANG Penelitian ini membahas isu pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen. Mitton (2004) berargumen bahwa isu mengenai dividen merupakan hal yang penting bagi investor, terutama investor yang berada di negara yang lemah pelaksanaan corporate governance. Berdasarkan teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976), terjadi konflik antara pemilik dan manajemen karena mereka bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Di negara yang sedang berkembang atau di negara yang struktur perusahaannya terkonsentrasi pada pemegang saham utama, konflik agensi yang terjadi adalah antara pemiliki saham mayoritas dan pemilik saham minoritas (Claessens, Djankov, and Lang, 2000; La Porta et al, 2000; Tabalujan 2000, 2002; Nam and Nam, 2004). Pemilik saham mayoritas cenderung melakukan
tindakan
yang
menguntungkan
diri
sendiri,
namun
merugikan
kepentingan pemilik saham minoritas. Salah satu mekanisme untuk melindungi hak pemegang saham minoritas adalah dengan pelaksanaan mekanisme corporate governance yang memadai. La Porta et al (2000) menjelaskan keterkaitan antara teori agensi, keputusan dividen
dan corporate governance. La Porta et al (2000) dan Mitton (2004)
berargumen bahwa pemilik saham minoritas lebih menyukai pembagian dividen daripada menginvestasikan kembali laba yang diperoleh perusahaan. La Porta et al (2000) menyatakan ada dua teori yang menunjukkan hubungan antara tingkat pelaksanaan corporate governance dan pembagian dividen: outcome dan substitusi. Teori outcome berargumen bahwa pelaksanaan corporate governance yang baik akan berimbas pada kesejahteraan bagi pemegang saham. Semakin baik pelaksanaan corporate governance maka semakin tinggi kesejahteraan pemilik saham. Ada hubungan positif antara pelaksanaan corporate governance dan kesejahteraan pemilik saham. Penelitian yang dilakukan oleh La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) mengkonfirmasi teori outcome. Sedangkan teori substitusi menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki praktik corporate governance yang buruk akan berusaha memperbaiki citranya dengan memberikan dividen kepada pemegang saham. Ada hubungan negative antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Penelitian Jiraporn dan Ning (2006) dan Reneboog dan Szilagzy (2007) mengkonfirmasi teori substitusi. Penelitian mengenai kebijakan dividen dan corporate governance di Indonesia menarik untuk dilakukan, karena Indonesia saat ini sangat gencar untuk menerapkan prinsip good corporate governance di tingkat perusahaan. Hal ini dilakukan karena salah satu penyebab terjadinya krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997 adalah lemahnya corporate governance (Capulong et al., 2001; Simandjuntak, 2001, Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2004; Nam and Nam, 2004), sehingga pemerintah berusaha meningkatkan kualitas pelaksanaan corporate governance. Akan tetapi, Tabalujan (2000, 2002) dan Setiawan (2006) menunjukkan bahwa peraturan tentang corporate governance di Indonesia masih banyak kelemahannya. Oleh karena itu penelitian ini menguji pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia. Bagaimanakah hubungan antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen di Indonesia? Apakah ada berhubungan positif atau negative? Dengan kata lain, apakah teori outcome atau teori substitusi yang berlaku di Indonesia? Penelitian mengenai corporate governance di Indonesia sudah banyak dilakukan, misalnya: Midiastuty dan Machfoedz (2003), Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004), dan Wilopo (2004), Boediono (2005), Veronica dan Utama (2005), Sugiarta (2004) dan Nasution dan Setiawan (2007). Penelitian mereka membahas tentang peran corporate governance dalam rangka mengurangi earnings management di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati et al (2005) menguji pengaruh corporate governace terhadap kinerja perusahaan. Penelitian yang menguji corporate governance terhadap kebijakan dividen di Indonesia masih jarang dilakukan. Mahadwartha (2003)
menguji kebijakan dividen terhadap
kepemilikan manajerial pada tahun selanjuntya. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial. Semakin rendah dividen yang dibayarkan, semakin tinggi kepemilikan manajerial pada tahun selanjutnya. Dengan demikian Mahadwartha (2003) mengkonfirmasi teori substitusi berlaku di Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan Mahadwartha (2003) dalam beberapa hal. Yang utama, penelitian ini menggunakan pengukuran corporate governance
yang
berbeda
dengan
Mahadwartha
Bridging the Gap between Theory and Practice
(2003).
Penelitian
ini
GOV02- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menggunakan Transparency and Disclosure Index (TDI) yang diadopsi dari Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007). TDI merefleksikan praktik corporate governance di suatu perusahaan. TDI terdiri dari 3 subindex: (1) struktur dan prosedur dewan komisaris, (2) pengungkapan, (3) pemegang saham. Pemisahan komponen TDI kedalam 3 subindex ini akan lebih memperdalam pembahasan tentang komponen corporate governance. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menggunakan TDI sebagai proksi mekanisme corporate governance, sehingga diharapkan akan memberikan wawasan yang lebih banyak dalam mengukur corporate governance. Perbedaan berikutnya, penelitian ini menggunakan periode penelitian tahun 2004 – 2006, di mana corporate governance sedang gencar-gencarnya diterapkan di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini akan menggunakan lingkungan yang lebih tepat dalam menguji dampak corporate governance dibandingkan Mahadwartha (2003). Selain itu, periode penelitian ini adalah periode setelah krisis moneter, sedangkan penelitian Mahadwartha (2003) pada periode sebelum dan selama krisis moneter, sehingga penelitian ini akan menunjukkan pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen pada periode setelah krisis moneter.
Penelitian ini juga akan menggunakan variabel
ukuran perusahaan, pertumbuhan, dan profitabilitas. Penelitian yang dilakukan oleh Mitton (2004), Denis dan Osobov (2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn dan Ning (2006) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
positif
terhadap
kebijaksanaan
dividen.
Sedangkan
penelitian
mengenai pertumbuhan, menunjukkan bahwa pertumbuhan berpengaruh negatif terhadap dividen (Mitton, 2004, Denis dan Osobov, 2007, dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera, 2007, serta Jiraporn dan Ning, 2006). Sedangkan profitabilitas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap kebijakan dividen Mitton (2004), Denis dan Osobov (2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn dan Ning (2006).
B. TELAAH PENELITIAN TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS B.1. Pengaruh Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen Penelitian mengenai corporate governance memang akhir-akhir ini banyak dilakukan mengingat pentingnya pengelolaan perusahaan yang baik, khususnya
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 perusahaan publik karena berdampak pada keunggulan kompetitif perusahaan di mata masyarakat.
Kepercayaan investor terhadap perusahaan publik akan
tercermin pada kinerja dan laporan keuangan yang dipublikasikan. Kecenderungan manajamen yang mempunyai kepentingan terhadap penilaian kinerja (earning management)membuat masyarakat menjadi meragukan informasi laba yang dipublikasikan perusahaan. Oleh karena itu, menganggapi perlunya good corporate governance, maka perusahaan perlu memiliki pihak yang independen sehingga bisa mengawasi pengelolaan perusahaan. Pemerintah sebagai badan regulator pun turut menyikapi hal ini dengan mengeluarkan peraturan pemerintah melalui Bapepam dan BEJ.
Pemerintah
mengeluarkan peraturan berkaitan dengan kewajiban perusahaan memiliki dan mengangkat dewan komisaris dan komite audit. Melalui Kep-45/PM/2004, maka Bapepam memberikan aturan mengenai syarat dan tugas dewan komisaris (board of director).
Dewan komisaris secara umum bertugas dan bertanggung jawab
terhadap pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan diri para manajer dalam pengelolaan laba (earning management) sehingga berdampak pada kepercayaan investor. Penelitian mengenai pengaruh struktur dewan komisaris terhadap nilai perusahaan telah banyak dilakukan di luar negeri. Prevost, Rao dan Hossain (2002) menguji efektifitas komisaris independen di Selandia Baru. Sampel penelitian terdiri dari 284 pengamatan selama periode 1992-1995. Peneliti menggunakan metode survey untuk mengetahui komposisi dewan komisaris, mekanisme corporate governance dan laporan keuangan perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen merupakan perangkat yang efektif dalam mengatasi agency problem antara manajer dan investor. Komisaris independen berhubungan positif dengan profitabilitas perusahaan. Hossain, Prevost dan Rao (2001) menguji dampak
penerapan
peraturan
yang
mensyaratkan
pelaksanaan
corporate
governance di Selandia Baru yang dikeluarkan pada tahun 1993 terhadap hubungan antara komisaris independen dan kinerja perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa komisaris independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan tobin q.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Vafeas (1999) menguji mekanisme dewan komisaris dalam menghadapi kondisi perusahaan yang mengalami penurunan. Hasilnya menunjukkan dewan komisaris akan bertemu lebih sering jika perusahaan sedang mengalami penurunan kinerja. Pada tahun berikutnya setelah dewan komisaris sering bertemu, ternyata ada peningkatan kinerja perusahaan. Dewan komisaris ternyata efektif dalam mengawasi kinerja perusahaan. Penelitian mengenai efektifitas corporate governance di Indonesia juga telah banyak dilakukan. Nasution dan Setiawan (2007) menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik earnings management di perusahaan perbankan di Indonesia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh positif, artinya semakin baik praktik corporate governance maka semakin berkurang praktik earnings management perusahaan perbankan. Mekanisme corporate governance mampu melindungi kepentingan investor. Salah satu hak investor yang menanamkan modalnya terhadap perusahaan adalah menerima dividen. Teori agency yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaan, manajemen cenderung akan mementingkan diri mereka sendiri. Tindakan ini akan merugikan pemilik saham. Ada konflik kepentingan antara pemilik dan manajemen. Akan tetapi di Asia atau negara yang mempunyai struktur kepemilikan perusahaan yang terkonsentrasi, suatu perusahaan biasanya dikuasai oleh pemegang saham mayoritas yang biasanya adalah perusahaan keluarga, maka konflik kepentingan yang terjadi adalah konflik antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan strategis seperti: penunjukan CEO, penunjukan anggota dewan direksi dan dewan komisaris. Tindakan yang diambil oleh pemegang saham mayoritas cenderung akan mengeksploitasi kepentingan pemegang saham minoritas. Atau dengan kata lain, pemegang saham mayoritas mengambil tindakan yang menguntungkan mereka tetapi merugikan kepentingan pemegang saham minoritas (disebut dengan ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas). Untuk melindungi hak-hak pemegang saham minoritas, misalnya: dividen, peran mekanisme corporate governance sangat penting. Penelitian yang dilakukan oleh
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Kumar (2003) dan Carvalhal-da-silva dan Leal (2007) menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Pemegang saham minoritas lebih menyukai pembagian dividen daripada menginvestasikan kembali laba kedalam perusahaan. Dengan pembagian dividen berarti mereka akan memperoleh haknya. Dalam konteks ini, banyak penelitian yang dilakukan tentang hubungan antara corporate governance dan kebijakan dividen. Ada dua teori yang dikembangkan oleh La Porta et al. (2000) terkait dengan hubungan antara corporate governance dan kebijakan dividen: Teori Outcome dan Teori Substitusi. Teori outcome menyatakan bahwa mekanisme corporate governance yang baik akan memberikan perlindungan yang baik kepada investor, perusahaan yang mempunyai mekanisme corporate governance yang baik akan memberikan dividen kepada pemegang saham. Praktik corporate governance berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sedangkan teori substitusi menyatakan bahwa perusahaan yang mekanisme corporate governance-nya buruk akan memberikan dividen kepada investor. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan citra perusahaan. Dengan kata lain ada hubungan negative antara mekanisme corporate governance dan kebijakan dividen menurut teori substitusi. Penelitian yang dilakukan untuk menguji kedua teori tersebut dalam aplikasi tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Penelitian yang dilakukan oleh Gugler (2003), Mahadwartha (2003), Jiraporn dan Ning (2006),
Gugler dan Yurtoglu
(2007), Knyazeva (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007) menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai praktik corporate governance tidak bagus akan memberikan dividen yang lebih kepada investor. Mereka berharap tindakan ini akan memberikan insentif bagi investor untuk terus berinvestasi pada mereka. Dengan kata lain, corporate governance berpengaruh negative terhadap kebijakan dividen perusahaan. Mahadwartha (2003) menguji aplikasi teori agensi dalam konteks hubungan kepemilikan manajerial dan kebijakan dividen. Dia menguji dampak kebijakan dividen tahun ini terhadap kepemilikan manajerial tahun berikutnya. Sampel penelitian adalah perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia pada periode 1993-2001, sebanyak 80 perusahaan. Variabel independen adalah dividen yield: dividen dibagi dengan harga pasar saham. Hasilnya menunjukkan dividen yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 rendah akan meningkatkan probabilitas kepemilikan manajerial pada tahun selanjutnya. Hal ini menunjukkan hubungan substitusi, atau dengan kata lain Mahadwartha (2003) mengkonfirmasi teori substitusi, antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial. Gugler (2003) menguji pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen di Austria. Dia menguji dampak kepemilikan perusahaan, apakah perusahaan
milik
negara
atau
perusahaan
keluarga.
Sampel
perusahaan
merupakan perusahaan non financial pada periode 1991-1999. Salah satu karakteristik penting perekonomian Austria adalah kepemilikan perusahaan yang sangat terkonsentrasi, seperti halnya perusahaan di Asia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan milik negara cenderung melakukan tindakan perataan dividen, sedangkan perusahaan keluarga tidak. Akan tetapi, pembayaran dividen sangat rendah terutama perusahaan yang dimiliki oleh keluarga. Dengan kata lain pemilik saham minoritas di Austria membutuhkan perlindungan yang lebih baik untuk mempertahankan hak mereka. Gugler dan Yurtoglu (2007) menguji dampak corporate governance terhadap kebijakan dividen di Jerman selama periode 1992-1998. Mereka fokus pada konflik yang terjadi pemilik saham mayoritas dan pemilik saham minoritas di Jerman. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pemilik saham mayoritas melakukan ekspropriasi terhadap pemilik saham minoritas. Mereka mengharapkan peningkatan perlindungan terhadap perlindungan hak-hak pemilik saham minoritas dan peningkatan transparansi. Jiraporn dan Ning (2006) menguji dampak corporate governance, yang diproksikan dengan hak pemegang saham, terhadap kebijakan dividen di USA. Sampel penelitiannya adalah 1500 perusahaandi NYSE, NASDAQ dan AMEX. Hasil penelitian mereka menunjukkan hubungan negative antara hak pemegang saham dan
kebijakan dividen. Semakin kuat tekanan terhadap hak pemegang saham
semakin banyak dividen yang diberikan kepada mereka. Hasil ini mengkonfirmasi teori substitusi yang diajukan oleh La Porta et al. (2000). Knyazeva (2007) menguji pengaruh corporate governance terhadap perilaku pembayaran dividen. Dia membuktikan bahwa semakin buruk praktik corporate governance maka semakin besar tekanan dari pemilik saham untuk meminta hak
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 dividen mereka. Perusahaan yang mempunyai skor corporate governance yang rendah cenderung akan meningkatkan pembayaran dividen mereka. Knyazeva (2007) mengkonfirmasi teori substitusi. Reneboog dan Szilagyi (2007) menguji kebijakan dividen di negara yang mempunyai perlindungan yang buruk terhadap pemilik saham. Mereka melakukan penelitian di Belanda, yang mempunyai aturan lemah terhadap. perlindungan hak pemilik saham. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dividen di Belanda secara umum adalah rendah dan tidak responsive terhadap perubahan laba. Di lain pihak, ada beberapa peneliti yang membuktikan teori outcome .Penelitian yang dilakukan oleh La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh positif terhadap dividend payout. La Porta et al. (2000) dan Mitton (2004) melakukan pengujian di berbagai negara, di mana La Porta et al. (2000) menguji negara maju dan negara berkembang, sedangkan Mitton (2004) fokus pada negara berkembang, menunjukkan semakin baik praktik corporate governance maka semakin tinggi dividen yang dibayarkan kepada investor. Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) menguji dampak corporate governance terhadap kebijakan dividen di Polandia. Mereka menguji kebijakan dividen perusahaan manufaktur di Warsawa Stock Exchange selama periode 1998 sampai dengan
2004.
Hasilnya
menunjukkan
bahwa
peningkatan
nilai
corporate
governance, yang diproksikan dengan TDI, memberikan konsekuensi peningkatan pada nilai rasio dividen terhadap arus kas. Dengan kata lain, praktik corporate governance yang baik akan melindungi kepentingan pemilik saham. Regulasi yang diterapkan oleh BAPEPAM dan BEJ bertujuan meningkatkan praktik corporate governance. Yang pada gilirannya akan melindungi kepentingan pemilik saham. Penelitian La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) menunjukkan pengaruh positif corporate governance terhadap dividen. Berdasarkan telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis pertama yang diajukan adalah: H1
: Corporate governance berpengaruh terhadap dividen.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 B.2. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen Penelitian yang dilakukan oleh Denis dan Osobov (2007) menunjukkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Sampel yang diambil oleh Denis dan Osobov (2007) adalah perusahaan yang berasal dari 6 negara maju: USA, Canada, Jepang, Inggris, Perancis, dan Jerman pada periode 1989-2002. Hasil mereka menunjukkan perusahaan besar cenderung memberikan dividen yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang berskala kecil. Denis dan Osobov (2007) berargumen bahwa ukuran perusahaan merupakan proksi life cycle theory. Semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin matang perusahaan tersebut. Perusahaan yang berada di tahap awal pertumbuhan cenderung akan mengalokasikan
labanya
ke
dalam
perusahaan
sendiri,
untuk
menunjang
pertumbuhannya. Sedangkan perusahaan yang telah matang akan cenderung memilih membayarkan dividen daripada menginvestasikan labanya kembali. Hasil Denis dan Osobov (2007) sesuai dengan penelitian oleh Mitton (2007) yang menggunakan sampel perusahaan dari negara berkembang. Sampel penelitian berasal dari 365 perusahaan di 19 negara berkembang. Ukuran perusahaan
berpengaruh
positif
terhadap
dividen.
Semakin
besar
ukuran
perusahaan semakin tinggi dividen yang dibagikan. Penelitian Denis dan Osobov (2007) dan Mitton (2004) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap dividen di negara maju dan berkembang. Penelitian yang dilakukan spesifik pada suatu negara juga menunjukkan hasil yang konsisten. Jiraporn dan Ning (2006) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan di Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap dividen. Carvalhal-da-silva dan Leal (2007) juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap dividen di Brasil. Mereka memilah sampel mereka berdasarkan struktur kepemilikan, dan menunjukkan bahwa pengujian ukuran perusahaan terhadap dividen pada satu kepemilikan saham mayoritas, 3 pemilik saham minoritas, dan 5 pemilik saham mayoritas tetap menunjukkan hasil yang konsisten. Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap dividen di negara yang sedang mengalami transisi ekonomi, seperti Polandia. Renneboog dan Scilazyi (2007) mengkonfirmasi pengaruh
positif
ukuran
perusahaan
terhadap
Bridging the Gap between Theory and Practice
kebijakan
dividen
dengan
GOV02- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menggunakan sampel perusahaan Belanda. Penelitian yang dilakukan Gugler (2003) terhadap perusahaan Austria dan Gugler dan Yurtoglu (2007) terhadap perusahaan Jerman juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan telaah litaratur yang telah dilakukan, maka hipotesis kedua adalah: H2
: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan.
B.3. Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen Pengujian pengaruh profitabilitas terhadap dividen juga menunjukkan hasil yang konsisten pada berbagai kondisi, baik dengan menggunakan sampel yang berasal dari lintas negara (Mitton, 2004; Denis dan Osobov, 2007) dan pada satu negara (Jiraporn dan Ning, 2006; Carvalhal-da-silva dan Leal, 2007; Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera, 2007; Renneboog dan Scilazyi, 2007; Gugler, 2003; Gugler dan Yurtoglu, 2007), yaitu profitabilitas berpengaruh positif terhadap dividen. Perusahaan yang memperoleh laba tinggi akan membayar dividen lebih banyak, sedangkan perusahaan yang memperoleh laba rendah akan membayar dividen lebih sedikit. Berdasarkan telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis yang ketiga adalah: H3
: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap dividen.
B.4. Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadak Kebijakan Dividen Perusahaan
yang
mempunyai
pertumbuhan
tinggi
cenderung
akan
menginvestasikan kembalinya ke dalam perusahaan. Semakin tinggi tinggi tingkat pertumbuhannya, maka semakin tinggi kebutuhan dana untuk investasi. Dengan demikian perusahaan akan menggunakan laba yang diperoleh untuk membiayai investasinya, daripada membagikan dividen. Gugler (2003) secara jelas menyatakan perusahaan di Austria, terutama perusahaan keluarga, memilih untuk menahan laba untuk
investasinya
daripada
membagikan
dividen.
Pengujian
pengaruh
pertumbuhan perusahaan terhadap dividen juga menunjukkan hasil yang konsisten pada berbagai kondisi, baik dengan menggunakan sampel yang berasal dari lintas negara (Mitton, 2004; Denis dan Osobov, 2007) dan pada satu negara (Jiraporn dan Ning, 2006; Carvalhal-da-silva dan Leal, 2007; Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera, 2007; Renneboog dan Scilazyi, 2007; Gugler, 2003; Gugler dan Yurtoglu, 2007),
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yaitu pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap dividen. Berdasarkan telaah literatur yang telah dilakukan, maka hipotesis keempat yang diajukan adalah: H4
: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negative terhadap dividen.
C. METODOLOGI PENELITIAN C.1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Data publikasi laporan keuangan perusahaan sampel. Data ini diperoleh dari Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id). Laporan keuangan yang dibutuhkan adalah laporan keuangan yang lengkap, mencakup pengungkapan yang lengkap. Bagian pengungkapan menjadi bagian yang vital karena penelitian ini menggunakan TDI untuk mengukur praktik corporate governance. 2. Data pengumuman laba 3. Data pengumuman dividen 4. Data harga saham di Bursa Efek Indonesia Pemilihan sampel menggunakan metode purposive, yaitu pemilihan sampel yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam penelitian ini.
Kriterianya
adalah perusahaan yang mengumumkan dividen periode 2004 – 2006.
C.2. Identifikasi dan Pengukuran Variabel Berikut ini akan dibahas identifikasi dan pengukuran variable penelitian. Pertama, dividen adalah dividen tunai yang dibayarkan oleh perusahaan. Pengukuran dividen dalam penelitian ini aka Dividend yield
=
menggunakan:
Dividen per lembar saham Harga perlembar saham
Corporate governance adalah praktik perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham. Praktik corporate governance yang baik diharapkan akan memberikan kesejahteraan yang lebih bagi pemegang saham. Dalam penelitian ini corporate governance diukur dengan menggunakan Transparency and Disclosure Index (TDI). TDI terdiri dari 3 subindex: (1)TDI-dewan, yang menggambarkan struktur dan prosedur
yang
berlaku
di
dewan
komisaris,
Bridging the Gap between Theory and Practice
(2)
TDI-disclosure,
yang
GOV02- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menggambarkan pengungkapan tentang hal-hal penting suatu perusahaan, dan (3) TDI-shareholders, yang menggambarkan kondisi pemegang saham di dalam perusahaan (item lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran). Apabila perusahaan melaporkan item corporate governance, maka akan diberi nilai 1. Sebaliknya jika tidak melaporkan maka akan diberi nilai 0. Sumber mengenai TDI akan ditelusur melalui laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, website perusahaan di internet dan menelusur berita terkait mengenai perusahaan tersebut di Harian Kompas. Kami memilih harian Kompas karena harian ini merupakan harian nasional yang mempunyai oplah besar. Variabel ketiga yang merupakan variable independent adalah ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan akan menggunakan total asset yang dimiliki oleh perusahaan. UKP = Total Aset Variabel keempat adalah profitabilitas menggambarkan kemapuan perusahaan untuk menghasilkan laba dibandingkan dengan asset yang dimilikinya. Profitabilitas diukur dengan Return on Assets (ROA) ROA =
Laba Total asset
Variabel
kelima
adalah
pertumbuhan
perusahaan
menggambarkan
tingkat
pertumbuhan perusahaan. Growth
=
(jumlah lembar saham beredar x harga penutupan saham)
Total ekuitas
C.3. Model Penelitian Dari hipotesis yang diajukan, maka model penelitian ini adalah sebagai berikut. Div Div
= a + b1CG + b2UKP + b3ROA + b4Growth + e……………… (1) = dividen yield
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 CG
= corporate governance (merupakan skor total Transparency and
Disclosure Index) UKP
= ukuran perusahaan (diukur dengan total asset)
ROA
= return on asset (merupakan profitabilitas perusahaan)
Growth
= pertumbuhan perusahaan (nilai pasar ekuitas/nilai buku ekuitas)
Model pertama menggambarkan dampak TDI secara menyeluruh. Untuk mengetahui dampak masing-masing subindex maka akan dilihat pada persamaan kedua berikut ini: Div
= a + b1TDI-Dewan + b2TDI disclosure + b3TDI-shareholders + b4UKP + b5 ROA + b6Growth + e……………… (2)
Div
= dividen yield
TDI-dewan
= merupakan skor Transparency and Disclosure Index untuk struktur
dan prosedur yang terjadi di Dewan Komisaris TDI-disclosure = merupakan skor TDI untuk pengungkapan di laporan keuangan TDI
= merupakan skor TDI untuk kepemilikan
UKP
= ukuran perusahaan (diukur dengan total asset)
ROA
= return on asset (merupakan profitabilitas perusahaan)
Growth
= pertumbuhan perusahaan (nilai pasar ekuitas/nilai buku ekuitas)
D. ANALISIS HASIL PENELITIAN D.1. STATISTIK DESKRIPTIF Bagian ini akan membahas data statistik deskiptif penelitian ini. TABEL 1 DI SINI Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yang telah ditetapkan, jumlah sampel untuk penelitian ini adalah 248 perusahaan. Jumlah sampel penelitian ini berasal dari 74, 111 dan 63 perusahaan yang mengumumkan dividen pada tahun 2004, 2005 dan 2006. Sedangkan untuk data statistik deskriptif penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut. TABEL 2 DI SINI
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat kualitas pelaksanaan corporate governance di Indonesia yang diukur dengan TDI Index. Nilai TDI Index perusahaan di Indonesia secara keseluruhan adalah 10,48, sedangkan nilai maksimal adalah 32. Berarti hanya 32,75% item yang ada di daftar TDI yang dilaksanakan oleh perusahaan. Skor ini menunjukkan nilai yang rendah. Jadi, berdasarkan nilai TDI ini dapat dikatakan bahwa pelaksanaan corporate governance di Indonesia belum maksimal. Analisis per sub-index menunjukkan bahwa sub-index 1 menunjukkan skor 3,65, dari kemungkinan nilai maksimal 13, atau 27,08%. Sub-index menunjukkan struktur dan prosedur Dewan Komisaris. Sedangkan untuk sub-index 2 yang menunjukkan nilai pengungkapan di Laporan Kuangan menunjukkan skor 5,29, dari kemungkinan nilai maksimum 13, atau 40,69%. Nilai ini menunjukkan nilai yang masih rendah, tetapi jauh lebih baik dibandingkan sub index lainnya. Sedangkan sub-index terakhir adalah tentang pemegang saham memperoleh nilai 1,68, dari kemungkinan nilai maksimal 6, atau 28%. Data-data dari statistic deskriptif ini sejalan dengan temuan Tabalujan (2003) dan Setiawan (2006) yang menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan corporate governance di Indonesia.
D.2. HASIL UJI HIPOTESIS Bagian berikut ini akan membahas tentang uji statistic untuk menguji hipotesis penelitian ini. Bagian pertama membahas tentang pengujian secara keseluruhan sedangkan bagian kedua membahas tentang pengujian terhadap masing-masing sub-index. TABEL 3 DI SINI Dari table 3 dapat dilihat bahwa corporate governance berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai mekanisme
corporate
governance
rendah
akan
meningkatkan
pembagian
dividennya. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki citra perusahaan. Hasil ini mengkonfirmasi teori substitusi, yang menyatakan adanya hubungan negative antara corporate governance dan kebijakan dividen. Dengan demikian penelitian ini sejalan dengan temuan Mahadwartha (2003) yang juga membuktikan bahwa teori subtitusi yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga mengkonfirmasi penelitian Gugler (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan Yurtoglu (2007), Knyazeva
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa corporate governance di Indonesia masih rendah, sehingga perusahaan di Indonesia cenderung untuk mengambil hati investor dengan cara meningkatkan nilai dividen mereka. Variabel lainnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen, sedangkan tingkat profitabilitas dan pertumbuhan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi profit yang diperoleh perusahaan, maka semakin tinggi dividen yang akan diberikan. Hasil ini mengkonfirmasi penelitian sebelumnya, yaitu: Mitton (2004), Denis dan Osobov (2007), dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007), serta Jiraporn dan Ning (2006). Akan tetapi variable pertumbuhan menunjukkan hasil yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini mmenunjukkan semakin tinggi tingkat pertumbuhan perusahaan mereka justru semakin berani untuk memberikan nilai dividen yang lebih tinggi (Mitton, 2004, Denis dan Osobov, 2007, dan Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera, 2007, serta Jiraporn dan Ning, 2006). Akan tetapi hasil penelitian ini tidak sejalan dengan La Porta et al (2000), Mitton (2004), Kowalewski, Stetsyuk, dan Talavera (2007) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif antara pelaksanaan corporate governance dan kebijakan dividen Bagian berikut akan membahas tentang pengujian kedua, yaitu: pengujian masing-masing sub-index terhadap kebijakan dividen. TABEL 4 DI SINI
Berdasarkan table 4 dapat dilihat bahwa sub-index 1 yang menggambarkan tentang struktur dan prosedur Dewan Komisaris berpengaruh negative terhadap kebijakan dividen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur dan prosedur Dewan yang tidak terlalu bagus berhubungan negated dengan semakin tingginya dividen yang diterima oleh investor. Begitu juga sub-index kedua yaitu pengungkapan berpengaruh negative terhadap kebijakan dividen. Sedangkan sub-index ketiga tentang shareholders tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Hasil ini menunjukkan bahwa teori substitusi yang berlaku di Indonesia terutama disebabkan oleh: (1) lemahnya struktur dan prosedur Dewan Komisaris dan (2) pengungkapan di Laporan Keuangan, sehingga perusahaan berusaha meningkatkan dividen dalam rangka
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 memperbaiki citra mereka. Pengujian terhadap variable lainnya: ukuran perusahaan, profitabilitas dan pertumbuhan menunjukkan hasil yang sama dengan pengujian di table 3.
E. KESIMPULAN Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan corporate governance di Indonesia masih rendah yang ditunjukkan Perusahaan
di
Indonesia
cenderung
dengan skor TDI yang rendah.
untuk
mengkompensasikan
lemahnya
corporate governance dengan semakin tingginya tingkat dividen yang diberikan. Bukti ini menunjukkan bahwa teori substitusi yang terjadi di Indonesia, yaitu adanya hubungan negative antara corporate governance dan kebijakan dividen. Hasil penelitian
ini
sejalan
dengan
penelitian
Mahadwartha
(2003)
yang
juga
membuktikan bahwa teori subtitusi yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga mengkonfirmasi penelitian Gugler (2003), Jiraporn dan Ning (2006), Gugler dan Yurtoglu (2007), Knyazeva (2007), Reneboog dan Szylagyi (2007). Analisis terhadap masing-masing sub-index pada TDI menunjukkan bahwa lemahnya: (1) struktur dan prosedur Dewan dan (2) pengungkapan merupakan bagian yang berpengauh negative terhadap kebijakan dividen. Sedangkan sub index shareholder tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Pengujian terhadap variable lain menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen, sedangkan profitabilitas dan pertumbuhan berpengaruh postif terhadap kebijakan dividen. REFERENSI
Boediono, Gideon SB., 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005 Capulong, Ma. Virginita, David Edwards, David Webb and Juzhong Zhuang. (2001). Corporate Governance and Finance in East Asia: A Study of Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, Philippines, and Thailand Volume One (A Consolidated Report). Asian Development Bank: Manila.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Claessens, Stjin, Simeon Djankov, and Larry H.P. Lang. (2000). The Separation of Ownership and Control in East Asia Corporationss. Journal of Financial Economics, 58, 81-112. Denis, David J. dan Igor Osobov. 2007. Why do Firms Pay Dividends? International Evidence on the Determinants of Dividend Policy’. Available on-line at www.ssrn.com Forum Corporate Governance Indonesia. (2004). Review of Corporate Governance in Asia: Corporate Governance in Indonesia. Asian Development Bank Institute: Tokyo. Gugler, Klaus dan B.B.Yurtoglu. 2007. Corporate Governance and Dividend Payout Policy in Germany. Available on-line at www.ssrn.com Gugler, Klaus. 2003. Corporate Governance, Dividend Payout Policy, and the interrelation between dividends, R&D, and Capital Investment. Journal of Banking & Finance 27: 1297-1321. Hossain, Mahmud, Andrew K Prevost dan Ramesh P Rao. 2001. Corporate Governance in New Zealand: The Effect of the 1993 Companies Act on the Relation Between Board Composition and Firm Performance. Pacific-Basin Finance Journal 9:119-145. Jensen, MC dan WH Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior Agency Costs and Capital Structure. Journal of Financial Economics:305-360 Jiraporn, Pornsit dan Yixi Ning. 2006. Dividend Policy, Shareholder Right, and Corporate Governance. Available on-line at www.ssrn.com Khrisnamurti, Chandrasekhar, Aleksandar Sevic, Zeljko Sevic. (2004). Legal Environment, Firm-Level Corporate Governance and Expropriation of Minority Shareholder in Asia. www.ssrn.com Knyazeva, Anzhela. 2007. Delivering on the Dividend Promise: Corporate Governance, Managerial Incentives and Dynamic Dividend Behavior. Available on-line at http://pages.stern.nyu.edu Kowalewski, Oskar, Ivan Stetsuk, dan Oleksandr Talavera. 2007. Corporate Governance
and
Dividend
Policy
in
Poland.
Available
on-line
at
www.ssrn.com
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Kumar, Jayesh. 2003. Ownership Structure and Dividend Payout Policy in India. Available on-line at www.ssrn.com La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, and Robert Vishny. 2000. Investor Protection and Corporate Valuation. The Journal of Finance, 57, 3, 1147-1170. Mahadwartha, Putu Anom. 2003. Predictability Power of Dividend Policy and Leverage Policy to Managerial Policy in Indonesia: An Agency Theory Perspective. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia 18 (3): Midiastuty, Pratana P., dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 6 Surabaya tanggal 16-17 Oktober 2003 Mitton, Tod. 2004. Corporate Governance and Dividend Policy in Emerging Markets. Available on-line at www.ssrn.com Nam Sang-Woo and Il Chong Nam. 2004. Corporate Governance in Asia: Recent Evidence from Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand. Asian Development Bank Institute: Tokyo. Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. Pengaruh Corporate Governance terhadap Earnings Management di Industri Perbankan Indonesia. Artikel yang dipresentasikan di SNA X Makassar. Prevost, Andrew K, Ramesh P Rao dan Mahmud Hossain. 2002. Board Composition in New Zealand: An Agency Perspective. Journal of Business Finance & Accounting 29:731-760. Renneboog, Luc dan Peter G. Szilagyi. 2007. How Relevant is Dividend Policy under Low Shareholder Protection? Available on-line at www.ssrn.com Setiawan, Doddy. 2006. The Comparisons of Corporate Governance Practice in Indonesia, Malaysia, and Singapore. Unpublished Project Paper Asia-Europe Institute, University of Malaya. Suaryana, Agung. 2005. Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Sugiarta, I Putu. 2004. Earnings Management and Information Content of Audit Committee Announcement. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -3 Desember 2004 Tabalujan, Benny Simon, 2002. Family Capitalism and Corporate Governance of Family-controlled Listed Companies in Indonesia. University of New South Wales Law Journal, 25, 2. Tabalujan, Benny Simon. 2000. Why Indonesian Corporate Governance Failed – Conjectures Concerning Legal Culture. Columbia Journal of Asia Law, 29, 2, 141-171. Vafeas, Nikos. 1999. Board Meeting Frequency and Firm Performance. Journal of Financial Economics 53:113-142. Veronica, Silvia dan Yanivi S Bachtiar. 2004. Good Corporate Governance Information
Asymetry
and
Earnings
Management.
Artikel
yang
Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 3 Desember 2004 Veronica, Sylvia, dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran
Perusahaan,
dan
Praktek
Corporate
Governance
terhadap
Pengelolaan Laba (Earnings Management). Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005 Wedari, Linda Kusumaning. 2004. Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 3 Desember 2004 Wilopo. 2004. The Analysis of Relationship of Independent Board of Directors, Audit Committee, Corporate Performance, and Discretionary Accruals. Ventura Volume 7 No. 1 April: 73-83 Yermack, D., 1996. Higher Market Valuation of Companies with Small Board of Directors. Journal of Financial Economics 40, 185-211.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 TRANSPARENCY AND DISCLOSURE INDEX (TDI) A. Struktur dan prosedur Dewan Komisaris (TDI-Dewan) 1. Kriteria Independensi anggota Dewan Komisaris 2. Waktu yang telah dijalani anggota dewan komisaris sebagai bagian dari Dewan Komisaris 3. Code of Conduct untuk anggota Dewan Komisaris 4. Gaji Manajer dan Anggota Dewan Komisaris 5. Bentuk pembayaran gaji manajer dan anggota dewan komisaris (apakah kas, saham, atau opsi saham) 6. Alasan rasional terhadap nilai gaji manajer dan anggota dewan komisaris 7. Informasi apakah gaji manajer dan anggota dewan komisaris berdasarkan kinerja mereka 8. Jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajer dan anggota dewan komisaris 9. Jumlah dan persentase Komisaris Independen 10. Detail tentang pengangkatan anggota komisaris baru 11. Laporan mengenai anggota dewan komisaris yang tidak diangkat lagi 12. Komposisi komite lainnya (dalam hal ini adalah komite audit) 13. Detail tentang aktivitas komite audit
B. Disclosure (TDI-Disclosure) 1. Biografi tentang pejabat penting di perusahaan 2. Biografi Anggoat Dewan Komsiaris 3. Kalender mengenai peristiwa di masa dating 4. Website perusahaan yang menggunakan bahasa inggris 5. Indikator keuangan untuk 5 tahun ke belakang 6. Rencana strategis dan proyeksi untuk tahun depan 7. Publikasi tentang resolusi dari pertemuan anggota dewan komisaris 8. Publikasi hasil RUPS 9. Detail tentang pengangkatan anggota dewan komisaris yang baru
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 10. Detail tentang kehadiran pemegang saham minoritas dan pemegang saham mayoritas pada pertemuan RUPS 11. Laporan tentang pemegagn saham yang keluar 12. Lamanya penggunaan auditor eksternal 13. Laporan Auditor Eksternal
C. Pemegang Saham (TDI-shareholders) 1. Detail tentang kepemilikan perusahaan 2. Tipe dan jumlah saham yang beredar 3. Dokumen mengenai standar iinternal corporate governance 4. Kebijakan dividen selama 5 tahun terakhir 5. Proyeksi kebijakan dividen untuk tahun depan 6. Alasan rasional tentang kebijakan dividen di masa lalu dan masa datang
Tabel 1 Pemilihan Sampel Keterangan
2004
2005
322
330
(149)
(164)
Jumlah perusahaan yang mengumumkan dividen
173
166
158
Jumlah perusahaan dengan data tidak lengkap
(99)
(55)
(95) (249)
74
111
Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI Jumlah perusahaan yang tidak mengumumkan dividen
Jumlah perusahaan yang menjadi sampel
2006 339
Total 991
(181) (494)
63
497
248
Tabel 2 Statistic Deskriptif Keterangan Kisaran
CG
Teoritis
Minimum
Maximum
Mean
0 - 32
1,00
19,00
10,4758
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Keterangan Kisaran Teoritis
Minimum
Maximum
Mean
CG1
0 - 13
0,00
9,00
3,6452
CG2
0 - 13
1,00
8,00
5,2903
CG3
0-6
0,00
5,00
1,6774
N = 248
Tabel 3 Hasil Uji Statistik Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen Variabel
Koefisien
thitung
Signifikansi
CG
-1,243
-3,131
0,002*
UKP
0,010
0,156
0,876
ROA
0,679
12,084
0,000*
G
0,249
5,733
0,000*
* = signifikan 1%
Tabel 3 Hasil Uji Statistik Sub-index Corporate Governance terhadap Kebijakan Dividen Variabel
Koefisien
thitung
CG1
-0,554
-1,797
0,074***
CG2
-1,116
-2,244
0,026**
CG3
-0,462
-1,537
0,126
UKP
0,073
1,084
0,280
ROA
0,656
11,169
0,000*
G
0,251
5,689
0,000*
*, **, ***
Signifikansi
= signifikan 1%, 5%, 10%
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV02- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
INVESTOR PROTECTION, REAL ACTIVITY MANIPULATION AND ACCRUAL MANIPULATION: ASIAN COMPARISON
Ratna Candra Sari Ph.D Student Gadjah Mada University Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
This paper examines systematic differences in earnings management through real activity manipulation and accrual manipulation across 5 Asia countries. We predict that in economies with high investor protection, manager prefer to manage earnings through real activity manipulation rather than through accrual manipulation. Because accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Our findings are consistent with our prediction. Despite being in economies with high investor protection, manager still have bigger discretion in managing earnings through real activities rather than accrual manipulation.
Keyword: earnings management, real activity manipulation, investor protection
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
INTRODUCTION Legal systems protect investors by conferring on them rights to discipline insiders (e.g., to replace managers), as well as by enforcing contracts designed to limit insiders’ private control benefits (e.g., La Porta et al., 1998; Nenova, 2000; Claessens et al., 2002; Dyck and Zingales, 2002).2 As a result, legal systems that effectively protect outside investors reduce insiders’ need to conceal their activities. Investor protection as a key institutional factor affecting corporate policy choices (see Shleifer and Vishny, 1997; La Porta et al., 2000), we focus on investor protection as a significant determinant of earnings management activity. Leuz (2003) find: earnings management is more pervasive in countries where the legal protection of outside investors is weak, because in these countries insiders enjoy greater private control benefits and hence have stronger incentives to manipulate firm performance. Leuz measure earnings management with accrual manipulation, but beside manage earnings through accrual management, manager also can manage earnings through other method such as real activity manipulation and classification shifting. Accrual manipulation is more likely to draw auditor scrutiny than real decision. Thus, the purpose of this study is to investigate does investor protection reduce effectively earnings management through real activity manipulation and accrual manipulation. Roychowdhury (2006) find evidence that in US, suspect firms manipulating earnings through real activity. US is characterized by large stock markets, low ownership concentration, extensive outsider rights, high disclosure, and strong legal enforcement. Roychowdhury find evidence suggesting price discounts to temporarily increase sales, overproduction to report lower cost of goods sold, and reduction of discretionary expenditures to improve reported margins. This is contrary to Leuz finding that country with strong legal protection, manager less aggressive to manage earnings through accrual manipulation.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 The manipulation of real activity potentially reduces firm value. Real activities manipulation can reduce firm value because actions taken in the current period to increase earnings can have a negative effect on cash flows in future periods. For example, aggressive price discounts to increase sales volumes and meet some short-term earnings target can lead customers to expect such discounts in future periods as well. This can imply lower margins on future sales. Overproduction generates excess inventories that have to be sold in subsequent periods and imposes greater inventory holding costs on the company. And based on Roychowdhury study, there is evidence that manager manipulating real activity in strong investor protection country. According to surveys conducted by Bruns and Merchant (1990) and Graham et al. (2005), financial executives indicate a greater willingness to manipulate earnings through real activities rather than accruals. There are at least two possible reasons for this. First, accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Second, relying on accrual manipulation alone entails a risk. The realized year-end shortfall between unmanipulated earnings and the desired threshold can exceed the amount by which it is possible to manipulate accruals. If that happens, and reported income fall below the threshold, real activities cannot be manipulated at year-end. So, we argued that in country with high investor protection, manager don’t have discretionary to manage earnings through accrual manipulation because accrual manipulation is more easily to detect, they prefer to manage earnings through real activities. This study focus on Asia countries to make contributing to the future of our society and Asia by expanding its range of the responsibilities through legal enforcement and investor protection in order to enhance economic development, mutual understanding and cooperation in Asia. The East Asian countries of Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea and Japan provide a useful setting for testing the importance of investor protection. These countries have accounting standards that are generally viewed as high-quality, but they have institutional structures that Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 give preparers incentives to issue low-quality financial reports. Reporting quality of earnings ultimately is determined by the underlying economic and political factors influencing managers’ and auditors’ incentives, and not by accounting standards per se. Shareholder litigation is an important mechanism to enforce high quality financial reporting—particularly timely loss recognition—in common-law countries. The Asian countries experience comparatively little litigation. Saudagaran and Diga (2000) report that there have been no cases of judicial actions against auditors in Malaysia and Thailand. While there have been lawsuits against auditors in Singapore and Hong Kong, they are less frequent than in common-law countries (Choi et al., 1999). While prior research has provided evidence on managers’ incentives to manage earnings through accrual manipulation but there is relatively little evidence on incentive to manage earnings through real activity manipulation. Actually manager have flexibility to manage earnings with accrual manipulation, real activities manipulation or classification shifting. Earnings management through accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. So this paper attempts to provide evidence does investor protection prevent effectively from earnings management activity through accrual manipulation and real activity manipulation. We believe these study is useful to enhance our understanding about effectiveness of
legal enforcement in protect outsider (minority) investor
when
manager have flexibility to choose earnings management method.
HYPOTHESIS Earnings management can be defined as non-neutral financial reporting in which managers intervene intentionally in the financial reporting process to produce some private gain (Schipper 1989). Managers can intervene by modifying how they interpret financial accounting standards and accounting data, or by timing or structuring transactions (Healy and Wahlen 1999).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Prior accounting research has documented three main methods of earnings management. The most commonly studied method is accrual management (e.g., Healy 1985; Jones 1991; McNichols and Wilson 1988; Rangan 1998; Teoh et al. 1998; Phillips et al. 2003). Essentially, a manager can borrow earnings from future periods, through the acceleration of revenues or deceleration of expenses, in order to improve current earnings. In addition to the cost of detection, this method of earnings management bears a one-to-one cost of earnings reduction in the future; future-period earnings will be mechanically lower by the net income that was accelerated to current earnings.A second type of earnings management can occur through the manipulation of real activities, such as providing price discounts to increase sales and cutting discretionary expenditures, such as R&D, to manage earnings (e.g., Baber et al. 1991; Dechow and Sloan 1991; Bushee 1998). Such actions can increase revenues or net income, but they are also costly. For example, cutting R&D spending to manage earnings may result in the loss of future income related to the forgone R&D opportunities. On the other hand, because the manipulation of real activities is not a GAAP violation, this earnings management tool is expected to have a lower cost of detection than accrual management. Third potential earnings management tool is the misclassification of items within the income statement (classification shifting). We focus on accrual manipulation and real activities because in study comparison accros countries, earnings management through classification shifting can be detected if these countries use the same standard because classification shifting need identification of special item in income statement. Real activities manipulation as departures from normal operational practices, motivated by managers’ desire to mislead at least some stakeholders into believing certain financial reporting goals have been met in the normal course of operations. These departures do not necessarily contribute to firm value even though they enable managers to meet reporting goals. Certain real activities manipulation methods, such as price discounts and reduction of discretionary expenditures, are Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 possibly optimal actions in certain economic circumstances. However, if managers engage in these activities more extensively than is normal given their economic circumstances, with the objective of meeting/beating an earnings target, they are engaging in real activities manipulation (Roychowdhury, 2006). A number of studies discuss the possibility that managerial intervention in the reporting financial statement process can occur not only via accounting estimates and methods, but also through operational decisions. Manipulation by management through real activities is less likely to draw auditor or regulator scrutiny. In contrast accrual manipulation is more easily to detect. Leuz (2003) find that earnings management through accrual manipulation is less pervasive in countries where the legal protection of outside investors is strong, because in these countries legal system protect investor by conferring on them right to discipline insider. There is evidence that manager in US suspect firms manipulating earnings through real activity (Roychowdhury, 2006). US is characterized by large stock markets, low ownership concentration, extensive outsider rights, high disclosure, and strong legal enforcement. Leuz find that country with strong legal protection, manager less aggressive to manage earnings through accrual manipulation. Accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Dechow, Sloan dan Sweeney (1996) investigate SEC enforcement actions alleging earnings overstatement, they do not list any action being initiated because of pricing or production decision, or decisions on discretionary expenses. Manipulation by management through real activities is less likely to draw auditor or regulator scrutiny. So we argue that in strong legal enforcement economies, earnings management through accrual manipulation is less aggressive
than
in
weak
legal
enforcement
economies
because
accrual
manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. We propose hypothesis 1 as follow: H1: Earnings management through accrual manipulation is higher in economies with low investor protection rather than in economies with strong investor protection.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 In hypothesis 2 we argue that when legal enforcement strong, manager prefer to manage earnings through real activity manipulation because production and pricing decision is less likely to draw auditor or regulator scrutiny than accrual manipulation. To detect real activities manipulation we investigate patterns in CFO and production costs following Roychowdhury (2006). Sales manipulation as managers’ attempts to temporarily increase sales during the year by offering price discounts or more lenient credit terms. In general, sales management activities lead to lower current-period CFO. H2: Economies with high investor protection exhibit unusually cash flow from operation lower than in economies with weak investor protection. To manage earnings upward, managers of manufacturing firms can produce more goods than necessary to meet expected demand. With higher production levels, fixed overhead costs are spread over a larger number of units, lowering fixed costs per unit. As long as the reduction in fixed costs per unit is not offset by any increase in marginal cost per unit, total cost per unit declines. This implies that reported COGS is lower, and the firm reports better operating margins. Nevertheless, the firm incurs production and holding costs on the over-produced items that are not recovered in the same period through sales. As a result, cash flows from operations are lower than normal given sales levels. Ceteris paribus, the incremental marginal costs incurred in producing the additional inventories result in higher annual production costs relative to sales. H3: Economies with high investor protection exhibit unusually production cost higher than in economies with weak investor protection.
RESEARCH METHOD We use industrial firms in 5 Asia countries (Malaysia, Singapore, Indonesia, Korea and Japan). Data are obtained from in Osiris Database between 2005-2007. MEASUREMENT OF EARNINGS MANAGEMENT THROUGH REAL ACTIVITY MANIPULATION
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Real activities manipulation is departures from normal operational practices, motivated by managers’ desire to mislead at least some stakeholders into believing certain financial reporting goals have been met in the normal course of operations (Roychowdhury, 2006) These departures do not necessarily contribute to firm value even though they enable managers to meet reporting goals. Certain real activities manipulation methods, such as price discounts and reduction of discretionary expenditures, are possibly optimal actions in certain economic circumstances. However, if managers engage in these activities more extensively than is normal given their economic circumstances, with the objective of meeting/beating an earnings target, they are engaging in real activities manipulation. Following Roychowdhury (2006), normal cash flow from operations as a linear function of sales and change in sales in the current period. To estimate the model, We run the following cross-sectional regression for every industry and year: CFOt /At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + α2 (St/At-1) + α3 (ΔSt / A t-1) + εt where At is the total assets at the end of period t, St the sales during period t and ΔSt = St – St-1. For every firm-year, abnormal cash flow from operations is the actual CFO minus the ‘‘normal’’ CFO calculated using estimated coefficients from the corresponding industry year model and the firm-year’s sales and lagged assets. Abnormal level = Actual level – Normal Level. Production costs as PRODt = COGSt+ ΔINVt. Using (2) and (3),normal production costs from the following industry-year regression. PRODt /At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + α2 (ΔSt/At-1) + α3 (ΔSt / A t-1) + α4 (ΔSt-1 / A t-1) εt Discretionary expenses be expressed as a linear function of contemporaneous sales, similar to COGS.. The relevant regression would then be: MEASUREMENT ACCRUAL MANIPULATION Signed abnormal accruals are used rather than absolute (unsigned) abnormal accruals because signed abnormal accruals are a better measure of earnings quality than the absolute or unsigned value of abnormal accruals (Hribar and Nichols, 2006). A cross-sectional Jones (1991) model is not practical for the calculation of abnormal accruals with international data. The reason is that the number of industry Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 observations per country can be quite small, and this may explain, at least in part, why Jones-type abnormal accruals perform unreliably in international settings (Wysocki 2004; Meuwissen et al. 2005). We avoid this problem by using a linear expectation model adapted from DeFond and Park (2001) which uses a firm’s own prior year accruals in calculating the expectation benchmark. Specifically, expected accruals are based on a firm’s prior year ratio of current accruals to sales, and the prior year’s ratio of deprecation expense to gross property plant and equipment (hereafter PPE). Another benefit of this approach is that we also implicitly control for cross-country differences in accounting standards by using a firm as its own control to compute abnormal accruals. Therefore abnormal accruals are contextualized relative to the specific accounting standards of a particular country. Using data from OSIRIS file, predicted accruals are calculated as: Predicted accruals = {[Salest
x (current accrualst-1 / salest-1] + gross PPEt x
(depreciationt-1 /gross PPEt-1/total assetst-1]}. Abnormal accruals = firm’s actual total accrualst - predicted total accrualst. Total accruals in year t are calculated as follows: Total accruals = {Earnings before extraordinary items – Operating cash flows}/ total assetst-1 Current accruals = change in non-cash working capital = Δ[total current assets – cash and short term investments – treasury stock shown as current assets – Δ[total current liabilities – total amount of debt in current liabilities – proposed dividends]. MEASUREMENT OF INVESTOR PROTECTION We use Leuz’s country cluster analysis, which groups countries with similar legal and institutional characteristics. Three distinct clusters are identified: Cluster 1: Outsider economies with large stock markets, dispersed ownership, strong investor right and strong legal enforcement (Singapore, Malaysia) Cluster 2: insider economies with less developed stock market, concentrated ownership, weak investor protection but strong legal enforcement (Japan) Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Cluster 3: insider economies with less developed stock market, concentrated ownership, weak investor protection and weak legal enforcement (Indonesia, Korea)
HYPOTHESIS TESTING Analysis of Variance (ANOVA) was used to test H1 – H3. ANOVA is a technique to measure the differences for one metric dependent variables based on a set categorical (nonmetric) variables acting as independent variables. The assumptions for ANOVA are: 1. Population Normality: population from which the samples have been drawn should be normal. 2. Homogeneity of variance – the scores in each group should have homogenous variances. Model 1-3 to test Hypothesis 1-3 : Model 1: AB_ACCRit = β0 + β1 Investor Protection+ eit Model 2: AB_CFOit = β0 + β1 Investor Protection+ eit
Model 3: AB_PRODit = β0 + β1 Investor Protection+ eit
where: AB_ACCRit = abnormal accruals scaled by lagged total assets for firm i in year t. AB_CFO = abnormal cash flow AB_Prod = abnormal production cost Investor Protection = non metric variable (1: high investor protection; 2: middle; 3: low investor protection) Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
RESULT Descriptive Statistic Figure 1 present descriptive statistic comparing abnormal accrual between investor protection level.
Figure 1 Abnormal Accrual in Economies with High vs Low Investor Protection 0.12 0.1032 0.1 0.08 0.06
0.0519 0.0418
0.04 0.02 0 high ip
midle ip
low ip
Abnormal Accrual
Consistent with my first hypothesis and Leuz’s study, the mean abnormal accrual in economies with higher investor protection is lower than in economies with low investor protection. Figure 2 present descriptive statistic comparing CFO between investor protection level.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Figure 2 Abnormal Cash Flow from Operation in Economies With High Investor Protection vs Low Investor Protection 0.014
midle ip, 0.0118
0.012
low ip, 0.0103
0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 0 -0.002 -0.004
high ip, 0.0019 Level of Investor Protection Abnormal Cash Flow from Operation
Consistent with my second hypothesis, the mean abnormal cash flow from operation in economies with high investor protection is lower than in economies with low investor protection. Figure 3 Abnormal Production Cost in Economies with High vs Low Investor Protection 0.01 0.0002 0 high ip -0.01
midle ip
low ip
-0.0068
-0.02
-0.03
-0.04
-0.05 -0.0535 -0.06
abnormal production cost
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Consistent with my third hypothesis, abnormal production cost is higher in economies with high investor protection than in economies with low investor protection. Estimation Model. Table 1 reports regression coefficient for some key regression used to estimate normal level. The table reports the means coefficients across industry-year.
The coefficient of CFO on sales change is actually positive and significant in all countries, indicating that conditional on contemporaneous sales, a higher change in sales implies higher CFO. The average adjusted R2 across countries is 26% for CFO and 69,6% for production cost.
Comparison of suspect firm-years with non suspect firm Suspect firm-year have net income scaled by total asset that is greater than or equal to zero but less than 0.005. Suspect firm are more aggressive in manage earnings because they avoid to report losses. Annual losses are likely to be viewed more seriously by the numerous stakeholders of firm such as lenders and supplier. Consistent with Roychowdhury (2006), suspect firm exhibit unusually low cash flow from operation and unusually high production cost (Figure 4 and 5)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Table 1 Model Parameters Malaysia
Singapore
Japan
Korea
Indonesia
CFOt/At-
Prodt/At-
CFOt/At-
Prodt/At-
CFOt/At-
Prodt/At-
CFOt/At-
Prodt/At-
CFOt/At-
Prodt/At-
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
intercept
0.713*
-0.072*
0.020*
-0.053*
1/At-1
-1378.8*
-
-235.3*
502.086* -
814.533*
0.062*
-0.128*
-0.024*
-3286.4*
136.024* -
886.678*
1.263*
0.057*
-0.178
-900.88*
-450.9
3648.24*
St/At-1
-1.106*
0.874*
0.030*
0.830*
-0.007*
0.910*
0.33*
0.067*
0.033*
0.953
∆St/At-1
3.569*
0.161*
0.000*
-0.722*
0.029
-0.168*
0.112*
-0.028*
0.074*
0.073
∆St-1/At-
-0.079*
0.193*
0.037*
-0.117*
-0.076
1 Adj R2
0.93
0.92
0.035
0.664
0.015
0.914
0.192
0.019
*signifikan at level 10% This table reports the estimated parameters in following regression: CFOt /At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + α2 (St/At-1) + α3 (ΔSt / A t-1) + εt PRODt /At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + α2 (ΔSt/At-1) + α3 (ΔSt / A t-1) + α4 (ΔSt-1 / A t-1) εt
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 14
0.162
0.966
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Figure 4 Abnormal Cash Flow from Operation: Suspect vs non Suspect Firm non suspect firm, 0.0129
0.015 0.01 0.005 0 -0.005 -0.01 -0.015 -0.02 -0.025
suspect firm, 0.0186 Abnormal Cash Flow from Operation
Figure 5 Abnormal Production Cost: Suspect vs non Suspect Firm 0.025
suspect firm, 0.022
0.02 0.015 0.01 0.005 0 -0.005 -0.01 -0.015 -0.02 non suspect firm, 0.0206
-0.025
abnormal production cost
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hypothesis Testing To test hypothesis , I estimate model 1. The result of this estimation is when the dependent variables is abnormal accrual, the coefficient on CLUSTER is significant at level 5%, indicate that abnormal accrual is different accros cluster (Table 2). Table 2 show that the differences average abnormal accrual between cluster is statistically significant. Outsider economies (cluster 1) exhibit lower level earnings management through accrual manipulation than in insider economies (cluster 2 and 3). This third cluster exhibits significantly higher level of earnings management through accrual manipulation, highlighting the salient importance of legal enforcement. This result consistent with H1. Tabel 2 Pervasiveness of earnings management by cluster Abnormal
Abnormal CFO
Accrual High Investor
Abnormal Production Cost
0.0418
-0.0019
0.0002
0.0519
0.0118
-0.0068
0.1032
0.0103
-0.0535
0.018
0.028
0.000
protection (cluster 1) Middle level of Investor protection (cluster 1) Low Investor protection (cluster 1) Test of EM differences between cluster (sign)
To test H2, I estimate model 2. The result of this estimation (the second column of result in table 2) indicate that there is difference abnormal cash flow from operation between cluster. The average abnormal cash flow from operation in cluster 1 (economies with high investor protection) is statistically significant lower than cluster
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2 and 3. This result consistent with H2, in economies with high investor protection real manipulation with real activity is more aggressive because manipulation about pricing and production decision is more difficult to detect than accrual manipulation. I also examine differences mean abnormal CFO between suspect and non suspect firm (see figure 4), the mean abnormal CFO suspect firm (-0.0186) is lower than mean abnormal CFO non suspect firm (0.0129). Consistent with Roychowbury that suspect firm more aggressive to manage earnings than non suspect firm because they want meet earnings target. When dependent variable is abnormal production cost, the result show that the differences abnormal production cost across cluster is statistically significant (column 3 table 2). The average abnormal production cost in cluster 1 (economies with high investor protection) statistically significant higher than cluster 2 and 3. This result consistent with H3. I also examine differences mean abnormal production cost between suspect and non suspect firm (see figure 5), the mean abnormal production cost of suspect firm (0.022) is higher than mean abnormal CFO non suspect firm (-0.0206).
Conclusion As prior literature show that investor protection is a key driving corporate choices. I focus on the relation between legal investor protection and earnings management practices. Insider (manager and controlling shareholders) have incentive to acquire private control benefit. However the ability of insider to divert resources for their own benefit is limited by legal system that protect the right of outside investors. As outsider can only take disciplinary actions against insiders if outsiders detect the private benefit, insider have an incentive to manipulate accounting reports in order to conceal their activities. Prior accounting research has documented three main methods of earnings management: accrual manipulation, real activity manipulation and classification shifting. Accrual manipulation is more likely to draw auditor or regulator scrutiny than real decisions about pricing and production. Thus we expect that in economies with high investor protection, manager prefer to manage earnings
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
through real activity manipulation than accrual manipulation when manager have flexibility to engage both. This paper provide evidence about differences in earnings management method across Asian countries Consistent with the hypothesis, the result show that earnings management through accrual manipulation is less aggressive in economies with high investor protection. But earnings management through real activity manipulation is more aggressive in economies with high investor protection than in economies with low investor protection. Despite being in economies with high investor protection, manager still have bigger discretion in managing earnings through real activities rather than accrual manipulation.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
REFERENCES ARTICLE IN PRESS Baber, W., P. Fairfield, and J. Haggard. 1991. The effect of concern about reported income on discretionary spending decisions: The case of research and development. The Accounting Review 66 (4): 818–829. Ball. R. A. Robin, J Wu, 2003. Incentives versus standards: properties of accounting income in four east asian countries. Journal of Accounting and Economics. Ball. R. S. Kothari. A. Robin, 2000. The effect of international institutional factors on properties of accounting earnings. Journal of Accounting and Economics. 29, 1-52. Bhattacharya, U., H. Daouk, M. Welker, 2002. the world price of earnings opacity. Bruns, W., Merchant, K., 1990. The dangerous morality of managing earnings. Management Accounting 72, 22–25. Burgstahler, D., Dichev, I., 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting and Economics 24, 99–126. Burgstahler, D., Eames, M., 1999. Management of earnings and analyst forecasts. Working paper. Burgstahler, D., J. Jiambalvo, and T. Shevlin. 2002. Do stock prices fully reflect the implications of special items for future earnings? Journal of Accounting Research 40 (3): 585–612. Bushee, B. 1998. The influence of institutional investors on myopic R&D investment behavior. The Accounting Review 73 (3): 305–333. Bushman, R., J. Piotroski, and A. Smith. 2004. “What determines corporate transparency?” Journal of Accounting Research 42 (May 2004): 207-252. Choi, J.H., and T.J. Wong. 1999. “Auditor choice and legal environments: an international
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Claessens, S., S. Djankov, J. Fan, L. Lang, 2001. Disentangling the incentive and earnings management.” Working Paper. Cornell University, 2006. Available on SSRN at entrenchment effects of large shareholdings. Forthcoming, Journal of Finance. DeAngelo, H., L. DeAngelo, and D. Skinner. 1994. Accounting choice in troubled companies. Journal of Accounting and Economics 17 (1-2): 113–143. Dechow, and D. Skinner. 2000. Earnings management: Reconciling the views of accounting academics, practitioners, and regulators. Accounting Horizons 14 (2): 235–250 Dechow, M. Huson, and R. Sloan. 1994. The effect of restructuring charges on executives’ cash compensation. The Accounting Review 69 (1): 138–156. Dechow, P., and R. Sloan. 1991. Executive incentives and the horizon problem: An empirical investigation. Journal of Accounting and Economics 14 (1): 51–89. Dechow, P.M., Kothari, S.P., Watts, R.L., 1998. The relation between earnings and cash flows. Journal of Accounting and Economics 25, 133–168. Dechow, P.M., Richardson, S.A., Tuna, I., 2003. Why are earnings kinky? Review of Accounting Studies 8, 355–384. Dechow, P.M., Skinner, D.J., 2000. Earnings management: reconciling the views of accounting academics, practitioners and regulators. Accounting Horizons 14, 235–250. Dechow, P.M., Sloan, R., Sweeney, A., 1996. Causes and consequences of earnings manipulation: an analysis of firms subject to enforcement actions by the SEC. Contemporary Accounting Research 13, 1–36. Dechow, R. Sloan, and A. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review 70 (2): 193–225. DeFond, M.L., and C. Park. 1997. Smoothing income in anticipation of future earnings. Journal of Accounting and Economics 23: 115-139.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
DeFond, M.L., and C.Park. 2001.“The reversal of abnormal accruals and the market valuation of earnings surprises.” The Accounting Review 76 (July 2001): 375404. DeFond, M.L., Jiambalvo, J., 1994. Debt covenant violation and manipulation of accruals. Journal of Accounting and Economics 17, 145–176. Dyck, A., L. Zingales, 2002. Private benefits of control: An international comparison. Dye, R. 2002. Classifications manipulation and Nash accounting standards. Journal of Accounting Research 40 (4): 1125–1162. Fudenberg, D., Tirole, J., 1995. A theory of income and dividend smoothing based on incumbency rents. Journal of Political Economy 103, 75–93. Graham, J.R., Harvey, C.R., Rajgopal, S., 2005. The economic implications of corporate financial reporting. Journal of Accounting and Economics 40, 3–73. Hart, O. 1995. Firms, contracts, and financial structure (Oxford University Press, London). Hayn, C. 1995. The information content of losses. Journal of Accounting and Economics 20 (2): 125–153. Healy, P. 1985. The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of Accounting and Economics 7 (1-3): 85–107. Healy, P.M., Wahlen, J.M., 1999. A review of the earnings management literature and its implications for standard setting. Accounting Horizons 13, 365–383. Hribar, P., and D. Collins. 2002. Errors in estimating accruals: Implications for empirical research. Journal of Accounting Review 40 (1): 105–134. Hribar, P., and D.C. Nichols. “The use of unsigned earnings quality measures in tests of Hribar, P., Jenkins, N.T., Johnson, W.B., 2004. The use of stock repurchases to manage earnings per share. Working paper.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
http://ssrn.com/abstract=908342.investigation”. Working paper, Hong Kong University of Science and Technology, 2002. Jones, J. 1991. Earnings management during import relief investigations. Journal of Accounting Research 29 (2): 193–228. La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 1998. Law and finance. Journal of Political Economy 106 (December), 1113-1155. La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 2000b, Investor protection and corporate governance. Journal of Financial Economics 58 (January), 3-27. La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, and A. Shleifer. 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54 (April), 471-517. La Porta, R.. F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer, and R. Vishny. 2000a. Agency problems and dividend policies around the world. Journal of Finance 55 (February), 1-33. Leuz, Christian. Nanda, Dhananjay. Wysocki., D. Peter. 2003. Earnings management and investor protection: an international comparison. Journal of Financial Economics Lev, B., and T. Sougiannis. 1996. The capitalization, amortization, and valuerelevance of R&D. Journal of Accounting and Economics 21 (1): 107–138. Levine, R. 1997. Financial development and economic growth: views and agenda. Journal of Economic Literature 35 (June), 688-726. Levine, R., and A. Demirguc-Kunt. 1996. Stock market development and financial intermediary growth: stylized facts. World Bank Economic Review (May). Levitt, A. 1998. The importance of high quality accounting standards. Accounting Horizons 12 (March), 79-82. McNichols, M., and G. Wilson. 1988. Evidence of earnings management from the provision for bad debts. Journal of Accounting Research 26 (Supplement): 1– 31. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
McNichols. 2000. Research design issues in earnings management studies. Journal of Accounting and Public Policy 19 (4-5): 313–345. Meuwissen, R., F. Moers, E. Peek, AND A. Vanstraelen. “An evaluation of abnormal accruals measurement models in an international context.” Working Paper, 2005. University of Maastricht and University of Antwerp, available on the Social Science Research Network at: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=442681. Nelson, M., J. Elliott, and R. Tarpley. 2002. Evidence from auditors about managers’ and auditors’ earnings management decisions. The Accounting Review 77 (Supplement): 175–202. Nenova, T., 2000. The value of corporate votes and control benefits: A cross-country Phillips, J., M. Pincus, and S. Rego. 2003. Earnings management: New evidence based on deferred tax expense. The Accounting Review 78 (2): 491–521. Rangan, S. 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics 50 (1): 101–122. Richardson, S., S. H. Teoh, and P. Wysocki. 2004. The walk-down to beatable analyst forecasts: The role of equity issuance and insider trading incentives. Contemporary Accounting Research 21 (4): 885–924. Roychowdhury, S., 2006. Earning management through real activities manipulation. Journal of Accounting & Economic 42 (335-370), Saudagaran, S.M., Diga, J.G., 2000. The institutional environment of financial reporting regulation in ASEAN. The International Journal of Accounting 35, 1– 26. Shleifer, A., R. Vishny, 1997. A survey of corporate governance. Journal of Finance 52. 737-783. Skinner, D., and R. Sloan. 2002. Earnings surprises, growth expectations, and stock returns or don’t let an earnings torpedo sink your portfolio. Review of Accounting Studies 7 (2-3): 289–312.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Sloan, R. 1996. Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows about future earnings? The Accounting Review 71 (3): 289–315. Teoh, S. H., I. Welch, and T. Wong. 1998. Earnings management and the long-run underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics 50 (1): 63–99. Teoh, S., Welch, I., Wong, T., 1998b. Earnings management and the long-run underperformance of initial public offerings. Journal of Finance 53, 1935– 1974. Unpublished working paper. Indiana university. Wysocki, P. “Discussion of ultimate ownership, income management, and legal and extra-legal institutions.” Journal of Accounting Research 42 (May 2004): 463474. Zingales, L., 1994. The value of the voting right: A study of the Milan Stock exchange experience. Review of Financial Studies 7. 1250-148.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Appendix Appendix 1: Output Abnormal Cash Flow from Operation Abnormal CFO: suspect vs non suspect
Report abncfo1 nita1_1 > 0.005 (FILTER) suspect non suspect Total
Mean -.0186 .0129 .0070
N 225 980 1205
Std. Deviation .08096 .07707 .07874
Test of differences abnormal cash flow from operation between cluster Between-Subjects Factors cluster
Value Label high ip middle ip low ip
1 2 3
N 381 436 388
Descriptive Statistics Dependent Variable: abncfo1 cluster high ip
Mean
Std. Deviation
N
-.0019
.07590
381
middle ip
.0118
.04829
436
low ip
.0103
.10440
388
Total
.0070
.07874
1205
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: abncfo1 Source Corrected Model Intercept cluster Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .044a .055 .044 7.421 7.524 7.465
df 2 1 2 1202 1205 1204
Mean Square .022 .055 .022 .006
F 3.582 8.861 3.582
Sig. .028 .003 .028
a. R Squared = .006 (Adjusted R Squared = .004)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Appendix 2: Output Abnormal Production Cost Abnormal Production Cost: suspect vs non suspect Report abnprod1 nita1_1 > 0.005 (FILTER) 0 1 Total
Mean .0220 -.0206 -.0125
N 152 645 797
Std. Deviation .11750 .11482 .11647
Test of differences abnormal production cost between cluster Between-Subjects Factors cluster
Value Label high ip middle ip low ip
1 2 3
N 310 343 144
Descriptive Statistics Dependent Variable: abnprod1 cluster high ip middle ip low ip Total
Mean .0002 -.0068 -.0535 -.0125
Std. Deviation .11139 .10178 .14766 .11647
N 310 343 144 797
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: abnprod1 Source Corrected Model Intercept cluster Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .303a .275 .303 10.495 10.922 10.798
df 2 1 2 794 797 796
Mean Square .152 .275 .152 .013
F 11.465 20.802 11.465
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .028 (Adjusted R Squared = .026)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV03- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP REAKSI INVESTOR (Studi pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Rita Yuliana Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo
Bambang Purnomosidhi Eko Ganis Sukoharsono Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Abstrak
Akhir-akhir ini muncul wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Wacana tersebut muncul dilandasi pemikiran bahwa keberadaan perusahaan tidak lepas dari lingkungannya. Pada intinya CSR adalah kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan
melindungi
dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
secara
keseluruhan. Kenyataannya, praktik pengungkapan CSR telah banyak diterapkan oleh perusahaan publik di Indonesia. Pada laporan tahunannya, perusahaan telah menyebutkan aspek pertangungjawaban sosial walaupun dalam bentuk yang relatif sederhana. Selanjutnya, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Apakah karakteristik perusahaan yang meliputi ukuran perusahaan, profitabilitas, profile, ukuran dewan komisaris, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR, dan (2) apakah tingkat keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor melalui pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tipe penelitian ini dari sudut pandang kerangka berpikir tergolong penelitian kuantitatif. Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan yang mengungkap program CSR di Bursa Efek Indonesia. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Berdasarkan seleksi yang telah dilakukan diperoleh 116 perusahaan sebagai sampel penelitian. Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS). Berdasarkan hasil analisis data, dari 6 hipotesis yang diajukan, terdapat 3 hipotesis yang diterima dan 3 hipotesis yang ditolak. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis terlihat jelas bahwa penelitian ini menemukan bukti bahwa karakteristik perusahaan yang mempengaruhi tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah profile dan konsentrasi kepemilikan, sedangkan ukuran perusahaan, profitabilitas, dan ukuran dewan komisaris terbukti tidak berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Penelitian ini juga membuktikan bahwa tingkat keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor.
Kata kunci: karakteristik perusahaan, pengungkapan CSR, reaksi investor
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini muncul wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Wacana tersebut muncul dilandasi pemikiran bahwa keberadaan perusahaan tidak lepas dari lingkungannya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang diambil perusahaan berdampak nyata terhadap kualitas kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, dan seluruh kehidupan di bumi. Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan sekedar kegiatan ekonomi, yaitu menciptakan laba demi kelangsungan usaha, melainkan juga tanggung jawab sosial, dan lingkungan. Dasar pikirnya adalah bahwa menggantungkan
semata-mata
pada
kesehatan
finansial
tidak
menjamin
perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan (Djatmiko, 2006). Fokus pada akuntabilitas korporasi saat ini masih terkonsentrasi atau berorientasi pada para pemegang saham (stockholder). Praktik ini akhirnya memunculkan suatu dilema tersendiri karena sesuatu yang telah diraih oleh entitas bisnis sebagian dikembalikan kepada para pemegang saham dan manajemen, seperti pemberian dividen, bonus, dan bentuk-bentuk kontra prestasi lainnya. Tentunya hal ini tidak harus terjadi jika ada kesadaran bahwa kesinambungan hidup suatu usaha (going concern of entity) tidak hanya bergantung pada pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen dan peran serta pemegang saham. Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan menurut Plunkett dan Arthur (1983: 174) dalam Purwati (2001), yaitu: The moral and ethical content of managerial and corporate decision, that is, the value used in bussiness decision over and abore the pragmatic imposed by legal principles and the market economy.
Pada
intinya
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
(corporate
social
responsibility) adalah kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Disiplin akuntansi juga merespon perkembangan pertanggungjawaban sosial perusahaan, yaitu dengan melahirkan wacana baru. Salah satunya Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
adalah tema yang dikembangkan dalam wacana Social Responsibility Accounting (SRA) atau akuntansi pertanggungjawaban sosial. Tema ini bertujuan untuk mengungkapkan item-item individual yang mempunyai dampak sosial (Belkaoui, 2006: 349). Praktik pengungkapan CSR telah banyak diterapkan oleh perusahaan publik di Indonesia. Pada laporan tahunannya, perusahaan telah menyebutkan aspek pertangungjawaban sosial walaupun dalam bentuk yang relatif sederhana. Perusahaan berhak memilih bentuk pengungkapan yang sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas organisasinya. Meskipun informasi mengenai CSR yang diungkap dalam laporan tahunan tersebut belum mendetail, itikad baik perusahaan ini perlu untuk mendapatkan apresiasi, setidaknya perusahaan telah menyadari pentingnya informasi yang terkait dengan CSR. Investor mengapresiasi praktik CSR ini dan melihat aktivitas CSR sebagai rujukan untuk menilai potensi keberlanjutan suatu perusahaan. Bila perusahaan tidak
mengungkapkan
program
CSR,
bisa
jadi
stakeholder
menganggap
perusahaan yang bersangkutan tidak melakukan tanggung jawab sosialnya dan meragukan going concern-nya (Pambudi, 2006b). Selanjutnya, investor akan menilai perusahaan tidak mampu mempertahankan keberlanjutan usahanya sehingga investor tidak tertarik untuk mengivenstasikan dananya pada perusahaan tersebut.
1.2 Motivasi Penelitian 1. Munculnya tren bagi perusahaan untuk berperilaku lebih etis dengan lebih memperhatikan faktor lingkungan dan sosial. 2. Teori-teori yang mendasari CSR banyak yang menyebutkan kaitan antara CSR dengan perusahaan dan investor. 3. Beragamnya hasil penelitian mengenai pengaruh karakteristik perusahaan terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. 4. Terdapat beragam bukti empiris mengenai pengaruh luas pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan terhadap reaksi investor. 5. Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhroh dan Sukmawati (2003) serta Sembiring (2005). Berikut ini perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Zuhroh dan Sukmawati Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
(2003) serta Sembiring (2005): (a) Periode amatan, (b) Jumlah sampel penelitian, (c) Alat pengukur pengungkapan CSR, (d) Teknik pengukuran tingkat keluasan pengungkapan CSR, (e) Alat pengukur reaksi investor, dan (f) Karakteristik perusahaan.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah : a. Apakah karakteristik perusahaan yang meliputi ukuran perusahaan, profitabilitas, profil, ukuran dewan komisaris, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR? b. Apakah tingkat keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor melalui pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Menentukan karakteristik perusahaan apa saja yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. b. Menunjukkan reaksi investor atas keluasan pengungkapan CSR melalui pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham.
1.5 Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi Teori Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti tambahan mengenai teori yang terkait dengan pengungkapan sosial, antara lain :
(a) Decision
usefulness theory, (b) Economic theory, dan (c) Social and political studies. 2. Kontribusi Praktik: (a) Bagi perusahaan dan (b) Bagi investor 3. Kontribusi Kebijakan: (a) Bagi Bapepam, dan (b) Bagi IAI
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Corporate Social Responsibility (CSR) Disiplin akuntansi merespon perkembangan pertanggungjawaban sosial perusahaan, yaitu dengan melahirkan wacana baru (Belkaoui, 2006: 349): 1. Social Responsibility Accounting (SRA) 2. Total Impact Accounting (TIA) 3. Sosio Economic Accounting (SEA)
2.2 Teori-teori yang Mendasari Praktik CSR Gray, et al., (1995) mengemuka-kan beberapa teori yang melatar-belakangi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial, yaitu:
2.2.1 Decision Usefulness Studies Teori ini memasukkan para pengguna laporan akuntansi yang lain selain para investor ke dalam kriteria dasar pengguna laporan akuntansi sehingga suatu pelaporan akuntansi dapat berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh semua unsur pengguna laporan tersebut.
2.2.2 Economic Theory Studies Studi ini berdasarkan pada economic agency theory. Teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas segala sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan
2.2.3 Social and Political Studies Sektor ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik, sosial, dan kerangka institusional tempat ekonomi berada. Studi sosial dan politik mencakup dua teori utama, yaitu: (1.) Stakeholder Theory dan (2.) Legitimacy Theory
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Teori-teori lain yang mendukung praktik pengungkapan sosial, yaitu teori kontrak sosial. Teori tersebut menyatakan bahwa perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu komunitas.
2.3 Laporan Perusahaan Terdapat beberapa prinsip penting berkaitan dengan laporan perusahaan, yaitu:
2.3.1 Pengungkapan (Disclosure) dalam Laporan Tahunan Pengungkapan didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendriksen, 1998:136). Dalam interpretasi yang lebih luas, pengungkapan terkait dengan informasi baik yang terdapat dalam laporan keuangan maupun komunikasi tambahan (suplementary communication) yang terdiri catatan kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal laporan, analisis manajemen atas operasi perusahaan di masa mendatang, perkiraan keuangan dan operasi, serta informasi lainnya (Zuhroh dan Sukmawati, 2003).
2.3.2 Tujuan Pengungkapan Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Commision (SEC) dikatagorikan menjadi dua, yaitu: 1. Protective disclosure, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor. 2. Informative disclosure, yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan (Wolk dan Tearney dalam Utomo, 2000).
2.3.3 Kualitas Informasi yang Seharusnya Diungkapkan Hendriksen
(1998:
140)
menyatakan
tiga
konsep
umum
tentang
pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu: 1. Pengungkapan yang cukup (adequate), merupakan pengungkapan yang minim cukup untuk membuat laporan tidak menyesatkan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2. Pengungkapan
yang
wajar
(fair),
merupakan
pengungkapan
yang
memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca potensial. 3. Pengungkapan yang lengkap (full), merupakan penyajian semua informasi yang relevan.
2.3.4 Manfaat Pengungkapan Bagi Pemakai Informasi Informasi dalam laporan tahunan yang disajikan oleh perusahaan terutama perusahaan go public ditujukan kepada para pemakai laporan tahunan tersebut. IAI dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan menyatakan Pemakai laporan keuangan meliputi investor sekarang dan investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah serta lembaga-lembaganya, dan masyarakat.
2.4 Pedoman Global Reporting Initiative (GRI) Isu mengenai CSR terkait erat dengan sustainability reporting. GRI merupakan salah satu dari lembaga yang serius menangani permasalahan yang berhubungan dengan sustainability. Sustainability reporting merupakan praktik pengukurkuran, pengungkapan, dan pertanggungjawaban kepada stakeholder internal dan eksternal perusahaan terkait dengan kinerja pencapaian tujuan keberlangsungan perusahaan. Sustainability reporting merupakan terminologi yang luas mengenai engungkapan
kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial (misalnya
Triple Bottom Line, Corporate Social Responsibility, dan lain-lain) (GRI, 2006: 4). Secara umum, pedoman GRI terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah pengantar. Bagian kedua berisi tentang penjelasan mengenai penggunaan pedoman GRI. Bagian ketiga tentang prinsip-prinsip pelaporan, dan bagian keempat menjelaskan isi pelaporan SR.
2.5 Karakteristik Perusahaan Karakteristik perusahaan merupakan indikator yang dapat menunjukkan kualitas perusahaan. Karakteristik tersebut, antara lain:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.5.1. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Hal ini jika dikaitkan dengan teori agensi, perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Di samping itu, perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Sembiring, 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan terbukti berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan tanggung jawab sosial (Sembiring, 2005) dan Gray, et al., (2001). Demikian juga Belkaoui dan Karpik (1989),
Hackston dan Milne (1996), Adam, et al, (1998), Gray, et al, (2001),
Sembiring (2003), Anggraini (2006), dan Morrison dan Siegel (2006) yang berhasil menemukan bukti empiris atas pengaruh ukuran perusahaan terhadap keluasan pengungkapan CSR. Sementara Robert (1992) tidak berhasil menemukan hubungan antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: Ha1 = ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR 2.5.2. Profitabilitas Shinghvi dan Desai (1971) dalam Simanjuntak dan Widiastuti (2004) menyatakan bahwa rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan mendorong manajer untuk memberikan informasi yang lebih terperinci. Hal tersebut disebabkan manajer ingin meyakinkan investor akan profitabilitas perusahaan dan selanjutnya akan mendorong kompensasi manajemen. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan signalling hypothesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang unggul dan mempunyai laba yang baik akan mengungkapkan informasi lebih rinci, termasuk
kebebasan
dan
keleluasaan
untuk
menunjukkan
dan
mempertanggungjawabkan seluruh program sosialnya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Kebanyakan
penelitian
ilmiah
mengenai
hubungan
profitabilitas
dan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memperlihatkan hasil yang positif, seperti yang dibuktikan oleh Rashid dan Ibrahim (2002), O’Dwyer (2003), Juholin (2004), Hopkins (2004), Raar (2004), Sembiring (2005), Baron (2005), dan Anggraini (2006). Sebaliknya, Hackston dan Milne (1996) serta Sembiring (2003) memperoleh bukti bahwa profitabilitas dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan tidak memiliki hubungan yang positif. Hasil yang lain ditunjukkan oleh Capaldi (2006) yang menemukan bukti bahwa hubungan profitabilitas dengan tingkat keluasan pengungkapan CSR dipengaruhi oleh cara pandang pengusaha terkait dengan dualisme hubungan CSR dengan laba. Ada sebagian pengusaha yang memandang CSR sebagai pengurang laba dan ada sebagian yang justru berpandangan sebaliknya . Terkait isu profitabilitas dengan pengungkapan CSR, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ha2 = profitabilitas berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR 2.5.3. Profile Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile menurut Robert (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) adalah perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi atau tingkat kompetisi yang ketat. Perusahaan-perusahaan high profile, pada umumnya merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan dari masyarakat karena aktivitas operasinya memiliki potensi untuk bersinggungan dengan kepentingan luas. Masyarakat umumnya lebih sensitif terhadap tipe industri ini karena kelalaian perusahaan dalam pengamanan proses produksi dan hasil produksi dapat membawa akibat yang fatal bagi masyarakat. Sedangkan perusahaan low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan luas dari masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan high profile, perusahaan yang terkategori dalam industri low profile lebih ditoleransi oleh masyarakat luas manakala melakukan kesalahan. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Penelitian
yang
berkaitan
dengan
profile
perusahaan
kebanyakan
mendukung bahwa industri high-profile mengungkapkan informasi tentang tanggung jawab sosialnya lebih banyak dari industri low-profile, seperti yang dibuktikan oleh Hackston dan Milne (1996), Rashid dan Ibrahim (2002), Zuhroh dan Sukmawati (2003), Juholin (2004), Sallyanne (2004), Jones, et al (2005), Branco dan Rodrigues (2006), dan Jones, et al (2007). Hasil yang berbeda ditemukan oleh Sembiring (2005) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh profil perusahaan terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang diajukan terkait dengan masalah profil perusahaan, yaitu: Ha3
=
profil
perusahaan
berpengaruh
terhadap
tingkat
keluasan
pengungkapan CSR
2.5.4. Ukuran Dewan Komisaris Implementasi program CSR merupakan hasil dari kebijakan strategis perusahaan yang melibatkan seluruh manajemen tingkat atas dan juga komisaris. Pelaksanaan CSR lebih optimal pada perusahaan yang mendapat dukungan penuh dari dewan komisaris (Juholin, 2004). Keberadaan para profesional yang tergabung dalam dewan komisaris juga menjadi pertimbangan manajemen perusahaan dalam penentuan keputusan terkait dengan kebijakan keuangan, pencitraan, dan aksi sosial perusahaan (Hines, 2002). Penelitian empiris yang mendukung hubungan antara ukuran dewan komisaris dengan praktik CSR, antara lain dilakukan oleh Cooper, et al (2004), Hines (2002), Juholin (2004), dan Sembiring (2005). Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa dewan komisaris merupakan pendukung utama dalam kegiatan CSR perusahaan. Hipotesis yang diajukan terkait dengan masalah ukuran dewan komisaris perusahaan, yaitu: Ha4 = ukuran dewan komisaris perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.5.5. Konsentrasi Kepemilikan Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan pengendalian operasional perusahaan. Perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan pengendalian yang lebih ketat. Pengertian publik adalah pihak individu yang berada di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa terhadap perusahaan. Terdapat
beberapa
penelitian
tentang
hubungan
antara
konsentrasi
kepemilikan dengan CSR. Rute, et al (2006) menemukan bukti bahwa praktik CSR pada perusahaan di Portugal sangat dipengaruhi oleh basis ekonomi negara, yaitu usaha kecil dan menengah sehingga faktor kepemilikan usaha menjadi hal yang dipertimbangkan, sedangkan Hopkins (2004) menyatakan bahwa tujuan utama CSR adalah masyarakat luas sebagai pemilik perusahaan mayoritas. Bukti lain ditunjukkan oleh Sembiring (2003), yaitu bahwa ternyata konsentrasi kepemilikan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya kekuatan individu-individu yang terpisah untuk menekan manajemen. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: Ha5 = konsentrasi kepemilikan perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR
2.6 Saham 2.6.1 Pengertian Saham Hartono (2003: 67) mendefinisikan saham adalah hak kepemilikan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang diserahkan kepada pihak-pihak yang menyetor modal, sedangkan menurut Sumantoro 1990) dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003) saham adalah sebagai penyertaan modal dasar suatu perseroan terbatas, sebagai tanda bukti penyetoran tersebut dikeluarkan surat saham atau surat kolektif kepada pemegang saham. Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa saham adalah tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan usaha dalam suatu perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.6.2 Abnormal Return Abnormal return atau excess return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal merupakan return ekspektasi (return yang diharapkan oleh investor). Dengan demikian, abnormal return adalah selisih antara return yang sesungguhnya yang terjadi dengan return ekspektasi. Dalam penelitian ini abnormal return yang dipakai adalah abnormal return yang menggunakan model estimasi market adjusted model. Market adjusted model menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Dengan menggunakan model ini, maka tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar. (Hartono, 2003: 433). Reaksi pasar dapat diukur dengan menggunakan return sebagai nilai perubahan harga atau dengan menggunakan abnormal return. Jika digunakan abnormal return, dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada pasar, dan sebaliknya pengumuman yang tidak memiliki kandungan informasi tidak akan memberikan abnormal return kepada pasar. Abnormal return sering kali dipakai sebagai proksi dalam menilai reaksi pasar. Penelitian yang menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh terhadap abnormal return, antara lain dilakukan oleh Frankental (2001) yang membuktikan bahwa CSR merupakan salah satu temuan inovasi dalam pencitraan perusahaan karena dapat mempengaruhi investor dengan pembuktian adanya peningkatan abnormal return. Raar (2004) menyatakan bahwa perpaduan antara nilai lingkungan dan sosial dalam kebijakan perusahaan bisa meningkatkan citra perusahaan dan menciptakan kesejahteraan baik bagi perusahaan maupun investor. Baron (2005) memperoleh bukti bahwa implementasi CSR secara strategis dapat meningkatkan abnormal return, dan Rute, et al (2005) mengidentifikasi bahwa salah satu motivasi penting pelaksanaan CSR adalah perolehan abnormal return. Berdasarkan uraian tersebut penelitian ini menggunakan abnormal return sebagai salah satu proksi reaksi pasar. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.6.3 Volume Perdagangan Saham Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse (1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di pasar. Pengujian terhadap reaksi pasar melalui indikator harga dan volume perdagangan saham lebih dikaitkan dengan pengujian terhadap hipotesis efisiensi pasar. Sebuah pasar yang efisien akan tercermin dari cepatnya investor bereaksi terhadap masuknya informasi baru, yang mana bila pelaku pasar (investor) menganggap informasi tersebut sebagai informasi yang baik (god news), akan ada reaksi investor yang tercermin melalui peningkatan harga saham maupun volume perdagangan saham (Hartono, 2003: 374). Indikator reaksi pasar salah satunya adalah volume perdagangan. Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan sebagai proksi dari reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan
bukti bahwa
pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public berpengaruh terhadap volume perdagangan. Demikian juga dengan Cetindamar dan Husoy (2007) dan Lopez, et al (2007) yang menemukan bukti bahwa terdapat perbedaan
volume
perdagangan
antara
perusahaan
yang
melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini juga menggunakan volume perdagangan saham sebagai proksi reaksi pasar. Dengan demikian, dalam penelitian ini terdapat dua proksi reaksi pasar, yaitu abnormal return dan volume perdagangan saham. Abnormal return sering kali dipakai sebagai proksi dalam menilai reaksi pasar atas pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian yang menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh terhadap abnormal return, antara lain Frankental (2001), Raar (2004), Baron (2005), dan Rute, et al (2005). Penelitian yang menggunakan abnormal return sebagai alat pengukur reaksi pasar akibat pengumuman laporan CSR juga dilakukan oleh Rakhmad (2006) dan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Indra (2008). Akan tetapi, kedua penelitian tersebut gagal menunjukkan pengaruh pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Kegagalan tersebut disebabkan karena kecilnya sampel yang digunakan, yaitu kurang dari 10 perusahaan. Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse (1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di pasar. Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan sebagai proksi dari reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bukti bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public berpengaruh terhadap volume perdagangan. Demikian juga dengan Cetindamar dan Husoy (2007) dan Lopez, et al (2007) yang menemukan bukti bahwa terdapat perbedaan
volume
perdagangan
antara
perusahaan
yang
melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya, sedangkan Rakhmad (2006) dan Indra (2008) tidak berhasil menunjukkan pengaruh pengumuman laporan CSR terhadap reaksi pasar. Sama halnya dengan abnormal return, kegagalan tersebut disebabkan karena kecilnya sampel yang digunakan, yaitu kurang dari 10 perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini adalah: Ha7= keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Tipe penelitian ini dari sudut pandang kerangka berpikir tergolong penelitian kuantitatif. Kerangka berpikir jenis ini menguji teori-teori dengan menggunakan angka dan metode statistik dalam melakukan analisis data (Indriantoro dan Supomo, 2002: 12).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang mengungkap program CSR di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan data yang ada di website BEI, pada tanggal 31 Desember 2006 terdapat 342 perusahaan yang tercatat. 3.2.2 Sampel Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Pengambilan sampel bertujuan dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu (Hartono, 2004: 79). Berdasarkan seleksi yang telah dilakukan, diperoleh 116 perusahaan sebagai sampel penelitian. Berikut ini kriteria yang digunakan untuk menyeleksi sampel penelitian: 1. Sampel penelitian merupakan perusahaan yang terdaftar di BEI per 31 Desember 2006. 2. Sampel penelitian harus merupakan perusahaan yang termuat dalam daftar direktori laporan tahunan per 31 Desember 2006. 3. Sampel penelitian harus menyajikan laporan tahunan per 31 Desember 2006. 4. Sampel penelitian harus menyajikan pengungkapan CSR dalam laporan tahunannya. Berikut Tabel 3.1 yang memuat kriteria pemilihan sampel penelitian: Tabel 3.1 Kriteria Pemilihan Sampel Penelitian No. 1.
Kriteria Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI per 31 Desember 2006
2.
Jumlah perusahaan yang terdaftar di direktori laporan tahunan per 31 Desember 2006
3.
Perusahaan yang menyajikan laporan tahunan per 31 Desember 2006
4.
Perusahaan yang menyajikan pengungkapan CSR dalam laporan tahunan per 31 Desember 2006
Jumlah Perusahaan 342
210
200
116
Sumber: Data BEI yang diolah. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.3 Horison Waktu Sesuai dengan karakteristik masalah penelitian yang akan dijawab maka penelitian ini tergolong studi cross-sectional, yaitu tipe studi satu tahap yang datanya berupa beberapa subyek pada waktu tertentu (Indriantoro dan Supomo, 2002: 95). Waktu amatan penelitian ditentukan pada tahun 2006 dengan alasan bahwa tahun 2006 merupakan tahun peneliti bisa mendapatkan data terbaru berupa laporan tahunan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008, sedangkan database BEI terakhir dimutakhirkan tahun 2007 yang berisi laporan tahunan dan laporan keuangan tahun 2006. Selain itu, data abnormal return dan volume perdagangan saham biasanya baru dipublikasikan 4 bulan setelah laporan keuangan diumumkan. Pengamatan terhadap reaksi pasar menggunakan periode waktu 11 hari, yaitu hari -5 sampai dengan hari +5 tanggal publikasi laporan tahunan. Penentuan waktu amatan tersebut merujuk pada penelitian Zuhroh dan Sukmawati (2003).
3.4 Unit Analisis Data Unit analisis merupakan tingkat agregasi data yang dianalisis dalam penelitian (Indriantoro dan Supomo, 2002: 94). Sesuai dengan rumusan masalah maka unit analisis data dalam penelitian ini tergolong tingkat perusahaan, yaitu mencakup seluruh perusahaan yang terdaftar di suatu bursa efek.
3.5 Metode Statistik yang Digunakan Berdasarkan pertimbangan tema penelitian dan nilai data, maka metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS). Wold (1985) dalam Ghozali (2006: 4) menyatakan bahwa PLS merupakan metode analisis yang powerfull karena tidak didasarkan banyak asumsi.
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ini menggunakan 8 variabel dan tiap-tiap variabel diukur dengan menggunakan indikator tertentu. Berikut ini Tabel 3.2 yang berisi ringkasan variabel penelitian beserta indikatornya:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel 3.2 Variabel dan Indikator Penelitian No. 1.
Variabel
Indikator
Ukuran perusahaan (UP)
a. Jumlah tenaga kerja (TK) b. Total asset (TA)
2.
Profitabilitas (PRF)
a. Return on asset (ROA) b. Return on equity (ROE)
3.
Profile (PRL)
Tipe industri (H/L)
4.
Ukuran dewan komisaris
Jumlah dewan komisaris (DK)
(KOM) 5.
6.
Konsentrasi kepemilikan
Persentase jumlah saham perusahaan yang
(KP)
dimiliki oleh publik (SP)
Luas pengungkapan CSR
a. Kuantitas pengungkapan CSR (CSRD1)
(CSRD)
b. Proporsi pengungkapan CSR (CSRD2) c. Dimensi pengungkapan CSR (CSRD3) d. Aspek pengungkapan CSR (CSRD4) e. Indikator kinerja CSR (CSRD5)
7.
Reaksi Investor
a. Abnormal return (AR) b. Trading volume activity (TVA)
4.7.1 Ukuran Perusahaan (UP) Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan proksi jumlah tenaga kerja (TK) yang ada dalam perusahaan (Gray, et al, 2001 dan Sembiring, 2005) dan total asset
(TA)
(Machfoedz,
1994).
Pengukuran
ukuran
menggunakan proksi jumlah tenaga kerja dan total asset
perusahaan
dengan
juga memperlihatkan
tingkat produktivitas dan skala ekonomi perusahaan (Morrison dan Siegel, 2006)
4.7.2 Profitabilitas (PRF) Menurut Beard dan Dess (1979) dalam Martono (2002) konsep profitabilitas mengacu pada dua perspektif, yakni dilihat dari kepentingan manajemen dan kepentingan pemilik modal. Profitabilitas perusahaan diukur dengan menggunakan indikator Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). Keunikan dari
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
interpretasi rasio profitabilitas industri yang diukur dari ROA dan ROE industri adalah bahwa rasio ini mencerminkan daya tarik bisnis (business attractiveness). Penggunaan ROA dan ROE juga konsisten dengan penelitian Hakston dan Milne (1996). Tipe skala konstruk profitabilitas adalah rasio dan nilai datanya adalah metrik.
4.7.3 Profile (PRL) Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile menurut Robert (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) adalah perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi atau tingkat kompetisi yang ketat. Selanjutnya, perusahaan yang termasuk dalam tipe industri low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan luas dari masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Klasifikasi tersebut telah digunakan dalam penelitian Hakston dan Milne (1996), Zuhroh dan Sukmawati (2003), dan Sembiring (2005). Ketiga penelitian tersebut merupakan penelitian yang mengidentifikasi pengaruh profil perusahaan terhadap keluasan pengungkapan CSR.
4.7.4 Ukuran Dewan Komisaris (KOM) Menurut Coller dan Gregory (1999) dalam Sembiring (2005) dewan komisaris berfungsi untuk memonitor dan mengendalikan CEO. Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris (DK), maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Ukuran dewan komisaris yang digunakan dalam penelitian ini konsisten dengan penelitian Juholin (2004) dan Sembiring (2005), yaitu jumlah anggota dewan komisaris. Tipe skala untuk variabel ukuran dewan komisaris adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik.
4.7.5 Konsentrasi Kepemilikan (KP) Perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan pengendalian yang lebih ketat (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu,
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar dituntut untuk membuat pengungkapan kinerja yang lebih lengkap. Konsentrasi kepemilikan dihitung dengan menggunakan persentase jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh publik (SP) (Hopkins, 2004). Tipe skala untuk konstruk konsentrasi kepemilikan adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik.
4.7.6 Luas Pengungkapan CSR (CSRD) Tingkat keluasan pengungkapan CSR (CSRD) merupakan nilai kinerja perusahaan atas praktik pertanggungjawaban sosialnya, yang terdiri atas kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tipe skala untuk variabel CSRD adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik. CSRD diukur dengan menggunakan alat analisis isi (content analysis) yang bersumber dari data sekunder. Analisis isi digambarkan sebagai suatu teknik penelitian untuk tujuan sistematika dan deskriptif kuantitatif suatu manifestasi jawaban komunikasi (Cooper dan Emory, 1998: 10). Acuan yang dipakai dalam melakukan analisis isi adalah pedoman indikator kinerja GRI 2006. Pertimbangan pemakaian alat analisis tersebut adalah supaya informasi yang diperoleh lebih berkualitas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Hal tersebut terkait dengan seberapa besar perusahaan memiliki kepedulian terhadap CSR. Hasil yang diperoleh dari penggunaan analisis konten adalah berupa beberapa indikator yang representatif untuk mengukur tingkat keluasan pengungkapan CSR. Berikut ini beberapa hal yang menjadi indikator tingkat keluasan pengungkapan CSR: 1. Kuantitas pengungkapan CSR (CSRD1). 2. Proporsi pengungkapan CSR (CSRD2). 3. Dimensi pengungkapan CSR (CSRD3). 4. Aspek pengungkapan CSR (CSRD4). 5. Tingkat kesesuaian pengungkapan CSR dengan indikator kinerja yang ada pada setiap aspek pengungkapan (CSRD5).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4.7.7 Reaksi Investor (RI) Reaksi investor diukur dengan menggunakan indikator abnormal return dan volume perdagangan saham. 1. Abnormal return (AR) Abnormal return adalah selisih antara return sesungguhnya (actual return) dengan expected return. Abnormal return digunakan untuk melihat harga saham pada event window untuk tiap-tiap hari disekitar tanggal peristiwa. Berdasarkan tipe skalanya, konstruk abnormal return berskala rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik. Menurut Hartono (2000: 416) abnormal return dapat dihitung dengan persamaan:
Keterangan : ARit
= abnormal return sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
R it
= actual return saham sekuritas ke-i pada periode peristiwa ke-t
[RE it]
= expected return sekuritas ke-i pada periode ke-t
2. Volume Perdagangan (TVA) Volume perdagangan saham merupakan jumlah saham yang telah diperdagangkan sampai dengan batas akhir pada satu hari tertentu dan pengukuran ini digunakan dengan didasarkan pada supply-demand analysis. Menurut Morse (1981) dalam Ardiansyah (2002) volume perdagangan saham dapat merefleksikan semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan perdagangan saham di pasar. Volume perdagangan saham diukur
berdasarkan
volume
perdagangan
saham
harian
dengan
menggunakan Trading Volume Activity (TVA). Tipe skala variabel ini adalah rasio, sedangkan nilai datanya adalah metrik.
4.8 Model Empiris dan Pengujian Hipotesis 4.8.1 Model Empiris Terdapat 6 hipotesis yang diuji dalam penelitian ini. Keenam hipotesis tersebut melibatkan 7 variabel dan 14 indikator. Bentuk model indikator dalam Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
penelitian ini adalah refleksif. Menurut Ghozali (2006: 7) model refleksif mengasumsikan bahwa konstruk atau variabel laten mempengaruhi indikator (arah hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator atau manifest). Bentuk model hubungan antar variabel dan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
TA UP TK
CSRD2
ROA
CSRD1
PRF
CSRD3
AR
ROE H/L
PRL
DK
KOM
SP
KP
CSRD
CSRD4
RI
TVA
CSRD5
Gambar 4.1 Model Penelitian
4.8.2 Deskripsi Data Data
dalam
penelitian
ini
terlebih
dahulu
dideskripsikan
dengan
menggunakan Descriptive Statistic. Deskripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai nilai Mean, Sum, Standar Deviasi, Variance, Range, Minimum dan Maximum dari setiap data.
4.8.3 Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan secara serentak dengan menggunakan metode PLS. PLS tidak mengasumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter sehingga tidak diperlukan teknik parametrik untuk menguji signifikansi parameter (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2006: 24). Alat yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Software Visual Partial Least Square versi 1.04 (VisualPLS 1.04). Pengujian dengan metode PLS terdiri dari pengujian outer model (measurement) dan inner (struktural) model. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Ringkasan hipotesis dan pengujiannya Tabel 4.4 Pengujian Hipotesis No
Hipotesis
1.
Ha1
2.
Pernyataan
Nilai t hitung
Simpulan
UP Æ CSRD
> 1,96
Diterima
Ha2
PRF Æ CSRD
> 1,96
Diterima
3.
Ha3
PRL Æ CSRD
> 1,96
Diterima
4.
Ha4
KOM Æ CSRD
> 1,96
Diterima
5.
Ha5
KP Æ CSRD
> 1,96
Diterima
6.
Ha6
CSRD Æ AR
> 1,96
Diterima
7.
Ha7
CSRD Æ TVA
> 1,96
Diterima
Hipotesis
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisis Data Pada tahap tabulasi data, terdapat sebagian perusahaan yang dijadikan objek penelitian, ternyata datanya tidak lengkap. Ketidaklengkapan tersebut terkait dengan ketiadaan pencantuman sebagian informasi yang diperlukan untuk mengukur karakteristik perusahaan, misalnya ketiadaan informasi mengenai jumlah tenaga
kerja.
Berdasarkan
pertimbangan
kelengkapan
data
maka
jumlah
perusahaan yang dijadikan objek penelitian menjadi berkurang sebanyak 22, sehingga akhirnya jumlah perusahaan yang dijadikan objek penelitian adalah 94 perusahaan . Selanjutnya, data dari 94 perusahaan tersebut dihitung statistik deskriptifnya untuk
mengetahui
menggunakan
karakteristik
metode
PLS
data.
untuk
Kemudian
pengujian
data
hipotesis.
dianalisis Dengan
dengan demikian,
berdasarkan hasil analisis tersebut dilakukan interpretasi beserta pembahasannya.
4.1.1 Deskripsi Data Guna mengetahui karakteristik data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan uji statistik deskriptif.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4.1.2 Hasil Uji Hipotesis Pengujian dengan
metode
PLS
terdiri dari pengujian outer
model
(measurement) dan inner (struktural) model. Berikut ini hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan metode PLS: 4.1.2.1 Pengujian Outer Model (Measurement) Terdapat tiga kriteria yang digunakan dalam penilaian outer model yaitu convergent
validity,
discriminant
validity,
dan
composite
reliability.
Berikut
penjelasan untuk tiap-tiap penilaian tersebut: a. Convergent validity Convergent validity dari model pengukuran dengan indikator refleksif dinilai berdasarkan korelasi antar item score/component score dengan construct score yang dihitung dengan PLS. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur. Meskipun demikian, untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading 0,50 sampai 0,60 dianggap cukup.
Tabel 4.5 Hasil Uji Convergent Validity Tahap Kedua Factor Loading, Residual and Weights Construct Indicator
Mean
Stdev
TK
4426.500000
9545.495786 1.000000 0.000000 1.000000
PRF
ROA
0.056158
0.103919 1.000000 0.000000 1.000000
PRL
H/L
0.308511
0.464355 1.000000 0.000000 1.000000
KOM
DK
4.648936
1.927210 1.000000 0.000000 1.000000
KP
SP
25.936717
18.144139 1.000000 0.000000 1.000000
CSRD4
2.808511
2.205938 0.984200 0.031400 0.507500
CSRD5
3.851064
3.860351 0.984200 0.031300 0.508500
UP
CSRD RI
Loading Residual Weight
AR 163469085.106383 462841635.847038 1.000000 0.000000 1.000000 Sumber:Output VPLS.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh nilai loading factor tiap-tiap indikator adalah lebih dari 0,5 sehingga hasil tersebut telah memenuhi convergent validity. b. Discriminant validity Langkah selanjutnya adalah menilai discriminant validity indikator refleksif. Discriminant validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, hal tersebut menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran blok lainnya. Berikut ini hasil yang menunjukkan penilaian cross loading tersebut:
Tabel 4.6 Hasil Uji Discriminant Validity Factor Structure Matrix of Loadings and Cross-Loadings Scale Items
UP
PRF
PRL
KOM
KP
CSRD
RI
TK
1.0107
0.1437
0.1043
0.4938
0.1484
0.3534
0.0818
ROA
0.1439
1.0106
0.0781
0.1783
-0.1020
0.1623
-0.0796
H/L
0.1045
0.0778
1.0108
-0.0099
0.0291
0.2449
0.0365
DK
0.4938
0.1784
-0.0099
1.0108
-0.0482
0.2341
-0.0625
SP
0.1484
-0.1018
0.0291
-0.0482
1.0108
0.2039
0.3586
CSRD4
0.3370
0.1557
0.2499
0.2011
0.2145
0.9941
0.1910
CSRD5
0.3578
0.1635
0.2323
0.2587
0.1869
0.9947
0.1656
AR
0.0817
-0.0795
0.0366
-0.0627
0.3586
0.1816
1.0107
Sumber:Output VPLS.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa korelasi konstruk UP dengan indikatornya (1.0109), yaitu TK, lebih tinggi dibandingan dengan korelasi indikator TK dengan konstruk lainnya (PRF, PRL, KOM, KP, CSRD, dan RI). Hal ini juga berlaku untuk korelasi kostruk dengan indikator yang lainnya. Dengan demikian
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
maka disimpulkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator pada blok lainnya. c. Composite Reliability Langkah selanjutnya adalah uji composite reliability dari blok indikator yang mengukur konstruk. Composite reliability blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat dievaluasi dengan menggunakan dua ukuran, yaitu internal consistency dan cronbach’s alpha. Model yang baik juga harus mempunyai composite reliability di atas 0,8. Berikut hasil yang diperoleh:
Tabel 4.7 Uji Composite Reliability Reliability and AVE Construct
Composite Reliability
AVE
Cronbach Alpha
UP
1.000000
1.000000
0.000000
PRF
1.000000
1.000000
0.000000
PRL
1.000000
1.000000
0.000000
KOM
1.000000
1.000000
0.000000
KP
1.000000
1.000000
0.000000
CSRD
0.984075
0.968650
0.893524
RI
1.000000
1.000000
0.000000
Sumber:Output VPLS.
Hasil composite reliability menunjukkan nilai yang memuaskan yaitu 1 untuk tiaptiap konstruk, kecuali konstruk CSRD yang bernilai 0,969. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dibentuk adalah baik karena nilai composite reliability lebih dari 0,8.
4.1.2.2
Pengujian Inner Model atau Model Struktural
Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk dependen, Stone-Geisser Q-square test untuk predictive relevance, dan uji t serta Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. Berikut ini gambar model yang menunjukkan hasil pengujian model struktural:
Gambar 4.1 Hasil Pengujian Model Struktural
Sumber:Output VPLS. Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa model memberikan nilai R Square sebesar
0,686
untuk
pengaruh
karakteristik
perusahaaan
terhadap
pengungkapan CSR dan 0,529 untuk pengaruh pengungkapan CSR terhadap reaksi investor.
Tabel berikut memuat keterangan mengenai hasil uji model struktural: Table 4.9 Hasil Uji Model Struktural Structural Model--BootStrap Entire
Mean
Sample
of
estimate
Subsamples
Standard error
T-Statistic
up->csrd
-0.0380
-0.0444
0.0345
-1.1026
prf->csrd
-0.0830
-0.1005
0.1183
-0.7015
prl->csrd
0.6080
0.6354
0.1861
3.2673
-0.0230
-0.2682
0.2219
-0.1036
kom->csrd
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kp->csrd
0.3150
0.2512
0.1541
2.0443
csrd->ri
0.7270
0.7202
0.0843
8.6220
Sumber:Output VPLS. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga jalur yang memiliki nilai t statistik lebih dari 1,96, yaitu pengaruh profil terhadap pengungkapan CSR, pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan CSR, dan pengaruh pengungkapan CSR terhadap reaksi investor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga jalur tersebut signifikan pada 0,05 serta memiliki koefisien parameter masing-masing -0,0830, 0,3150 dan 0,7270. Sedangkan ketiga jalur yang lain memperoleh nilai t statistik yang kurang dari 1,96. Hasil dari pengujian model struktural juga menunjukkan bahwa dari 6 hipotesis yang diajukan, 3 di antaranya diterima dan 3 yang lain ditolak. Hal tersebut disebabkan perolehan nilai t statistik untuk 3 hipotesis yang diterima adalah lebih dari 1,96, sedangkan 3 yang lain perolehan t statistiknya kurang dari 1,96. Hipotesis yang diterima adalah: Ha5 = konsentrasi kepemilikan perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR Ha3 = profile perusahaan berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR Ha6= keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor Hipotesis yang ditolak adalah: Ha1 = ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR Ha2 = profitabilitas berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR Ha4 = ukuran dewan komisaris perusahaan berpengaruh terhadap keluasan pengungkapan CSR 5.2 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data, dari 6 hipotesis yang diajukan, terdapat 3 hipotesis yang diterima dan 3 hipotesis yang ditolak. Berikut ini ringkasan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan: Tabel 4.10 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
No
Hipotesis
1.
Ha1
2.
Pernya taan
Nilai t hitung
Simpulan
UP Æ CSRD
-1.1026
Dito lak
Ha2
PRF Æ CSRD
-0.7015
Dito lak
3.
Ha3
PRL Æ CSRD
3.2673
Diterima
4.
Ha4
KOM Æ CSRD
-0.1036
Dito lak
5.
Ha5
KP Æ CSRD
2.0443
Diterima
6.
Ha6
CSRD Æ RI
8.6220
Diterima
4.2.1
Pengaruh
Hipote sis
Karakteristik
Perusahaan
terhadap
Tingkat
Keluasan
Pengungkapan CSR Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas terlihat jelas bahwa penelitian ini menemukan bukti bahwa karakteristik perusahaan yang mempengaruhi tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah profile dan konsentrasi kepemilikan, sedangkan ukuran perusahaan, profitabilitas dan ukuran dewan komisaris terbukti tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Berikut ini pembahasan lebih lanjut mengenai hasil hipotesis tiap-tiap variabel: 4.2.1.1 Pengaruh
Ukuran
Perusahaan
terhadap
Tingkat
Keluasan
Pengungkapan CSR Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh bukti bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Hasil ini sama seperti yang diperoleh Robert (1992). Penjelasan mengenai bukti ini salah satunya bisa diperoleh dari karakteristik data yang digunakan untuk mengidentifikasi variabel ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan 2 indikator, yaitu jumlah tenaga kerja dan total asset. Kedua indikator tersebut masingmasing memiliki nilai deviasi standar yang relatif besar, yaitu 9,546 untuk tenaga kerja dan Rp 41.399.752.092.910,00. Nilai deviasi standar mengukur rata-rata penyimpangan tiap-tiap item data terhadap nilai yang diharapkan. Nilai yang diharapan umumnya adalah nilai rata-rata (Hartono, 2004:164). Dibandingkan dengan nilai rata-ratanya, kedua nilai deviasi standar tersebut jauh di bawah nilai
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
rata-ratanya. Selain itu, kedua indikator tersebut tidak terdistribusi secara normal. Nilai skewness dan kurtosis kedua indikator tersebut adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa pola distribusi data terpusat pada satu sisi saja. Penjelasan mengenai karakteristik kedua indikator tersebut memberikan alasan mengapa hipotesis mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR tidak dapat diterima atau ditolak. Penggunaan data yang tidak berdistribusi normal menyebabkan hasil uji statistik akan terdegradasi (Ghozali, 2005:28). Selain alasan data yang tidak normal, penolakan hipotesis bisa juga dijelaskan karena adanya faktor lain. Salah satu argumentasi penolakan hipotesis adalah bahwa posisi ukuran perusahan dalam perumusan strategi perusahaan (termasuk program CSR) terkait erat dengan formalitas dalam manajemen strategik. Formalitas sistem manajemen strategik berbeda-beda di perusahaan yang berbeda. Formalitas mengacu pada seberapa rinci tingkat tanggung jawab, wewenang, dan keleluaasaan (discreation) pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan (Pierce dan Robin, 1997: 29). Formalitas yang lebih besar biasanya berkorelasi positif dengan biaya, kelengkapan (comprehensiveness), akurasi, dan keberhasilan perencanaan. Sejumlah faktor menentukan seberapa besar formalitas dibutuhkan dalam manajemen
strategik.
Besar
organisasi,
gaya
manajemen
yang
dominan,
kompleksitas lingkungan, proses produksi, masalah, serta tujuan sistem memainkan peran dalam menentukan tingkat yang sesuai. Penerapan program CSR ternyata juga tidak tergantung pada ukuran perusahaan. Perusahan menghadapi isu-isu yang rumit menyangkut tanggung jawab sosial. Isu-isu tersebut jumlahnya sangat banyak, kompleks, dan bergantung pada situasi. Aturan bisnis yang kaku tidak dapat menangani hal tersebut. Setiap perusahaan, tanpa melihat ukuran harus memutuskan bagaimana memenuhi tanggung jawab sosialnya.. Terdapat berbagai variasi cara pandang perusahaan terhadap CSR, apakah hal ini dianggap sebagai hal yang penting atau tidak. Cara pandang ini selanjutnya akan mempengaruhi praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga akan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
berdampak pada pengungkapan CSR yang disusunnya. Sejauh ini terdapat tiga cara perusahaan memandang CSR. Pertama, sebagai strategi perusahaan yang pada akhirnya mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai compliance (kewajiban) karena nantinya ada hukum yang memaksa penerapannya. Ketiga, yang melakukannya beyond compliance karena perusahaan merasa sebagai bagian dari komunitas (Pambudi, 2006a). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor penting lain yang harus diperhatikan selain ukuran perusahaan, yaitu cara pandang perusahaan terhadap CSR.
4.2.1.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Keluasan Pengungkapan CSR Penelitian ini memperoleh bukti bahwa tidak terdapat bukti profitabilitas berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Hasil tersebut sama dengan penelitian Hackston dan Milne (1996) serta Sembiring (2003). Indikator yang digunakan untuk menilai profitabilitas perusahaan adalah ROA dan ROE. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai skewness dan kurtosis untuk tiap-tiap indikator adalah lebih dari 0 sehingga dapat dikatakan bahwa data ROA dan ROE tidak terdistribusi secara normal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab tertolaknya hipotesis mengenai pengaruh profitabilitas terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah tidak normalnya distribusi data. Profitabilitas merupakan hasil bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan yang
diambil
oleh
manajemen
suatu
organisasi.
Rasio-rasio
profitabilitas
menunjukkan seberapa efektif pengelolaan keseluruhan perusahaan. Rasio profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dalam satu waktu dan dianalisis secara bersama-sama tanpa membedakan jenis industri. Hal tersebut bisa menjadi salah satu penyebab tertolaknya hipotesis mengenai pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan CSR. Secara teori, penggunaan rasio ini dalam keputusan strategis perusahaan ternyata tidak bisa jika hanya dalam satu waktu dan lintas industri. Argumen lain terkait penolakan hipotesis tentang pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
CSR adalah terkait dengan kelemahan profitabilitas sebagai alat pengukur kinerja. Secara teori, terdapat kelemahan analisis keuangan termasuk profitabilitas. Setiap gambaran yang diberikan analisis tersebut didasarkan pada data masa lalu. Meskipun kecenderungan layak diperhatikan, gambaran tersebut tidaklah otomatis dapat diterapkan untuk masa mendatang. Selain itu, analisis ini bergantung pada prosedur akuntansi yang digunakan untuk menyediakan informasi tersebut. Bila melakukan perbandingan antar perusahaan, harus diingat bahwa prosedur akuntansi yang digunakan suatu perusahaan mungkin berbeda dengan prosedur akuntansi yang digunakan di perusahaan lain (Pierce dan Robin, 1997: 257). Hasil temuan penelitian ini juga bisa dikonfirmasikan dengan penelitian Capaldi (2006). Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa hubungan profitabilitas dengan tingkat keluasan pengungkapan CSR dipengaruhi oleh cara pandang pengusaha terkait dengan dualisme hubungan CSR dengan laba. Ada sebagian pengusaha yang memandang CSR sebagai pengurang laba dan ada sebagian yang justru
berpandangan
sebaliknya.
Dengan
demikian
variabel
profitabilitas
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR dengan syarat terdapat faktor lain dalam hubungan tersebut, yaitu cara pandang pengusaha terhadap CSR.
4.2.1.3 Pengaruh
Profile
Perusahaan
terhadap
Tingkat
Keluasan
Pengungkapan CSR Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh bukti bahwa terdapat pengaruh profile perusahaan terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. Penelitian yang berkaitan dengan profile perusahaan kebanyakan mendukung bahwa industri high-profile mengungkapkan informasi tentang tanggung jawab sosialnya lebih banyak dari industri low-profile. Penelitian yang menemukan bukti yang sama antara lain Hackston dan Milne (1996), Rashid dan Ibrahim (2002), Zuhroh dan Sukmawati (2003), Juholin (2004), Sallyanne (2004), Jones, et al (2005), Branco dan Rodrigues (2006), dan Jones, et al (2007). Hasil
tersebut
memberi
tambahan
bukti
bahwa
profile
perusahaan
menggambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya keuangan, manusia dan fisik perusahaan. Profile ini juga menilai kekuatan dan kelemahan manajemen dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
struktur organisasi perusahaan, sehingga berpengaruh pada keputusan strategiknya (Pierce dan Robin, 1997: 34).
4.2.1.4 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Tingkat Keluasan Pengungkapan CSR Sama seperti hipotesis tentang ukuran perusahaan dan profitabilitas, hipotesis tentang pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR juga ditolak. Alasan di balik penolakan hipotesis tentang pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR bisa disebabkan oleh tidak normalnya distribusi data jumlah dewan komisaris. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, indikator ukuran dewan komisaris memiliki nilai skewness dan kurtosis masing-masing adalah 1,030 dan 0,860. Secara teori, tertolaknya hipotesis ini bisa dijelaskan melalui teori tentang perumusan strategi perusahaan. Perumusan kebijakan strategi perusahaan yang baik tidak hanya dilakukan oleh dewan komisaris. Tim manajemen strategi yang ideal terdiri dari para pengambil keputusan dari ketiga tingkat keputusan, yaitu korporasi, bisnis, dan fungsional. Selain itu, tim ini mendapat masukan dari staf perencanaan perusahaan, bila ada, dan dari manajer dan penyelia tingkat bawah (Pierce dan Robin, 1997: 23). Keputusan strategik yang didasarkan pada kelompok mungkin sekali dihasilkan
dari
alternatif
terbaik
yang
ada.
Proses
manajemen
strategik
menghasilkan keputusan yang lebih baik karena interaksi kelompok menghasilkan strategi yang lebih beragam dan karena peramalan yang didasarkan pada bermacam-macam spesialisasi anggota kelompok meningkatkan kemampuan menyaring pilihan. Selain itu, keterlibatan karyawan dalam perumusan starategi meningkatkan pemahaman mereka akan adanya hubungan produktibitas-imbalan di setiap rencana strategik, sehingga mempertinggi motivasi mereka (Pierce dan Robin, 1997: 31). Selain faktor komposisi pembuat kebijakan strategis, hal lain yang perlu diperhatikan terkait perumusan strategi perusahaan adalah tujuan perusahaan. Pada umumnya, arah strategik perusahaan didominasi tiga tujuan ekonomis, yaitu
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kelangsungan hidp (survival), melalui pertumbuhan (growth), dan profitabilitas (Pierce dan robin, 1997: 60). Keberadaan dewan komisaris dalam sebuah perusahaan ternyata juga dipengaruhi oleh posisinya. Pierce dan Robin (1997: 72) menyebutkan bahwa terdapat survai terhadap 2.361 komisaris dari 291 perusahaan di Amerika Serikat bagian tenggara. Hasil yang diperoleh survai tersebut antara lain menyatakan bahwa komisaris memandang pihak-pihak yang berkepentingan secara berbedabeda, tergatung pada posisi mereka (komisaris direksi dan komisaris-bukan direksi) serta tipe mereka (komisaris intern atau ekstern). Selain itu, survai tersebut juga menunjukkan bahwa pihak yang berkepentingan bagi dewan komisaris menurut urutan kepentingan mereka adalah pelanggan dan pemerintah, pemegang saham, karyawan, dan masyarakat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penilaian tentang dewan komisaris tidak cukup dari sisi kuantitas semata, melainkan terdapat faktorfaktor lain yang harus diperhatikan.
4.2.1.5 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap Tingkat Keluasan Pengungkapan CSR Hipotesis yang menyataan bahwa terdapat pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR diterima. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang lebih dari 1,96, yaitu 2,044. Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan pengendalian operasional perusahaan. Perusahaan yang proporsi kepemilikan publiknya besar, maka memerlukan pengendalian yang lebih ketat. Pengertian publik adalah pihak individu yang berada di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa terhadap perusahaan. Terdapat
beberapa
penelitian
tentang
hubungan
antara
konsentrasi
kepemilikan dengan isu manajerial. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2006) menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan terbukti berpengaruh terhadap kualitas corporate governance. Terkait dengan isu CSR, maka corporate governance memiliki kesamaan dalam hal tata kelola perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Bukti tersebut juga selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Belkaoui (2006:350). Menurutnya, secara implisit diasumsikan bahwa organisasi seharusnya bertindak dalam cara yang memaksimalkan kesejahteraan sosial, seolah-oleh terdapat kontrak sosial di antara organisasi dan masyarakat. Oleh karenanya, organisasi mendapatkan semacam legitimasi organisasional vis-a-vis masyarakat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dinyatakan dalam teori keagenan. Teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggung-jawaban atas segala sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan. Selanjutnya, frase pemilik perusahaan mengalami perkembangan lebih lanjut, tidak hanya pemilik modal (shareholder), tetapi juga meluas ke unsur stakeholders lainnya, yaitu masyarakat luas termasuk pemerintah dan lingkungan alam. Hasil penelitian ini juga konsisten dengan teori legitimasi. Teori ini mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders. Fokus utama dalam teori ini, yaitu bagaimana perusahaan memonitor dan merespon kebutuhan
para
stakeholders-nya.
Perusahaan
berusaha
untuk
mencari
pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi perusahaan. Semakin kuat posisi stakeholders, maka semakin kuat pula kecenderungan perusahaan untuk beradaptasi sesuai keinginan mereka. Teori-teori lain yang mendukung praktik pengungkapan sosial, yaitu teori kontrak sosial. Teori tersebut menyatakan bahwa perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu komunitas. Perusahaan memiliki kontrak sosial dengan masyarakat di sekitarnya untuk melaksanakan tugas tertentu dalam batasanbatasan keadilan. Dengan demikian, hubungan yang terjadi adalah hubungan timbal balik atau hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Social cost yang dibayar oleh masyarakat harus dikompensasi dengan social benefit yang diberikan perusahaan kepada masyarakat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas tertentu itulah, maka perusahaan melaksanakan pengungkapan sosial di samping juga melakukan pengungkapan sukarela lainnya (Mathew, 1987) dalam (Pratiwi dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Djamhuri,
2004).
Penelitian
tekah
memberikan
bukti
tambahan
mengenai
pentingnya posisi masyarakat bagi perusahaan.
4.2.2 Pengaruh Tingkat Keluasan Pengungkapan CSR terhadap Reaksi Investor Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat keluasan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap reaksi investor. Hal ini dibuktikan dari hasil perolehan tstatistik yang nilainya lebih dari 1,96, yaitu 8,622. Dengan demikian penelitian ini selaras dengan penelitian Frankental (2001), Raar (2004), Baron (2005), Rute, et al (2005), Zuhroh dan Sukmawati (2003), Cetindamar dan Husoy (2007), dan Lopez, et al (2007). Penelitian ini mengukur reaksi investor dengan menggunakan dua indikator, yaitu abnormal retun dan trading volume activity. Pengamatan atas reaksi investor dilakukan selama 11 hari, yaitu 5 hari sebelum dan 5 hari setelah publikasi laporan tahunan. Hasil penelitian ini ini membuktikan bahwa CSR secara efektif adalah perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya adalah untuk memberikan informasi kepada investor (Belkaoui, 2006: 349). Menurut Belkaoui (2006:350) pada dasarnya pengguna laporan keuangan membutuhkan informasi sosial untuk keputusan alokasi pendapatan mereka. Bahkan pada kenyataannya mereka ingin agar perusahaan mengarahkan sumber daya yang mereka miliki untuk membersihkan pabrik mereka, menghentikan polusi lingkungan, dan membuat produk-produk yang lebih aman. Alasan yang melandasi perilaku investor tersebut antara lain investor mengapresiasi praktik CSR ini dan melihat aktivitas CSR sebagai rujukan untuk menilai
potensi
keberlanjutan
suatu
perusahaan.
Bila
perusahaan
tidak
mengungkapkan program CSR, bisa jadi stakeholder menganggap perusahaan yang bersangkutan tidak melakukan tanggung jawab sosialnya dan meragukan going
concern-nya
(Pambudi,
2006b).
Selanjutnya,
investor
akan
menilai
perusahaan tidak mampu mempertahankan keberlanjutan usahanya sehingga investor tidak tertarik untuk mengivenstasikan dananya pada perusahaan tersebut.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Karakteristik perusahaan yang terbukti berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR adalah profile perusahaan dan konsentrasi kepemilikan. Sedangkan tiga karakteristik lainnya, yaitu ukuran perusahaan, profitabilitas, dan ukuran dewan komisaris tidak terbukti berpengaruh terhadap tingkat keluasan pengungkapan CSR. 2. Terdapat reaksi investor atas keluasan pengungkapan CSR melalui pengujian abnormal return dan volume perdagangan saham. 5.2 Implikasi Penelitian Penelitian ini telah memberikan temuan positif bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu : 1. Investor Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa investor sudah mulai merespon dengan baik informasi-informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan. Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap abnormal return dan volume perdagangan saham perusahaan yang ditunjukkan dengan terjadinya lonjakan perdagangan dan abnormal return pada seputar publikasi laporan tahunan. 2. Perusahaan Berdasarkan
penelitian
ini
sebaiknya
perusahaan
mempertim-bangkan
kepemilikan saham oleh masyarakat dan juga profile-nya ketika menyusun program CSR. Selain itu, perusahaan juga hendaknya lebih memperhatikan kualitas dan kuntitas pengungkapan sosial yang dilakukan untuk periode berikutnya, karena informasi tersebut akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 3. Pihak-pihak yang berkepentingan lainnya Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pihak yang berkepentingan khususnya Pemerintah, Bapepam dan IAI dalam merumuskan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kebijakan, peraturan dan standar yang berkaitan dengan tanggungjawab sosial perusahaan- perusahaan di Indonesia, baik yang telah go publik maupun belum. 5.3 Keterbatasan Penelitian Sebagaimana penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Zuhroh dan Sukmawati (2003) serta Sembiring (2005), kelemahan/keterbatasan pada penelitian ini antara lain: 1. Penyusunan daftar pengungkapan sosial cenderung bersifat subyektif dan memungkinkan terlewatnya item-item tertentu yang seharusnya diungkap oleh perusahaan. 2. Karena menggunakan tema yang beraneka ragam, mengakibatkan sulit membedakan kualitas pengungkapan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. 3. Penggunaan
checklist
mengakibatkan
sulit
membedakan
kualitas
pengungkapan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Misalnya bila PT. ABC menjelaskan secara mendetail program-program pendidikan dan latihan karyawannya, akan terlihat sama dengan PT. XYZ yang hanya mengungkap “....telah mengadakan penelitian bagi karyawan” 4. Penelitian ini hanya membatasi pada sisi pengungkapan sosial, bukan pada aktifitas sosial. Bilamana perusahaan tidak memanfaatkan laporan tahunan untuk menjelaskan seluruh aktivitas selama tahun pelaporan, akan muncul kesenjangan antara aktivitas sosial dengan pengungkapan sosial. Akibatnya laporan tahunan gagal menjelaskan seluruh aktivitas sosial perusahaan. 5.4 Saran untuk Peneliti Berikutnya Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan referensi dalam penelitian berikutnya. Adapun instrumen yang perlu ditambahkan dalam penelitian selanjutnya adalah jumlah objek penelitian, periode pengamatan lebih diperpanjang dan item pengungkapan sosial sebaiknya lebih disempurnakan lagi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Adam, C.; W., Hill.; C., Roberts. (1998). Corporate Social Reporting Practices in Western Europe. British Accounting Review, 30(1), 1-21. Anggraini, F. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Bursa Efek Jakarta). Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 9, Universitas Andalas, Padang. Ardiansyah, R. (2002). Pengaruh Pengumuman Saham Bonus Terhadap Volume Perdagangan Saham. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, 2(2). Baron, D. (2005). Corporate Social Responsibility and Social Entrepreneurship. Research Paper No. 1916, Stanford Graduate School of Business. Belkaoui, A. (2006). Accounting Theory. Fifth Edition. Thomson Learning, Singapore. Diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto: Teori Akuntansi. Buku Satu, Edisi Kelima. Salemba Empat, Jakarta. Belkaoui, A.; P., Karpik. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose Social Information. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 2(1), 3651. Branco, M.; L., Rodrigues. (2006). Communication of corporate social responsibility by
Portuguese
banks:
A
legitimacy
theory
perspective.
Corporate
Communications: An International Journal, 11(3), 232-248. Capaldi, N. (2005). Corporate Social Responsibility And The Bottom Line. International Journal of Social Economics, 32(5), 408-423. Cetindamar, D.; K., Husoy. (2007). Corporate Social Responsibility Practices And Environmentally Responsible Behavior: The Case Of The United Nations Global Compact. Journal Of Business Ethics, 76, 163–176. Cooper, D.R.; C.W., Emory, (1996). Business Research Methods. 5th Edition, Richard D. Irwin, Inc., USA.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Cooper, C.; P., Taylor.; N., Smith.; L., Catchpowle. (2004). A Discussion of the Political Potential of Social Accounting, Critical Perspectives on Accounting, xxx, 1-24. Darmawati, D. (2006). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Dan Faktor Regulasi Terhadap Kualitas Implementasi Corporate.
Paper presented at the
Simposium Nasional Akuntansi 9, Universitas Andalas, Padang. Djatmiko, H. (2006, 11 Januari). Saatnya Menabur. Majalah SWA, 26(XXI/19). Frankental, P. (2001). Corporate Social Responsibility - A PR Invention?. Corporate Communications: An International Journal, 6(1), 18-23. Ghozali, I. (2006). Structural Equation Modelling Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS). Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Global Reporting Initiatives. (2006). Sustainability Reporting Guidelines. GRI, CERES Boston. Gray, R.; R., Kouhy.; S., Lavers. (1995). Corporate Social And Environmental Reporting: A Review of The Literature and A Longitudinal Study of UK Disclosure. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 8(2), 47-77. Gray, R.; M., Javad.; M., David. (2001). Social And Environmental Disclosure, and Corporate Characteristic: A Research Note and Extension, Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 28(3), 327-356. Hackston, D.; M., Milne. (1996). Some Determinants of Social And Environmental Disclosures
In
New
Zaeland
Companies.
Accounting,
Auditing,
and
Accountability Journal, 9(1), 77-108. Hartono, J. (2003). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi 3. BPFE UGM, Yogyakarta. --------------. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman. Edisi 2003/2004, BPFE UGM, Yogyakarta. Hendriksen, E. (1998). Accounting Theory. Fifth Edition. Diterjemahkan oleh Herman Wibowo: Teori Akunting. Buku Satu, Edisi Kelima. Interaksara, Batam. Hines, R. (1998). Financial Accounting Knowledge, Conceptual Framework Projects And The Social Construction of The Accounting Profession. Accounting Auditing And Accountability Journal, 22, 72-92.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hopkins, M. (2004). Corporate Social Responsibility: An Issues Paper. Working Paper No. 27, International Labour Organization. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). (2002). Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat, Jakarta. Indra, D. (2008). Respon Investor Terhadap Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) (Studi Kasus Pada Perusahaan Pemenang CSR Award yang Listing di Bursa Efek Indonesia. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Univeritas Brawijaya, Malang. Indriantoro, N.; B., Supomo. (2002). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE UGM, Yogyakarta . Jensen, M.; Meckling. (1976). The Agency Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Awnership Structure. Journal of Financial Economic, 3(4). Jones, P.; D., Comfort.; D., Hillier. (2005). Corporate Social Responsibility And The UK’s Top Ten Retailers. International Journal of Retail & Distribution Management, 33(12), 882-892. Juholin, E. (2004). For Business Or The Good Of All? A Finish Approach To Corporate Social Responsibility, Corporate Governance, 4(2), 20-31. Lopez, M.; A., Garcia., L., Rodriguez. (2007). Sustainable Development And Corporate Performance: A Study Based On The Dow Jones Sustainability Index. Journal of Business Ethics, 75, 285–300. Machfoedz, M. (1994). Financial Ratio Analysis and The Prediction of Earnings Changes in Indonesia. Kelola: Gajah Mada University Business Review, 7/III. Martono, C. (2002). Analisis Pengaruh Profitabilitas Industri, Rasio Leverage Keuangan Tertimbang Dan Intensitas Modal Tertimbang Serta Pangsa Pasar Terhadap “ROA” dan “ROE” Perusahaan Manufaktur Yang Go- Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan, 4(2), 126-140. Morrison, C.; D., Siegel. (2006). Corporate Social Responsibility And Economic Performance, International Centre For Corporate Social Responsibility. Workshop On Corporate Social Responsibility At The University Of Nottingham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 41
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
O`Dwyer, B., (2003). Conceptions of Corporate Social Responsibility: The Nature Managerial Capture. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, 16(14), 523-557. Pambudi, T. (2006a, 11 Januari). Perjalanan Si Konsep Seksi. Majalah SWA, 26(XXI/19), 44-45. ----------------. (2006b, 11 Januari). Reporting, Sukarela tapi Bernilai. Majalah SWA, 26(XXI/19), 46-47. Pierce, R; R.,Junior (1997). Strategic Management. Richard D. Irwin, Diterjemahkan oleh Agus Maulana: Manajemen Strategik Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian. Jilid Satu, Edisi Pertama. Binarupa Aksara, Jakarta. Pratiwi, S.; A., Djamhuri. (2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik-praktik Pengungkapan Sosial: Studi pada Perusahaan-perusahaan High-Profile yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. TEMA, 5(1). Purwati, I. (2001). Analisis Pengaruh Luas Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Terhadap Reaksi Investor. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Univeritas Brawijaya, Malang. Raar, J. (2004). Environmental And Social Responsibility: A Normative Financial Reporting Concept. Accepted For Presentation At The Fourth Asia Pacific Interdisciplinary Research In Accounting Conference, Singapore. Rakhmad, B. (2006). Analisis Perbedaan Harga Dan Volume Saham Sebelum Dan Sesudah Pengumuman Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) 2005 (Studi Kasus Pada Empat Perusahaan Pemenang Award. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Univeritas Brawijaya, Malang. Rashid, A.; S., Ibrahim. (2002). Executive And Management Attitudes Towards Corporate Social Responsibility In Malaysia. Corporate Governance, 2(4), 1016. Rasmiati. (2002). Hubungan Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan Perusahaan Dengan Volume Penjualan Saham: Studi Kasus Pada Perusahaan High-Profile di BEJ. Unpublished Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Univeritas Merdeka, Malang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 42
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Robert, R. (1992). Determinant of Social Corporate Disclosure: An Application of Stakeholder Theory”, Accounting, Organizations, and Society, 17(6). Rute, A.; F., David.; D., Crowther. (2005). Corporate Social Responsibility In Portugal: Empirical Evidence of Corporate Behaviour. Corporate Governance, 5(5), 3-18. Sallyanne, D. (2004). Corporate Social Responsibility And Structural Change In Financial Services. Managerial Auditing Journal, 19(6), 712-728. Sembiring, E. (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan Pada Hutang, dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 6, Universitas Airlangga, Surabaya. -----------------. (2005). Karakteristik Perusahaan Dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Bursa Efek Jakarta. Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 8, Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo. Simanjuntak,
B.;
L.,
Widiastuti.
(2004).
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 7(3). Utomo, M. (2000). Praktik Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia: Studi Perbandingan antara Perusahaan-perusahaan High-Profile dan Low-Profile. Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 3. Wibisomo, F. (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Fascho Publishing, Gresik. Zuhroh, D.; I., Sukmawati. (2003). Analisis Pengaruh Luas Pengungkapan Sosial Dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap Reaksi Investor (Studi Kasus Pada Perusahaan-perusahaan High Profile di BEJ). Paper presented at the Simposium Nasional Akuntansi 6, Universitas Airlangga, Surabaya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV04- 43
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH DIVERSIFIKASI TERHADAP CORPORATE GOVERNANCE DAN NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan Struktural Equation Model)
Istianingsih PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FE UI
Abstract
The objective of this study is to examine the efect of diversificstion and insider ownership on firm value. Sample used of this study is 95 firm’s annual report from companies listed in Jakarta Stock Exchange in 2005. Structural Equation Approach used in this study to examine the effect of diversification and the other variable together on the firm value and the corporate governance. The result of this study show that diversification significantly affect the insider ownership. Furthermore, bussines diversification negatively significant affect the firm value. On the other hand, I find no evidence the effect of diversification on corporate governance index. The result of this study is different from the previous studies in other country. The different result may caused by the different international corporate governance practice.
Keywords: Diversification, Insider Ownership, Corporate Governance, Firm Value.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perdebatan tentang manfaat diversifikasi usaha telah mendapat banyak perhatian peneliti dalam bidang akuntansi. Terdapat anggapan bahwa perusahaan yang didiversifikasi tidak baik karena cenderung menjadi powerful dan dalam hal tertentu dapat melakukan subsidi silang antar unit bisnis untuk mendesak pesaing keluar dari kompetisi. Perusahaan yang didiversifikasi menjadi cenderung anti kompetisi dan tidak menambah nilai bagi bisnis utama (Porter, 1987). Berbagai penelitian menemukan bahwa diversifikasi usaha berhubungan dengan kinerja perusahaan dengan hasil yang bervariasi. Lang dan Stulz (1994), menyatakan bahwa diversifikasi berhubungan negatif dengan Tobin’s Q. Berger dan Ofek (1995) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi akan mengalami penurunan nilai sekitar 15%. Sementara Graham, Lemmon, dan Wolf (1998); juga Campa dan Kedia (1999) menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari diversifikasi, karena perusahaan yang melakukan diversifikasi memang sudah mengalami penurunan ini sebelum dilakukannya
diversifikasi.
Serveas
(1996) tidak menemukan bukti
bahwa
perusahaan yang didiversifikasi mendapatkan premium atas harga saham yang lebih besar dari perusahaan yang tidak didiversifikasi. Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, Antoinette Schoar (2002), menemukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi memiliki produktivitas yang tinggi dibandingkan yang stand alone firm. Graham, Lemmon, dan Wolf (2002) menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi mendapat reaksi pasar yang positif berupa excess value, tetapi excess value yang diterima akan segera turun setelah event diversifikasi. Mereka juga menemukan bahwa excess value tersebut tidak mengalami penurunan ketika perusahaan menaikkan jumlah segmen usaha. Denis, Denis, dan Yost (2002) membuktikan bahwa peningkatan diversifikasi geografis akan menurunkan excess value perusahaan, sebaliknya penurunan diversifikasi geografis akan meningkatkan excess value. Lang dan Douklas (2003) menguji hubungan antara investasi asing dengan diversifikasi dan kinerja perusahaan
menemukan
bahwa
diversifikasi
geografis
akan
meningkatkan
shareholder value dan meningkatkan performa jangka panjang perusahaan ketika Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 diversifikasi ini dilakukan dalam investasi asing pada bisnis utama yang berhubungan (Greenfield). Villalonga (2004) membuktikan bahwa perusahaan yang didiversifikasi akan mendapatkan premium diversifikasi (excess value). Selain dapat menurunkan dan menaikkan nilai perusahaan, penelitian lain juga menemukan bahwa diversifikasi usaha juga berhubungan dengan corporate governance. Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000), menemukan bahwa corporate
governance
berhubungan
dengan
keputusan
untuk
melakukan
diversifikasi dimana karakteristik governance dapat menjelaskan nilai kerugian yang timbul akibat diversifikasi. Antoinette Schoar (2002) membuktikan bahwa rendahnya transparansi pada perusahaan yang didiversifikasi bukan penyebab adanya perbedaan kinerja antara diversified firm dengan stand alone firm. Sementara Jiraporn, Kim, Davidson, dan Singh (2005) menyatakan bahwa penurunan nilai untuk perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha berkaitan dengan agency theory. Dengan semakin luasnya kewenangan manajer dalam mengelola dan mengambil keputusan atas perusahaan yang didiversifikasi, akan
meyebabkan
terjadinya ekspropriasi terhadap pemegang saham. Hasil-hasil penelitian di atas secara umum memberikan bukti tentang pengaruh positif indeks CG terhadap nilai perusahaan. Akan tetapi, studi-studi tersebut juga mengakui adanya isu penting yang mungkin dapat mempengaruhi validitas hasil penelitian yang diperoleh. Isu tersebut terkait dengan adanya dugaan reverse causality atau endogenitas pada hubungan indeks CG dan nilai perusahaan. Adanya endogenitas ini tidak dapat diatasi dengan regresi ordinary least square (OLS) karena teknik dinilai kurang tepat untuk mengestimasi koefesien variabel pada model karena akan menghasilkan koefesien yang bias atau tidak konsisten, sebesar apapun sampelnya. Gujarati (2003) menyatakan bahwa teknik estimasi yang lebih tepat untuk model yang mengandung endogenitas adalah dengan pendekatan persamaan simultan. Keberadaan insider ownership (IO) juga memberi pengaruh terhadap diversifikasi dan nilai perusahaan. Kim, Lee, dan Fancis (1988) menggunakan pengelompokan IO untuk menguji hubungan antara kinerja (expected return) perusahaan dengan keberadaan IO. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa semakin tinggi IO akan semakin tinggi kinerja perusahaan. Penelitian Serveas Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 (1996) hasilnya justru menunjukkan bahwa insider ownership akan berhubungan negatif dengan diversifikasi. Perbedaan berbagai hasil penelitian yang ada, menunjukkan masih perlu dilakukannya penelitian tentang hubungan antara diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan. Penelitian-penelitian
sebelumnya,
sebagian besar hanya menguji secara terpisah hubungan antar variable dengan persamaan regresi ordinary least square (OLS). Ada kemungkinan bahwa jika dilakukan secara simultan, akan terdapat perbedaan hasil atas hubungan antar variabel ini. Kontribusi penelitian ini adalah menguji secara simultan hubungan antara variabel-variabel diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM).
1.2. Permasalahan Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh dari diversifikasi terhadap insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan? 2. Bagaimana pengaruh dari insider ownership terhadap corporate governance dan nilai perusahaan? 3. Bagaimana pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan? 4. Bagaimana pengaruh dari nilai perusahaan terhadap corporate governance? 5. Apakah insider ownership merupakan variabel intervening antara diversifikasi dengan corporate governance?
1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis pengaruh dari diversifikasi terhadap, insider ownership, corporate governance dan nilai perusahaan. 2. Menganalisis
pengaruh
dari
insider
ownership
terhadap
corporate
governance dan nilai perusahaan. 3. Menganalisis pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 4. Menganalisis
pengaruh
dari
nilai
perusahaan
terhadap
corporate
governance. 5. Menguji apakah insider ownership merupakan variabel intervening antara diversifikasi dengan corporate governance.
1.4. Manfaat Penelitian Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian dalam bidang akuntansi khususnya mengenai hubungan antara diversifikasi,
insider
ownership,
dan
corporate
governance
terhadap
nilai
perusahaan menggunakan persamaan simultan dengan pendekatan yang berbeda yaitu structural equation model (SEM). Penggunaan metode ini dapat memberikan tambahan literature yang berbeda dengan penggunaan metode sebelumnya untuk menguji masalah endogenitas yaitu metode ordinary least square(OLS) dan two stage least square (2SLS).
Bagi Entitas Bisnis Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan bagi perusahaan mengenai hubungan antara diversifikasi, insider ownership, dan praktek corporate governance terhadap nilai perusahaan. Terutama mengenai dampak diversifikasi,
penerapan
corporate
governance
terhadap
peningkatan
nilai
perusahaan, hasil studi ini diharapkan akan memberikan informasi kepada emiten mengenai pentingnya peran corporate governance yang baik dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Apabila hasilnya positif tentunya diharapkan makin mendorong mereka untuk lebih menerapkan corporate governance dengan lebih baik di perusahaannya.
Bagi Investor Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi kepada investor mengenai hubungan antara diversifikasi usaha, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan, sebagai dasar pengambilan keputusan investasi. Studi ini diharapkan memberikan informasi kepada investor tentang faktorBridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 faktor yang mempengaruhi praktek CG, nilai perusahaan, dan kualitas pelaporan perusahaan. Investor juga dapat memperoleh informasi tentang pola hubungan antara diversifikasi usaha, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan. Dengan mengetahui pola hubungan dan keterkaitan masing-masing variabel tersebut, investor diharapkan akan dapat memberikan penilaian terhadap informasi ini dalam mengambil keputusan investasi.
Bagi regulator Bukti tentang dampak praktek CG terhadap nilai perusahaan, serta
hubungan
praktek CG dengan variabel lain dalam penelitian ini, diharapkan menjadi informasi bagi regulator untuk mengevaluasi efektifitas penerapan CG pada perusahaan di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menambah bahan pertimbangan regulator dalam merumuskan kebijakan selanjutnya untuk terus memotivasi perusahaan meningkatkan efektifitas penerapan CG.
2. KERANGKA TEORI, PENELITIAN TERDAHULU, dan PEMBENTUKAN HIPOTESA
2.1 Teori Kontrak dan Teori Keagenan Sebelum tahun 1976, teori keuangan pada umumnya memakai model ekonomi standar untuk menggambarkan perilaku perusahaan. Dalam model ini perusahaan dianggap sebagai black box yang memproses input menjadi output dengan respon rasional terhadap adanya insentif ekonomi. Jensen & Meckling (1976) merupakan dua orang pertama yang memasukkan unsur manusia ke dalam model terpadu tentang perilaku perusahaan. Mereka mendefinisikan perusahaan sebagai sebagai kontrak dimana satu atau lebih orang (principal, yaitu shareholders) menunjuk orang lain (agen, yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal, termasuk mendelegasikan kekuasaan untuk mengambil keputusan kepada manajer. Jika manajer melakukan tindakan-tindakan yang merugikan perusahaan, maka pemegang saham dan kreditur dapat saja tidak akan dirugikan oleh tindakan manajer tersebut karena adanya proteksi harga (price protection). Karena Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 pemegang saham dan kreditur menyadari adanya kemungkinan manajer melakukan tindakan yang merugikan tersebut maka mereka akan memasukkan faktor tersebut ke dalam penetapan harga saham dan hutang, sehingga pada akhirnya manajer yang akan menanggung kerugian akibat agency cost. Atas dasar hal ini manajer memiliki insentif untuk menawarkan kontrak kepada pemilik bahwa ia akan mengambil tindakan yang optimal. Inti dari teori kontrak adalah bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak-kontrak antar individu (nexus of contract). Contoh kontrak tersebut adalah kontrak antara manajemen dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham, kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Teori kontrak merupakan aplikasi dari teori ekonomi neoklasik dimana diasumsikan bahwa tiap individu yang terlibat dalam kontrak bertujuan untuk memaksimumkan kepentingan masing-masing. Jika setiap individu bertindak
sesuai dengan kepentingannya
masing-masing, maka akan timbul konflik kepentingan. Oleh karena itu, masingmasing individu masuk ke dalam kontrak yang bertujuan untuk memuaskan kepentingan dari berbagai pihak, karena mereka menyadari bahwa jika kepentingan bersama dapat terpenuhi akan terpenuhi juga kepentingan mereka. Ketika proses pembentukan kontrak terjadi, akan muncul bermacam biaya, seperti biaya negosiasi dan biaya legal yang terkait dengan kontrak. Pada tahap pelaksanaan kontrak juga muncul biaya, seperti biaya untuk memonitor kinerja kontrak. Jika kinerja tidak mencapai tujuan bersama seperti yang tercantum dalam kontrak atau terjadi pelanggaran terhadap kontrak maka akan muncul biaya lagi, seperti biaya renegosiasi, biaya membuat kontrak baru, dan biaya kehilangan kepercayaan investor dan kreditor. Biaya-biaya tersebut, baik biaya financial maupun non finansial, disebut sebagai biaya kontrak. Semua biaya kontrak tersebut akan menjadi beban pemilik perusahaan. Akan tetapi, pemilik perusahaan dapat menyewa jasa profesional untuk menjalankan kontrak untuk tujuan bersama. Jika manajemen perusahaan tidak dapat menjalankan kontrak, maka pemilik perusahaan dapat mengganti manajemen perusahaan dengan yang lain, sehingga dalam hal ini manajemenlah
yang
menanggung
biaya
kontrak. Oleh
karena
itu, untuk
meminimalkan biaya kontrak yang ditanggungnya manajemen harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan kinerja perusahaan. Bagaimana meminimalkan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 biaya kontrak tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan mekanisme monitoring (Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme monitoring yang mungkin dilaksanakan untuk mengurangi masalah agensi di perusahaan dapat tercermin dalam penerapan corporate governance.
2.2. Corporate Governance Corporate
governance
merupakan
keseimbangan
stakeholder yang digunakan untuk menentukan arah
hubungan
antar
dan pengendalian kinerja
perusahaan. Bagaimana pemilik perusahaan dapat memonitor dan mengendalikan keputusan dan tindakan manajer puncak akan mempengaruhi implementasi strategi perusahaan. Corporate governance yang efektif akan menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik sehingga dapat menghasilkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Berikut adalah berbagai definisi mengenai corporate governance dari berbagai sumber.
1. Menurut OECD Corporate Governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The Corporate governance structure specifies the distribution of the right dan responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance.
2.
Berdasarkan
Surat
Edaran
Meneg.
PM&P.
BUMN
No.
106/M.PM
P.BUMN/2000. Corporate Governance berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan; pengelolaan sumber daya dan risiko
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 secara lebih efisien dan
efektif; pertanggungjawaban
perusahaan kepada
Pemegang Saham dan stakeholders lainnya.
3. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara Pemegang Saham, Pengurus, Kreditur, pemerintah, Karyawan serta para Pemegang Kepentingan Internal dan Eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan. Prinsip-prinsip corporate governance adalah fairness (keadilan), transparency (transparansi), accountability (akuntabilitas), dan responsibility (tanggungjawab). Keadilan berkenaan dengan keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang saham minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta perdagangan dan penyalahgunaan oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing). Transparansi dilakukan melalui penyempurnaan pengungkapan (disclosure) informasi kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas manajemen dilakukan melalui pengawasan efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas, pengurus, pemegang saham, dan auditor. Tanggung jawab perusahaan berkenaan dengan perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk menaati hukum dan bertindak sesuai lingkungan di mana perusahaan berada (Amin Wijaya Tunggal, 2007). Penerapan corporate governance yang baik, diharapkan akan dapat lebih melindungi pemegang saham minoritas dari kecurangan, terjadi transparansi perusahaan dalam mengungkapkan informasi, serta menjamin pengawasan efektif terhadap pertanggungjawaban manajemen, sehingga perusahaan akan lebih patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku. Penerapan prinsip GCG yang efektif juga berarti pengelolaan perusahaan yang transparan, bertanggung jawab, jujur dan adil, yang diwujudkan dalam pengungkapan informasi yang sebenarbenarnya. Hal ini tentunya akan menekan biaya negosiasi, pengawasan, dan pelanggaran dari kontrak. Pada akhirnya semua manfaat penerapan prinsip GCG ini diharapkan dapat berbuah peningkatan nilai perusahaan. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 2. 3. Diversifikasi Diversifikasi merupakan strategi yang dipilih perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan sharehoder wealth (Serveas, 1996). Diversifikasi dapat dibedakan ke dalam dua type yaitu related diversification dan unrelated diversification (Rumelt, 1974). Keterkaitan di sini mengacu pada hubungannya dengan bisnis utama yang sedang digeluti, atau beberapa bisnis yang membentuk value chain dalam suatu kelompok usaha. PSAK No.5 (revisi 2000) mendefinisikan segmen usaha dan segmen geografis sebagai berikut: Segmen usaha adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam menghasilkan produk atau jasa (baik produk atau jasa individual maupun kelompok produk atau jasa terkait) dan komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang berbeda
dengan
risiko
dan
imbalan
segmen
lain.
Faktor-faktor
yang
dipertimbangkan dalam menentukan terkait atau tidaknya produk atau jasa meliputi: karakteristik produk atau jasa; karakteristik psoses produksi; jenis atau golongan pelanggan (produk atau jasa); metode pendistribusian produk atau penyediaan jasa; dan jika praktis, karakteristik iklim regulasi, misalnya dalam perbankan, asuransi, atau public utilities. Segmen geografis adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam menghasilkan produk atau jasa pada lingkungan (wilayah) ekonomi tertentu dan komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang berbeda dengan risiko dan imbalan pada komponen yang beroperasi pada lingkungan (wilayah) ekonomi lain. Faktorfaktor yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasi segmen geografis meliputi: kesamaan kondisi ekonomi dan politik; hubungan antar-operasi dalam wilayah geografis berbeda; kedekatan geografis operasi; risiko khusus yang terdapat dalam operasi di wilayah tertentu; regulasi pemgendalian mata uang; dan risiko mata uang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 2.4. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesa 2.4.1. Diversifikasi Usaha dan Nilai Perusahaan Apakah strategi diversifikasi memberikan nilai positif atau negatif terhadap perusahaan telah lama diperdebatkan. Berbagai hasil penelitian mengenai strategi diversifikasi ini memberikan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian yang menemukan adanya pengaruh positif dari diversifikasi antara lain Li dan Wong (2003) yang berpendapat
bahwa
pemilihan
strategi
diversifikasi
yang
tepat
dengan
mempertimbangkan faktor institusional akan meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil penelitian mereka tentang dampak diversifikasi terhadap kinerja perusahaanperusahaan di Cina menunjukkan bahwa strategi diversifikasi yang dilakukan pada bidang yang terkait (related diversification) menjadi kurang optimal akibat ketidakpastian
perilaku
institusional.
Perusahaan
yang
melakukan
strategi
diversifikasi hanya pada bidang yang tidak terkait (unrelated diversification) akan menurunkan nilai perusahaan. Kolaborasi antara strategi diversifikasi pada bidang terkait dengan strategi pada bidang yang tidak terkait, merupakan strategi optimal yang akan meningkatkan nilai perusahaan. Dampak positif dari strategi diversifikasi terhadap nilai perusahaan juga ditemukan
dari
hasil
penelitian
Antoinette
Schoar
(2002).
Penelitiannnya
menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi memiliki produktivitas yang tinggi dibandingkan yang stand alone firm. Graham, Lemmon, dan Wolf (2002) menemukan bahwa perusahaan yang didiversifikasi mendapat reaksi pasar yang positif berupa excess value. Lang dan Douklas (2003) menguji hubungan antara investasi asing dengan diversifikasi dan kinerja perusahaan. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa diversifikasi geografis akan meningkatkan shareholder value dan meningkatkan performa jangka panjang perusahaan ketika diversifikasi ini dilakukan dalam investasi asing yang dalam core bisnis yang berhubungan (Greenfield). Selain
memberikan
dampak
positif,
beberapa
penelitian
hasilnya
menunjukkan bahwa diversifikasi berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Jensen (1986) menyatakan bahwa manajer perusahaan yang memiliki free cash flow free cash flow yang besar cenderung melakukan investasi pada proyek yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menurunkan
nilai
dan
memiliki
net
present
value
yang
negatif
ketika
mengalokasikan pada segmen usaha mereka. Lang dan Stulz (1994) juga menyatakan bahwa perusahaan yang didiversifikasi akan menempatkan investasi yang terlalu besar pada lini usahanya yang mempunyai kesempatan invesatasi rendah. Hasil penelitian mereka juga menemukan bahwa diversifikasi berhubungan negatif dengan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q. Hasil penelitian Berger dan Ofek (1995) yang meneliti pengaruh diversifikasi terhadap sampel sebanyak 5233 perusahaan selama tahun 1986 sampai 1991, memberikan gambaran yang serupa. Mereka menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang didiversifikasi lebih rendah dibandingkan perusahaan yang beroperasi dalam segmen usaha tunggal. Perbedaan nilai ini berkisar antara 13%-15% lebih rendah dari single firm. Penurunan nilai ini akan berkurang apabila perusahaan melakukan diversisifikasi pada bidang yang terkait (related diversification). Servaes (1996) juga menyatakan bahwa diversifikasi perusahaan tidak memberikan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang fokus. Hal ini sejalan dengan adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahan-perusahaan yang didiversifikasi di Amerika pada era tahun 90-an. Akibatnya, banyak perusahaan yang didiversifikasi yang kemudian mengubah strategi bisnisnya kembali ke fokus. Keberhasilan
atau
kegagalan
diversifikasi
dalam
meningkatkan
nilai
perusahaan terkait dengan masalah sinergi, karena sekedar menciptakan value bagi shareholder saja tidak cukup. Sinergi antara bisnis utama dan bisnis baru hasil diversifikasi baik yang terkait (related) maupun tak terkait (unrelated) diperlukan guna memastikan tercapainya value yang maksimum dari langkah diversifikasi yang diambil. Berdasarkan uraian dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini menghipotesakan bahwa diversifikasi dapat berpengaruh positif terhadap nilai pasar perusahaan. Argumen dari hipotesa ini adalah bahwa dengan didiversifikasi, maka akan semakin banyak kesempatan untuk menanamkan investasi. Selain itu dengan diversifikasi maka resiko yang dimiliki dalam berinvestasi juga akan terdiversifikasi. Dengan demikian maka diversifikasi akan memberi manfaat dalam meningkatkan nilai perusahaan.
H1. Diversifikasi usaha berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.4.2. Diversifikasi Usaha dan Corporate Governance Masalah
keagenan
antara
stockholder
dengan
manajer
seringkali
berkontribusi terhadap adanya penurunan nilai perusahaan akibat diversifikasi. Jensen (1986) dan Stulz (1990) menyatakan bahwa manajer mendiversifikasi perusahaan untuk meningkatkan firm size dengan insentif untuk mendapatkan dan prestige karena mengelola perusahaan besar. Shleifer dan Vishny
power
(1989) menyatakan bahwa manajer dapat menggunakan diversifikasi untuk membentengi diri mereka dan “meminjam” dari shareholder untuk melakukan investasi tertentu yang menguntungkan mereka. Denis, Denis, dan Sarin (1999) menyatakan bahwa diversifikasi merepresentasikan adanya konflik agen dan penurunan agency cost berhubungan positif dengan level diversifikasi. Hubungan antara diversifikasi dengan corporate governance juga telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000), yang menemukan bahwa struktur corporate governance berhubungan dengan keputusan untuk melakukan diversifikasi. Mereka menemukan bukti bahwa karakteristik governance yang digunakan oleh perusahaan yang didiversifikasi dapat menjelaskan nilai kerugian yang timbul akibat diversifikasi. Penemuan ini menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi menggunakan alternatif
mekanisme
governance
sebagai
substitusi
atas
sensitivitas
pay
performance yang rendah dan kepemilikan CEO. Kesimpulannya, adalah bahwa penurunan nilai perusahaan akibat diversifikasi tidak terkait dengan agency cost. Hubungan antara diversifikasi dengan corporate governance ini juga telah diteliti oleh Antoinette Schoar (2002). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa perusahaan
yang
didiversifikasi
memiliki
transparansi
yang
lebih
rendah
dibandingkan perusahaan yang stand alone. Akan tetapi bukan berarti bahwa transparansi yang lebih rendah tersbut yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan produktivitas dan harga saham pada perusahaan yang didiversifikasi dengan stand alone firm. Jiraporn, Kim, Davidson, dan Singh (2005) juga menguji bagaimana
kekuatan
shareholder
right
mempengaruhi
adanya
diversifikasi
perusahaan dan excess value yang diatribusikan pada perusahaan yang didiversifikasi. Hasil pengujian mereka memperlihatkan bahwa kekuatan shareholder Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 right berhubungan negatif dengan diversifikasi. Perusahaan dengan shareholder right yang lebih dikontrol dengan CG yang terbatas, akan mendapatkan diversification discount yang lebih banyak. Beiner, Markus, dan Schmid (2005) menguji sebab dan konsekuensi dari diversifikasi pada 159 perusahaan di Swiss. Dalam penelitian tersebut mereka menyelidiki penyebab diversifikasi dan menghubungkannya
dengan tingkat
corporate governance dengan menggunakan index CG. Mereka juga menggunakan persamaan simultan untuk menguji interrelationship antara corporate diversification, corporate governance index, dan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa outside blockholding mempengaruhi diversifikasi. Dari berbagai hasil studi di atas dapat disimpulkan bahwa diversifikasi berhubungan dengan corporate governance. Secara konseptual argumen dari hal ini adalah bahwa dengan terjadinya diversifikasi akan berpengaruh terhadap peningkatan agency problem. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa dengan diversifikasi, akan semakin kompleks masalahnya dan semakin besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh manajer. Dengan keluasan wewenang yang dimiliki manajer pada perusahaan yang didiversifikasi, akan memperbesar kemungkinan terjadinya ekspropriasi terahadap pemegang saham. Peningkatan agency problem akan berdampak kepada index corporate governance yang semakin rendah. Dengan demikian dihipotesakan dalam penelitian ini bahwa diversifikasi mempunyai hubuangan negatif dengan corporate governance index.
H2. Diversifikasi usaha berpengaruh negatif terhadap corporate governance index.
2.4.3. Diversifikasi Usaha dan Insider Ownership Keberadaan insider ownership (IO) akan memberi pengaruh terhadap diversifikasi. Penelitian Serveas (1996) hasilnya menunjukkan bahwa insider ownership akan berhubungan negatif dengan diversifikasi. Anderson, Bates, Bizjak, dan Lemmon (2000), menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi menggunakan alternatif mekanisme governance sebagai substitusi atas sensitivitas pay performance yang rendah dan kepemilikan CEO. Beiner, Markus, dan Schmid Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 (2005) menggunakan persamaan simultan untuk menguji interrelationship antara corporate diversification, corporate governance, dan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka yang didasarkan atas index corporate governance menunjukkan bahwa outside blockholding mempengaruhi diversifikasi. Sementara insider ownership tidak mempengaruhi tingkat diversifikasi. Aggarwal dan Samwick (2003) menemukan bahwa diversifikasi berhubungan positif dengan insentif manajerial. Manajer melakukan diversifikasi sebagai respon terhadap adanya perubahan atas keuntungan pribadi mereka. Dengan diversifikasi, manajer berharap akan dapat memperluas kekuasaan dan memperkuat posisinya dalam perusahaan. Dari berbagai hasil penelitian di atas, maka penelitian ini menghipotesakan bahwa diversifikasi usaha berpengaruh positif terhadap insider ownership. Argumen dari hipotesa ini, dengan melakukan diversifikasi, manajer berharap akan dapat menambah prestige dan memperkuat posisinya di perusahaan.
H3 Diversifikasi berpengaruh positif terhadap insider ownership.
2.4.4. Insider Ownership dengan Corporate governance dan Nilai Perusahaan Masalah agensi timbul karena adanya pemisahan antara pemilik (owner) dengan pengelola (agent) perusahaan (Fama, 1986). Sebagai pengelola, agen dapat melakukan dua fungsi yaitu sebagai enterpreneur dan juga sekaligus sebagai risk bearer. Dengan fungsinya ini agen dapat saja melakukan moral hazard yaitu memanfaatkan
fasilitas
perusahaan
atau
mengambil
resiko
berlebih
demi
kepentingan pribadi atas biaya pemilik. Untuk mengurangi kemungkinan adanya tindakan moral hazard ini pemilik dapat melakukan beberapa tindakan salah satunya dengan memberikan hak kepada pengelola untuk memiliki saham (insider ownership). Dengan adanya insider ownership, diharapkan dapat menurunkan agency cost. Penurunan biaya agensi ini dapat meningkatkan corporate governance. Diharapkan juga dengan adanya IO, manajer akan bekerja maksimal untuk meningkatkan nilai perusahaan. Hubungan ini diteliti oleh Kim, Lee, dan Fancis (1988) menggunakan pengelompokan IO untuk menguji apakah kinerja (expected return) perusahaan akan dipengaruhi oleh keberadaan IO yang dikelompokkan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menurut ranking kepemilikan manajer. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa semakin tinggi IO akan semakin tinggi kinerja perusahaan. Dari analisa atas hasil penelitan di atas maka dalam penelitian ini dihipotesakan
bahwa
antara
insider
ownership
dengan
nilai
perusahaan
berhubungan positif. Semakin tinggi kepemilikan dalam (IO) akan semakin tinggi nilai perusahaan. Dan IO akan berpengaruh positif dengan corporate governance.
H4. Insider ownership berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. H5. Insider ownership berpengaruh positif terhadap corporate governance index.
2.4.5. Corporate Governance dan Nilai Perusahaan Berbagai penelitian telah banyak yang menguji hubungan antara corporate governance dan nilai perusahaan. Durnev & Kim (2002) menemukan bahwa penerapan
corporate
governance
dapat
meningkatkan
imbal
hasil
saham
perusahaan. Claessens dkk (2002) membuktikan bahwa semakin tinggi cash flow rights akan semakin tinggi juga penilaian pasar, tetapi sebaliknya, semakin tinggi voting rights justru akan berakibat pada penilaian pasar yang lebih rendah. La Porta dkk (2002) menemukan bahwa perusahaan di negara yang perlindungan terhadap pemegang sahamnya tinggi, akan memiliki Tobin’s Q yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan di negara yang perlindungan terhadap pemegang sahamnya rendah. Sementara Mitton (2002) yang melakukan penelitian di 5 negara Asia Timur menemukan bukti bahwa corporate governance memiliki pengaruh positif terhadap terhadap kinerja perusahaan di Asia selama terjadinya krisis. Hasil penelitian Klapper & Love (2004) yang menggunakan data ranking corporate governance dari 14
negara
berkembang,
menemukan
bukti
bahwa
corporate
governance
berhubungan positif dengan kinerja operasional dan penilaian pasar. Alves dan Mendes (2004) juga membuktikan adanya pengaruh positif corporate governance terhadap imbal hasil saham perusahaan. Berbagai penelitian tersebut menggunakan regresi OLS untuk menguji hubungan
antara
corporate
governance
dengan
nilai
perusahaan.
Tetapi
penggunaan regresi OLS kurang tepat, karena antara corporate governance dan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 nilai perusahaan terdapat hubungan timbal balik. Hubungan tersebut adalah apakah good corporate governance menyebabkan nilai perusahaan yang lebih tinggi atau apakah perusahaan dengan nilai pasar yang lebih tinggi akan lebih besar akan memilih struktur governance yang lebih baik untuk semakin meningkatkan nilai perusahaan. Koefisien yang dihasilkan dari regresi OLS akan berakibat pada adanya overstated dalam hubungan antar variabel (Beiner dkk, 2005). Untuk mengatasi kelemahan dalam penggunaan OLS tersebut, Agrawal & Knoeber (1996) hubungan antara 7 mekanisme kontrol dengan menggunakan 6 persamaan dalam model persamaan simultan. Dengan menggunakan OLS mereka menemukan bahwa insider shareholdings, outside directors, utang, dan corporate control activity mempengaruhi kinerja perusahaan jika tiap mekanisme tersebut dimasukkan
dalam
regresi
OLS
yang
terpisah.
Tetapi,
pengaruh
insider
shareholdings, dan pengaruh utang serta corporate control activity, menjadi hilang jika seluruh mekanisme dimasukkan dalam satu regresi OLS. Black dkk (2005) dalam pengujiannya juga telah mengakomodasi adanya unsur endogenitas antara indeks CG dan nilai perusahaan. Dari pengujian mereka hasilnya memperkuat bukti mengenai adanya endogenitas atau hubungan saling mempengaruhi antara indeks CG dan nilai perusahaan. Beiner dkk (2005) dengan menggunakan persamaan simultan menemukan bahwa corporate governance berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Mereka juga menemukan adanya reverse causality dimana perusahaan dengan nilai yang lebih tinggi akan mengadopsi praktek corporate governance yang lebih baik. Silveira dan Barros (2006) menguji dampak indeks CG terhadap nilai pasar 154 perusahan publik di Brazil pada tahun 2002 dengan menggunakan pendekatan OLS dan pendekatan model simultan. Hasil pengujian mereka secara konsisten menunjukan hubungan positif dan signifikan pengaruh dari indeks CG terhadap nilai pasar perusahaan. Sementara penelitian Arsjah (2005) dengan menggunakan sampel perusahaanperusahaan yang terdaftar di Indonesia, menemukan bukti bahwa terdapat hubungan positif antara indeks CG dan kinerja akuntansi perusahaan, namun studinya tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara indeks CG dan nilai perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
tersebut,
maka
penelitian
ini
menghipotesakan bahwa terdapat hubungan positif dari indeks CG terhadap nilai pasar perusahaan. Argumen dari pembentukan hipotesa ini adalah bahwa penerapan CG yang efektif akan dapat menekan biaya konflik dan meningkatkan kinerja perusahaan, sehingga pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian ini juga menduga bahwa terdapat reverse causality dimana perusahaan dengan nilai yang lebih tinggi akan mengadopsi praktek corporate governance yang lebih baik (Beiner dkk, 2005). Sehingga ada dua hipotesa yang dibangun untuk hubungan antara corporate governance dengan nilai perusahaan.
H6. Corporate Governance berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. H7. Nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap corporate governance. Dari hasil pengkajian terhadap literatur yang dijelaskan di atas, penulis melihat masih ada beberapa aspek dari penelitian mengenai diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan yang belum diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya: 1. Dalam penelitian sebelumnya, hubungan antara diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan diuji dengan OLS. Penelitian ini akan menggunakan persamaan simultan dengan structural equation model untuk melihat hubungan antar variabel-variabel tersebut. 2. Variabel corporate governance biasanya menjadi variabel independen terhadap nilai perusahaan. Dalam penelitian ini corporate governance merupakan variabel intervening terhadap hubungan antara diversifikasi dengan nilai perusahaan.
2.5. Kerangka Konseptual Dari penjelasan di atas, hubungan antara diversifikasi, insider ownership, corporate governance, dan nilai perusahaan, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1. Kerangka Konseptual
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Diversifikasi
H1 ( +/- )
Nilai Perusahaan
H2 (-) H 6 (+ )
H3(+)
H7 (+)
H4 (+) Insider Ownership H5 (+)
Corporate Governance
3. DESAIN PENELITIAN 3.1. Model Penelitian Penelitian ini mengajukan tiga persamaan penelitian sebagai berikut: OWNER = a0 + a1DDIV + e ............................................................................
(1)
CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE + ε ............................. (2) PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV + έ ............... (3) Penjelasan dari variabel-variabel yang digunakan dalam model penelitian di atas adalah sebagai berikut: DIVERS= Diversifikasi usaha, dengan nilai 1 jika perusahaan memiliki segmen usaha lebih dari 1 segmen , 0 lainnya. CGI = indeks corporate governance perusahaan tahun 2005 yang digunakan pada penelitian Salis (2008) dengan perhitungan yang didasarkan pada penelitian Rahadian (2007). PTQ = merupakan nilai perusahaan dihitung berdasarkan Proxy Tobin’s Q. yang dihitung dengan menggunakan rumus : (MVE + DEBT) / (BVE + DEBT). Dimana: MVE = nilai pasar ekuitas DEBT = total nilai utang (debt) BVE = nilai buku ekuitas Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 OWNER = merupakan variabel dummy, dengan nilai 1 jika terdapat Insider Ownership, dan 0 jika sebaliknya. Insider Ownership dihitung dengan menjumlahkan kepemilikan saham dewan direksi dan dewan komisaris. SIZE = logaritma dari total aktiva akhir tahun LEV = leverage merupakan rasio antara total hutang dibagi dengan total ekuitas. Persamaan (1) adalah untuk melihat hubungan antara insider ownership dengan diversifikasi. Untuk perusahaan yang memiliki insider ownership diharapkan akan berhubungan negatif dengan diversifikasi. Hal ini karena kemungkinan manajer tahu bahwa setelah diversifikasi nilai perusahaan akan turun (Servaes, 1996) sehingga mereka akan mengurangi kepemilikannya. Hasil yang diharapkan adalah koefisien a1 < 0, Persamaan (2) merupakan persamaan untuk melihat pengaruh diversifikasi usaha, insider ownership, dan nilai perusahaan terhadap corporate governance. Adanya insider ownership semestinya lebih efisien dibandingkan perusahaan yang tidak mempunyai IO. Ekspektasi hasil dari persamaan ini adalah koefisien b1 > 0, b2 > 0, b3 < 0. Persamaan (3) merupakan persamaan yang terkait dengan pengaruh diversifikasi, corporate governance,
dan insider ownership terhadap nilai perusahaan.
Diharapkan nilai perusahaan yang mempunyai insider ownership akan lebih tinggi dibandingkan perusahaan lainnya (Kim, Lee, dan Fancis, 1988). Apakah corporate governance menyebabkan nilai perusahaan lebih tinggi atau perusahaan dengan nilai yang lebih tinggi secara sukarela memilih mekanisme corporate governance yang lebih baik, perlu diuji secara simultan. Untuk itu maka PTQ dimasukkan sebagai salah satu variabel independen yang mempengaruhi CG. Ekspektasi hasil yang diharapkan koefisien c1 > 0, c2 > 0, c3 > 0.
3.2. Metode Analisis Data dan hipotesa dalam penelitian ini akan diolah dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM).
SEM adalah generasi kedua teknik analisis
multivariate ( Bagozzi dan Fornell 1982, dalam Ghazali 2005) yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model. Pengujian model dalam penelitian ini dilakukan dua kali. Pertama akan dilakukan pengujian terhadap model untuk variabel utama tanpa memasukkan variabel kontrol. Selanjutnya akan diuji dengan memasukkan variabel kontrol. Langkah-langkah ini dilakukan untuk melihat apakah hasil estimasi akan berbeda jika dilakukan dengan dan tanpa variabel kontrol. Analisis terhadap hasil estimasi akan dillakukan dengan dua tahap. Tahap pertaman merupakan analisis atas kecocokan model keseluruhan. Analisa dilakukan dengan mencocokan antara model dengan data dengan berdasarkan indikator Goodness-of-fit Index (GFI) statistik dari output LISREL (Hair et al.,1995). Tahap kedua dilakukan dengan path analysis atas hasil estimasi. Analisis ini dilakukan terhadap koefisien-koefisien persamaan struktural dengan menspesifikasikan tingkat signifikansi tertentu. Analisa model struktural ini untuk menguji hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka nilai t dari persamaan struktural harus lebih besar atau sama dengan 1,96 atau untuk praktisnya lebih besar sama dengan 2 (Wijanto, 2008). 3.3. Operasionalisasi Variabel Diversifikasi (DDIV). Diversifikasi dilihat berdasarkan banyaknya segmen bisnis perusahaan yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan. Variabel ini merupakan variabel dummy dengan nilai 1 untuk perusahaan yang memiliki segmen lebih dari 1, dan nilai 0 untuk lainnya. Corporate Governance Index (CGI) Indeks corporate governance dihitung berdasarkan corporate governance checklist yang digunakan dalam penelitian Rahadian (2007) menggunakan data sekunder. Item pertanyaan dalam checklist yang terdiri dari 5 kelompok akan diuji Lisrel untuk menentukan validitasnya. Kelima kelompok tersebut adalah: 1. Rights of shareholders 2. Equal treatment of shareholders 3. Role of stakeholders 4. Disclosure and transparency
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 5. Board responsibilities Insider Ownership (IO) Variabel IO ini dilihat dari kepemilikan dalam dengan melihat apakah nama dewan direksi dan atau komisaris merupakan pemegang saham perusahaan yang bersangkutan. Variabel ini juga merupakan variabel dummy dengan nilai 1 untuk kepemilikan dalam lebih dari 5% dan nilai 0 untuk lainnya. Nilai Perusahaan (TPQ) Variable nilai perusahaan dalam penelitian ini akan digunakan proxy Tobin’s q, yang dihitung dengan menggunakan rumus : (MVE + DEBT) / (BVE + DEBT). Dimana: MVE = nilai pasar ekuitas DEBT = total nilai utang (debt) BVE = nilai buku ekuitas
Variabel Kontrol Penelitian ini menggunakan dua variabel kontrol yaitu ukuran peerusahaan (size) dan besarnya rasio hutang terhadap ekuitas (lev). size dihitung dengan menggunakan
proxy
logaritma
dari
total
aktiva
perusahaan
perusahaan.
Dikhawatirkan bahwa penerpan praktik CG akan berbeda untuk perusahaan kecil dengan perusahaan yang berukuran besar. Untuk itu variabel ini dimasukkan untuk mengontrol kemungkinan adanya pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap implementasi corporate governance. Variabel kontrol kedua dalam penelitian ini adalah Leverage yang merupakan perbandingan antara total kewajiban perusahaan terhadap total ekuitasnya. Variabel ini dihitung dengan menggunakan rumus: total utang / total ekuitas. Variabel ini dimasukkan
untuk
mengontrol
kemungkinan
bahwa
untuk
mendiversifikasi
perusahaan, manajer menggunakan dana dari hutang yang akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 3.4. Sumber dan Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan tahunan untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2005 dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, untuk melakukan menghitung indeks CG, data kepemilikan dalam (IO) dan melihat banyaknya segmen usaha yang dimiliki perusahaan. Selanjutnya, data harga saham untuk menghitung nilai pasar diperoleh dari situs Bursa Efek Jakarta (www.jsx.co.id), Indonesian Capital Market Directory 2005. Untuk memperoleh data-data perusahaan, seprti besarnya hutang, dan total ekuitas dari database OSIRIS yang tersedia di FEUI. Dari 312 perusahaan yang terdaftar di BEJ pada tahun 2005, maka penelitian ini pada awalnya menggunakan 100 sampel perusahaan, yang terdiri dari berbagai industri. Besarnya sample ini ditentukan berdasarkan data indeks CG yang sudah tersedia. Dari hasil pemeriksaan, terdapat 5 data yang outlier sehingga dikelurakan dari sampel, sehingga didapatkan sampel akhir sebesar 95 perusahaan.
4. HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN 4.1. Kecocokan Model Keseluruhan Analisa model struktural dalam SEM diawali dengan pengujian kecocokan model keseluruhan yang dilihat berdasarkan indikator Goodness-of-fit Index (GFI) statistik dari output LISREL (Hair et al.,1995). Secara keseluruhan ringkasan nilai kritis dari pengujian kecocokan model keseluruhan untuk hasil pengujian variabel utama dapat dilihat dari rangkuman dalam Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Kecocokan Model Keseluruhan Kriteria Kecocokan Model RMSEA
Indikator Tingkat
Hasil Estimasi
Kecocokan
Model
RMSEA < 0,08 Nilai yang lebih kecil
ECVI
dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model
0,14
Tingkat Kecocokan Model Kurang Baik
M* = 0.34 S** = 0.33
Baik (Good fit)
I*** = 0.23
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Kriteria Kecocokan Model
Indikator Tingkat
Hasil Estimasi
Kecocokan
Model
Nilai yang lebih kecil AIC
dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model Nilai yang lebih kecil
CAIC
dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model
Tingkat Kecocokan Model
M* = 31.42 S** = 30.00
Baik (Good fit)
I*** = 38.89 M* = 77.35 S** = 82.99 ***
I
Baik (Good fit)
= 38.89
NFI
NFI > 0,90
0.97
Baik (Good fit)
CFI
CFI > 0,90
0,90
Baik (Good fit)
IFI
IFI > 0,90
0,91
Baik (Good fit)
Critical N
N > 200
152.50
Baik (Good fit)
GFI
GFI >0,90
0,98
Baik (Good fit)
4.2.2. Path Analysis Hasil Estimasi Hasil path analysis untuk model persamaan struktural dapat dilihat pada path diagram berikut. Gambar 2. Path Diagram
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Hasil pengujian dengan SEM menghasilkan tiga persamaan struktural yang merupakan persamaan yang untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Persamaan pertama merupakan persaaan untuk H3. OWNER = 0.11*DDIV, Errorvar.= 0.0050, R² = 0.27
Nilai t untuk persamaan pertama di atas adalah sebesar 5,86, yang di atas nilai kritis 1,96. Hal ini berarti H3 terbukti signifikan. Diversifikasi perusahaan secara signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Diversifikasi perusahaan secara signifikan berpengaruh positif terhadap insider ownership. Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan diversifikasi maka manajer cenderung untuk menambah kepemilikannya guna memperkuat posisinya dalam perusahaan. Untuk menilai seberapa baik coefficient of determination dari persamaan struktural, akan dilihat dari besaran dari R2 (Wijanto, 2006). Hasil pengujian Lisrel yang didapatkan nilai R2 untuk persamaan pertama adalah 0.27. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam model ini, diversifikasi mampu menjelaskan 27% dari perubahan pada variabel insider ownership. Persamaan berikutnya yang dihsasilkan dari pengujian adalah persamaan untuk menguji hipotesa H2, H5, dan H7. CGI = - 0.0039*OWNER - 0.0084*PTQ - 0.037*DDIV + 0.017*SIZE, Errorvar.= 0.0050, R² = 0.15 H2 yang menguji pengaruh diversifikasi terhadap corporate governance koefisiennya tidak signifikan dengan nilai t sebesar -1.67. Dari persamaan juga terlihat bawa H7 hasilnya negatif tidak signifikan. Hasil yang signifikan adalah pengaruh dari variabel kontrol size terhadap CGI dengan nilai t sebesar 3.42. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang size-nya besar cenderung akan menerapkan CG yang baik. Nilai R² yang didapatkan dari pengujian adalah 0.15. yang berarti variabel insider ownership, diversifikasi dan nilai perusahaan dalam model ini hanya mampu menjelaskan 15% perubahan pada variabel CGI. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Persamaan ke tiga yang dihasilkan adalah untuk menguji H1, H4, dan H6. H1 adalah tentang pengaruh dari diversifikasi terhadap nilai perusahaan. H4 merupakan hipotesa untuk pengaruh dari iinsider ownership terhadap nilai perusahaan. H6 menguji pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan. Persamaan yang dihasilkan dari pengujian adalah sebagai berikut: PTQ = - 0.15*CGI + 0.0044*OWNER - 0.050*DDIV + 0.020*LEV + 0.033*SIZE, Errorvar.= 0.0050, R² = 0.64 H1 yang menguji pengaruh dari diversifikasi perusahaan terhadap nilai perusahaan terbukti signifikan negatif dengan nilai t sebesar -2.15. Hal ini mengindikasikan bahwa diversifikasi berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. H4 hasilnya tidak signifikan. Demikian juga dengan H6 juga tidak signifikan. Variabel kontrol LEV signifikan positif berpengaruh terhadap nilai perusahaan dengan nilai t sebesar 11.13. Sementara variabel kontrol size juga terbukti signifikan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan nilai t sebesar 6.54. Nilai R² untuk persamaan ini adalah 0.64. Hal ini berarti bahwa CGI, OWNER, dan DDIV mampu menjelaskan 64% perubahan pada variabel nilai perusahaan. Ringkasan hasil penelitian atas hipotesa utama ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Tabel 2. Path Analysis Model Struktural
OWNER = a0 + a1DDIV + e CGI = b0 + b1PTQ + b2OWNER + b3DDIV + b4 SIZE + ε PTQ = c0 + c1CGI + c2OWNER + c3DDIV + c4 SIZE + c5LEV + έ OWNER
Path DDIV
CGI
PTQ
Koef.
Koef.
Koef.
(t-value)
(t-value)
(t-value)
0.11 (5.86)
***
PTQ
-0.037
-0.050
(-1.67)
(-2.15)
***
-0.0084 (-0.096)
OWNER
-0.0039
0.0044
(-0.037)
(0.042)
CGI
-0.15 (-1.08)
LEV
0.020
***
(11.13) SIZE
0.017 (3.42)
R2
0.27
0.15
0.033 ***
(6.54)
***
0.64
*** Signifikan
Keterangan: DDIV : Dummy Variable untuk melihat diversifikasi perusahaan, yang dihitung berdasarkan jumlah segmen yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan pada tahun 2005
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 OWNER:
Insider Ownership, yang dihitung dengan menjumlahkan kepemilikan
saham dewan direksi dan dewan komisaris perusahaan periode tahun 2005. CGI
: Corporate Governance Index yang mengukur jenis dari mekanisme CG yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2005.
PTQ
: Proxy dari Tobin’s Q untuk mengukur nilai perusahaan. Dihitung dengan rumus (MVE + DEBT) / (BVE + DEBT)
SIZE : Log dari total aset perusahaan yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan LEV
: Rasio utang atas ekuitas perusahaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel insider ownership (OWNER) terbukti secara signifikan merupakan variabel intervening terhadap hubungan antara diversifikasi dan nilai perusahaan tetapi tidak signifikan sebagai variabel intervening terhadap hubungan antara diversifikasi dengan corporate governance.
5. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari diversifikasi perusahaan dan insider ownership terhadap nilai perusahaan dan corporate governance. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2005. Untuk mengestimasi hipotesa yang dibangun dalam penelitian ini, digunakan pendekatan structural equation model. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk menguji secara bersama-sama hubungan simultan antara variabel nilai perusahaan dan corporate governance dan juga untuk menguji variabel intervening yang ada dalam model penelitian. Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat bahwa H1 tentang pengaruh diversifikasi terhadap nilai perusahaan terbukti signifikan negatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnay (Lang dan Stulz, 1994, Berger dan Ofek, 1995, dan Servaes, 1996) bahwa diversifikasi tidak meningkatkan nilai perusahaan. H2 Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 tentang pengaruh dari diversifikasi terhadap corporate governance, hasil pengujian menunjukkan adanya korelsi negatif tetapi tidak signifikan. H3 terbukti positif signifikan, yang berarti bahwa diversifikasi memberikan pengaruh positif terhadap insider ownership. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajer melakukan diversifikasi untuk memperkuat posisinya di perusahaan. Pengujian terhadap H4 mengenai pengaruh dari insider ownership terhadap nilai perusahaan hasilnya tidak signifikan. Sementara itu H5 juga tidak signifikan. H6 menguji pengaruh dari corporate governance terhadap nilai perusahaan. Hasil estimasi menunjukkan hipotesis ini tidak signifikan. H7 juga tidak signifikan pada. Temuan penelitan ini mendukung pernyataan Lins dan Servaes (1999) bahwa perbedaan internasional dalam praktek corporate govenane akan berpengaruh terhadap
hasil
penelitian
mengenai
pengaruh
diversifikasi
terhadap
nilai
perusahaan. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian yang ingin dicapai. Keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah: 1.
Data yang digunakan bukan merupakan data terbaru karena hanya menggunakan data laporan keuangan perusahaan tahun 2005. Hal ini dilakukan karena penelitian ini menyesuaikan dengan data CG indeks telah tersedia. Keterbatasan ini menimbulkan minimnya jumlah sampel yang digunakan dan terbatas hanya pada tahun 2005 yang data indeksnya telah tersedia. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan data terbaru dan lebih lengkap dengan metode penghitungan index yang berbeda dengan metode yang lebih baru.
2.
Proxy yang digunakan untuk menghitung nilai perusahaan merupakan proxy dari Tobin’s Q dimana Tobin’s Q sendiri merupakan suatu proxy dari nilai perusahaan. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan proxy lain atas nilai perusahaan yang kemungkinan akan dapat memberikan hasil yang lebih bervariasi misalnya price to book value (PBV).
3.
Untuk melihat diversifikasi perusahaan, penelitian ini hanya menggunakan jumlah segmen usaha yang dilaporkan dalam laporan tahunan. Jumlah segmen ini belum dipisahkan untuk perusahaan yang melakukan diversifikasi terkait dan yang tidak terkait. Penelitian ini juga belum menguji diversifikasi geografis
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yang kemungkinan juga akan memberikan hasil yang bervariasi. Penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan membedakan antara diversifikasi usaha terkait dan tidak terkait, serta diversifikasi geografis. Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan dengan menguji tingkat diversifikasi yang dapat dihitung dengan metode lain misalnya dengan herfindahl index. 4.
Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian hanya leverage dan ukuran perusahaan. Kemungkinan masih banyak variabel kontrol lain yang dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya yang berpengaruh terhadap corporate governance dan nilai perusahaan misalnya. Penelitian ini belum memasukkan unsur lain yang kemungkinan akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian misalnya dengan mengontrol environtment di Indonesia yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara lain. ---&&&---
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 DAFTAR PUSTAKA Agrawal, A. and C. R. Knoeber. 1996. Firm Performance and Mechanisms to Control Agency Problems between Managers and Shareholders. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 31 (3), 377-397. Alves, C. and V. Mendes. 2004. Corporate Governance Policy and Company Performance: the Portuguese Case. Corporate Governance: An International Review, Volume 12 (3). Anderson, R.C., S.A. Mansi, and D.M. Reeb. 2002. Founding Family Ownership and the Agency Cost of Debt. http://www.ssrn.com. Andres, Pd, V. Azofra and F. Lopez. 2005. Corporate Boards in OECD Countries: Size, Composition, Functioning and Effectiveness. Corporate Governance: An International Review, 13 (2). Amin Wijaya Tunggal, 2007.,Corporate Governance (Suatu Pengantar), Harvarindo. Antoinette Schoar. 2002. Effects of Corporate Diversification on Productivity., The Journal of Finance, Vol. 57, No. 6. (Dec., 2002), pp. 2379-2403. Black B, JangH,HimW.Does corporate governance predict firm'smarket values? Evidence from Korea. J Law Econ Organ 2006a;22:366–413. Beiner, S., W. Drobetz, M.M. Schmid, and H. Zimmermann. 2005. An Integrated Framework of Corporate Governance and Firm Valuation. http://www.ssrn.com. Berger, Philip, and Eli Ofek, 1995, Diversification's effect on firm value, Journal of Financial Economics 37, 39-65.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Black, B.S., H. Jang, and W. Kim. 2003. Does Corporate Governance Affect Firm Value? Evidence from Korea. http://www.sciencedirect.com. ____________. 2005. Predicting Firms’ Corporate Governance Choices: Evidence from Korea. http://www.sciencedirect.com. Blair, M.M. 1995. Ownership and Control: Rethinking Corporate Governance for the Twenty- First Century. Working Paper Washington D.C: The Brookings Institution. Bodnar, G.M., Tang, C., Weintrop, J., 1999. Both sides of corporate diversification: The value impacts of geographic and industrial diversification. Working Paper, Johns Hopkins University. B. V. Phani , V.N. Reddy , N. Ramachandran and Asish K. Bhattacharyya., 2005, Insider Ownership, Corporate Governance and Corporate Performance. http://www.ssrn.com. Campa, J.M., Kedia, S., 2002. Explaining the diversification discount. Journal of Finance 57, 1731–1762. Chevalier, Judy, 1999, Why do firms undertake diversifying mergers? An examination of the investment policies of merging firms, Working paper, University of Chicago. Chung, K.H. and S.W. Pruitt. 1996. Executive Ownership, Corporate Value, and Executive Compensation: A Unifying Framework. Journal of Banking and Finance 20, 1135- 1159. Claessens, S., Djankov, S., Fan, J., Lang, L., 2002. Disentangling the Incentive and Entrenchment Effects of Large Shareholdings. Journal of Finance 57, 2741– 2771. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Comment, R., Jarrell, G., 1995. Corporate focus and stock returns. Journal of Financial Economics 37, 67–88. David J. Denis; Diane K. Denis; Atulya Sarin., 1999. Agency Theory and the Influence of Equity Ownership Structure on
Corporate Diversification
Strategies. Strategic Management Journal, Vol. 20, No. 11. (Nov., 1999), pp. 1071-1076. David J. Denis; Diane K. Denis; Keven Yost., 2002. Global Diversification, Industrial Diversification, and Firm Value. The Journal of Finance, Vol. 57, No. 5. (Oct., 2002), pp. 1951-1979. Demsetz, H. and K. Lehn. 1985. The Structure of Corporate Ownership: Causes and Consequences. Journal of Political Economy, Vol. 93, 1155-1177. Denis, D.J., Denis, D.K., Sarin, A., 1997. Agency problems, equity ownership, and corporate diversification. Journal of Finance 52, 135–160. Denis, D.J., Denis, D.K., Yost, K., 2002. Global diversification, industrial diversification, and firm value. Journal of Finance 57, 1951–1979. Fama, E., and M. Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of Law and Economics 26, 301-325. Graham, J.R., Lemmon, M., Wolf, J., 2002. Does corporate diversification destroy value? Journal of Finance 59, 695–720. Gujarati, D.N. (2003), Basic Econometrics, 4th Edition, McGraw-Hill Higher Education.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Hair, J.F. Jr., Anderson, R.E., Tathan, R.L., dan Black, W.C. 1998. “Multivariate Data Analysis”. Fifth Edition. Prentice-Hall International Inc. Hyland, D., Diltz, D., 2002. Why firms diversify? An empirical examination. Financial Management 31, 51–82. Ikatan akuntan Indonesia, 2007, Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat Jakarta. Imam Ghazali. (2005) “Model Persamaan Struktural” Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Jensen, M. C. and W. H. Meckling (1976), “Theory of the Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics 3, 305-360. _______ 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers. American Economic Review Papers and Proceedings 76, 323–329. Jiraporn, P., Y.S. Kim and W.N. Davidson III (2005), “CEO Compensation, Shareholders Rights, and Corporate Governance”, Journal of Economics and Finance, Vol. 29, No. 2, 242-258. John R. Graham; Michael L. Lemmon; Jack G. Wolf (2002)., Does Corporate Diversification Destroy Value?. http://www.ssrn.com. John A. Doukas; L. H. P. Lang (2003)., Foreign Direct Investment, Diversification and Firm Performance. http://www.ssrn.com. Karl Lins; Henri Servaes., 1999. International Evidence on the Value of Corporate Diversification. The Journal of Finance, Vol. 54, No. 6. (Dec., 1999), pp. 22152239. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Klapper, L.F. and I. Love. 2002. Corporate Governance, Investor Protection, and Performance in Emerging Markets. http://econ.worldbank.org. Kula, V. 2005. The Impact of the Roles, Structure and Process of Boards on Firm Performance: Evidence from Turkey. Corporate Governance: An International Review, 13 (2). La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54, 471–517. La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R., 2002. Investor Protection and Corporate Valuation. Journal of Finance 57, 1147–1170. Lang, Lany, and Ren6 M. Stulz, 1994, Tobin's q, corporate diversification and firm performance, Journal of Political Economy 102, 1248-1280. Lai, J., Sudarsanam, S., 1997. Corporate restructuring in response to performance decline: impact of ownership, governance and lenders. European Finance Review 1, 197–233. Lasfer, M., 1995. Agency costs, taxes and debt: the UK evidence. European Financial Management 1, 265–285. Lopez-Itturiaga, F.J. and J.A. Rodriguez-Sanz. 2001. Ownership Structure, Corporate Value, and Firm Investment: A Simulatenous Equation Analysis for Spanish Companies. Journal of Management and Governance, 5 (2), p.179204. Mak, Y.T. and Y. Li. 2001. Determinants of Corporate Ownership and Board Structure: Evidence from Singapore. Journal of Corporate Finance 7, 235–256.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Mansi, S., Reeb, D.M., 2002. Corporate diversification: What gets discounted? Journal of Finance 57, 2167–2184. McConnell, J., Servaes, H., 1990. Additional evidence on equity ownership corporate value. Journal of Financial Economics 27, 595–612. Maury, B. 2006. Family Ownership and Firm Performance: Empirical Evidence from Western European Corporations. Journal of Corporate Finance 12, 321– 341. McConnel, J.J. and H. Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics 27, 595-612. Mitton, T. 2002. A Cross-Firm Analysis of the Impact of Corporate Governance on the East Asian Financial Crisis. Journal of Financial Economics 64, 215–241. Morck, R., A. Shleifer, and R. Vishny. 1998. Management Ownership and Market Valuation: An Empirical Analysis. Journal of Financial Economics 20, 293-316. Nelson, J. 2005. Corporate Governance Practices, CEO Characteristics, and Firm Performance. Journal of Corporate Finance 11, 197– 228. Owen A. Lamont; Christopher Polk., 2001., The Diversification Discount: Cash lows versus Returns. The Journal of Finance, Vol. 56, No. 5. (Oct., 2001), pp. 6931721 Porter, Michael E., 1985., Competitive Advantage: creating and sustaining superior performance: with a new introduction., New York Free Press. Pornsit Jiraporn, Young Sang Kim, Wallace N. Davidson, Manohar Singh.,2005. Corporate governance, shareholder rights and firm diversification: An empirical analysis. http://www.ssrn.com.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Pedersen, T. and S. Thomsen. 2001. The Causal Relationship between Insider Ownership, Owner Identity and Market Valuation among the Largest European Companies. Working Paper Copenhagen Business School. Rahadian (2007) “Investigasi Ulang Hubungan Nilai Perusahaan, Kebijakan Accrual, Indeks Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Struktur Modal: Studi Empiris di Indonesia”. Thesis Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi UI. Rajan, Raghu, Henri Servaes, and Luigi Zingales, 1998, The cost of diversity: The diversification discount and inefficient investment, Journal of Finance 55, 35-80. Ronald C Anderson; Thomas W Bates; John M Bizjak; Michael L Lemmon. 2000., Corporate governance and firm diversification., Financial Management; 29, 1; ABI/INFORM Global pg. 5 Rumelt, R P, 1974, Strategy, Structure and Economic Performance, Harvard University Press, Cambridge, M A. Salis Musta Ani, 2007, Pengaruh Governance terhadap Corporate Social Responsibility (Studi empiris Pad Perusahaan Terdaftar Di BEJ 2004-2005) Thesis Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi UI. Sattar A. Mansi; David M. Reeb. 2002., Corporate Diversification: What Gets Discounted?. The Journal of Finance, Vol. 57, No. 5, pp. 2167-2183. Servaes, Henri, 1997, The value of diversification during the conglomerate merger wave, Journal of Finance 51, 1201-1225. Singh, Manohar, Mathur, I., Gleason, K.C., 2004. An analysis of interrelationship among
corporate
governance,
ownership
structure
and
diversification
strategies. Financial Review 39, 489–526. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Stefan Beinera and Markus M. Schmid, 2005, Agency Conflicts, Corporate Governance, and Corporate Diversification – Evidence from Switzerland http://www.ssrn.com. Surat Edaran Bapepam Nomor: SE-02/PM/2002. http://bapepam.go.id. Villalonga, Belen, 2000, Diversification discount or premium? New evidence from BITS establishment level data, Unpublished manuscript, University of California, Los Angeles. Villalonga, B., 2004. Does diversification cause the diversification discount. Financial Management 33, 5–28. Whited, T., 2001. Is it efficient investment that causes the diversification discount? Journal of Finance 56, 1667– 1692. Wijanto, Setyo Hari, 2006, “ Structural Equation Model (SEM) dengan Lisrel 8.7”, Catatan Kuliah, Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV05- 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE SERTA PENGALAMAN INTERNASIONAL DAN GENDER DEWAN DIREKSI PERUSAHAAN PUBLIK DI INDONESIA TERHADAP PENGUNGKAPAN SOSIAL
Sari Atmini Yeney Widya Prihatiningtias Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang
Abstract
The objectives of this research are to empirically examine the effects of independent commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies, independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size, international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and blockholder ownership) to social disclosure. The sample of this research was determined using purposive sampling method. There are 24 companies categorized as high profile companies fulfill the criteria. Data were analyzed using multiple regression analysis. The results of this research show that independent commissioner, audit committee characteristics (number of member, competencies, independency and frequency of meeting), board of directors characteristics (size, international experiences and gender) and structure of ownership (managerial and blockholder ownership) do not affect social disclosure.
Keywords:
independent commissioner, audit committee, board of directors,
international experiences, gender, managerial ownership, blockholder ownership, social disclosure
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1. Latar Belakang Masalah Pengungkapan sosial adalah salah satu bentuk pengungkapan sukarela. Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan perusahaan di luar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan Badan Pengawas (Suwardjono 2005: 577). Pengungkapan sukarela didasari oleh signaling theory (Eng & Mak 2003), stakeholder theory (Hasibuan-Sedyono 2006; Kiroyan 2006), dan contracting theory (Watts & Zimmerman 1986). Pengungkapan sosial merupakan subyek penelitian penting dalam dua dekade terakhir. Alasan suatu perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara sukarela sangat menarik perhatian peneliti empiris dan analitis dalam bidang akuntansi. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnya menguji sifat dan pola pengungkapan sosial serta determinan dari pengungkapan sosial. Penelitian analitis menguji pengaruh kompetisi terhadap pengungkapan serta manfaat pengungkapan sebagai signal nilai perusahaan, sedangkan penelitian empiris menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan (Eng & Mak 2003; Haniffa & Cooke 2005; Gao et al. 2005). Penelitian-penelitian mengenai pengungkapan sosial dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai menghubungkan corporate governance dengan praktik pengungkapan sosial (Forker 1992, Chan & Jaggi 2000 dalam Eng & Mak 2003; Eng & Mak 2003). Pertimbangan corporate governance, yang mencakup struktur kepemilikan serta komposisi dewan komisaris dan komite audit, merupakan hal penting karena pengungkapan dalam laporan tahunan diputuskan oleh manajemen puncak (Gibson et al. 1990 dalam Haniffa & Cooke 2005). Dalam rangka menegakkan good corporate governance, perusahaan di Indonesia diwajibkan membentuk komite audit (Khomsiyah dkk. 2005). Salah satu tugas komite audit adalah melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dipublikasikan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya. Peningkatan kualitas pelaporan keuangan merupakan tanggung jawab utama komite audit. Efektivitas komite audit dalam menjalankan fungsi dan perannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik komite audit, yang meliputi jumlah Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh karakteristik komite audit terhadap pengungkapan seperti yang dilakukan Mautz & Neary (1979), Jones (1986), Vicknair et al. (1993), De Fond & Jiambalvo (1991), Sommer (1991), Kalbers & Fogarty (1993), McMullen (1996), Bean (1999), Zulaikha et al. (1999), Kurnianingsih dan Supomo (1999), Abbott et al. (2002), Ishak (2002), Felo et al. (2003), dan Utama (2004) [Khomsiyah dkk. 2005], serta Khomsiyah dkk. (2005). Corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan komisaris independen, komite audit, dewan direksi, dan struktur kepemilikan. Penelitian ini menguji karakteristik komite audit yang terdiri atas jumlah anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit. Sedangkan karateristik dewan direksi yang diuji adalah ukuran dewan direksi, pengalaman internasional, dan gender anggota dewan direksi. Karena dalam beberapa dekade terakhir ini perusahaan-perusahaan telah melakukan transaksi tanpa dibatasi oleh negara, telah muncul pula beberapa penelitian yang mengaitkan masalah pengungkapan dengan globalisasi atau pengalaman internasional. Survey yang dilakukan Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2004 menemukan bukti bahwa semakin tinggi pengalaman internasional suatu perusahaan, semakin baik pengungkapan yang dilakukan perusahaan tersebut terhadap transaksi-transaksi off-balance sheet dan kebijakan non keuangan (Luo 2005). Luo (2005) mengajukan proposisi
bahwa
pengalaman
internasional
akan
menjadikan
perusahaan
melakukan pengungkapan keuangan dan non keuangan secara lebih menyeluruh. Karakteristik unik yang menjadi fokus penelitian ini adalah karakteristik perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Embrio dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah perusahaan keluarga sehingga pengelolaan perusahaan di Indonesia adalah terpengaruh konsentrasi kepemilikan saham keluarga pendiri (Claessens et al. 2000 dalam Achmad dkk. 2006). Dalam perkembangannya, keluarga tersebut mengirim anak-anak mereka, pengelola perusahaan di masa mendatang, untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Semakin banyak pula keluarga menengah ke atas yang mengenyam pendidikan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
tinggi di luar negeri. Ketika aktif terjun dalam dunia bisnis, mereka telah memperoleh pengalaman internasional terutama dari segi pendidikan formal. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI sebagian merupakan perusahaan multinasional, yang direkturnya adalah ekspatriat yang sudah mempunyai pengalaman internasional memimpin perusahaan di berbagai negara. Penelitian ini berusaha menemukan bukti apakah pengalaman internasional, dari segi pendidikan formal maupun pengalaman kerja, akan mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan-perusahaan
publik
di
Indonesia.
Berdasarkan
uraian
tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris adanya pengaruh komisaris independen, karakteristik komite audit (jumlah anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit), karakteristik dewan direksi (ukuran, pengalaman internasional, dan gender anggota dewan direksi), serta struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan blockholder) terhadap pengungkapan sosial.
2. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis 2.1. Pengungkapan Sosial Pengungkapan sosial merupakan salah satu bentuk dari pengungkapan sukarela.
Pengungkapan
sukarela
adalah
pengungkapan
yang
dilakukan
perusahaan di luar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan Badan Pengawas (Suwardjono, 2005: 577). Pengungkapan sukarela antara lain dilandasi oleh signaling theory. Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham, khususnya jika informasi tersebut merupakan berita baik (good news). Manajemen juga berminat menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitasnya dan kesuksesannya meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan (Eng & Mak 2003). Pengungkapan sosial juga didasari oleh stakeholder theory (Hasibuan-Sedyono 2006; Kiroyan 2006), yang menjelaskan bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham tetapi juga mempunyai kewajiban terhadap stakeholder lain seperti kepada konsumen, pemasok, karyawan, dan lingkungannya. Selain itu, di dalam contracting theory dijelaskan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap para pemegang kontrak, termasuk di dalamnya kontrak dengan karyawan dan masyarakat (Watts & Zimmerman 1986). Studi longitudinal terhadap pengungkapan sosial menunjukkan adanya peningkatan dari waktu ke waktu, baik dalam hal jumlah perusahaan yang melakukan pengungkapan maupun dalam hal luas informasi yang diungkapkan (Harte & Owen 1991, Deegan & Gordon 1996 dalam Haniffa & Cooke 2005). Teori yang menjelaskan pola pengungkapan sosial adalah social contracting theory, legitimacy theory, accountability theory, dan decision usefulness theory. Social contracting theory menyatakan bahwa perusahaan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam rerangka keadilan. Legitimacy theory memperluas social contracting theory dan mencakup respon perusahaan terhadap permintaan berbagai pihak yang berkepentingan dengan cara melegitimasi tindakan-tindakan mereka. Accountability theory juga memperluas social contracting theory dan mempertimbangkan kepatuhan perusahaan terhadap hukum, sedangkan decision usefulness theory mempertimbangkan juga pengguna selain investor (Tilt 1994 dalam Haniffa & Cooke 2005).
2.2. Corporate Governance Corporate governance dalam literatur keuangan dan akuntansi mainstream diartikan sebagai rentang mekanisme pengendalian yang melindungi dan meningkatkan kepentingan pemegang saham suatu perusahaan (Fama dan Jensen 1983 dalam Baker et al. 2002). Corporate governance adalah suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders), terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi, demi tercapainya tujuan organisasi. Corporate governance dimaksudkan untuk mengatur hubunganhubungan ini, mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan, serta untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera (Tjager, dkk, 2003: 28-29). Prinsip-prinsip corporate governance yang ditawarkan oleh OECD adalah kewajaran, pengungkapan/transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Untuk
mendukung
terwujudnya
prinsip
pengungkapan
dan
transparansi,
perusahaan dapat mengimplementasikan prinsip akuntabilitas yang didasarkan pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat. Akuntabilitas dapat dicapai melalui pengawasan yang efektif yang didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi. Praktik audit yang sehat dan independen sangat diperlukan untuk menunjang akuntabilitas
perusahaan.
Hal
ini
dapat
dilakukan
antara
lain
dengan
mengefektifkan peran komite audit (Djalil dalam Surya dan Yustiavandana, 2006: 77). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pelaksanaan corporate governance antara lain dapat dilihat dari komisaris independen dan karakteristik komite audit yang dibentuk suatu perusahaan karena komisaris independen dan komite audit merupakan unsur dari proses corporate governance. Apabila proporsi komisaris independen terhadap jumlah anggota komisaris dalam dewan komisaris meningkat serta karakteristik komite audit semakin baik, diharapkan pelaksanaan corporate governance juga semakin baik.
2.3. Komisaris Independen Proses pengungkapan sosial dapat dipandang sebagai strategi yang ditujukan untuk mempersempit legitimacy gap antara manajemen dan pemegang saham melalui komisaris independen. Komisaris independen berperan dalam mekanisme check and balance, menjamin perusahaan bertindak tidak hanya untuk kebaikan pemegang saham namun juga kebaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan, serta lebih tertarik untuk meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (Haniffa & Cooke 2005). Dewan komisaris independen yang kurang sejajar
dengan
manajemen
mungkin
akan
mendorong
perusahaan
untuk
mengungkapkan informasi yang lebih luas kepada investor luar (Eng & Mak 2003). Dengan demikian, komisaris independen dapat menekan perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial dalam rangka menjamin kongruensi antara tindakan organisasi dan nilai-nilai sosial atau legitimasi organisasional (Haniffa & Cooke 2005).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Chen & Jaggi (2000) menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif proporsi komisaris independen terhadap pengungkapan. Haniffa & Cooke (2005) menemukan bukti bahwa luas pengungkapan sosial adalah lebih besar untuk perusahaan-perusahaan yang dewannya didominasi oleh non-executive directors. Namun bukti empiris dari Eng dan Mak (2003) menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa meningkatnya outside directors mengurangi pengungkapan sukarela. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis: H1A:
Proporsi
komisaris
independen
berpengaruh
positif
terhadap
luas
pengungkapan sosial. H1B:
Proporsi
komisaris
independen
berpengaruh
positif
terhadap
variasipengungkapan sosial.
2.4. Karakteristik Komite Audit 2.4.1. Ukuran Komite Audit Komite
audit
dibentuk
dalam
rangka
menegakkan
good
corporate
governance. Efektivitas komite audit dalam menjalankan fungsi dan perannya sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya. Karakteristik komite audit ditunjukkan dengan jumlah anggota atau ukuran komite audit, keahlian komite audit, independensi komite audit, dan frekuensi pertemuan. Salah satu tugas komite audit adalah melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya. Menurut rekomendasi dari the Blue Ribbon Committee, dalam menjalankan tugasnya ini, komite audit yang dibentuk minimal terdiri dari tiga orang anggota (Khomsiyah dkk. 2005). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bukti bahwa jumlah anggota komite audit kurang signifikan terhadap efektivitas komite audit (Zulaikha dkk. 1999 dalam Khomsiyah dkk. 2005) dan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib informasi laporan keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Ukuran komite audit memiliki hubungan yang sedikit atas terjadinya financial reporting misstatement (Abbot et al. 2002 dalam Khomsiyah dkk. 2005). Namun, Felo et al. (2003) dalam Khomsiyah dkk. (2005) menemukan bahwa ukuran komite audit berhubungan positif dengan kualitas laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis: Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
H2A: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial. H2B: Ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial. 2.4.2. Keahlian Komite Audit The Blue Ribbon Committee merekomendasikan, minimal satu orang anggota komite audit memiliki keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A dan Keputusan Ketua Bapepam No: KEP41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 menyatakan bahwa anggota komite audit wajib memiliki keahlian di bidang akuntansi dan/atau keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Beberapa penelitian terdahulu menemukan bukti, latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang akuntansi dan keuangan berpengaruh terhadap efektifitas komite audit (Kalbers & Fogarty 1993 dalam Khomsiyah dkk. 2005), berpengaruh terhadap pencegahan terjadinya financial reporting misstatement (Abbot et al. 2002 dalam Khomsiyah dkk. 2005), dan berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan (Felo et al. 2003 dalam Khomsiyah dkk. 2005). Namun Zulaikha dkk. (1999) dalam Khomsiyah dkk. (2005) menemukan bukti bahwa kompetensi komite audit tidak berpengaruh terhadap efektivitas komite audit. Demikian pula Khomsiyah dkk. (2005) tidak menemukan bukti adanya pengaruh keahlian anggota komite audit terhadap tingkat pengungkapan wajib informasi laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis: H3A: Keahlian komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial. H3B: Keahlian komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial.
2.4.3. Independensi Komite Audit Komite audit akan dapat menjalankan tugasnya dengan efektif apabila anggotanya memiliki sikap independen. Untuk menjaga sikap independen ini, anggota komite audit tidak boleh dirangkap oleh anggota dewan direksi. Anggota komite audit merupakan komisaris independen yang bertindak sebagai ketua komite audit dan anggota lainnya adalah orang dari luar perusahaan yang tidak memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan (Business Week 2004 dalam Khomsiyah dkk. 2005). The Blue Ribbon Committee Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
juga merekomendasikan bahwa anggota komite audit tidak memiliki hubungan yang dapat menyebabkan masalah dengan independensi dari pihak perusahaan maupun manajemen. Selain itu, perusahaan yang memiliki modal lebih dari $200 juta diharuskan memiliki komite audit yang independen (Khomsiyah dkk. 2005). Hasil penelitian terdahulu menemukan bukti, independensi komite audit tidak mempengaruhi efektivitas komite audit (Zulaikha dkk. 1999 dalam Khomsiyah dkk. 2005), tidak memiliki hubungan dengan kualitas laporan keuangan (Felo et al. 2003 dalam Khomsiyah dkk. 2005), dan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib informasi laporan keuangan (Khomsiyah dkk. 2005). Abbot et al. (2002) dalam Khomsiyah dkk. (2005) menemukan adanya hubungan negatif antara independensi komite audit dengan terjadinya financial reporting misstatement. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis: H4A : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial. H4B : Independensi komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial.
2.4.4. Frekuensi Pertemuan Komite Audit Komite audit melakukan komunikasi dengan beberapa pihak yaitu dengan komisaris, manajemen, auditor internal, dan auditor eksternal. Komunikasi tersebut berkaitan dengan pelaksanaan tugas komite audit. The Blue Ribbon Committee merekomendasikan bahwa komite audit harus melakukan pertemuan dan melakukan diskusi mengenai laporan keuangan perusahaan dengan pihak manajemen dan dewan direksi serta dengan auditor eksternal. Pertemuan dan hasilnya harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan dalam bagian laporan komite audit. Berdasarkan Surat Edaran Bapepam No: SE-03/PM/2000, komite audit wajib mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan. Selanjutnya peraturan tersebut diubah berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam No: KEP-41/PM/2003 yang menyatakan bahwa komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan.
Hasil penelitian Abbot et al. (2002)
dalam Khomsiyah dkk. (2005) menunjukkan bahwa pertemuan rutin minimal tiga kali
dalam
satu
tahun
berpengaruh
negatif
Bridging the Gap between Theory and Practice
terhadap
financial
reporting
GOV06- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
misstatement. Pertemuan rutin dengan eksternal auditor dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan sehingga laporan keuangan menjadi reliable bagi pemakai (Ishak 2002 dalam Khomsiyah dkk. 2005). Namun Khomsiyah dkk. (2005) tidak menemukan bukti pengaruh frekuensi pertemuan komite audit terhadap tingkat pengungkapan wajib informasi laporan keuangan. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan hipotesis: H5A:
Frekuensipertemuan
komite
audit
berpengaruh
positif
terhadapluas
pengungkapan sosial. H5B: Frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.
2.5. Karakteristik Dewan Direksi 2.5.1. Ukuran Dewan Direksi Faisal (2005) dalam Victoria (2008) menyatakan bahwa peningkatan ukuran dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar perusahaan untuk menjamin ketersediaan sumber daya. Sumber daya yang handal dan berkualitas akan meningkatkan kinerja perusahaan. Perusahaan yang kinerjanya baik diduga mengungkapkan informasi lebih banyak, termasuk pengungkapan informasi sosial, kepada pihak luar. Victoria (2008) menemukan bukti adanya pengaruh positif ukuran dewan direksi terhadap tingkat pengungkapan informasi sosial. Berdasarkan uraian tersebut dihipotesiskan: H6A: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial. H6B:
Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.
2.5.2. Pengalaman Internasional Dewan Direksi Globalisasi
merupakan
tantangan
yang
menuntut
pembelajaran
organisasional secara ekstensif untuk memenuhi tuntutan pihak asing. Pengalaman merupakan sumber utama pembelajaran. Ada dua tipe pengalaman penting berkaitan dengan globalisasi, pengalaman operasi internasional secara umum dan pengalaman country-specific. Pengalaman internasional dapat mempengaruhi corporate
governance
dan
akuntabilitas
antara
Bridging the Gap between Theory and Practice
lain
karena
pengalaman GOV06- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
internasional membantu perusahaan untuk menangani secara lebih baik akan meningkatnya tuntutan pemegang saham dan stakeholder global terhadap pengungkapan yang lebih luas dan penjelasan yang lebih transparan untuk pengambilan keputusan (Luo 2005). Transparansi informasi keuangan merupakan tulang punggung akuntabilitas. Akuntabilitas perusahaan tidak hanya berkaitan dengan ketepatan dan reliabilitas informasi
keuangan,
namun
juga
berkaitan
dengan
pengungkapan
serta
ketepatwaktuan. Dengan demikian, akuntabilitas tidak hanya mencakup laporan keuangan. Akuntabilitas juga mencakup pengungkapan informasi non keuangan yang berkaitan dengan pemegang saham, karyawan, dan stakeholder. Secara lebih spesifik, issue yang perlu diungkapkan antara lain adalah yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia, hubungan karyawan, masalah lingkungan hidup, serta kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja (Luo 2005). Dengan pengalaman internasional, perusahaan akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk memahami dan memutuskan frekuensi serta luas pengungkapan informasi keuangan dan non keuangan yang akan dipublikasikan oleh perusahaan kepada stakeholder. Survey yang dilakukan Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2004 menemukan bukti bahwa semakin tinggi pengalaman internasional suatu perusahaan, semakin baik pengungkapan yang dilakukan perusahaan tersebut terhadap transaksitransaksi off-balance sheet dan kebijakan non keuangan (Luo 2005). Luo (2005) mengajukan
proposisi
bahwa
pengalaman
internasional
akan
menjadikan
perusahaan melakukan pengungkapan keuangan dan non keuangan secara lebih menyeluruh. Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pengalaman
internasional yang lebih luas akan meningkatkan pengungkapan sosial. Dalam penelitian ini, pengalaman internasional perusahaan dilihat dari pengalaman internasional direksi perusahaan, dari segi pengalaman kerja dan pengalaman pendidikan formal. Harapannya, semakin besar proporsi direktur perusahaan yang pernah memimpin perusahaan di luar negeri serta semakin besar proporsi direktur yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, maka semakin besar pula usaha mereka untuk memenuhi tuntutan stakeholder akan pengungkapan terutama Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pengungkapan informasi non keuangan yang berkaitan dengan pemegang saham, karyawan, dan stakeholder. Hal ini dirumuskan dalam hipotesis: H7A:
Pengalaman kerja internasional direktur berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sosial.
H7B: Pengalaman kerja internasional direktur berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan sosial. H8A: Pengalaman pendidikan internasional direktur berpengaruh positif terhadap luas
pengungkapan sosial.
H8B : Pengalaman pendidikan internasional direktur berpengaruh positif terhadap variasi
pengungkapan sosial.
2.5.3. Gender Anggota Dewan Direksi Laporan keuangan yang disajikan suatu perusahaan bukan semata-mata serangkaian informasi keuangan, tetapi lebih dari itu, merupakan pernyataan etika akuntansi universal. Laporan keuangan disajikan sebagai suatu identitas moral entitas penyusunnya. Perspektif etika seseorang berkaitan dengan gender, dan terdapat perbedaan standar etika antara pria dan wanita (Keller et al. 2007). Wanita dipersepsikan lebih etis daripada pria dan merupakan pembuat keputusan yang lebih etis daripada pria (Glover et al. 2002). Hasil penelitian Haniffa dan Cooke (2005) menunjukkan bahwa pengungkapan sosial suatu perusahaan dipengaruhi oleh budaya, nilai moral, dan etika yang dianut para anggota dewan direksi. Dengan demikian diduga bahwa komposisi gender dalam susunan dewan direksi akan mempengaruhi keputusan pengungkapan sosial. Semakin banyak wanita dalam susunan dewan direksi, maka semakin etis dewan direksi tersebut, dan semakin luas serta bervariasi pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan tersebut, sehingga dirumuskan hipotesis: H9A: Proporsi wanita dalam dewan direksi berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan
sosial.
H9B: Proporsi wanita dalam dewan direksi berpengaruh positif terhadap variasi pengungkapan
sosial.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.6. Struktur Kepemilikan 2.6.1. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh CEO dan direksi. Ketika kepemilikan manajerial rendah maka akan muncul masalah keagenan (agency problem). Oleh karena itu, komisaris independen akan meningkatkan pengawasan terhadap perilaku manajer-manajer untuk mengurangi masalah keagenan (Jensen dan Meckling 1976). Pengawasan oleh pemegang saham luar (outside shareholder) akan menaikkan biaya perusahaan. Akan tetapi, pengawasan oleh pemegang saham luar mungkin akan berkurang jika manajer dapat menyediakan pengungkapan sukarela. Karena itu, pengungkapan sukarela adalah substitusi dari pengawasan (Eng & Mak 2003). Hasil penelitian Ruland et al. (1990) dalam Eng & Mak (2003) serta Eng dan Mak (2003) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh negatif terhadap pengungkapan sukarela. Atas dasar hal tersebut, dirumuskan hipotesis: H10A: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan sosial. H10B: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap variasi pengungkapan sosial.
2.6.2. Kepemilikan Blockholder Kepemilikan blockholder merupakan persentase saham perusahaan yang dimiliki pemegang saham substansial, yaitu pemegang saham yang kepemilikannya 5% atau lebih. Blockholder ini dapat berupa individu/keluarga (individual blockholder)
atau
institusi/
perusahaan
(institutional
blockholder).
Ketika
kepemilikan saham tersebar, diperlukan monitoring yang lebih tinggi (Eng & Mak 2003). Dengan demikian diharapkan bahwa pengungkapan sosial akan meningkat dengan menurunnya kepemilikan blockholder. Namun, Fama (1970) dan Hill & Snell (1989) dalam Majidah (2005) menyatakan bahwa kepemilikan institusional bermanfaat untuk menanggulangi informasi yang tidak simetris. Penanggulangan informasi yang tidak simetris melalui pengendalian yang dilakukan pemilik institusional ini mengakibatkan upaya untuk mengimplementasikan transparansi sebagai unsur proses tata kelola perusahaan dapat dilakukan (Majidah 2005). Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
McKinnon & Dalimunthe (1993), Mitchell et al. (1995), Schadewitz & Blevins (1998) dalam Eng & Mak (2003) menemukan bukti bahwa kepemilikan blockholder berpengaruh negatif terhadap pengungkapan. Namun, Eng & Mak (2003) tidak menemukan bukti adanya pengaruh tersebut. Hasil penelitian Eng & Mak (2003) menunjukkan adanya hubungan positif, yang ditunjukkan dengan koefisien positif dalam hasil analisis regresi, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H11A: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap luas pengungkapan sosial. H11B: Kepemilikan blockholder berpengaruh terhadap variasi pengungkapan sosial. 2.7. Faktor Penjelas Beberapa penelitian terdahulu mendokumentasikan adanya pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, risiko, umur, dan jenis industri terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial.
Perusahaan besar menjalankan aktivitas yang lebih
banyak dan membawa dampak yang lebih besar bagi masyarakat. Perusahaan besar banyak diperhatikan oleh berbagai kelompok masyarakat sehingga selalu berada dalam tekanan untuk mengungkapkan aktivitas sosialnya dalam rangka melegitimasi usahanya (Trotman & Bradley 1981, Teoh & Thong 1984, Andrew et al. 1989, Cowen et al. 1987 dalam Haniffa & Cooke 2005). Eng & Mak (2003) serta Haniffa & Cooke (2005) menemukan bukti adanya pengaruh positif ukuran perusahaan terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial. Manajemen perusahaan mempunyai kebebasan dan fleksibilitas untuk menjalankan program tanggung jawab sosial kepada pemegang saham secara lebih luas. Perusahaan yang profitable mengungkapkan informasi sosial untuk menunjukkan kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat dan melegitimasi keberadaannya. Eng & Mak (2003) menemukan bukti bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, namun Haniffa & Cooke (2005) tidak menemukan bukti tersebut. Risiko perusahaan pada umumnya dilihat dari tingkat kewajiban perusahaan. Semakin besar proporsi kewajiban terhadap ekuitas, maka perusahaan tersebut semakin berisiko. Perusahaan yang memiliki tingkat kewajiban tinggi berupaya untuk melegitimasi tindakannya kepada kreditur dan pemegang saham. Perusahaan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
tersebut akan mengungkapkan lebih banyak informasi untuk meyakinkan kreditur bahwa pemegang saham dan manajemen kemungkinan kecil akan mengabaikan kepentingan kreditur. Haniffa & Cooke (2005) tidak menemukan bukti adanya pengaruh
rasio
kewajiban
terhadap
ekuitas
terhadap
luas
dan
variasi
pengungkapan sosial, sebaliknya Eng & Mak (2003) menemukan pengaruh negatif rasio kewajiban terhadap ekuitas terhadap pengungkapan sukarela. Semakin lama suatu perusahaan berdiri, perusahaan tersebut akan semakin matang sehingga diharapkan aktivitas sosial sudah menjadi kewajiban. Umur perusahaan mempunyai hubungan positif dengan pengungkapan sosial (Roberts 1992).
3. Metoda Penelitian 3.1. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007, berjumlah 343 perusahaan. Sampel penelitian ditentukan dengan metoda purposive sampling dengan 2 kriteria: tergolong kategori perusahaan high profile dan telah mempublikasikan laporan tahunan (annual report) tahun 2007 di www.idx.ac.id. Terdapat 144 perusahaan yang tergolong perusahaan high profile. Hanya 24 perusahaan yang telah mempublikasikan laporan tahunan di www.idx.ac.id. sehingga diperoleh 24 perusahaan sebagai sampel penelitian. Perusahaan dalam kategori high profile dipilih menjadi sampel penelitian karena perusahaan high profile merupakan perusahaan dengan tingkat sensitivitas tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau perusahaan dengan tingkat kompetisi ketat. Perusahaan high profile umumnya memiliki jumlah tenaga kerja banyak serta dalam proses produksinya mengeluarkan residu seperti limbah cair dan polusi udara (Sembiring 2005). Perusahaan termasuk kategori high profile adalah perusahaan bergerak dalam bidang perminyakan dan pertambangan, kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agribisnis, tembakau dan rokok, produk makanan dan minuman, media dan komunikasi, energi (listrik), engineering, kesehatan, transportasi, dan pariwisata (Anggraini 2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.2. Data Penelitian Data penelitian ini adalah data sekunder. Data kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komposisi dewan komisaris independen serta data yang diperlukan untuk menghitung variabel kontrol diperoleh dari laporan keuangan auditan perusahaan sampel tahun 2007. Karakteristik komite audit, pengalaman internasional, serta item pengungkapan sukarela diperoleh dari laporan tahunan perusahaan sampel tahun 2007. Laporan keuangan auditan dan laporan tahunan diperoleh dari BEI yang dapat diakses melalui www.idx.ac.id.
3.3. Variabel Penelitian Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan sosial. Pengungkapan sosial perusahaan sampel ditentukan dengan menggunakan content analysis, yaitu metode pengkodifikasian teks atau kandungan suatu tulisan ke dalam berbagai macam kelompok atau kategori berdasarkan kriteria tertentu (Weber 1988 dalam Haniffa & Cooke 2005). Instrumen penelitian yang digunakan mencakup item pengungkapan sosial yang berkaitan dengan lima tema, yaitu lingkungan, karyawan, masyarakat, produk, dan nilai tambah, seperti yang telah digunakan oleh Haniffa & Cooke (2005) dan Sembiring (2005). Dalam penelitian ini, pengungkapan sosial diukur menggunakan dua macam ukuran, yaitu dalam bentuk Indeks Pengungkapan Sosial (IPS) dan Luas Pengungkapan Sosial (LPS). Dalam menentukan IPS, perusahaan diberi skor 1 jika mengungkapkan
dan
0
jika
tidak.
Selanjutnya,
IPS
ditentukan
dengan
membandingkan antara skor yang diperoleh perusahaan dengan skor seandainya perusahaan mengungkapkan secara lengkap item pengungkapan sosial. LPS dinyatakan dalam jumlah kata-kata yang digunakan perusahaan untuk melakukan pengungkapan. IPS mengukur keragaman pengungkapan, sedangkan LPS mengukur luas pengungkapan. Kedua pengukuran tersebut digunakan dalam penelitian ini karena IPS tidak mampu membedakan kelengkapan pengungkapan yang
dilakukan
perusahaan,
sedangkan
LPS
tidak
mampu
mengukur
pengungkapan yang dinyatakan dalam bentuk grafik atau gambar. Padahal, grafik dan gambar adalah metoda komunikasi yang sangat efektif.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Variabel independen dalam penelitian ini terdiri atas komisaris independen, karakteristik komite audit, karakteristik dewan direksi, dan struktur kepemilikan. Pengukuran variabel independen disajikan dalam Tabel 1. Variabel kontrol dalam penelitian ini terdiri atas ukuran perusahaan, profitabilitas, umur, dan jenis industri. Pengukuran variabel kontrol disajikan dalam Tabel 2. 3.4. Metoda Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Persamaan regresi yang digunakan adalah: IPS = α + β1KInd + β2UKA + β3KKA + β4IKA + β5FP + β6UDD + β7PP + β8PK +
β9G + β10KM + β11KB +β12Uk + β13ROE + β14DTE + β15Umur + ε1 IPS = α + β1KInd + β2UKA + β3KKA + β4IKA + β5FP + β6UDD + β7PP + β8PK
+
β9G + β10KM + β11KB +β12Uk + β13ROE + β14DTE + β15Umur + ε1 Notasi: IPS = Indeks Pengungkapan Sosial LPS
= Luas Pengungkapan Sosial
KInd = Komisaris Independen UKA = Ukuran Komite Audit KKA
= Keahlian Komite Audit
IKA
= Independensi Komite Audit
FP
= Frekuensi Pertemuan
UDD = Ukuran Dewan Direksi PP
= Pengalaman Pendidikan
PK
= Pengalaman Kerja
G
= Jenis Kelamin Anggota Dewan Direksi
KM
= Kepemilikan Manajerial
KB
= Kepemilikan Blockholder
Uk
= Ukuran Perusahaan (Total Aktiva)
ROE = Profitabilitas (Return on Equity) DTE
= Rasio leverage (Total Kewajiban Jangka Panjang/Total Ekuitas)
Umur = Umur perusahaan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Sebelum dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis regresi berganda, dilakukan pengujian terhadap data yang digunakan untuk mengetahui apakah data memenuhi asumsi klasik atau tidak. Asumsi klasik yang harus dipenuhi adalah data harus berdistribusi normal, tidak ada multikolinearitas, serta tidak ada heteroskedastisitas (Hair et al 1992).
4. Hasil Analisis dan Pembahasan 4.1. Statistik Deskriptif Hasil uji statistik deskriptif disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa perusahaan publik di Indonesia masih sangat terbatas dalam melakukan pengungkapan sosial dalam laporan tahunannya, yaitu rata-rata sebesar 23% dan rata-rata menggunakan 715 kata. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan
telah
memiliki
komisaris
independen
dalam
susunan
dewan
komisarisnya, rata-rata sebesar 38% dari jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris. Namun, ada beberapa perusahaan yang belum memiliki komite audit. Perusahaan publik di Indonesia dipimpin oleh direksi yang cukup memiliki pengalaman internasional, yang ditunjukkan dengan rata-rata 25,17% anggota dewan direksi memiliki pengalaman memimpin perusahaan di luar negeri dan ratarata 34% anggotanya berlatar belakang pendidikan dari perguruan tinggi di luar negeri. Akan tetapi, jumlah direktur wanita masih sangat terbatas. Dalam struktur kepemilikan, kepemilikan manajerial sangat rendah, rata-rata hanya 0,6% sedangkan kepemilikan blockholder rata-rata 75,56%.
4.2. Hasil Uji Normalitas dan Uji Asumsi Klasik Hasil uji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov Test serta hasil uji heteroskedastisitas dengan metode Korelasi Spearman rho antara nilai residu dari hasil regresi dengan masing-masing variabel independen disajikan dalam Tabel 4, sedangkan hasil uji multikolinearitas dengan Tolerance Value dan Variance Inflation Factor disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan hasil uji diketahui bahwa semua variabel penelitian memiliki nilai Kolmogorov Smirnov dengan tingkat signifikansi lebih dari 5% sehingga disimpulkan bahwa data berasal dari populasi Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
yang berdistribusi normal. Nilai korelasi Spearman rho kurang dari 0,7 yang mengindikasikan tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Tolerance Value dan Variance Inflation Factor variabel penelitian masing-masing lebih besar dari 0,1 dan kurang dari 10, yang menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas.
4.3. Hasil Uji Hipotesis Hasil uji hipotesis disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua variabel penelitian mempunyai tingkat signifikansi lebih dari 5%. Dengan demikian, semua hipotesis yang diajukan tidak didukung.
4.4. Pembahasan Hipotesis satu yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial tidak berhasil didukung oleh data dalam penelitian ini. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Chen & Jaggi (2000), Haniffa & Cooke (2005), serta Eng dan Mak (2003). Komisaris independen seharusnya berperan dalam mekanisme check and balance, menjamin perusahaan bertindak tidak hanya untuk kebaikan pemegang saham namun juga kebaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan, serta lebih tertarik untuk meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (Haniffa & Cooke 2005). Namun peran tersebut tampaknya tidak berjalan dengan baik di perusahaan publik Indonesia.
Kemungkinan,
hal
tersebut
disebabkan
keberadaan
komisaris
independen masih hanya sebatas formalitas untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Penelitian ini juga tidak mampu mendukung hipotesis dua, tiga, empat, dan lima. Penelitian ini menemukan bukti bahwa ukuran, keahlian, independensi, dan frekuensi pertemuan komite audit tidak berpengaruh terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Zulaikha dkk. (1999) dalam Khomsiyah dkk. (2005), Abbot et al. (2002) dalam Khomsiyah dkk. (2005), serta Khomsiyah dkk. (2005). Tidak berpengaruhnya karakteristik komite audit
terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial ini kemungkinan
disebabkan masih adanya beberapa perusahaan yang tidak memiliki komite audit Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
dalam struktur organisasinya, walaupun sebenarnya keberadaan komite audit dalam suatu perusahaan publik adalah keharusan. Selain itu, komite audit lebih berperan dalam penyusunan laporan keuangan perusahaan, bukan laporan tahunan. Dengan demikian, peran komite audit kemungkinan akan lebih tampak dalam kualitas laporan keuangan yang bersifat mandatory, bukan pada kualitas pengungkapan sosial yang bersifat voluntary. Hipotesis
keenam
yang
menyatakan
bahwa
ukuran
dewan
direksi
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial tidak berhasil didukung. Hasil ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Faisal (2005) dalam Victoria (2008) dan Victoria (2008). Penelitian ini juga tidak mampu mendukung hipotesis tujuh dan delapan yang menyatakan bahwa pengalaman kerja internasional
direktur
dan
pengalaman
pendidikan
internasional
direktur
berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial. Temuan ini menunjukkan bahwa pengalaman internasional direktur bukan menjadi faktor penentu luas dan variasi pengungkapan sosial. Hal ini kemungkinan karena perusahaan sampel hanya terdaftar di BEI, yang masyarakatnya belum terlalu concern terhadap masalah sosial dan lingkungan. Walaupun direktur perusahaan berpengalaman internasional, tetapi ketika dihadapkan pada kondisi masyarakat lokal yang belum terlalu concern terhadap masalah sosial dan lingkungan, maka para
direktur
tersebut
menjadi
menganggap
pengungkapan
sosial
bukan
merupakan informasi yang perlu disampaikan kepada publik. Temuan yang berbeda kemungkinan akan diperoleh jika pengalaman internasional dilihat dari pengalaman internasional perusahaan, misalnya apakah perusahaan juga terdaftar di bursa efek asing. Hipotesis sembilan yang menyatakan bahwa proporsi wanita dalam dewan direksi berpengaruh positif terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial juga tidak berhasil didukung oleh data. Hal ini disebabkan masih sedikitnya jumlah wanita yang menduduki jajaran dewan direksi, yaitu rata-rata sebesar 9,9% dari seluruh jumlah anggota dewan direksi. Hasil penelitian ini menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial sehingga tidak mendukung hipotesis sepuluh. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Ruland et al. (1990) dalam Eng & Mak (2003) serta Eng dan Mak (2003). Hasil ini Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
disebabkan persentase kepemilikan manajerial dalam susunan pemegang saham perusahaan publik di Indonesia sangat kecil, yaitu rata-rata hanya sebesar 0,6%. Dengan demikian, pihak manajerial tersebut tidak mempunyai cukup kekuasaan untuk
menentukan
kebijakan
perusahaan,
termasuk
kebijakan
dalam
hal
menentukan luas dan variasi pengungkapan sosial. Hipotesis sebelas juga tidak berhasil didukung. Penelitian ini tidak menemukan bukti adanya pengaruh kepemilikan blockholder terhadap luas dan variasi pengungkapan sosial. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian Eng & Mak (2003), namun tidak konsisten dengan hasil penelitian McKinnon & Dalimunthe (1993), Mitchell et al. (1995), Schadewitz & Blevins (1998) dalam Eng & Mak (2003). Blockholder di perusahaan publik di Indonesia pada umumnya hanya terdiri dari beberapa institusi saja sehingga kepemilikan perusahaan publik tersebut hanya terkonsentrasi pada beberapa pihak. Dengan demikian, blockholder tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat umum di luar pihak mereka sendiri, sehingga
tidak
mempengaruhi
keputusan
perusahaan
dalam
melakukan
pengungkapan sosial. 5. Penutup Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal mendukung seluruh hipotesis yang diajukan. Penelitian ini tidak berhasil menemukan bukti adanya pengaruh komisaris independen, karakteristik komite audit (jumlah anggota, tingkat keahlian anggota, independensi, serta frekuensi pertemuan komite audit), karakteristik dewan direksi (ukuran, pengalaman internasional, dan gender anggota dewan direksi), serta struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan blockholder) terhadap pengungkapan sosial. Hasil uji hipotesis yang tidak signifikan tersebut kemungkinan disebabkan keterbatasan utama penelitian ini, yaitu terbatasnya jumlah sampel penelitian, yang hanya terdiri atas 24 perusahaan dengan perioda penelitian satu tahun. Ukuran sampel yang kecil mempengaruhi power of test. Dengan demikian, penelitian berikutnya diharapkan menggunakan ukuran sampel yang lebih besar. Selain itu, terutama
untuk
variabel
pengalaman
internasional
perusahaan,
penelitian
berikutnya dapat dilakukan dengan memasukkan tempat terdaftarnya perusahaan di bursa efek, apakah perusahaan juga terdaftar di bursa efek asing atau tidak Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
6. Referensi Achmad, K., I. Subekti, dan S. Atmini. 2006. Investigasi Motivasi dan Strategi Manajemen Laba pada Perusahaan Publik di Indonesia, Laporan Penelitian, Hibah Penelitian PHK A 3 Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Pengungkapan
Informasi
Sosial
dalam
Laporan
Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang, pp. 1-21. Baker, C.R. and D.M. Owsen. 2002. Increasing the Role of Auditing in Corporate Governance. Critical Perspectives on Accounting, Vol. 13, pp. 783-795. Chen, C.J.P, B. Jaggi, 2002. Association between Independent Non-executive Directors, Family Control and Financial Disclosures in Hongkong. Journal of Accounting and Public Policy 19, pp. 285-310. Eng, L.L. and Y.T. Mak, 2003. Corporate Governance and Voluntary Disclosure. Journal of Accounting and Public Policy 22, pp 325-345. Foster, G., 1986. Financial Statement Analysis. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Gao, S.Simon., Saeed Heravi and Jason Zezheng Xiao. 2005. Determinants of corporate social and environmental reporting in Hongkong: a research note. Accounting Forum, Vol. 29, pp. 233-242. Glover, S.H., M.A. Bumpus, G.F. Sharp, G.A. Munchus. 2002. Gender Differences in Ethical Decision Making. Women in Management Review, Vol. 17, No. 5, pp. 217-227. Hair, J.F., R.E. Anderson, R.L. Tatham, and W.C. Black. 1992. Multivariate Data Analysis: With Readings. New York, New York: Macmillan Publishing Company. Haniffa, R.M. and T.E. Cooke. 2005. The impact of culture and governance on corporate social reporting. Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 24, pp. 391-430.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hasibuan, Chrysanti dan Sedyono. 2006. CSR communications: A challenge on its own. Economics Business Accounting Review. Edisi III/ Sptember-Desember. Hal. 71-82. Jensen, M. C., and M. H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 20, pp. 305-257. Keller, A.C., K.T. Smith, L.M. Smith. 2007. Do Gender, Educational Level, Religiosuty, and Work Experience Affect The Ethical Decision-Making of US Accountants? Critical Perspectives on Accounting 18, pp. 299-314. Khomsiyah,
A.
Jasin,
M.
Aditya.
2005.
Karakteristik
Komite
Audit
dan
Pengungkapan Informasi, Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Akuntansi, Peran Akuntan Dalam Membangun Good Corporate Governance, Jakarta. Kiroyan, Noke. 2006. Good corporate governance (GCG) dan corporate social responsibility (CSR), adakah kaitan di antara keduanya? Economics Business Accounting Review. Edisi III/ Sptember-Desember. Hal. 45-58. Luo, Y. 2005. How Does Globalization Affect Corporate Governance and Accountability:
A
Perspective
from
MNEs.
Journal
of
International
Management, Vol. 11, pp. 19-41. Majidah. 2005. Hubungan Kausalitas Mekanisme dan Proses Tata Kelola Perusahaan Serta Kinerja Keuangan (Suatu Studi Pada Emiten di Bursa), Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Akuntansi, Peran Akuntan Dalam Membangun Good Corporate Governance, Jakarta. Roberts, W. Robin. 1992. Determinants of corporate social responsibility disclosure: An application of stakeholder theory. Accounting Organization and Society. Vol.17., No. 6, pp. 595-612. Santoso, S., 1999. SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sembiring, E.R. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo, pp. 379-395. Surya I. dan I. Yustiavandana. 2006. Penerapan Good Corporate Governance: Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha. Jakarta: LKPMK UI. Suwardjono,
2005.
Teori
Akuntansi,
Perekayasaan
Pelaporan
Keuangan.
Yogyakarta: BPFE. Tjager, I N., F.A. Alijoyo, H.R. Djemat, B. Soembodo. 2003. Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Victoria, Mery. 2008. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Tingkat Pengungkapan Informasi Sosial. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Watts. Ross. L. and Jerold L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice Hall, Contemporary Topics in Accounting Series.
Tabel 1 Pengukuran Variabel Independen Variabel Independen Komisaris Independen
Pengukuran Proporsi jumlah komisaris independen terhadap jumlah seluruh komisaris dalam dewan komisaris
Karakteristik Komite Audit Ukuran Komite Audit
Jumlah anggota komite audit yang dibentuk perusahaan
Keahlian Komite Audit
Latar belakang pendidikan di bidang akuntansi dan/atau keuangan, diukur dengan proporsi jumlah anggota komite audit yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang akuntansi dan/atau keuangan terhadap jumlah seluruh anggota
Independensi Komite Audit
komite audit Proporsi jumlah anggota komite audit
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Variabel Independen
Pengukuran yang berasal dari pihak eksternal
Frekuensi Pertemuan
terhadap jumlah seluruh anggota komite audit
Karakteristik Dewan Direksi
Jumlah pertemuan atau rapat yang
Ukuran Dewan Direksi
diadakan komite audit dalam satu
Pengalaman Internasional
tahun
Pengalaman Kerja Jumlah anggota dewan direksi perusahaan Pengalaman Pendidikan
Proporsi jumlah anggota dewan direksi yang pernah memimpin perusahaan di luar negeri terhadap jumlah seluruh direksi dalam dewan direksi
Gender Dewan Direksi
Proporsi jumlah anggota dewan direksi yang pernah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri terhadap jumlah
Struktur Kepemilikan Kepemilikan Manajerial
seluruh direksi dalam dewan direksi Proporsi jumlah direktur wanita terhadap jumlah seluruh direktur dalam dewan direksi
Kepemilikan Blockholder
Proporsi jumlah lembar saham dimiliki manajemen perusahaan terhadap jumlah seluruh lembar saham yang beredar Proporsi jumlah lembar saham dimiliki pemegang saham substansial (kepemilikan 5% atau lebih) terhadap jumlah seluruh lembar saham yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Variabel Independen
Pengukuran beredar
Tabel 2 Pengukuran Variabel Kontrol Variabel Kontrol
Pengukuran
Ukuran perusahaan
Total aktiva perusahaan
Profitabilitas
ROE (Laba setelah pajak/Total ekuitas)
Risiko
Total kewajiban jangka panjang/Total
Umur
ekuitas Tahun berjalan – tahun berdiri perusahaan
Tabel 3 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N IPS LPS KInd UKA KKA IKA FP UDD PK PP G KM KB Uk ROE DTE Umur Valid N (listwise)
24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24
Minimum .066667 62 .000000 0 .000000 .000000 0 2 .000000 .000000 .000000 .000000 .478700 209422000 -.159134 -1.558355 5
Maximum .450000 2183 .666667 5 2.000000 2.000000 28 9 1.000000 1.000000 .333333 .081900 .997700 453055086000000 .295609 3.665786 51
Bridging the Gap between Theory and Practice
Mean .23541667 714.83 .38854167 2.75 .35208333 .37430556 5.25 4.58 .25165344 .33998016 .09900794 .00608708 .75560833 25441723648849 .09863063 .56272253 29.25
Std. Deviation .093420314 529.146 .141246446 1.073 .498289647 .511887177 6.016 1.840 .275637015 .288513700 .130704483 .017450972 .158414431 92250194803413.6 .104138443 .943998339 10.995
GOV06- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4 Hasil Uji Normalitas Data dan Heteroskedastisitas Variabel
Kolmogorov-Smirnov
Spearman rho
Spearman rho
(dengan variabel
(dengan variabel
dependen IPS)
dependen LPS)
IPS
0.987
LPS
0.603
Kind
0.283
-0.03
-0.034
UKA
0.060
0.061
0.013
KKA
0.078
0.016
-0.046
IKA
0.064
-0.024
-0.024
FP
0.066
-0.032
0.021
UDD
0.188
0.047
0.034
PK
0.296
-0.043
0.002
PP
0.474
0.026
0.040
G
0.054
0.053
0.036
KM
0.720
0.103
0.017
KB
0.883
0.004
0.021
Uk
0.887
0.070
0.047
ROE
0.677
0.079
0.073
DTE
0.145
0.023
0.040
Umur
0.786
0.138
0.247
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel 5 Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Indeks Pengungkapan Sosial (IPS) ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .138 .062 .201
df 15 8 23
Mean Square .009 .008
F 1.184
Sig. .420a
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB, KInd, UDD, KM b. Dependent Variable: IPS
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KInd UKA KKA IKA FP UDD PK PP G KM KB Uk ROE DTE Umur
Unstandardized Coefficients B Std. Error .026 .242 .180 .264 -2.4E-006 .030 .087 .098 -.016 .062 .008 .008 .009 .026 -.127 .109 .067 .120 .093 .175 -3.919 2.712 -.026 .198 4.04E-017 .000 .043 .253 -.002 .032 .003 .003
Standardized Coefficients Beta .273 .000 .465 -.088 .492 .171 -.376 .208 .130 -.732 -.044 .040 .047 -.024 .299
t .108 .682 .000 .892 -.258 .932 .339 -1.168 .560 .530 -1.445 -.132 .126 .168 -.074 .897
Sig. .916 .514 1.000 .399 .803 .379 .743 .276 .591 .610 .186 .899 .903 .871 .943 .396
Collinearity Statistics Tolerance VIF .243 .321 .143 .332 .139 .152 .374 .283 .650 .151 .343 .387 .488 .368 .350
a. Dependent Variable: IPS
Tabel 6 Hasil Uji Hipotesis dengan Variabel Dependen Luas Pengungkapan Sosial (LPS)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 28
4.116 3.114 7.005 3.009 7.183 6.600 2.672 3.538 1.539 6.609 2.914 2.581 2.050 2.719 2.855
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 4005714 2434183 6439897
df 15 8 23
Mean Square 267047.625 304272.870
F .878
Sig. .607a
a. Predictors: (Constant), Umur, G, KKA, PP, FP, Uk, DTE, ROE, PK, UKA, IKA, KB, KInd, UDD, KM b. Dependent Variable: LPS
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KInd UKA KKA IKA FP UDD PK PP G KM KB Uk ROE DTE Umur
Unstandardized Coefficients B Std. Error -213.619 1509.108 576.210 1652.154 -25.306 189.084 126.412 610.929 -80.842 389.763 47.440 51.239 61.726 160.629 -563.983 682.043 238.439 749.879 -113.482 1091.540 -22493.6 16943.872 -92.000 1239.515 -1.9E-014 .000 679.716 1581.331 -34.496 200.899 15.704 17.676
Standardized Coefficients Beta .154 -.051 .119 -.078 .539 .215 -.294 .130 -.028 -.742 -.028 -.003 .134 -.062 .326
t -.142 .349 -.134 .207 -.207 .926 .384 -.827 .318 -.104 -1.328 -.074 -.010 .430 -.172 .888
Sig. .891 .736 .897 .841 .841 .382 .711 .432 .759 .920 .221 .943 .993 .679 .868 .400
Collinearity Statistics Tolerance VIF .243 .321 .143 .332 .139 .152 .374 .283 .650 .151 .343 .387 .488 .368 .350
a. Dependent Variable: LPS
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV06- 29
4.116 3.114 7.005 3.009 7.183 6.600 2.672 3.538 1.539 6.609 2.914 2.581 2.050 2.719 2.855
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE, CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITIES DAN CORPORATE FINANCIAL PERFORMANCE DALAM SATU CONTINUUM
Etty Murwaningsari Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
Abstrak
This research aims to identify the influence of Good Corporate Governance, represented by institutional ownership and managerial ownership, on Corporate Social Responsibility and Corporate Financial Performance, and also to observe the possible influence of Corporate Social Responsibility on Corporate Financial Performance. This research examines 126 manufacturing companies which are listed in Indonesian Stock Exchange (ISX) and have issued an audited financial statement for 2006. The statistical method used to test the hypothesis is Path Analysis. The result suggests that Good Corporate Governance influences both the disclosure of Corporate Social Responsibility and Corporate Financial Performance and that Corporate Social Responsibility significantly influences Corporate Financial Performance. The result also suggests that CEO Tenure, the controlling variable, holds a significant influence on the disclosure of Corporate Social Responsibility. Yet, there is no strong evidence to support the type of industries as an influencing factor of Corporate Social Responsibility. Furthermore, we found that the latter condition would also apply when we analyze the influence of Corporate Secretary and Nomination and Remuneration Committee on Corporate Financial Performance.
Keyword: corporate governance, corporate social responsibilities, corporate financial performance, Tobin’s Q, institutional ownership, managerial ownership, CEO tenure, type of industries, corporate secretary, nomination and remuneration committee.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 I. Pendahuluan Pelaksanaan
Good
Corporate
Governance
sangat
diperlukan
untuk
memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasianoal sebagai syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik dan sehat yang tujuan akhirnya
untuk
mewujudkan
stakeholder
value.
Pengaturan
dan
pengimplementasian Good Corporate Governance memerlukan komitmen dari seluruh jajaran organisasi dan dimulai dengan penetapan kebijakan dasar serta tata tertib yang harus dianut oleh top manajemen dan penerapan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang ada didalamnya. Terdapat lima prinsip utama yang terkandung dalam Good Corporate Governance (Achmad Daniri, 2006) yaitu; kerterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban (responsibility), kewajaran (fairness), dan independensi (independency). Selanjutnya gagasan utama Good Coorporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik adalah mewujudkan tanggung jawab sosial (CSR). Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang terangkum dalam Konferensi CSR yang diselenggarakan oleh Indonesia Business Links (IBL) pada 7-8 September 2006 di Jakarta yaitu “Responsible business is good business”. Menteri Koordinator Perekonomian, Dr Boediono (Republika, 2006) saat membuka konferensi ini mengatakan, “CSR merupakan elemen prinsip dalam tata laksana kemasyarakatan yang baik. Bukan hanya bertujuan memberi nilai tambah bagi para pemegang saham. Pada intinya, pelaku CSR sebaiknya tidak memisahkan aktifitas CSR dengan Good Corporate Governance. Karena keduanya merupakan satu continuum (kesatuan), dan bukan merupakan penyatuan dari beberapa bagian yang terpisahkan”. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial (CSR) mempunyai keterkaitan erat dengan Good Coorporate Governance. Seperti dua sisi mata uang, keduanya memiliki kedudukan yang kuat dalam dunia bisnis namun berhubungan satu sama lain. Tanggung jawab sosial berorientasi kepada para stakeholders hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dari empat prinsip utama Good Coorporate Governance yaitu responsibility. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Menurut Reksodiputro (2004): “Konsep Corporate Social Responsibilities Bridging the Gap between Theory and Practice
merupakan bagian pedoman GOV07- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 melaksanakan Good Corporate Governance. Masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”. Pada saat ini telah terjadi pergeseran paradigma Good Coorporate Governance
yaitu dengan memperluas paradigma teoretis dari agency teory
menjadi stakeholder theory perspective. Akibat yang muncul dari pergeseran paradigma ini, Good Coorporate Governance harus mempertimbangkan dan memperhatikan masalah corporate social responsibility
dalam suatu konteks
historis dan filosofi yang luas. Pengungkapan (disclosure) terhadap aspek social, ethical, environmental dan sustainability sekarang ini menjadi suatu cara bagi perusahaan untuk mengkomunikasikan
bentuk
akuntabilitasnya
kepada
para
stakeholder.
Sustainability reporting sebagaimana yang direkomendasikan oleh Global Reporting Initiative terfokus pada tiga aspek kinerja yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Ketiga aspek ini dikenal dengan Triple Bottom Line. Bentuk pelaporan ini diharapkan mempunyai hubungan yang positif antara corporate social responsibility dan corporate financial performance (CFP). Berdasarkan uraian di atas permasalahan penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh antara struktur Coorporate Governance yang diproksikan sebagai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial terhadap corporate social responsibility ? 2. Apakah terdapat pengaruh antara struktur Coorporate Governance yang diproksikan sebagai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial terhadap corporate financial performance? 3. Apakah terdapat pengaruh antara
corporate social responsibility terhadap
corporate financial performance?
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 II. Kajian Pustaka A. Pengertian Good Corporate Governance Pada dasarnya Good Corporate Governance itu sendiri terkait dengan stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun atas dasar asumsi filosifi mengenai sifat manusia yakni pada hakekatnya manusia dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran pada pihak lain. Dengan kata lain teori ini memandang manajemen dapat dipercaya untuk bertindak sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya ataupun pemegang saham pada khususnya. Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson dalam Achmad Daniri, 2006 memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents“ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana yang di asumsikan oleh stewardship model. Melalui surat edaran No SE.03 IPM/ 2000, yang diterbitkan tanggal 5 Mei 2000 disebutkan bahwa dalam rangka Good Corporate Governance, perusahan tercatat wajib memiliki komisaris independen, komite audit, dan sekretaris perusahaan (Corporate Secretary). Dalam penelitian ini digunakan mekanisme internal berupa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, CEO tenure, Corporate Secretary dan Komite Nominasi & Remunerasi yang akan diuraikan sebagai berikut:
Kepemilikan Manajerial Menurut Downes dan Goodman (1999) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan.Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin
bertentangan.
Hal
tersebut
disebabkan
manajer
mengutamakan
kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 perusahaan
yang
menyebabkan
penurunan
keuntungan
perusahaan
dan
penurunan deviden yang akan diterima.
Kepemilikan Institusional Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggungjawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Menurut Pozen (1994), investor institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor pasif dan investor aktif. Investor pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial, sedangkan investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial. Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan.
Corporate Secretary Keberadaan Corporate Secretary di Indonesia tidak dikenal dalam UU Persereoan Terbatas (UUPT) dmaupun UU Pasar Modal (UUPM) yang saat ini berlaku. Namun, keberadaan Corporate Secretary diatur dalam Keputusan Ketua BAPEPAM No. 63 tahun 1996. Dalam keputusan itu disebutkan, bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanannya terhadap investor, emiten dan perusahaan public diwajibkan membentuk Corporate Secretary paling lambat 1 Januari 1997. Dalam keputusan Ketua BAPEPAM tersebut empat peranan dan fungsi pokok Corporate Secretary adalah: Pertama, mengikuti perkembangan peraturan yang berlaku di Pasar Modal. Kedua, memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan kondisi emiten atau perusahaan publik. Ketiga, memberikan masukan kepada direksi dalam rangka mematuhi ketentuan UUPM dan peraturan pelaksanaannya. Terakhir, menjadi penghubung antara perusahaan dengan BAPEPAM dan perusahaan dengan masyarakat.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Keputusan Ketua BAPEPAM tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan direksi BEJ yang terakhir diberlakukan melalui Keputusan Direksi BEJ No. 339 tahun 2001. Dalam keputusan direksi BEJ ini kewajiban membentuk Corporate Secretary semakin dikukuhkan dengan fungsi yang semakin diperluas, yaitu termasuk didalamnya: Pertama, menyiapkan daftar khusus yang berkaitan dengan direksi, komisaris, dan keluarganya dalam perusahaan tersebut yang mencakup kepemilikan saham, hubungan bisnis, dan peranan lainnya yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Kedua, membuat daftar pemegang saham termasuk kepemilikan 5% saham atau lebih. Ketiga, menghadiri rapat direksi dan membuat berita acara rapat. Terakhir, bertanggungjawab dalam penyelenggaraan RUPS Perusahaan. Dari uraian dua keputusan otoritas pasar modal tersebut dapat disimpulkan Corporate Secretary memiliki peranan kunci dalam pelaksanaan Corporate Governance (Sutawinangun, 2008).
Komite Nominasi ( Nomination / Governance Committee ) Komite Nominasi adalah komite yang terdiri dari tiga sampai lima eksternal member yang mewakili stakeholders yang berpengaruh ditambah beberapa komisaris independen komite tanggung jawab kepada dewan komisaris dan membantu komisaris dalam mentukan profit kandidat untuk nominasi dewan komisaris dan direksi walaupun tidak harus, ketua komite sebaiknya merupakan satu dari komisaris independen. Terdapat dua fungsi utama komite nominasi yakni untuk memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai hal sebagai berikut : 1) daftar calon direktur dan komisaris untuk dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham dan direktur yang akan dipilih oleh dewan komisaris untuk mengisi kekosongan: 2) komisaris yang akan dipilih untuk keanggotaan berbagai komite. Komite ini bertanggung jawab dalam merekomendasi pemilihan anggota direksi kepada dewan komisaris atau pemegang saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Komite Remunerasi / Kompensasi Komite remunerasi adalah komite yang terdiri dari dua sampai tiga eksternal member professional dalam executive compensation system. Komite bertanggung jawab kepada dewan komisaris dan membantu board of commissioners dalam menentukan execusive compensation package dan juga membantu dewan komisaris untuk membantu menentukan remunerasi mereka sendiri yang diusulkan kepada shareholder. Walaupun tidak harus, ketua komite dan remunerasi sebaiknya merupakan satu dari komisaris independen . Fungsi utama komite remunerasi menurut Corporate Governance dan Etika Korporasi yang dikeluarkan kantor Menteri Negara BUMN tahun 1999, yakni : 1) mengkaji dan merekomendasikan perubahan sistem remunerasi direksi, komisaris, dan karyawan sehingga mencerminkan keterkaitan antara pencapaian target kinerja perusahaan dengan tingkat reward atau punishment yang diterima; 2) mengkaji serta merekomendasikan perubahan pemberian dan penggunaan fasilitas yang disajikan oleh direksi, dewan komisaris, dan karyawan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan yang menimbulkan pemborosan; 3) melaporkan hasil pengkajian dan rekomendasi kepada dewan komisaris untuk dapat diteruskan pada RUPS guna mendapatkan persetujuan.
CEO Tenure Shen (2003) seperti dikutip oleh Zubaidah (2003) menyatakan bahwa karakteristik dari CEO adalah sangat penting dalam Corporate Governance, oleh karena itu, akan menjadi relevan dalam pelaporan Corporate Governance. Tingkatan yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik pengembangan kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan manajemen. Luasnya kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat pelaporan Corporate Governance. Belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal tersebut. Shen(2003) menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka dia akan mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit praktek corporate governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang dimilikinya. Hubungan CEO Tenure dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial,
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menurut penelitian yang dilakukan oleh Barnea dan Rubin (2006), CEO Tenure memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)
B. Corporate Social Responsibilities (CSR) Menurut Gray et. Al. (1987) perusahaan bertanggung jawab secara sosial ketika manajemennya memiliki visi atas kinerja operasionalnya, tidak hanya mengutamakan atas laba perusahaan tetapi juga dalam menjalankan aktivitasnya, memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya. Ruang lingkup tanggung jawab sosial (CSR) antara lain: (a) Basic Responsibility, tanggung jawab yang muncul karena keberadaan perusahaan. Contohnya kewajiban membayar pajak, mentaati hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham (b) Organizational Responsibility,
tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi
kepentingan stakeholder, yaitu karyawan, konsumen, pemegang saham dan masyarakat. (c) Societal Responsibility, tanggung jawab yang menjelaskan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan masyarakat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan. Di Indonesia praktek pengungkapan tanggung jawab sosial di atur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 Paragraf 9, yang meyatakan bahwa: “
Perusahaan
dapat
pula
menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana factor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting” Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial ini juga terdapat dalam keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No.kep-38/PM/1996 peraturan No.VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan.
Peraturan ini berisi mengenai
kebebasan bagi perusahaan untuk memberikan penjelasan umum mengenai perusahaan, selama hal tersebut tidak menyesatkan
dan bertentangan dengan
informasi yang disajikan dalam bagian lainnya. Penjelasan umum tersebut dapat berisi uraian mengenai keterlibatan perusahaan dalam kegiatan pelayanan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 masyarakat, program kemasyarakatan, amal, atau bakti sosial lainnya, serta uraian mengenai program perusahaan dalam rangka pengembangan SDM.
C. Corporate Financial Performance (CFP) Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektifiatas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Terdapat beberapa model untuk mengukur nilai suatu perusahaan. Model pengukur tersebut antara lain dengan menggunakan Tobin’s Q ratio, yaitu:
a. White et al (2002) Q = (MVE + D)/(BVE + D) b. Chung dan Pruitt (1994 Tobin’s q = (MVE + PS + DEBT)/TA c. Klapper dan Love (2002) Tobin’s q = (MVE + DEBT)/TA
Q
: nilai perusahaan
MVE
: Market Value Equity yang diukur dengan Closing Price akhir tahun x jumlah saham yang beredar akhir tahun
D
: Total hutang
BVE
: Nilai buku total aktiva (EquityBook Value)
PS
: nilai likuidasi dari saham preferen
DEBT
: (utang lancar-aktiva lancar) + nilai sediaan + utang jangka panjang
TA
: total aktiva
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
D. Kerangka Pemikiran Variabel Independen :
Variabel Intervening Corporate Social Responsibility H2 (CSR) Indeks H1
Kepemilikan manajerial Kepemilikan Institusional
Variabel Dependen Kinerja Perusahaan H3(Tobin’s Q)
H1
Variabel Kontrol CEO Tenure Jenis Industri (High-Low Profile) Corporate Secretary Komite Nominasi & Remunerasi A.
E. Pengembangan Hipotesis 1a. Kepemilikan Manajerial dan Nilai Perusahaan Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini perlu sebab akan terjadi penyebaran pengambilan keputusan dan resiko. Para manajer umumnya mempunyai kecenderungan untuk menggunakan kelebihan keuntungan untuk konsumsi dan perilaku oportunistik. Para manajer juga mempunyai kecenderungan untuk menggunakan hutang yang tinggi bukan untuk memaksimumkan nilai perusahaan, melainkan untuk kepentingan oportunistik manajer. Hal ini akan meningkatkan beban bunga hutang karena resiko kebangkrutan perusahaan yang meningkat, sehingga agency cost of debt semakin tinggi. Agency cost of debt yang tinggi pada gilirannya akan berpengaruh pada penurunan nilai perusahaan. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak insiders, maka insiders akan ikut memperoleh manfaat langsung atas keputusan – keputusan yang diambilnya, Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 namun juga akan menanggung resiko secara langsung bila keputusan itu salah. Dengan demikian kepemilikan saham oleh insiders merupakan insentif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) yang menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai perusahaan, yang berarti semakin tinggi kepemilikan manajerial akan semakin menurunkan nilai perusahaan. Faisal (2004) menemukan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan manajerial gagal menjadi mekanisme meningkatkan nilai perusahaan. Euis Soliha & Taswan (2002), menemukan bahwa Insider Ownership berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan oleh insider akan menaikan nilai perusahaan adalah terbukti. Temuan dalam riset ini konsisten dengan temuan Leland & Pyle (1977). Atas alasan tersebut di atas maka hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: Ha1a
epemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja : Ke perusahaan
1b. Kepemilikan Institutional dan Nilai Perusahaan Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rajgopal et al., (1999), menyimpulkan bahwa investor institusional adalah sophisticated investor yang memiliki pengetahuan yang lebih baik sehingga manajer tidak dapat melakukan manipulasi laba karena adanya tekanan dari investor institusional yang memiliki proporsi saham yang besar dan monitoring yang dilakukan secara aktif dapat menekan terjadinya praktek manajemen laba. Shiller dan Pound Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 (1989) menemukan bahwa investor institusional menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan analisis investasi dan mereka memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal perolehannya bagi investor lainnya. Mereka akan melakukan fungsi monitoring dan tidak akan mudah diperdaya atau percaya dengan tindangan manipulasi oleh manajer seperti tindakan manajemen laba. Hasil penelitian Steiner (1996) seperti yang dikutip oleh Machfoedz (2003) memberikan bukti bahwa kepemilikan institusional dan nilai perusahaan (Tobin’s Q) memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) juga menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Larasanti (2003), kepemilikan institusional belum berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan dan kinerja keuangan perusahan. Faizal (2004) menemukan bahwa kepemilikan institusional belum efektif untuk memonitor manajemen dalam mengingkatkan nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan manajerial gagal menjadi mekanisme meningkatkan nilai perusahaan. Atas alasan tersebut di atas maka hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: Ha1b
: Kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan
2a. Kepemilikan Manajerial dan CSR. Menurut Jensen & Meckling (1976), konflik kepentingan manajer dengan pemilik menjadi semakin besar ketika kepemilikan manajer terhadap perusahaan semakin kecil, begitu pun sebaliknya. Semakin besar kepemilikan manajer di dalam sebuah perusahaan, maka akan semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gray,et.al (1988), manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut. Penelitian pertama dilakukan oleh Anggraini, (2006) hasilnya ditemukan terdapat hubungan antara kepemilikan manajerial dan CSR. Namun penelitian Widyasari dan Rahman (2007) tidak ditemukan hubungan antara kepemilikan manajerial dan CSR. Hal serupa terjadi pada penelitian Barnea dan Rubin (2006) tidak ditemukan hubungan antara Kepemilikan Manajerial dan CSR. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Ha2a
: Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap CSR
2b. Kepemilikan Institusional dan CSR Penelitian yang dilakukan oleh Barnea dan Rubin (2006)
menggunakan
sampel sebanyak 3000 perusahaan yang didapat dari database KLD. Sampel tersebut dikategorikan dalam perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial (Socially Responsible) dan tidak bertanggung jawab secara sosial (Socially Irresponsible). Hasilnya adalah kepemilikan institusional tidak berhubungan dengan CSR : Ha2b
: Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap CSR
3. Corporate Social Responsibility (CSR) dan Kinerja Perusahaan Lajili dan Zeghal (2006) menemukan bahwa perusahaan yang lebih banyak mengungkapkan informasi human capital (yang juga merupakan bagian dari CSR) memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang sedikit mengungkapkan informasi tersebut. Preston (1978) melaporkan bahwa return on equity yang lebih tinggi untuk perusahaan yang membuat pengungkapan dibandingkan
perusahaan yang tidak membuat pengungkapan. Penelitian yang
dilakukan oleh Hackston dan Milne (1996) melaporkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial tidak signifikan berpengaruh terhadap profitabilitas. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis adalah sebagai berikut:
Ha3
: Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap kinerja perusahaan
III. Metodologi Penelitian
A. Variabel dan Pengukurannya 1. Variabel Dependen (Dependent Variable) Kinerja Keuangan Perusahaan diukur dengan menggunakan Tobin’s Q dengan yang dikembangkan oleh Klepper dan Love (2002) Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tobin’s q = ( MVE + DEBT ) / TA
MVE
= Harga penutupan saham diakhir tahun buku X banyaknya saham biasa yang beredar.
PS
= Nilai likuidasi dari saham perferen yang beredar.
DEBT
= (Utang lancar – aktiva lancar) + nilai buku sediaan + utang jangka panjang
TA
= Nilai buku total aktiva.
2. Variabel Bebas (Independent Variable) a. Kepemilikan manajerial Kepemilikan manajerial adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak manajemen dalam sebuah perusahaan. Proporsi kepemilikan manajerial diukur berdasarkan persentase kepemilikannya. Rumusnya adalah :
% Kepemilikan manajerial = Jumlah saham Manajemen Jumlah saham yang beredar b. Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional adalah jumlah saham yang dimiliki oleh suatu institusi dalam sebuah perusahaan. Proporsi Kepemilikan Institusional diukur berdasarkan persentase kepemilikannya. Rumusnya adalah :
% Kepemilikan Institusional =
Jumlah saham Institusional Jumlah saham yang beredar
3. Variabel Intervening Variabel intervening yang digunakan dalam penelitian ini adalah Corporate Social Responsibility dengan melihat data fundamental perusahaan, yang berasal dari laporan keuangan tahunan. Data tersebut berupa jumlah kalimat pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) yang berhubungan dengan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 kategori tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan yang bersangkutan. Kategori yang menjadi acuan penulis merupakan kategori yang digunakan oleh Hakstom and Milne (1996), antara lain : lingkungan, energi, keselamatan dan kesehatan karyawan, lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan dengan masyarakat dan umum. Ketujuh kategori tersebut terbagi dalam 90 item pengungkapan. Berdasarkan peraturan Bapepam No. VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan kesesuaian item tersebut untuk diaplikasikan di Indonesia, maka dua belas item dihapuskan karena kurang sesuai untuk diterapkan dengan kondisi di Indonesia sehingga secara total tersisa 78 item pengungkapan. 78 item tersebut kemudian disesuaikan kembali dengan masing-masing sektor industri sehingga item pengungkapan yang diharapkan dari setiap sektor berbeda-beda. Adapun rumus untuk menghitung indeks pengungkapan tanggung jawab sosial adalah :
∑Xij CSRIj = nj CSRIj : Corporate Social Responsibility Disclosure Index perusahaan j nj
: Jumlah item untuk perusahaan j, nj ≤ 78
Xij
: dummy variable : 1 = jika item i diungkapkan; 0 = jika item i tidak
4. Variabel Kontrol (Control Variable) a) Corporate secretary Corporate secretary diukur dengan menggunakan skala nominal. Dimana ada tidaknya corporate secretary dalam sebuah perusahaaan diukur dengan cara 1 jika perusahaan tersebut memiliki corporate secretary dan 0 jika tidak terdapat corporate secretary. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 b) Komite Nominasi dan Remunerasi Anggota komite ini diukur dengan skala nominal. Dimana 1 untuk perusahan yang memiliki komite nominasi dan remunerasi dan 0 untuk perusahaan yang tidak terdapat komite nominasi dan remunerasi. c) CEO Tenure CEO adalah seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengelola dan menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Di Indonesia CEO dipilih setiap 5 tahun sekali. CEO Tenure adalah jangka waktu yang sudah dijalankan oleh seorang CEO mulai dari penunjukkannya sampai dengan akhir tahun 2006. d) Jenis Industri Patten (1991) mengidentifikasikan perusahaan minyak, kimia, dan kertas sebagai high-profile. Sementara Robert (1992) menggolongkan perusahaan automobile,
penerbangan,
dan
industri
minyak
sebagai
high-profile.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hucston dan Milne (1992) menambahkan media komunikasi sebagai high-profile. Klasifikasi tersebut di atas yang menjadi dasar penentuan jenis industri dalam penelitian ini. Variabel ini merupakan dummy veriabel yang ukurannya berupa angka 0 (low profile) dan 1 (high profile).
B. Data dan Sampel Penelitian menggunakan data sekunder berasal dari laporan tahunan 2006 perusahaan publik yang terdapat di Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Pojok BEI Universitas Trisakti, JSX Statistic Quarteryl, BAPEPAM, Internet. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 126 perusahaan yang memenuhi kriteria-kriteria dari purposive sampling
sebagai
berikut : Jumlah dan Klasifikasi Sampel Penelitian Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 No 1
Klasifikasi
Jumlah
Perusahaan publik dalam sektor manufaktur terdaftar
150
BEI 2
Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan tahunan
(12)
periode 31 Desember 2006 dan mengungkapkan CSR 3
Perusahaan yang menggunakan mata uang selain
(6)
Rupiah (Dollar) dalam dan laporan tahunan 31 Desember 2006 4
Perusahaan yang tidak menyajikan data yang
(6)
digunakan dalam penelitian secara lengkap TOTAL
126
C. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini pengujian hipotesa menggunakan Path Analisys untuk mengetahui hubungan simultan pada beberapa variabel yang diuji (Hair, 1995). Hubungan fenomena teoritis, riset empiris dan pengembangan hipotesis bisa dilihat dari path diagram, adapun penyebaran ke persamaan struktural sebagai berikut. Persamaan 1: Uji hipotesa 1 Tobin’s Q
= β11 MGROWN + β12 INST + β13 CS + β14 KNR + e1
Persamaan 2: Uji hipotesa 2 CSR
= β21 MGROWN + β22 INST + β23 CEOT + β24 JI + e2
Persamaan 3: Uji hipotesa 3 Tobin’s Q
= β31 CSR + e3
Keterangan CSR
= Persentase pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Tobin’s Q
= Performance Perusahaan
INST
= Kepemilikan Institusional
MGROWN
= Kepemilikan manajerial
CEOT
= CEO Tenure
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 JI
= Jenis Industri
CS
= Corporate Secretary
KNR
= Komite Nominasi & Remunerasi Pengolahan data menggunakan program AMOS (Analysis of Moment
Structures) version 7. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Uji Normalitas Structural Equation Modeling mensyaratkan dipenuhinya asumsi normalitas. Pengujian ini dilakukan pada saat operasi Amos berjalan. Terdapat dua cara pegujian normalitas yaitu univariate dan multivariate normality. Suatu distribusi data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes maupun kurtosis lebih kecil dari nilai kritik tabel + 1,96 dengan tingkat signifikansi 0.05 (p-value 5%). (Hair, edisi 5, hal 71), jika sebuah variabel adalah normal secara multivariat, maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku sebaliknya. 2. Uji Multicolinearity dan Singularity Untuk melihat apakah terdapat multicolinearitas dan Singularity dalam sebuah kombinasi variabel, perlu mengamati determinant matrix covariance. Untuk mendeteksi multicoliniarity hanya disebutkan determinan yang benar-benar kecil mengindikasikan adanya multikolinearitas, tanpa ada angka absolut. 3. Uji Kesesuaian Model Sebelum menganalisa hipotesa yang diajukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian kesesuaian model (goodness-of-fit model). Pengujian dilakukan dengan melihat beberapa kriteria pengukuran, yaitu : a) Absolute fit measure yaitu mengukur model fit secara keseluruhan (baik model struktural maupun model pengukuran secara bersamaan). Kriterianya dengan melihat: - X2 atau Chi Square Statistic. Dalam uji ini yang diperlukan adalah nilai yang tidak signifikan. Semakin kecil, semakin baik model tersebut. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 - profitability. nilai terbaik adalah minimal 0,05 atau diatas 0.05 - goodness-of-fit-index (GFI), kriteria dari GFI adalah > 0,90 atau mendekati 1 semakin baik. - root mean square error of approximation (RMSEA), tingkat penerimaan < 0,08. b) Incremental fit measures yaitu ukuran untuk membandingkan model yang diajukan (proposed model) dengan model lain yang dispesifikasi oleh peneliti. Kriterianya dengan melihat: - normed fit index (NFI), tingkat penerimaan > 0,90 atau mendekati 1. - adjusted goodness-of-fit-index (AGFI), tingkat penerimaan > 0,90 - comparative fit index (CFI ). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh sampel sehingga sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model. Tingkat penerimaannya adalah > 0,90 atau semakin mendekati 1. c) Parsimonious fit measures, yaitu melakukan adjusment terhadap pengukuran fit untuk dapat diperbandingkan antar model dengan jumlah koefisien yang berbeda. Kriterianya dengan melihat nilai: Normed chi-square. The minimum sampel discrepancy function (CMIN) dibagi dengan degree of freedom akan menghasilkan indeks Normed chi-square (CMIN/DF). Indeks yang memiliki acceptabel fit batas bawah = 1 dan batas atas : 2, 3, atau 5. Gambar : Model Penelitian MGROWN
z1
INST
1
CSR CEOT
JI
TOBINSQ 1
CS z2
KNR
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Deskriptif Statistik Deskriptif statistik menjelaskan tentang gambaran data yang digunakan dalam penelitian ini.
Variabel MGROW N
Min.
Max.
Mean
0,00
7,62
0,7356
Std. Deviasi 1,8047
INST
0,00
CEOT
0,00
5,00
3,1270
1,6149
JI
0,00
1,00
0,5952
0,4928
CS
0,00
1,00
0,7698
0,4226
KNR
0,00
1,00
0,2698
0,4456
CSR
1,10
17,69
5,5431
4,0991
-0,56
2,75
0,7885
0,6807
TobinsQ
59,80 11,5298 13,5297
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai rata-rata kepemilikan manajerial (MGROWN) adalah 0,7356% dengan nilai minimum 0% dan maksimum 7,62%. Rendahnya nilai rata-rata tersebut dikarenakan terdapat beberapa sampel tidak memiliki saham managerial (0%). Sementara itu kepemilikan institusional (INST) memiliki nilai rata-rata 11,5298% dengan nilai maksimum 59,80% dan nilai minimum 0% (tidak ada saham yang dimiliki oleh institusi dalam sebuah perusahaan). Sebagai variabel control, rata-rata CEO menjalankan kegiatan operasional perusahaan adalah 3 tahun. Nilai maksimum umur CEO adalah 5 tahun. Adapun nilai minimum 0 menunjukkan CEO yang baru saja bergabung di perusahaan. Penelitian ini juga mengamati jenis industri (JI) sebagai dummy veriabel yang ukurannya berupa 1 (high profile) yaitu peusahaan minyak, kimia dan kertas dan angka 0 (low profile) untuk jenis industri lainnya. Demikian pula Corporate Secretary (CS) sebagai dummy variabel, angka maksimum 1 menunjukkan perusahaan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 memiliki corporate secretary dan angka minimum 0 menunjukkan perusahaan tidak memiliki corporate secretary. Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki nilai rata-rata 5,5431. Indeks minimum CSR sebesar 1,10 dan nilai indeks maksimum 17,69. Kinerja perusahaan yang diukur melalui TobinsQ memiliki nilai rata-rata 0,7885. Angka minimum -0,56 mencerminkan kinerja perusahaan yang kurang baik. Sementara itu angka maksimum 2,75 menunjukkan kinerja perusahaan yang cukup baik.
2. Pengujian Normalitas Suatu distribusi data dapat dikatakan normal apabila nilai C.R. skewnes maupun kurtosis lebih kecil dari nilai kritik tabel + 1,96, tingkat signifikansi 0.05 (pvalue 5%). Hasil Pengujian Normalitas Variabel
min
max
skew
c.r.
kurtosis
c.r.
KNR
0,000
1,000
1,037
4,752
-0,925
-2,118
CS
0,000
1,000
-1,282
-5,875
-0,356
-0,816
JI
0,000
1,000
-0,388
-1,778
-1,849
-4,238
CEOT
0,000
5,000
-0,401
-1,839
-0,999
-2,289
INST
0,000
59,800
1,567
7,182
1,866
4,277
MGROWN
0,000
7,620
2,491
11,413
4,851
11,116
CSR
1,100
17,692
1,049
4,809
0,309
0,708
-0,559
2,747
0,791
3,626
-0,095
-0,218
3,756
1,667
TOBINSQ Multivariate
Pada tabel yang disajikan diatas, dengan analisis secara univariate, diketahui bahwa variabel penelitian berdistribusi tidak normal, karena nilai C.R. skewnes dan C.R. kurtosis lebih besar dari nilai kritik tabel + 1,96. Jika
pengujian
dianalisis
secara multivariate, diketahui bahwa C.R. kurtosis sebesar 1,667 kurang dari nilai kritik tabel 1,96. Maka dapat dinyatakan bahwa distribusi data adalah normal secara multivariate. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini terdistribusi normal untuk sebagian variabel secara univariate dan terdistribusi Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 normal secara multivariate. Oleh karena itu asumsi normalitas dapat terpenuhi. Hair (edisi 5, hal 71) menyebutkan jika sebuah variabel adalah normal secara multivariate, maka akan normal juga secara univariat. Tetapi tidak berlaku sebaliknya.
3. Pengujian Multicolinearity dan Singularity Untuk melihat apakah terdapat multicolinearitas dan singularity dalam sebuah kombinasi variabel, peneliti perlu mengamati determinant matrix covariance. Determinan yang benar-benar kecil mengindikasikan adanya multikolinearitas. Pada model penelitian yang digunakan, nilai determinan matrik kovarians yang diperoleh dari hasil perhitungan AMOS adalah 44,540. Nilai tersebut sangat menjauhi nilai nol,
sehingga
model
penelitian
dinyatakan
terbebas
dari
permasalahan
multicolinearitas dan singularity.
4. Pengujian Kesesuaian Model Sebelum menganalisa hipotesa yang diajukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian kesesuaian model (goodness-of-fit model). Hasil di bawah ini : Pengukuran Tingkat Kesesuaian (goodness-of-fit model) Pengukuran
Batas Penerimaan
Goodness-of-fit
Yang Disarankan
Nilai
Chi-square
semakin rendah
4,998
p-value
> 0,05
0,288
GFI
> 0,90
0,990
RMSEA
< 0,08
0,045
NFI
> 0,90
0,949
AGFI
> 0,90
0,912
CFI
> 0,90
0,986
Batas bawah : 1,0 Normed chi-square
Batas atas : 2,0 ; 3,0 atau
1,249
5,0
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai chi-square sebagai syarat utama pada uji kesesuaian model sebesar 4,998 dengan p-value 0,288. Sehingga uji kesesuaian model dengan melihat nilai chi-square dapat terpenuhi. Sedangkan hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui
kriteria absolute fit measure lainnya,
seperti GFI dan RMSEA telah memenuhi kriteria yang disarankan. Demikian pula hasil uji kesesuaian yang ditinjau melalui kriteria incremental fit measures seperti NFI, AGFI, CFI juga telah memenuhi kriteria yang disarankan. Pada kriteria parsimonious fit measures sebesar 1,249 berada diantara batas bawah 1,0 dan batas atas 2,0.
5. Pengujian Hipotesa
Hasil Pengujian Hipotesa
Path Analisis
Std. Estimate
C.R. (t-
p-value
Kesimpulan
value)
H1a :
MGROWN
Æ TOBINS’Q
0,379
4,944
0,000
positif, signifikan
H1b :
INST
Æ TOBINS’Q
0,155
2,004
0,045
positif, signifikan
H2a :
MGROWN
Æ CSR
0,203
2,338
0,019
positif, signifikan
H2b :
INST
Æ CSR
0,189
2,165
0,030
positif, signifikan
H3 :
CSR
Æ TOBINS’Q
0,358
4,718
0,000
positif, signifikan
Hasil pengujian H1a diketahui p-value 0,000 < alpha 0,05, maka Ha1a dapat didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,379 menunjukkan pengaruh antara ke epemilikan manajerial (MGROWN) terhadap kinerja perusahaan (TOBINS’Q) adalah positif. Artinya jika ke epemilikan manajerial naik sebesar 1% maka kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,379. Hasil pengujian H1b diketahui p-value 0,045 < alpha 0,05, maka Ha1b dapat didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,155 menunjukkan pengaruh antara kepemilikan institusional (INST) terhadap kinerja perusahaan (TOBINS’Q) adalah
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 positif. Artinya jika kepemilikan institusional naik sebesar 1% maka kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,155. Hasil pengujian H2a diketahui p-value 0,019 < alpha 0,05, maka Ha2a dapat didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,203 menunjukkan pengaruh antara ke epemilikan manajerial (MGROWN)
terhadap Corporate Social Responsibility
Indeks (CSR) adalah positif. Artinya jika ke epemilikan manajerial naik sebesar 1% maka Corporate Social Responsibility Indeks akan mengalami peningkatan sebesar 0,203. Hasil pengujian H2b diketahui p-value 0,030 < alpha 0,05, maka Ha2b dapat didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,189 menunjukkan pengaruh antara kepemilikan institusional (INST) terhadap Corporate Social Responsibility Indeks (CSR) adalah positif. Artinya jika kepemilikan institusional naik sebesar 1% maka Corporate Social Responsibility Indeks akan mengalami peningkatan sebesar 0,189. Hasil pengujian H3 diketahui p-value 0,000 < alpha 0,05, maka Ha3 dapat didukung. Nilai koefisien regresi sebesar 0,358 menunjukkan pengaruh antara Corporate Social Responsibility Indeks (CSR) terhadap kinerja perusahaan (TOBINS’Q) adalah positif. Artinya jika Corporate Social Responsibility Indeks naik sebesar 1 satuan maka kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan sebesar 0,358. Hasil Pengujian Variabel Control
Path
Std. Estimate
C.R. (t-
p-value
Kesimpulan
value)
CEO T
Æ
CSR
0,174
1,986
0,047
positif, signifikan
JI
Æ
CSR
0,006
0,064
0,949
positif, tidak signifikan
CS
Æ
TOBINS’Q
-0,043
-0,573
KNR
Æ
TOBINS’Q
0,015
0,199
Bridging the Gap between Theory and Practice
0,567 negatif, tidak signifikan 0,843
positif, tidak signifikan
GOV07- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Pada model penelitian yang diajukan ini, terdapat empat variabel kontrol yaitu CEO Tenure (CEOT), Jenis Industri (JI), Corporate Secretary (CS), dan Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR). Hasil pengujian yag ditunjukkan pada tabel diatas, diketahui terdapat pengaruh positif yang signifikan antara CEO Tenure terhadap Corporate Social Responsibility Indeks (p-value 0,047 < alpha 0,05). Untuk variabel kontrol lainnya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya karena p-value > alpha 0,05.
Gambar : Final Model z1
MGROWN
1
-0,19
0,20 0,19
CSR
0,17 0,36
0,08
INST
-0,09
0,38 0,16
TOBINSQ 1
CEOT z2
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Mayoritas perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2006 sudah melakukan praktik pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini didasari oleh hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa dari 150 perusahaan manufaktur yang terdaftar, sebanyak 138 perusahaan sudah melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut. Tema sosial yang paling sering diungkapkan adalah tema lain-lain tenaga kerja, dengan itemnya yaitu ‘pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di dalam perusahaan’. Hal
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 ini menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap tenaga kerjanya yang merupakan asset dalam keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan. 2. Melalui pendekatan analisa jalur (path analysis) menunjukkan Good Corporate Governance yaitu kepemilikan managerial dan institusional mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan (TOBINS’Q). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Leland & Pyle (1977), Euis Soliha & Taswan (2002), Suranta dan Machfoedz (2003). 3. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat membuktikan bahwa Good Corporate Governance yang diamati melalui kepemilikan managerial dan institusional, mempunyai
pengaruh
terhadap
pengungkapan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan (CSR). Hasil ini sejalan dengan penelitian Anggraini (2006). Namun temuan tersebut tidak sejalan dengan penelitian Widyasari dan Rahman (2007), Barnea dan Rubin (2006). Demikian pula dengan pengaruh kepemilikan institusional terhadap CSR, dalam penelitian Barnea dan Rubin (2006) tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikan. 4. Sementara itu, CSR berpengaruh singnifikan terhadap kinerja perusahaan. Temuan tersebut sejalan dengan Lajili dan Zeghal (2006); Preston (1978) Namun temuan dalam penelitian ini tidak sejalan dengan Hackston dan Milne (1996). 5. Pengujian variabel control yaitu CEO Tenure mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sementara itu Jenis Industri tidak mempunyai pengaruh terhadap CSR. Corporate Secretary dan Komite Nominasi dan Remunerasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan.
B. Keterbatasan Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu : 1. Periode penelitian hanya satu tahun, sehingga memungkinkan praktek pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang diamati kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Periode penelitian yang lebih
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 panjang akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk memperoleh hasil yang lebih mendekati kondisi sebenarnya. 2. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada perusahaan yang dikelompokkan sebagai perusahaan manufaktur.
C. Saran Penelitian selanjutnya hendaknya : 1. Menggunakan periode waktu yang lebih panjang serta jumlah sampel yang tidak membatasi kelompok industri tertentu 2. Item-item pengungkapan tanggung jawab social perusahaan hendaknya senantiasa diperbaharui sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan para aktivis social.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Nenny.(2007). “Corporate Social Responsibility”. Buletin Ekonomi, Vol.10, No.2, September 2007 : 40-46 Boediono, Dr. (2006), “CSR, Elemen Utama Tata Laksana Kemasyarakatan yang Baik” Republika 17 September 2006 Barnea, Amir & Amir Rubin.(2006). “Corporate Social Reponsibility as a Conflict between Shareholders”.Paper presented to EFA 2006 Zurich Meeting,Swiss, Europe. Chung & Pruitt (1994) A Simple Approximation of Tobin’s Q, Financial Management Daniri, Mas Achmad. (2005). Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakata:PT Ray Indonesia Downes, J. & Goodman, JE (1998) Dictionary of Finance and Investment Term, Barrons Educational Series Euis Soleha, Taswan. 2002. Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan Serta Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 9, no.2. Faizal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance, Simposium Nasional Akuntansi VII Denpasar-Bali. Hal 197-207. Gray, R., Owen, D., and Maunders, K., (1987) Corporate Social Reporting: Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London Hackston, David & Milne, Marcus J.,
(1996) Some Determinant of Social and
Environmental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol.9, No.1, pp.77-108 Hair JE, Jr., Anderson RE, Tatham, RL., Black WG., (1998). Multivariate Data Analysis, Prentice Hall International Inc. New York. Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. Klapper, Leora F and I Love. ( 2002 ). “ Corporate Governance, Investor Protection, and performance in emerging markets”. World Bank Working Paper. http:// ssrn.com. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Lajili & Zeghal (2006) Market Performance Impact on Capital Disclosure, Journal of Accounting and Public Policy, Vol.25, Issue 2, pp. 171-194, Elsevier Lastanti, Hexana Sri. (2005). “Hubungan Struktur Corporate Governance dengan Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar”, Konferensi Nasional Akuntansi. Jakarta. (September). pp: 1-18. Leland, HE. and Pyle, DH (1977) Informational Asymmetries, Financial Structure and Financial Intermediation, Journal of Finance, Vol.32 (2), pp.371-387 Patten, DM. (1991), Exposure, Legitimacy and Social Disclosure, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308 Pozen, Robert C. (1994).”Institutional Investor: The Reluctant Activists”.Harvard Business Review.Boston:Jan/Feb 1994. vol. 72.Iss 1: pp140 Rajgopal, Shivaram, dan Mohan Venkatachalam dan James Jiambalvo.1999. Is Institutional Ownership Associated with Earnings Management and The Extent to which Stock Price Reflect Future Earnings?. Working Papetionr. Robert, RW. (1992), Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure: An Application of Stakeholder Theory, Accounting, Organization and Society, Vol.17, No. 6, pp. 595-612 Suranta, Eddy dan Mas’ud Machfoedz. (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi, Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya Sutawinangun, TB M Nazmudin. (2008). “Peranan dan fungsi Corporate Secretary”, Forum For Corporate Governance in Indonesia (FCGI). White et al., (2003). ” The Analysis and use of Financial Statements. Third Edition, John Wiley Widyasari, Kurnia Nur & Arief Rahman .(2007). “The Analysis of Company Characteristic Influence toward CSR Disclosure Emprical Evidence of Manufacturing Companies Listed in JSX 2003-2005”. Zubaidah (2003) Pengaruh Biaya Sosial Terhadap Kinerja keuangan Perusahaan Semen yang Listing di Bursa Efek Jakarta, Balance, Vol. 1(1), August 2003
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV07- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND FIRM PERFORMANCE: SUSTAINABILITY REPORTING POLICIES
Linda Rika Nurlela FE Unsyiah
Abstract
Sustainability Reporting in Indonesia is not yet mandatory but voluntary, therefore the existence of a policy is needed for company to implemate. Theoritical model about supply and demand has still debated, whether
this social reporting will
improve, reduce or have no the impact on the firm performance. The purpose of this research are to discover the difference between the firm performance that reported sustainability reporting and do not report, and how their relationship between Corporate Social Responsibility (CSR) and firm value. The result shows that the significant, financial performance of company that reported the Sustanainability Reporting difference from that do not report. And there is relationship between CSR and firm value. This condition identified the existence of supply and demand supported each other to make Sustainability Reporting have a strong impact on firm performance.
Keywords: Sustainability Reporting, Voluntary, Mandatory, Supply, Demand, Corporate Social Responsibility and Firm Value
1 2
Dosen FE Unsyiah, email:
[email protected], Hp: 0811688254 Alumni FE Unsyiah, email:
[email protected], Hp:081370008853
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Kelansungan hidup suatu perusahaan tidak hanya ditentukan oleh pemegang saham tetapi stakeholder secara keseluruhan, yang menyebabkan pandangan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada saat ini telah berubah. Mereka tidak hanya memfokuskan pada pelaporan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Berdasarkan konsep ini dalam membuat pertimbangan investasi, investor memasukkan pertimbangan-pertimbangan etika, dan moral selain pertimbangan financial. Konsep ini dikenal dengan Socially Responsible Investment (SRI). Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting, yang melaporkan aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang terjadi di perusahaan. Bahkan lebih jauh dari itu perusahaan juga harus mampu menjaga sustainability nya. Sustainability Reporting di Indonesia pada saat ini masih bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory ( kewajiban). Untuk itu, dalam penerapannya diperlukan political will yang kuat dari manajemen tingkat atas. Sebab merekalah yang menentukan kebijakan perusahaan. Namun, apabila faktor internal ini lemah maka diperlukan dorongan yang kuat dari faktor eksternal. Dorongan ini dapat dilakukan oleh pemerintah, media masa atau lembaga swadaya masyarakat. Melalui Sustainability Reporting inilah perusahaan dapat menjaga reputasi, membangun kepercayaan stakeholder, menunjukkan adanya akuntabilitas dan meningkatkan firm value. Namun sebaliknya kegagalan dalam memahami dan menggunakan informasi non keuangan ini dapat menjadi pukulan berat bagi perusahaan, bahkan kadangkala dapat merusak kinerja perusahaan secara perlahan (Media Akuntansi : Juli 2005). Di satu sisi, keseimbangan harga saham dari perusahaan yang melaporkan Sustainability
Reporting
sama
dengan
perusahaan
yang
tidak
membuat
Sustainability Reporting (traditional profit maximizing firm) tapi earning pershare tidak sama. Dana sosial diasumsikan menambah biaya dan bukanlan pendapatan (non revenue). Sustainability Reporting telah menghabiskan biaya secara ekonomi yang akan menurunkan net earning perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yang membuat Sustainability Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang tidak membuat Sustainability Reporting. Sebuah model teoritis yang didebatkan dimana supply dan demand untuk pelaporan sosial menggambarkan apakah aktivitas ini akan memperbaiki, mengurangi atau tidak memiliki pengaruh terhadap market value perusahaan. Aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat mengurangi present value cash flows perusahaan terhadap market value perusahaan, dimana hal ini tergantung pada demand dan supply. Jika demand untuk Socially Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply maka perusahaan yang melakukan aktivitas investasi
sosial
dan
pelaporannya
berupa
Sustainability
Reporting
dapat
menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan. Jika kondisi supply dan demand tidak saling mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value perusahaan secara nyata. Hasil penelitian Mackey al, (2004) menunjukkan manajer perusahaan dagang menemukan aktivitas pelaporan sosial tidak saja memaksimumkan
present
value
tapi
juga
memaksimumkan
market
value
perusahaan. Hasil penelitian di beberapa negara maju, dimana Sustainability Reporting sudah bersifat mandatory, membuktikan bahwa investor memasukkan variable sustainability (berkaitan dengan masalah kelestarian lingkungan) dalam proses pengambilan keputusan investasi. Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
perusahaan-perusahaan
yang
membuat
Sustainability
Reporting
menjadikan nilai perusahaan meningkat. (Djohan Pinnarwan dalam Zuhroh dan Sukmawati 2003) Dari hasil studi sebelumnya, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui: -
Adakah
perbedaan
kinerja
keuangan
perusahaan
yang
membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting. -
Seberapa
besar
variable
CSR
dan
kepemilikan
manajemen
dapat
menjelaskan nilai perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dalam Laporan Tahunan Stakeholder perusahaan terdiri dari beragam pihak. Ada pemegang saham, pemerintah dan masyarakat secara umum. Pemegang saham tentu menginginkan agar investasi yang ditanamkan di perusahaan tersebut selalu berkembang, dan pemerintah juga menginginkan agar perusahaan melakukan pelaporan
kepada
stakeholder.
Pemerintah
berkeinginan
agar
perusahaan
mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang pada intinya adalah agar kepentingan masyarakat secara umum tidak tergangggu, dimana perusahaan diharapkan mampu melakukan proses produksi yang ramah lingkungan sehingga tidak merusak kehidupan hayati. Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR),
adalah
mekanisme
bagi
suatu
organisasi
untuk
secara
sukarela
mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004). Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan Sustainability Reporting, adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya didalam
konteks
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development).
Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan, dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability Report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan, dan peluang sustainability development yang membawa menuju kepada core business dan sector industrinya ( Anggraini, 2006). Untuk mendukung upaya pelaporan yang sustainibilitas pada tahun 1997 di bentuk sebuah organisasi Global Reporting Initiative (GRI). GRI mempunyai misi sebagai lembaga yang merancang, mengembangkan, dan menyebarluaskan pedoman penerapan Sustainability Reporting. GRI telah menerbitkan pedoman Sustainability Reporting. Selanjutnya direvisi pada tahun 2002 dan 2006. (Media Akuntansi, Juli:2005). Pedoman GRI membahas isi Sustainability Reporting (SR) dalam suatu bagian tersendiri. Isi SR menurut pedoman GRI terdiri dari lima bagian, yaitu:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 1. Visi dan strategi. Bagian ini menjelaskan visi dan strategi perusahaan berkaitan dengan sustainability. 2. Profil Perusahaan. Bagian ini merupakan overview struktur organisasi operasi perusahaan serta ruang lingkup pelaporan. 3. Sistem manajemen dan struktur pengelolaan. Dalam bagian ini perusahaan harus mengungkapkan struktur organisasi, kebijakan-kebijakan yang diambil, dan sistem manajemen. Termasuk dalam bagian ini usaha-usaha perusahaan dalam melibatkan stakeholder 4. GRI Content Index. Bagian ini berisikan table yang mengidentifikasikan letak setiap elemen isi laporan GRI berdasarkan bagian dan indikatornya. Tujuan bagian ini memudahkan pengguna laporan keuangan agar dapat mengakses secara cepat informasi dan indikator yang terdapat dalam pedoman GRI. 5. Sustainability Reporting dan indikator kinerja
Table 1 Katagori
Aspek Kinerja Ekonomi
Pengaruh
Pelanggan, pemasok, karyawan, penyedia modal dan sektor
ekonomi
publik
secara lansung
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Kinerja Lingkungan Hal-hal yang
Bahan
baku,
energi
air,
keanekaragaman
hayati
berkaitan
(biodiversity), emisi, sungai, dan sampah, pemasok, produk
dengan
dan jasa, pelaksanaan, dan angkutan.
lingkungan
Kinerja Sosial Praktik Kerja
Keamanan dan keselamatan tenaga kerja, pendidikan dan training, kesempatan kerja.
Hak manusia
Strategi dan manajemen, non diskriminasi, kebebasan beserikat dan berkumpul, tenaga kerja di bawah umur, kedisiplinan, keamanan, dll.
Sosial
Komunitas, korupsi, kompetisi dan penetapan harga
Tanggung
Kesehatan dan keamanan pelanggan, iklan yang peduli
jawab terhadap terhadap hak pribadi. produk Sifat
dan
volume
pelaporan
mengenai
pertanggungjawaban
sosial
perusahaan bervariasi antar waktu dan antar negara, hal ini disebabkan oleh isu-isu yang dipandang penting oleh suatu negara mungkin akan menjadi kurang penting bagi negara lain. Lewis Unerman (1999) mengatakan bahwa variasi pelaporan tersebut disebabkan oleh budaya atau norma yang berlaku pada masing-masing negara. (Grey .,1995 dalam Anggraini 2006). 2.2. Kinerja Keuangan Dan Kebijakan Penerapan Sustainibility Reporting Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dan Profitabilitas Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 saham [Heize (1976) dalam Anggraini (2006)]. Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial. [Bowman dan Haire 1976). Sedangkan Hactson & Milne (1996) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi
sosial.
Belkaoi
dan
Karpik
(1989)
mengatakan
bahwa
dengan
kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable, hal ini di perkuat oleh hasil penelitian nya, yaitu: perusahaan yang mengungkapkan informasi social menunjukkan (1) keikutsertaannya dalam kegiatan sosial, (2) memiliki resiko sistimatis dan tingkat leverage yang rendah, (3) cenderung perusahaan berskala besar. Sebaliknya Vence (1975) mempunyai pandangan, bahwa pengungkapan sosial perusahaan justru memberikan kerugian kompetitif karena perusahaan harus mengeluarkan tambahan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Mackey at al.,2004, dimana keseimbangan harga saham dari
perusahaan
yang
melaporkan
Sustainability
Reporting
sama
dengan
perusahaan yang tidak membuat Sustainability Reporting (traditional profit maximizing firm) tapi earning pershare tidak sama. Dana sosial diasumsikan menambah biaya dan bukanlah pendapatan (non revenue). Sustainability Reporting telah menghabiskan biaya secara ekonomi yang akan menurunkan net earning perusahaan. Oleh karena itu EPS perusahaan yang membuat Sustainability Reporting lebih rendah dari EPS perusahaan yang tidak membuat Sustainability Reporting. Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan dan Market Value Informasi yang dibutuhkan oleh investor dalam pengambilan keputusan menjadi semakin bervariasi yang mencakup informasi keuangan dan non keuangan. Kondisi ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap aktivitas bisnis dan para pelaku bisnis yang terkait di dalamnya, termasuk investor. Investor memasukkan pertimbangan-pertimbangan etika, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan selain pertimbangan financial. Konsep ini dikenal dengan Socially Responsible Investment (SRI). Menurut (Mackey al., 2004) aktivitas pertanggungjawaban sosial dapat mengurangi present value cash flows perusahaan terhadap market value
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 perusahaan, hal ini tergantung pada demand dan supply. Jika demand untuk Socially Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply maka perusahaan yang melakukan aktivitas investasi sosial dan pelaporannya berupa Sustainability Reporting dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan. Kemampuan perusahaan menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan maka nilai perusahaan akan meningkat. Jika kondisi supply dan demand tidak saling mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value perusahaan secara nyata. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar. Karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris. Samuel (2000) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut di jual. Penelitian yang dilakukan oleh Grey et al.,(1995) diantaranya menyimpulkan bahwa (1). Tidak ditemukan bukti pengungkapan sosial berhubungan dengan profitabilitas perusahaan, minimal tidak pada tahun yang sama. (2) terdapat hubungan yang sangat kuat antara pengungkapan sosial dengan ukuran perusahaan. (3) Terdapat hubungan antara antara tipe industri dan pengungkapan sosial, artinya daripada industri yang low-profile. (4) Faktor negara asal perusahaan dan negara yang menjadi tempat pelaporan memiliki efek yang signifikan terhadap pengungkapan sosial. (5) Ada beberapa karakteristik khas perusahaan yang mempengaruhi aktivitas corporate social reporting suatu perusahaan seperti adanya komite pertanggungjawaban sosial di dalam perusahaan, sikap eksekutif senior, negara asal atau negara tempat perusahaan menyatakan laporan dan capital intensity perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Shane dan Spicer (1983), meneliti tentang pelaporan polusi terhadap harga saham selama 6 hari sebelum dan sesudah penerbitan pelaporan polusi pada 72 perusahaan pada 4 industri yang berbeda. Penelitian tersebut menyatakan sampel perusahaan yang diambil menunjukkan abnormal return negatif yang cukup besar dalam dua hari sebelum publikasi dari pelaporan polusi terdapat hubungan yang sedikit antara return yang negatif pada saat publikasi. Penelitian di Indonesia, Utomo (2000) memperlihatkan bahwa pengungkapan sosial di Indonesia relatif rendah, namun perusahaan high-profile ternyata melakukan pengungkapan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lowprofile. Lutfi (2001) meneliti pengaruh praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari praktek pengungkapan sosial yang telah dilaporkan oleh perusahaan terhadap perubahan harga saham. Penelitian tersebut pada umumnya menggunakan data tahunan antara tahun 1997 sampai dengan 1999, sementara pada priode tahun tersebut kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh krisis moneter dan investor lebih fokus pada situasi ekonomi secara makro. Namun hasil penelitian selanjutnya adalah bahwa praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan semakin baik dan investor mulai merespon pengungkapan sosial sebagai suatu good news. Zuhroh dan Sukmawati (2003). Ha1
=
Adakah
perbedaan
kinerja
keuangan
perusahaan
yang
membuat
Sustainability Reporting dengan yang tidak membuat Sustainability Reporting. Biaya politis Perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. (Anggraini, 2006). Menurut hipotesis biaya politis, semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan, maka manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 menghasilkan laba sekarang lebih rendah dibandingkan masa depan. Dengan demikian semakin tinggi biaya politis yang dihadapi perusahaan maka perusahaan akan semakin banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial (sustainability reporting), sehingga laba yang dilaporkan menjadi lebih rendah. (Watt &Zimmerman, 1990). Sustainability Reporting di Indonesia pada saat ini masih bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory (kewajiban). Untuk itu, dalam penerapannya diperlukan political will yang kuat dari manajemen tingkat atas. Sebab merekalah yang menentukan kebijakan perusahaan. Born (1988) dalam Junaidi (2006) menyatakan bahwa kepemilikan manajemen adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan dewan komisaris. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Jensen & Meckling (1976) menganalisis bagaimana nilai perusahaan dipengaruhi oleh distribusi kepemilikan antara pihak manajer yang menikmati manfaat dan pihak luar yang tidak menikmati manfaat. Dalam kerangka ini, peningkatan kepemilikan manajemen akan mengurangi agency difficulties melalui pengurangan insentif untuk mengkonsumsi manfaat/keuntungan dan mengambil alih kekayaan pemegang saham. Pengurangan ini sangat potensial dalam misalokasi resources, yang pada gilirannya untuk peningkatan nilai perusahaan. Ha2: Seberapa besar CSR dan kepemilikan manajemen dapat menjelaskan nilai perusahaan.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI), penentuan sample dengan menggunakan purposive sampling method dengan kriteria tertentu, yaitu: •
Perusahaan non keuangan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 •
Perusahaan
yang
menyampaikan
Sustainibility
Reporting
yang
mengungkapkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada periode 2003 sampai dengan 2005. Untuk Ha1 perusahaan yang hanya mengungkapkan tema pengembangan sumber daya manusia tidak dimasukkan
sebagai
populasi
penelitian
karena
hampir
semua
perusahaan mengungkapkan tema ini. Untuk Ha2 perusahaan yang menyampaikan Sustainibility Reporting yang mengungkapkan semua aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada periode 2005 dan 2006 yang menyampaikan Sustainibility Reporting yang mengungkapkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial pada periode 2003 sampai dengan 2005, karena pada tahun 2005 dan 2006 perusahaan
yang
menyampaikan
Sustainibility
Reporting
sudah
bertambah jumlahnya. •
melakukan screening baik positif maupun negative, penentuan ini berdasarkan penelitian Barnet dan Salomon (2002) ⇒ Screening
positif,
untuk
mendapatkan
perusahaan
dengan
sustainablilty yang tinggi. ⇒ Screening
negative
dilakukan
untuk
menghindari
dichotomous
variable, dimana dalam konsep Socially Responsible Investment (SRI), investor menghindar dari investasi dari sektor-sektor tertentu, misalnya rokok, minuman keras, senjata api dan perjudian.
Untuk Ha1 diperoleh sampel 24 perusahaan, untuk Ha2 diperoleh sampel 35 perusahaan
3.3. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pooling data. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Laporan Tahunan Emiten yang listing di BEJ.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 3.4. Definisi Operasional Variabel a. Sesuai dengan kerangka pemikiran dari hipotesis, variabel-variabel tersebut dapat diidentifikasikan menjadi variabel independent untuk Ha1: •
Earning pershare Adalah pendapatan bersih perusahaan selama setahun dibagi dengan jumlah rata-rata saham yang beredar.
•
Market value Diukur dengan Return saham, yaitu keuntungan yang diterima dari investasi saham selama satu tahun, yang secara matematis diperoleh dengan rumus:
Rit =
pit − pit −1 pit −1
Dimana: Rit = Return Realisasi untuk saham i pada bulan ke t
Pit = Harga penutupan saham saham i pada bulan ke t Pit −1 = Harga penutupan saham saham i pada bulan ke t-1
Harga saham penutupan pada penelitian ini adalah -5 dan +5 sebelum dan sesudah tanggal penyampaian laporan keuangan perusahaan.
•
Tingkat Leverage Diukur dengan rasio Utang /Ekuitas
b. Untuk Ha2 variabel yang digunakan adalah : Varibel independen:
•
Sustainibility Reporting yang disimbol dengan (X 1 ), yang diukur dengan skor total Sustainibility Reporting yang dilaporkan dibagi dengan skor total Sustainability Reporting Indeks . Skala pengukuran yang digunakan untuk indeks Sustainibility Reporting adalah skala nominal. Variabel Sustainibility Reporting merupakan variable dummy, sebuah item diberi skor 1 jika dilaporkan dan skor 0 jika tidak diungkapkan
•
Kepemilikan manajemen, yang disimbol dengan (X 2 ) Kepemilikan manajemen diberi simbol MGR yang diukur dengan % saham yang dimiliki oleh manajer, dewan direksi dan komisaris.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Variabel Dependen
•
Nilai Perusahaan yang disimbolkan dengan (Y). Nilai perusahaan diukur dengan menggunakan Tobin’s q. Menurut Wennerfield
(1988) di dalam Suranta dan Machfoedz (2003) Tobin’s Q dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menentukan dalam menentukan kinerja perusahaan.
q=
( EMV + D) ( EBV + D)
Dimana : Q
= nilai perusahaan
EMV = nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah saham yang beredar) D
= nilai buku dari total hutang
EBV = nilai buku dari total aktiva
3.5. Analisa Data 1. Pengujian Ha1 dengan menggunakan Independen sampel T test (Independent Sample T test) yaitu membandingkan rata-rata dari dua grup yang tidak berhubungan satu sama lain. Independent Sample T test merupakan statistik parametrik oleh karena itu distribusi data harus normal. Untuk menguji kenormalan data ini dapat dengan menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. 2. Pengujian Ha2 dengan menggunakan analisa regresi berganda (multiple regression analysis). Y = α + β 1X1 + β2 X 2 + e Keterangan : Y
= Nilai Perusahaan
α
= Konstanta
β1 - β 2
= Koefisien Regresi
X1
= Corporate Social Responsibility
X2
= Kepemilikan Manajemen
e
= Error Term
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Analisa regresi berganda untuk data pooling memerlukan pengujian “apakah data tersebut dapat dipoolkan?” (Dillon and Goldstein, 1984). Untuk pengujian nya dapat mengguakan Chow test. Sebelum dilakukan analisa regresi berganda perlu dilakukan pengujian asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik penting dilakukan agar diperoleh parameter yang valid dan handal, terdiri dari uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasi dan uji heterokedastisitas.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Ha1 Hasil pengujian Ha1 pada tabel 1 dan 2 menunjukkan perbandingan rata-rata dari perusahaan yang melaporkan Sustainibility Reporting dengan yang tidak melaporkan Sustainibility Reporting dengan menggunakan analisis uji statistik Independen sampel T test. Tabel 1 Group Statistics kinerja sr ns sr ns sr ns
eps lev ret
N
Mean 4.2030 3.8910 1.8658 1.5752 4.2086 -.9087
60 49 64 56 59 32
Std. Deviation 2.54863 1.67691 2.16886 2.38944 2.57012 1.46888
Std. Error Mean .32903 .23956 .27111 .31930 .33460 .25966
Tabel 2 Independent Samples Test
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F eps
lev
ret
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
2.413
.012
5.016
.123
.911
.028
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
.736
107
.463
.31198
.42374
-.52804
1.15200
.767
102.669
.445
.31198
.40700
-.49523
1.11919
.698
118
.486
.29060
.41616
-.53351
1.11472
.694
112.047
.489
.29060
.41887
-.53933
1.12054
10.366
89
.000
5.11739
.49367
4.13649
6.09830
12.083
88.703
.000
5.11739
.42354
4.27580
5.95899
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Pada Tabel 1 ringkasan statistik menunjukkan rata-rata return untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting 4,2086 jauh di atas ratarata perusahaan yang tidak menyampaikan sustainability reporting, yaitu -0.9087. Rata-rata return pada penelitian ini berbeda secara signifikan, hasil pengujian statistik (tabel 2) menunjukkan F hitung 5,016 dengan probabilitas 0,028. Oleh karena probabilitas <0,05 maka Ha diterima atau kedua varians berbeda secara signifikan, yang berarti investor telah merespon dengan baik informasi-informasi sosial. Menurut Mackey al, (2004): jika kondisi supply dan demand Sustainability Reporting sudah saling mendukung, maka aktivitas Sustainability Reporting tidak saja memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan market value perusahaan. Rata-rata earning pershare (EPS) untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting 4,20
yang juga di atas rata-rata perusahaan yang tidak
menyampaikan sustainability reporting, yaitu 3,89. Perbedaan ini tidak signifikan, hasil pengujian statistik menunjukkan F hitung untuk earning pershare adalah 2,413 dengan probabilitas 0,123. Oleh karena probabilitas >0,05 maka Ho diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grey (1995), yaitu, tidak ditemukan
bukti
pengungkapan
sosial
berhubungan
dengan
profitabilitas
perusahaan, minimal tidak pada tahun yang sama. Rata-rata leverage untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting dengan yang tidak menyampaikan sustainability reporting, masing-masing yaitu 1,87 dan 1,56. Perbedaan ini tidak signifikan, karena hasil pengujian statistik menunjukkan F hitung untuk earning pershare adalah 0,012 dengan probabilitas 0,911. Oleh karena probabilitas >0,05 maka Ha diterima atau kedua varians sama. Rata-rata leverage untuk perusahaan yang menyampaikan sustainability reporting hanya sedikit lebih tinggi dengan rata-rata perusahaan yang tidak menyampaikan sustainability reporting. Menurut Schipper 1981, perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas dari pada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah agar dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat. Namun hasil penelitian ini belum dapat di generalisir karena tidak berbeda secara nyata.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 4.2. Pengujian Ha2 Chow Test untuk data Pooling Prosedur Standar untuk memutustan apakah dua (atau lebih) regresi dapat di poolkan dapat menggunakan Chow Test, dengan langkah-langkah sebagai berikut (Dillon and Goldstein, 1984): 1. Kombinasikan n1+n2 observasi dalam satu analisa regresi berganda untuk memperoleh nilai residual sums-of-square SSE (1) dari n1 + n2 –k df. 2. Run bagian-bagian regresi untuk memperoleh nilai residual sums-of-square SSE(2) dan SSE (3) dengan n1 – k df. dan n1 – k df. Tambahkan kedua SSE tersebut dan denotasikan dengan SSE(4) 3. Hitung SSE (5) = SSE(1)-SSE(4) 4. Hitung
Q=
SSE (5) / k SSE (4) /( n1 + n2 − 2k )
5. Q ≈ Fα :( k .n1 + n2 − 2 k ) Jika Q > Fα :( k .n1 + n 2 − 2 k ) , dapat disimpulkan bahwa dua regresi tersebut tidak sama (tolak hipotesis persamaan dua regresi). Hasil perhitungan untuk data penelitian ini nilai Q= -11,4857 sedangkan nilai F = 0.38911 maka Q < Fα :( k .n1 = n2 − 2 k ) maka dua regresi tersebut sama, maka data penelitian ini dapat di poolkan
Uji Asumsi Klasik
•
Pengujian kenormalan data menggunakan Kolmogrov-Smirnov test menunjukkan bahwa nilai residual variabel kepemilikan manajemen dan nilai buku pada model tidak berdistribusi normal, dimana nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05. Agar data dapat berdistribusi normal maka data ordinal tersebut dapat di Log atau Ln (J.Supranto, 2001). Data setelah di Ln menunjukkan nilai residual berdistribusi normal (Tabel 3).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Tabel 3 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
CSRInorasio 70 .2081 .06589 .161 .161 -.084 1.344 .054
Ln Kep.Manaj 26 -2.3925 2.69312 .166 .166 -.133 .844 .474
Ln nilai Perusahaan 70 .0225 .69457 .142 .142 -.092 1.190 .118
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
•
Untuk mendeteksi multikolinieritas dapat dengan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF), dan pearson Correlation Matrix (Gujarati, 1995). Sebagai rule of thumb, jika nilai VIF sama dengan satu, tidak menunjukkan adanya kolinieritas antar variable independent, dan bila nilai VIF kurang dari 10 maka tingkat multikolinieritas belum tergolong bahaya. Pada tabel 4 menunjukkan nilai
VIF
untuk
variable
independent
1,044
maka
tidak
ada
terjadi
multikolinieritas.
•
Autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan Durbin Watson Statistik, sebagai rule of thumb jika du
•
Untuk mendeteksi adanya gejala heterokedastisitas dalam model persamaan regresi dapat digunakan metode park (Gujarati,1995) dan hasil pendeteksian tidak terdapatnya gejala heterokedastisitas.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Pengujian Statistik Analisa Regresi Berganda
Tabel 4 Model Summaryb Change Statistics Model 1
R .479a
R Square .230
Adjusted R Square .163
Std. Error of the Estimate .38911
R Square Change .230
F Change 3.428
df1
df2 2
23
Sig. F Change .050
DurbinWatson 2.181
a. Predictors: (Constant), Ln Kep.Manaj, CSRInorasio b. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan
Tabel 5
Coefficientsa
Model 1
(Constant) CSRInorasio Ln Kep.Manaj
Unstandardized Coefficients B Std. Error -.938 .299 2.864 1.167 -.041 .030
Standardized Coefficients Beta .459 -.262
t -3.141 2.455 -1.399
Sig. .005 .022 .175
95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound -1.556 -.320 .450 5.278 -.102 .020
Zero-order .405 -.167
Correlations Partial .456 -.280
Part .449 -.256
Collinearity Statistics Tolerance VIF .958 .958
a. Dependent Variable: Ln nilai Perusahaan
Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan menggunakan bantuan program SPSS pada tabel 4 dan 5, maka diperoleh persamaan regresi berganda sebagai berikut: Y = -0.938 + 0,037X1 + -0.041X2 + + ε 2
dengan nilai R = 0,230 pada tingkat signifikan 0,05 maka Ha2 diterima. Ini mengindikasikan sustainability reporting (SR) dan kepemilikan manajemen secara bersamaan dapat menjelaskan variabel nilai buku sebesar 23%. Coefficient Estimated (SR) adalah 0.037 pada tingkat signinifikan 0,022 atau p<0.05, hubungan (SR) dengan nilai buku yang positif, berarti investor memasukkan pertimbangan-pertimbangan
etika,
tanggung
jawab
sosial
dan
lingkungan
perusahaan selain pertimbangan financial, dimana demand untuk Socially Responsible Investment (SRI) lebih besar dibandingkan dengan supply sehingga perusahaan yang melakukan aktivitas investasi sosial dan pelaporannya berupa Sustainability Reporting dapat memberikan nilai ekonomi bagi perusahaan. Kemampuan perusahaan menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan maka nilai perusahaan akan meningkat. Jika kondisi supply dan demand tidak saling
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 18
1.044 1.044
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 mendukung maka aktivitas Sustainability Reporting dapat mengurangi market value perusahaan secara nyata. Mackey al, (2004) Dari hasil terlihat pula bahwa coefficient estimated variabel kepemilikan adalah -0.041 dengan tingkat signifikan 0.175 atau p>0.05. Hubungan antara kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan yang negatif dan tidak signifikan mengindikasikan bahwa kepemilikan manajemen yang kecil dalam perusahaan, menyebabkan manajemen tidak memiliki wewenang yang cukup besar dalam pembuatan kebijakan perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan
nilai
perusahaan, karena pembuatan kebijakan di dalam suatu perusahaan lebih banyak di kendalikan oleh pemegang saham mayoritas. Berdasarkan pengamatan peneliti, penelitian mengenai kepemilikan manajemen di Indonesia hasilnya berbeda dengan penelitian di negara-negara luar karena kepemilikan saham di perusahaan Indonesia lebih cenderung dimiliki oleh pihak asing. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (2003) dan Spica (2006). Penelitian Haruman (2008) juga menunjukaan variabel managerial ownership dan institutional ownership berpengaruh dengan arah hubungan negative yang berarti tidak semua pemilik saham manajerial menginginkan investasi yang tinggi, karena menginginkan kesejahteraan melalui pembayaran dividen. Inilah salah satu tindakan opportunistik para pemegang saham managerial.
5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perbedaan return saham perusahaan yang menyampaikan dengan yang tidak menyampaikan Sustainability Reporting menunjukkan bukti bahwa investor telah merespon dengan baik informasi-informasi sosial yang disampaikan dalam laporan tahunan perusahaan. Kondisi supply dan demand terhadap Sustainability Reporting yang sudah saling mendukung ini menjadikan aktivitas Sustainability Reporting tidak saja memaksimumkan present value tapi juga memaksimumkan market value perusahaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan positif yang signifikan antara CSR dengan Nilai Perusahaan. 5.2. Keterbatasan dan Saran
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Keterbatasan penelitian ini adalah tidak adanya memisahkan perusahaan yang memiliki tingkat rasio leverage yang tinggi dengan yang rendah. Sehingga untuk penelitian kedepan perlu melakukan pemisahan antara perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi dengan yang rendah dan hendaknya periode pengamatannya lebih di perpanjang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Fr. Reni Retno, (2006) “Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktorfaktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan
Keuangan
Tahunan
(Studi
Empiris
pada
Perusahaan-
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”. Simposum Nasional Akuntansi. Padang.
Barnet,
Michael
L
Responsibility:
and The
Salomon,
Robert
Curvlinier
M
(2002)
Relationship
”Unpacking
Between
Social
Social and
Financial Performance”. Academy of Management Proceeding. New York.
Darwin, Ali (2006) “Sustainability Reporting/ Laporan Keberlanjutan”. Makalah disajikan pada Kuliah Perdana di Banda Aceh: Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unsyiah, 1 September 2006.
________,(2006) “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia”. Economics Business & Accounting Review. Edisi III/ September-Desember.
Dillon, William R and Goldstein, Mattew (1984) “ Multivate Analysis Method and Aplication” John Willey and Sons Inc. USA
Ghozali, Imam (2001) ”Analisis Multivariate dengan Program SPSS”. UNDIP, Semarang.
Gray,Rob; Reza Kouhy and Simon Lavers, (1995) “Corporate Social and Evirontmental Reporting: A Review of Literature and Longitudinal Study of UK Disclosure” Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol 8, No.2, p.47-77.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Gujarati, Damodar, (1995) ”Ekonometrika Dasar” Terjemahan Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta.
Hasnawati, Sri (2005) “Dampak Set Peluang Investasi Terhadap Nilai Perusahaan Publik di BEJ”. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indinesia. Vol 9,No.2:153-165.
Hartanti, Dwi (2006) “Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya”. Economics Business & Accounting Review. Edisi III/ September-Desember.
Hasibuan, Chrysanti dan Sedyono (2002) “Etika bisnis, Corporate Social Responsibility (CSR) dan PPM”. PPM Institute of Managemant, 27 November.
________,(2006) “CSR Communications: A Challenge On Its Own”. Economics Business & Accounting Review. Edisi III/ September-Desember.
Hendriksen, Eldon S dan Widjajant, Nugroh “Teori Akuntansi”. Edisi ke-4 jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (1999) “Standar Akuntansi Keuangan”. Buku Satu. Jakarta: Salemba Empat.
Jensen, MC and Meckling (1976) “Theory of
the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structur”. Journal of Financial Economics. Vol 3, p.305-360.
Junaidi, Muhammad AR (2006) “Pengaruh Kepemilikan Manajemen dan Kebijakan Hutang Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ”. Thesis, Unsyiah.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Lewis, Linda and Jefrrey Unerman, (1999) “Ethical Relatism: A Reason for Difference in Corporate Social Reporting” Critical Perspective on Accounting. Vol 8, No.1,p.38-62
Mackey, Alison; Mackey, Tyson,. and Barney, Jay B,. (2004) ”Corporate Social Responsibility and Firm Performance: Investor Preferences and Corporate Strategies” Forthcoming in Academy of Management Review, Ohio StateUniversity.
Media Akuntansi. Juli 2005. Jakarta
Rasyid, Abdul Idris “Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan Implementasi. Fajar Online. 22 November 2005.
Supranto,J (2001) “Statistik Teori Dan Aplikasi” Erlangga. Jakarta Siahaan, Hinsa (2003) “Analisa Saham Dengan Menggunakan Gordon Model”. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol 7, No.1.
Sigit, Soehardi 1 (1999) “Pengantar Metodologi Penelitian Sosial-BisnisManajemen. FE Universitas Sarjanawijaya Tamansiswa.
Suranta, Edi dan Puspita, Pratama Merdistuti (2004) “Income Smoothing, Tobin’s Q, Agency Problem dan Kinerja Perusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar Bali, 2-3 Desember.
Syafri, Sofyan Harahap (2002) “Teori Akuntansi”. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syahriza,
Muhammad
Pertanggungjawaban
(2006) Sosial
“Tinjauan Pada
Penerapan
Perusahaan
Akuntansi
Perkebunan
di
Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang”. Skripsi Universitas Syiah Kuala.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Utomo, Muhammada Muslim (2000) “Prektek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia (Studi Perbandingan antara Perusahaan-perusahaan High Profile dan Low Profile)”. Makalah disajikan pada SNA III.
Wahyudi, Untung dan Prasetyaning, Hartini Pawestri “Implikasi
Struktur
Kepemilikan Terhadap Nilai Perusahaan : Dengan Keputusan Keuangan Sebagai Variabel Intervening”. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang 23-26 Agustus.
Woodward, David,. Edwards, Pam,. and Birkin, Frank, (2001) ”Some Evidence On Exceutive’views Of Corporate Social Responsibility” British Accounting Review.
Yakub, Riawandi (2004) “Corporate Social Responsibility: Perilaku Korporasi dan Peran Civil Society”. IPDF Online Service, 14 September.
Zuhroh, Diana dan Heri, I Putu Pande Sukmawati (2003) “Analisis Pengaruh luas Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap Reaksi Investor”. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya,16-17 Agustus
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV08- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 SLACK RESOURCES, CORPORATE PHILANTHROPY DAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN PENDEKATAN STRUCTURAL EQUATION MODEL
Nur Kholifah Progam Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi Universitas Indonesia
Chaerul D. Djakman Universitas Indonesia
Abstract
The objective of this study is to examine the influence of slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance. The slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance are conceptually interrelated and to examine them using structural equation modeling with 71 Indonesian listed companies in 2006 that have donation reported on their annual report. Cash flow represents slack resources measurement because it shows the uncommitted money that are available for charity and other discretionary purposes. In this study, the firm’s donation represents corporate philanthropy. While cummulative abnormal return represents firm’s financial performance measure because that measuring is based on its total stock market return is particular describe the effect of corporate philanthropy. This study is based on Seifert et al (2004) and to prove are the Indonesian companies consistent with Seifert’s et al (2004) hypothesis. The result suggests that cash flow does not impact on firm donation, on the other hand the donation has a significant effect on firm financial performance. This finding supports the view of corporate philanthropy as discretionary social responsibility that would increase firm image and finally enhance firm financial performance.
Keyword : slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 1.1
Latar Belakang Desakan dari masyarakat yang semakin tinggi agar perusahaan tidak menjadi
entitas yang selfish, mendorong banyak perusahaan melakukan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Akhir-akhir ini perusahaan berlomba-lomba untuk hadir di tengah-tengah masyarakat melalui berbagai program sosial, seperti: pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan, masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup, bantuan korban bencana dan lain-lain (Suara Pembaruan,11 Mei 2006). Alasan perusahaan memberikan sumbangan antara lain karena motivasi profit dan untuk pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan (Johnson, 1966), ataupun adanya perubahan cara pandang organisasi, tidak hanya fokus pada hasil keuangan tetapi juga permasalahan sosial (Waddock & Graves, 1997). Corporate philanthropy selama ini dilihat sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/ CSR), sehingga sering digunakan sebagai ukuran social performance perusahaan/ CSP (Carroll,1979). Corporate
social
performance
(CSP)
merupakan
suatu
konsep
yang
menggambarkan kinerja sosial perusahaan dan diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku bisnis dan bagi akademisi. Untuk akademisi, konsep Corporate social performance dapat menjembatani berbagai perbedaan definisi Corporate Social Responsibility
yang ada, sedangkan bagi pelaku bisnis, konsep tersebut
memberikan pemahaman arti Corporate Social Responsibility, bahwa CSR tidak terpisah dan tidak berbeda dengan economic performance tetapi merupakan satu bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan secara menyeluruh (Carroll, 1979). Berbagai penelitian tentang hubungan Corporate Social Performance dengan kinerja perusahaan sudah banyak dilakukan namun hasilnya masih berbeda-beda. Menurut Waddock & Graves (1997) melakukan hal yang baik memungkinkan untuk melakukan hal yang bagus (doing well enable doing good) adalah merupakan gagasan bahwa profitability akan menyebabkan timbulnya slack resources yang dapat digunakan untuk implementasi tanggung jawab sosial. Pendapat tersebut didukung oleh asumsi dalam literatur bisnis dan sosial yang menyatakan bahwa corporate philanthropy itu tergantung pada ketersediaan slack dalam organisasi (Seifert et al., 2004) dan secara empiris telah dibuktikan Bucholtz et al (1999).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Terdapat dua prinsip utama yang mendukung teori CSR yaitu: the charity principle, dan the stewardship prinsiple (Frederik, 1978). Prinsip pertama, terkait dengan peran perusahaan dalam membantu masyarakat sekitar dan bersifat suka rela. Sedangkan prinsip kedua merupakan peran perusahaan dalam mengelola sumber daya. Perusahaan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dipercayakan oleh masyarakat dengan baik sehingga prinsip kedua ini bersifat compulsory. Dengan demikian pemahaman corporate philanthropy sebagai salah bentuk corporate social responsibility sesuai dengan prinsip tanggung jawab sosial yang dikemukan Frederik (1978) yaitu tentang charity principle. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan keuangan perusahaan dengan corporate philanthropy, khususnya menguji hubungan antara dana yang dimiliki perusahaan dan pemberian sumbangan (having dan giving), dan hubungan antara corporate philanthropy dengan kinerja perusahaan (having & getting). Dalam menguji
keterkaitan
keduanya,
dilakukan
secara
bersama-sama
dengan
menggunakan structural equation model (SEM). Ketertarikan pada masalah ini karena masih banyak perusahaan di Indonesia yang menganggap
sumbangan itu merupakan salah satu bentuk CSR. Hal ini
terlihat pada laporan tanggung jawab sosial perusahaan dalam annual report. Dengan dilakukannya studi ini kami ingin mengetahui apakah perusahaan di Indonesia dalam memberikan sumbangannya dipengaruhi oleh ketersediaan dana bebas yang dimiliki (slack resources) dan bagi perusahaan yang telah memberikan sumbangan, apakah hal itu akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Selain itu, sejauh ini belum ditemukan adanya penelitian yang menguji permasalahan ini dengan sampel perusahaan listed di BEI.
1.2
Perumusan Masalah Masih banyak perusahaan di Indonesia yang menganggap implementasi
tanggung jawab sosial perusahaan dengan memberikan sumbangan (corporate philanthropy) baik bersifat rutin seperti bantuan pendidikan ataupun insidentil seperti sumbangan kemanusiaan dan bencana alam. Sampai saat ini tanggung jawab sosial perusahaan bersifat suka rela. Dalam literatur bisnis dan sosial adanya asumsi bahwa corporate philanthropy dipengaruhi oleh ketersediaan sumber dana bebas (slack resources), Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yaitu dana yang dapat digunakan untuk diskresi. Oleh karenanya, perusahaan dituntut untuk memiliki kinerja yang bagus agar memiliki slack resources yang dapat digunakan untuk corporate philanthropy (pemberian sumbangan). Alasan perusahaan memberikan sumbangan antara lain motivasi profit dan untuk pemenuhan tanggung jawab sosial (Johnson, 1966). Dengan adanya pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat meningkatkan image
bagus
perusahaan
sehingga
akan
berpengaruh
pada
pendapatan
perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Untuk membuktikan berbagai pendapat tersebut di atas, apakah terbukti apabila diuji dengan menggunakan sampel perusahaan listed di Indonesia maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah ketersediaan slack resources akan mempengaruhi corporate philanthropy? 2. Apakah corporate philanthropy memiliki pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris apakah slack
resources berpengaruh positif terhadap corporate pihilanthropy dan apakah corporate philanthropy berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan pada sampel perusahaan listed di Indonesia.
1.4
Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk memiliki
keuangan yang bagus sehingga mempunyai dana bebas (slack resources) yang dapat digunakan untuk pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan melalui pemberian sumbangan (corporate philanthropy). Selain itu, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas akan pentingnya pemberian sumbangan (corporate philanthropy). Corporate philanthropy jangan dilihat sebagai cost
tetapi
sebagai investasi sosial karena diharapkan dapat meningkatkan image bagus perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Kontribusi lainnya adalah sejauh ini penelitian yang sesuai dengan permasalahan slack resources, corporate philanthropy dan kinerja perusahaan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 belum pernah dilakukan dengan menggunakan perusahaan sampel yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tulisan ini terdiri dari 5 bagian, yaitu Pendahuluan meliputi: Latar Belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian dan kontribusi penelitian. Bagian kedua tentang landasan teori dan penelitian sebelumnya. Bagian ketiga menerangkan metodologi & sampel penelitian. Bagian ke-empat menjelaskan analisa hasil penelitian dan bagian terakhir merupakan kesimpulan, saran dan keterbataan penelitian.
II. LANDASAN TEORI Teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah, slack resources theory dan legitimacy theory. Slack resources theory
menyatakan bahwa perusahaan yang
memiliki potensi ketersediaan sumber bebas dari kinerja keuangan yang kuat/ bagus, maka perusahaan tersebut memiliki kebebasan untuk membelanjakan dananya untuk kepentingan sosial. Hal ini berarti suatu perusahaan terlebih dahulu harus fokus pada kinerja keuangan agar dapat memiliki sumber dana lebih yang dapat digunakan untuk merealisasikan kebijakan sosial perusahaan seperti philanthropy (Waddock & Graves (1997). Teori ini mendukung pendapat beberapa peneliti lainnya yang menyatakan bahwa profitability akan menimbulkan adanya slack resources yang dapat digunakan untuk implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (Waddock & Graves, 1997 dan George, 2005). Teori Slack resources sejalan dengan pendapat Frederik (1978), yang mengungkapkan adanya 2 prinsip utama CSR yaitu charity principle dan the stewardship principle. Hal ini berarti, perusahaan wajib melaksanakan prinsip ekonomi yang bersifat compulsary dengan baik sehingga dapat merealisasikan prinsip tanggung jawab sosial lainnya yaitu charity. Perubahan cara pandang organisasi yang tidak hanya fokus pada sektor ekonomi sebagai salah satu alasan pemberian sumbangan didasari oleh teori legitimasi (Waddock & Graves, 1997). Legitimacy theory menjelaskan perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi (Dowling & Pfeffer,1975 dalam Basamalah dan Jermias, 2005).
Oleh
karenanya,
saat
ini
perusahaan
semakin
menyadari
bahwa
kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi (Sayekti & Wondabio, 2007). Pemberian sumbangan dengan motivasi profit mengharapkan terciptanya image bagus perusahaan pada masyarakat sekitar, investor dan
customers
sehingga akan mempengaruhi mereka untuk membeli produk/ jasa perusahaan yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan profit perusahaan serta kinerja perusahaan. Dalam hal ini sumbangan tidak lagi dianggap sebagai beban melainkan suatu investasi yang akan memberikan manfaat bagi perusahaan meskipun hasilnya tidak terlihat dalam waktu cepat (Bucholtz et al, 2003). 2.1
Slack resources Slack resources merupakan konsep utama teori organisasi. Menurut Cyert &
March (1963) dalam Nohria & Gulati (1996), slack resources mempunyai peran penting dalam menyelesaikan konflik organisasi dan merupakan cerminan dana yang dapat dipakai untuk menyetujui berbagai hal yang belum pasti. Sedangkan Hambrick & Snow (1977) berpendapat dengan adanya slack resources, maka organisasi dapat melakukan uji coba yang lebih aman sesuai dengan perubahan lingkungan ataupun untuk suatu strategi baru. Oleh karena itu, slack resources dapat meningkatkan kemampuan kompetitif perusahaan (George,2005) dan dapat melindungi perusahaan dari berbagai variasi perubahan lingkungan (Thompson, 1967 dalam Bourgeois III, 1981). Beberapa ukuran slack resources, antara lain dengan melihat retained earnings (RE), ratio antara working capital dengan sales (WC/S), price to earnings ratio (P/E) (Bourgeois, III, 1981), debt to equity ratio dan melihat perubahan divident (Navaro, 1988), net income to sales (NI/S) atau net income to total assets (Adam & Hardwick, 1998) dan cash flow to sales (Seifert et al, 2004). Dari kesemua ukuran slack resources terlihat, hanya perusahaan yang sehat dan kuat yang dapat memiliki slack resources yang bagus sehingga dapat digunakan untuk diskresi. Penelitian yang dilakukan oleh Waddock & Graves (1997) membuktikan bahwa kegiatan sosial perusahaan itu tergantung pada financial performance dimana hubungan tersebut adalah positif. Hal ini mendukung teori slack resources, yang menyatakan perusahaan yang memiliki potensi ketersediaan sumber dari
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 kinerja keuangan yang kuat, maka perusahaan tersebut memiliki kebebasan untuk membelanjakan dananya untuk kepentingan sosial. Temuan tersebut mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Cyert dan March (1963) dalam Bourgeois III, (1981) bahwa kemampuan untuk berinovasi dihubungkan dengan kehadiran sumber slack dalam suatu organisasi yang dikenal dengan slack resources. Artinya, inovasi & kebijakan organisasi tergantung pada ketersediaan slack resources. Dalam berbagai literatur, pengertian slack resources diartikan sebagai sumber slack yang ada dalam suatu organisasi (slack organisasi) sehingga dalam hal ini pengertian slack organisasi adalah sama dengan slack resources dan untuk selanjutnya dalam tulisan ini hanya akan dipakai istilah slack resources.
2.2
Corporate philanthropy Corporate philanthropy merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan yang secara langsung berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial seperti pemberian social charity (Sasse & Trahan, 2007). Menurut Johnson (1966), corporate philanthropy merupakan
kontribusi perusahaan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, keagamaan, pendidikan, berbagai organisasi kemanusiaan dan sumbangan lainnya. Kontribusi tersebut didefinisikan sebagai donasi dalam bentuk nilai dollar (mata uang) yang dapat mengurangi pendapatan perusahaan. Sedangkan Seifert et al., (2004) menganggap corporate philanthropy sebagai monetary
donasi
perusahaan
yang
mencerminkan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan dan digunakan sebagai ukuran social performance perusahaan. Semua pengeluaran cash perusahaan untuk donasi digunakan untuk mengukur corporate philanthropy.
2.3
Kinerja Perusahaan Kinerja perusahaan merefleksikan kinerja fundamental suatu perusahaan.
Dalam rangka membentuk suatu keadaan agar evaluasi kinerja perusahaan dapat dilakukan maka sangatlah penting untuk mendefinisikan tujuan akhir suatu perseroan, yaitu kinerja perusahaan jangka panjang (Monks dan Minow, 2001). Terdapat berbagai ukuran kinerja perusahaan yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian, meliputi accounting measures dan market measures (ukuran Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 pasar). Accounting measures yang banyak digunakan sebagai proksi kinerja perusahaan antara lain: Return on equity (ROE), Return on Investment (ROI) pertumbuhan laba operasi, pertumbuhan assets, sedangkan market measures banyak menggunakan Cummulative abnomal return (CAR), Price/earnings, share price growth dan lain-lain (Margolis & Walsh, 2001).
2.4
Slack resources dan Corporate philanthropy Penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh slack resources terhadap
corporate philanthropy dilakukan oleh Bucholtz et al (1999), mereka menemukan bukti adanya hubungan positif antara slack resources dengan pemberian philanthropy dalam dua industri (Seifert et al., 2004). Penelitian lainnya dilakukan oleh Nohria & Gulati (1996) dan Sharma (2000), yaitu menggunakan ukuran persepsi atas slack resources untuk menguji hubungan antara slack resources dan phenomena non-philanthropic. Navarro (1988), melihat efek hutang atas slack resources
dan dividen terhadap corporate philanthropy. Hasilnya adalah
perusahaan yang memiliki hutang lebih tinggi akan berpengaruh pada penurunan dalam pemberian sumbangan dan sebalikanya, jika dividen naik, maka philanthropy akan naik yaitu memiliki hubungan positif (Seifert et.al 2004). Seifert et al., (2004) dalam penelitiannnya yang berjudul having ,giving and getting: slack resources, corporate philanthropy and firm financial performance, dengan 157 sample perusahaan menemukan bukti adanya hubungan positif signifikan antara slack resources yang diukur dengan cash flow dengan corporate philanthropy. Hal ini mendukung pendapat beberapa ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa corporate philanthropy itu dipengaruhi oleh slack resources.
2.5
Corporate philanthropy dan Kinerja Perusahaan Penelitian yang melihat hubungan antara corporate philanthropy dengan
profitability perusahaan menunjukkan hasil yang inconclusive (Seifert et al., 2004). Berman et al., (1999) menemukan adanya hubungan positif antara keduanya, sementara. Griffin & Mahon, (1997) tidak menemukan adanya keterkaitan antara kinerja perusahaan dengan corporate philanthropy. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Seifert et al (2004), mereka juga tidak menemukan bukti signifikan pengaruh antara corporate philanthropy dengan kinerja keuangan Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 perusahaan yang diproxikan dengan cummulative abnomal return perusahaan (Seifert et al., 2004). Penelitian lainnya dilakukan oleh Waddock & Graves (1997) namun mereka menguji keterkaitan corporate social performance dengan kinerja perusahaan dan hasilnya menemukan bukti pengaruh positif signifikan. Dalam penelitian ini, pengaruh corporate philanthropy secara langsung tidak terlihat karena corporate philanthropy merupakan salah satu ukuran kinerja sosial perusahaan (corporate social performance/ CSP) yang mana dalam penelitian tersebut tidak diterangkan dengan detail.
2.6
Pengembangan Hipotesis Prinsip utama CSR adalah the stewardship principle bersifat compulsary dan
charity principle lebih bersifat sukarela (Frederik, 1978). Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan tujuan ekonomi perusahaan. Sektor ekonomi merupakan sesuatu yang wajib, perusahaan harus mampu memiliki kinerja keuangan yang bagus untuk memenuhi charity principle. Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian lainnya yang membuktikan bahwa corporate philanthropy dipengaruhi oleh ketersediaan slack resources yang diukur dengan income dibanding sales (Adam & Hardwick, 1998), return (Bucholtz, 1999), debt to equity & perubahan dividen (Navaro, 1988) dan cash flow to sales (Seifert et al., 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 1 dalam
penelitian ini adalah:
H1: Slack resources berpengaruh terhadap Corporate philanthropy Motivasi pemberian sumbangan yang dilandasi oleh teori legitimasi dan profit (Johnson, 1966) mendorong harapan akan timbul pengaruh positif atas corporate philanthropy yang diberikan, yaitu adanya image baik perusahaan kepada pelanggan, masyarakat sekitar ataupun investor yang akhirnya diharapkan dapat memperbaiki kinerja perusahaan (Seifert et al., 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 2 dalam penelitian ini adalah: H2:
Corporate
philanthropy
berpengaruh
positif
terhadap
kinerja
perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 2.7
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan hipotesis pada point 2.6 dapat digambarkan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut: Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Slack resources
(cash flow)
H1
Corporate philanthropy
H2
Kinerja Perusahaan
III. METODOLOGI PENELITIAN Pada bagian ini akan dibahas mengenai obyek penelitian, metode pengumpulan data, model penelitian, teknik analisa data serta definisi variabel operasional. 3.1
Obyek Penelitian/ Unit Analisa Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling
yaitu pemilihan sampel yang dilakukan secara tidak acak dengan jumlah sampel yang sudah ditentukan. Obyek penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk periode tahun 2006, Sedangkan perusahaan yang diambil sebagai sampel adalah semua perusahaan yang mengeluarkan sumbangan dan mencantumkannya dalam annual report. Tabel 1. Perusahaan Sampel NO
KETERANGAN
JLM FIRM
1.
Perusahaan listed di BEI th
332
2006 2.
Perusahaan yang memberikan
90
sumbangan 3.
Perusahaan yang memberikan
16
sumbangan tetapi data tdk lengkap 4.
Perusahaan outlier
3
5.
Perusahaan sample
71
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Perusahaan sampel dibagi dalam 2 kelompok industri: non jasa keuangan dan jasa keuangan karena dalam data sampel terdapat industri jasa keuangan yang memiliki aturan khusus (regulated). Oleh karenanya, dalam penelitian ini kami ingin mengetahui apakah corporate philanthropy pada kelompok industri non jasa keuangan berbeda dengan kelompok industri jasa keuangan. Terlapir rangkuman kelompok industri data sample (table 2). Data sample penelitian adalah 71 perusahaan listed di BEI. Sampel yang diperlukan sebanyak 45 perusahaan. Artinya jumlah sampel telah sesuai dan memenuhi syarat analisis dengan menggunakan metode Maximum Likelihood pada SEM (Structural Equation Model ), yaitu sampel minimal sebanyak lima kali variable bebas yang akan dianalisa (Hair, Anderson et al, 1995) 3.2
Metode Pengumpula Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh
dari database BEI yang memuat informasi mengenai laporan keuangan perusahaan sampel. Sedangkan data tambahan diperoleh dari ICMD (Indonesian Capital Maket Directory) dan OSIRIS.
3.2
Operasional Variabel Variabel utama penelitian adalah slack resources, corporate philanthropy dan
kinerja perusahaan. Selain itu, terdapat juga variabel kontrol. Operasional variabel dijelaskan berdasarkan kelompok variabel terikat, bebas dan kontrol.
3.2.1 Variabel Terikat Corporate Philanthropy dan kinerja perusahaan adalah variable terikat. -
Corporate Philanthropy (CPH) Corporate philanthropy diproksikan dengan pengeluaran cash untuk donasi/ sumbangan dibagi dengan sales, yaitu sumbangan perusahaan baik diberikan kepada individu, kelompok/
yayasan ataupun bersifat insidentil
seperti sumbangan bencana alam. Proxy ini sebagaimana yang dilakukan oleh Seifert et al., (2004). -
Kinerja Perusahaan (CAR) Menurut Seifert et al., 2004, ukuran kinerja perusahaan berdasarkan total return stock market adalah tepat apabila digunakan untuk melihat efek
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 atas corporate philanthropy. Dengan perusahaan melakukan corporate philanthropy melalui pemberian sumbangan, maka diharapkan investor akan secara langsung memberikan reaksi melalui perubahan harga saham, tanpa harus menunggu hasil laporan keuangan perusahaan. Return dihitung dengan dua pendekatan yaitu, cummulative abnomal return (CAR) seperti yang dilakukan dalam penelitian Teoh et al (1998), dimana return diperoleh dari return harian baik untuk return perusahaan maupun return pasar. Rumus perhitungan CAR adalah sebagai berikut : ARit = Rit - Σ (Rmt)
...................(3.3)
Dengan Rit : return harian perusahaan Rmt : return IHSG CAR dihitung secara harian untuk periode 15 bulan mulai dari 1 Januari 2006 s/d 31 Maret 2007. Pengukuran abnormal return dalam penelitian ini mengunakan market adjusted model, yaitu expected return saham perusahaan telah disesuaikan dengan return index pasar.
3.2.2 Variabel Bebas Slack resources (SR) sebagai variabel bebas model persamaan pertama dan corporate philanthropy (CPH) variable bebas persamaan kedua. -
Slack resources (SR) Pengukuran Slack resources dalam penelitian ini sebagaimana dilakukan oleh Seifert et al, (2004), diproksikan dengan cash flow. Cash flow sebagai cerminan Slack resources sesuai pendekatan yang dilakukan oleh Lehn and Poulsen (1989) and Lang, Stulz and Walking (1991) yaitu merupakan laba operasi sebelum penyusutan dikurangi dengan bunga hutang, berbagai pajak dan dividen yang dikeluarkan perusahaan. Untuk mengukur relative cash flow maka hasil cash flow sebagaimana tersebut di atas di bagi dengan sales.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 3.2.3 Variabel Kontrol Corporate Philanthropy (Model Persamaan 1) SIZE, differentiation dan industry merupakan variabel kontrol model persamaan pertama -
Ukuran Perusahaan (SIZE) Perusahaan besar akan memiliki cash flow yang lebih bagus sehingga lebih banyak konsentrasi pada corporate citizenship khususnya philanthropy (Seifert et al., 2004). Size diukur dengan ln Market Capitalisasi.
-
Differentiation (DIFF) Corporate philanthropy merupakan salah satu feature khusus yang ditawarkan oleh perusahaan (Williams & Siegel, 2001) shg dapat diartikan sebagai strategi yang membedakan dengan perusahaan lain. Differentiation di-Proxy-kan dengan pengeluaran biaya penjualan, umum dan adminstrasi dibagi dengan sales (SG&A to sales) sebagaimana yang digunakan Seifert et al.,
(2004)
dan
Hambrick’s
(1983).
Differentiation
diartikan
sebagai
kemampuan kompetisi dan strategi yang mempengaruhi keputusan dalam memberikan sumbangan (Williams & Siegel, 2001). Masyarakat masih percaya bahwa peningkatan image suatu produk antara lain dikarenakan adanya sejumlah dana yang dikeluarkan untuk “Cause-Related Marketing”, yang berarti bahwa perusahaan memberikan sumbangan bersama-sama dengan pembelian barang oleh customers atau menggabungkan iklan produk dengan charity secara khusus (Varadarajan & Menon, 1988 dalam Alif, 2006). Secara teknik, Cause-Related Marketing merupakan biaya marketing yang tercantum dalam biaya penjualan, umum dan adminstrasi (SG&A). -
Industri (IND) Masing-masing industri memiliki produk ataupun jasa yang berbeda sehingga sasaran dan konsentrasi atas corporate philanthropy berbeda-beda (Buchholtz et al, 1999 & Useem, 1988 dalam Seifert et al, 2004). Industri merupakan dummy variable
3.2.4 Variabel Kontrol Kinerja Perusahaan (Model Persamaan 2) Variabel kontrol model persamaan 2 adalah: ukuran perusahaan (SIZE), risiko (RISK) dan DEBT.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 -
Ukuran perusahaan (SIZE) Ukuran perusahaan berpengaruh pada kinerja perusahaan (Waddock & Garves, 1997; Williams and Siegel; 2000, Seifert et al., 2004, Mahoney et.al, 2007), diproksikan dengan ln Market Capitalisation.
-
Risiko (RISK) Risiko diproxikan dengan koefisien beta (β). Beta mengukur sensitifitas pendapatan suatu saham terhadap pendapatan pasar dan diukur dengan pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM adalah suatu model keseimbangan harga surat berharga yang dikembangkan oleh Sharp (1964), Lintner (1965) dan Mossin (1966). Untuk menghindari adanya volatilitas yang tinggi, dalam menghitung beta digunakan return perusahaan dan return pasar mingguan selama 1 tahun. βit = cov ( Rit, Rmt )
......................(3.4)
2
σ (Rmt) Keterangan : βit : Beta yang mengukur sensitivitas return suatu saham terhadap return pasar. Rit : Return perusahaan pada periode t Rmt : Return pasar pada perusahaan t Return pasar (Rmt) = IHSGt – IHSGt-1
.......(3.5)
IHSGt—1 Return perusahaan (Rit)) = Pt – Pt-1
...............(3.6)
Pt—1 Keterangan : IHSGt : IHSG pada waktu t IHSGt-1 : IHSG pada waktu t-1 t
: periode pengamatan
Pt
: harga saham pada waktu t
Pt-1 : harga saham pada waktu t-1
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 -
Debt Debt digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai asset perusahaan. Debt diproksikan dengan debt to equity ratio (Robert ,1992); Kokuba et al., 2001 dan Sembiring, 2003).
3.3
Model Penelitian Dalam penelitian ini digunakan 2 model persamaan, sebagai berikut: CPHi = α0 + β1 SRi + β2 SIZEi + β3 DIFFi + β4 INDi + εit.... ( 3.1 ) CARi = α0 + β1 CPHi + β2 SIZEi + β3 RISKi + β4 DEBTi + εit.... ( 3.2 ) Definisi Variabel : CPH
= Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan untuk sumbangan dibagi sales
SR
= Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi sales
Size
= Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation) yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
Diff
= Differentiation : selling, general & administration to sales (SG&A/sales)
Industri
=Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1) dan industri jasa keuangan (0).
CAR
= Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15 bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
Risk
=Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan return pasar yang dilihat dari return IHSG
Debt
= Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan untuk melihat efek hutang terhadap return.
α0 β1 – β4
= Konstanta = Koefisien Regresi
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 ε
= error
Model (3.1) untuk menguji hipotesis 1 yaitu melihat pengaruh slack resources (cash flow) terhadap corporate philanthropy. Sedangkan model (3.2) untuk menguji hipotesis 2 yaitu pengaruh corporate philanthropy terhadap kinerja perusahaan. Model ini sebagaimana model penelitian yang dilakukan oleh Seifert et al. (2004), tetapi dengan berbagai pertimbangan tidak semua variabel kontrol yang digunakan Seifert et al., (2004) dimasukkan dalam model penelitian ini.
3.5
Teknik Analisa Data Penelitian ini menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan teknik
Estimasi Path Analysis untuk menguji model yang dihipotesakan. Path diagram merupakan sarana komunikasi yang efektif untuk menyampaikan ide konsep dasar model SEM (Hoyle, 1995 dalam Wijanto, 2006). -
Uji Kualitas Data Uji kualitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data sample
perusahaan itu normal dan memenuhi uji asumsi klasik. -
Uji Keccocokan (Keseluruhan) Model Uji kecocokan ditujukan untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan
atau goodness of fit (GOF) antara data dengan model, yaitu dengan melihat Goodness of Fit Index (GFI).
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Statistik Deskriptif Sampel Tabel 3 Descriptive Statistics Std. N
Minimum Maximum
Mean
Deviation
CPH
71
.00001
.00711
.0014490
.00158767
SR
71
.00251
.71532
.1199992
.13252007
SIZE
71 21.11666
DIFF
71
.00007
2.30826
.2618844
.31830624
IND
71
.00000
1.00000
.7183099
.45302471
31.81397 27.3737669 2.40120178
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 CAR
71
-4.00778
3.82964
.3244271 1.13332855
RISK
71
-3.28765
1.99264
.3885541
DEBT
71
.02000
15.28000
Valid N (listwise)
.67269873
2.7305634 3.36883103
71
Definisi Variabel : CPH
= Corporate philanthropy yaitu pengeluaran cash perusahaan untuk sumbangan dibagi sales
SR
= Slack resources (cash flow), yaitu laba operasi sebelum penyusutan dikurangi bunga hutang, pajak dan dividen di bagi sales
SIZE
= Logaritma natural dari kapitalisasi pasar (maket capitalisation) yang merupakan proxy dari ukuran perusahaan.
DIFF
= Differentiation : selling, general & administration to sales (SG&A/sales)
IND
= Dummy variables, terdiri dari industri non jasa keuangan (1) dan industri jasa keuangan (0).
CAR
= Cummulative abnomal return yang dihitung selama periode 15 bulan mulai 1 januari 2006 sampai dengan 31 Maret 2007 yang merupakan proxy dari kinerja perusahaan.
RISK
=Maket Risk, diproksikan dengan Beta. Data ini berasal dari perhitungan slope antara return perusahaan dibagi dengan return pasar yang 43 dilihat dari return IHSG
DEBT
=Total hutang dibagi dengan equity yang digunakan
untuk
melihat efek hutang terhadap return. Berdasarkan statistik deskriptif pada table 3, rata-rata corporate philanthropy (CPH) yang diukur dengan sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan dibagi dengan sales dari sampel perusahaan sebanyak 71 adalah 0.0014490 dengan standar deviasi sebesar 0.00158767, minimal CPH = 0.00001 dan maximum 0.00711. Hal ini mengindikasikan perusahaan yang termasuk dalam sampel Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 penelitian secara rata-rata memiliki sumbangan yang relatif kecil dengan rata-rata sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari penjualan. Kecilnya rata-rata sumbangan perusahaan sampel diperkirakan karena sumbangan bersifat sukarela. Slack resources (SR) yang diproksikan dengan relative cash flow (cash flow dibagi dengan sales) menunjukkan minimal 0.00251, max 0.71532, rata-rata 0.119992 dengan standart deviasi .13252007. Hal ini menunjukkan range slack resources sample perusahaan sangat jauh yaitu antara 0.00251 dengan 0.71532. Ini dapat diartikan bahwa slack resources perusahaan sample sangat bervariasi. Ukuran perusahaan yang diproksikan sengan market kapitalisasi (ln M-cap) memperlihatkan minimal size 21,1166 atau sebesar Rp.1.482.000.000, maksimum size 31,81397 atau sebesar Rp.65.559.178.000.000 dengan rata rata 27,3737 atau sebesar Rp.6.826.653.380.282. Artinya range ukuran perusahaan sampel cukup jauh dan bervariasi. Rata-rata kinerja perusahaan sample yang diproksikan dengan Cummulative abnomal return (CAR) sebesar 0,3244271. Minimum CAR -4,00778 yang berarti return perusahaan tersebut lebih kecil dari return pasar dan maximum CAR 3,8264 dengan standar deviasi sebesar 1,13332855. Ini berarti rata-rata perusahaan sample dan maximum CAR memiliki return positif, yaitu return perusahaan lebih besar dari return pasar. 4.2
Uji Kualitas Data dan Uji Asumsi Klasik Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal probability plot
dengan software SPSS 13.3 dapat disimpulkan bahwa kedua model regresi mempunyai data yang berdistribusi mendekati normal, karena data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Hal ini berarti model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas data (Gambar 2&3 terlampir). Hasil uji asumsi klasik terlihat bahwa kedua model persamaan penelitian telah memenuhi uji asumsi klasik sehingga dapat dikatakan BLUE dan dapat digunakan sebagai model persamaan penelitian (hasil uji asumsi klasik terlampir).
4.3
Hasil Pengujian Keseluruhan Model Ukuran goodness of fit index (GFI) menunjukkan secara keseluruhan model
yang dihasilkan adalah baik (Saturated). Ini dikarenakan variabel-variabel yang Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 digunakan merupakan variabel terukur dan bukan variabel laten sehingga kecocokan model dan variabel yang teramati sangat baik. Adapun ringkasan hasil uji kecocokan keseluruhan model dapat dilihat pada table 7 (terlampir).
4.4
Pengujian Hipotesis Berdasarkan output path diagram dengan software LISREL 8.8 student
version, diperoleh hasil output path diagram sebagaimana gambar 4 dan dirangkum dalam table 8.
Gambar 4 Path Diagram t-value
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Tabel 8 Hasil Output path diagram dengan Stuctural Equation Model (SEM) Variabel Terikat : CPH (H1) t-value
Keterangan
SR
1.48
Tidak Signifikan
SIZE
1.01
Tidak signifikan
DIFF *
2.45
Positif signifikan pd alpha 5%
IND *
2.23
Positif signifikan pd alpha 5%
R square = 0.16 Variabael
Terikat:
CAR
(H2) CPH **
t-value
Keterangan
1.71
Positif signifikan pd alpha 10%
SIZE **
-1.74
Negatif signifikan pd alpha 10%
RISK *
-2.16
Negatif signifikan pd alpha 5%
DEBT
0.75
Tidak Signifikan
R square = 0.14
-
Uji Hipotesis 1: Slack resources berpengaruh positif terhadap Corporate
Philanthrophy Nilai t-value variabel slack resources sebesar 1.48, yaitu lebih kecil dari tvalue 1.96 pada alpha 5% ataupun 1.68 pada alpha=10% sehingga dapat dikatakan tidak terbukti signifikan. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis 1 yang menyatakan bahwa slack resources berpengaruh positif terhadap corporate philanthropy tidak
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 terbukti secara signifikan, meskipun tanda koefisien sesuai dengan tanda yang diharapkan (positif). Menurut pendapat kami, data sampel penelitian tidak dapat mendukung hipotesis 1 (tidak terbukti secara signifikan) antara lain dikarenakan sumbangan yang diberikan perusahaan sampel relatif kecil, dengan rata-rata sumbangan sebesar 0.0014490 atau 0.145% dari sales. Apabila dibandingkan dengan rata-rata slack resources sebesar 0.11999 atau 12% dari rata-rata sales, maka dalam memberikan sumbangan tidak harus mempertimbangkan besarnya sumber dana bebas yang tersedia (slack resources). Penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh slack resources yang diproksikan dengan cash flow dengan corporate philanthropy baru pertama kali dilakukan oleh Seifert et.al (2004) yang secara empiris menemukan bukti yang signifikan adanya pengaruh positif antara slack resousrces dengan corporate philanthropy
-
Uji Hipotesis 2: Corporate philanthropy berpengaruh positif terhadap
Kinerja Perusahaan Temuan penelitian ini terhadap uji hipoteasis 2 yaitu corporate philanthropy berpengaruh positif
terhadap kinerja adalah berpengaruh positif signifikan (t-
value=1.71 pada alpha=10%). Artinya data sampel mendukung hipotesis 2. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Waddock dan Graves (1997) ; Mc Gaire et al (1988); Preston & O’Bannon (1997) Kinerja perusahaan diproksikan dengan cummulative abnormal return (CAR) karena mencerminkan reaksi pasar atas sumbangan yang diberikan perusahaan melalui perubahan harga saham perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pasar merespon
positif
atas
sumbangan
yang
diberikan
oleh
perusahaan
dan
membuktikan bahwa corporate philanthropy dapat meningkatkan image perusahaan yang akhirnya juga berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data sampel mendukung hipotesis 2.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 V. 5.1
KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Hasil penelitian kami tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara slack resources dengan corporate philanthropy (H1), tetapi ditemukan adanya pengaruh positif signifikan antara corporate philanthropy dengan kinerja perusahaan (H2). Hipotesis 1 tidak terbukti berpengaruh signifikan kemungkinannya adalah perusahaan sampel hanya memberikan sedikit sumbangan sehingga tidak akan mengganggu sumber dana yang telah dicadangan untuk operasional perusahaan. Artinya, dalam memberikan sumbangan perusahaan tidak harus mempertimbangkan besarnya dana bebas yang dapat digunakan untuk diskresi (slack resources). 2. Uji hipotesis 2, ditemukan bukti pengaruh positif signifikan antara Corporate philanthropy dengan kinerja perusahaan pada alpha=10%. Hal ini mendukung pemahaman bahwa pasar tidak hanya melihat laporan keuangan perusahaan tetapi juga merespon berbagai kegiatan perusahaan lainnya seperti pemberian sumbangan. 3. Variabel kontrol yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap corporate philanhropy adalah differentiation (DIFF) dan industri (IND). Sedangkan variabek kontrol yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap kinerja adalah RISK (t-value= -2.16) dan SIZE (t-value= -1.74), meskipun tanda koefisien tidak sesuai dengan tanda yang diharapkan (negatif)
5.2
Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan penelitian yang mungkin mempengaruhi hasil
penelitian, baik terkait dengan sampel, model, maupun operasionalisasi variabelvariabel penelitiannya. o Hanya menggunakan data sampel untuk periode tahun 2006 sehingga hasil penelitian belum 56 dapat mengakomodasi kemungkinan hubungan antar variabel penelitian dalam jangka panjang. o Tidak dilengkapi data primer yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
misalnya
persepsi
manajemen
dan
stakeholders
atas
pemahaman corporate philanthropy dan seberapa jauh komitmen mereka terhadap permasalahan tersebut. o Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 5.3
Saran Berdasarkan
kesimpulan
dan
keterbatasan
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya, maka penulis memberikan saran untuk penelitian dimasa yang akan datang, yaitu : -
Penelitian dimasa yang akan datang sebaiknya menggunakan data sampel lebih dari 1 tahun sehingga dapat mengakomodasi kemungkinan hubungan antar variabel penelitian dalam jangka panjang.
-
Menggunakan data primer untuk melihat persepsi manajemen ataupun stakholders atas pemahaman terhadap corporate philanthropy dan data tentang bentuk sumbangan yang menjadi fokus perusahaan.
-
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat (R Square) masih rendah, hal ini berarti masih terdapat variabel-variabel lainnya yang dapat menambah kontribusi sehingga dalam pengukuran corporate philanthropy dan kinerja perusahaan dapat menggunakan proksi yang berbeda atau memasukkan variabel bebas ainnya sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih beragam.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 DAFTAR PUSTAKA Aupperle et al. (1985). “ An Empirical Examination of the Relationship between Corporate
Social
Responsibility
and
Profitability”.
The
Academy
of
Management Journal, Vol. 28 No. 2 (Jun.,1985), pp. 446-463 Atkinson & Galaskiewicz (1988). “ Stock Ownership and Company Contribution to Charity”. Administrative Sciece Quarterly, Vol.33 No.1 (Mar.,1988) pp.82-100. Alif, Gunawan (2006). :Pengaruh Persepsi Sosial terhadap Produk, Realitas Sumbangan, pembingkaian pesan dan Minat berfikir terhadap respon konsumen dalam penawaran “Cause-Related Marketing”. Disertasi Program Studi Ilmu Manajemen, FE UI, 2006 Basamalah & Jermias (2005). “Social and Environmental Reporting and Auditing in Indonesia: Maintaining Organizational Legitimacy?”. Gajah Mada International journal of Business, January – April 2005. Burke and Logsdon (1996). “ How Corporate Social Responsibility pay Off”.Long Range Planning, Vol. 29 No. 4, pp. 495 – 502. Bourgeois, III (1981). “ On the Measurement of Organizational Slack”. The Academy of Management Review, Vol. 6 No. 1 (Jan.,1981), pp. 29-39. Carroll (1979). “ A three-Dimensional Consep Model of Corporate Performance”. The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 4. (Oct., 1979), pp. 497505. Cohran (2007). “The evolution of corporate social responsibility”. Business Horizon (2007) 50, 449-454. Fauzi et al., (2007). “The Link Between Corporate Social Performance and Financial Performance:
Evideence
from
Indonesian
Companies”.
Social
and
Environmental Accounting, vol1, No. 1 June 2007. Frederick, W. C (1978). From CSR1 to CSR2: The maturing of business and society thought. University of Pittsburgh Graduate School of Business. George (2005). “ Slack Resources and The Performance of Privately Held Firms”. Academy of Management Journal 2005 Hair & Anderson (2007). “Multivariate Data Analysis, 6th Edition, Pearson International Edition. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Istianingsih dan Wijanto, (2007). “ Analisa Keberhasilan Software Akuntansi Ditinjau dari Persepsi Pemakai (Studi Implementasi Model Keberhasilan Sistem Informasi)”. The first Accounting Conference. Johnson (1966). “ Corporate philanthropy: An Analysis of Corporate Contribution”. The Journal of Business, Vol. 39, No. 4. (Oct., 1966), pp.489-504. Matten & Crane (2005). “Corporate Citizenship: Toward an extended theoretical conceptualization”. Academy of Management Review. Mc.Guire et al (1988). “ Corporate Social Responsibility and Firm Financial Performance”. The Academy of Management Journal, Vol. 31 No. 4 (Decc., 1988),pp 854-872. Margolis & Walsh, (2001)/ “ People and Profit?. The search for a link between a company’s social and finacial performance”.Lawrence Erlbaum Associates, Marwah, New Jersey, London Margiono, Ari (2006). “Menuju Corporate Social Leadership”. Suara Pembaruan, 11 May 2006. Munandar, A. (2003) “Pengaruh Market Beta, Size Perusahaan, Prospek Perusahaan, Tingkat Financial Leverage, Proporsi Kepemilikan Investor Asing dan Sektor Industri terhadap Imbal Hasil Saham – Saham yang tercatat di BEJ tahun 1997 – 2001. Tesis Pascasarjana Ilmu Manajemen FE UI. Nachrowi, Nachrowi Djalal, dan Hardius Usman (2006). “Pendedkatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nachrowi, Nachrowi Djalal, dan Hardius Usman (2005). “ Penggunaan Teknik Ekonometri: Pendekatan Populer dan Praktis Dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data dengan menggunakan Paket Program SPSS”. PT Raja Grafindo Persada. Navaro, P. (1988). “Why do corporation give to charity”, journal of Business, 61, 6593 Nohria and Gulati (1996). “ Is Slack good or Bad for Innovation? The Academy of Management Review, Vol. 39 No. 5 (Oct.,1996), pp. 1245-1264. Palupi dan Hutagaol (2007). “Analisa Hubungan Variabel Akuntansi Terhadap Return dedngan Beta sebagai Variabel Intervenig (Studi Empiris dengan menggunakan Structural Ecuation Model)”. The first Accounting Conference. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Prahalad & Hamel (1994). “Strategy as a field of study: Why search for a new paradigm?”. Strategy Management Journal, 15, pp5-6. Sasse & Trahan (2007). “ Rethinking the new corporate philanthropy” Business Horizon (2007) 50, 29-38. Sayekti dan Wondabio (2007). “Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coeffisient (Suatu Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”. Simposium Nasional Akuntansi X. Sembiring (2003). “Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada Hutang,
dan
Pengungkapan
Tanggung
Jawab
Sosial
Perusahaan”.
Simposium Nasional Akuntansi VI. Seifert, Morris and Bartkus (2004). “ Having, Giving, and Getting: Slack resources, Corporate philanthropy, and Firm Financial Perfromance”. Business and Society; Jun 2004. Sharfman et al. (1988). “ Antecedents of Organizational Slack”. The Academy of Management Review, Vol. 13 No. 4 (Oct.,1988), pp. 601-604. Useem (1988). “Market and Institutional factors in corporate contribution”. Califor nia management review. Waddock & Graves (1997). “ The Corporate Social Performance-Fiancial Performance Link”.Strategic Management Journal, Vol. 18, No. 4 (Apr.),pp 303-319. Wijanto (2008). “ Structural Equation Modeeling dengan LISREL 8.8”. Graha Ilmu Williams and Siegel (2000). “ Corporate Social Responsibility and Finacial Performance: Correlation or Misspecification?”. Strategic Management Journal, Vol. 21 No. 5, (May, 2000), pp.603-609. Williams and Siegel (2001). “Corporate Social Responsibility: A theory of the firm perspective. The academy of management review, vol 26 No. 1 (Jan.,2001) pp.117-127
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 LAMPIRAN : 1. Kelompok Industri: Tabel 2. Pengelompokkan Industri Perusahaan Sampel NO
KELOMPOK INDUSTRI
Jumlah
JUMLAH
masing2
PERUSAHAAN
kelompok 1.
Non Jasa Keuangan:
51
Property
9
Retail Trade
7
Telecommunication &
7
Transport
2
Mining
6
Manufaktur
10
Others
12
Jasa keuangan :
20
Perbankan
9
LKBB
3
Securities
4
Asuransi
4
Jumlah perusahaan
71
sampel
Data 2.
Uji Normalitas Data Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal probability plot
dengan software SPSS 13.3 untuk kedua model terdapat pada gambar 2 & 3 di bawah ini:
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Gambar 2 Scatter plot model persamaan 1: Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: CPH 1.0
Expected Cum Prob
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Gambar 3 Scatter plot model persamaan 2
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: CAR 1.0
Expected Cum Prob
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 3. Uji Asumsi Klasik Dalam melakukan uji model regresi, harus memenuhi syarat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), yaitu harus dilakukan uji multikoliniaritas, uji otokorelasi dan uji heteroskedastis. - Uji Multikolinearitas Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variable bebas (independent). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variable bebas. Hasil uji korelasi masing-masing varibel bebas dilihat dari nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Uji Multikolinieritas Model
Variabel
Persamaan
Bebas
Model 1
Model 2
Tolerance
VIF
SR
0,895
1,118
SIZE
0,944
1,059
DIFF
0,955
1,047
IND
0,901
1,110
CPH
0,976
1,025
SIZE
0,931
1,074
RISK
0,979
1,021
DEBT
0,923
1,084
Hasil pengujian multikolinieritas model persamaan 1 dan 2 dapat dilihat pada table 4, menunjukkan bahwa semua variabel bebas baik untuk model 1 maupun model 2 mempunyai nilai VIF (Variance Inflation Factor ) lebih kecil dari 5 atau nilai tolerancenya mendekati angka 1. Dengan demikian dapat disimpulkan, baik pada persamaan model 1 maupun 2, tidak terdapat multikolinieritas yang berarti bahwa pada kedua model persamaan tersebut tidak ada korelasi yang kuat antar variabel bebas.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 - Uji Heteroskedastisitas Tabel 5 Uji Heteroskedastisitas Model
Probability
Keterangan
Obs.R-Square Persamaan 1
0.310138
>0.05
:
homoskedastis Persamaan 2
0.854553
>0.05: homoskedastis
Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah menggunakan uji white heteroskedasticity test dengan menggunakn software E-views yang melihat angka probabilitas pada observasi di X dengan R2 harus lebih besar dari 0,05. Pada table 5 dapat dilihat bahwa nilai R2 pada persamaan 1 adalah sebesar 0,300583 dan R2 persamaan 2 nilai juga lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,854553. Dari hasil uji white heteoskedasticity menunjukkan bahwa pada kedua model persamaan tersebut terjadi adanya ketidaksamaan variance dari residual. Dengan demikian error bersifat homoskedattis.
Uji Autokorelasi Tabel 6 Uji Autokorelasi Model
Nilai
Durbin- Keterangan
Persamaan
Watson (DW)
Model 1
1.839
Bagus
Model 2
1.686
Bagus
Uji autokorelasi yang paling sederhana dilakukan dengan menguji apakah dalam sebuah model regresi terdapat hubungan serial antara error pada observasi yang satu dengan error pada observasi yang berikutnya. Model regresi yang terbaik adalah model regresi yang bebas Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 dari autokorelasi, yakni bila angka Durbin Watson berada diantara -2 sampai +2 ( Santoso, 2001 ) dengan menggunakan SPSS 13. Hasil dapat dilihat pada lampiran yang mana nilai DW atas persamaan model peneiltian masing – masing sebesar11.839 dan 1.686 yang berarti kedua model persamaan penelitian tidak terdapat otokorelasi. Dari hasil uji asumsi klasik tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedua model persamaan penelitian telah memenuhi uji asumsi klasik sehingga dapat dikatakan BLUE dan dapat digunakan sebagai model persamaan penelitian.
4. Hasil Pengujian Keseluruhan Model Tabel 7 Uji kecocokan keseluruhan model.
Ukuran
Target
Hasil
Tingkat
GOF
Tingkat
Estimasi
Kecocokan
Kecocokan Chi-Square
Nilai
Df
kecil
yang X2 =6,25 5
>0 RMSEA
Baik
(Good
fit) Baik (Good fit
RMSEA
< 0.062
P (close fit)- 0.08
Baik
(Good
fit)
keseluruhan P > 0.50
P= 0.28274
model
Baik
(Good
fit) ECVI
Nilai
yang M = 1.07
lebih kecil dari I = 1.13
Baik
Independence S = 1.12
fit)
dan
(Good
lebih
dekat
ke
Saturated Model Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Ukuran
Target
Hasil
Tingkat
GOF
Tingkat
Estimasi
Kecocokan
Kecocokan AIC
Nilai
yang M = 68.25
lebih kecil dari I = 72.06
Baik
(Good
fit)
Independence S = 72.00 dan
lebih
dekat
ke
Saturated Model CFI
CFI > 0.90
0.94
Baik
(Good
fit) GFI
GFI > 0.90
Goodness fit
of Baik.
(Good
Index Fit)
(GFI)=0.98 IFI
GFI > 0.90
Incremental
Baik
(Good
Fit Index (IFI) fit) = 0.97
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV09- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH KONSENTRASI KEPEMILIKAN, UKURAN PERUSAHAAN, DAN MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN SUKARELA1
Nuryaman Universitas Widyatama, Bandung
Abstract The background fenomena of this study is the fact that low of disclosure practice on the financial reporting. The objectives of the research are to find out empirical evidence of the effect of ownership concentration, firms size, and corporate governance mechanisms on voluntary disclosure. The corporate governance mecanisme of this research are composition of board of commissioner and audit quality. Audit quality were measure by industry specialize audit firm. This study is explanatory research. The target population was listed companies in the manufacturing sector at the Jakarta Stock Exchange. The sample determined based on purposive samping methode, andin conformity with the following criteria : (a) the annual report ended 31 December 2005 ; (b) book value of equity is positive. There were 101 companies meeting the criteria. The research hyphotesis were tested using multiple regression analysis.The result of this research show that: (1) ownership concentration had significantly positive influence on voluntary disclosure; (2) firms size had significantly positive influence on voluntary disclosure; (3) composition of board of commissioner had no influence on voluntary disclosure; (4) audit quality wich measured by proxy industry specialize audit firm had significantly positive influence on voluntary disclosure.
Keywords : ownerships concentration, firms size, corporate governance mechanisms, voluntary disclosure.
1
Disajikan pada 2nd.Accounting Conference di Universitas Indonesia, November 2008.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1. Pendahuluan Informasi pada pelaporan keuangan sangat membantu investor dalam pengambilan keputusan transaksi investasi di Pasar modal. Bagi pihak-pihak di luar manajemen perusahaan, laporan keuangan merupakan media informasi untuk mengetahui kondisi perusahaan. Sejauh mana informasi dapat diperoleh tergantung pada sejauh mana keterbukaan informasi dan pengungkapan (disclosure) pada pelaporan keuangan emiten. Dalam Tahun 2004 sampai dengan Maret 2005, Bapepam mencatat ada 44 kasus pelanggaran pasar modal, 42% di antaranya adalah perusahaan manufaktur. Dari 44 kasus pasar modal tersebut terdapat 26 kasus (60 %) menyangkut benturan kepentingan, keterbukaan informasi dan penyajian laporan keuangan (Bapepam, 2005). Benturan kepentingan dan tidak diungkapkannya informasi penting akan menyebabkan kerugian bagi fihak investor eksternal. Hasil survey
Pricewaterhouse and Coopers terhadap investor-investor
internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terendah dalam bidang standar pengungkapan dan transparansi, serta penerapan auditing. Posisi Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya dan Australia dalam
hal
praktik
pengungkapan
dalam
laporan
keuangan,
Indonesia
dikelompokkan pada kelompok paling buruk bersama dengan Thailand, China dan India (FCGI,2004). Pengungkapan dalam laporan keuangan akan memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi sebagai efek dari efisiensi pasar modal. Beberapa hasil riset telah memberikan kesimpulan bahwa
pengungkapan sukarela berguna untuk
mengurangi kesenjangan informasi antar para pelaku pasar modal, sehingga investor percaya bahwa transaksi saham di pasar modal terjadi pada harga yang wajar. Kepercayaan investor ini kemudian akan diikuti dengan peningkatan likuiditas saham (Jiambalvo,1996), penurunan biaya modal (Botosan, 1997), dan pada akhirnya menciptakan pasar modal yang efisien (Healy, 1999 dan Bailey, 2002). Dalam sudut pandang teori keagenan, rendahnya pengugkapan informasi pada pelaporan keuangan timbul sebagai dampak persoalan keagenan yaitu adanya ketidak selarasan kepentingan antar pemilik dan manajemen (Beneish, 2001). Menurut teori keagenan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan Bridging the Gap between Theory and Practice
tata
GOV10- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kelola perusahaan yang baik (good corporate governance=GCG). Corporate Governance (CG) merupakan suatu mekanisme yang digunakan pemegang saham dan kreditor perusahaan untuk mengendalikan tindakan manajer (Dallas, 2004). Mekanisme tersebut dapat berupa mekanisme internal yaitu; struktur kepemilikan yang salah satu aspeknya adalah konsentrasi kepemilikan saham, struktur dewan komisaris yang salah satu aspeknya adalah komposisi Dewan Komisaris, dan mekanisme eksternal yaitu; pengendalian oleh pasar, kepemilikan institusional, serta audit oleh auditor eksternal (Babic 2001). Pengungkapan informasi yang kurang memadai dapat merugikan pemegang saham, dan informasi yang disajikan dapat menyebabkan keputusan investasi yang salah, karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela, yang pada penelitian terdahulu hasilnya belum konsisten. Faktor-faktor tersebut adalah konsentrasi
kepemilikan,
ukuran
perusahaan,
dan
mekanisme
corporate
governance. Mekanisme corporate governance dalam hal ini adalah komposisi Dewan komisaris dan kualitas audit oleh auditor eksternal dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP). Zaki Baridwan et al 2001 (Utami 2005) meneliti praktik pengungkapan wajib (mandatory) emiten di Bursa Efek Jakarta. Indek pengungkapan dari 100 sampel laporan keuangan emiten tahun 2000 rata-rata adalah 96 %, artinya emiten telah memenuhi pengungkapan 96 % dari 721 item yang wajib diungkapkan menurut standar akuntansi dan peraturan Bapepam. Hasil penelitian tersebut menunjukan praktek pengungkapan wajib sudah ditaati oleh emiten. Penelitian ini meneliti pengungkapan sukarela, karena dipandang lebih relevan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam beberapa hal: (1) penelitian ini menekankan pada konsentrasi kepemilikan oleh individu sebagai mekanisme corporate governance. Beberapa penelitian terdahulu di Indonesia lebih menekankan pengujian pada kepemilikan saham oleh kelompok tertentu sebagai suatu mekanisme corporate governance; dan (2) Penelitian terdahulu di Indonesia (Veronica 2005) menggunakan ukuran KAP sebagai proksi kualitas audit. Penggunakan proksi ukuran KAP mendapat kritikan setelah merebaknya kasus Enron yang melibatkan KAP besar. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Berdasarkan uraian yang di muka, maka secara spesifik dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut : (1) Apakah konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; (2) apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; (3) apakah komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela; dan (4) apakah kualitas audit dengan proksi spesialisasi industri KAP berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
2. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian Kepemilikan terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di negara dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara continenal Europe. Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat, struktur kepemilikan relatif sangat menyebar (La Porta dan Silanez, 1999). Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan dibandingkan dengan lainnya. (Dallas, 2004). Konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen, sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas
monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar
menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen (Hubert dan Langhe, 2002).Jika ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen berupa menyembunyikan informasi dapat dikurangi. Lakhal
(2004)
berpendapat
konsentrasi
kepemilikan
saham
dapat
mempengaruhi luas pengungkpan pada laporan keuangan. Menurutnya, pada perusahaan yang kepemilikan sahamnya terkonsentrasi, fihak insider yaitu pemegang saham pengendali kurang tertarik dengan pengungkapan sukarela, karena mereka dapat mengakses langsung informasi tanpa melalui laporan keuangan, sehingga konsentrasi kepemilikan saham diduga berhubungan negatif dengan pengungkapan sukarela.
Namun sebaliknya, Haniffa (2003) dan Mohd
(2005) menyatakan bahwa untuk mengurangi asimetri informasi maka pemegang Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
saham
pengendali
akan
meningkatkan
pengungkapn
informasi,
untuk
menselaraskan kepentingan antar pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas. Peningkatan kepemilikan saham, akan berbanding lurus dengan cash flow terhadap pemegang saham. Jika harga saham atau nilai perusahaan turun maka pemegang saham pengandali yang paling banyak merasakan dampak kerugian dari penurunan nilai perusahaan tersebut. Capital markets transactions hypothesis (Healy dan palepu 2000) menghipotesiskan bahwa ketika manajemen/pemegang saham pengendali perusahaan berada pada posisi superior information, maka akan menimbulkan asimetri informasi antar pemegang saham pengendali/manajemen dengan
pemegang
saham
minoritas.
Tingginya
asimetri
informasi
akan
meningkatkan biaya modal, sehingga akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut, oleh karena itu pemegang saham pengendali harus menjaga kepentingan pemengang saham minoritas dengan mendorong manajemen untuk meningkatkan pengungkapan informasi guna mengurangi asimetri informasi. Hipotesis penelitian kesatu : Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap Pengungkapan sukarela. Perusahaan yang berukuran besar memiliki basis pemegang kepentingan yang lebih luas, sehingga berbagai kebijakan perusahaan besar akan berdampak lebih besar terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Bagi investor, kebijakan perusahaan akan berimplikasi terhadap prospek cash flow dimasa yang akan datang. Sedangkan bagi regulator (pemerintah) akan berdampak terhadap besarnya pajak yang akan diterima, serta efektifitas peran pemberian perlindungan terhadap masyarakat secara umum. Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi pengungkapan sukarela. Semakin besar perusahaan akan menghadapai biaya politik yang tinggi, perusahaan besar akan menghadapi tuntutan lebih besar dari para stakeholder untuk menyajikan laporan keuangan yang lebih transparan. Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Marwata (2001), Haniffa and Cooke2(2002), dan Leung (2005). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berhubungan positif dengan pengungkapan sukarela. Halim, dkk (2005) meneliti hubungan ukuran Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
perusahaan dengan pengungkapan sukarela, dengan sampel 37 perusahaan kelompok LQ 45 data Tahun 2001. Hasilnya menyimpulkan ukuran perusahaan memiliki hubungan positif yang lemah dengan pengungkapan sukarela.Dari segi metodologi, sample penelitian Halim (2005) kurang representative. Hipotesis penelitian kedua: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap
pengungkapan sukarela.
Problem keagenan terjadi ketika timbul konflik antar tujuan pemilik (prinsipal) dengan para direksi/top management sebagai agen. Para pemilik mengalami kesulitan untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh manajemen. Konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme yang mampu mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku pemilik dengan kepentingan manajemen. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnisnya (Tjager, 2003). Corporate governance merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola perusahaan dengan maksud untuk meningkatkan kemakmuran dan akuntabilitas perusahaan, yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholders value. Pengendalian diarahkan pada pengawasan perilaku manajer, sehingga tindakan yang dilakukan manajer dapat bermanfaat bagi perusahaan dan pemilik (Monk dan Minow, 2001). Babic (2005) menyatakan bahwa sistem corporate governance dapat berbeda tergantung atas bagaimana mekanisme pemilik perusahaan
mempengaruhi
manajer.
Secara
umum
mekanisme
corporate
governance terdiri atas dua jenis yaitu: (1) The internal mechanisms of corporate governance; dan (2) The external mechanismst of corporate governance. Mekanisme internal adalah cara-cara pengendalian perusahaan dengan menggunakan berbagai elemen yang ada di dalam organisasi misalnya komposisi dewan
komisaris.
perusahaan
selain
.Mekanisme dengan
eksternal
menggunakan
adalah
cara-cara
mekanisme
mengendalikan
internal
perusahaan
diantaranya menghadirkan para agen yang dikenal karena reputasinya (reputational agent) dalam hal ini termasuk “profesi akuntan” (World Bank, 1999). Faktor
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
eksternal dimakusudkan untuk mendisiplinkan perilaku fihak insider agar lebih transparan, akuntabel dalam mengelola korporasi. Peranan dewan komisaris dapat dilihat dari karakteristik dewan, salah satunya adalah komposisi keanggotaannya. Efektivitas fungsi pengawasan dewan tercermin dari
komposisinya, apakah pengangkatan anggota dewan berasal dari dalam
perusahaan dan/atau dari luar perusahaan. Komposisi keanggotaan dewan dalam hal ini, semakin besar persentase anggota yang berasal dari luar perusahaan, akan mejadikan peranan dewan komisaris semakin efektif dalam melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap pengelolaan perusahaan, karena dianggap
semakin
independen. Di Indonesia anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan digunakan terminologi komisaris “ekstern“ atau “independen”. Barnhart & Rosenstein 1998 membuktikan bahwa semakin tinggi perwakilan dari outside director (komisaris independen) maka semakin tinggi independensi dan efektivitas board of director dalam menjalankan perannya. Disamping itu, Komisarin independen dapat berfungsi untuk menselaraskan kepentingan para pemegang saham dalam rangka melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. Penelitian Willekens et al (2003), Lueng (2005), Cheng and Courteney (2004), dan Susilowati et al (2005) memberikan simpulan bahwa komposisi dewan komisaris di perusahaan dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela pada laporan tahunan.
Hipotesis penelitian ketiga: Komposisi
anggota
Dewan
Komisaris
berpengaruh
ositif
terhadap pengungkapan sukarela. Eksternal
auditor
dapat
menjadi
mekanisme
pengendalian
terhadap
manajemen. Sebagai reputational agent, akuntan melakukan audit atas laporan keuangan, untuk memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan yang disajikan manajemen, oleh karena itu dilihat dari sisi hubungan keagenan maka eksternal auditor merupakan agen yang bekerja untuk kepentingan prinsipal. IAI dalam pernyataan Standar Auditing (PSA No.4 tahun 1994) menyatakan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor. Dari penjelasan di muka nampak bahwa Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
agar akuntan eksternal berperan optimal maka harus memberikan jasa audit berkualitas. Kualitas audit dapat dipenuhi jika, audit dilakukan oleh auditor kompeten dan independen. Dengan demikian kompetensi dan independensi merupakan dimensi dari kualitas audit. Chen et al (2005) mengembangkan dua dimensi kualitas audit. Pertama, kualitas audit adalah audit yang dapat mendeteksi kesalahan penyajian informasi keuangan. Kedua, salah saji yang material pada laporan keuangan harus disajikan pada laporan audit. Menurut Dunn and Mayhew (2004), kualitas audit dengan menggunakan proksi spesialisasi industri KAP dapat mempengaruhi pengungkapan pada laporan keuangan. Auditor spesialis industri dapat membantu perusahaan klien dalam penyajian pengungkapan di luar yang dipersyaratkan oleh GAAP. Industry specialis auditor
yang memiliki
pengetahuan
dan keahlian industru tertentu dapat
dimanfaatkan secara cost effektive oleh klien untuk membantu klien dalam mengembangkan strategi pengungkapan spesifik industri. Pemilihan auditor spesialis juga merupakan sinyal (isyarat) terhadap investor, bahwa perusahaan bermaksud menyajikan pengungkapan informasi berkualitas
.Penelitian mereka
memberikan simpulan bahwa spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan. Hipotesis penelitian keempat : Spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.
3. Metodologi Penelitian 3.1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi sasaran penelitian ini adalah perusahaan publik sektor manufaktur yang
aktif
selama
Tahun
2005,
yaitu
sebanyak
137
perusahaan
(www.Bapepam.com). Dari Populasi tersebut sampel ditentukan yang memenuhi empat kriteria sebagai berikut: (1) Emiten mempunyai Tahun buku yang berakhir 31 Desember 2005; (2) Emiten mempunyai nilai ekuitas positif untuk
2005; (3)
Tersedia Laporan keuangan tahunan emiten 2005 di BEJ; dan (4) Terdapat minimal 30 perusahaan dalam setiap kelompok industri manufaktur.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.2. Definisi dan Operasionalisasi Variabel Penelitian 1) Konsentrasi Kepemilikan Saham Kepemilikan saham terkonsentasi (KS) adalah suatu kondisi di mana sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu/kelompok, sehingga individu atau kelompok tersebut memiliki jumlah saham relatif dominan dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Konsentrasi kepemilikan saham pada penelitian ini diproksi dengan jumlah kepemilikan terbesar oleh individu.
2) Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan (LOG PNJ) adalah besar kecilnya perusahaan. Pada penelitian ini ukuran perusahaan menggunakan nilai log total penjualan perusahaan pada akhir tahun. Penggunaan nilai log penjualan dimaksudkan untuk menghindari problem data natural yang tidak berdistribusi normal (Chen, 2005)
3) Komposisi Dewan Komisaris Komposisi Dewan Komisaris (BOD) adalah susunan keanggotaan yang terdiri dari komisaris dari luar perusahaan (komisaris independen) dan komisaris dari dalam perusahaan. Variabel ini dihitung dengan membagi jumlah komisaris independen terhadap jumlah total anggota komisaris.
4) Spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik (KAP) Spesialisasi industri KAP (AUDIT) menggambarkan keahlian dan pengalaman audit KAP pada bidang industri tertentu, yang diproksi dengan konsentrasi jasa audit KAP pada bidang industri tertentu. Spesialisasi industri KAP pada penelitian ini adalah KAPi yang memiliki volume klien minimal 15 % dari jumlah klien pada kelompok industri tertentu (Craswell, 1995; Mayangsari, 2003; dan Chen, 2005b). Pengukuran variabel ini yaitu beri nilai 1 jika perusahaan diaudit oleh KAP spesialis, dan 0 jika lainnya (variabel dummy). Berdasarkan definisi Craswell (1995) industri manufaktur di BEJ (BEI) terklasifikasi dalam tiga kelompok yaitu industri: (1) dasar dan kimia; (2) aneka industri; dan (3) barang konsumsi. Kemudian pada masingmasing kelompok tersebut, suatu KAP akan ditetapkan sebagai KAP spesialis jika
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
KAP tersebut memiliki klien minimal 15% dari jumlah klien perusahaan pada masing-masing kelompok industri manufaktur.
5) Pengungkapan Sukarela Pelaporan keuangan (Financial reporting) lebih luas dari laporan keuangan. Pelaporan
keuangan
meliputi
laporan
keuangan
dan
berbagai
informasi
tambahannya. Financial reporting meliputi laporan keuangan itu sendiri ditambah berbagai suplemennya dalam berbagai bentuk agar dapat memberikan gambaran keuangan dan operasi perusahaan secara memadai untuk kepentingan pemakai laporan keuangan. Dalam SFAC No.5 dijelaskan bahwa financial reporting mencakup: (1) Basic financial statement; (2) supplementary information; dan (3) Other means of financial reporting. Basic Financial Statement meliputi: (1) Statement of financial position; (2) Statement of earnings and comprehensive income; (3) Statement of cash flow; (4) statement of invesment by and distributions to owners; dan (5) Notes to Financial Statement. Basic financial statement inilah yang harus taat pada standar akuntansi dan merupakan laporan yang diaudit. Manajemen perusahaan bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang lengkap menurut pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK no.1, par.7) terdiri dari komponenkomponen: (a) neraca; (b) laporan laba-rugi; (c) laporan perubahan ekuitas; (d) laporan arus kas; dan (e) catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan dengan menerapkan
PSAK secara benar disertai
pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam catatan atas laporan keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan oleh standar akuntansi (PSAK no.1 par.10) Selain catatan atas laporan keuangan, perusahaan juga dianjurkan untuk memberikan informasi tambahan. Informasi tambahan yang dianjurkan meliputi: (1) telaah keuangan yang menjelaskan karakteristik utama yang mempengaruhi kinerja Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
perusahaan; (2) posisi keuangan perusahaan; (3) kondisi ketidakpastian; (4) laporan mengenai lingkungan hidup; dan (5) laporan nilai tambah (PSAK no.1 par,8,9). Dari sumber PSAK tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Catatan atas laporan keuangan adalah merupakan pengungkapan yang diharuskan oleh standar akuntansi. 2. Informasi lain (informasi tambahan) adalah merupakan pengungkapan yang dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhn pemakai. Dengan demikian, informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah pengungkapan informasi yang diharuskan menurut ketentuan yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam; (2) pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang melebihi dari yang diwajibkan. Diluar yang diharuskan oleh peraturan adalah merupakan pengungkapan sukarela manajemen. Pengungkapan sukarela menurut Choi (1999) praktik pengungkapan yang tidak diharuskan oleh standar akuntansi dan regulasi adalah pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Praktik pengungkapan sukarela dari studi komparatif beberapa negara dapat meliputi (Choi 1994,1999) : 1. Disclosure of forward-looking information, hal ini mencakup : a.Forecasts of revenue, income, eps, capital, expenditure and other financial item b.Prospective information about future economic performance or position that is less definite than forecast in terms in projected item, fiscal periode, and projected amount. c. Statement of management’s plans and objective for future operations 2. Social responsibility disclosure 3. Special disclosure for non domestic financial statement users 4. Employee disclosure 5. Value added disclosure 6. Enviromental concern
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PSAK dan SFAC secara implisit menyebutkan bahwa kualitas pengungkapan terkait dengan relevansi infomasi yang diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar. Kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan dikenal dengan
berbagai
konsep
antara
lain
kecukupan
(adequty),
kelengkapan
(compleetness), informatip (informativeness) dan tepat waktu (time lines) (Marwata, 2001). Imhoff (1992) menunjuk pada tingkat kelengkapan (completeness) sebagai karakteristik
kualitas
pengungkapan.
Indikator
empirisnya
berupa
indek
pengungkapan (disclosure index) yang merupakan rasio antara jumlah elemen (item) informasi yang dipenuhi dengan jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi indeks pengungkapan, makin tinggi kualitas pengungkapan. Penelitian ini dibatasi pada upaya untuk melihat tingkat kelengkapan pengungkapan sukarela perusahaan publik sektor manufaktur di Indonesia, sebagai salah
satu
dimensi
kualitas
pengungkapan.
Penelitin
ini
tidak
mengukur
kejelasan/kerincian pengungkapan, serta ketepatan waktu pengungkapan. Instrumen pengukuran pengungkapan sukarela dalam penelitian ini dirancang dengan mengacu pada peraturan Bapepam Nomor.VIII G.2 /1996, tentang penyampaian laporan tahunan yang akan dimodifikasi dengan instrumen dari: (1) penilaian laporan tahuan perusahaan publik (annual report award) dari Bapepam (2005); (2) Khomsiyah dan Utami (2005); (3) Botosan (1997); (4) Chau and Gray (2002); serta (5) Suripto dan Baridwan (1999). Dalam
penelitian
ini
kelengkapan
pengungkapan
diukur
dengan
item
pengungkapan tanpa memberikan pembobotan. Pemakaian pendekatan tersebut didasarkan pada dua alasan : (1) laporan tahunan didasarkan untuk tujuan umum, sehingga terdapat kemungkinan suatu item informasi penting untuk fihak tertentu tetapi tidak penting untuk fihak lain; dan (2) untuk menghindari subyektivitas pemberian bobot kepada masing-masing item pertanyaan pada instrumen pengungkapan. Perhitungan indeks kelengkapan pengungkapan sukarela (IKPS) dilakukan dengan memberi skor untuk setiap item pengungkapan secara dikotomis. Jika suatu item diungkapkan diberi skor 1, dan jika tidak diungkapkan mendapat nilai 0. Skor
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. IKPS dihitung sebagai berikut : ∑ Q IKPS
= --------- x 100 % ∑ S
Keterangan : IKPS = Indek kelengkapan pengungkapan sukarela Q = Item kelengkapan pengungkapan sukarela yang disajikan dalam laporan tahunan S= Semua item kelengkapan pengungkpan sukarela yang diharapkan, terdapat pada instrumen. Data pengungkapan sukarela dapat diperoleh dari laporan tahunan perusahaan.
3.3. Metode Pengumpulan Data Data-data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data kuantitatif yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal di BEI, berupa laporan keuangan dan laporan tahunan 2005 perusahaan industri sektor manufaktur yang tersedia.
3.4. Rancangan Model Analisis. Rancangan model analisis menggunakan regresi berganda sebagai berikut : PSi
=
a + d1 KS + d2 LOG PNJ i + d3 BOD i + d4 AUDIT
i
+ ε2.i
Di mana : PS
= Indeks pengungkapan sukarela
a
= Konstanta
d1,2,3,4
= Koefisien variabel ke 1 sampai dengan 4
KS
= Persentase kepemilikan saham terbesar dari total saham beredar
LOG PNJ
= Log total penjualan, yaitu proksi dari ukuran perusahaan
BOD
= Proporsi komisaris independen dari total anggota dewan komisaris
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
AUDIT
= Dummy variabel, 1 untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP spesialis, yaitu KAPi yang memiliki pangsa pasar minimal 15% klien perusahaan dari jumlah klien pada kelompok industri tertentu, dan 0 jika lainnya.
ε 2.it
= residual of error
it
= perusahaan ke i
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Statistik Deskriptif Seperti disajikan pada Tabel 1, sampel penelitian ini berjumlah 101 perusahaan atau 73,7 % dari 137 emiten manufaktur populasi target penelitin ini. Jumlah ini ditentukan sesuai dengan laporan tahunan yang berhasil diperoleh penulis, serta memenuhi kriteria sampel seperti yang ditetapkan Tabel 1. :Presentase Perusahaan Sampel Menurut Jenis Industri No.
Kelompok & Sub Industri
Jumlah
Jumlah
Persentase
Manufaktur
Perusahaan Sampel
Sampel
Kel. Industri Dasar dan Kimia 1.
Semen
3
2
66, 70
2.
Keramik dan Porselin
5
4
80
3.
Logam dan Sejenisnya
10
9
90
4.
Kimia
10
10
100
5.
Plastik dan kemasan
11
8
72,73
6.
Pakan ternak
4
3
75
7.
Kayu & pengolahannya
5
4
80
8.
Pulp & kertas
5
3
60
15
11
80
Kel. Aneka Industri 9.
Otomotif & komponennya
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
No.
Kelompok & Sub Industri
Jumlah
Jumlah
Persentase
Manufaktur
Perusahaan Sampel
Sampel
10.
Tekstil dan garmen
21
9
42,86
11.
Alas kaki
3
1
33,33
12.
Kabel
6
4
66,67
Kel. Barang Konsumsi 13.
Makanan & minuman
17
14
82,35
14.
Rokok
4
3
75
15.
Farmasi
10
8
80
16.
Kosmetik
3
100
dan
Keperluan 3
rumah tangga 17.
Peralatan rumah tangga
5
5
100
Jumlah Total
137
101
73,7 %
Pada Tabel 2
terlihat bahwa konsentrasi kepemilikan saham di industri
manufaktur relatif tinggi. Rata-rata konsentrasi kepemilikan saham sebesar 50,11 %, dengan standar deviasi 23,03 %. Statistik deskriptif ukuran perusahaan menunjukan log total penjualan sangat variatif dengan rata-rata 5,79 dengan standar deviasi 0,61. Rata-rata komposisi dewan komisaris
(BOD) sebesar 35,88 % dengan
standar deviasi 11,34 %. komposisi minimun 0 % dan komposisi maksimum 66,66 %. Penelitian Budiwijaksono (2005) melaporkan rata-rata komposisi dewan komisaris pada Tahun 2001 dan 2002 masing-masing 35,03 % dan 37,35 %. Jika komposisi tersebut diperbandingkan, nampak komposisi dewan komisaris pada emiten industri manufatur tidak mengalami perubahan signifikan. Pengungkapan sukarela (PS) menunjukkan bahwa rata-rata pengungkapan hanya 43,70 %, artinya pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan hanya berkisar 43,70 % dari seluruh total item pengungkapan yang diharapkan. Tabel 2: Statsistik
deskriptif Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan,
Komposisi Dewan Komisaris.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Descriptive Statistics Minimu
Maximu
m
m
N KS
101
3.14
LOG.PNJ
101
4.25
BOD
101
PS
101
Valid N
Std. Mean
Deviation
99.50 50.1070 7.79
23.02721
5.7913
.61267
.00
66.66 35.8843
11.34982
20.00
78.00 43.7079
12.88706
101
(listwise)
Tabel 3 menunjukkan terdapat 75 perusahaan (74,3%) diaudit oleh KAP non spesialis (dummy,audit=0), dan 26 perusahaan (25,7%) diaudit oleh KAP spesialis (dummy,audit=1). Tabel 3: Statistik Deskriptif Spesialisasi Industri Kantor Akuntan Publik. Firm Frequen cy
Cumulat Perce
Valid
ive
nt
Percent
Percent
Non Spesiali
75
73.5
74.3
74.3
26
25.5
25.7
100.0
101
99.0
100.0
1
1.0
s KAP Spesiali s KAP Total Missin System g Total
102 100.0
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4.2. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Analisis regresi digunakan untuk menguji hubungan pengaruh konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan sukarela. Berdasarkan pengujian data terhadap ketiga kaedah yang mendasari asumsi klasik
diperoleh hasil sebagai berikut : (a) Model analisis
tersebut tidak terjadi multikolinieritas, memiliki nilai variance inflation factor (VIF) kurang dari 10 (VIF<10); (b) Uji heteroskedatisitas menggunakan uji Glejser (Gujarati, 2003). Seluruh koefisien regresi variabel independen disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas, karena koefisien regresi variable bebas terhadap nilai obsolut disturbance error tidak signifian (nilai SIG>0,05); (c) selanjutnya uji normalitas menggunakan uji kolmogorov-Smirnov. Pada bagian uji normalitas disimpulkan bahwa data penelitian relatif berdistribusi normal. Tabel berikut menyajikan ringkasan hasil regresi persamaan Tabel 4 Ringkasan Hasil Regresi Variabel Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran perusahaan, Komposisi Dewan Komisaris, dan Spesialisasi Industri KAP terhadap Pengungkapan Sukarela Keterangan
Variabel dependen pengungkapan sukarela
Variabel
Unstandardized Standardized Signifikansi
independen
Coefficients
Coefficient
Konsentrasi
0,084
0, 150
0,095
9.610
0, 457
0,000
0,055
0,048
0,594
Kepemilikan (KS) Ukuran Perusahaan (LOG PNJ) Komposisi dewan komisaris
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
(BOD) Var. dummy 5, 695
0, 194
0,031
Spesialisasi industri KAP (AUDIT) Adjusted R sequare = 0,227 F
= 6,868
F.test signifikansi = 0,000 Koefisien korelasi KS dengan PS= 0,166.
1) Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Sukarela Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa koefisien regresi variabel konsentrasi kepemilikan adalah bertanda
0,084 dengan tingkat signifikansi 0,095. Koefisien tersebut
plus menunjukkan arah hubungan positif, sesuai dengan teori yang
dihipotesiskan. kepemilikan
Jika
memperhatikan
berpengaruh
terhadap
tingkat
signifikansi
pengungkapan
berarti
sukarela,
konsentrasi
pada
tingkat
signifikansi 0,1. Dengan demikian hipotesis kesatu yang menyatakan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela diterima. Hal ini berarti bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh pemegang saham mayoritas (terbesar) maka semakin meningkat pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan emiten. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa koefisien regresi konsentrasi kepemilikan adalah 0,084
koefisien korelasi 0,166. Meskipun secara statistik
signifikan pada 0,1 namun demikian konsentrasi kepemilikan hanya mampu menjelaskan secara langsung 2,75% variasi pengungkapan sukarela, sisanya dijelaskan oleh faktor lain.
Beberapa alasan yang dapat digunakan mengapa
pemegang saham mayoritas tidak terlalu tertarik terhadap pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan adalah sebagai berikut: (1) Pemegang saham pengendali tidak terlalu tertarik dengan pengungkapan pada pelaporan keuangan, karena Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
mereka dapat mengakses informasi yang diperlukan secara langsung ke perusahaan tanpa melalui laporan keuangan dan laporan tahunan; dan (2) sebagai strategi dalam persaingan, beberapa informasi penting sengaja ditahan oleh manajemen
dan
atau
pemegang
saham
mayoritas
untuk
menghindari
dimanfaatkannya informasi tersebut oleh para pesaing perusahaan.
2) Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan Sukarela Sebagaimana tersaji pada Tabel 4 koefisien regresi menunjukkan
sebesar
9,610
dengan
tingkat
ukuran perusahaan
signifikansi
0,000.
Dengan
memperhatikan tingkat signifikansi, maka ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela pada tingkat signifikansi 0,01. Koefisien bertanda positif menunjukkan semakin besar ukuran perusahaan, maka pengungkapan sukarela semakin meningkat. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela diterima. Hal bermakna bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin meningkat pengungkapan sukarela. Hasil temuan penelitian ini konsisten dengan Marwata (2001), Haniffa dan Cooke (2002), serta Leung et al (2005) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan pengungkapan sukarela. Tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Halim dkk. (2005). Hasil penelitian Halim di BEI menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif yang lemah dengan pengungkapan sukarela.
3) Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan Sukarela Sebagaimana disajikan pada Tabel 4 koefisien regresi komposisi Dewan Komisaris menunjukkan sebesar 0,055 dengan tingkat signifikansi 0,594. Koefisien regresi
bertanda
plus,
menunjukkan
variabel
komposisi
dewan
komisaris
mempunyai hubungan positif dengan pengungkapan sukarela, sesuai dengan teori. Namun jika memperhatikan tingkat signifikansi berarti komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela ditolak.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hasil penelitian yang menunjukkan lemahnya hubungan komposisi dewan komisaris dengan pengungkapan sukarela dapat disebabkan oleh: (1) Rendahnya komposisi dewan komisaris, data statistik menunjukan rata-rata komposisi dewan sebesar 35,80 %.; dan (2)
Masih banyak emiten menempatkan komisaris
independen yang tidak memiliki kompetensi pada bidang akuntansi dan atau keuangan. Dari 46 emiten yang melaporkan latar belakang komisaris independen, terdapat 43,40 % emiten menempatkan komisaris independen yang tidak memiliki kompetensi pada bidang akuntansi dan atau keuangan.
4)
Pengaruh Kualitas Audit dengan Proksi Spesialisasi Industri KAP terhadap Pengungkapan Sukarela. Sebagaimana tersaji pada Tabel 4 menunjukkan bahwa spesialisasi industri
KAP berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela, sesuai dengan teori. Jika memperhatikan tingkat signifikansinya berarti spesialisasi industri KAP berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela pada tingkat signifikansi 0,05. Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan bahwa kualitas audit dengan
proksi
spesialisasi
industri
pengungkapan sukarela diterima.
KAP
berpengaruh
positif
terhadap
Hal ini berarti bahwa penggunaan KAP
spesialisasi industri pada audit keuangan perusahaan
dapat meningkatkan
pengungkapan sukarela. Hal ini mengindikasikan bahwa : (a) pengalaman serta pengetahuan KAP spesialis tentang industri dan kebijakan penyajian pelaporan keuangan perusahaan industri, telah dimanfaatkan oleh klien dalam rangka pengembangan kebijakan pengungkapan di perusahaannya; (b) dalam rangka menjaga reputasi, menghindari litigasi, dan kegagalan audit, KAP spesialis mendorong kliennya untuk memberikan pengungkapan tambahan. Berdasarkan review terhadap penelitian sebelumnya, hasil temuan penelitian ini mendukung hasil penelitian Dunn dan Mayhew (2004), serta Schauer (2004), yang menyatakan bahwa spesialisasi industri KAP berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Temuan penelitian di BEI ini tidak mendukung hasil penelitian Peters et al (2005) yang menyimpulkan spesialisasi industri KAP tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitin Peter et al (2005), disebabkan oleh perbedaan dalam pengukuran pengungkapan sukarela. Peters dalam
penelitiannya
menggunakan
instrumen
untuk
mengukur
praktik
pengungkapan tentang produk dan turunannya (derifative product) dengan berbagai aspeknya, di antaranya pengungkapan atas; pengelompokan produk derifatif, pengaruh fluktuasi harga produk derifatif, laba atau rugi derifatif, nilai produk derifatif, dan sebagainya. Dengan demikian, instrumen penelitian Peter tidak cocok apabila digunakan untuk mengukur praktik pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan. Sedangkan instrumen pengungkapan pada penelitian ini adalah instrumen untuk mengukur praktik pengungkapan secara umum pada pelaporan keuangan. Jika dilihat dari tujuan pelaporan keuangan yaitu menyampaikan informasi yang relevan untuk memenuhi kebutuhan informasi semua fihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, maka instrumen pengungkapan yang digunakan pada penelitian ini lebih valid bila dibandingkan dengan instrumen penelitian Peters (2005), sebab instrumen yang dikembangkan pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur berbagai aspek informasi yang selayaknya diungkapan pada pelaporan keuangan.
5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1)
Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini bermakna semakin terkonsentrasi kepemilikan saham semakin tinggi pengungkapan
sukarela
pada
pelaporan
keuangan.
Dalam
rangka
pengendalian kebijakan pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan, hasil penelitian ini membuktikan bahwa konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme corporate governance di perusahaan. 2)
Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini bermakna, semakin besar ukuran perusahaan maka pengungkapan sukarela pada
pelaporan
keuangan
semakin
meningkat.
Bridging the Gap between Theory and Practice
Ini
mengindikasikan
GOV10- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
perusahaan (besar) yang banyak disorot oleh publik dan analis pasar modal akan memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil. 3)
Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela. Komposisi dewan komisaris menunjukkan arah hubungan positif dengan pengungkapan sukarela tetapi tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh: (a) rendahnya komposisi dewan komisaris, data statistik menunjukkan rata-rata komposisi dewan komisaris 35,80%,dan (b) masih banyak komisaris independen perusahaan yang belum memiliki kompetensi pada bidang akuntansi dan atau keuangan.
4)
Kualitas audit dengan proksi spesialisasi industri Kantor Akuntan Publik (KAP) berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Ini bermakna bahwa kualitas audit dapat meningkatkan pengungkapan sukarela pada pelaporan keuangan perusahaan.
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan kesimpulan, maka diajukan saransaran untuk kepentingan pengembangan ilmu dan operasional.
5.2.1 Untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu 1) Variabel konsentrasi kepemilikan pada penelitian ini menggunakan ukuran kepemilikan saham mayoritas pada individu. Dalam kenyataannya dapat terjadi manajemen dikendalikan oleh sekelompok pemegang saham pengendali secara kolektif. Untuk itu, peneliti berikutnya perlu mencoba menggunakan proksi konsentrasi kepemilikan oleh kelompok tertentu misal kepemilikan oleh keluarga, atau kepemilikan oleh kelompok bisnis. 2) Peneliti yang akan datang disarankan menganalisis karakteristik lain komisarin independen selain karakteristik komposisi dewan, diantaranya
kompetensi
dewan komisaris. 3) Rendahnya pengungkapan sukarela oleh emiten di pasar modal rata-rata 43,70% tentu akan memberikan dampak yang kurang baik untuk perkembangan pasar modal di Indonesia. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan tentang faktor-
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
faktor yang mempengaruhi kesediaan emiten untuk memberikan pengungkapan pada pelapora keuangan. 4) Pengukuran variabel pengungkapan sukarela dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan bobot relevansi item pengungkapan. Jika item-item pengungkapan diberi bobot relevansi berdasarkan prosedur tertentu, mungkin akan memberikan hasil pengukuran pengungkapan sukarela yang berbeda, serta hasil penelitian yang berbeda. Untuk itu, peneliti yang akan datang disarankan memberikan bobot relevansi terhadap item pengungkapan sukarela.
5.2.2 Untuk Kepentingan Operasional Saran yang diajukan untuk kepentingan operasional adalah sebagai berikut : 1) Bagi perusahaan disarankan untuk meningkatkan transparansi informasi dengan lebih meningkatkan pengungkapan pada pelaporan keuangan. 2) Konsentrasi kepemilikan saham oleh pemegang saham mayoritas dapat dijadikan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan informasi pada pelaporan keuangan. 3) Untuk mendukung efektivitas pengendalian terhadap proses penyusunan laporan keuangan diperlukan suatu dewan komisaris yang memiliki karakteristik independen, kompeten dalam bidang akuntansi dan atau keuangan, serta kredibel baik secara individu maupun secara institusi. 4) Hasil penelitian yang menunjukkan terdapat pengaruh positif dan signifikan kualitas audit yang diproksi dengan spesialisasi industri KAP terhadap pengugkapan sukarela, memberikan bukti empirik terhadap para praktisi, perusahaan dan regulator bahwa audit yang berkualitas dapat dijadikan model mekanisme corporate governance terhadap praktik pengungkapan pada pelaporan keuangan. 5) Badan regulasi pasar modal dalam hal ini Bapepam, atau lembaga terkait lainnya harus lebih pro aktif menciptakan kondisi, situasi bisnis yang lebih kondusif. Misalnya memberikan sanksi tegas terhadap emiten yang terbukti melakukan pelanggaran pasar modal dengan sengaja menyembunyikan informasi penting yang dapat merugikan investor, atau dengan sengaja melakukan manajemen laba. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Daftar Pustaka Babic, Verica. 2005. Corporate Governance Problem in Trasition Economies. Ekonomist, Vol.33, No.2,pp. 133-143 Badan Pengawas Pasar Modal.1996. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal nomor Kep-38/PM/1996 tentang Laporan Tahunan. __________2002. Pedoman penyajian dan pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Manufaktur __________
2005.
Laporan
Tahunan
2004,
Anunual
Report.
Bapepam,
www.Bapepam.com __________
2006.
Kriteria
Penilaian
Annual
Report
Award
2006,
http://www.bapepam.go.id/profil/news/2006_maret/ara_2006.htm Bailey, B, et al , et al. The Economic Consequences of Increased Disclosure: Evidence from International Cross Listing. Working Paper. Cornel University . at al wbb @ cornel.edu Barnhart, Scott and Rosentein, Stuar.1998. Board Composition ,Managerial Ownership, and Firm Performance : An Empirical Analysis.The Financial Review . November 1998 : 33,4 Beneish, M.D. 2001. Earnings Management. A Perspective Management Finance, vol.27. Number 12. Botosan ,C. 1997. Disclosure Level and The Cost of Equity Capital. The Accounting ReviewVol 72, No.3,July: 323-349.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Chau, Gerald K. and Sidney J.Gray. 2002. Ownership Structure and Corporate Voluntary Disclosure in Hongkong and Singapore. The International journal of accounting 37 p 247-267. Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. 2005. Ownership structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from China. Journal of Corporate finance , XX (2005) , XXX-XXX Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. 2005. Audit Quality and Earnings Management for Taiwan IPO Firms. Managerial Auditing Journal, Vol 20.1.pp.86-104. Cheng, Eugene C.M. and Stephen M.C. 2004. Board Composition, Regulatory Regime and Voluntary Disclosure. Working paper research projects. Nanyang Technological Univercity. http://www.business.Utuc.edu/ciera/conference Choi, Frederik, D.S. 1992. International Accounting, Second Ed. Prentice Hall.Inc.New Jersey. Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. 1995. Auditor Brand Name and Reputations and Industry Specialization. Journal of Accounting and Economics (20). 297-322. Dallas, George .2004. Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors, Managers, Directors and Stakeholders, p.21. Standard and Poor. Governance Services, MC. Graw Hill. New York Dunn, Kimberly A and Mayhew, Brian W. 2004. Audit Firm Industry Specialization and Client Disclosure Quality. Review of Accounting Studies, Vol. 9, pp 3558. Kluwer Academic Publishers. Manufactured in The Netherlands.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Financial Accounting Standards Boards.1983. Accounting Standards; Statement of Financial Accounting Concept 1-6,McGraw-Hill Book Company.USA.
_______1997. “Statement of Financial Accounting Concepts Nomor 1 :Objevtives of Financial
Reporting
by
Business
Enterprises.”
Stanford
Connecticut.November. Fitriany, 2001. Signifikansi perbedaan tingkat kelengkapan pengungkapan wajib dan sukarela pada Laporan keuangan perusahaan public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, SNA IV Bandung) Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2004. Seri Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance), Jilid 1, edisi 3, Jakarta _______ 2006. Peran Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). www.fcgi.or.id Hair,JR.,
Joseph,
Rolph
E.Anderson,
Ronald
L.Tatham,
William
G.Black.
Multivariate Data Analysis. Fourt Edition.1995. Prentice Hall International, Inc. United stated of America. Halim, Julia, Carmel Meiden, Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh Manajemen Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang termasuk pada LQ-45. SNA VIII Solo. Ikatan Akuntan Indonesia. Haniffa, R.M and T.E. Cooke, 2002, Culture, Corporate Governance and Disclosure in Malaysian Corporation. ABACUS, Vol. 38. No 3, 2002.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Healy,P.M and Krisnan,G. Palepu. 2001. Information asymmetry, Corporate Disclosure, and Capital Market. A Review of Empirical Disclosure literature. Journal of Accounting and Economic 31. p.405-440 Hubert Ooghe and Tine De Langhe, 2002. The Anglo-American Versus the Continental European Corporate Governance Model: Empirical Evidence of Board Composition in Belgium. European Business Review, volume 14-number 6-2002-pp.437-449. Jiambalvo,James.1996. Causes and Consequences of earning Manipulation : An Analysis of Firms Subject to Enforcement Action by the SEC. Contemporary Accounting Research Vol 13 No.1,p.37-47. La Porta R,.F. and Lopez-de Silanes. 1999. Corporate Ownership around the word. Journal of Finance 54, 471-518. Lakhal, Faten. 2004. Voluntary Earnings Disclosure and Corporate Governance: Evidance from France, working paper, Institute de Recherche en Gestion and ESA Universite Paris XII,
[email protected] Lueng ,C.,Stephen
et al .2005. Determinants of Corporate Disclosure and
Transparency: Evidance from Hong Kong and Thailand. City University of Hong Kong.
[email protected] Marwata. 2001. Hubungan Karakteristik Perusahaan dan Kualitis Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Prusahaan Publik di Indonesia, Simposium Nasional Akuntansi IV. Ikatan Akuntan Indonesia. Mayangsari, Sekar. 2003. Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta Mekanisme Corporate Governance terhadap Integritas Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Mohd,N.,Norita and Shamsul Nahar Abdullah. 2005. Voluntary Disclosure and Corporate Governance among Financially Distresses Firms in Malaysia. Monash University Malaysia
[email protected],
[email protected] Monks, R.A.G and N.Minow. 2001. Corporate Governance, 2nd ed, Blackwell Publishing Peters, Gary F, Lawrence J.Abbott, Susan Parker. 2005. Voluntary Disclosure and Auditor Specialization: The Case of Commodity Derivative Disclosure. Working paper, University of Georgia. Schauer, Paul C. 2000. The Effect of Industry dpecialization on Audit Quality : An Examination Using Bid-ask Spreads. Artikel ringkaaan disertasi. Departmen of Accounting and MIS Bowling Green State University Bowling Green, Ohio.
[email protected] Susilowati,Isabelly, Richrd D.Morris, Sidney J.Gray.2005. Factors influencing Corporate Transparency: A Comparative Empirical. Iniversity Working paper
[email protected] Tjager (2003). Corporate governance. Tantangan dan kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. PT. Prenhalindo, Jakarta. Utami, Wiwik. 2005. Dampak Pengungkapan Sukarela dan Manajemen laba terhadap Biaya Modal Ekuitas dengan Asimetri Informasi sebagai Variabel Intervening, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Veronica N.P Siregar, Sylvia dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktik Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba. Simpsium Nasional Akuntansi VIII. Ikatan Akuntan Indonesia. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Willekens, Marleen, Heidi Vader Bauhede, Ann Gaeremynck, Linda Van De Gucht, 2003. The Impact of Internal and External Governance Mechanisms on the Voluntary Disclosure of Financial and Non-financial Performance. Marleen
[email protected] World Bank. 1999. Corporate Governance: Framework for Implementation, Overview. www.wordbank.org.pp.5
_______________________________
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV10- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR KEPEMILIKAN SAHAM, KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN KONSERVATISME
Safrida Rumondang Parulian Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi FEUI
Abstract Agency theory explained the existence of conflict of interests between parties, especially managers, shareholders and bondholders, found in many studies. This conflict tells and warns the opened opportunity for manager to make decisions benefiting themselves, and sacrificing others interests and could finally lowering the value of the firms. Conservatism in financial reporting is believed as one of many solutions to this conflict. Other solution for this conflict could be the good corporate governance practiced by firms. The objective of this study is to examine if ownership structures (ownership by institutional investors, managers/director and block ownership), and the existence of independent commissioners significantly associated to the level of conservatism in firms. Using two models for conservatism, this study found that institutional investor has significant association to conservatism, but without consistent direction. Firms with more institutional investors tend to have financial numbers that are less conservative. But, this study failed to find significant association between conservatism and insiders or block ownership. The existence of independent commissioners is also not related to conservatism, in this study. Controlling the model with firms characteristics, firm size and leverage were found to be related to conservatism. A larger or a more leveraged firm, tend to be less conservative. Key words : conservatism, institutional ownership, block ownership, managerial ownership, good corporate governance
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1. Pendahuluan 1.1
Latar Belakang Penelitian Agency theory menjelaskan adanya konflik kepentingan terhadap kebijakan
dividen antara fixed claimants (bondholder) dan residual claimants (shareholder) dalam suatu perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976).
Konflik kepentingan
tersebut membuka peluang bagi manajer untuk melakukan aktivitas yang menguntungkan dirinya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham, yang pada akhirnya dapat menurunkan nilai perusahaan.
Namun, konflik ini tidak dapat
diatasi secara sempurna melalui kontrak, karena selain karena kontrak itu mahal, kontrak yang sempurna juga sulit untuk ditegakkan (Fama dan Jensen, 1983; Hart, 1995). Dalam Efficient contracting theory, dinyatakan bahwa adalah kepentingan semua pihak dalam perusahaan untuk menemukan cara mengatasi konflik ini. (Watts dan Zimmerman, 1983). Dan, konservatisme dalam pelaporan keuangan dianggap sebagai salah satu hal hal yang dapat membantu terjadinya efficient contracting
antara manajer dan pemegang saham untuk mengatasi masalah
keagenan (agency problem) dalam perusahaan (Ball, 2001; Watts, 2003a). Angka akuntansi yang konservatif dapat digunakan dalam kontrak antara pihak-pihak yang berbeda dalam perusahaan untuk mengurangi
masalah moral hazard
yang
diciptakan oleh information asymmetries. Kontrak yang didasarkan pada angkaangka yang konservatif akan mengurangi kemungkinan ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer terhadap sumberdaya pemegang saham, atau distribusi sumber daya yang berlebihan bagi pemegang saham
dengan biaya kreditur/debtholder lain
(Watts, 2003a). Penelitian Watts (2003a), mengaitkan kompensasi untuk manajer dengan perubahan pada nilai buku akuntansi atau laba, yang bersamaan dengan pelaporan yang konservatif akan
menghalangi manajer untuk
menurunkan nilai perusahaan sampai
melakukan aktivitas
yang
dan akan menunda kompensasi untuk manajer
benefit bagi perusahaan benar-benar telah direalisasi.
mengurangi kesempatan bagi manajer untuk
Bridging the Gap between Theory and Practice
Hal ini akan
melebihsajikan perubahan kumulatif
GOV011- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
dalam nilai perusahaan, dan manajer diharapkan
akan mengelola perusahaan
secara optimal. Sementara itu, dalam penelitian Ball (2001),
manajer seringkali memiliki
insentif untuk menunda penyelesaian proyek yang menyebabkan kerugian karena proyek tersebut berkontribusi untuk laba berjalan, dan untuk kepentingan pribadi manajer. Masalah keagenan seperti dalam penelitian Watts (2003) dan Ball (2001) di atas pada dasarnya bermula saat kepentingan manajer dan pemegang saham tidak sejalan. Jika konservatisme berperan dalam mengatasi masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham, maka
diperkirakan
bahwa apabila
kepentingan manajer dengan pemegang saham kurang sejalan, kebutuhan untuk konservatisme akan semakin besar, ceteris paribus. Dalam dunia dengan kontrak yang tidak sempurna, masalah keagenan di atas diharapkan juga dapat diatasi dengan mekanisme Corporate governance, selain dengan penggunaan akuntansi yang konservatif. Studi empiris tentang mekanisme governance yang ideal, akan menguji secara bersamaan keseluruhan mekanisme internal dan eksternal dari corporate penelitian ini, hanya difokuskan pada
governance.
Namun, dalam
struktur kepemilikan dan
komisaris
independen. Selain pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian, yang perlu diperhatikan dalam (boards) sebagai
pelaporan
puncak dari
keuangan adalah peranan dewan komisaris sistem pengendalian keputusan di perusahaan,
(Fama dan Jensen, 1983). Dewan komisaris membutuhkan informasi yang dapat diverifikasi untuk
dapat memonitor manajer secara efektif.
Zimmerman (1986),
Bushman dan Smith (2001),
sistem akuntansi dan sistem
pelaporan keuangan adalah suatu sumber yang penting dapat diverifikasi,
yang berguna
Menurut Watts dan
untuk informasi yang
untuk memonitor dan mengevaluasi manajer
beserta keputusan dan strateginya. Dan, konservatisme
adalah suatu karakteristik
yang penting dalam suatu sistem akuntansi perusahaan yang dapat mendisiplinkan sumber informasi lainnya sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Watts, 2003a, 2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Mekanisme corporate governance memainkan peranan yang penting dalam pelaksanaan akuntansi yang konservatif. Corporate governance meliputi
semua
bentuk dan mekanisme yang menjamin bahwa aset perusahaan dikelola secara efisien dan sesuai dengan kepentingan pemilik dana. (2004)
menemukan hubungan positif antara
konservatisme.
Mereka
menguji
Penelitian Beekes et al
independensi dewan dengan
hubungan antara corporate governance dan
konservatisme akuntansi dan menemukan bahwa perusahaan yang persentase non-executive director nya lebih tinggi, cenderung untuk mengakui bad news lebih cepat, dengan menggunakan metode Basu (1997). Konsisten dengan penelitian ini, Ahmed dan Duellman (2007) mendokumentasikan bahwa pada perusahaanperusahaan di AS : (i) persentase inside directors berhubungan negatif dan (ii) persentase
outside director berhubungan positif dengan konservatisme. Garcia
Lara et al (2007) juga menemukan hubungan yang positif antara konservatisme akuntansi dan corporate governance untuk perusahaan-perusahaan AS. (1997)
menemukan hubungan positif antara outside board dengan
Wright
peringkat
kualitas pelaporan keuangan oleh analis. Dan salah satu komponen dari karaktek kualitatif laporan keuangan yang digunakan adalah tingkat konservatisme (Beekes et al., 2004), Struktur kepemilikan perusahaan dalam berbagai penelitian ditemukan berhubungan dengan kualitas pelaporan perusahaan. Velury dan Jenkis (2006) menemukan bahwa kepemilikan institusional
memiliki asosiasi positif dengan
kualitas pelaporan. Mereka menjelaskan bahwa investor institusional memiliki beberapa insentif untuk memonitor pelaporan keuangan. Alasan pertama adalah karena
laporan keuangan adalah
sumber informasi yang penting tentang
perusahaan dan dapat digunakan dalam menilai investasi mereka. Alasan kedua, investor institusional lebih baik dalam menganalisis laporan keuangan daripada investor individual Penelitian Bushee, 1993; Chung et al, 2002; Jiambalvo et al., 2002, menemukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar cenderung untuk tidak melakukan manajemen laba. Sementara itu, penelitian oleh Wang (2006) menemukan, bahwa
perusahaan yang dimiliki oleh
Bridging the Gap between Theory and Practice
pendiri
GOV011- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
perusahaan cenderung untuk menampilkan lower persistence of negative earnings. Lower persistence of negative earnings adalah implikasi tidak lagsung dari konservatisme (Basu, 1997). Ball dan Shivakumar (2005) menemukan bahwa perusahaan privat, dengan kepemilikan manajerial yang lebih sedikit dibandingkan perusahaan publik, kurang konservatif dibandingkan perusahaan publik, dan perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur corporate governance antara perusahaan public dan perusahaan non-publik. LaFond dan Roychowdhury (2007) menemukan hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan tingkat konservatisme. Semakin besar kepemilikan manajerial, perusahaan semakin tidak konservatif. Salah satu bentuk kepemilikan lain yang dalam banyak penelitian ditemukan memiliki korelasi dengan pengelolaan
perusahaan
adalah kepemilikan yang
terkonsentrasi (block ownership). Shleifer dan Vishny (1986) menyebutkan bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi dapat memonitor manajer dengan lebih baik. Hal serupa diungkapkan antara lain oleh oleh Holderness dan Sheehan (1988), Barclay dan Holderness (1989). Dalam penelitian ini juga akan diuji, apakah dengan kepemilikan yang terkonsentrasi dapat membuat proses monitoring terhadap manajemen
dapat
dilakukan
dengan
lebih
baik
dan
dapat
memastikan
digunakannya akuntansi yang konservatif dalam penyiapan laporan keuangan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh
struktur kepemilikan perusahaan
dan karakteristik dewan komisaris terhadap pelaporan keuangan yang konservatif di Indonesia ? Selanjutnya, tulisan ini akan disajikan sebagai berikut. Bagian 2 akan berisi latar belakang teoritis tentang konservatisme dan hubungannya dengan struktur kepemilikan dan komisaris independen. Bagian 3 akan merinci disain penelitian yang menjelaskan ukuran-ukuran yang digunakan dalam pengujian. Bagian 4 akan menjelaskan hasil penelitian dan kesimpulan akan disajikan di bagian 5.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2.
Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
2.1
Konservatisme Hendriksen dan Van Breda (1992) mendefinisikan konservatisme sebagai
berikut : “Conservatism is, at best, a very poor method of treating the existence of uncertainty in valuation and income. At its worst, it results in a complete distortion of accounting data.” Watts (2003a) mendefinisikan
konservatisme sebagai suatu “differential
verifiability required for recognition of profits versus losses.” Secara ekstrim, definisi konservatisme adalah, jangan mengantisipasi profit, tapi antisipasi semua kerugian (Bliss, 1924). Namun konservatisme tidak berarti bahwa keuntungan hanya dapat diakui bila semua kas telah diterima, karena masalahnya adalah pada verifiability. Terhadap suatu kemungkinan profit, harus dilakukan
verifikasi tingkat tinggi,
sedangkan suatu berita buruk dapat diakui sebagai suatu kerugian (Basu, 1997). Sebagai contoh, aktiva tak berwujud biasanya tidak dimasukkan dalam aktiva bersih, karena “secara konservatif” nilainya tidak dapat diverifikasi (Holthousen dan Watts, 2001). Menurut Watts (2003a), konservatisme menyajikan laba dan aktiva dengan prinsip
menunda pengaikuan keuntungan dan secepatnya mengakui adanya
kerugian. Prinsip ini memang akan menyebabkan laba dan aktiva periode berjalan menjadi lebih rendah. Bila terjadi kenaikan laba dan aktiva di masa datang akibat penerapan prinsip ini, hal tersebut disebabkan keuntungan yang semula ditunda pengakuannya dan kemudian telah diakui oleh perusahaan karena dipastikan akan terealisasi, bukan karena perusahaan tidak konservatif di masa mendatang. Ahmed et al (1998) menemukan bahwa akuntansi yang konservatif dapat memberikan informasi dalam penilaian perusahaan. Penelitian Givoly dan Hayn (2002) menunjukkan bahwa peningkatanan penggunaan konservatisme di Amerika disebabkan oleh tingginya potensi tuntutan hukum apabila laporan keuangan disajikan
secara overstatement. Karena itu, auditor dan manajer perusahaan
memilih metode akuntansi yang konservatif.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Penelitian-penelitian
yang
didokumentasikan
oleh
Watts
(2003b)
memberikan sejumlah penjelasan tentang pelaporan yang bersifat konservatif, dan semuanya menyatakan bahwa konservatisme memberikan manfaat bagi pihakpihak
yang terkait dengan
perusahaan yang melaporkan tersebut. Salah satu
alasannya adalah bahwa konservatisme muncul karena adanya kontrak dengan pihak-pihak luar. Dengan kata lain, kontrak-kontrak antara pihak dalam perusahaan menggunakan angka-angka akuntansi yang konservatif untuk mengurangi agency cost dalam perusahaan tersebut, baik kontrak utang, kontrak kompensasi, maupun kontrak penjualan (Watts dan Zimmerman, 1986). Penggunaan angka akuntansi yang konservatif diyakini akan memberikan manfaat yang signifikan bagi pemakai laporan keuangan.
Watts (2003b)
menjelaskan bahwa kontrak-kontrak antar pihak yang berbeda dalam perusahaan, yang menggunakan angka yang konservatif, akan mengurangi masalah asimetri informasi dan moral hazard yang disebabkan oleh konflik keagenan. Juga, akan mengurangi kemungkinan
terjadinya ekspropriasi oleh manajemen terhadap
sumberdaya perusahaan, atau distribusi yang berlebihan terhadap sumberdaya ini. Maka, diharapkan konservatisme akan mengurangi peluang dilakukannya aktivitas manajer yang oportunistik.
Efek-efek yang bermanfaat dari konservatisme ini
secara umum dianggap sebagai indikator dari kualitas laba, atau sifat dari laba akuntansi yang diharapkan (Givoly et al., 2008; Ball dan Shivakumar, 2005; Francis et al., 2004; Watts, 2003b) Mekanisme corporate governance dibutuhkan
karena adanya konflik
keagenan antara berbagai pihak yang berbeda dalam perusahaan, dan khususnya karena
adanya asimetri dalam insentif dan tujuan dari manajer dan dari penyedia
dana, yang
timbul
dari adanya pemisahan
antara kepemilikan dengan
pengendalian (Berle dan Means, 1932; Jensen dan Meckling, 1976). pelaksanaan
corporate
governance
yang
lebih
kuat
diperkirakan
Maka, akan
menyebabkan adanya permintaan yang lebih tinggi untuk informasi yanglebih tepat waktu dan untuk mencegah manajer menyembunyikan informasi yang kurang baik.
Informasi yang tepat waktu
menjadi
tentang potensi kerugian (bad news) akan
sinyal peringatan bagi board untuk sesegera mungkin mencari tahu
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
penyebab bad news tersebut sesegera mungkin. Perusahaan dengan mekanisme corporate governance yang lebih baik ditemukan menjadi lebih konservatif dalam akuntansinya (Garcia Lara et al., 2005).
2.2.
Struktur Kepemilikan dan Konservatisme Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konflik kepentingan antara
manajer dan pihak lain dalam perusahaan muncul karena manajer secara efektif mengendalikan asset perusahaan namun memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan pemegang saham, apabila manajer tidak ikut memiliki perusahaan. (Jensen dan Meckling, 1976). Manajer memiliki informasi yang lebih baik daripada pihak lainnya, dan juga memiliki insentif untuk melakukan bias terhadap informasi yang mereka berikan kepada pihak lain dan mengambil keuntungan dari tindakannya tersebut (Jensen Meckling, 1976; Watts dan Zimmerman, 1986). Sebagai contoh, manajer dapat mengurangi nilai perusahaan melalui konsumsi kompensasi atau Non Pecuniary yang berlebihan. Hal ini
mengurangi sumber daya yang tersedia
untuk melakukan investasi yang menguntungkan, sehingga perusahaan mengalami kerugian karena mengabaikan investasi yang menguntungkan (deadweight losses). Atau, manajer melakukan investasi pada proyek yang tidak
menguntungkan
perusahaan secara keseluruhan (hanya menguntungkan dirinya sendiri), dan/ atau melakukan manipulasi laba. Masalah keagenan akan lebih tajam apabila kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham tidak selaras. Keselarasan ini, berhubungan positif dengan tingkat kepemilikan saham oleh manajemen. Dengan kata lain, jika manajer juga adalah pemegang saham, maka kepentingan dia akan lebih selaras dengan kepentingan pemegang saham lainnya. Seperti yang dijelaskan Jensen Meckling (1976), owner manager
bersedia
untuk mengurangi Non Pecuniary Benefitnya
untuk mencegah penurunan nilai perusahaan yang lebih besar. Dengan selarasnya kepentingan manajer dan pemegang saham, maka tuntutan untuk akuntansi yang lebih konservatif akan berkurang. Dengan penelitian ini akan diuji apakah hasilnya konsistensi dengan penelitian Wang (2006), Ball dan Shivakumar (2005) dan LaFond dan Roychowdhury (2007), yang menemukan hubungan negatif antara Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kepemilikan manajerial dengan konservatisme. Sehingga, hipotesis pertama adalah : Hipotesis 1 : Kepemilikan saham oleh manajer (atau direksi) berhubungan negatif dengan praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan Sebaliknya, hubungan yang berbeda diprediksi terjadi apabila perusahaan dimiliki oleh lebih banyak investor luar, dalam hal ini diwakili oleh investor institusional. Investor institusional dalam hal ini adalah investor yang berasal dari lembaga keuangan seperti bank, perusahaan asuransi, reksadana, dan perusahaan keuangan
lainnya,
yang
mengendalikan aktivitas
dianggap
sangat
memiliki
kepentingan
untuk
manajemen, salah satunya melalui aktivitas pelaporan
yang konservatif. Investor institusional ingin memastikan bahwa manajer tidak segera mengakui keuntungan yang masih bersifat potensial yang pengakuannya akan meningkatkan reputasi manajemen saja, namun tidak menambah nilai bagi perusahaan. Penelitian ini akan menguji konsistensi dari temuan Velury dan Jenkis, 2006, Bushee, 1993; Chung et al, 2002; Jiambalvo et al., 2002 yang menemukan asosiasi positif antara kepemilikan institusional dengan kualitas pelaporan. Maka, hipotesis yang kedua adalah : Hipotesis 2 :
Kepemilikan saham oleh investor institusional berhubungan
positif dengan praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan. Penelitian tentang Salah kepemilikan yang terkonsentrasi (block ownership) memang lebih banyak dikaitkan dengan
nilai perusahaan. Berbagai penelitian
menemukan hubungan positif maupun negatif antara block ownership dengan nilai perusahaan seperti penelitian LaPorta et al. (2002), Klaper dan Love (2003), Johnson, LaPorta, Shleifer dan Vishny (2000), dan Berkman et al. (2008). Namun masih sedikit yang meneliti apakah block ownership berasosiasi dengan bagaimana perusahaan menyiapkan laporan keuangannya (praktik akuntansinya). Selain mempengaruhi nilai perusahaan, block ownership juga ditemukan memiliki hubungan dengan bagaimana perusahaan dapat mengkontrol manajemen.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Holderness dan Sheehan (1988), Barclay dan Holderness (1989) menyebutkan bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi
dapat memonitor manajer dengan lebih
baik. Penelitian ini juga menguji, apakah proses monitoring terhadap manajemen, dalam hal ini untuk memastikan digunakannya akuntansi yang konservatif dalam penyiapan laporan keuangan, dapat dilakukan dengan lebih baik dengan adanya block ownership. Hipotesis untuk block ownership adalah : Hipotesis 3 : Block ownership memiliki asosiasi dengan praktik akuntansi yang konservatif falam perusahaan 2.3.
Komisaris dan Konservatisme
2.3.1. Komisaris Independen Menurut Ball (2001),
konservatisme memainkan peranan penting dalam
memonitor kebijakan investasi perusahaan.
Dengan
pengakuan kerugian
ekonomi yang lebih tepat waktu, memberikan sinyal bagi dewan komisaris untuk menginvestigasi aktivitas ekonomi yang dilakukan manajer, dan manajer itu sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa konservatisme adalah suatu alat yang potensial bagi dewan komisaris (khususnya komisaris dari luar/independen) untuk menjalankan tugas mereka dalam meratifikasi dan memonitor kebijakan-kebijakan yang penting. Karena dewan komisaris yang kuat akan lebih baik dalam memahami aktivitas yang efisien, mereka akan membutuhkan
praktik akuntansi yang lebih konservatif
untuk mendukung peran mereka tersebut. Di sisi lain, dewan komisaris yang berasal dari dalam perusahaan, atau dewan direksi yang memiliki kelemahan dalam memonitoring, akan memberikan peluang bagi manajer untuk melakukan
aktivitas yang lebih agresif (kurang
konservatif). Penelitian ini akan menguji apakah terdapat hubungan positif antara persentase komisaris independen dengan
akuntansi konservatif seperti yang
ditemukan dalam penelitian-penelitian Beekes et al (2004), Ahmed dan Duellman (2007), Garcia Lara et al (2007) dan Wright (1997). Sehingga, hipotesis ketiga adalah : Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Hipotesis 4: Persentase komisaris independen berhubungan positif dengan praktik akuntansi konservatif dalam perusahaan 2.3.2. Jumlah komisaris Walaupun jumlah komisaris yang paling ideal tidak ditentukan oleh Bursa Efek Indonesia, dan juga bukan merupakan sutu mekanisme dari corporate governance, namun penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Conyon dan Peck (1998) dan Eisenberg (1998) menyatakan bahwa
jumlah komisaris memiliki
pengaruh negatif terhadap bagaimana manajemen mengelola perusahaan. Dalam penelitian ini akan diuji pula apakah jumlah komisaris akan mempengaruhi bagaimana manajemen mengelola laporan keuangannya, atau dengan kata lain, apakah jumlah komisaris berasosiasi dengan konservatisme akuntansi perusahaan. Hipotesis untuk hal ini adalah : Hipotesis 5 :
Jumlah komisaris berasosiasi dengan praktik akuntansi
konservatif dalam perusahaan 2.4 Variabel Kontrol Tingkat pelaksanaan mekanisme corporate governance adalah fungsi dari karakteristik perusahaan Garcia Lara et al. (2005). Karena itu, penelitian ini juga akan menggunakan beberapa variabel control yang merupakan karakteristik dari perusahaan sbb: Firm Size, dikontrol karena perusahaan besar biasanya memiliki biaya politis yang lebih besar yang mendorong mereka untuk menggunakan akuntansi yang lebih konservatif (Watts dan Zimmerman, 1978).
Namun, biaya politis ini dapat
didominasi oleh efek asimetri informasi dan efek aggregasi. LaFond dan Watts (2006) menyatakan bahwa asimetri informasi biasanya lebih kecil pada perusahaan besar, karena mereka memproduksi informasi public yang lebih banyak.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Leverage, dikontrol karena perusahaan yang tingkat leveragenya besar, cenderung untuk memiliki
konflik
yang lebih besar antara shareholder dengan
bondholder, yang kemudian akan mempengaruhi permintaan kontraktual terhadap akuntansi yang konservatif. Menurut Garcia Lara (2005), dengan tingkat leverage yang lebih tinggi maka akan meningkatkan pengawasan oleh institusi keuangan, sehingga akan mendorong perusahaan untuk lebih konservatif. Profitability.
Garcia Lara (2005), Hermalin dan Weisbach (1988)
mendokumentasikan hubungan antara praktik akuntansi yang konservati dengan tingkat profitabilitasnya. Tingkat profitabilitas masa lalu akan mempengaruhi praktik corporate governance perusahaan dan meningkatkan penggunaan konservatisme akuntansi. 3.
Disain Penelitian
3.1
Data dan Sampel Populasi dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah seluruh perusahaan di
BEJ yang tercatat pada periode tahun 2006 (satu tahun). Sampelnya adalah perusahaan dari seluruh industri kecuali industri keuangan, karena memiliki struktur pelaporan yang berbeda dengan industri lainnya.
Dari seluruh perusahaan di
tahun 2006, dipilih 100 perusahaan secara random yang memiliki kelengkapan data untuk menguji hipotesis. Data kepemilikan dan komisaris independen diambil dari Annual Report selama periode 2005-2006 dan seluruh data keuangan didapat dari database OSIRIS. 3.2.
Pengukuran Variabel Konservatisme Konservatisme dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan dua
model, yaitu yang digunakan oleh Givoly dan Hayn (2000) dan model Ball dan Shivakunmar (2005) yang didasarkan pada hubungan antara total akrual dan arus kas operasi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.2.1. Model Givoly dan Hayn (2000) Model Givoly dan Hayn (2000) mengukur konservatisme dengan melihat kecenderungan dari akumulasi akrual perusahaan. Akrual yang dimaksud adalah selisih antara laba bersih sebelum depresiasi/amortisasi dan arus kas dari kegiatan operasi. Apabila terjadi akrual negatif (laba bersih lebih kecil daripada arus kas dari kegiatan operasi),
maka merupakan indikasi diterapkannya konservatisme.
Semakin besar akrual negatif yang diperoleh, maka semakin konservatif akuntansi yang diterapkan. Rumus dari proksi konservatisme tersebut adalah sebagai berikut : CONACCit
= NIit – CFOit
CONACCit
= Tingkat konservatisme perusahaan i pada tahun t
NIit
= laba bersih sebelum extraordinary item ditambah depresiasi
dan amortisasi CFOit
dari perusahaan i pada tahun t
= cash flow dari kegiatan operasi perusahaan i pada tahun t
Hasil perhitungan CONACC tersebut dikalikan dengan -1, sehingga semakin besar konservatisme ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai CONACC 3.2.2. Model Ball dan Shivakumar (2005) Intuisi dari model Ball dan Shivakumar serupa dengan model yang digunakan oleh Basu (2007), yaitu
bahwa laba akuntansi
cenderung untuk mengantisipasi
pengakuan bad news dan menunda pengakuan good news. Total akrual mengakui akibat dari peristiwa ekonomis yang negatif pada periode terjadinya, dan efek ini akan cenderung mempengaruhi cash flow, sehingga hubungan akrual dengan cash flow menjadi negatif. Hubungan negatif antara total akrual dengan cash flow juga didokumentasikan dalam penelitian lain seperti penelitian Dechow (1994). Model Ball dan Shivakumar (2005) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : ACCRit = β0 + β1 DCFit + β2 CFit + β3 DCFit CFit + μit
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
ACCR : adalah total akrual yang diskalakan dengan total asset di awal periode. CF
: adalah operating cash flows yang diskalakan dengan total asset di awal
periode DCF : adalah variabel dummy yang akan bernilai 1 jika CF berada pada tingkat terendah 5% dari distribusi
cash (menangkap situasi
saat cash flows bernilai
negatif atau sangat rendah ), dan bernilai 0 jika selain itu. Variabel dummy ini menangkap peristiwa saat bad news (economic losses) terjadi pada suatu periode, yang menyebabkan cash flow menjadi rendah β2
diharapkan akan bernilai negatif signifikan, yang merefleksikan hubungan
negatif antara cash flow dan total akrual. β3 diharapkan akan bernilai positif, yang mengindikasikan bahwa kerugian ekonomis direfleksikan oleh cash flow dan akrual pada saat yang sama. Penelitian Ball dan Shivakumar (2005) menemukan bahwa β2 (β3) bernilai negatif (positif). 3.4
Model Empiris untuk Menguji Hipotesis
Dengan Model Givoly dan Hayn, model untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut : CONACCit = β0 + β1 INSOWNit + β2 BLOCKit + β3 MGRit + β4 INDPBOARDit + β5BSIZEit + β6 LNSIZE + β7 EPSit + β3 LEVit + μit ……… (1) Untuk menguji seluruh hipotesis dengan model kedua, mengikuti metode yang digunakan oleh Garcia Lara et al. (2005) yang menggunakan model Ball dan Shivakumar (2005), berbagai hipotesis di atas akan diuji dengan model empiris sebagai berikut : ACCRit = β0 + β1 DCFit + β2 CFOit + β3 DCFit *CFOit + β4 DCFit* CFOit*INSOWNit + β5DCFit*CFOt*BLOCKit +β6DCFit*CFOit*MGRit +β7DCFit*CFOit*INDPBOARDit+β7DCFit*CFOit*BSIZEit
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
+β9DCFit*CFOit*LNSIZEit+β10DCFit*CFOit*EPSit+β11DCFit*CFOit*LEVit
+
it……………………………………………………………………………...(2) Operasionalisasi Variabel Independen dan Variabel Kontrol: INSOWN
:
Persentase
kepemilikan
dapatdiidentifikasi
oleh
sebagai
investor
institusi
institusional
keuangan
seperti
yang bank,
perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan perusahaan keuangan lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Institusi yang tidak dapat diidentifikasi sebagai institusi keuangan tidak diikutkan. BLOCK
: Mengikuti definisi yang digunakan oleh Randy dan Sanjay (2003), yaitu
persentase kepemilikan oleh 3 (tiga) pemegang saham
terbesar yang kepemilikannya di atas 5% MGR
:
Persentase kepemilikan
oleh
direksi atau
manajemen
perusahaan INDPBOARD : Persentase komisaris independen dalam perusahaan BSIZE
: Jumlah komisaris yang dimiliki oleh perusahaan
LNSIZE
: Logaritma Natural dari Kapitalisasi pasar saham pada akhir tahun 2006
EPS
: Rasio Earning per Share
berdasarkan laporan keuangan per 31
Desember 2006 LEV
: Rasio Leverage tahun 2006
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4. Hasil
Tabel 4.1 Deskripsi Statistik CONA
INSO
BLOC
INDPB
BOARD
LNSIZ
CC
WN
K3
MGR
ORD
SIZE
E
8.154.
4.972.
8.617. 1.19E+
490
622
LEVO EPS
6
21178
1.31E
.78
+09
46674 Mean
.43
Media
2.060. 0.000
5.732. 0.000
000 000
000 000
n Maxim
14855
um
63.
8.848.
9.464.
000
000
347 08
4.112.24 1.81E 5 +09
3.300.0 3.000.00 1.30E 00
2.381. 8.33E+ 000 08
0 +09 1.000.00 9.99E 0 +09
2.208. 8.35E 500 +08 39745
8.95E
7.0
+09
Minim um
-
13790 0.000
4.600. 0.000
636 000
000 000
Std.
14335
Dev.
67.
1.637.
3.150.
099
499
Skewn ess
886
Kurtos is
9.092.
0.0000 00
3.696. 1.89E+
2.000.00
10858
0
999
000 +09 71360
1.54E
.30
+09
3.253.
4.560.
2.227.
2
668
493
302
4.342.1 4.675.32
1.241.
2.277.
9.632.
900
358
699
339 08
1.888.01 1.99E
5.000. 1.75E
2 +09
2.512. 0.379 791 535
5.282. 780
8.803.
9.794.
1.642.
3.134.
031
600
397
137
1.400.5 1.417.20 96
56
Berdasarkan deskripsi statistik di atas, terlihat
4
bahwa
untuk setiap variabel,
terdapat variasi (standar deviasi) yang cukup tinggi, kecuali untuk komisaris dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Institusional investor. Bahkan variasi untuk independen board sangat kecil, karena secara rata-rata semua perusahaan yang menjadi sampel telah memiliki komisaris independen sesuai aturan BEI, yaitu minimal 30%. Variasi yang kecil pada investor institusional terjadi karena secara rata-rata hanya sedikit persentase investor yang merupakan lembaga keuangan pada tiap perusahaan. saham cukup bervariasi, karena
Manajer yang memegang
ada perusahaan yang memiliki cukup banyak
manajerial investor, namun lebih banyak yang tidak memiliki manajemen yang tidak memiliki saham pada perusahaan. Tabel 4.2. Korelasi Antar Variabel CONACC
INSOWN
BLOCK
MGR
INDPBORD
BOARDSIZE
CONACC
LNSIZE
EPS
LEVO6
-
0.225916
0.057280
0.014810
0.075255
-0.142085
0.305217
0.005564
-0.312217
-0.128626
0.055712
-0.300596
0.118934
-0.058044
0.138063
0.039996
-0.106530
-0.031216
0.127081
0.212499
0.164230
INSOWN
-0.225916
BLOCK3
0.057280
-0.029850
-0.025879
-0.036374
0.001995
0.057336
-0.181680
-0.030346
-0.015271
0.039860
-
-
0.029850 -
MGR
0.014810
-
0.025879
-0.181680
-0.052233
0.093496
-
0.043378 -
INDPBORD
0.075255
0.036374
-0.030346
-0.052233
0.063121
BOARDSIZE
-0.142085
0.001995
-0.015271
0.093496
0.063121
-0.039860
-0.043378
-0.063872
0.054737
0.063872 0.054737
LNSIZE
-0.305217
0.057336
EPS
0.005564
0.128626
-0.300596
-0.058044
0.039996
-0.031216
0.212499
LEVO6
-0.312217
0.055712
0.118934
0.138063
-0.106530
0.127081
0.164230
-
Dari tabel
-0.077184 -0.077184
4.2 di atas terlihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi
melebihi 0,4. Korelasi tertinggi adalah antara tingkat LEV dengan CONACC, yaitu sebesar 31%. Hasil pengujian heteroskedastisitas dengan White Heterosedasticity juga menunjukkan bahwa tidak ada masalah heteroskedastisitas dalam sample. 4.3. Regresi Cross Sectional
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.3. Regresi Cross Sectional antara Konservatisme dengan struktur kepemilikan dan komisaris perusahaan serta variabel control a. Dengan Model Givoly-Hayn (2000) Dependent Variable: CONACC Method: Least Squares Sample: 1 100 Included observations: 98 Excluded observations: 2 Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt C INSOWN
798470.6 436177.3 1.830610
0.0705
- 82.49195 -2.289785
0.0244
188.8888 BLOCK
43.03492 45.85367 0.938527
0.3505
MGR
246.7404 376.0092 0.656208
0.5134
INDPBORD
0.000254 0.000711 0.357486
0.7216
BOARDSIZE
- 71559.76 -1.056374
0.2937
75593.86 LNSIZE
- 7.01E-05 -2.785483
0.0065
0.000195 EPS
0.867995 2.036029 0.426318
0.6709
LEV
- 9.08E-05 -2.624252
0.0102
0.000238 R-squared
0.234584
Mean dependent var
46674.4 3
Adjusted R-
0.165783
squared S.E. of regression 1309356.
S.D. dependent var Akaike info
Bridging the Gap between Theory and Practice
143356 7. 31.0953
GOV011- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
criterion Sum squared
1.53E+1
resid
4
Log likelihood
-
1
Schwarz criterion
1 F-statistic
3.40958
1514.670 Durbin-Watson
2.240190
31.3327
3 Prob(F-statistic)
stat
0.00183 8
Berdasarkan tabel 4.3 terlihat bahwa menunjukkan hasil R
2
secara keseluruhan model tersebut
sebesar 23,5 % dan dengan dengan nilai F-stat yang
signifikan pada tingkat Alpha 1%. Hal ini menunjukkan bahwa model Givoly dan Hayn adalah model yang baik untuk menjelaskan hubungan antara konservatisme dengan
berbagai variabel penjelas di atas dalam penelitian ini. Namun, dari
berbagai variabel di atas, yang signifikan adalah variabel INSOWN pada level 5%, LNSIZE pada pada level 1% dan Lev pada level 5%. Dan, hubungan ketiganya dengan konservatisme adalah negatif. Dari kelima hipotesis, pengujian dengan model
Givoly dan Hayn hanya menemukan hubungan yang signifikan antara
investor institusional dengan konservatisme. Hipotesis lainnya tidak terbukti. Hubungan negatif antara LNSIZE dan konservatisme menunjukkan bahwa semakin tinggi ukuran perusahaan, maka justru cenderung untuk tidak konservatif. Hal ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mendokumentasikan hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat konservatisme. Untuk LEV, semakin tinggi tingkat leverage justru semakin rendah konservatismenya. Di satu sisi, hasil ini menunjukkan keanehan karena biasanya perusahaan yang memiliki tingkat utang yang tinggi dituntut oleh kreditur untuk menyajikan laporan yang konservatif. Namun, hasil ini juga dapat berarti bahwa semakin tinggi tingkat utang perusahaan, maka perusahaan akan cenderung untuk tidak konservatif, yang mungkin karena perusahaan ingin agar tidak melanggar
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
persyaratan utang dari kreditur. Hal ini juga mungkin dapat diartikan bahwa kreditur tidak terlalu menekankan praktik akuntansi yang konservatif untuk debiturnya. b. Dengan Model Ball dan Shivakumar (2005) Pengujian dengan Model Ball dan Shivakumar menunjukkan hasil yang tidak signifikan baik untuk model maupun untuk keseluruhan variabel Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan hipotesis dalam penelitian ini. Karena itu, hasilnya tidak ditampilkan dalam tulisan ini. 5. Kesimpulan, Keterbatasan dan Penelitian Selanjutnya Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah struktur kepemilikan dan komisaris dalam perusahaan memiliki asosiasi dengan tingkat konservatisme akuntansi pada perusahaan. Investor institusional, investor dari direksi, dan konsentrasi kepemilikan merupakan proksi dari struktur kepemilikan. Hasil pengujian hipotesis
dengan menggunakan model Givoly dan Hayn
(2000) untuk mengukur konservatisme menunjukkan hanya investor institusional yang memiliki asosiasi dengan konservatisme, dengan arah hubungan yang negatif. Artinya, perusahaan yang memiliki investor institusional
lebih banyak, justru
cenderung untuk tidak konservatif. Perlu diteliti lebih lanjut apakah hal ini disebabkan karena investor institusional justru cenderung untuk tidak konservatif dalam laporan keuangan. Hipotesis yang lainnya tidak terbukti secara signifikan, yang hasilnya mungkin disebabkan karena sedikitnya jumlah perusahaan yang dijadikan sampel, dan karena penelitian dilakukan dalam waktu hanya satu tahun. Ini juga yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang negatif antara ukuran perusahaan dan tingkat leverage dengan konservatisme. Semakin besar dan semakin tinggi tingkat leverage perusahaan, justru semakin tidak konservatif perusahaan. Pengujian hipotesis dengan menggunakan
model Ball dan Shivakumar
(2005) tidak menunjukkan hasil yang signifikan baik untuk model maupun untuk tiap
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
variabelnya, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan dengan menggunakan model ini. Untuk penelitian lebih lanjut, dengan penambahan jumlah sampel mungkin dapat meningkatkana signifikansi model ini. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran konservatisme lainnya seperti model pasar yang digunakan oleh Basu (1997), yang tidak digunakan dalam penelitian ini karena keterbatasan waktu dan data. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti apakah mekanisme atau praktik corporate governance yang lain, atau indeks corporate governance memiliki hubungan dengan praktik akuntansi yang konservatif, dengan jumlah sampel dan tahun yang lebih besar
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4. Daftar Pustaka Ahmed, A.S., and Duellman, S. (2007) ‘Accounting conservatism and board of directors’ characteristics: An empirical analysis’, Journal of Accounting and Economics, 43, pp. 411-437. Ball, R. 2001. Infrastructure Requirements for an Economically Efficient System of Public Financial Reporting and Disclosure. Brookings-Wharton Papers on Financial Services 2001, 127-182. Ball, R., S. Kothari and A. Robin. 2000. The Effect of Institutional Factors on Properties on Accounting Earnings: International Evidence. Journal of Accounting and Economics 29: 1-52. Ball, R., Robin, A., and Sadka, G. 2006. Is Accounting Conservatism Due to Debt or Equity Markets? An International Test of "Contracting" and "Value Relevance". Working Paper, University of Chicago. Ball, R., and L. Shivakumar. 2005. Earnings Quality in U.K. Private Firms. Journal of Accounting and Economics 39: 83-128. Basu, S. 1997. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 24: 3-37. Beatty, A., J.Weber, and Yu, 2006. Conservatism and debt. Working Paper MIT. Berle, A., and Means, G. 1932. The Modern Corporation and Private Property. Harcourt, Brace, & World, New York. Bushman, R., Q. Chen, E. Engel and A. Smith. 2004. Financial accounting information, organizational complexity and corporate governance systems. Journal of Accounting and Economics 37: 167-201. Bushman, R. and J. Piotroski. 2005. Financial Reporting Incentives for Conservative Accounting: The Influence of Legal and Political Institutions. Journal of Accounting and Economics (forthcoming). Cheng, Q., and Warfield, T. 2005. Equity Incentives and Earnings Management. The Accounting Review, Vol. 80 Issue 2, 441-476. Dechow, P.M., 2006, Discussion: Asymmetric sensitivity of CEO cash compensation to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 193-202.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Demsetz, H., Lehn, K., 1985. The structure of corporate ownership: causes and consequences. Journal of Political Economy 93, 1155–1177. Demsetz H., and Villalonga, B., 2001, Ownership structure and corporate performance, Journal of Corporate Finance 7, 209-233. Francis, J., Philbrick, D., and Schipper, K., 1998, Shareholder litigation and corporate disclosures, Journal of Accounting Research 32, 137-64 Frankel, R.M. and Roychowdhury, S., 2005, Testing the clientele effect: an explanation for non-GAAP earnings adjustments used to compute I/B/E/S earnings. Working Paper, MIT. Givoly, D., and C. Hayn, 2000, The changing time series properties of earnings, cash flows and accruals: has financial reporting become more conservative?, Journal of Accounting & Economics 29, 287-320. Guay, W., 1999, The sensitivity of CEO wealth to equity risk: an analysis of the magnitude and determinants, Journal of Financial Economics 53, 43-71. Hermalin, B.E., and Weisbach, M.S., 1991, The effects of board composition and direct incentives on firm performance, Financial Management 20, 101-112 Himmelberg, C., Hubbard, R., and Palia, D. 1999. Understanding the determinants of managerial ownership and the link between ownership and performance, Journal of Financial Economics 53, 353-384. Jensen, M. and W. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3: 305-360. Jensen, M., 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance, and takeovers. American Economic Review 76, 323-329. Kwon, Y.K., Newman, D.P. and Suh Y.S., 2001, The demand for accounting conservatism for management control, Review of Accounting Studies 6, 29-51. LaFond, R. and Watts, R., 2006. The Information Role of Conservative Financial Statements. Working Paper MIT-Sloan School of Management. LaFond R and Sugata Roychowdhury, 2007, Managerial Ownership and Accounting Conservatism. working paper MIT-Sloan School of Management
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Leone, A., Wu, J., and Zimmerman, J., 2006. Asymmetric sensitivity of CEO cash compensation to stock returns. Journal of Accounting and Economics 42, 167192. Morck, R., Shleifer, A., Vishny, R., 1988. Management ownership and market valuation: an empirical analysis. Journal of Financial Economics 20, 293–315. Ofek, E., and Yermack, D. 2000. Taking Stock: Equity-Based Compensation and the Evolution of Managerial Ownership. Journal of Finance 55 (3), 1367-1384. Roychowdhury, S. and Watts, R. 2006. Asymmetric Timeliness of Earnings, Marketto-Book and Conservatism in Financial Reporting. Journal of Accounting and Economic (forthcoming). Ryan, H.E., and Wiggins, R.A., 2002, The interactions between R&D investment decisions and compensation policy, Financial Management 31, 5-29 Smith, C.W, and Watt, R.L. 1992. The investment opportunity set and corporate financing, dividend and compensation policies, Journal of Financial Economics 32, 263-292. Wang, D. 2006. Founding Family Ownership and Earnings Quality. Journal of Accounting Research (forthcoming). Warfield, T., Wild, J., and Wild, K. 1995. Managerial Ownership, Accounting Choices, and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics 20 (1), 61-91. Watts, R., 2003a. Conservatism in accounting part I: Explanations and implications. Accounting Horizons 17 (3), 207-221. Watts, R., 2003b, Conservatism in accounting part II: Evidence and research opportunities. Accounting Horizons 17 (4). Zhang, J., 2004, Efficiency gains from accounting conservatism: benefits to lenders and borrowers, working paper, MIT.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV011- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH KINERJA PERUSAHAAN TERHADAP CORPORATE GOVERNANCE REPORTING DENGAN VARIABEL MODERATING CEO TENURE
Titik Aryati Universitas Trisakti Jakarta, Mahasiswa PIA FEUI
Abstract
This study examines the relationship between CEO tenure, firm performance and corporate governance (CG) reporting. This study hypothesizes that (1) firm performance have positif relationship to CG reporting; (2) CEO tenure have negative relationship to CG reporting; (3) CEO tenure can possibly mitigate the relationship between firm performance and CG reporting. Data are collected from Indonesia Stock Exchange, with sample 30 companies on 2005. CG reporting use CG Index (Silveira & Barros, 2006), proxies firm performance are Return on Equity (ROE) and stock return and control variable are borrowing and firm’s age. The result show that firm performance have positif relationship to CG reporting but not significant, CEO tenure have negative significant relationship to CG Reporting. However, CEO tenure can not mitigate the relationship between firm performance and CG reporting.
Keywords : Corporate governance reporting, CEO tenure, firm performance.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Pendahuluan
A. Latar Belakang Berbagai peristiwa dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadikan isu corporate governance menjadi penting di berbagai belahan dunia. Penelitian yang berkaitan dengan isu ini juga menjadi banyak dilakukan. Good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnis merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan maksud untuk meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas perusahaan, yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan shareholder value (Solomon dan Solomon: 2004). Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan diantaranya kinerja keuangan, mengurangi resiko yang merugikan akibat tindakan pengelolaan yang cenderung menguntungkan diri sendiri, dan umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor (Tjager dkk:2003). Karena pentingnya mekanisme corporate governance, banyak penelitian yang meneliti hubungan corporate governance dengan kinerja dan return saham. Mengingat keuntungan yang akan didapat oleh shareholder dan makin baiknya performance perusahaan itu sendiri, maka penerapan good corporate governance harus dilakukan. Lastanti (2004), menyatakan bahwa terdapat hubungan struktur corporate governance dengan kinerja perusahaan dan reaksi pasar, Pendapat ini didukung juga oleh Mayangsari (2003), Majidah (2004) dan Suranta (2004). Namun belum banyak penelitian yang melihat informasi corporate governance yang harus diungkapkan kepada stakeholders. Corporate governance reporting/ disclosure memberikan
informasi
seperti
manajemen,
controlling,
transparansi
dan
akuntabilitas kepada pemakai laporan keuangan di pasar modal. Informasi ini diperlukan agar pemakai dapat membedakan mana perusahaan yang praktek governancenya baik atau buruk, yang akhirnya akan berinvestasi pada perusahaan yang agency problemnya kecil. Hal ini dapat dipahami karena perusahaan yang agency problemnya kecil akan berakibat pada kinerja perusahaan yang lebih tinggi. Kinerja perusahaan sangat penting jika dikaitkan dengan penelitian disclosure dan corporate governance. Beberapa penelitian yang menghubungkan kinerja
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 perusahaan dengan disclosure misalnya Miller (2002); Lang & Lundholm (1993). Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya secara
optimal.
governance
Penelitian
disclosure.
ini
ingin
Bapepam
mengembangkan
telah
mengeluarkan
kerangka
corporate
peraturan
mengenai
corporate governance disclosure yang bersifat mandatory pada tahun 2006 yang harus ditaati oleh perusahaan pada tahun 2007. Meskipun banyak penelitian yang melihat
hubungan corporate governance disclosure dengan faktor-faktor lain
misalnya earnings management (Chtoutou et al 2001; Kasznik 1999, Klein A 2002; Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja perusahaan (Darmawati dkk 2005), aktivitas luar negeri dan proprietary costs (Depoers,2004), namun belum banyak riset corporate governance yang menghubungkan pengaruh CEO tenure (lamanya menjadi CEO) atas corporate governance disclosure. Karakteristik CEO adalah penting dalam corporate governance (Shen, 2003) sehingga juga relevan dalam corporate governance reporting. Perbedaan waktu memimpin
akan
mempengaruhi
pengendalian
manajerial
perusahaan.
Pengendalian manajerial ini pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja perusahaan, sehingga CEO tenure akan mempengaruhi tingkat corporate governance reporting. Zuraidah dan Norman M Saleh (2005) menguji hubungan antara kinerja perusahaan dengan corporate governance reporting dengan variabel moderating CEO tenure. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan yang lemah antara kinerja perusahaan dengan corporate governance reporting dapat dijelaskan karena perbedaan CEO tenure. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Zuraidah dan Norman M Saleh (2005) yang dilakukan di Malaysia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal pengukuran variabel yang digunakan, periode penelitian dan lokasi. Motivasi penelitian ini adalah ingin menguji kembali penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure. Penelitian ini ingin menguji hubungan langsung antara kinerja perusahaan dan CEO tenure terhadap corporate governance (CG) reporting. Pertama, ingin diuji pengaruh langsung kinerja perusahaan dan CEO tenure terhadap praktek corporate
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 governance reporting. Yang kedua penelitian ini ingin menguji apakah CEO tenure memoderasi hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG reporting. Shen (2003) dalam Zuraidah (2005) menyatakan bahwa semakin lama masa jabatan CEO maka dia akan mengungkapkan lebih rendah praktek corporate governance karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang dimilikinya, juga rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa jabatan CEO yang lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of director dan stakeholders, belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari kekuasaannya, sehingga akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate governance. Kontribusi penelitian ini adalah agar investor memiliki pengetahuan mengenai kinerja perusahaan dilihat dari corporate disclosure reporting dan CEO tenure. Selain itu penelitian ini membantu para manajer dapat mengambil keputusan yang tepat dalam rangka perbaikan kinerja sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai, juga diharapkan penelitian ini menambah kajian literature tentang hubungan antara kinerja perusahaan dengan corporate governance disclosure yang tidak konsisten. Dengan menambah moderating variabel CEO tenure diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi pada manajemen dan perusahaan dalam memberikan perhatian terhadap kinerjanya. Sistematika pembahasan dalam paper ini adalah pendahuluan, kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis, metodologi penelitian, analisis pembahasan dan kesimpulan.
Kerangka teoritis 1. Corporate governance Reporting dan Kinerja perusahaan Pengaruh kinerja perusahaan terhadap disclosure adalah isu dasar dalam literatur voluntary disclosure (Miller, 2002). Lang & Lundholm (1993) menemukan bahwa secara keseluruhan perusahaan akan mendisclose lebih banyak dalam tahun dimana annual earnings sangat tinggi. Namun masih terdapat bukti yang kontradiksi mengenai hubungan antara kinerja dengan disclosure, misalnya Raffournier (1995) menemukan bahwa profitability tidak signifikan mempengaruhi voluntary disclosure. Gonedes, Dopuch, and Penman (1976) meneliti mengenai aturan pengungkapan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 dan sejauh mana aturan pengungkapan konsisten dengan alokasi sumber daya secara optimal. Verrecchia (1983 dan 1990) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kinerja perusahaan dan kualitas disclosure. Kinerja yang bagus akan memotivasi manager untuk mendisclose informasi perusahaan lebih detail (termasuk praktek corporate governance) agar dapat mendorong posisi yang berkelanjutan dan insentive yang besar (Raffournier, 1995). Sebuah survey yang dilakukan oleh McKinsey & Co menunjukkan bahwa corporate governance menjadi perhatian utama para investor menyamai kinerja financial dan potensi pertumbuhan, khususnya bagi pasar-pasar yang sedang berkembang. Investor cenderung menghindari perusahaan yang buruk dalam penerapan corporate governance (Tjager, dkk :2003). Salah satu keputusan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan adalah melakukan pelaporan corporate governance
dengan mengungkapkan informasi
kepada para stakeholders. Pengungkapan informasi yang memadai diberikan oleh perusahaan karena mempunyai kepentingan yaitu adanya harapan mengenai dampak positif dari pengungkapan informasi yang disampaikan. Manajemen akan memberikan dan mengungkapkan informasi secara sukarela dipengaruhi oleh biaya dan manfaat yang diperoleh. Manajemen akan mengungkapkan informasi secara sukarela bila manfaat yang diperoleh dari pengungkapan informasi tersebut lebih besar dari biayanya ( Elliot dan Jacobson,1994 dalam Gulo ,2000). Elliot dan Jacobson (1994) dalam Gulo(2000) menemukan bahwa manfaat pengungkapan informasi secara sukarela adalah semakin kecilnya biaya modal (cost of capital). Penelitian tentang kelengkapan pengungkapan (disclosure) dalam laporan tahunan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Simanjuntak dan Lusy Widiastuti (2004) dan Aryati (2006). Penelitian Kusumawati dan Bambang Riyanto (2006) berusaha untuk menginvestigasi apakah investor benar-benar rela membayar premium yang lebih tinggi jika praktek corporate governance dilaporkan dalam annual report perusahaan. KNKG (Komite Nasional Kebjakan Governance) telah mengeluarkan pedoman mengeluarkan pedoman umum tentang good corporate governance di Indonesia tahun 2006. Pedoman ini diterbitkan untuk menyempurnakan pedoman
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yang telah diterbitkan pada tahun 2001. Pada tahun 2006, bapepam juga telah mengeluarkan peraturan mengenai Corporate governance yang wajib ditaati oleh perusahaan pada tahun 2008. Kinerja perusahaan sangat penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan pengungkapan dan Corporate governance (Zuraidah, 2005). Beberapa penelitian yang menjelaskan hubungan antara kinerja perusahaan dan pengungkapan seperti Miller (2002), Lang & Lundholm (1993), dan Darmawati,dkk (2005), menyatakan bahwa
terdapat
hubungan
struktur
corporate
governance
dengan
kinerja
perusahaan dan reaksi pasar. Pendapat ini didukung juga oleh Mayangsari (2003), Majidah (2004) dan Suranta (2004). Serta penelitian Darmawati (2004), Majidah (2004), Suranta (2004) yang mengukur struktur Corporate governance dengan kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan return on asset (ROA) dan return on equity (ROE). Hal ini dapat dijadikan dasar umum dalam mengembangkan kerangka kerja dari pengungkapan CG. Walaupun mereka mencoba menguji faktor lain seperti ukuran perusahaan (Raffourner,1995), dan aktivitas luar negeri dan biaya kepemilikan (Depoers,2004), earnings management (Chtoutou et al 2001; Kasznik 1999, Klein A 2002; Siregar, dan Siddharta Utama (2006), kinerja perusahaan (Darmawati dkk 2005). Arsjah (2002) menggunakan skor dari survei peringkat CG yang dilakukan IICG dan CLSA sebagai ukuran dari CG. Sedangkan PBV digunakan sebagai ukuran pengukuran kinerja perusahaan dengan variabel kontrol yaitu ROE, Growth, dan Beta saham perusahaan.
2. Corporate governance Reporting, Kinerja dan CEO tenure Jensen dan Meckling (1976) menunjukkan adanya unsur tambahan yang dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Salah satu unsur tersebut
adalah bekerjanya pasar tenaga kerja. Agen bisa tidak bermasa depan
bila kinerjanya buruk. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan pemegang saham yang dikelolanya. Shen (2003) seperti dikutip oleh Zuraidah (2005) menyatakan bahwa karakteristik dari CEO adalah sangat penting dalam Corporate governance, oleh karena itu, akan menjadi relevan dalam pelaporan Corporate governance. Tingkatan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 yang berbeda pada masa jabatan CEO akan mempengaruhi baik pengembangan kepemimpinan CEO juga kesempatan untuk mengendalikan manajemen. Luasnya kinerja dan masa jabatan CEO mempengaruhi tingkat pelaporan Corporate governance belum banyak dilakukan penelitian terhadap hal tersebut. Shen (2003) menyatakan
bahwa
semakin
lama
masa
jabatan
mengungkapkan lebih rendah atau lebih sedikit
CEO
maka
dia
akan
praktek corporate governance
karena dia akan memilih posisi yang aman dari kekuasaan yang dimilikinya, juga rendahnya pengawasan dari board of director. Sebaliknya masa jabatan CEO yang lebih pendek, maka lebih besar pengawasan dari board of director dan stakeholders, belum mempunyai posisi yang aman dilihat dari kekuasaannya, sehingga akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate governance. Dalam Zuraidah (2005)
menyatakan bahwa masa jabatan CEO yang lebih pendek akan
mendisclose lebih banyak dibandingkan masa jabatan CEO lebih lama. Variabel CEO tenure dalam penelitiannya juga menunjukkan prediktor CG Reporting yang signifikan.
Variabel Kontrol Terdapat dua variabel kontrol yang akan dimasukkan dalam penelitian ini. Pertama, seperti Bushman et al. (2004), dalam penelitian ini juga akan dimasukkan umur perusahaan. Kedua, variabel borrowing juga akan dimasukkan
sebagai
variabel control. Borrowing/ gearing diukur dengan total hutang dibagi dengan total assets (Banhart & Rosenstein, 1998; Hutchinson & Gul, 2004) dalam Zuraidah (2005). Oleh karena itu dua variable control yang akan dimasukkan dalam penelitian ini , yaitu : a. Umur perusahaan Umur perusahaan dapat diukur dengan tepat dari tanggal berdirinya perusahaan. b. Borrowing Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Rerangka Model Penelitian Hubungan antar variable dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1 Rerangka Model Penelitian Variabel Independen:
Variabel Dependen:
Firm Performance
CorporateGovernance
Variabel Control :
Reporting
Firm’s Age Borrowing
Variabel Moderating : CEO tenure
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pengujian hipotesis. Penelitian ini ingin menguji hubungan antara kinerja perusahaan dengan CG Reporting dengan variabel moderating CEO tenure. Selain itu juga akan dimasukkan variabel kontrol yaitu : umur perusahaan, tingkat hutang, dan kinerja lingkungan. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan go publik yang terdaftar di BEJ pada tahun 2005.
Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga hipotesis yaitu: H1
:Terdapat korelasi positif antara kinerja perusahaan dengan Corporate governance Reporting
H2
: Perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih pendek akan mengungkapkan lebih banyak dalam praktek Corporate governance dibanding dengan perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih lama.
H3
: Hubungan antara kinerja perusahaan dan pelaporan Corporate
governance adalah lebih kuat untuk perusahaan dengan masa jabatan CEO lebih pendek dibanding dengan masa jabatan CEO lebih lama.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Variabel dan Pengukuran 1. Dependent Variable : Corporate governance Reporting Variabel ini
mengukur berapa
banyak
butir
laporan tahunan
yang
diungkap oleh perusahaan. Butir pengungkapan corporate governance dalam laporan
tahunan
Penelitian
ini
yang diukur
menggunakan
meliputi yang Indeks
bersifat
Corporate
sukarela (voluntary).
governance
(CGIX)
yang
dikembangkan oleh Silveira & Baros (2006) dengan beberapa modifikasi. CGIX yang dikembangkan dalam penelitian ini mengikuti cara pembentukan indeks oleh Silveira & Barros (2006) dengan penyesuaian terhadap keadaan dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Indeks dari Silveira & Barros ini dijadikan acuan dalam pengukuran CG karena Brazil sebagai negara tempat penelitian mereka memiliki karakter yang cukup mirip dengan Indonesia yaitu developed country dengan kepemilikan saham yang terkonsentrasi pada keluarga. Terdapat 22 item pertanyaan dengan jawaban biner (Ya-Tidak) dalam menghitung indeks CG ini. Setiap jawaban positif (Ya) akan diberi nilai 1, jika tidak dijawab atau tidak terdapat informasinya dalam Laporan Tahunan, keuangan, dan website perusahaan atau jawabannya negatif (Tidak) akan diberi nilai 0 sehingga range nilai untuk setiap perusahaan berkisar antara 0 sampai 22. Perusahaan dengan angka indeks yang lebih tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut
melakukan
praktik
pengungkapan
secara
lebih
komprehensif relatif dibanding perusahaan lain. Daftar item pengungkapan dapat dilihat dalam lampiran 1. 2. Independent Variable : Kinerja Perusahaan (Firms’ Performance) Shen menyatakan (2003), dalam Zuraidah (2005) menyatakan bahwa kinerja perusahaan dapat diukur dengan banyak indikator, termasuk tingkat pengembalian keuangan perusahaan (accounting based performance) dan posisi persaingan di pasar (market based performance). Penelitian ini menggunakan Accounting Based Performance (ROE) dan Market Based Performance (return saham). Accounting Based Performance (ROE) digunakan rasio untuk mengukur kinerja keuangan yaitu Return On Equity, dengan rumus: Return On Equity (ROE) =
Net Income Stockholder’s Equity
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Market Based Performance (return saham) = Closing Price t – Cl. Price t-1 Closing Price t-1 Data Harga saham yang tersedia dalam ICMD adalah data bulanan yang akan dihitung rata-ratanya selama setahun.
3. Moderating Variable Masa jabatan seorang CEO di suatu perusahaan dapat dihitung dengan jumlah tahun CEO itu menjabat di posisinya. Mengikuti penelitian sebelumnya (Pallant, 2001 dan Zuraida , 2005), dalam penelitian ini umur CEO juga diukur dengan kuadrat dari umur CEO.
4. Control Variable Dua variabel yang digunakan sebagai variable control di dalam penelitian ini, adalah : a. Firm’s Age Mengikuti Bushman et.al. (2004) maka dalam penelitian ini dimasukkan umur perusahaan sebagai variabel control. Umur Perusahaan diukur dari tanggal berdirinya perusahaan yang diakarkuadratkan ( Pallant, 2001). b. Borrowing Pinjaman perusahaan dapat dihitung dengan total utang atas harta.
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data berupa laporan tahunan perusahaan tahun 2005. Populasi penelitian ini adalah semua perusahaan manufacturing yang terdapat di Bursa Efek Jakarta. Sampel dipilih dengan metode purposive random sampling dengan kriteria: 1. Emiten mempunyai tahun buku yang berakhir 31 Desember. 2. Emiten mempunyai nilai buku ekuitas positif untuk tahun 2005. Emiten dengan nilai ekuitas negatif tidak dipilih karena dengan ekuitas negatif berarti emiten dalam keadaan insolvent atau mengalami kesulitan keuangan yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 serius. Data pelaporan corporate governance dihitung dari annual report dan dari web perusahaan. Data lain diambil dari ICMD, laporan keuangan perusahaan dan dari annual report. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 perusahaan.
Metode Analisis Data Pengujian data dilakukan dengan regresi berganda setelah melakukan uji asumsi klasik berupa uji multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Terdapat tiga Model Persamaan yang akan diuji yaitu : 1. CGIX 2. CGIX
= α+ß1 Age + ß2Borrowing+ε
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß3 Firms Performance + ß 4 CEO + ε
3. CGIX
……….(1) …………(2)
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß 3Firms Performance + ß 4 CEO + ß 5 Firms Perf x CEO + ε
Persamaan 1 untuk menguji
.………(3)
pengaruh control variables umur dan Borrowing
terhadap CGIX. Persamaan 2 dilakukan untuk menguji variable utama yaitu kinerja perusahaan dan CEO tenure dan control variable terhadap CGIX. Persamaan 3 dilakukan untuk melihat efek interaksi antara CEO tenure terhadap hubungan antara firm performance dan GCIX. Jika terjadi pengaruh yang signifikan dalam efek interaksi antara firm performance dan CEO tenure maka terdapat efek moderating. Efek moderating tersebut ada CEO tenure memoderating hubungan antara firm performance dan CGIX.
4. Analisis dan Pembahasan Tabel 1 berikut ini merupakan statistic deskriptif semua variabel yang dianalisis. Nilai rata-rata corporate governance indeks
sebesar
0.59 dengan
standar deviasi sebesar 1.13. Sedangkan tabel 2 menunjukkan matriks korelasi antar semua variabel. Baik ROE maupun Returns berhubungan positif dengan CG Indeks. Korelasi yang significan adalah antara CG Indeks dengan Borrowing dengan korelasi 0.369 signifikan pada level 0.05.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Tabel 1 Statistik Deskriptif Std. N
Minimum
Maximum
Mean
Deviation
INDEKS
30
.40910
.95450
.5863600
.13150529
BORROW
30
.10450
.83240
.4413600
.18978135
30
1.00000
2.82843
30
3.00000
7.34850
ROE
30
.00340
.97100
.1367833
.17796274
RETURNS
30
.00030
.08090
.0114033
.01482901
CEO AGE
Valid N (listwise)
2.249443 1 5.034060 0
.64861059 .99565599
30
Tabel 2 Matriks Korelasi Variabel Correlations INDEKS
BORROW
CEO
AGE
ROE
RETURNS
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
INDEKS BORROW 1 .369* . .045 30 30 .369* 1 .045 . 30 30 -.319 .136 .086 .475 30 30 .122 .162 .521 .393 30 30 .172 -.248 .365 .187 30 30 .172 -.248 .363 .187 30 30
CEO -.319 .086 30 .136 .475 30 1 . 30 -.002 .990 30 -.206 .275 30 -.206 .275 30
AGE .122 .521 30 .162 .393 30 -.002 .990 30 1 . 30 .138 .468 30 .137 .469 30
ROE RETURNS .172 .172 .365 .363 30 30 -.248 -.248 .187 .187 30 30 -.206 -.206 .275 .275 30 30 .138 .137 .468 .469 30 30 1 1.000** . .000 30 30 1.000** 1 .000 . 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Dalam melihat pengaruh kinerja perusahaan terhadap CG Indeks terdapat dua konstruk kinerja yang berbeda, yaitu kinerja akuntansi dan kinerja pasar. Kinerja akuntansi menggunakan ROE dan hasil pengujiannya dapat dilihat dalam Tabel 3, sementara kinerja pasar menggunakan returns saham yang hasil pengujiannya dapat dilihat dalam Tabel 4. Pengujian
dilakukan
dengan
melakukan
uji
asumsi
klasik
terhadap
otokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearity. Pengujian terhadap otokorelasi dan
heteroskedastisitas
terhadap
seluruh
model
sudah
lolos,
kecuali
uji
multikolinearitas antara variabel kinerja dan variabel interaksi kinerja dan CEO Tenure. Hal ini dapat dipahami karena variabel interaksi adalah perkalian antara variabel CEO dengan Kinerja. Tabel 3 merupakan hasil regresi kinerja akuntansi (ROE) dan CEO tenure terhadap CG Indeks dengan menggunakan tiga model. Model pertama hanya memasukkan variabel kontrol yaitu umur perusahaan dan borrowing; model kedua dengan menambahkan pengaruh langsung ROE dan CEO tenure; dan model ketiga dengan menambahkan interaksi antara ROE dengan CEO tenure. Berdasarkan Model pertama, variabel kontrol dapat menjelaskan 7.7% variasi CG Reporting ( CG Indeks). Dari dua variabel kontrol Borrowing dan umur perusahaan, variabel borrowing ternyata signifikan menjelaskan CG Reporting pada level 10% dengan arah positif. Hipotesis 1 yang memprediksikan bahwa CG Reporting mempunyai hubungan positif dengan kinerja perusahaan dapat dilihat dalam model kedua. Berdasarkan model kedua dapat dilihat bahwa CG reporting dan ROE berhubungan positif tetapi tidak signifikan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Tabel 3 Regresi Model 1,Model 2, dan Model 3 dengan kinerja ROE 1. CGIX 2. CGIX
= α+ß1 Age + ß2Borrowing+ε
……….(1)
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß3 ROE + ß 4 CEO + ε
3. CGIX
…………(2)
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß 3 ROE + ß 4 CEO + ß 5 ROE x CEO + ε
Variabel
.………(3)
Model 1
Model 2
Model 3
intercept
0.434**
0.566***
0.505***
Borrowing
0.249*
0.323**
0.309*
Firms’Age
0.008
0.002
0.002
0.159
0.595
-0.068*
-0.036
Efek Utama: ROE CEO tenure Interaksi: ROE x CEO tenure
-0.236
R2
0.14
0.319
0.335
Adj R2
0.077
0.210
0.196
Perubahan Adj R2
0.077
0.133
-0.14
F-stat
2.205
2.924
2.413
signifikansi
0.130
0.041**
0.066*
*** signifikan pada level 0.01 ** signifikan pada level 0.05 *
signifikan pada level 0.10 Hipotesis 2 memprediksikan bahwa
umur CEO yang lebih pendek
mengungkapkan lebih banyak CG reporting dapat dilihat pada model 2. Hasilnya ternyata CEO tenure mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap CG
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Reporting pada level 10%. Dengan kata lain semakin lama umur CEO maka akan mengungkapkan corporate governance yang lebih sedikit. Hasil ini mendukung hipotesis kedua. Jika dilihat dari nilai adjusted R square maka terdapat perubahan adjusted r square sebesar 13.3% antara model 1 dan model 2. Hal ini dapat dikatakan bahwa model 2 dapat menjelaskan variasi variabel utama dengan lebih baik. Hasil F statistik model 2 sebesar 2.924 dan signifikan pada level 5%, artinya secara bersama-sama, variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Model 3 merupakan model yang memasukkan unsur interaksi antara CEO Tenure dengan ROE. Hipotesis 3 memprediksikan bahwa CEO Tenure memoderasi hubungan antara ROE dan CG Reporting. Jika dilihat hasil regresi model 3, koefisien interaksi ternyata tidak signifikan mempengaruhi hubungan ROE dan CG Reporting dengan koefisien interaksi sebesar -0.236. Hasil ini ternyata tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zuraidah (2005) di Malaysia, dimana CEO Tenure memoderasi hubungan antara ROE dan CG Reporting. Variabel CEO tenure yang pada model kedua hasilnya signifikan, namun pada model 3 ternyata menjadi tidak signifikan lagi. Variabel kontrol yaitu borrowing ternyata signifikan mempengaruhi CG Reporting dengan tingkat signifikansi 10%. Jika dilihat secara keseluruhan dari Model 3 dapat dikatakan bahwa variasi seluruh variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variasi variabel CG Reporting sebesar 33.5%, sedangkan sisanya sebesar 66.5% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model. Dari Uji F, dapat dilihat bahwa secara bersama-sama variabel independen dan variabel kontrol dapat menjelaskan variabel CG Reporting dengan signifikansi 10%. Jika sebelumnya kinerja perusahaan diproksikan dengan ROE, maka berikut ini kinerja perusahaan diproksikan dengan return saham. Tabel 4 menunjukkan hasil pengujian regresi antara efek utama, interaksi, dan CEO tenure terhadap CG Reporting dengan tiga tahap regresi. Model pertama hanya memasukkan variable control yaitu umur perusahaan dan borrowing. Model kedua menambahkan variable utama yaitu returns saham dan CEO Tenure; dan Model 3 memasukkan variable interaksi antara Returns saham dan CEO Tenure.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4 Regresi Model 1, Model 2 dan Model 3 dengan Kinerja Returns 1 CGIX
= α+ß1 Age + ß2Borrowing+ε
……….(1)
2. CGIX
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß3 Returns + ß 4 CEO + ε
3. CGIX
…………(2)
= α + ß1 Age + ß2 Borrowing + ß 3 Returns + ß 4 CEO + ß 5 Returns x CEO + ε
Variabel
.………(3)
Model 1
Model 2
Model 3
intercept
0.434**
0.565***
0.504***
Borrowing
0.249*
0.323**
0.309*
Firms’Age
0.008
0.002
0.002
1.914
7.274
-0.068*
-0.035
Efek Utama: Returns CEO tenure Interaksi: Returns x CEO
-2.899
tenure R2
0.14
0.319
0.335
Adj R2
0.077
0.210
0.197
Perubahan Adj R2
0.077
0.133
-0.13
F-stat
2.205
2.928
2.425
signifikansi
0.130
0.041**
0.065*
*** signifikan pada level 0.01
*
signifikan pada level
0.10 ** signifikan pada level 0.05
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Hipotesis 1 memprediksi bahwa CG Reporting mempunyai hubungan positif dengan kinerja perusahaan, sedangkan hipotesis 2 memprediksikan bahwa CEO Tenure berhubungan negatif dengan CG Reporting. Setelah memasukkan variabel kontrol umur perusahaan dan borrowing, Model 2 memperlihatkan bahwa returns saham tidak signifikan mempengaruhi CG Reporting, namun mempunyai arah yang positif sesuai dengan hipotesis. Hasil model kedua ternyata tidak mendukung hipotesis pertama. Hal ini ternyata juga sama dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Zuraidah (2005) yang tidak mendukung hipotesis pertama. Di lain pihak, CEO Tenure ternyata merupakan faktor yang signifikan ( pada p < 0.01) mempengaruhi CG Reporting dengan arah negatif. Hal ini berarti hipotesis 2 didukung. Model ini memiliki kekuatan menjelaskan sebesar 13.3% dibandingkan model 1. Hipotesis 3 berhubungan dengan pengaruh interaksi antara CEO Tenure dengan Returns saham terhadap CG Reporting. Seperti pada analisis model 3 dengan kinerja ROE, maka pada model 3 dengan memasukkan pengaruh interaksi interaksi menaikkan kekuatan model sangat kecil yaitu sebesar 1.6% ( ∆R2= 1.6%). Variabel interaksi ternyata tidak signifikan dengan koefisien -2.899. Model 3 tidak mendukung hipotesis 3. Namun jika dilihat dari uji F, dapat dilihat bahwa secara bersama-sama variable independen dan variable control dapat menjelaskan variabel CG Reporting dengan signifikansi 10%.
Pembahasan Pengujian H1 dan H2 Regresi bertahap dengan tiga model digunakan untuk menguji Hipotesis 1 dan Hipotesis 2. Dalam Hipótesis 1, Kinerja perusahaan mempunyai hubungan positif dengan CG Reporting, digunakan dua pengukuran yang berbeda, yaitu kinerja akuntansi dan kinerja saham. Hasilnya menunjukkan bahwa jika digunakan kedua kinerja tersebut, maka Kinerja perusahaan berhubungan positif dengan CG Reporting tetapi tidak signifikan. Oleh karena itu, kedua variabel pengukuran kinerja tersebut tidak dapat mendukung hipótesis pertama. Hasil ini konsisten dengan Raffournier (1995), Labelle (2002), dan Zuraidah (2005) yang menemukan hubungan yang lemah antara kinerja perusahaan dengan disclosure.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Penelitian ini juga ingin melihat efek CEO tenure dan kinerja perusahaan dalam mempengaruhi CG Reporting. H2 menyatakan bahwa semakin pendek umur CEO akan mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan Umur CEO yang lebih panjang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa CEO Tenure merupakan variabel yang signifikan mempengaruhi CG Reporting. Dalam tahap awal umurnya, sebagian besar manager menggunakan waktunya untuk beradaptasi dengan perubahan, dan untuk memahami operasi dan orang-orang yang mendukung perusahaan. Sesuai dengan adverse selection dan information asymetry, hasil ini mendukung, bahwa manager yang muda akan mengungkapkan lebih banyak praktek corporate governance. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan stakeholders kepadanya, dan akhirnya dia dalam posisi yang aman dalam pekerjaannya maupun promosi yang lebih baik. Oleh karena itu,
CEO yang baru cenderung untuk
mendisclose lebih banyak dibandingkan dengan CEO yang lama.
Pengaruh Interaksi (H3) Selain melakukan pengujian terhadap pengaruh variable utama yaitu kinerja dan CEO Tenure, penelitian ini juga menguji pengaruh interaksi kinerja dengan CEO Tenure. Diharapkan hubungan yang positif antara kinerja perusahaan dengan CG Reporting akan dimoderating dengan CEO Tenure ( H3). Hasil analisis baik menggunakan kinerja akuntansi maupun kinerja saham ternyata tidak mendukung pengaruh interaksi CEO Tenure dengan kinerja terhadap CG Reporting. Bagi manajer yang relatif baru di perusahaan, mereka akan tidak banyak melakukan pengungkapan corporate governance walaupun kinerja perusahaan rendah. Di lain pihak, manajer yang sudah lama justru akan melakukan pengungkapan yang lebih banyak, walaupun kinerja perusahaan sudah baik. Hasil hipotesis 3 ternyata tidak konsisten dengan penelitian Zuraidah (2005), walaupun hubungannya lemah. Dalam penelitian ini, manajer yang baru tidak banyak melakukan pengungkapan walaupun kinerja perusahaan baik, sebaliknya manajer yang lama juga tidak banyak mengungkapkan walaupun kinerja perusahaan baik. Hal ini cukup menarik untuk dilakukan penelitian lanjutan mengenai earnings manajemen yang berkaitan dengan CEO Tenure.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan pada literatur voluntary disclosure dan corporate governance, penelitian ini ingin menguji pengaruh kinerja perusahaan, CEO Tenure terhadap CG Reporting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan berhubungan positif dengan CG Reporting, namun tidak signifikan. Sementara itu, hasil pengujian terhadap CEO Tenure menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan terhadap CG Reporting. Hal ini berarti bahwa manajer yang relatif baru akan melakukan pengungkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan manajer yang relatif sudah lama. Hasil analisis hipotesis 3 baik menggunakan kinerja akuntansi maupun kinerja saham ternyata tidak mendukung pengaruh interaksi CEO Tenure dengan kinerja terhadap CG Reporting. Keterbatasan 1. Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit karena keterbatasan waktu. Diharapkan penelitian berikutnya menambah jumlah sampel dan jenis industri agar kesimpulan lebih dapat digeneralisasikan. 2. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel size sebagai variabel utama yang mempengaruhi disclosure, seperti Raffournier (1995) dan Depoers (2000), sehingga
penggunaan
variabel
size
sebagai
variabel
utama
dapat
dipertimbangkan. 3. Pengukuran variabel CG Reporting juga mempunyai keterbatasan karena perdebatan yang panjang. Saran 1. Penelitian berikutnya dapat dipertimbangkan faktor-faktor organisasional yang lain, seperti heterogenitas team manajemen perusahaan, umur dan kepemilikan perusahaan. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian mengenai earnings manajemen yang dikaitkan dengan CEO Tenure. 2. Perlu juga dipertimbangkan mengenai kapan dan bagaimana perusahaan tertentu
mempunyai
kualitas
disclosure
yang
lebih
baik
dibandingkan
perusahaan yang lain, sehingga dapat diketahui pengaruh langsung atau tidak langsung CG Reporting dalam isu corporate Governance dapat lebih dipahami. Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 DAFTAR PUSTAKA
Arsjah, Regina Jansen .2002. “Pengaruh Corporate governance pada kinerja perusahaan di BEJ”, Thesis, Program Studi Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas _________________, 2005. “Hubungan Corporate governance, Nilai Perusahaan dan Pengelolaan Laba di Bursa Efek Jakarta”, Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Aryati, Titik., 2006. Pengaruh Leverage, Saham Publik, dan Reputasi Auditor terhadap Disclosures. Jurnal Akuntansi. Th X/02/Mei/2006 Universitas Tarumanagara. Jakarta. __________, 2004. Analisis Luas Pengungkapan Sosial Dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap reaksi Investor. Jurnal Akuntansi, Vol 4 Nomor 3 Sept 2004. Ukrida. Jakarta. __________, dan Nindhita Gita Meidiyani, 2005. Analisis Hubungan antara Struktur Corporate
governance
dengan
Nilai
Perusahaan
dan
Kinerja
Keuangan.Jurnal Ekonomi STEI, Jakarta. Darmawati, Deni., Rika Gelar Rahayu. 2004. Hubungan Corporate governance dan kinerja perusahaan. Simposium Nasional Akutansi VII . Denpasar Bali, hal. 391-405. ____________, Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu. 2005. Hubungan Corporate governance dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol8.No.1 Januari 2005.65-81.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Damiri, Mas Achmad. 2005. Good Corporate governance Konsep dan Penerapan dalam Konteks Indonesia. Gloria Printing, Jakarta. Depoers, F. 2000. A cost-benefit study of voluntary disclosure : some empirical evidence from French listed companies. The Eropean Review, 9 : 245-263. Gonedes, Nicholas j, N. Dopuch, and S.H. Penman. 1976. Disclosure Rules, Information Production, and Capital Market Equilibrium : The Case of Forecast Disclosure Rules. Journal of Accounting Research, Spring. Pp 89136. Gulo, Yamotuho.2000. Analisis Efek Luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Terhadap Cost of Equity Capital Perusahaan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi.Vol 2. No.1,April 2000,45-62. Jensen, M.C, & Meckling, W.H. 1976. Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics,3:305360. Komite Nasional Kebijakan Corporate governance. Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan Koporasi di Indonesia. Jakarta: YPPMI Institute FCGI, 2002. Kusumawati, Dwi Novi dan Bambang Riyanto Ls. 2006. Transparency and Corporate governance : Analysis of Factors Affecting Transparancy and Its Effect on Market Value of the Firm. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9. No 2 Mei 2006.115-135. Lang, M.H. and R.J Lundholm.1993. Cross-sectional Determinants of Analyst Ratings of Corporate Disclosures. Journal of Accounting Researsh 31 : 246271.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Lastanti, Hexana S. 2003. Hubungan Struktur Corporate governance dengan Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar. Konferensi Nasional Akutansi, Peran Akuntan dalam Membangun Good Corporate governance sesi Akutansi Manajement, pp. 1-15. Majidah. 2004. Hubungan Kausalia Mekanisme dan Proses Tata Kelola Perusahaan Serta Kineja Keuangan. Proceding Konfrensi Nasional Akutansi, Topik Akutansi Keuangan, Sesi II. Universitas Trisakti, Jakarta, hal 1-14. Mayangsari, Sekar. 2003. Analisa Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, Serta Mekanisme Corporate governance Terhadap Integritas Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akutansi VI , pp. 1255-1267. Raffournier, B. 1995. The Determinants of voluntary financial disclosure by Swiss listed companies. The Eropean Accounting Review, 4 : 261 -280. Shen,W.2003. The Dynamics of the CEO-board relationship : an evolutionary perspective, Academy of Management Review, Vol 28 No 3, 466-476. Silveira and Barros .2006. “Corporate governance Quality and Firm Value in Brazil”. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=923310 Solomon, Jill dan Aris Solomon. 2004. Corporate Governance and Accountability. John Willey and Son. Sulistiyanto, Sri., 2003. Good Corporate governance: Bisakah Meningkatkan Kepercayaan
Masyarakat?.
Jurnal
“Ekonomi
&
Bisnis-EKOBIS”,
vol./No.1/Januari 2003, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung semarang. Suranta, Eddy., dan Pratana P Midiastuty. 2004. Pengaruh Good Corporate governance terhadap praktek manajement laba. Proceeding Konfrensi
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Nasional Akutansi, Bidang Ilmu, Topik Akutansi Manajement, Sesi 1. Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 1-18. Suratno,
Ignatius
Bondan,
Darsono,
dan
Siti
Mutmainah.2007.
Pengaruh
Environmental Performance Disclosure dan Economic Performance (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Periode 2001-2004). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.Vol 10 No 2 Mei 2007.hal 199-214. Simanjuntak,Binsar.H,dan Lusy Widiastuti.2004.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan
Pengungkapan
Laporan
Keuangan
pada
Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntasi Indonesia. Vol.7,No.3.Hal.351-366. Siregar, Sylvia Veronica, dan Siddharta Utama. 2006. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate governance terhadap Pengelolaan Laba ( Earnings Management). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9 no 3 September 2006.. Tjager, I Nyoman, Antonius Alijoyo, Humphrey R Djemat dan Bambang Soembodo. 2003. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi komunitas bisnis Indonesia. FCGI. Prenhallindo. Verrecchia, R.E. 1983. Discretionary Disclosure. Journal of Accounting & Economics 5 : 179-194. _____________. 1990. Information Quality and Discretionary Disclosure. Journal of Accounting & Economics 4 : 365-381. Zuraidah,MS. dan Norman M saleh.2005.The Moderating Effect of CEO tenure on The
Firm
Performance
Relationship.Conference
and
Corporate
Proceedings,
Asean
governance
Reporting
Academic
Accounting
Assosiation Conference.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 LAMPIRAN 1 : Daftar Pertanyaan CGIX
Dimensi
No.
Pertanyaan Corporate Governance Index
1
Apakah perusahaan memiliki website ?
2
Apakah Laporan Tahunan dipublikasikan melalui website perusahaan?
Akses
3
Apakah website perusahaan mempublikasikan dokumen mengenai implementasi CG?
Informasi 4
Apakah website perusahaan menyediakan dua bahasa (bilingual) atau hanya berbahasa Inggris?
5
Apakah perusahaan memiliki bagian Investor Relations atau Sekretaris Perusahaan?
6
Apakah faktor risiko yang dihadapi perusahaan diungkapkan dalam Laporan Tahunan?
7
Apakah terdapat deskripsi implementasi penerapan corporate governance di Laporan Tahunan perusahaan?
8
Apakah laporan keuangan perusahaan telah diaudit oleh auditor yang independen?
Isi Informasi
9
Apakah laporan keuangan dibuat berdasarkan PSAK?
10
Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai proyeksi atas sasaran di masa datang?
11
Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai praktik perusahaan terhadap lingkungan (CSR), kesehatan, dan keamanan pegawainya?
12
Apakah Laporan Tahunan menyediakan data mengenai kompensasi bagi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris?
13
Apakah Laporan Tahunan menyediakan informasi tentang riwayat hidup anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi?
14
Apakah Laporan Tahunan menydiakan data informasi daftar kepemilikan saham perusahaan?
15
Apakah fungsi CEO dan Presiden Komisaris dipegang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008 Dimensi
No.
Pertanyaan Corporate Governance Index oleh orang yang berbeda?
16
sama dengan 30% dari jumlah total anggota Dewan
Struktur
Komisaris?
Dewan Komisaris dan
Apakah proporsi komisaris independen lebih dari atau
17
Apakah perusahaan memiliki komite audit, komite remunerasi, dan atau komite nominasi dan
Komite
keberadaannya diungkapkan dalam Laporan Tahunan? 18
Apakah salah sat anggot komite audit yang diungkapkan dalam Laporan Tahunan memiliki kompetensi dalam akuntansi?
Struktur
19
Apakah perusahaan hanya mengeluarkan saham biasa?
20
Apakah jumlah saham preferen yang beredar lebih dari 50% dari total saham tersebut?
Kepemilkan dan
21
Apakah pemegang saham pengendali memiliki kepemilikan kurang dari 70% dari total saham biasa
Perusaahaan
beredar? 22
Apakah perusahaan memiliki divisi internal audit yang keberadaannya diungkapkan dalam Laporan Tahunan?
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV012- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
ANALISIS DAMPAK PRAKTEK CORPORATE GOVERNANCE DAN LUAS PENGUNGKAPAN SUKARELA TERHADAP EARNINGS RESPONSE COEFFICIENT PADA PRAKTEK PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA*)
Vinola Herawaty Dosen Universitas Trisakti sedang menempuh Program Doktor Ilmu Akuntansi Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Abstract
This study extends the prior research on corporate governance and voluntary disclosure and examines whether corporate governance and voluntary disclosure have impacts to the informativeness of earnings, proxied by the earnings response coefficient. Corporate Governance Practice is proxied by Institusional Ownership, Independent Directors, Manajerial Ownership and Audit Quality. The hypothesis is that there is a positive association between corporate governance practice and the informativeness of earnings and there is a negative association between voluntary corporate disclosure and the value relevance of earnings. The sample consist of 63 firms year of companies listed on The Jakarta Stock Exchange in the year period of 20042006. To test the hypothesis, cumulative abnormal returns was regressed against current earnings changes , corporate governance practice and disclosures index level. The result suggests a positif association between ERC and two corporate governance practices:
Independent Directors and Manajerial Ownership; and negative
association between audit quality and ERC. On the other hand, there is no evidence suggesting association between ERC and the other corporate governance practice; Institusional Ownership and voluntary disclosure. It means that Institusional Ownership and Voluntary Disclosure have no effect on the value relevance of
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Earnings The posibble reason is that the market believes that institusional ownership of the company does not improve the monitoring ability to the management and do not reduce management’s ability to manipulate earnings.The other posibble reason for the insignificant association of that voluntary disclosures with earning response coefficient because in annual report insufficiently revealed the information about the future prospect of the company.
Keywords: Corporate Governance, Earnings Response Coefficient, Voluntary Disclsure.
*)sekarang Bursa Efek Indonesia
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1. Pendahuluan Tujuan utama dari penerapan prinsip Corporate Governance adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui mekanisme supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan sebagai upaya untuk memperkuat dan mempertegas pertanggungjawaban dewan direksi dan tim manajemen kepada pihak pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan (Keasey & Wright,
1997;
dan
Sim
&
Teoh,
1997)
serta
mewujudkan
sustainability
(kesinambungan) dari perusahaan. Dewan komisaris bertanggung jawab
untuk
memonitor integritas laporan keuangan perusahaan. Dewan komisaris perusahaan dapat dibentuk dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan dari organisasi. Strukturnya yang bervariasi tersebut mencerminkan dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, diyakini bahwa dewan komisaris yang dibentuk untuk memaksimalkan kontrol dari perusahaan (Berle dan Means 1932; Mace 1971) Dengan pandangan ini diyakini perusahaan akan menerapkan struktur yang dapat mengkontrol manajemen perusahaan,
yang
akan
menghasilkan
kinerja
perusahaan
yang
superior
sebagaimana manajemen memiliki informasi yang yang lebih dan memiliki pengetahuan yang lebih baik atas kebutuhan perusahaan dibanding dewan komisaris independen. Disisi lain, diyakini bahwa dewan komisaris dibentuk untuk meminimalisir agency cost (Fama 1980; Fama dan Jensen 1983). Pemegang pandangan ini meyakini bahwa perusahaan akan menerapkan struktur dan membutuhkan ratifikasi dan monitoring dari tingkah laku manajemen oleh komisaris independen yang dapat meminimalisir perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. Tjager et al (2003) juga menyatakan bahwa sentralisasi isu corporate governance juga dilatarbelakangi beberapa permaslahan diantaranya adanya tuntutan akan transparansi dan independensi . Tuntutan akan transparansi dan independensi terlihat dari adanya tuntutan agar perusahaan memiliki lebih banyak komisaris independen yang mengawasi tindakan-tindakan para eksekutif. Selain peran monitoring yang dilakukan dewan komisaris independen (Barnhart & Rosenstein, 1998), praktek Corporate corporate oleh manajemen dapat melalui mekanisme monitoring untuk menyelaraskan (alignment) perbedaan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kepentingan pemilik dan manajemen antara lain dengan (1) memperbesar kepemilikan saham perusahaan manajer perusahaan oleh manajemen (manajerial ownership) (Jensen Meckling, 1976) (2) kepemilikan saham oleh institusional karena mereka dianggap sebagai sophisticated investor dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan dapat memonitor manajemen yang berdampak mengurangi motivasi manajer untuk melakukan ekspropriasi terhadap pihak minoritas dan mendisiplinkan
manajer
untuk
lebih
memfokuskan
pada
peningkatan
nilai
perusahaan jangka panjang, (3) kualitas audit yang dilihat dari peran auditor yang memiliki kompetensi yang memadai dan bersikap independen sehingga menjadi pihak yang dapat memberikan kepastian terhadap integritas angka-angka akuntansi yang dilaporkan manajemen (Mayangsari, 2003). Kualitas audit juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dari pelaporan keuangan, menurut De Angelo (1981) kualitas audit merupakan probabilitas seorang auditor dapat menemukan fraud dalam sistem akuntansi dan melaporkan fraud, sehingga diharapkan kualitas audit dapat meningkatkan praktek good corporate governance. Petra (2006) membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dan ERC, tetapi tidak ada bukti terdapat hubungan antara non CEO duality, independen audit, komite kompensasi dan nominating commitees. Keterbukaan informasi di pasar modal sangat penting bagi investor dalam pengambilan keputusan investasinya. Untuk dapat bersaing dalam era globalisasi ini, perusahaan dituntut untuk lebih transparan dalam mengungkapkan informasi perusahaannya. Salah informasi yang diungkapkan oleh perusahaan adalah informasi laba karena informasi laba akan direspon oleh investor karena memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan. Karena informasi laba saja tidak cukup sebagai dasar pengambilan keputusan, maka investor membutuhkan informasi lain yang mencerminkan kondisi perusahaan secara keseluruhan. Informasi tersebut dapat diperoleh dalam laporan tahunan. Dengan adanya informasi dalam laporan tahunan, investor tidak hanya mempertimbangkan informasi laba saja yang dapat bias tetapi juga memperhatikan infomasi lain yang ada dalam laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan yang diwajibkan berdasarkan aturan yang berlaku sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi yang melebihi yang diwajibkan. Penelitian mengenai luas ungkapan telah dilakukan. Botosan (1997) yaitu meneliti hubungan antara tingkat ungkapan dengan biaya ekuitas. Dengan meregresikan biaya ekuitas, ukuran perusahaan dan tingkat ungkapan, Botosan menemukan bahwa luas ungkapan berhubungan negatif dengan biaya modal. Sengupta (1998), yang melakukan penelitian mengenai kaitan kualitas ungkapan dengan biaya hutang, menyimpulkan adanya hubungan negatif antara kualitas ungkapan dengan biaya hutang. Selain itu hasil penelitian yang lain juga menyimpukan bahwa luas ungkapan berhubungan positif dengan likuiditas pasar (Diamond dan Verechia 1991 dalam Widiastuti 2002), berhubungan negatif dengan bid-ask spread (Greenstein dan Sami 1994) dan berhubungan positif dengan kinerja saham (Palepu et at 1999).Ronen, dkk (2003) membuktikan bahwa jika perusahaan tidak memanajemen laba, pengungkapan tambahan tidak tidak memiliki efek terhadap ERC, tetapi jika perusahaan memanajemen laba maka response terhadap berita negatif atas laba lebih besar dibanding berita positif atas laba. Widiastuti (2002), yang melakukan penelitian dengan menggunakan 67 perusahaan sampel di BEJ, tidak berhasil membuktikan bahwa luas ungkapan sukarela berhubungan negatif dengan value relevance informasi laba. Yeterina (2006) dalam pengujiannya untuk mengetahui apakah luas ungkapan sukarela berhubungan negatif dengan ERC menunjukkan hasil yang tidak signifikan. dan pengujiannya untuk mengetahui apakah luas ungkapan sukarela berhubungan positifdengan volume perdagangan saham juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dari kedua hasil pengujian tersebut bisa disimpulkan bahwa luas ungkapan sukarela tidak berhubungan negatif dengan ERC dan tidak berhubungan positif dangan volume perdagangan saham di seputar tanggal pengumuman laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Widiastuti (2002) dan Yeterina (2006), adalah dengan melihat value relevance laba yang diukur dengan menggunakan slope koefisien regresi return saham terhadap informasi laba
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
(Earnings Response Coefficient atau ERC) dengan praktek corporate governance dan luasnya pengungkapan sukarela. Sehingga penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi dampak praktek corporate governance dan pengungkapan sukarela terhadap keinformatifan laba yang diproksikan dengan Earnings Response Coefficient. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi penelitian di bidang akuntansi, yaitu terjawabnya dugaan bahwa praktek corporate governance merupakan salah satu faktor meningkatnya keinformatifan earnings dan informasi ungkapan sukarela merupakan salah satu penyebab menurunnya
value
relevance
informasi
laba.
Selain
itu,
penelitian
ini
juga
mengkonfirmasikan hasil penelitian sebelumnya tentang determinan ERC, yaitu risiko sistematik, persistensi laba, leverage, pertumbuhan laba dan ukuran perusahaan. Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah: z Apakah praktek Corporate Governance berasosiasi positif terhadap Earnings Response Coefficient? z Apakah Pengungkapan Sukarela berasosiasi negatif terhadap Earnings Response Coefficient? 2. Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesa Earnings Response Coefficient sebagai proksi keinformatifan laba Koefisien respon laba atau Earnings Response Coefficient (ERC) merupakan ukuran tingkat abnormal return sekuritas dalam merespon komponen unexpected earnings yang dilaporrkan dari perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Scott (1997). Beaver (1968) dalam Yeterina (2006) mengemukakan bahwa ERC merupakan sensitivitas perubahan harga saham terhadap perubahan laba akuntansi. Warfield et.al. 1995 dan Vafeas 2000 mengatajkan
keinformativan dari laba diproksikan dengan baik oleh
hubiungannya dengan return pasar. Lev dan Zarowin (1999) menggunakan ERC sebagai alternatif untuk mengukur value-relevance informasi laba. Cho dan Jung (1991) menyatakan bahwa ERC biasanya diukur dengan slopa koefisien regresi antara abnormal return saham dengan unexpected earnings (Dewi 2003). Rendahnya ERC menunjukkan bahwa laba kurang informatif bagi investor dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Praktek Corporate Governance dan Earnings Response Coefficient 1. Komisaris dependen dan ERC Dengan menggunakan analisis regresi terhadap 75 perusahaan yang melakukan kecurangan laporan keuangan dan 75 perusahaan yang tidak melakukan kecurangan laporan keuangan, Beasley (1996) menemukan bahwa perusahaan yang tidak curang memiliki dewan direksi yang persentase anggotanya lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang curang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kemungkinan dilakukannya kecurangan pelaporan keuangan akan menurun sejalan dengan peningkatan pengalaman dan keahlian dewan penurunan kemungkinan outside directors juga sebagai outside directors perusahaan lain. Beasley (2000) menemukan adanya perbedaan karakteristik antara perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Perusahaan yang melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan biasanya akan memperoleh respon pasar yang rendah terhadap pengumuman laba yang dilakukan oleh perusahaan. Hipotesa 1
Earnings
Response
Coefficient
berasosiasi
positif
dengan
Komisaris Independen 2. Kepemilikan Institusional dan ERC Investor institusional yang sering sebut sebagai investor yang canggih (sophisticated) sehingga seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding investor non instusional. Balsam dkk (2002) menemukan hubungan yang negatif antar discretionary accrual yang tidak diekspektasi dengan imbal hasil di sekitar tanggal pengumuman. Hasil penelitian Jiambavo dkk (1996) menemukan bahwa nilai diskresionery akrual berhubungan negatif dengan kepemilikan investor institusional. Nilai diskresional akrual merupakan cerminan dari rendahnya kualitas laba, semakin kecil nilai diskresional akrual maka semakin berkualitas laba. Analogi dengan penelitian sebelumnya maka dengan adanya asosiasi negatif antara kepemilikan institusional dan diskretionary accrual, maka juga berarti terdapat hubungan positif antara kepemilikian institusional dengan laba yang berkualitas yang akan berdampak
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
terdapat
imbal
hasil
positif
disekitar
tanggal
pengumaman,
maka
dapat
dihipotesiskan sebagai berikut: Hipotesa 2
Earnings Response Coefficient berasosiasi positif dengan Kepemilikan Institusional
3. Kepemilikan Manajerial dan ERC Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Penelitian mereka menemukan bahwa kepentingan manajer dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya. Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny, 1986). Warfield et al (1995) dalam penelitiannya yang menguji kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhubungan dengan negatif dengan discretionary accrual. Secara intuitif maka kepemilikan manajerial dapat dikatakan berasosiasi positif dengan nondisrecionary accrual yang merupakan komponen laba yang lebih berkualitas dan pasar lebih menghargai komponen laba yang berkualitas tersebut. Dengan demikian jika dikaitkan dengan ERC, dapat dihubungkan dengan semakin informatif laba karena memiliki kualitas dikarenakan adanya adanya kepemilikan manajerial. Dengan adanya kepemilikan manajerial maka akan semakin berkualitas laba yang hanya mengandung unsur discretionary accrual yang kecil, maka semakin informatif laba akan kemudian akan direspon positif oleh investor. Hipotesa 3
Earnings
Response
Coefficient
berasosiasi
positif
dengan
Kepemilikan Manajerial. 4. Kualitas audit Beberapa peneliti sebelumnya menunjukan bahwa auditor menawarkan berbagai tingkat kualitas audit untuk merespon adanya variasi permintaan klien
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
terhadap kualitas audit (Watts dan Zammerman 1986). Penelitian ini membedakan kualitas auditor berdasarkan big 4 dan nonbig 4. Teoh dan Wong (1993) barargumen bahwa kualits audit berhubungan positif dengan kualitas earnings, yang diukur dengan earnings response coefficient (ERC). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas audit, yang diproksikan dengan brand name big 8 vs non-big eight, dengan ERC. Penelitian yang dilakukan Becker dkk (1998) menemukan bahwa klien dari auditor Non Big 6 melaporkan discretionary accrual yang secara rata-rata lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh klien auditor Big 6. Berarti dapat disimpulkan klien dari auditor non Big 6 cenderung lebih tinggi dalam melakukan earnings management yang menyebabkan kualitas laba yang rendah. Karena pada saat penelitian ini Big 6 telah berubah menjadi Big 4, juga diduga bahwa klien dari auditor non Big 4 cenderung menghasilkan kualitas audit yang rendah. Rendahnya kualitas audit ini juga diprediksi dihasilkan oleh perusahaan auditan dengan kualitas laba yang rendah. Sehingga jika dikaitkan dengan ERC maka, kualitas audit yang tinggi yang berasosiasi positif dengan kualitas laba juga akan berasosiasi positif dengan respon pasar. Hipotesa 4
ERC berasosiasi positif dengan Kualitas Audit
Pengungkapan Sukarela dan Earnings Response Coefficient 2. Luas Ungkapan Dan Pengukurannya Ungkapan (disclosure) didefinisi sebagai penyediaan sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendricksen dan Brenda, 1992). Dalam interpretasi yang lebih luas, ungkapan terkait dengan informasi baik yang terdapat dalam laporan keuangan maupun komunikasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri dari catatan kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal laporan, analisis manajemen atas operasi perusahaan dimasa mendatang, prakiraan keuangan dan operasi, serta informasi lainnya (Wolk dan Tearney,1997) Informasi
yang
diungkapkan
dalam
laporan
tahunan
emiten
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu ungkapan wajib(mandatory disclosure) dan ungkapan sukarela (voluntary disclosure). Ungkapan wajib adalah informasi yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal disuatu negara. Sedangkan ungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku. Perusahaan memiliki keleluasaan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas ungkapan sukarela antar perusahaan. Ungkapan dalam penelitian ini terbatas pada ungkapan sukarela dalam laporan tahunan, dengan asumsi bahwa jumlah informasi sukarela yang ditemukan dalam laporan tahunan menjadi proksi bagi jumlah ungkapan keseluruhan yang disediakan oleh perusahaan. Asumsi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Lang dan Lundholm (1993) bahwa terdapat korelasi rank-order yang signifikan antara ungkapan dalam laporan tahunan (annual report disclosures) dengan ungkapan publikasi lain (other publication disclosures) dan ungkapan hubungan investor (investor relations disclosure). Penggunaan istilah luas ungkapan dalam penelitian ini mencakup kuantitas dan kualitas ungkapan. Hal ini didasarkan pada asumsi dan hasil beberapa penelitian bahwa kuantitas dan kualitas ungkapan secara positif berhubungan (Botosan, 1997). Beberapa penelitian tentang topik ini menggunakan indeks ungkapan (disclosure index) sebagai indikator empiris luas ungkapan. Indeks ungkapan merupakan rasio antara jumlah elemen (item) informasi yang dipenuhi dengan jumlah elemen informasi yang mungkin dipenuhi. Makin tinggi angka indeks ungkapan, makin tinggi luas ungkapan. Cakupan elemen informasi dalam laporan tahunan yang digunakan untuk menghitung indeks ungkapan bervariasi antar peneliti satu dengan peneliti lainnya. Cooke (1992) menggunakan 165 elemen, Botosan (1997) menggunakan elemen, Susanto (1994) menggunakan 30 elemen, Subiyantoro (1997) menggunakan 89 elemen, dan Suripto (1998) menggunakan 33 elemen. Jumlah elemen informasi yang digunakan oleh Susanto (1994) dan Suripto (1998) relatif sedikit karena hanya memfokuskan pada ungkapan sukarela.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3. Pengaruh Luas Ungkapan Terhadap ERC Permintaan terhadap informasi laporan keuangan dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertama, seberapa besar informasi laporan keuangan dapat mengurangi ketidakpastian
dan perannya dalam merevisi belief tentang ketidakpastian, dan
kedua, ketersediaan sumber informasi lain. Informasi keuangan merupakan bagian dari berbagai macam ungkapan perusahaan maupun laporan lain yang diungkapkan oleh pihak eksternal. Isi dan waktu ungkapan lain selain informasi laporan keuangan dapat mempengaruhi kegunaan informasi laporan keuangan (Foster, 1986). Dengan mengadopsi model ERC yang dikembangkan oleh Holthausen dan Verrecchia (1988) dan Lev (1989), berbagai studi telah menguji perbedaan reaksi pasar (ERC) terhadap pengumuman laba dengan didasarkan pada premis bahwa keinformatifan informasi laba akan semakin besar ketika terdapat ketidakpastian tentang prospek perusahaan dimasa mendatang. Semakin tinggi ketidakpastian prospek perusahaan dimasa mendatang, semakin tinggi keinformatifan laba (ERC). Dengan mendasarkan pada premis tersebut, peneliti kemudian mencari proksi untuk ketidakpastian prospek perusahaan dimasa mendatang. Beberapa peneliti menguji manfaat meningkatnya luas ungkapan, seperti menurunnya biaya modal (Botosan, 1997; Sengupta, 1998). Meningkatkan likuiditas pasar (Diamond dan Verrechia, 1991) dan mengurangi bid-ask spreads (Greenstain dan Sami, 1994; Coller dan Yohn, 1997; Lim dan Yeo, 1999), mengurangi disperse dan volatilitas revisi prakiraan laba analis (Lang dan Lundholm, 1996), dan meningkatkan kinerja saham (Healy, Hutton, dan Palepu, 1999). Lang dan Lundholm (1993) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi peringkat perusahaan yang dibuat oleh analis. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor ungkapan adalah lebih tinggi untuk perusahaan yang memiliki kinerja baik, untuk perusahaan yang lebih besar, untuk perusahaan dengan korelasi laba-return yang lebih lemah, dan untuk perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Penelitian Lang dan Lundholm (1993) menggunakan korelasi earnings-return sebagai proksi asimetri informasi dalam konteks model adverse selection. Korelasi earnings-return yang rendah menunjukkan bahwa informasi laba hanya memberikan
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
sedikit informasi tentang nilai perusahaan sehingga asimetri informasi tetap lebih tinggi. Oleh karena itu, dengan tujuan mengurangi asimetri informasi, ungkapan akan lebih banyak pada perusahaan yang memiliki korelasi earning-return lebih rendah atau dengan kata lain korelasi earnings-return berhubungan negatif dengan luas ungkapan. Gelb dan Zarowin (2000) menguji hubungan antara luas ungkapan sukarela dan keinformatifan harga saham. Penelitian ini menghipotesiskan bahwa semakin banyak ungkapan, semakin tinggi keinformatifan harga yang diukur dengan future ERC, ceteris paribus. Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, penelitian ini menemukan bahwa future ERC untuk perusahaan high disclosers secara signifikan lebih besar daripada future ERC untuk perusahaan low disclosers. Gelb dan Zarowin (2000) tidak secara khusus menguji hubungan luas ungkapan sukarela dengan current ERC. Mereka menyatakan bahwa pengaruh keinformatifan ungkapan terhadap current ERC mungkin positif atau negative. Menurutnya, pengaruh luas ungkapan terhadap current ERC mungkin positif, karena biasanya perusahaan yang banyak mengungkapkan informasi (high discloser firms) adalah perusahaan yang memiliki kabar baik (good news). Basu (1997) menemukan bahwa good news firms memiliki laba yang lebih persisten dan ERC yang lebih tinggi dibanding bad news firms. Alternative lainnya, pengaruh luas ungkapan terhadap current ERC mungkin negatif dengan alasan bahwa informasi yang terkandung dalam laba sekarang telah tercermin dalam harga saham periode sebelumnya. Hipotesa 4
Earnings Response Coefficient berasosiasi negatif dengan Luasnya pengungkapan sukarela.
3. Metode Penelitian 3.1 Rancangan Pengumpulan Data Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan go publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sebanyak dengan kriteria :
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
1. Perusahaan non keuangan yang telah listing di Bursa Efek Jakarta tahun 2004, 2005, dan 2006. 2. Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan (annual report) yang berakhir pada tanggal 31 Desember selama periode pengamatan 2004, 2005, dan 2006. 3. Perusahaan memiliki data pasar dan data keuangan lengkap Pengambilan data secara acak diperoleh data sebanyak 63 perusahaan untuk 3 periode tahun pengamatan.
3.2. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder berupa: Data praktek CG, Data item ungkapan sukarela, data mengenai tanggal pengumuman laba, data keuangan, jumlah laba tahunan, harga saham harian, indeks harga saham gabungan berasal dari database Bursa Efek Jakarta yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal BEJ, yang berupa Laporan Tahunan yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEJ, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), JSX Statistics, Fact Book dan Daftar Kurs Efek (DKE). 3.3. Metoda Analisis Data 3.3.1. Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan uji hipotesa terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik terutama menyangkut heteroskedasitas karena data yang digunakan adalah pooled data Uji inidengan menggunakan uji White. Selain itu juga dilakukan uji multikolinearitas dan autocorelation. antar variabel independen) agar memenuhi sifat estimasi regresi bersifat BLUES (Best Linear Unbiased Estimator). 3.4. Model Penelitian dan Variabel Penelitian 1. Variabel Penelitian CAR (Cumulative Abnormal Return),
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
merupakan variabel dependen dalam model penelitian. CAR merupakan proksi dari return saham yang menunjukkan besarnya reaksi pasar terhadap informasi pengumuman laba Perhitungan CAR adalah sebagai berikut:
CAR = ∑ ARit
Periode CAR adalah 1 hari sebelum tanggal pengumuman laba, 1 hari tanggal pengumuman laba dan 1 hari setelah tanggal pengumuman laba. Sesuai dengan Pincus (1993), estimate abnormal returns dalam penelitian ini diperoleh menggunakan model disesuaikan-pasar (market-adjusted model) yang menganggap bahwa penduga terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar. Perhitungan abnormal return dilakukan dengan rumusrumus berikut :
AR i,t = R i,t - Rmt
Keterangan: AR i,t = abnormal return untuk perusahaan i ke t. R i,t = return harian saham perusahaan i pada hari t Rmt = return indeks saham pada hari t. 2. VARIABEL INDEPENDEN 1. Unexpected Earnings (UE). Unexpected Earnings didefinisi sebagai selisih laba akuntansi yang direalisasi dengan laba akuntansi yang diekspektasi oleh pasar. Penelitian ini menggunakan model random walk sebagai proksi ekspektasi laba oleh pasar sehingga ekspektasi laba adalah laba aktual tahun sebelumnya. Variabel ini diukur sesuai dengan penelitian Kalapur (1994) : UE
i,t
=
(E it - E t-1 ) Pt-1
Eit = Unexpected earnings perusahaan i pada periode t Eit = Earnings perusahaan i pada periode t Pit-1 = Harga saham perusahaan i pada periode t-1
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
2. Luas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Keuangan Pengukuran variabel ini dilakukan dengan instrument pengukuran luas ungkapan sukarela yang dikembangkan dan digunakan oleh Suripto (1998), dengan jumlah elemen informasi sebanyak 33 buah. Indeks ungkapan sukarela untuk setiap perusahaan sampel diperoleh dengan cara membandingkan skor yang diperoleh perusahaan dengan skor yang mungkin dapat diperoleh perusahaan tersebut. Perusahaan diberi skor 1 apabila mengungkapkan elemen informasi dalam instrument dan diberi skor 0 apabila tidak mengungkapkan. 3. Good Corporate Governance Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Manajerial diukur dengan dummy variable dengan nilai 1 jika ada kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya. Adanya kepemilikan manajerial dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif menyelaraskan kepentingan dengan principals Kepemilikan Institusional Adanya kepemilikan institusional adalah untuk memantau secara profesional perkembangan
investasinya
maka
tingkat
pengendalian
terhadap
tingkat
manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti asuransi, bank, dana pensiun dan investment banking dengan proporsi lebih dari 5% dari saham yang beredar. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan dummy variable = 1 untuk perusahaan yang memenuhi syarat kepemilikan institusional dan dummy variable = 0 untuk lainnya. Komisaris Independen Komisaris independen yang memiliki sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh anggota komisaris, berarti telah memenuhi pedoman good corporate governance guna menjaga independensi, pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat. Komisaris Independen diukur dengan persentase komisaris independen dibanding total dewan komisaris yang ada
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Kualitas Audit Untuk mengukur kualitas audit digunakan Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP). Jika perusahaan diaudit oleh KAP Besar pada saat penelitian ini yaitu KAP Big4 maka kualitas auditnya tinggi dan jika diaudit oleh KAP Non Big 4 (KAP kecil) maka kualitas auditnya rendah. Banyak penelitian menemukan kualitas audit berkorelasi positif dengan kredibilitas auditor dan berkorelasi negatif dengan kesalahan laporan keuangan. Laporan keuangan yang berkualitas merupakan salah satu elemen penting dari Corporate Governance. Kualitas Audit
diukur dengan
dummy variable dengan nilai 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan 0 sebaliknya 3. VARIABEL KONTROL (CONTROL VARIABEL) Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari bias yang biasa terjadi karena adanya faktor-faktor lain: 1. Persistensi Laba Persisten digunakan untuk melihat harapan seberapa jauh peningkatan dari laba saat ini bertahan di masa yang akan datang. Kormendi dan Lipe (1987) menemukan bahwa ERC akan lebih tinggi untuk perusahaan dengan Unexpected Current Earnings yang memiliki persistensi di masa datang. Oleh karena itu diprediksi terdapat hubungan positif antara ERC dan Persistensi. Penelitian ini menggunakan koefisien regresi dari regresi antara laba periode sekarang dengan peride sebelumnya, seperti digunakan oleh Kormendi dan Lipe (1987), dan dihitung menggunakan laba triwulan selama 12 triwulan dari tahun 2002-2006. Adapun persamaan regresinya adalah Xit = α + βi Xt-1 + εi 2. Risiko Sistematis Diprediksi hubungan Beta terhadap ERC adalah negatif, sejalan dengan meningkatnya resiko perusahaan, pasar bereaksi negatif terhadap Unexpected Earnings.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Beta diestimasi menggunakan model pasar selama satu tahun, yang dihitung berdasarkan persamaan Ri = αi + βi.Rm + ei Dimana
βi adalah beta sekuritas i Rit adalah return perusahaan i pada periode t Rmt adalah return pasar pada periode t
3.Pertumbuhan Laba (Growth) Growth diprediksikan berhubungan positif dengan ERC (Collins dan Kothari, 1989; Martikainen,1997; Bae dan Sami,1999). Growth diukur dengan rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku ekuitas pemegang saham (market to book ratio) dari masing-masing perusahaan pada periode akhir periode laporan keuangan. 4.Leverage Leverage diprediksikan berhubungan negative dengan ERC (Biddle dan Seow, 1991). Dhaliwal et.al (1991) juga menemukan ERC yang lebih rendah untuk perusahaan dengan tingkat leverage tinggi dari perusahaan dengan tingkat leverage rendah. Oleh karena itu, tingkat keinformatifan earnings berhubungan dengan besarnya hutang. Leverage diukur berdasarkan rasio total hutang dengan total ekuitas perusahaan.
5. Size Perusahaan yang besar cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi sehingga harga pasar saham cenderung merupakan penjumlahan semua informasi yang diketahui publik, dimana informasi tersebut termasuk informasi akuntansi dan informasi non akuntansi. Konsekwensinya semakin informatif harga saham, maka semakin kecil muatan informasi laba saat ini. Chaney dan Jeter (1991) menunjukkan bahwa besaran perusahaan berpengaruh negatif terhdap ERC. Hal ini bertentangan dengan pendapat Easton dan Zmijweski (1989) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan bukan variabel penjelas yang signifikan untuk ERC. Ukuran Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3.4.2. Metode Analisis Model Penelitian Model yang digunakan untuk memperoleh ERC dalam pengujian hipotesis penelitian ini adalah metode cross sectional regression seperti model yang pernah digunakan oleh Gelb dan Zarowin (2000), Teets dan Wasley (1996), Widiastuti (2002), dan Syafrudin (2004).. Dengan metode cross sectional, CAR dan UE seluruh sampel diregresikan, sehingga diperoleh satu estimasi ERC. Menurut metode ini, ERC tidak diperlakukan secara khusus sebagai variabel dependen yang diregresikan dengan praktek CG dan ungkapan sukarela, tetapi untuk melihat hubunean ERC dengan praktek CG dan ungkapan sukarela dilihat dari arah dan signifikansi koefisien regresi α12 sampai dengan α16 (koefisien interaksi unexpected earnings dengan praktek CG dan disclosures index yang diregresikan dengan cumulative abnormal return) CARit =α0 + α1 UEit + α2 Discit +α3 KIit + α4 KAit+ α5 Instit+α6 KM it+α7 UPit +α8 Beta
+α9 Levit +α10 Growthit +α11 Persistit++ α12UEit KIit +
α13UEitKAit+ α14 UE it Instit++α15 UE it KM it+ α16 UE it Discit +α17 UE it UPit +α19 UE
it
Beta +α20 UE
it
Levit +α21 UEit Growthit +α22 UE
it
Persistit+ ε it Keterangan: CAR
=
Cumulaive Abnormal Return perusahaan I pada t-1 sampai t+1
UE
=
Unexpected Earnings
KI
=
Komisaris komisaris
Independen independen
=
persentase
dibanding
total
dewan komisaris yang ada KM
=
Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA
=
Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan o sebaliknya
Inst
=
Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
kepemilikan institusional dan o sebaliknya Disc
=
Indeks
Pengungkapan
Sukarela
atas
laporan tahunan perusahaan. UP
=
Ukuran Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset
Beta
=
Risiko pasar diukur menggunakan market model
Lev
=
Leverage
diukur
rasio
total
hutang
dengan total ekuitas perusahaan Growth
=
rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku ekuitas
Persist
=
Koefisien regresi atas perbedaan laba saat ini dengan laba sebelumnya Analisis Hasil
4.1 Statistik Deskriptif Analisis pertama yang dilakukan adalah menganalisis data dengan menggunakan statistik deskriptif (Tabel 1). Sampel yang digunakan dalam penelitian diambil secara acak sebanyak 63 perusahaan dari industri Consumer Goods. Ratarata Cumulatice Abnormal Return (CAR) sebesar -.0261 dengan standar deviasi sebesar 0.07754 menunjukkan rata-rata reaksi pasar yang negatif untuk 3 hari sekitar penyampaian laporan tahunan ke Bapepam. CAR yang negatif ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lainnya seperti Teoh dan Wong dengan rata-rata skor CAR sekitar -0.0247, Mayangsari (2004) sekitar -0.023. Rata-rata Unexpected Earnings (UE) sebesar 0.0171 dengan standar deviasi sebesar 0.13531. Hal ini menunjukkan sebagian besar perusahaan memiliki UE positif untuk periode tahun 2004-2006 dimana perusahaan-perusahaan mulai bangkit setelah mengalami krisis pada tahun 1999an. Rata-rata komisaris Independen sebesar 0.3607. Rata-rata pengungkapan sularela sebesar 0.598 dengan standar deviasi 0.033.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Rata-rata Komisaris Independen adalah 36.07% dan standar deviasi 0.08 yang berarti komisaris independen yang dibentuk oleh perusahaan telah memenuhi persyaratan independesi. Ukuran independensi tersebut dilihat dari sudut pandang peraturan yaitu minimal jumlah komisaris independen sebesar 30% dari jumlah dewan komisaris. Proporsi perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial dalam sampel penelitian hanya sebesar 28.57%. Proporsi audit oleh Big 4 dalam sampel penelitian sebesar 52.24% dan non Big 4 sebesar 47.62%. Rata-rata ukuran perusahaan 13.55 dengan standar deviasi 1.43. Proporsi perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial dalam sampel penelitian hanya sebesar 19.05 % dan yang tidak memiliki kepemilikan manajerial sebesar 80.95%. 4.2 Korelasi Pearson Dari tabel 2, KM berkorelasi negatif dengan CAR sedangkan UP berkorelasi positif dengan CAR Pasar akan bereaksi negatif terhadap perusahaan yang memiliki kepemilikan
manajerial,
mungkin
disebabkan
pasar
tidak
merespon
akan
keberadaan kepemilikan manajerial yang seharusnya dapat menyelaraskan perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. KomIns berkorelasi positif dengan UE tetapi OwnIns berkorelasi negatif dengan UE berarti UE
akan
tinggi
untuk
perusahaan
yang
memiliki
Komisaris
Independen
dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki Komisaris Independen. Adanya Komisaris Independen akan mendorong manajemen untuk meningkatkan Earnings. Tetapi UE akan lebih tinggi perusahaan yang tidak memiliki kepemilikan institusional.
Disc
hanya
mempunyai
hubungan
yang
signifikan
terhadap
Kepemilikan Manajerial yaitu hubungan negatif artinya perusahaan yang memilki kepemilikan manajerial lebih sedikit melakukan pengungkapan sukarela dibanding perusahaan yang tidak memilki kepemilikan manajerial. Kemungkinan dengan adanya kepemilikan manajerial, mendorong manajemen untuk sedikit melakukan pengungkapan sukarela karena manajemen memiliki motivasi tertentu
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
4.4. Uji Asumsi Klasik Hasil uji asumsi klasik tidak menunjukkkan adanya masalah autokorelasi karena nilai d=1.994 berada dalam range tidak adanya autokorelasi. Pengujian heteroskedasitas dengan uji White menunjukkan prob. 0.781830 menunjukkan tidak ada masalah heteroskedasitas tetapi terdapat masalah multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas ini biasa terjadi untuk model regresi dimana terjadi interaksi antar variabel independennya., demikian penelitian dapat dilanjutkan. 4.5 Analisa Regresi Hasil regresi ditunjukkan pada tabel 3, Kualitas Audit memiliki hubungan negatif terhadap ERC , Komisaris Independen dan Kepemilikan Manajerial memiliki hubungan positif dengan ERC. Hubungan yang negatif antara Kualitas Audit dan ERC menunjukkan praktek Corporate Governance tersebut direspon negatif oleh investor ketika pengumuman laba, sebaliknya pasar bereaksi positif terhadap besarnya Tabel 3 Hasil Regresi Uji Statistik Variabel
Prediksi
c
Koefisien
t
p-value
-0.452
-2.278
0.028**
KomInd
+
-0.058
-0.437
0.664
OwnIns
+
0.060
2.216
0.032**
KA
+
0.000
-0.021
0.983
KM
+
-0.052
-1.802
0.079*
UE
+
-0.546
-0.175
0.862
Disc
-
0.391
1.185
0.243
Growth
+
0.000
0.081
0.936
UP
-
0.017
2.024
0.050**
Pers
+
-0.011
-0.473
0.639
Lev
-
-0.073
-1.598
0.118
UexKomInd
+
2.610
2.540
0.015**
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Variabel
Prediksi
Koefisien
t
p-value
UexOwnIns
+
-0.547
-1.485
0.145
UExKA
+
-0.755
-1.941
0.059*
UexKM
+
0.914
2.243
0.030**
UExDisc
-
-0.193
-0.053
0.958
UExGrowth
+
0.015
0.385
0.702
UExUP
-
0.068
0.441
0.661
UExBeta
-
-0.107
-0.676
0.503
UExPers
+
0.837
2.038
0.048**
UExLev
-
-2.266
-2.750
0.009***
Dependent variable : CAR Komisaris Independen pada saat pengumuman laba. Dengan kata lain pada saat pengumuman laba, investor memandang besarnya komisaris independen memberi manfaat bagi investor karena dianggap dapat memonitor manajemen dengan baik. Demikian hanya dengan Kepemilikan Manajerial yang berasosiasi positif menandakan investor merespon secara positif adanya kepemilikan manajerial pada saat pengumuman laba tersebut karena yakin kepemilikan manajerial dapat menyelaraskan perbedaan kepentingan dengan investor dan manajemen. Selain itu variabel kontrol yang , berasosiasi dengan ERC adalah Persisten dan Leverage, arah koefisien keduanya sesuai prediksi. Perusahaan yang memiliki persistensi tinggi akan meningkatkan respond investor pada saat pengumuman earnings, sedangkan perusahaan dengan leverage yang tinggi akan memiliki nilai ERC yang rendah, menandakan pelaku pasar kurang merespond saham perusahaan dengan leverege yang tinggi. Pengungkapan Sukarela tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC,menunjukkan bahwa investor belum merespon pengungkapan sukarela yang diinformasikan oleh perusahaan ketika terjadi pengumuman laba, konsisten dengan penelitian Yeterina (2006). Kemungkinan hal ini disebabkan tidak dicerminkannya informasi yang tersedia dalam pengungkapan sukarela kurang memberikan prospek perusahaan. (Widiastuti, 2002)
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
5. Kesimpulan, Keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian Kesimpulan Motivasi penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh Praktek Corporate Governance dan Luas Pengungkapan Sukarela terhadap keinformatifan Earnings yang diproksi dengan ERC. Hasil penelitian membuktikan terdapa asosiasi positif antara ERC dengan 2 proksi Praktek Corporate Governance yaitu Komisaris Independen dan Kepemilikan Manajerial. Penelitian juga menemukan adanya hubungan negatif antara kualitas audit dan ERC. Kedua hasil penelitian tersebut membuktikan praktek Corporate Governance direspon oleh investor pada saat pengumuman laba dengan reaksi yang berbeda, walaupun tidak sepenuh semua praktek Corporate Governance memiliki asosiasi dengan ERC seperti Kepemilikan Institusional. Ketidaksignifikan kepemilikan institusional mungkin disebabkan pada perusahaan sampel belum banyak yang memiliki kepemilikan institusional. Pengungkapan Sukarela yang diprediksi memiliki asosiasi negatif dengan ERC juga tidak terbukti, menunjukkan pasar belum / mungkin juga tidak merespon luasnya pengungkapan sukarela, yang mungkin disebabkan pengungkapan sukarela tersebut belum mengungkapkan informasi yang berhubungan dengan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian antara lain: 1. Penelitian ini hanya menggunakan satu periode pengamatan yaitu 3 hari (t-1 sampai dengan t+1), sehingga ada kemungkinan investor belum merespon atas pengumaman laba. Penelitian selanjutnya dapat mencoba dengan mengganti periode pengamatan. 2. Unsur subyektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menentukan cara lain yang lebih objektivitas dalam pengukuran indeks pengungkapan sukarela.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
3. Jumlah sampel dan periode tahun yang digunakan dalam penelitian yang hanya berjumlah 63 perusahaan dan 3 tahun, untuk penelitian selanjutnya dengan menambah sampel dan jangka waktu penelitian. 4. Variabel
praktek
Corporate
Governance
yang
digunakan
hanya
menggunakan empat proksi praktek Corporate Governance saja, karena peneliti belum berhasil mendapatkan indeks terbaru, maka digunakan 4 proksi tersebut. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan Corporate Governance Index yang terbaru dikeluarkan oleh Forum ICGI, Tabel 1 Descriptive Statistics N CAR UE KOMINS OWNINS KA KM DISC GROWTH UP BETA PERS LEV Valid N (listwise)
Minimum -.23 -.42 .20 .00 .00 .00 .58 -2.64 10.98 -1.29 -.35 .09
63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63
Maximum .27 .61 .60 1.00 1.00 1.00 .70 38.15 16.60 3.29 1.43 1.09
Mean -.0261 .0171 .3607 .2857 .5238 .1905 .5998 2.7307 13.5527 .5028 .3758 .4468
Std. Deviation .07754 .13531 .08655 .45538 .50344 .39583 .03362 5.53970 1.43674 .71767 .47888 .24351
Proporsi
Proporsi
Dummy=1
Dummy=0
Kepemilikan Institusional
28.57%
71.4%
KA
52.24%
47.62%
Kepemilikan Manajerial
19.05%
80.95%
Keterangan: CAR
=
Cumulaive Abnormal Return perusahaan I pada t-1 sampai t+1
UE
=
Unexpected Earnings
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
KI
=
Komisaris komisaris
Independen independen
=
persentase
dibanding
total
dewan komisaris yang ada KM
=
Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA
=
Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan o sebaliknya
Inst
=
Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat kepemilikan institusional dan o sebaliknya
Disc
=
Indeks
Pengungkapan
Sukarela
atas
laporan tahunan perusahaan. UP
=
Ukuran Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset
Beta
=
Risiko pasar diukur menggunakan market model
Lev
=
Leverage
diukur
rasio
total
hutang
dengan total ekuitas perusahaan Tabel 2 Korelasi Pearson CAR CAR
1.000
KOMI
OWN
KA
KM
UE
DISC
GRO
ND
INS
-
0.069
0.11
-
-
0.162
0.83
0.008
0.296
0.466
0.24
0.129
0.103
0.258
5
0.157
UP
BET
PER
A
S
0.266
-
0.052
0.36
0.017
0.008
0.341
0.389
**
0.475
WTH
0.476
LEV
0.02 6** UE
-
0.237
-
-
-
0.245
0.031
0.173
0.170
0.09
0.157
**
0.088
0.092
5
*
*
0.23
1.000
0.163
0.005
0.037
0.023
-
0.069
0.102
0.484
0.387
0.429
0.040
0.296
0.377
0
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
KomIn
0.206
-
0.07
0.237
-
-
-
-
-
0.139
0.008
0.053
0.281
9
0.031
0.009
0.072
0.112
0.107
00.21
0.138
0.476
*
0.013
0.26
**
0.472
0.287
0.191
0.203
0.434
**
8
-
0.49
-
-
-
-
-
-
0.046 0.361
-
1.000
OwnIn
0.069
0.206
s
0.296
0.053
0.241
9
0.173
0.105
0.159
0.111
0.019
0.166
*
0.028
0.00
0.088
0.207
0.106
0.192
0.441
0.097
**
0***
*
1.000
-
-
-.052
0.149
0.114
-
0.401
-
0.342
0.122
0.187
0.089
0.001
0.011
0.245
***
0.465
KA
1.000
-
-
-
0.245
0.281
0.241
0.26
0.170
0.466
0.013
0.028
6
0.092
**
**
0.01
*
*
8** KM
-
0.079
0.499
-
1.00
-
-
-
-
0.189
-
-
0.129
0.268
0.000
0.266
0
0.095
0.166
0.162
0.311
0.069
0.299
0.092
***
0.018
0.230
0.097
0.102
0.006
**
0.009
0.237
0.026 Disc
***
***
*
**
** 0.162
-
-
0.052
-
0.163
1.000
-
0.322
-
0.113
0.092
0.103
0.009
0.105
0.342
0.16
0.102
0.484
0.071
0.429
0.072
0.296
0.000
0.472
0.207
***
0.377
0.387
6 0.09 7*
Growth 0.083 0.258
-
-
0.149
-
0.072
0.159
0.122
0.16
0.287
0.106
2
0.005
-
1.000
-
-
0.063
-
0.071
0.005
0.272
0.311
0.040
0.289
0.484
0.015
1.000
-
0.388
0.199
0.176
0.10 2 UP
0.266
-
-
0.114
-
0.037
0.322
-
0.017
0.112
0.111
0.187
0.31
0.387
0.005
0.005
0.048
0.001
0.059
**
0.191
0.192
***
0.484
0.355
***
**
-
-
-
0.016
0.033
1 0.00 6***
Beta
-
-
-
-
0.18
0.023
Bridging the Gap between Theory and Practice
1.000
GOV013- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
0.008
0.107
0.019
0.089
9
0.475
0.203
0.441
0.245
0.06
0.429
0.072
0.048
0.096
0.287
0.015
0.227
0.451
0.389
9* Pers
0.052
-
-
0.401
-
-
0.113
0.063
0.388
-
1.000
-0164
0.341
0.021
0.166
0.001
0.29
0.040
0.189
0.311
0.001
0.096
0.451
0.398
0.434
0.097
***
9
0.377
***
0.227
0.00
*
9*** Lev
0.036
0.139
0.046
-
-
0.069
0.092
-
0.199
0.016
-
1.000
0.389
0.138
0.361
0.011
0.09
0.296
0.236
0.040
0.059
0.451
0.164
0.200
0.465
2
0.379
0.100
0.23 7
*** signifikan 1%, ** signifikan 5%, signifikan 10% (two tail) Angka diagonal merupakan korelasi Pearson Angka dicetak tebal menunjukkan p-value dari koefisien korelasi CAR
=
Cumulaive Abnormal Return perusahaan I pada t-1 sampai t+1
UE
=
Unexpected Earnings
KI
=
Komisaris
Independen
=
persentase
komisaris independen dibanding total dewan komisaris yang ada KM
=
Kepemilikan Manajerial = 1 jika terdapat kepemilikan manajerial dan 0 sebaliknya
KA
=
Kualitas audit = 1 jika diaudit oleh KAP Big 4 dan o sebaliknya
Inst
=
Kepemilikan institusional = 1 jika terdapat kepemilikan institusional dan o sebaliknya
Disc
=
Indeks
Pengungkapan
Sukarela
atas
laporan tahunan perusahaan. UP
=
Ukuran Perusahaan diukur dengan Log natural dari asset
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Beta
=
Risiko pasar diukur menggunakan market model
Lev
=
Leverage diukur rasio total hutang dengan total ekuitas perusahaan
Lampiran Coefficientsa
Model 1
(Constant) KOMINS OWNINS KA KM UE DISC GROWTH UP BETA PERS LEV UUXKOMIN UEXOWNIN UEXKA UEXKM UEXDISC UEGROWTH UEXUP UEXBETA UEXPERSI UEXLEV
Unstandardized Coefficients B Std. Error -.452 .199 -.058 .132 .060 .027 .000 .022 -.052 .029 -.546 3.125 .391 .330 .000 .002 .017 .008 .012 .018 -.011 .024 -.073 .046 2.610 1.027 -.547 .368 -.755 .389 .914 .407 -.193 3.626 .015 .038 .068 .154 -.107 .158 .837 .411 -2.266 .824
Standardized Coefficients Beta -.064 .351 -.003 -.267 -.952 .169 .010 .307 .107 -.071 -.229 2.199 -.614 -.630 .602 -.201 .072 1.531 -.204 .600 -2.322
t -2.278 -.437 2.216 -.021 -1.802 -.175 1.185 .081 2.024 .632 -.473 -1.598 2.540 -1.485 -1.941 2.243 -.053 .385 .441 -.676 2.038 -2.750
Sig. .028 .664 .032 .983 .079 .862 .243 .936 .050 .531 .639 .118 .015 .145 .059 .030 .958 .702 .661 .503 .048 .009
95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound -.853 -.051 -.323 .208 .005 .114 -.044 .044 -.111 .006 -6.856 5.765 -.275 1.056 -.003 .004 .000 .033 -.025 .049 -.060 .037 -.165 .019 .535 4.685 -1.290 .197 -1.540 .031 .091 1.736 -7.516 7.129 -.062 .091 -.242 .378 -.426 .212 .008 1.666 -3.929 -.602
Zero-order
Correlations Partial
-.008 .069 .011 -.245 -.129 .162 .083 .266 -.008 .052 .036 -.063 -.226 -.054 .068 -.121 .035 -.123 -.111 .148 -.067
-.068 .327 -.003 -.271 -.027 .182 .013 .301 .098 -.074 -.242 .369 -.226 -.290 .331 -.008 .060 .069 -.105 .303 -.395
Part
Collinearity Statistics Tolerance VIF
-.049 .247 -.002 -.201 -.019 .132 .009 .225 .070 -.053 -.178 .283 -.165 -.216 .250 -.006 .043 .049 -.075 .227 -.306
.574 .494 .619 .564 .000 .607 .779 .539 .431 .557 .605 .017 .072 .118 .172 .001 .351 .001 .136 .143 .017
1.741 2.025 1.614 1.772 2397.167 1.647 1.284 1.856 2.320 1.796 1.653 60.430 13.796 8.487 5.800 1141.454 2.845 970.909 7.362 6.996 57.486
a. Dependent Variable: CAR
Model Summaryb Change Statistics Model 1
R .701a
R Square .492
Adjusted R Square .231
Std. Error of the Estimate .06799
R Square Change .492
F Change 1.888
df1
df2 21
41
Sig. F Change .040
Durbin-W atson 1.994
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA, DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH, UEXOWNIN, UEXBETA, UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE b. Dependent Variable: CAR
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .183 .190 .373
df 21 41 62
Mean Square .009 .005
F 1.888
Sig. .040a
a. Predictors: (Constant), UEXLEV, UP, GROWTH, LEV, OWNINS, BETA, UEXKM, KA, DISC, KOMINS, PERS, KM, UEXPERSI, UEGROWTH, UEXOWNIN, UEXBETA, UEXKA, UUXKOMIN, UEXUP, UEXDISC, UE b. Dependent Variable: CAR
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Uji heteroskedasitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
0.758148
Probability
0.78183 0
Obs*R-squared
35.43558
Probability
0.63323 1
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 05/30/08 Time: 12:49 Sample: 1 63 Included observations: 63 Variable
Coefficient Std. Error t-Statistic
Prob.
C
-0.472643 0.414563 -1.140101
0.2660
UE
0.805484 0.669254 1.203555
0.2410
UE^2
-1.979711 2.486801 -0.796087
0.4341
BETA
-0.000354 0.002074 -0.170458
0.8661
BETA^2
-0.000455 0.002196 -0.207037
0.8378
DISC
1.488958 1.259616 1.182072
0.2493
DISC^2
-1.217557 1.016332 -1.197991
0.2431
GROWTH
-3.64E-05 0.000791 -0.046013
0.9637
GROWTH^2
-1.42E-05 1.97E-05 -0.722450
0.4773
KA
-0.000873 0.002675 -0.326409
0.7471
KM
-0.004402 0.005062 -0.869673
0.3935
KOMINS
0.056012 0.144504 0.387620
0.7019
KOMINS^2
-0.045427 0.174370 -0.260519
0.7968
LEV
-0.001709 0.024423 -0.069983
0.9448
LEV^2
0.012590 0.025353 0.496582
0.6242
OWNINS
-0.000769 0.003697 -0.207989
0.8371
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
PERSIST
-0.001701 0.010159 -0.167450
0.8685
PERSIST^2
0.001634 0.006948 0.235136
0.8162
UEXBETA
-0.022373 0.035425 -0.631564
0.5339
UEXBETA^2
0.056774 0.097955 0.579595
0.5678
UEXDISC
-1.449044 1.120527 -1.293182
0.2088
UEXDISC^2
12.31603 8.780727 1.402621
0.1741
UEXGROWTH
0.007017 0.009545 0.735177
0.4697
UEXGROWTH^2
0.011672 0.010501 1.111493
0.2778
UEXKA
0.183815 0.085345 2.153790
0.0420
UEXKA^2
-0.659716 0.491576 -1.342042
0.1927
UEXKM
0.007469 0.065473 0.114072
0.9102
UEXKM^2
-0.435706 0.714266 -0.610006
0.5478
UEXKOMINS
-0.116773 0.243052 -0.480445
0.6354
UEXKOMINS^2
-0.243375 1.874123 -0.129861
0.8978
UEXLEV
0.377344 0.177027 2.131568
0.0439
UEXLEV^2
0.851216 0.942231 0.903404
0.3757
UEXOWNINS
-0.040859 0.082342 -0.496212
0.6245
UEXOWNINS^2
0.261783 0.603329 0.433898
0.6684
UEXPERSIS
-0.212430 0.081798 -2.597020
0.0161
UEXPERSIS^2
1.646511 1.254924 1.312040
0.2025
UEXUP
-0.008608 0.020172 -0.426736
0.6735
UEXUP^2
-0.017475 0.015197 -1.149903
0.2620
UP
0.001884 0.013842 0.136096
0.8929
UP^2
-8.16E-05 0.000488 -0.167116
0.8687
R-squared
0.562470
Mean dependent var
Adjusted R-
-0.179430
squared S.E. of regression
S.D. dependent var
0.005039
Akaike info criterion
0.00300 9 0.00464 0 7.48084 3
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Sum squared
0.000584
Schwarz criterion
resid
6.12012 3
Log likelihood
275.6466
F-statistic
0.75814 8
Durbin-Watson
1.785355
Prob(F-statistic)
stat
Bridging the Gap between Theory and Practice
0.78183 0
GOV013- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Daftar Pustaka Balsam, S., E. Bartov and C. Marquardt. (2002). Accrual Management, Investor Sophisticated, and Equity Valuation: Evidence from 10-Q Fillings. Journal of Accounting Research Vol.40 No.4, p.987-1012. Jehsen, Michael C. & W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial Behaviuor, Agency Cost and Ownwership Structure. Journal of Financial Economics 3. pp. 305-360. Dhaliwal DS, Lee KJ, Fargher NL .1991. The association betweenGovernance Structure and Corporate Performance in entrepreneurial firms. J Bus Ventur 7 : 375-386 Jiambavo, J. (1996). Discussion of Causes and Consequenses of Earnings Manipulation. Contemporary Accounting Research. Vol 13. Spring, p 37-47. Kallapur, Sanjay. 1994. Dividend pay out ratio as determinants of earnings response coefficient. Journal Accounting and Economics 15; 143-171 Keasey, K, Thompson S, Wright M.1997. Corporate Governance :economic and financial issues. Oxford University Press, Oxford, pp 1-17 Kothari,S.P dan Richard G.Sloan. 1992. Information in prices about future earnings: Implication for Earnings Response Coefficient. Journal of Accounting and Economics 15; 143-171 Lipe, R.C. 1990. The relation between stock return, accounting earnings and alternative information. The accounting review (january): 49-71 Mayangsari, Sekar. 2004. Bukti Empiris Pengaruh Spesialisasi Industri Auditor terhadap Earnings Response Coefficient. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.7 No.2, Mei 2004, 154-178.
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Mayangsari, Sekar. (2003). Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta Mekanisme Corporate Governance Terhadap Integritas Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VI, pp 1255-1267. Naimah,Zahroh dan Utama, Sidharta, 2007. Pengaruh Persistensi Laba dan Laba Negatif Terhadap Koefisien Respon Laba dan Koefisien Respon Nilai Buku Ekuitas pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesi. Vol 10.No.3. September 2007: 268-286. Nugrahanti, Yeterina Widi. 2006 Hubungan Luas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol.XII No.2, 152-171 Petra., Steven T. 2007. Effect of Corporate Governance on The Informativeness of Earnings. Economics of Governance 8 : 129-152 Scott, William R. (2006). Financial Acconting theory”. 4th Edition. Canada Inc : Pearson Education. Siallagan, Hamonangan dan Machfoedz, Mas’ud (2006), Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang, 23-26 Agustus 2006. Siregar,Sylvia Veronica N.P & Bachtiar, Yanivi S.(2004). Good Corporate Governance,
Information
Asymmetry,
and
Earnings
Management”,
Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar-Bali : hal 57-69. Siregar,.Sylvia. Veronica N.P, dan Utama, Siddharta. (2006) Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management), Journal Riset Akuntansi Indonesia Vol 9 No.3. Hal 307-326
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and Accounting Workshop Depok, 4-5 November 2008
Shleifer, A dan R.W. Vishny (1997). A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance. Vol 52. No.2 Juni. 737-783. Sloan, Richard G. (1996). Do Stock fully Reflect Information in Accrual and Cash Flow About Future Earning, the Accounting Review, p.289-315. Suripto, Bambang, 1998, Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Luas Pengungkapan Sukarela Dalam Laporan Tahunan,. Tesis S2 UGM Teets, Walter R. dan Charles E. Wasley. 1996. Estimating Earnings Response Coefficient: Pooled versus Firm Specific Models. Journal of Accounting and Economics 21: 279-295. Teoh, Siew Hong dan T,J Wong. 1993. Perceived Auditor Quality and the Earnings Response Coefficient. The Accounting Review; 346-366. Utama, Siddharta (2003). Corporate Governance, Disclosure and its Evidence in Indonesia. Usahawan no.04 th XXXII. hlm. 28-32 Tjager, I Nyoman, F. Antonius Alijoyo, Humpery R., Djemat, dan Bambang Soembodo. (2003). Corporate Governance: Tantangan Dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT. Prenhalindo. Vafeas N (2000) Board Structure and the informativeness of Earnings. J Account Public Policy 19 (2): 132-160 Warfield T, Wild J, Wild K (1995) Managerial Ownership, accounting choices and informativeness of earnings, J Account Econ 20 (1): 61-91. Wedari, L.K.(2004). Analisis Pengaruh Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit Terhadap Aktivitas Manajemen Laba. Makalah SNA VII. Denpasar. 963-974 Watts R. and J.L. Zimmerman. (1986). Positive Accounting Theory. New York: Prentice Hall. Wright, 1997; Waterhouse & Svendsen, 1998; Cragg & Diyck, 1999;
Bridging the Gap between Theory and Practice
GOV013- 34