No. 10/TH. IV
W AHID Institute Seeding Plural and Peaceful Islam
The
ISI
Tajuk Fokus Wawancara Box Rak Buku Aktivitas
AGUSTUS - OKTOBER 2009
NAWALA
hal.1 hal.1 hal.4 hal.6 hal.7 hal.8
FOKUS
Berebut Lahan Sertifikasi Halal kkbk.wordpress.com
TAJUK
R
ancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) sedang dibahas di DPR. Beberapa fraksi ngotot mengesahkan RUU ini untuk disahkan karena akan dijadikan sebagai kado Lebaran yang paling manis. Mungkin ingin disamakan dengan UU Pornografi yang digadang-gadang sebagai kado Ramadhan. Fraksi lainnya ingin menunda karena materi RUU JPH masih compang-camping, termasuk asas voluntary (sukarela) dan mandatory (kewajiban) dalam soal sertifikasi halal. Kabar beredar jika masalah ini sudah selesai; voluntary yang disepakati. Tapi, konstelasi politik DPR siapa yang tahu. Masalah lainnya adalah penunjukkan lembaga yang mengurusi RUU JPH ini, apakah Departemen Agama (Depag) bekerjasama dengan MUI atau Badan Layanan Umum (BLU). Siapa yang akan dipilih DPR nantinya, lembaga ini mesti transparan dan kompeten. Yang tidak boleh terlewat adalah semangat yang mendasari RUU JPH ini. Adalah masyhur jika RUU JPH ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen Muslim. Dengan kata lain, RUU JPH ini bisa jadi merupakan bentuk dari keinginan kaum Muslim untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya. Tentu ini sah-sah saja. Tetapi, mengutip Said Abdullah, kebebasan beragama bukan berarti kemudian diadopsi menjadi norma hukum yang mengikat. Keinginan menikmati produk halal tidak harus dipaksakan dalam bentuk UU JPH. Kita mesti memikirkan saudara-saudara sebangsa kita yang memiliki penafsiran lain soal halal-haram. Dengan niat inilah kami menghadirkan Nawala Edisi 10 yang membahas tentang RUU JPH. Tak lupa kami mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H. Mohon maaf lahir batin. Selamat membaca.
Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671|Fax: +62 21-3928250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
S
Ilustrasi cara menginformasikan status produk
iapa mengenal Dr. Ir. Tris Sutanto? Mungkin tidak banyak pembaca yang tahu.Tetapi ia adalah tokoh penting di balik munculnya wacana sertifikasi halal. Dosen tekonologi pangan pada Universitas Brawijaya Malang itu mempublikasikan penelitiannya terhadap sejumlah produk makanan di Buletin Canopy edisi Januari 1989. Tris mendaftar 34 makanan yang mengandung lemak babi. Informasi ini kemudian terus meluas sampai ke masjid-masjid dengan jumlah produk yang terus bertambah. Jika daftar awal dilandasi dengan penelitian, maka daftar yang belakangan muncul karena asas dugaan. Yang mengandung lecithin dan emulsifier dianggap mengandung lemak babi, termasuk produk susu ternama. Orang lalu memboikot produk susu ini. Tapi tidak berhenti di sini saja. Perusahaan juga menghentikan pasokan susu yang diperoleh dari petani sapi perah. “Petani tidak terima, marah, membuang susunya tersebut di selokan,” jelas Nadratuzzaman mengenang peristiwa dua dasawarsa lampau itu kepada Nawala (26/08/09). Kasus ini membuat pemerintah was-was. Presiden Soeharto (alm.) meminta MUI untuk
Foto.Ulum
mengatasi carut marut ini. MUI kemudian mendirikan LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik). Melalui SK No. 018/MUI/I/1989 tertanggal 6 Januari 1989 beranggotakan ulama dan ilmuwan yang berkompeten, LP POM melaksanakan tugasnya untuk memeriksa kehalalan suatu produk untuk selanjutnya dicantumkan label halal jika telah mendapat fatwa halal. Praktik sertifikasi ini juga telah lebih dulu dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. Amerika Serikat dan Australia tak mau ketinggalan. Malaysia melegalisasi sertifikat halal di bawah aparatur negara bernama Bahagian Hal Ehwal Islam (Baheis) unit Kajian Makanan dan Barang Gunaan, Jabatan Kemajuan Agama Islam (Jakim) yang berada di bawah kantor Perdana Menteri. Mengutip halal.gov.my, pensijilan (sertifikasi) halal sudah masuk alam nomenklatur. ”Akta Perihal Perdagangan 1972”. Sertifikasi halal Singapura dilakukan oleh Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS) yang berdiri sejak 1968 yang berada di bawah Kementerian Pembangunan Masyarakat bekerjasama dengan Singapore Institute of Standard and Industrial Research (Sisir)
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Sidang Redaksi: Rumadi, Subhi Azhari, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far, Badrus Samsul Fata Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa’ | Desain: Ulum Zulvaton
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
yang berada di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri. Australia memiliki Australian Federation of Islamic Councils (AFIC)—berdiri sejak 1964—dan Halal Certificate Services Ltd. (HCS) untuk mengurusi kehalalan makanan. Di Amerika, Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) sudah sejak tahun 1990 mengeluarkan sertifikat halal. Setelah karir LP POM MUI yang cukup lama, muncul wacana stikerisasi halal; kewajiban mencantumkan logo halal yang selama ini bersifat sukarela. Misalnya saja, mengutip naskah akademik RUU JPH (Rancangan Undang-Undang Produk Halal), SK Menteri Agama No. 518. Th. 2002 yang memerintahkan pengusaha untuk memeriksakan produknya baik ekspor maupun impor untuk diuji kehalalannya. Di samping itu dikeluarkan juga SK Menteri Agama No. 519 Th. 2002 yang menunjuk LP POM MUI sebagai pelaksana uji sertifikasi dan SK Menteri Agama No. 525 Th. 2002 yang menunjuk PT. PERURI sebagai pencetak label halal yang akan ditempelkan pada tiap produk bersertifikat halal. Akan tetapi dua SK yang pertama justru memicu kontroversi yang menganggap bahwa kewajiban ini akan membebani pengusaha karena adanya biaya tambahan untuk mencetak logo yang imbasnya akan sampai kepada konsumen. Peraturan ini mandeg karena ditolak oleh DPR. Kini muncul lagi peraturan soal jaminan produk halal bernama RUU JPH. Terdiri dari 12 bab, 44 pasal, dan 75 ayat, RUU JPH disusun karena beberapa permasalahan. Pertama, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal dipandang belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk dapat mengkonsumsi atau menggunakan produk halal. Keadaan ini, mengutip naskah akademik RUU JPH, mendatangkan kesulitan yang bisa menimbulkan keraguan dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi makanan. Kedua, tidak adanya kepastian hukum tentang institusi mana yang merefleksikan keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk halal. LIPUTAN KHUSUS Ketiga, produksi dan peredaran produk di pasar domestik semakin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, bioteknologis, dan proses kimia biologis. Keempat, sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi yang ditetapkan pemerintah seperti halnya dimiliki negara lain. Ketiadaan standar ini menyebabkan pemalsuan tanda halal yang marak dan sulit ditindak. Kelima, sistem informasi produk halal sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat tidak memadai dan belum sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang produk-produk yang halal. Tetapi bagi Said Abdullah, Ketua Panja RUU JPH, alasan pemerintah (baca: Departemen Agama - Depag) sangat praktis. “Pemerintah hanya butuh PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak, Red.)-nya saja. Itu clear,” tandasnya dalam sebuah acara dialog tentang RUU JPH di sebuah televisi swasta nasional (08/09/09). Wewenang MUI dan Depag RUU JPH membatasi ruang lingkupnya pada enam hal:
akanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia bilogik, dan m rekayasa genetik. Di luar itu, RUU ini sendiri masih mengalami silang sengkarut. Persoalan pertama, adalah, substansi RUU yang masih compang-camping. Misalnya saja soal asas voluntary (kesukarelaan) dan mandatory (kewajiban). Istilah voluntary merujuk pada sifat sertifikasi yang bersifat sukarela; siapa mau, silakan daftar. Yang tidak mau, tidak masalah dan tidak ada sanksi. Dengan asas ini, tidak ada kekhawatiran akan tutupnya pabrik atau usaha UKM yang bakal gulung tikar karena tak sanggup membayar ongkos sertifikasi yang selama ini diampu oleh LP POM MUI. Namun, jika asas ini diubah menjadi wajib, maka semua perusahaan harus mendaftar untuk memperoleh sertifikat halal. “Dalam RUU JPH, seluruh industri dan dunia usaha yang bergerak pada produk makanan di Tanah Air diwajibkan untuk menggunakan sertifikasi berlabel halal,” jelas Ketua Komisi VII DPR Hasrul Azwar sebagaimana dikutip Media Indonesia Online (28/05/09). Persoalan kedua adalah wewenang sertifikasi halal. MUI, dalam hal ini LP POM MUI,terancam dicabut posisinya selaku lembaga tunggal yang mengeluarkan sertifikat halal sepanjang 20 tahun. Kekuasaan ini akan dilalihkan kepada (Depag). “Pemerintah bertugas menyelenggarakan Jaminan Produk Halal yang dilaksanakan oleh Menteri,” demikian bunyi pasal 3 draf RUU JPH. MUI sendiri, berdasarkan pasal tersebut, hanya kebagian tugas menetapkan fatwa tentang kehalalan produk menurut syariah. Sementara wewenang Menteri Agama, menurut pasal 4 RUU JPH, sangat banyak. Di antaranya, menetapkan standar, norma, prosedur, dan tata cara pemeriksaan bahan baku dan pengolahan produk halal; melakukan pengujian dan pemeriksaan laboratorium kefarmasian produk halal; dan menerbitkan sertifikat halal. Dengan jurang pemisah yang lebar ini, tidak heran jika MUI—yang sudah berpengalaman melakukan sertifikasi selama dua dasawarsa—keberatan. Menurut MUI, melalui siaran pers yang bertajuk “Tanggapan MUI terhadap Draft RUU JPH”, sertifikasi halal sejatinya merupakan perlindungan terhadap umat dan penetapannya merupakan ranah syariat dan bagian dari hukum agama sehingga merupakan kewenangan ulama. “Maka pengambilalihan sertifikasi halal dari MUI kepada pemerintah atau Badan merupakan kesalahan ditinjau dari pandangan hukum Islam,” jelas dokumen tertanggal 23 Juli yang ditandatangani oleh KH Ma’ruf Amin dan H Ichwan Syam. Jika bukan pihak yang berkompeten yang mengeluarkan sertifikat ini, kata Kiai Ma’ruf, maka sertifikat tersebut tidak sah. “Karena itu, kalau draft RUU JPH tetap disahkan menjadi undang-undang dan dalam undang-undang itu peran MUI hilang sebagai lembaga yang memberikan sertifikasi, maka MUI tidak akan bertanggung jawab terhadap undang-undang tersebut,” tambah Kiai Ma’ruf seperti ditulis suaramedia.com (24/07/09) . LP POM menyodorkan alasan edukasi ketika menanggapi RUU JPH. ”Kami sebenarnya ingin RUU ini menjelaskan bagaimana rakyat diajarkan berproduksi secara halal jika ingin mendapat sertifikasi halal,” terang Nadratuzzaman kepadaNawala (Lihat Wawancara:
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
Sertifikasi Mesti Dibarengi Edukasi). Dengan edukasi terus-menerus, sertifikasi halal tidak diperlukan lagi. RUU JPH ini, kata Nadrat, justru ingin membuat sertifikat sebagai sesuatu yang permanen. Rebutan soal kewenangan lembaga ini terus berlanjut. Sampai detik terakhir (13/09/09) belum putus kesepakatan; apakah di bawah Depag, dibuat BLU (Badan Layanan Umum). Anggota Panja juga masih mempersoalkan status sertifikasi halal yang pada awalnya nampak diarahkan kepada mandatory (kewajiban). Said, yang politikus PDI-P, terang-terangan menolak. ”Posisi PDI-P menolak tetapi PDI-P tidak bisa dalam proses politik meninggalkan tempat (sidang,Red.),” jelas Said dalam sebuah hearing dengan JIRA, KOMJAK, ANBTI, dan theWAHID Institute (21/08/09). Badriyah Fayumi dari FKB memilih menolak. ”Jalan tengah tetap voluntary tetapi perlu ada edukasi, sosialisasi, dan lain sebagainya,” tandasnya dalam sebuah hearing dengan kelompok yang sama(20/08/09).
Pemberlakuan mandatory halal tersebut juga dinilai bertentangan dengan UU yang sudah ada, seperti UU Pangan No 7/1996 dan UU Perlidungan Konsumen No 8/1999 (Lihat Box: Tabel Beberapa Peraturan tentang Produk Halal). Ketua Apindo, Sofjan Wanandi menyesalkan penyusunan RUU JPH ini yang dilakukan secara diam-diam. Padahal pihaknya,kata Sofjan Wanandi, ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dalam sebuah dialog di televisi swasta nasional, menyatakan bahwa sertifikasi halal mendatangkan biaya ekonomi tinggi terutama bagi kelompok UKM (Usaha Kecil Menengah). Pengusaha mesti menyediakan dana khusus untuk mengurus sertifikasi.
Relasi Mayoritas – Minoritas Pada tataran relasi mayoritas dan minoritas, terdapat keyakinan bahwa RUU JPH ini hanya akan melayani kepentingan mayoritas. Tiur Hutagaol, anggota Komisi VIII dari PDS menyatakan bahwa sertifikasi produk halal ini akan menguntungkan beberapa pihak saja karena setiap kelompok di Indonesia memandang definisi halal Konsumen versus Produsen dari berbagai sudut pandang. Ia lantas mencontohkan, masyarakat Konsumen membutuhkan kepastian akan produk halal. De- Papua justru menggunakan babi sebagai mas kawinnya, sedangkan mikian argumen pendukung terhadap perlunya RUU tentang di agama Islam, babi dilarang karena hukumnya haram. Jika akhirjaminan produk halal. Memang ini benar adanya jika dikaitkan nya RUU ini disahkan maka, kata Tiur, ia juga mematikan usaha dengan hasil polling kerja sama www.indohalal.com,Yayasan Halalan produk tertentu yang tidak masuk kategori halal. “Itu tentunya Thoyyiban, dan LP POM MUI akhir tahun 2002. Survei tersebut akan merugikan mereka,” ujar Tiur sebagaimana dikutip perisai. menunjukkan 77,6% responden menjadikan kehalalan sebagai net (06/09/09). pertimbangan pertama dalam berbelanja produk, baik makanan, Maftuh Basyuni, Menteri Agama, pun angkat bicara soal ini. minuman, kosmetika, dan resto. Sebanyak 93,9% di antaranya Maftuh menngaransi bahwa keberadaan RUU ini tidak akan setuju bila pada setiap kemasan produk bersertifikat halal, wajib menimbulkan kesenjangan antara yang minoritas dengan yang dicantumkan label dan nomor sertifikat halal. Survei Frontier mayoritas. “UU ini hanya berlaku pada orang muslim dan orang pada 2001 menunjukkan bahwa 57,9% konsumen selalu mem- yang tidak mau. UU ini tidak terlalu mengikat, seperti halnya perhatikan label halal dan 86% menginginkan pencantuman halal orang Yahudi kan tidak makan daging babi,” katanya seperti didiwajibkan. Bila mendapatkan makanan yang tidak berlabel halal, tulis Hukum Online (17/02/09). Menurutya, keberadaan RUU kebanyakan konsumen memilih alternatif lain sebagai penggan- ini justru membuat kejelasan orang tentang mana produk yang tinya (66,2%) dan mereka pun bersedia membayar mahal untuk dihalalkan dan yang diharamkan sehingga penjual tidak bisa produk halal (46,6%). Membayar mahal demi sebuah produk halal sembarangan menjual produknya dengan bebas. Bahrul Hayat, ini—mengutip Frontier—membuat konsumen Indonesia diang- Sekjen Depag, bahkan menjamin jika dari segi materi pun RUU gap berkarakter religius.Tentu saja keinginan konsumen ini perlu JPH ini tidak mendiskriminasi agama apapun. “Keberadaan RUU dihargai—meskipun belum jelas kategorisasi konsumen ini. ini karena ada sekelompok umat yang menginginkan kepastian Lalu bagaimana dengan respon pengusaha terhadap tuntutan hukum dalam produk makanan maupun minuman yang akan konsumen ini? Ketua Tim Halal Kadin (Kamar Dagang Indonesia), dikonsumsinya. Namun, nantinya, JPH bukan merupakan kewajiSoeroso Natakusumah menyatakan bahwa pendaftaran sertifikat ban bagi semua pelaku usaha memiliki JPH,” terang Bahrul dalam halal masih terjangkau, sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per satu media rilis Departemen Agama sebagaimana dikutip JPNN.com lembar sertifikat.Namun kekhawatiran pengusaha terletak pada (29/08/09). konsekuensi di tingkat implikasinya yang berupa investasi alat Namun, kita juga tahu, bahwa realita tidak selalu sejalan dengan produksi, investasi SDM (Sumber Daya Manusia) maupun inves- retorika. Kita tentu masih ingat soal Bogor Kota Halal. Ambisi tasi proses produksi. “Kalau biaya sertifikat bisa terjangkau, tapi Walikota yang efek paksanya jauh dibawah Undang-Undang JPH bagaimana dengan investasi-investasi di atas, kan itu menambah cost ini telah mementik persoalan baru. Sebuah spanduk dibentangkan perusahaan, yang memberatkan industri kecil menengah,” ungkap di kawasan tol Bogor berisi kalimat sinis; “Isolasi yang Makan Franky Sabarini, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Babi, Enak Makan Pepes Oncom dan Semur Jengkol”. Jika begini, Indonesia (GAPMMI) sebagaimana ditulis oleh Republika Newsroom sepertinya tidak ada yang berani pasang badan. (25/09/09). Ini belum lagi jika bahan yang dimaksud diimpor.
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
Akhirnya: terkait wajibnya sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuDengan segala pro kontra di atas, alangkah bijaknya jika pem- man berbahan baku dari hewan. bahasan RUU ini ditunda sehingga dapat menampung aspirasi Selain itu, anggota DPR tak perlu tergesa-gesa, seperti kejar lebih banyak. Jangan sampai ditolak setelah disahkan karena tidak tayang atawa dikejar dead-line, hanya karena RUU ini digadangaspiratif seperti beberapa waktu lalu; UU Perfilman ditolak sendiri gadang oleh sebagai golongan sebagai kado Lebaran. Padahal, oleh insan perfilman. Di tengah pembahasan RUU ini saja sudah RUU Pengadilan Tipikor yang waktu tenggatnya hampir habis muncul ancaman dari Kadin akan melakukan judicial review (JR) dan tidak mendiskriminasikan seorangpun di muka bumi serta jika RUU JPH tetap disahkan dengan membawa asas kewajiban. didukung semua lapisan masyarakat ini, ogah-ogahan dibahas oleh WAWANCARA Pernyataan Kadin ini sepertinya bukan isapan jempol belaka. para anggota dewan yang terhormat itu. Syukur-syukur jika RUU Sekarang ini Kadin sedang mempersiapkan materi JR terhadap JPH ini batal disahkan. Wallahu A’lam Bisshawab. N UU No. 18 Th. 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Rumadi, Nurunnisa’)
WAWANCARA Wawancara dengan Dr. Nadratuzzaman Hosen Direktur LP POM MUI & Presiden World Halal Council
Sertifikasi Mesti Dibarengi Edukasi Dua puluh tahun lagi, jika masyarakat diberi edukasi soal kehalalan dan keharaman produk maka mereka akan sadar. Di situlah sertifikasi halal tidak diperlukan lagi. Sisi edukasi inilah, menurut Nadratuzzaman, yang terlupakan dalam draf RUU JPH. Lalu bagaimana sikapnya terhadap RUU JPH yang di mata alumnus University of New England Austalia ini terkesan akan membuat sertfikasi halal menjadi sesuatu yang permanen? Berikut petikan wawancara The WAHID Institute dengannya terkait wacana tersebut. Foto.Dok. mui.or.id
Bagaimana Anda memandang sertifikasi dan sertifikat halal? Masalah sertifikasi halal bisa lihat dari segi hukum dan ekonomi. Dari segi hukum, sertifikat halal itu muncul karena ada kekosongan, karena tidak ada pengaturan masalah yang berkaitan dengan konsumen muslim. Di negara Barat yang mayoritasnya non-Muslim seperti Amerika, Australia, Eropa, memberikan kesempatan lembaga Islam apapun namanya, entah basisnya masjid atau intelektual, untuk melakukan sertifikasi halal karena mereka (pemerintah --Red) tahu bahwa ada kebutuhan dari konsumen muslim yang ingin mengkonsumsi makanan halal. Mereka membolehkan proses sertifikasi itu tetapi mereka tidak ikut campur, kecuali ketika perusahaan yang telah memperoleh sertifikat halal melakukan kebohongan publik. Dalam konteks ekonomi, ini namanya tidak fair trade, perdagangan yang tidak jujur. Mereka terlibat dalam masalah ini karena mereka tidak mau ada konsumen yang dibohongi oleh produsen. Jadi konteksnya adalah konteks perdagangan. Sementara, sertifikasi itu urusan orang beragama. Mereka tidak tahu bagaimana standar halal. Ulama yang menentukan. Bagaimana sikap LP POM MUI terhadap RUU JPH? Kalau kami, tidak ada RUU, (fungsinya) sudah jalan.Tidak ada masalah. Karena kami sudah 20 tahun bekerja, sudah ada 1000 perusahaan yang mendaftar ke LP POM MUI dan sudah 2800 produk yang disertifikasi. Sifatnya voluntary, sukarela. Kalau kami
menerima ujroh (upah), itu karena kami bekerja, apakah kami salah? Kalau misalnya kelewat mahal, silakan, jangan ngambil ke kami, toh masyarakat juga tidak menuntut. Orang-orang menanyakan seolah-oleh LP POM MUI memonopoli. Silakan saja membuka, tidak ada yang melarang. NU dan Muhammadiyah tidak melakukannya. Kami tidak punya hutang budi dengan pemerintah. Kami hanya ingin membantu konsumen muslim. Kami juga tidak ikut campur dengan soal logo, soal tanda halal karena itu urusan pemerintah. Lalu komentar Anda terhadap RUU JPH sendiri? Kalau kami sudah bisa bekerja tanpa dana APBN, sekarang ini dalam RUU itu pemerintah ingin dapat dana dari APBN. Apakah nanti tidak timbul yang namanya penggelapan-penggelapan keuangan, korupsi? Kami ingin kalau ada RUU itu menjelaskan bagaimana rakyat diajarkan berproduksi secara halal jika ingin mendapat sertifikat halal. Jadi UU itu memerintahkan lembaga pemerintah untuk mengajarkan masyarakat bagaimana berproduksi secara halal. Kalau ada pendidikan terus menerus, sertifikasi halal tidak diperlukan lagi. Sertifikasi halal itu berlaku dan bisa berjalan pada saat pemerintah tidak mengajarkan kepada masyarakat bagaimana berproduksi secara halal. Perlu juga ada program edukasi kepada masyarakat, dan produsen, agar kalau ia ingin memproduksi halal bagaimana caranya.
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
Jadi posisi Anda? Kalau (sudah --Red) pemerintah, bagaimana mau dilawan. Yang jelas, pertama, kami meminta kepada anggota DPR bahwa membangun sistem sertifikasi itu tidak mudah dan itu sudah paten kami itu.Yang kedua, bahwa karakter dari lembaga pemerintah yang menangani—apakah di di bawah menteri eselon atau BLU-itu rawan terhadap apa yang namanya korupsi. Power tends to corrupt. Tetapi bukan berarti MUI itu mengatakan MUI malaikat loh ya. Jadi mengenai sekarang mau diambil pemerintah, ya sudah, itu urusan DPR dan pemerintah. Kalau ditanya saya, saya jelas menolak. Saya mau LP POM tetap seperti sekarang.
bungan dengan pemerintah itu gratis.
Di dalam RUU itu kan ada sanksinya. Tidakkah itu lebih baik? Terus terang, kalau saya tidak percaya sanksi-sanksi hukuman oleh pengadilan di Indonedia ini. Saya lebih senang sanksi sosial, sanksi pasar. Contoh kasus Ajinomoto. Sudah jatuh dia susah (naik lagi --Red). Semua media ekspos dan masyarakat saja yang memboikot dan menghakimi, tidak perlu menghukum. Saya nggak percaya pengadilan di Indonesia. Itu jadi unsur pemerasan saja.
Ini sekedar konfirmasi. Apakah MUI, khususnya LP POM MUI, menolak RUU JPH gara-gara tak dlibatkan dalam sertifikasi? Kalau saya enggak. Itu sejarah yang akan menjawab. Saya ikhlas-ikhlas saja (kalaupun nanti --Red) LP POM bubar, tidak masalah.
Mungkin juga karena efeknya yang kelak tidak ramah kepada non-Muslim? Saya ingin mendorong Bogor menjadi Bogor Kota Halal. Bukan berarti semuanya itu harus halal. Maksud saya ada fair trade tadi. Yang halal itu jelas. Yang haram pun jelas. Kalau saya ke Malaysia atau ke Singapura, saya masuk restoran, pelayannya mengatakan, “eh, Cik, tak boleh di sini. Itu tak halal.” Itu yang saya mau begitu. Ada kesadaran yang halal itu halal, yang haram itu haram.
Benarkah LP POM MUI terancam dicoret dari RUU JPH? Ada asumsi kalau mendapat sertifikasi halal, maka Kalau saya terus terang, jujur, masalah yang diperebutkan penjualan mereka meningkat. Bagaimana dengan klien orang terutama teman-teman dari PKS mau buat lembaga LP LP POM? POM, ya silahkan. Dalam era keterbukaan, pikiran saya sebagai Pengakuan mereka meningkat. Ada kepercayaan di situ. ekonom, harus ada kompetisi. Bagi saya lembaga pemeriksa mau Contohnya Nutrisari. Dulu dia itu boleh dikatakan tidak masuk pemerintah mau siapa terserah, tapi yang menetukan halal-haram tataran yang top. Karena dia rajin ke kita, tumbuh kepercayaan itu ulama. Saya tidak mau itu ditentukan oleh pemerintah. orang. Memang ada orang yang sampai tidak care masalah halal tapi dengan semakin banyaknya kalangan menengah Islam yang Di draf RUU fatwa akan diserahkan ke MUI … income-nya menengah ke atas dan punya pendidikan Islam yang Nggak. Itu nanti ada namanya Panel Itsbat. Jadi MUI itu kalau baik, mereka semakin sadar dan itulah pasar bagi mereka. diperlukan, sekali-sekali saja. Kita sudah bahas semua. Mereka menyediakan ini kan untuk pensiunan. Bisa kerja dan bisa dapat Bagaimana dengan orang di kampung memandang income. Arahnya ke situ. No problem LP POM diambil. Yang saya isu ini? tidak mau, masalah hukum Islam, penentuan halal-haram diambil They don’t care. Bagi mereka itu, murah, dia bisa makan. oleh Departemen Agama. Mereka tidak mengerti itu. Bagaimana jika korps ulama yang terlibat dalam Lantas bagaimana dengan perasaan minoritas jika sertifikasi halal itu bukan MUI? RUU ini hanya melindungi konsumen Muslim? Boleh saja, tidak masalah, yang penting ulama. Saya berpegang Kalau orang non-Muslim yang sudah berhubungan dengan kepada Hadis Rasulullah; jangan kau mengatakan yang halal itu kita, sudah tahu bagaimana mind-set LP POM, tidak keberatan. haram, yang haram itu halal. Itu namanya tahakkum, membuat Justru orang non-Muslim yang tidak pernah berhubungan dengan hukum. Dosanya itu sama dengan syirik. Saya tidak rela kalau kita karena kepalanya bersikap politik, pendekatannya politis, ulama digusur karena menurut sejarahnya dulu ulama yang dijadi ketakutan. minta untuk menenangkan Pak Harto. Di luar MUI silahkan saja, Tapi kan masalahnya sekarang semua ormas bersepakat MUI yang Atau mereka takut karena RUU JPH bersifat man- di depan. Apakah kesepakatan itu mau diubah? Yang tergantung datory? organisasi-organisasinya karena kan ada 50 organisasi Islam dan Saya enggak ngerti. Tapi kalau saya lihat, ketidakpercayaan kemarin kumpul, semuanya mendukung MUI sampai Kiai Ma’ruf masyarakat terhadap pemerintah itu tinggi sekali. Kekhawatiran Amin kaget. “Kok keras amat mendukungnya begitu,” kata Kiai mereka sangat beralasan. Contoh saja, orang buat KTP katanya Ma’ruf Amin. N gratis. Ada enggak KTP yang gratis. Mana ada sih kita yang berhu- (Nurunnisa’, Alamsyam M. Dja’far)
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
BOX
TABEL BEBERAPA PERATURAN JAMINAN PRODUK HALAL
No
Peraturan Perundangundangan atau Peraturan lain
Pasal Terkait
1
UU No. 23 Th. 1992 tentang Kesehatan
Pasal 21 1. Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan. 2. Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi: a) bahan yang dipakai; b) komposisi setiap bahan; c) tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa; d) ketentuan lainnya
2
UU No. 7 Th. 1996 tentang Pangan
Pasal 4 1. Pemerintah menetapkan persyaratan mengenai sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan. 2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada (i) merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan sistem pangan. Pasal 8: “Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi” Pasal 36 1. Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya. 2. Setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pagan yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya
3
UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 3 Butir e: “Perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha” Pasal 8 Ayat 1 Butir a: “Pelaku usaha dilarang memproduksi barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan” Pasal 4 Butir c: “Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa” Pasal 8 Ayat 1 Butir h: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label”
4
PP No. 69 Th. 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Pasal 10 Ayat 1: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label” Pasal 10 Ayat 2: “Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud merupakan bagian yang tak terpisahkan dari label” Pasal 11 (1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut kepada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
5
Keputusan Menkes RI No.82/MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan dan Perubahannya atas Surat Keputusan Menkes No. 924/Menkes/SK/ I/1996
1.
Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan halal wajib diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktorat Jenderal 2. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil Komisi Fatwa 3. Persetujuan pencantuman tulisan halal diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa. 4. Surat persetujuan pencantuman tulisan halal diberikan oleh Direktorat Jendral POM (BPOM) Pasal 1 Ayat 3 Tulisan halal adalah tulisan yang dicantumkan pada label/ penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk Agama Islam. Pasal 2 Pada label makanan dapat dicantumkan tulisan “Halal”
No. 10/TH. IV/AGUSTUS - OKTOBER 2009
RAK BUKU
Kontestasi Penerapan Syariah Islam di Indonesia Oleh: Badrus Samsul Fata* Secara umum, berdasarkan kajian kesarjanaan muslim yang tersedia, menguatnya tuntutan formalisasi syariah, khususnya di negara sekuler modern (secular nation state) dapat dipahami dalam beberapa kerangka hipotetik berikut: (1) diskursus formalisasi syariah tidak lebih sebagai upaya politisasi agama atas rezim yang sedang berkuasa (incumbent) atas para penentangnya. (2) bukti menguatnya mazhab radikalisme atau revivalisme agama yang selalu menjadi penganjur dua kata kunci yakni; ”kepantasan moral dan kepatuhan hukum” (moralitys and legal obidience). (3) gejala formalisasi agama secara lebih dalam juga merupakan symptom atas kebangkitan gerakan-gerakan fundamentalisme dalam agama-agama baik Yahudi, Kristen, Islam, maupun Hindu. Gejala-gejala fundamentalisasi ini memaksa restorasi ”kesadaran” masa lalu menjadi “kesadaran” masa kini, termasuk formalisasi hukum agama (religious law). (4) Tuntutan tentang formalisasi hukum agama juga bisa dilihat sebagai sebuah upaya penegasan identitas keagamaan (reassertion of religious identity) sebuah masyarakat tertnetu seperti Negara Yahudi-Israel atau Negara Islam-Pakistan atau Negara Islam-Iran. Bagi sebagian kelompok masyarakat, formalisasi hukum agama adalah sebuah konsekuensilogis dan bahkan sebuah keniscayaan. (5) tuntutan formalisasi hukum agama itu bukanlah tujuan akhir (the utimate goal), karena hanya sebatas perangkat ”meng-agama-kan” (meng-Islam-kan atau me-Yahudikan) negara sekuler-modern. Buku ini secara lebih jauh menemukan bahwa formalisasi syariat Islam dalam banyak negara Islam seperti Pakistan, Saudi Aabia, dan Iran tersebut sebagiannya berasal dari sistem millet pada masa Kekaisaran Islam Turki-Usmani (Ottoman Empire). Terma millet sendiri berasal dari bahasa Arab millah yang berarti ”nation” (Bangsa). Jadi, millet merupakan gagasan tentang komu-
Judul Pengarang Penerbit Halaman
: Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia : Arskal Salim : University of Hawai’i Press : xiv+256
nitas kebangsaan Turki Usmani. Istilah ini mulai digunakan sejak abad 19 bersamaan dengan reformasi peran pemerintahan saat itu untuk kepentingan perlindungan kelompok-kelompok minoritas. Selebihnya, Sistem Millet Kekaisaran Islam Ottoman dalam sejarah islam biasa ditafsirkan sebagai prakarsa awal tentang bentuk pemerintahan religious pra-modern. Akan tetapi, secara tegas, penulis buku mengatakan bahwa sistem millet yang terlalu menyandarkan negara/pemerintahan pada agama itu tidak selaras dan berkebalikan dengan gagasan tentang negara sekuler yang berbasis pada kewarganegaraan sipil (citizenship), sedangkan peran negara adalah sebagai pembuat hukum sekaligus penegak hukum (lawmaking). Sementara itu, dalam konteks keindonesiaan, tuntutan formaliasi syariat Islam juga menjadi polemik umat sejak kemerdekaan 1945 hingga sekarang, terlebih jika dikaitkan dengan upaya pengadopsian aspek legal-formalnya ke dalam Undangundang dan konstitusi negara. Selama tiga dasawarsa lebih, tuntutan formalisasi
syariat islam ini menjelma menjadi simbol ketegangan antara kaum nasionalis dengan agamawan secara horizontal, sekaligus menjadi simbol resitensi negara terhadap tuntutan tersebut melalui produk hukum dan kebijakannya, meskipun dalam beberapa hal resistensi ini bersifat cair. Sumber polemik tersebut berkisar pada tujuh-kata yang temuat dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berbunyi “dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.” Bagi para pendukung pemberlakuan syariat Islam, Tujuh Kata tersebut adalah harga mati dan tak bisa ditawar lagi, dengan asumsi bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah umat Islam. Dalam konteks ini, jika dicermati lebih jauh, ada tiga model ketegangan yang menjadi penghambat penerapan syariah islam di Indonesia: (a) Ketidaksesuaian dengan dasar Konstitusi (dissonant constitutionality); (b) ketidakcocokan dengan proses legislasi (dissonant legislation); dan (3) ketidaksesuaian antara visi peran pemerintahan (dissonant role of goverment). Di samping menyuguhkan analisa panjang tentang proses Amandemen Undang-undang dan polemik seputar Piagam Jakarta tempo dulu, buku ini secara lebih spesifik memotret proses konstitusionalisasi, nasionalisasi, dan lokalisasi syariah yang terjadi di Nangro Aceh Darussalam (NAD). Menurut penulis, meski konstitusi negara selalu lebih unggul dalam sejarah pergulatannya dengan hukum adat dan hukum syara’ lokal, namun tidak ada satupun ahli yang bisa memastikan kapan keniscayaan itu akan bertahan. Sebagai seorang peneliti, penulis juga memberi analisa kritis mengenai peran Ulama dan proses pembuatan Qanun, produk per-undang-undangan bersendi syara’ di Aceh semisal Undang-Undang Zakat, serta proses formalisasi syariat di Aceh dari berbagai aspeknya. Selamat membaca. * Aktivis The WAHID Institute
AKTIVITAS
FGD “RUU Jaminan Produk Halal, Inkonstitusional? Tinjauan Akademik” di Aula the WAHID Institute (01Juli 2009) kerja sama ANBTI, JIRA, dan the WAHID Institute
Kunjungan dan Sharing Pengalaman Aktivis ASEAN People Empowerment ke Kantor the WAHID Institute (15 Juli 2009)
Expert Meeting “Otoritas Ulama dan Demokratisasi di Dunia Islam” di Aula the WAHID Institute (23 Juli 2009)
Halaqah Kebangsaan “Islam dan Kebangsaan di Indonesia Pasca Suromadu” di Komplek Madaris 3 Pesantren an-Nuqayah Madura (25-26 Juli 2009) kerjasama C-mars Surabaya, BPM-PPA an-Nuqayah, dan the WAHID Institute
Peluncuran Buku “Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual” dan Buka Puasa Bersama” di Aula the WAHID Institute (02 September 2009) kerjasama the WAHID Institute dan Pesantren Ciganjur
Workshop Nasional untuk Program Pemantau an Isu-isu Agama di Villa Sejahtera Bogor (4-6 Agustus 2009) kerjasama the WAHID Institute – Yayasan Tifa
Serial Kelas Pendidikan Menulis untuk Siswa SMA Berbasis Pesantren (Agustus – September 2009) kerja sama PP Lakpesdam NU, The WAHID Institute, Yayasan Mata Air, NU Online, LKiS, Komunitas Pamanah Rasa, Yayasan Nusantara Damai, Penerbit Matapena, dan Gema Aswaja
Mimbar Seribu Harapan di GBK (16 Agustus 2009) kerjasama KRHN, TI-I, the WAHID Institute, ICW, ANBTI, Arus Pelangi, KPI, dan sejumlah LSM lain yang concern pada isu pemberantasan korupsi, pluralisme, kesetaraan gender, lingkungan, dan HAM
Hearing RUU Jaminan Produk Halal dengan FKB oleh ANBTI, the WAHID Institute, dan JIRA, ANBTI,YLKI, Jaringan Kerja Pelayanan Kristen di Indonesia, The WAHID Institute, dan LePas 10 di Ruang FKB (20 Agustus 2009)
Hearing RUU Jaminan Produk Halal dengan FPDIP oleh ANBTI, the WAHID Institute, KOMJAK dan JIRA di Ruang FPDI-P (21 Agustus 2009)