PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN FUNGSIONAL BERBASIS TEPUNG TORBANGUN PADA IBU YANG MENDAPAT KONSELING MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI
TETTY HERTA DOLOKSARIBU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Tetty Herta Doloksaribu NIM I162100031
RINGKASAN TETTY HERTA DOLOKSARIBU. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, M. RIZAL M. DAMANIK dan SRI ANNA MARLIYATI. Pemberian ASI eksklusif merupakan praktek pemenuhan gizi yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan, namun cakupan di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2%. Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak cukup merupakan faktor penghambat yang paling umum menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif. Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang manfaat menyusui yang tidak memadai dan kurangnya dukungan keluarga. Di sisi lain, ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui pada golongan umur yang sama. Namun, hasil survei konsumsi makanan individu di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 50% dari kelompok umur ibu menyusui dengan konsumsi energi <70% AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG. Hingga saat ini pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan lokal yang memiliki fungsi laktagogum atau dapat meningkatkan sekresi dan produksi ASI belum dilakukan. Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman pangan yang secara turun-temurun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara disajikan sebagai sayur atau sop untuk ibu pasca melahirkan dengan tujuan untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan mengkaji pengaruh pemberiannya pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: 1) pembuatan tepung torbangun; 2) pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun; 3) pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui menggunakan produk yang dikembangkan pada tahap 2. Pada tahap ke-1, dihasilkan tepung torbangun dengan rendemen sebesar 8.03±0.29%, kadar air 8.79±0.04%, total flavonoid sebesar 1.02±0.08 mgQE/g dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan. Pada tahap ke-2, bahan pangan yang digunakan untuk pengembangan produk adalah tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula. Formulasi bahan didasarkan pada angka tambahan kalori dan protein per hari bagi ibu menyusui dan porsi per 1 kali penyajian mendekati serbuk sereal komersial. Tepung daun torbangun yang digunakan adalah 9.6 g (F1); 10.8 g (F2); dan 12 g (F3). Formula F1, F2 dan F3 masingmasing diolah menjadi produk dalam bentuk serbuk siap saji. Uji organoleptik produk dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu menyusui bayi umur
hingga 6 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa formulasi bahan yang dilakukan pada pembuatan produk tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap rerata kesukaan panelis yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan overall produk (p>0.05). Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan F3 baik dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall produk berada di atas kategori 2 dari 3 skala penilaian. Produk F3 dengan persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall, masing-masing diatas 95% dipilih untuk diintervensikan dan dianalisis lebih lanjut. Produk F3 per 100 g mengandung energi sebesar 376 kkal dan protein sebesar 12.15 g, dengan indeks daya serap air sebesar 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%. Pengujian mikrobiologi menunjukkan bahwa produk F3 negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S.aureus, dengan nilai angka lempeng total masih dalam batas toleransi menurut SNI 01–4270–1996. Pada tahap ke-3, subyek penelitian adalah 20 orang ibu hamil pada trimester ke-3 yang diikuti hingga melahirkan. Pemberian makanan tambahan dilakukan selama 30 hari dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Subyek penelitian dialokasikan secara random ke dalam 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok intervensi (n=10) diberikan produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan kelompok kontrol (n=10) diberikan produk tanpa tepung torbangun (F0). Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9, rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8 (p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun berpengaruh signifikan terhadap waktu yang lebih singkat untuk mencapai kembali berat badan lahir bayi, yaitu 5.1±1.4 hari untuk kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol 7.0±2.4 hari (p<0.05). Selama waktu pemberian makanan tambahan, keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif pada kelompok intervensi adalah 90% sedangkan pada kelompok kontrol adalah 80%. Kata kunci: ASI, bayi, ibu menyusui, konseling, torbangun
SUMMARY TETTY HERTA DOLOKSARIBU. The effects of the torbangun flour-based supplementary food feeding for mothers who received breastfeeding counselling towards exclusive breasfeeding practice and infant’s growth. Supervised by HIDAYAT SYARIEF, M. RIZAL M. DAMANIK and SRI ANNA MARLIYATI. Exclusive breasfeeding practice is the most ideal practice to fulfill infant’s nutrients from birth to the age of 6 month, however based on the data from Riskesdas in 2013, Indonesia only covers 30.2% of the exclusive breastfeeding practice. The reason of mothers do not produce breastmilk or do not have enough breastmilk is the most common cause of exclusive breastfeeding cessation. Another reason is that mothers do not have enough knowledge regarding the benefits of breastfeeding and mothers have lack of family support to practice breastfeeding. On the other hand, breastfeeding mothers need more nutrients compare to non-breastfeeding mothers at the same age. However, the Indonesian individual food consumption survey in 2014 showed that 50% of the age group of breastfeeding mothers consume energy less than 70% RDA and as much as 33.8% consume protein less than 80% RDA. Until the present time, the development of supplementary food product for breastfeeding mothers using a local food with lactogogum that can improve milk secretion or production has not been done. Torbangun plant or Bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) is a crops that has been served as vegetables for postpartum mothers from generation to generation in Batak tribes in North Sumatera, to improve breastmilk secretion or production. The aim of the study was to develop a torbangun flour-based supplementary functional food product for breastfeeding mothers and to assess the effect of product developed intervention to breastfeeding mothers who received breastfeeding counselling towards exclusive breastfeeding practice and infant’s growth. The study was devided into 3 stages: 1) preparation of torbangun flour; 2) the development of torbangun flour-based supplementary functional food product for breastfeeding mothers; 3) the supplementary feeding to breastfeeding mothers who received breastfeeding counselling using torbangun flour-based product developed at the stage 2. At the first stage, preparation of torbangun flour, was produced with a yield of 8.03±0.29%, moisture of 8.79±0.04%, total flavonoids of 1.02±0.08 mgQE/g and the content of kaempferol by 9.64 mg/100g. Kaempferol derivatives are also contained in produced torbangun flour. At the second stage, the ingredients used for product development were torbangun flour, corn flour, isolated soy protein, skimmed milk powder and powdered sugar. The formulations of ingredients for product development, was based on the additional numbers of calories and protein per day needed by breastfeeding mothers. The use of torbangun flour are 9.6 g (F1); 10.8 g (F2); and 12 g (F3). Formula F1, F2 and F3 respectively processed into products in powder ready to serve form. The organoleptic tests of carried out by 40 panelists comprising of mothers breastfeding mother with babies up to 6 months of age. The organoleptic tests of carried out by 40 panelists comprising of mothers breastfeding mother with babies up to 6 months of age. The panelists preference
by organoleptic test of F1, F2 and F3 products based on colour, taste, flavour, texture and overall was not significantly different (p>0.05). Most panelist (>95%) preferred and could accept the F3 product, which was added with 12 g torbangun flour. Therefore, this product was choosen and analyze further. The F3 product contained 376 kcal of energy in 100 g with water absorption index at 3.06 and the water solubility of 76.96%. Microbiological analyzes test showed that F3 was negative for E.coli, Salmonella and S.aureus, while the value of total plate count was still within tolerance. At the third stage, the subjects were 20 pregnant women in their third trimester and were monitored until delivery and were given supplementary food for 30 days starting on the second day after delivery. Single blind andomized controlled trial was used to group subjects into intervention group (n=10) that was given supplementary food containing torbangun flour, and control group (n=10) with no torbangun flour. All subjects were given breastfeeding counselling 2 times before delivery and 3 times during supplementary food was given. The study showed that breastfeeding counseling significantly increased the knowledge and attitude of respondents on exclusive breastfeeding. In the intervention group, the average score of knowledge increased from 59.1±22.4 to 94.1±6.9 (p<0.05), while the average score of attitude increased from 65.8±11.4 to 94.1±8.8 (p<0.05). In control group, the average score of knowledge increased from 75.0±11.8 to 94.4±7.2 (p<0.05), while the average score of attitude increased from 75.0±14.4 to 94.4±11.0 (p<0.05). Supplementary food containing torbangun flour significantly caused shorter time in regaining infant’s birth weight. The average time was 5.1±1.4 days for intervention group, while the control group was 7.0±2.4 days (p<0.05). The success rate of exclusive breastfeeding practice in the intervention group was 90%, while in the control group was 80%. Keywords: breastmilk, breastfeeding mothers, counselling, torbangun
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN FUNGSIONAL BERBASIS TEPUNG TORBANGUN PADA IBU YANG MENDAPAT KONSELING MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI
TETTY HERTA DOLOKSARIBU
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Made Astawan, MS Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Penguji pada Sidang Promosi :Dr dr Trihono, MSc Prof Dr Ir Made Astawan, MS
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul, “Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Fungsional Berbasis Tepung Torbangun pada Ibu yang Mendapat Konseling Menyusui terhadap Pemberian ASI Eksklusif dan Pertumbuhan Bayi”. Penghargaan yang tidak ternilai dan terima kasih yang sangat tulus penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS, Prof drh M.Rizal M.Damanik, MRepSc PhD, dan Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS atas bimbingan, arahan, bantuan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Hardinsyah dan Prof Dr Ir Sugiyono, MAppSc sebagai penguji pada prelim lisan, Prof Dr Ir Aida Vitayala S.Hubeis, MSc dan Dr Ir Budi Setiawan, MS sebagai pembahas pada kolokium, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof Dr Ir Made Astawan, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan pada sidang promosi, Dr dr Trihono, MSc sebagai penguji pada sidang promosi, atas koreksi dan saran yang berharga dan bermanfaat pada penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, Ketua Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Gizi Masyarakat, Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia, Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia, atas dukungan, fasilitas, wawasan keilmuan dan proses pembelajaran selama penulis menempuh pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Pengelola dan Staf serta seluruh Civitas Akademika di lingkungan IPB yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa. Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan RI atas bantuan dana penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Penelitian Strategis IPB, Pimpinan Yayasan Supersemar atas bantuan dana disertasi dan kepada Pimpinan PT Kediri Matahari Corn Mills atas bantuan bahan penelitian. Terima kasih kepada Camat Kecamatan Rancabungur, Kepala Desa di desa Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok, Kepala Puskesmas Bantar Jaya, dokter, para bidan di desa dan di Puskesmas, Tenaga Pengelola Gizi, staf Puskesmas atas ijin, fasilitas dan kerja sama selama penelitian berlangsung. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh responden atas waktu dan partisipasi aktif selama penelitian berlangsung. Terima kasih kepada Ibu Hj NA Sinaga yang telah memberikan fasilitas lahan di desa Cijeruk untuk penanaman torbangun. Terima kasih kepada staf dan teknisi di Laboratorium Pilot Plan SEAFAST Center IPB, laboratorium Departemen
Gizi IPB, laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium Biotek BBPT Serpong. Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan pada Program Doktor Mayor Ilmu Gizi Manusia, khususnya GMA 2010; bu Ainia, bu Betty, pak Dadi, pak Muksin, pak Nur Rahman, pak Slamet; terima kasih atas persahabatan, dukungan dan kebersamaan sejak awal perkuliahan hingga tahap akhir dari penyelesaian pendidikan Program Doktor, sungguh menjadi suatu kenangan yang tak terlupakan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada GMA 2011, bu Trini, bu Yuni, bu Nurul dan secara khusus untuk sahabatku bu Made Darawati. Rasa terima kasih atas kebersamaan dengan GMA 2009, bu Dewi, bu Iskari, bu Hidayah, bu Katrin, pak Ali, pak Arifasno dan pak Mansur. Kepada senior bu Dr Tiurma Sinaga, terima kasih atas motivasi dan kalimat “formula hitungan jam” yang selalu memberi semangat, “hayo semangat, tinggal 3 jam lagi akan jadi doktor” . Rasa hormat dan ungkapan terima kasih yang sangat khusus untuk orang tuaku, Bapak M. Doloksaribu (Alm) dan Ibu T. Pangaribuan atas didikan, kasih sayang, motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada ito, kakak dan adikku serta keluarga besar Oppu Hasahatan Doloksaribu untuk dukungan dan doanya. Terima kasih juga kepada keluarga besar mertua, B.Simanjuntak (Alm.) dan M.Sitohang (Almh.) atau Oppu Melda Simanjuntak. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga untuk suamiku M.Simanjuntak dan ke-3 putri kami, Ester, Ecclesya dan Elishia atas ijin, doa, pengorbanan serta pengertian terhadap kesibukan penulis selama menempuh pendidikan S3. Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak disebutkan dalam tulisan ini akan tetapi telah mendukung dan membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak masa perkuliahan, penelitian sampai tersusunnya disertasi ini. Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna. Namun demikian, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kajian tanaman torbangun maupun gizi manusia. Bogor, Agustus 2015 Tetty Herta Doloksaribu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Hipotesis Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
6
Manfaat Pemberian ASI Eksklusif
6
Keadaan dan Masalah Pemberian ASI Eksklusif
7
Daun Torbangun sebagai Laktagogum
9
Peran Konseling terhadap Pemberian ASI Eksklusif
13
Kerangka Pikir Penelitian
16
3 METODE
18
Tahapan Penelitian
18
Waktu dan Tempat Penelitian
18
Bahan dan Alat
18
Pengolahan dan Analisis Data
21
Pertimbangan Etika
21
4 KANDUNGAN GIZI, TOTAL FLAVONOID DAN SENYAWA KAEMPFEROL PADA TEPUNG TORBANGUN
22
Pendahuluan
22
Metode
23
Hasil dan Pembahasan
26
Simpulan
27
5 PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN TAMBAHAN FUNGSIONAL UNTUK IBU MENYUSUI BERBASIS TEPUNG TORBANGUN
28
Pendahuluan
28
Metode
29
Hasil dan Pembahasan
30
Simpulan
34
6 PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN BERBASIS TEPUNG TORBANGUN DAN KONSELING MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN BAYI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
35
Pendahuluan
35
Metode
36
Hasil dan Pembahasan
39
Simpulan
46
7 PEMBAHASAN UMUM Implikasi Hasil Penelitian 8 SIMPULAN DAN SARAN
47 51 52
Simpulan
52
Saran
52
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1 Komposisi zat gizi daun torbangun
9
2 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada manusia
11
3 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada hewan coba
12
4 Mekanisme laktagogum dari tumbuhan
13
5 Kandungan gizi tepung torbangun (% berat basah)
26
6 Berat molekul kaempferol dan beberapa turunanannya
27
7 Hasil analisis kualitatif kaempferol dan derivatifnya pada tepung torbangun menurut fase pelarut
27
8 Kandungan gizi bahan untuk pengembangan protein (% berat basah)
31
9 Komposisi bahan menurut jenis formula (%)
31
10 Persentase penerimaan panelis terhadap produk (%)
32
11 Nilai modus dan persentase panelis menurut penilaian terhadap produk
32
12 Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk
32
13 Kandungan gizi, sifat fisik, mikrobiologi produk F3
33
14 Komposisi bahan dari produk makanan tambahan FT dan F0 (%)
38
15 Karakteristik subjek dan keluarga
39
16 Persentase jawaban benar tentang pengetahuan ASI eksklusif (%)
40
17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%)
41
18 Perubahan skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif
42
19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui
42
20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu
43
21 Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu menyusui
45
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian
17
2 Tahap pelaksanaan penelitian
19
3 Tahap pembuatan produk makanan tambahan ibu menyusui
20
4 Penempatan perlakuan (jenis PMT) pada subyek penelitian
21
5 Tahap pembuatan tepung torbangun
24
6 Rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan ≥BBL
44
DAFTAR LAMPIRAN 1 Keterangan lolos kaji etik penelitian
58
2 Foto tanaman torbangun, tepung torbangun dan produk PMT
59
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif merupakan praktek pemberian makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu strategi global untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup bayi (WHO 2003, 2011). Pentingnya pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan pertama kehidupan bayi, sebagai penentu status gizi, morbiditas, dan mortalitas anak telah diakui dan didokumentasikan dalam berbagai literatur (Duijts 2009). Pemberian ASI eksklusif yang tidak optimal dapat mengakibatkan 10% beban penyakit pada balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Black et al. 2008). Pemberian ASI eksklusif diperkirakan dapat mencegah 13% kematian balita per tahun, utamanya akibat diare dan pneumonia (Jones et al. 2003). ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek gizi, aspek imunologis, aspek psikologis, aspek kecerdasan, aspek ekonomis, dan aspek penundaan kehamilan, akan tetapi cakupannya di berbagai negara termasuk Indonesia masih rendah. Menurut laporan UNICEF (2011), hanya 32.6% dari 136.7 juta bayi yang dilahirkan di seluruh dunia yang mendapat ASI secara eksklusif hingga 6 bulan. Survei nasional kesehatan anak-anak pada tahun 2007 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dari 75% anak-anak yang pernah diberi ASI, hanya 16.8% yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan (Jessica et al. 2011). Al-Shabab et al. (2010) mengungkapkan bahwa di Kanada dari 90.3% bayi yang pernah diberi ASI hanya 13.8% yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan. Studi kohort prospektif terhadap 220 pasangan ibu dan bayi yang sehat sejak lahir sampai 6 bulan di Brasil oleh Santo et al. (2007) menunjukkan kelangsungan pemberian ASI eksklusif pada akhir bulan pertama kehidupan adalah 54% dan hanya 6.6% hingga 6 bulan. Kajian Agho et al. (2011) terhadap 658 bayi umur kurang dari 6 bulan di Negeria menunjukkan hanya 7.1% yang mendapat ASI eksklusif pada umur 5 bulan. Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan berdasarkan Malaysia Third National Health and Morbidity Survey 2006 (NHMS III) adalah 14.5% (Tan 2011). Di Indonesia, persentase bayi yang memperoleh ASI eksklusif berfluktuasi. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan adalah 28.6%, turun menjadi 24.3% pada tahun 2008, dan hanya 15.3% berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, sedangkan cakupan berdasarkan Riskesdas tahun 2013 masih 30.2% (Kemenkes 2010a, 2010b, 2013). Sasaran pemberian ASI eksklusif yang ingin dicapai pada akhir tahun 2025, sesuai dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam rangka pentingnya 1000 hari pertama kehidupan adalah paling sedikit 50% (Bappenas 2012). Berbagai faktor penyebab berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif, faktor terkait dengan ibu, bayi dan lingkungan. Namun faktor penghambat yang paling umum menyebabkan gagal pemberian ASI eksklusif sebelum 6 bulan pertama kehidupan adalah faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak
2 cukup (Gatti 2008; Hurley 2008; Hauck 2011; Kent et al. 2012; Turkyilmaz et al. 2011; Veghari 2011). Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang manfaat menyusui yang tidak memadai dan kurangnya dukungan keluarga. Studi oleh Hidayat et al. (2010) di Jawa Barat menunjukkan bahwa 32.2% dari 609 responden mengaku telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas kesehatan di rumah bersalin karena ASI belum keluar. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue). Galaktagogum atau laktagogum merupakan obat-obatan atau zat lain yang dapat membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi ASI (ABM 2011). Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui. Konseling menyusui yang diberikan sejak kehamilan akan memungkinkan ibu dapat mengantisipasi dan mengatasi berbagai masalah menyusui yang umum dihadapi ibu sehingga secara fisik dan psikologis ibu akan siap untuk menyusui bayi yang akan dilahirkannya secara eksklusif hingga usia 6 bulan (Depkes 2007; Kemenkes 2010a). Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Tradisi mengonsumsi daun torbangun oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara telah berkembang dan dilaksanakan secara turun-temurun. Hingga sekarang tradisi mengonsumsi daun torbangun oleh ibu pasca melahirkan masih tetap dilakukan dengan tujuan agar ASI segera keluar dan juga untuk meningkatkan produksi ASI atau sebagai laktagogum (Damanik et al. 2001, 2006; Damanik 2009). Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba, diantaranya penelitian oleh Santosa (2001), Damanik et al. (2006), Permana (2008), dan Rumetor (2008). Meskipun demikian, pemanfaatannya hanya dikalangan masyarakat suku Batak dan bentuk olahannya masih sangat terbatas yaitu sebagai sayur atau sop. Menurut Rice (2011), tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan baik dari segi fungsinya sebagai laktagogum maupun dari segi budidaya yang relatif mudah dengan umur panen yang singkat. Di sisi lain, ibu menyusui termasuk salah satu target pemberian makanan tambahan karena membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui pada golongan umur yang sama (IOM 1991; LIPI 2004). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa Indonesia, ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan tambahan kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein sebesar 20 g (Menkes 2013). Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan, meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi ibu (Gillespie 1999). Hasil survei konsumsi makanan individu di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa ternyata banyak dari kelompok umur ibu menyusui dengan konsumsi energi dan protein pada kategori kurang yaitu sebanyak 50% dengan konsumsi energi <70% dari AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes 2015). Mengingat bahwa ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga 6 bulan maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu menyusui dapat mencapai AKG. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui pemberian makanan tambahan.
3 Hingga saat ini pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan lokal yang mengandung fungsi laktagogum belum dilakukan. Produk sejenis ini diharapkan dapat digunakan sebagai pangan alternatif bagi ibu menyusui untuk memperbaiki asupan energi, protein dan sekaligus juga untuk meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi laktagogum dari bahan pangan yang digunakan. Disamping itu, produk tersebut sekaligus juga dapat mendukung pertumbuhan bayi melalui praktek pemberian ASI eksklusif karena salah satu faktor penghalang yang umum dalam pemberian ASI eksklusif adalah sekresi dan produksi ASI yang tidak optimal (Turkyilmaz 2011). Perumusan Masalah Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak dimasa yang akan datang (Bappenas 2012). Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003, 2011). Meskipun demikian, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2013 hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif umumnya terkait dengan masalah ASI belum keluar di minggu pertama pasca melahirkan dan kurangnya produksi ASI. Daun torbangun mengandung zat yang berfungsi sebagai laktagogum. Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba, namun kajian pemanfaatan dan pengembangannya menjadi suatu produk pangan fungsional dan sekaligus sebagai suatu bentuk makanan tambahan bagi ibu menyusui belum dilakukan. Lutter (1996) mengungkapkan bahwa menyusui merupakan suatu proses fisiologis dan perilaku yang kompleks tetapi pengaruh aspek fisiologis menyusui seringkali diuji tanpa memperhitungkan aspek perilaku atau interaksi kedua aspek tersebut. Demikian juga dengan studi tentang fungsi torbangun sebagai laktagogum yang telah dilakukan pada manusia, hingga saat ini belum mengikut sertakan pendekatan dari aspek perilaku menyusui. Menyusui merupakan sesuatu yang alami, namun menyusui juga merupakan suatu perilaku yang perlu dipelajari. Oleh karena itu, ibu menyusui harus mendapat akses dorongan dan bantuan ketrampilan praktis dari konselor terlatih, mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat serta sistem pelayanan kesehatan (WHO, 2003). Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini dilakukan kajian tentang pengembangan makanan tambahan berbasis tepung torbangun yang memiliki fungsi laktagogum untuk ibu menyusui dalam bentuk produk siap saji. Produk tersebut diintervensikan dengan mengikutsertakan intervensi perilaku pemberian ASI melalui konseling menyusui.
4 Pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun dan konseling menyusui memberikan pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif? 2. Apakah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun dan konseling menyusui memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bayi? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan mengkaji pengaruh pemberiannya pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Membuat tepung torbangun dan melakukan analisis proksimat, total flavonoid dan kandungan kaempferol tepung torbangun secara kualitatif dan kuantitatif. 2. Membuat produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan menganalisis karakteristik organoleptik, kandungan gizi, sifat fisik, dan mikrobiologinya. 3. Mengkaji pengaruh konseling menyusui terhadap pengetahuan dan sikap ibu menyusui tentang ASI eksklusif. 4. Mengkaji pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif. 5. Mengkaji pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pertumbuhan bayi. Hipotesis Penelitian 1. Konseling menyusui berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu menyusui tentang ASI eksklusif 2. Pemberian makanan tambahan berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. 3. Pemberian makanan tambahan berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya kajian ilmiah tentang pemanfaatan tanaman torbangun. Produk makanan tambahan berbasis tepung torbangun diharapkan menjadi suatu bentuk pangan alternatif untuk menambah asupan zat gizi ibu menyusui dan sekaligus juga meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi laktagogumnya. Hasil penelitian ini juga memiliki makna strategis untuk mendukung pertumbuhan bayi serta mengatasi stunting melalui pemberian ASI eksklusif.
5 Disamping itu, pemanfaatan tepung torbangun dalam pengembangan produk pangan diharapkan menambah nilai ekonomis tanaman torbangun dan sebagai upaya pelestarian kearifan budaya pemanfaatan torbangun serta memperluas sasaran pemanfaatan torbangun di luar kalangan masyarakat suku Batak. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1) pembuatan tepung torbangun dan melakukan analisis proksimat, total flavonoid dan senyawa kaempferol tepung torbangun; 2) pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun dan menganalisis karakteristik organoleptik, kandungan gizi, sifat fisik, dan mikrobiologi produk tersebut; 3) mengkaji pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi.
2 TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Pemberian ASI Eksklusif Hampir 2/3 dari kematian balita berhubungan langsung atau tidak langsung dengan masalah kurang gizi dan 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan praktek pemberian makanan yang kurang tepat. WHO dan UNICEF telah menetapkan suatu strategi global tentang praktek pemberian makanan pada bayi dan anak. Strategi tersebut merupakan acuan bagi semua negara di dunia dalam rangka mencapai kesehatan dan tumbuh kembang anak yang optimal. Diuraikan bahwa praktek pemberian makanan bayi dan anak balita yang baik dan benar adalah melakukan inisiasi menyusui dini, menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir hingga umur 6 bulan, setelah itu bayi mendapat makanan pendamping ASI dan meneruskan pemberian ASI hingga umur 2 tahun atau lebih (WHO 2003). Strategi global tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di Indonesia, yaitu sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes 2007). Kemudian, sejak bulan Maret tahun 2012 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 33 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Di dalam peraturan tersebut diuraikan bahwa pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk: 1) menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berumur 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya; 2) memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya; dan 3) meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif (Kemenseg 2012). ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, ekonomis dan aspek penundaan kehamilan. ASI merupakan satu-satunya makanan yang secara kuantitas dan kualitas optimal untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. ASI juga meningkatkan kesehatan bayi, kecerdasan bayi dan meningkatkan jalinan kasih sayang ibu dengan bayi (UNICEF 2011). Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan sangat menentukan status gizi, morbiditas dan mortalitas bayi. Kajian Duijts (2009) terhadap 21 studi yang terdiri dari 16 studi follow-up, 4 studi kasus kontrol dan 1 Randomized Control Trial menunjukkan bahwa 4 dari 5 studi mengamati adanya efek penurunan penyakit infeksi pada bayi yang diberi ASI. Sebanyak 6 dari 8 studi menunjukkan bahwa ASI memiliki efek protektif terhadap infeksi saluran pencernaan, sedangkan 13 dari 16 studi menyimpulkan bahwa ASI melindungi bayi dari serangan infeksi saluran pernafasan. Sebanyak 5 studi yang menggabungkan durasi dan eksklusifitas pemberian ASI mengamati adanya efek “protective dose/duration-response” terhadap infeksi saluran pencernaan atau terhadap infeksi saluran pernafasan. Black (2008) mengungkapkan bahwa pemberian ASI yang kurang optimum terutama tidak mendapat ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan dapat
7 mengakibatkan 10% beban penyakit pada balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara itu, Jones et al. (2003) menjelaskan bahwa pemberian ASI secara eksklusif sampai 6 bulan diperkirakan dapat mencegah 13% kematian balita per tahun, utamanya yang diakibatkan diare dan pneumonia. Keadaan dan Masalah Pemberian ASI Eksklusif Pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif (WHO 2003; 2011). Meskipun demikian, cakupan pemberian ASI ekslusif masih rendah. Hanya 32.6% bayi yang dilahirkan di seluruh dunia yang mendapat ASI secara eksklusif hingga 6 bulan (UNICEF 2011). Cakupan tersebut hampir sama dengan keadaan di Indonesia, yaitu hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Pada tahun 2025, WHO menargetkan minimal 50% bayi di bawah usia 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif. Berbagai faktor yang menyebabkan terhentinya pemberian ASI eksklusif sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktor yang terkait dengan ibu meliputi umur, paritas, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pengalaman menyusui, pengetahuan dan sikap tentang ASI, rencana menyusui sebelum melahirkan, keadaaan payudara dan kesehatan ibu. Faktor yang terkait dengan bayi diantaranya berat badan lahir, perilaku isapan bayi dan kesehatan bayi. Faktor yang terkait dengan proses laktasi meliputi inisiasi menyusui dini (IMD), frekuensi dan durasi menyusui serta pemberian susu formula (Huang 2009). Hurley et al. (2008) melaporkan bahwa di Amerika Serikat rata-rata durasi ASI eksklusif adalah 2.1 bulan. Dilaporkan bahwa alasan yang paling umum untuk berhenti menyusui adalah ASI tidak cukup, ketidaknyamanan atau nyeri pada payudara, bayi menolak menyusu, ibu kembali bekerja dan adanya penyakit pada ibu. Al-Shabab et al. (2010) melaporkan bahwa faktor yang berhubungan negatif dengan pemberian ASI eksklusif adalah merokok selama hamil, melahirkan dengan operasi, dirawat di unit perawatan intensif dan status pekerjaaan ibu sebelum 6 bulan usia bayi. Faktor yang ditemukan berhubungan dengan peningkatan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tinggal dengan pasangan, sudah pernah menyusui sebelumnya, indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil dan usia yang lebih tua. Studi kohort prospektif terhadap 220 pasangan ibu dan bayi yang sehat sejak lahir sampai 6 bulan di Brasil oleh Santo et al. (2007) menunjukkan bahwa ratarata durasi pemberian ASI eksklusif hanya 30 hari. Pada studi ini, hampir setengah dari ibu mengalami puting lecet yang membuat mereka trauma dan 11.9% bayi telah menerima susu formula ketika masih di rumah sakit. Hasil regresi Cox menunjukkan bahwa faktor yang terkait dengan penghentian pemberian ASI eksklusif sebelum 6 bulan adalah ibu masih remaja, pemeriksaan kehamilan kurang dari 6 kali, penggunaan empeng/dot pada bulan pertama dan penempelan mulut bayi yang kurang baik pada payudara. Rata-rata durasi pemberian ASI eksklusif di Xianjiang, China adalah 1.8 bulan. Faktor negatif yang terkait dengan durasi pemberian ASI eksklusif adalah
8 ibu yang akan bekerja setelah melahirkan dan penggunaan dot, sedangkan faktor positif adalah rencana dan keputusan yang diambil ibu sebelum kelahiran akan menyusui setelah melahirkan (Xu et al. 2007). Rendahnya tingkat pemberian ASI ekslusif di Negeria dikaitkan dengan praktek, ritual dan budaya yang tidak mendukung, pemeriksaan antenatal yang jarang atau tidak sama sekali (Agho et al. 2011). Menurut Kemenkes (2011), rendahnya pemberian ASI di Indonesia antara lain disebabkan kurangnya pengetahuan tentang manfaat ASI, bayi tidak menyusu segera setelah dilahirkan, ketersediaan konselor menyusui di tempat pelayanan kesehatan masih sedikit, tempat untuk menyusui atau memerah ASI pada fasilitas umum dan tempat kerja yang masih kurang serta gencarnya promosi susu formula. ASI yang belum keluar dan isapan bayi yang belum optimal merupakan masalah yang paling umum dijumpai pada hari pertama hingga minggu pertama setelah kelahiran, disamping faktor lainnya seperti pengetahuan ibu tentang manfaat menyusui yang tidak memadai, kurangnya dukungan dari suami dan anggota keluarga lainnya (IOM 1991). Studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif oleh Haider et al. (2010) di Bangladesh menunjukkan bahwa sejumlah alasan tidak memberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan yang disampaikan ibu maupun anggota keluarga lainnya (ayah dan nenek) adalah anggapan tentang perlunya bayi minum air dan jus buah serta ASI yang tidak cukup. Bayi dianggap perlu diberi minum agar hidup dan tidak haus. Bayi menangis dianggap sebagai indikator ASI yang tidak cukup atau bayi tidak mau menyusu. Keputusan ibu untuk memberikan ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh saran dan dukungan dari petugas kesehatan. Berdasarkan observasi lapang yang dilakukan oleh Abba et al. (2010) menunjukkan bahwa praktek yang dilakukan para petugas kesehatan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan umum termasuk rumah sakit bersalin di Niger kurang atau tidak mendukung praktek ASI eksklusif. Observasi yang dilakukan selama jam kerja yaitu dari pukul 8 pagi hingga pukul 14-15 setiap hari selama 82 hari juga memperlihatkan bahwa promosi ASI eksklusif tampak tidak menjadi prioritas para petugas kesehatan. Para petugas kesehatan tidak menjelaskan ASI eksklusif secara sistematis kepada ibu, atau disampaikan tetapi hanya secara garis besar dan tanpa penjelasan. Buruknya lagi, beberapa petugas kesehatan menganjurkan penggunaan substitusi ASI yang sering kali dipromosikan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan ibu seringkali menerima saran yang saling bertentangan. Li et al. (2008) melaporkan bahwa 3 alasan yang paling sering diberikan ibu untuk berhenti menyusui antara bulan pertama dan bulan ke-2 adalah bayi mengalami kesulitan dalam mengisap dan pelekatan tidak sesuai; ASI saja tidak cukup lagi bagi bayi; dan ASI tidak cukup banyak. Zuppa et al. (2010) menguraikan bahwa produksi ASI yang menurun dapat terjadi dalam berbagai keadaan seperti lahir prematur, penyakit pada ibu atau bayi, pemisahan bayi dengan ibu, relaktasi setelah penghentian yang lama, laktasi tidak langsung (pengeluaran ASI secara manual atau dengan memompa ASI), gelisah, lelah dan stres emosional. Produksi ASI dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti dukungan psikologis dan teknik relaksasi (menggunakan buku atau dukungan audio video), atau penggunaan laktagogum atau galaktagogum. Program edukasi sebaiknya diberikan kepada ibu menyusui untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi ibu seperti peletakan payudara yang tidak tepat,
9 durasi menyusui yang tidak cukup dan pengosongan payudara yang tidak memadai (Giugliani 2004). Daun Torbangun sebagai Laktagogum Laktagogum merupakan obat-obatan atau zat lain yang dapat membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju sintesis ASI. Laktagogum umumnya digunakan untuk meningkatkan laju produksi ASI yang rendah. Laktagogum tersedia dalam bentuk sediaan farmasi atau obat maupun laktagogum dari tumbuhan atau herbal (ABM 2011). Torbangun merupakan bahan pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Torbangun atau daun bangun-bangun merupakan sebutan dalam bahasa Batak untuk tumbuhan Coleus amboinicus Lour. Daun tumbuhan tersebut secara turun temurun telah dimanfaatkan sebagai sayur atau sup yang disajikan terutama untuk ibu-ibu yang baru melahirkan dan menyusui. Sayur daun torbangun yang dikonsumsi oleh ibu pasca melahirkan ditujukan untuk meningkatkan produksi ASI atau sebagai laktagogum (Damanik et al 2001, Wahlqvist et al. 2005). Daun torbangun di dalam tabel komposisi pangan Indonesia disebut sebagai daun bangun-bangun dan terdapat pada kelompok sayuran dengan komposisi zat gizi seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi zat gizi daun torbangun Zat gizi Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Kalsium Fosfor Besi Karoten total Tiamin Riboflavin Vitamin C Sumber: Mahmud et al. (2009)
Komposisi zat gizi per 100 g Satuan g kkal g g g g mg mg mg ug mg mg mg
Jumlah 92.5 27 1.3 0.6 4 1 279 40 13.6 13288 0.16 0.1 5.1
Terdapat beberapa penelitian tentang pemanfaatan torbangun untuk meningkatkan produksi air susu atau sebagai laktagogum pada manusia dan hewan coba (Tabel 2 dan 3). Damanik et al. (2001, 2009) melakukan diskusi kelompok terfokus (Fokus Group Discussion-FGD) di 3 desa pada kecamatan yang berbeda di kabupaten Simalungun Sumatera Utara. FGD dilakukan terhadap 60 wanita dari suku Batak yang memiliki pengalaman dalam mengonsumsi daun torbangun. Berdasarkan FGD tersebut disimpulkan bahwa mengonsumsi sup
10 daun torbangun dipercaya dapat meningkatkan produksi ASI yang ditandai dengan terasa penuhnya kelenjar susu mereka dan membantu proses pengeluaran darah kotor setelah melahirkan. Sebagian besar responden menyatakan bahwa sup daun torbangun dapat dikonsumsi kapan saja dalam jumlah yang tak terbatas tanpa efek negatif terhadap tubuh dan kondisi kesehatan ibu menyusui. Namun demikian, daun torbangun umumnya dikonsumsi selama 30-40 hari setelah melahirkan dengan cara penyajian sebagai berikut : 1. Sebanyak 120-150 gram daun dan batang torbangun yang masih muda dipetik, kemudian dicuci bersih lalu ditumbuk atau diremas-remas agak kasar, diperas dan dibuang airnya agar rasa rasa pahit dan langu berkurang. 2. Sementara itu, dipersiapkan air santan kelapa dan daging ayam atau ikan lele disuwir-suwir (sebagian responden tidak menggunakan santan). 3. Bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri dan andaliman digiling halus kemudian ditumis lalu santan, kaldu dan daging ayam atau ikan lele yang sudah dipersiapkan tadi dimasukkan ke bumbu yang sedang ditumis, dimasak sambil diaduk-aduk hingga mendidih dan diberi perasan jeruk nipis secukupnya. 4. Sup daun torbangun siap disajikan. Damanik et al. (2006) melakukan studi tentang efek suplementasi 150 gram daun torbangun dalam bentuk sup yang diberikan dari hari Senin sampai Sabtu selama 30 hari setelah ibu melahirkan terhadap kuantitas dan kualitas ASI. Studi tersebut dilakukan di Kabupaten Simalungun diikuti oleh 67 orang subyek penelitian hingga 2 bulan periode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 2 minggu terakhir suplementasi (dari hari ke-14 hingga hari ke-28) terjadi peningkatan volume ASI yang lebih besar pada ibu yang menerima suplementasi daun torbangun yaitu sebesar 65%, sedangkan kelompok fenugreek dengan dosis 3 kali 1 kapsul per hari dan kelompok Maloco+B12 dengan dosis 3 kali 1 tablet per hari berurut-urut hanya meningkat sebesar 20% dan 10%. Kapsul Fenugreek dan tablet Maloco+B12 masing-masing telah umum dikonsumsi oleh ibu menyusui di Indonesia dan Negara Eropa. Analisis proksimat ASI pada hari ke 8 setelah suplementasi antara kelompok suplementasi daun torbangun dengan suplementasi tablet Maloco+B12 yang meliputi kadar lemak, protein, air, abu dan laktosa tidak berbeda secara nyata. Fungsi daun torbangun untuk meningkatkan produksi ASI atau sebagai laktagogum didukung oleh sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba. Santosa (2001) melakukan penelitian terhadap 16 ibu dari suku Batak yang baru melahirkan yang terbagi ke dalam 4 kelompok perlakuan menunjukkan bahwa total volume ASI pada kelompok yang mendapat suplementasi 150 gram sayur daun torbangun yang direbus dan dikonsumsi tiap 2 hari sekali dimulai pada hari ke-4 sampai ke-24 setelah ibu melahirkan ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan total volume ASI pada ibu dari kelompok lainnya (p<0.05). Total volume ASI berturut-turut pada kelompok kontrol, kelompok torbangun, kelompok lancar ASI dan kelompok Moloco+B12 adalah 508.3ml, 749.2ml, 581.1ml dan 548.8 ml. Data tersebut menunjukkan bahwa jika masing-masing kelompok dibandingkan dengan kelompok kontrol ternyata kelompok torbangun lebih tinggi sebesar 47.4%, kelompok Lancar ASI lebih tinggi sebesar 14.3% dan kelompok Moloco+B12 lebih tinggi sebesar 8.0%. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa kadar prolaktin serum antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata.
11
Tabel 2 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada manusia Studi
Perlakuan
Hasil
Santosa (2001)
Studi terhadap 16 orang ibu dari suku Batak yang baru melahirkan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan: 1) kelompok kontrol, 2) kelompok torbangun, 3) kelompok lancar ASI, dan 4) kelompok Moloco+B12. Intervensi setiap 2 hari sekali, dimulai pada hari ke-4 sampai ke24 setelah ibu melahirkan. Kelompok torbangun diberikan 150 g daun torbangun yang direbus sebagai sayur.
Total volume ASI kelompok torbangun lebih tinggi dibandingkan total volume ASI dari kelompok lainnya. Total volume ASI pada masing-masing kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol beruruturut sebagai berikut: kelompok torbangun lebih tinggi sebesar 47.4%; kelompok lancar ASI lebih tinggi sebesar 14.3% dan kelompok Moloco+B12 lebih tinggi sebesar 8.0%. Kadar prolaktin serum antar kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Damanik et al. (2006)
Studi tentang efek suplementasi 150 g daun torbangun dalam bentuk sup terhadap kuantitas dan kualitas ASI. Suplementasi dari hari Senin sampai Sabtu, selama 30 hari. Subyek penelitian yaitu ibu setelah melahirkan dikelompokkan menjadi 3 yaitu kelompok Maloco+B12 (n=22), kelompok Fenugreek (n=22) dan kelompok Torbangun (n=23).
Pada 2 minggu terakhir suplementasi (hari ke-14 hingga ke-28) menunjukkan peningkatan volume ASI kelompok torbangun sebesar 65%, kelompok kapsul Fenugreek meningkat sebesar 20% dan kelompok tablet Maloco+B12 meningkat sebesar 10%. Kadar lemak, protein, air, abu dan laktosa ASI pada hari ke-8 setelah intervensi antara ke-3 kelompok perlakuan tidak menunjukkan perberbedaan yang signifikan (p>0.05).
Studi efek ekstrak daun Coleus amboinicus Lour pada hewan coba tikus putih Wistar melalui pemberian per oral setiap 2 hari sekali sejak 2 hingga 28 hari setelah melahirkan menunjukkan adanya peningkatan total produksi air susu dan pertumbuhan anak tikus secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Peningkatan yang lebih tinggi adalah pada kelompok yang menerima dosis ekstrak 80 g/kg BB dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya (20, 40, 60 g/kg BB). Peningkatan produksi air susu diikuti juga oleh peningkatan aktivitas sel epitel dan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae yang terlihat dari peningkatan kadar DNA dan RNA pada pertengahan laktasi (Silitonga 1993). Efek laktogogum dari daun torbangun melalui kajian histopatologi dari kelenjar mammae mencit (Mus musculus) sebagai hewan model dilakukan oleh Permana (2008). Mencit bunting yang diberi pakan yang mengandung torbangun 5% dalam bentuk sediaan sup yang diberikan pada hari ke-14 kebuntingan hingga 7 hari pasca melahirkan menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki efek laktagogum yang tampak dari peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae yang aktif setelah diberi sup dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Rumetor (2008) menunjukkan bahwa suplementasi daun torbangun dalam ransum kambing peranakan Etawah sebanyak 9 g/kg bobot badan dapat meningkatkan produksi susu sampai 90.14% per hari dan bobot badan anak yang menyusu pada induk yang mendapat ransum suplementasi daun torbangun meningkat 46.09%.
12
Tabel 3 Studi tentang torbangun sebagai laktagogum pada hewan coba Studi
Perlakuan
Hasil
Silitonga (1993)
Studi efek ekstrak daun Coleus amboinicus Lour pada tikus putih Wistar melalui pemberian per oral setiap 2 hari sekali sejak 2 hingga 28 hari setelah melahirkan.
Total produksi air susu dan pertumbuhan anak tikus secara signifikan meningkat dibandingkan kelompok kontrol. Peningkatan yang lebih tinggi adalah pada kelompok yang menerima dosis ekstrak 80 g/kg BB dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya (20, 40, 60 g/kg BB). Peningkatan produksi air susu diikuti juga oleh peningkatan aktivitas sel epitel dan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae yang terlihat dari peningkatan kadar DNA dan RNA pada pertengahan laktasi
Rumetor (2008)
Suplementasi daun torbangun dalam ransum kambing peranakan Etawah sebanyak 9 g/kg bobot badan
produksi susu meningkat sampai 90.14% per hari dan bobot badan anak yang menyusu pada induk yang mendapat ransum suplementasi daun torbangun meningkat 46.09%
Permana (2008)
Mencit (Mus musculus) bunting diberi pakan yang mengandung torbangun 5% dalam bentuk sediaan sup yang diberikan pada hari ke-14 kebuntingan hingga 7 hari pasca melahirkan.
Daun torbangun memiliki efek laktagogum yang tampak dari peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae yang aktif setelah diberi sup dibandingkan kontrol.
Pengetahuan tentang bagaimana laktagogum dari herbal atau tanaman berfungsi sebagai laktagogum masih terbatas. Sebaliknya, laktagogum dalam bentuk sediaan farmasi seperti domperidone dan metoclopramide melalui berbagai studi eksperimen menunjukkan mekanisme laktagogum melalui pelepasan hormon prolaktin dengan menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari anterior (Anderson and Valdes 2007). Kajian oleh Mortel and Mehta (2013) terhadap berbagai studi tentang tanaman yang telah umum digunakan sebagai laktagogum memaparkan mekanisme yang diajukan seperti pada Tabel 4.
13 Tabel 4 Mekanisme laktagogum dari tumbuhan Nama tumbuhan Shatavari (Asparagus racemosus)
Torbangun (Coleus amboinicus Lour)
Mekanisme yang diajukan Efek estrogenik pada kelenjar mamma; aksi steroidal dari saponin pada tanaman Proliferasi sel sekresi mamma
Fenugreek (Trigonella foenumgraecum)
Kemungkinan estrogenic; merangsang produksi keringat
Fennel (Foeniculum Vulgare) Milk thistle (Silybum marianum)
Kemungkinan estrogenik Belum diketahui, kemungkinan estrogenik Estrogenik (hormone modulator)
Chasteberry (Vitex agnus castus) Goat’s rue (Galega officinalis)
Belum diketahui
Jenis studi 1 RCT 1 review
1 review 1 RCT 1 FGD 2 RCT 7 review 1 case study 1 phytochemical assay 1 commentary 1 case report 2 review 4 review 1 RCT 3 review 2 phytochemical assay 1 monograph 1 review
Peran Konseling terhadap Pemberian ASI Eksklusif Perilaku termasuk faktor yang mempengaruhi kesehatan sehingga intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku sangatlah strategis untuk membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi suatu perilaku kesehatan termasuk perilaku pemberian ASI eksklusif diperlukan komunikasi dan pemberian informasi (Notoatmodjo 2007). Konseling merupakan bentuk komunikasi antar pribadi. Dalam proses konseling seorang klien yang membutuhkan pertolongan dan seorang konselor yang memberikan bantuan dan dukungan akan melakukan proses komunikasi 2 arah, sehingga klien mampu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Cornelia et al. 2010). Konseling menyusui merupakan salah satu bentuk bantuan, dorongan dan dukungan yang ibu perlukan untuk lebih berhasil menyusui. Ketersediaan konselor menyusui turut mempengaruhi peningkatan keberhasilan pemberian ASI. Oleh karenanya, pemerintah mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan terutama di puskesmas dan rumah sakit tersedia konselor menyusui (Depkes 2007; Kemenkes 2010a). Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI eksklusif secara optimal, Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif
14 Pasal 13 memuat bahwa informasi dan edukasi tentang ASI eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi diberikan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan edukasi ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan, paling sedikit mengenai: 1) keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; 2) gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; 3) akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan 4) kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI (Kemensekneg 2012). Haider et al. (2010) merekomendasikan perlunya teknik konseling digunakan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hal ini didasarkan pada hasil studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di Bangladesh yang menunjukkan bahwa ada sejumlah pengetahuan, kepercayaan dan perilaku ibu dan anggota keluarga lainnya khususnya ayah dan nenek yang tidak mendukung untuk mempraktekkan perilaku menyusui eksklusif. Selanjutnya diungkapkan bahwa pengetahuan, kepercayaan dan perilaku tersebut dilakukan karena kurangnya kesadaran tentang manfaat dan risiko jika tidak mempraktekkan pemberian ASI seperti yang direkomendasikan. Sebagian besar ibu dapat berhasil menyusui bayinya secara eksklusif jika mereka memiliki dukungan dan petunjuk tentang praktek menyusui yang benar dan didukung untuk melakukannya secara benar. Dukungan kepada ibu melalui konseling dapat meningkatkan prevalensi ASI eksklusif. Di Uganda, intervensi konseling sebaya (peer counseling) berhasil meningkatkan prevalensi ASI eksklusif. Pada usia 12 minggu, prevalensi ASI eklusif pada kelompok intervensi dan kontrol adalah 81.6% dan 43.9% (PR 1.89; 95%CI 1.70-2.11), pada usia 24 minggu yaitu 58.6% dan 15.5% (PR 3.83; 95%CI 2.97-4.95). Konseling dilakukan dengan mengunjungi ibu sedikitnya 5 kali selama setengah tahun. Kunjungan pertama dilakukan ketika usia kehamilan ibu 7 bulan. Sisa kunjungan dijadwalkan pada minggu ke 1, 4, 7 dan 10 setelah melahirkan. Ibu yang bermasalah dengan menyusui diberikan kunjungan ekstra. Kunjungan ekstra juga diberikan jika seorang ibu memanggil konselor untuk bantuan tambahan diluar jadwal atau jika konselor merasakan itu perlu. Konselor sebaya memilih waktu yang paling sesuai sesuai bagi ibu untuk bertemu. Ibu pada kelompok kontrol tidak diberikan konseling tetapi dianjurkan untuk datang secara teratur ke klinik antenatal dan postnatal yang ada di fasilitas kesehatan (Chola et al. 2011). Jakobsen et al. (2008) melakukan studi intervensi promosi ASI eksklusif sesuai dengan rekomendasi WHO secara individual kepada ibu di Guinea-Bissau Afrika Barat. Indikator proses dari studi ini adalah usia pemberian air minum dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sebagai bagian dari penjelasan bahwa zat gizi pada ASI adalah cukup hingga bayi berusia 6 bulan. Kelompok intervensi dan kelompok kontrol masing-masing terdiri dari 857 dan 864 pasangan ibu dengan bayinya. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberian air minum dan MP-ASI secara signifikan lebih lama pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol dengan rasio Hazard pemberian MP-ASI sebesar 0.79 (HR 95%CI:0.700.91). Studi intervensi konseling gizi kepada ibu dari keluarga miskin di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Persentase pemberian ASI eksklusif pada
15 kelompok perlakuan berbeda signifikan dengan kelompok kontrol masing-masing 25.8% dan 3.4% serta nilai Odd Rasio sebesar 9.7 (95%CI: 1.134-83.674). Konseling gizi pada studi ini dilakukan 7 kali yang terdiri dari 2 kali sebelum ibu hamil yaitu pada usia kehamilan 8 dan 9 bulan serta 5 kali sesudah ibu melahirkan yaitu pada hari ke-2, hari ke-5, hari ke-10 sampai ke-14, bulan ke-2 dan bulan ke-4 (Nurhayati 2007).
16 Kerangka Pikir Penelitian Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan salah satu strategi global untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang optimal (WHO 2011). Namun, cakupan dan durasi pemberian ASI eksklusif masih rendah di berbagai negara termasuk di Indonesia hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Ada berbagai faktor yang menyebabkan terhentinya pemberian ASI eksklusif sebelum bayi berusia 6 bulan yaitu faktor yang terkait dengan ibu maupun bayi (Huang 2009). Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan alasan utama dan yang paling umum diberikan oleh ibu untuk memberikan substitusi atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal (Gatti 2008; Hurley 2008; Hauck 2011; Turkyilmaz et al.2011; Kent et al.2012; Veghari et al. 2011). Produksi ASI yang menurun dapat terjadi dalam berbagai kondisi fisik, fisiologis dan psikologis ibu seperti lelah, gelisah, emosional, stress atau penyakit yang diderita ibu. Produksi ASI yang tidak mencukupi juga dapat terjadi karena kondisi fisik dan fisiologis bayi, misalnya bayi lesu dan lelah, anatomis oral bayi seperti bibir sumbing, bayi lahir prematur, atau karena penyakit pada bayi (Zupa et al. 2010). Produksi ASI terkait juga dengan refleks pengeluaran ASI. Teknik pengosongan payudara yang sering dan efektif akan meningkatkan produksi ASI. Semakin sering bayi menyusu sesuai dengan keinginannya maka semakin banyak ASI yang diproduksi. Teknik tersebut dapat dikombinasikan dengan dukungan psikologis bagi ibu dan teknik relaksasi dengan menggunakan buku atau audio video serta penggunaan laktagogum yang dapat memperlancar dan meningkatkan produksi ASI (Giugliani 2004). Menyusui merupakan sesuatu yang alami, namun menyusui juga merupakan suatu perilaku yang perlu dipelajari. Ibu menyusui perlu mendapatkan akses bantuan informasi, dukungan dan bimbingan ketrampilan praktis dari konselor terlatih melalui program konseling. Konseling menyusui yang diberikan sejak kehamilan akan memungkinkan ibu dapat mengantisipasi dan mengatasi berbagai masalah menyusui yang umum dihadapi ibu sehingga secara fisik dan psikologis ibu akan siap untuk menyusui bayi yang akan dilahirkannya secara eksklusif hingga usia 6 bulan (Depkes 2007; Kemenkes 2010a).Disamping itu, terdapat sejumlah pengetahuan, kepercayaan dan perilaku yang tidak mendukung untuk mempraktekkan pemberian ASI secara eksklusif. Dengan konseling menyusui ibu akan memperoleh informasi manfaat pemberian ASI eksklusif dan risiko jika tidak mempraktekkannya (Haider et al. 2010). Ibu menyusui termasuk salah satu target pemberian makanan tambahan karena membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak dari ibu yang tidak menyusui. Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan, meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi ibu (IOM 1991; Gillespie 1999). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh pemberian produk makanan tambahan berbasis tepung torbangun yang memiliki fungsi laktagogum dengan intervensi konseling menyusui terhadap
17 pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Pertumbuhan bayi
Pemberian ASI eksklusif
Pengetahuan dan perilaku tentang ASI eksklusif
Konseling menyusui
Produksi ASI
Sekresi ASI : Frekuensi, durasi
Laktagogum
Keadaan bayi dan ibu : posisi, pelekatan
PMT berbasis Tepung Torbangun
Kondisi bayi dan ibu: fisik, psikologis
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
3 METODE Tahapan Penelitian Tahap pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 2, tediri dari 3 tahap, yaitu: 1. Tahap pembuatan tepung torbangun Tahap pembuatan tepung torbangun diawali dengan penyediaan bahan baku yaitu penanaman torbangun dan dipanen setelah penanaman 10 minggu. Tepung torbangun yang dihasilkan dianalisis proksimat, total flavonoid dan kandungan senyawa kaempferol serta analisis derivatif kaempferol secara kualitatif. Analisis proksimat meliputi kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat. 2. Tahap ke-2 yaitu pengembangan produk makanan tambahan fungsional untuk ibu menyusui berbasis tepung torbangun seperti pada Gambar 3 dan uji organoleptik, analisis kandungan gizi, sifat fisik, dan mikrobiologinya. 3. Tahap ke-3 adalah pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui (Gambar 4). Waktu dan Tempat Penelitian Penyediaan bahan baku untuk tahap ke-1 yaitu penanaman torbangun mulai dilakukan pada Januari 2013. Penanaman torbangun dilakukan di daerah Cijeruk Kota Bogor. Pembuatan tepung torbangun dilakukan di laboratorium Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB. Analisis proksimat dilakukan di laboratorium Departemen Gizi Masyarakat IPB dan laboratorium Jasa Analisis Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, analisis fitokimia (total flavonoid dan kaempferol) dari tepung torbangun dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dan laboratorium Biotek BBPT Serpong. Tahap ke-2 yaitu pengembangan produk makanan tambahan berbasis tepung torbangun dilakukan di laboratorium (SEAFAST) Center IPB dan laboratorium Departemen Gizi Masyarakat IPB. Tahap ke-3 yaitu pemberian makanan tambahan (PMT) fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, yaitu desa Bantar Jaya, desa Bantar Sari, desa Cimulang dan desa Pasir Gaok. Bahan dan Alat Bahan dasar yang digunakan untuk pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui adalah tepung torbangun, tepung jagung, susu skim bubuk dan tepung gula. Bahan kimia digunakan untuk analisis proksimat, analisis fitokimia dan uji mikrobiologi. Alat yang digunakan meliputi alat-alat untuk formulasi dan pembuatan produk, alat-alat untuk uji organoleptik, analisis proksimat, analisis fitokimia,
19 analisis sifat fisik, dan analisis mikrobiologi. Pada tahap intervensi digunakan alat bantu konseling menyusui yaitu alat peraga boneka, model payudara, video IMD dan buku kecil berisi ringkasan materi konseling menyusui. Penelitian Tahap 1:
Penelitian Tahap 2:
Pembuatan tepung torbangun
Pengembangan Produk
Penanaman dan pemanenan torbangun daun torbangun
Formulasi bahan dan pengolahan: tepung jagung, isolat protein kedele, susu skim bubuk, tepung gula, Tepung torbangun
Pengolahan menjadi tepung
Tepung torbangun: 3 jenis produk siap saji Analisis proksimat dan fitokimia Uji organoleptik: dipilih 1 produk
1 produk terpilih
Analisis proksimat, uji sifat fisik dan mikroba
Produk sebagai makanan tambahan ibu menyusui
Penelitian Tahap 3 torbangun Konseling Menyusui dan PMT kepada ibu menyusui Ibu hamil trimester ke 3: Konseling menyusui (frekuensi: 2 kali)
melahirkan
Ibu menyusui pada bulan pertama: -PMT: produk 3x sehari -Konseling menyusui: 2 kali
Ibu menyusui pada bulan ke-2 sd ke-6: Konseling menyusui: 1x per bulan
Gambar 2. Tahap pelaksanaan penelitian
20 Tepung jagung dan isolat protein kedelai
Diadon dengan air (1:4), dimasak dengan uap (10 menit)
Dikeringkan dengan drum dryer (3 rpm, T 140 oC)
Lembaran-lembaran tipis
Ditepungkan dan diayak (80 mesh)
Tepung daun torbangun
Tepung komposit (Tepung jagung, ISP)
Susu skim bubuk; tepung gula
Pencampuran kering (dry mix)
Produk siap saji
Gambar 3. Tahap pembuatan produk makanan tambahan ibu menyusui (Modifikasi Charunuch et al. 2003)
21 Ibu hamil trimester ke-3 di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor
Sesuai kriteria subyek penelitian
dipilih secara random
Kelompok intervensi (n=10): konseling menyusui + PMT berbasis tepung torbangun
Kelompok kontrol (n=10): konseling menyusui + PMT tanpa tepung torbangun menyusui
Gambar 4. Penempatan perlakuan (jenis PMT) pada subyek penelitian
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program pengolah data Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 16. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensial. Analisis secara deskriptif untuk data numerik dilakukan dengan menghitung rerata dan standar deviasi bila berdistribusi normal atau nilai median dengan nilai minimum dan maksimum bila distribusi data tidak normal. Analisis deskriptif data kategorik dilakukan dengan menghitung persentase dari masing-masing kategori data. Analisis inferensial dengan tingkat signifikansi atau nilai p<0.05 dilakukan dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Pengujian beda rerata antar kelompok perlakuan dilakukan dengan uji t independen bila data berdistribusi normal, atau uji MannWhitney bila distribusi data tidak normal. Pengujian beda rerata antara sebelum dengan sesudah konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan dilakukan dengan uji t berpasangan (paired t test) bila data berdistribusi normal, atau uji Wilcoxon bila distribusi data tidak normal. Pertimbangan Etika Persetujuan etik untuk pelaksanaan tahap ke-3 penelitian ini yaitu kajian pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun kepada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pertumbuhan bayi dan pemberian ASI eksklusif diperoleh dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Persetujuan etik diperoleh dengan Nomor 565/H2.F1/ETIK/2013 tanggal 16 September 2013 (Lampiran 1).
4 KANDUNGAN GIZI, TOTAL FLAVONOID DAN SENYAWA KAEMPFEROL PADA TEPUNG TORBANGUN Pendahuluan Salah satu strategi global untuk mencapai kesehatan dan tumbuh kembang bayi yang optimal adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan sejak bayi lahir. Hingga saat ini, cakupan dan durasi pemberian ASI eksklusif masih rendah di berbagai negara (WHO 2003, 2011). Berdasarkan laporan Riskesdas 2013, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia hanya 30.2 % (Kemenkes 2013). Sekresi atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor yang paling umum yang menyebabkan berhentinya praktek pemberian ASI eksklusif. ABM (2011) menguraikan bahwa sekresi dan produksi ASI dapat ditingkatkan melalui penggunaan laktagogum, baik dalam bentuk sediaan farmasi atau obat maupun laktagogum dari tanaman atau herbal. Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum. Daun torbangun telah dimanfaatkan oleh masyarakat suku Batak dari Sumatera Utara secara turuntemurun sebagai laktagogum. Daun torbangun umumnya dikonsumsi sebagai sayur oleh masyarakat dan secara khusus dikonsumsi oleh ibu segera setelah melahirkan hingga 30-40 hari pasca melahirkan dengan tujuan untuk memperlancar dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2001, 2006; Damanik 2009). Tradisi mengkonsumsi daun torbangun sebagai laktagogum hingga sekarang masih terbatas di kalangan suku Batak dengan bentuk olahan sebagai sayur atau sop. Rice (2011) menguraikan bahwa disamping manfaat daun torbangun sebagai laktagogum, tanaman torbangun memiliki keunggulan yaitu mudah tumbuh dengan umur panen yang relatif singkat sehingga sangat potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya. Pengolahan daun torbangun menjadi tepung torbangun merupakan salah satu upaya untuk memperluas pemanfaatan torbangun dengan sasaran pengguna tidak terbatas hanya suku Batak. Selain volume bahan menjadi lebih kecil atau lebih ringkas dengan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan torbangun segar, tepung torbangun diharapkan sebagai bentuk bahan pangan setengah jadi yang lebih fleksibel untuk pengembangan produk pangan yang lebih beragam. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Neacsu (2015) bahwa pengolahan bahan pangan dari tumbuhan khususnya kelompok sayuran menjadi bentuk tepung akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk pengembangan produk yang kaya akan komponen bermanfaat pada bahan pangan tersebut. Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai macam tanaman dikaitkan dengan kandungan komponen bioaktifnya. Sejumlah penelitian pada manusia dan hewan coba telah membuktikan fungsi daun torbangun sebagai laktagogum, akan tetapi komponen aktif dari daun torbangun yang berfungsi sebagai laktagogum belum banyak diketahui (Santosa 2001;
23 Damanik et al. 2006; Permana 2008; Rumetor 2008). Wahlqvist et al.(2005) menjelaskan bahwa komponen aktif yang terkait dengan efek laktagogum ekstrak air daun torbangun kemungkinan termasuk kelompok sterol, asam lemak, steroid, asam organik dan turunannya atau kombinasinya. Mortel and Mehta (2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang bagaimana mekanisme laktagogum dari herbal atau tanaman masih terbatas dibandingkan mekanisme laktagogum dalam bentuk sediaan farmasi. Mekanisme laktagogum daun torbangun yang diajukan berdasarkan studi Silitonga (1993) adalah melalui peningkatan aktivitas sel epitel kelenjar mammae tikus putih Wistar, sedangkan Permana (2008) mengungkapkan mekanisme laktagogum melalui peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae mencit yang aktif. Kajian berbagai studi eksperimen oleh Anderson and Valdes (2007) mengungkapkan bahwa mekanisme laktagogum dalam bentuk sediaan farmasi seperti domperidone dan metoclopramide adalah melalui pelepasan hormon prolaktin dengan menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari anterior. Jayadeepa (2011) melakukan studi dengan teknik in silico untuk membandingkan mekanisme laktagogum dari domperidone dengan senyawa fitokimia yang terdapat pada laktagogum herbal. Studi tersebut mengungkapkan bahwa senyawa fitokimia seperti sesamin, trifoliol dan kaempferol berperan sebagai laktagogum dengan mengaktifkan reseptor hormon prolaktin. Kaempferol merupakan senyawa flavonoid golongan flavonol. Oleh karena itu, pada penelitian ini senyawa kaempferol dianalisis sebagai parameter laktagogum dari tepung torbangun. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung rendemen tepung torbangun dan menganalisis zat gizi, total flavonoid serta kaempferol pada tepung torbangun. Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun torbangun (Coleus amboinicus Lour), akuades, etanol teknis 95%, HMTL 0.5%, aseton, larutan HCl 25%, etil asetat, asam glasial 5%, AlCl3 2%, standar kuersetin (0.5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm), metanol 90%, heksan teknis, kloroform teknis, butanol teknis, fase gerak A (air:asam format 0.1%), dan fase gerak B (asetonitril:asam format 0.1%). Alat yang digunakan adalah tea roller, tea steaming, steam blancher, drum dryer, desikator, oven, neraca, refluks, corong pemisah, kertas saring, rotary evaporator, spektrofotometer UV-Vis, LC-MS (UPLC-QtoF-MS/MS System) dengan kolom Symmetry (C18. 5 µm, 4.6 x 150 mm). Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dimulai dengan penanaman torbangun, pembuatan tepung torbangun dan analisis kimia tepung torbangun. Analisis kimia tepung torbangun terdiri dari analisis proksimat, total flavonoid dan kaempferol. Pembuatan Tepung Torbangun Torbangun yang digunakan pada pembuatan tepung diperoleh dari hasil pemanenan torbangun setelah penanaman 10 minggu (Urnemi 2002). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun yang masih muda atau kira-kira 3 daun dari ujung tangkai tanaman.
24 Pembuatan tepung torbangun dilakukan dengan memodifikasi pengolahan secara tradisional pada tahap peremasan dan pemerasan. Tahap pembuatan tepung torbangun meliputi tahap pencucian, diblansir dengan uap selama 2 menit, penggulungan dengan tea roller, press dengan alat, pemasakan dengan uap selama 3 menit, pengeringan dengan drum dryer, dan penepungan (Gambar 5). Daun torbangun yang muda, disortir dan dicuci
Diblansir dengan uap (2 menit)
Digulung dan press
Dimasak dengan uap (3 menit)
Dikeringkan dengan drum dryer (3 rpm, T 140)
Ditepungkan dan diayak (80 mesh)
Tepung torbangun
Gambar 5. Tahap pembuatan tepung torbangun Analisis Proksimat Tepung Torbangun Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi makro dari tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai dan susu skim bubuk. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air (metode oven), kadar abu (metode pengabuan kering), kadar lemak (metode Soxhlet) dilakukan sesuai dengan SNI 01-2891-1992 (BSN 1992), kadar protein (metode mikro Kjeldahl) sesuai dengan AOAC 960.52-1961 (AOAC 2010) dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Penentuan Total Flavonoid Tepung Torbangun Total flavonoid diukur berdasarkan metode Chang et al. (2002) menggunakan uji kolometrik aluminium klorida. Sebelum pengukuran total flavonoid terlebih dahulu dilakukan ekstraksi tepung torbangun menggunakan metode BPOM RI (2004) dan persiapan larutan induk. Ekstraksi tepung torbangun: 5 gram tepung torbangun ditambahkan dengan 50 ml etanol teknis 95%, kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya larutan
25 disaring dan direfluks selama 6 jam pada suhu 90°C. Kemudian larutan disaring dan dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 45°C, 85 rpm dan vakum 75 mBar, sehingga dihasilkan ekstrak tepung torbangun. Pembuatan larutan induk: ekstrak tepung torbangun ditambahkan dengan 1 ml larutan HMTL 0.5%, 20 ml aseton dan 2 ml larutan HCl 25%. Campuran tersebut dihidrolisis dengan cara direfluks menggunakan pendidih tegak selama 30 menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan aseton. Diambil sebanyak 20 ml filtrat dan dimasukkan ke dalam corong pemisah lalu dikocok. Ditambahkan 20 ml aquades dan ditera sebanyak 2 kali masing-masing dengan 25 ml dan 20 ml etil asetat. Fase etil asetat yang diperoleh ditampung dan ditambahkan etil asetat hingga volume menjadi 50 mL. Pembuatan larutan sampel: 10 mL larutan induk, ditambahkan 1 ml AlCl3 2%, kemudian ditera dengan asam glasial 5% dalam metanol hingga 25 ml. Pembuatan blanko berasal dari campuran 1 ml AlCl3 yang ditambahkan dengan asam glasial 5% dalam metanol hingga volume 25 ml. Pengukuran total flavonoid dilakukan setelah penambahan AlCl3 2% selama 30 menit dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm. Total flavonoid ekstrak tepung torbangun dinyatakan dalam ekivelen kuersetin (Quercetin Equivalents=QE). Larutan standar yang digunakan adalah kuarsetin dengan konsentrasi 0.5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, 15 ppm. Penentuan Kaemferol dan Derivatifnya Penentuan kaempferol dan derivatifnya pada tepung torbangun dilakukan dengan modifikasi metode Hoberg (1999). Pemisahan dengan kromatografi menggunakan LC-MS (UPLC-QtoF-MS/MS System) dengan kolom Symmetry (C18. 5 µm, 4.6 x 150 mm) pada kecepatan aliran 1.0 mL/menit, fase gerak A (air:asam format 0.1%) serta fase gerak B (asetonitril:asam format 0.1%). Komponen yang terelusi diukur pada panjang gelombang 370 nm. Ekstrak tepung daun torbangun yang diperoleh dilarutkan dengan 200 mL metanol 90%. Setelah itu difraksinasi menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, berturut-urut dengan pelarut heksan, kloroform, dan butanol teknis. Langkah awal difraksinasi dengan pelarut heksan teknis sebanyak 300 ml, kemudian dikocok beberapa kali. Kemudian dimasukkan dalam corong pisah, diaduk hingga homogen. Selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan pelarut heksan teknis sebanyak 300 ml dan dikocok beberapa kali. Fase heksan tersebut dipisahkan. Proses fraksinasi diulangi 3 kali, fase heksan disatukan, dan dikeringkan dengan rotary evaporator menjadi fraksi heksan. Fase metanol yang diperoleh ditambahkan dengan 100 mL aquadest. Selanjutnya ditambahkan dengan 300 ml kloroform teknis (destilat) dan dikocok beberapa kali. Fase kloroform yang diperoleh dipisahkan. Proses fraksinasi diulangi 3 kali, dan dikumpulkan lalu dikeringkan dengan rotary evaporator menjadi fraksi kloroform. Langkah ini diulang untuk pelarut butanol. Masingmasing fase dianalisis dengan volume injeksi 10 µL. Analisis Data Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan nilai pengukuran yang diperoleh dinyatakan sebagai nilai rerata dan standar deviasi.
26 Hasil dan Pembahasan Rendemen dan Kandungan Gizi Tepung Torbangun Rendemen merupakan berat tepung torbangun yang dihasilkan dibandingkan berat daun torbangun segar yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata rendemen tepung torbangun yang diperoleh adalah 8.03±0.29%. Kandungan gizi tepung torbangun berdasarkan hasil analisis proksimat dalam % berat basah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan gizi tepung torbangun (% berat basah) Komponen
Jumlah (%)
Air Abu Lemak Protein Karbohidrat
8.79±0.04 7.92±0.01 9.17±0.00 20.91±0.01 53.21±0.05
Daun torbangun di dalam Tabel Komposisi Bahan Pangan Indonesia dikelompokkan pada golongan sayuran. Kadar air daun torbangun segar yang tertera pada tabel tersebut adalah 92.5% (Mahmud et.al 2009). Bahan pangan dengan kadar air yang tinggi bersifat mudah rusak (Muchtadi 2013). Pengeringan daun torbangun segar dengan drum dryer pada penelitian ini mampu mengurangi kadar air hingga 83.71%. Oleh karena itu, pengolahan daun torbangun segar menjadi tepung torbangun selain menjadikan tepung torbangun lebih fleksibel dalam pemanfaatannya pada pembuatan berbagai produk pangan juga dapat menjadi suatu bentuk alternatif untuk menambah daya simpannya dibandingkan dengan torbangun segar. Total Flavonoid Tepung Daun Torbangun Tepung torbangun pada penelitian ini dibuat dari tanaman torbangun yang ditanam sendiri untuk memperkecil peluang keberagaman kandungan fitokimia dari bahan yang digunakan. Chludil et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa fitokimia yang terdapat pada tanaman sangat dipengaruhi oleh umur panen, kondisi tanah, stress lingkungan baik secara fisik, biologi maupun kimiawi. Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang paling banyak pada tanaman, dan quersetin merupakan senyawa flavonoid yang paling umum terdapat pada bahan pangan. Kandungan total flavonoid tepung daun torbangun dengan kuersetin sebagai standar adalah sebesar 1.02±0.08 mg QE/g. Kandungan total flavonoid pada tepung torbangun pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan flavonoid daun torbangun kering asal Jakarta yang dilaporkan oleh Khattak et al. (2012) yaitu 0.178±0.7 mg QE/g. Kandungan Kaempferol Tepung Torbangun Kaempferol merupakan senyawa flavonoid dengan struktur yang hampir sama dengan kuersetin dan keduanya merupakan senyawa flavonoid golongan flavonol yang umum terdapat pada buah dan sayuran (Materska 2008).
27 Kandungan kaempferol tepung torbangun yang diperoleh pada penelitian ini adalah 9.64 mg/100 g. Flavonoid pada bahan pangan umumnya terdapat dalam bentuk berikatan dengan senyawa lain seperti glikosida. Kaempferol derivatif merupakan senyawa gugus utama kaempferol yang berikatan dengan gugus lainnya (Wildman 2007). Analisis ekstrak tepung torbangun yang difraksinasi menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda menggunakan LCMS-MS dapat mendeteksi adanya kaempferol derivatif dengan memecah senyawa derivatif tersebut menjadi gugus utama dan gugus lainnya (Cuthbertson et al. 2013). Penentuan kaempferol dan derivatifnya didasarkan pada berat molekul dari beberapa senyawa yang termasuk kaempferol dan derivatif seperti pada Tabel 6. Tabel 7 menunjukkan bahwa tepung torbangun yang dihasilkan pada penelitian ini juga mengandung kaempferol derivatif. Jayadepa (2011) dengan teknik in silico mensimulasikan mekanisme domperidone yaitu sediaan farmasi yang digunakan untuk meningkatkan produksi ASI dengan komponen aktif dari herbal dan beberapa tanaman yang digunakan sebagai laktagogum. Selanjutnya diuraikan bahwa kompoen aktif kaempferol pada herbal atau tanaman tersebut memiliki mekanisme yang mirip dengan domperidone yaitu menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari anterior sehingga memicu pelepasan hormon prolaktin. Tabel 6 Berat molekul kaempferol dan beberapa turunannya Kaempferol dan derivat Kaempferol Kaempferol 3-O-glucoside (Astragalin) Kaempferol 3-glucuronide Kaempferitrin Kaempferol 3-O-rutinoside
Rumus Molekul (Da) C15H10O6 C21H20O11 C21H18O12 C27H30O14 C27H30O15
Massa molekul (Da)
286.047729 448.100555 462.079834 578.163574 594.158447
[M+H] (Da) 287.055554 449.108380 463.087659 579.171399 595.166272
Tabel 7 Hasil analisis kualitatif kaempferol dan derivatifnya pada tepung torbangun menurut fase pelarut Kaempferol dan derivatifnya Kaempferol Kaempferol 3-O-glucoside (Astragalin) Kaempferol 3-glucuronide Kaempferitrin Kaempferol 3-O-rutinoside
heksan + + + + +
Fase pelarut kloroform butanol + + + + + + + + + +
air + + + + +
Simpulan Rendemen tepung torbangun pada penelitian ini sebesar 8% dengan kadar air sekitar 9%, total flavonoid sebesar 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan.
5 PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN TAMBAHAN FUNGSIONAL UNTUK IBU MENYUSUI BERBASIS TEPUNG TORBANGUN Pendahuluan Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu yang tidak menyusui. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi bangsa Indonesia, ibu yang sedang menyusui bayi pada 6 bulan pertama membutuhkan tambahan energi sebesar 330 kkal dan protein 20 g dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui, pada golongan umur yang sama (Menkes 2013). Tambahan tersebut penting untuk membantu penyembuhan setelah melahirkan, meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu serta mengisi ulang cadangan zat gizi ibu (Gillespie 1999). Mudjajanto & Sukandar (2007) mengungkapkan bahwa konsumsi energi dan protein ibu menyusui secara rerata hanya memenuhi 60% dan 87% dari AKG. Hasil Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) di Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa banyak dari kelompok umur ibu menyusui yaitu umur 19-55 tahun dengan konsumsi energi dan protein pada kategori kurang. Terdapat sebanyak 50% dari kelompok umur tersebut dengan konsumsi energi <70% dari AKG dan sebanyak 33.8% dengan konsumsi protein <80% AKG (Kemenkes 2015). Ibu menyusui dengan konsumsi energi, protein dan zat gizi lainnya pada kategori kurang, berisiko mengalami deplesi. Mengingat bahwa ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling ideal untuk bayi sejak lahir hingga 6 bulan maka perlu diupayakan agar asupan zat gizi ibu menyusui dapat mencapai AKG. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui pemberian makanan tambahan. Produk makanan tambahan untuk ibu menyusui berbasis bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum sangat potensial sebagai pangan alternatif bagi ibu menyusui untuk memperbaiki asupan energi, protein dan sekaligus juga untuk meningkatkan sekresi dan produksi ASI karena fungsi laktagogum dari bahan pangan yang digunakan. Torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan bahan pangan lokal dari Sumatera Utara yang memiliki fungsi laktagogum. Fungsi daun torbangun sebagai laktagogum telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian pada manusia (Santosa 2001; Damanik et al. 2006; 2009). Daun torbangun umumnya diolah menjadi sayur atau sop dan biasanya dikonsumsi segera setelah ibu melahirkan selama ±30 hari dengan tujuan untuk memperlancar dan meningkatkan produksi ASI (Damanik et al. 2004; 2006; 2009). Hingga saat ini, belum ada produk makanan tambahan yang diformulasi berbasis tepung torbangun untuk ibu yang sedang menyusui. Rice (2011) mengungkapkan bahwa selain fungsi laktagogum, tanaman torbangun memiliki keunggulan yaitu mudah tumbuh dengan umur panen yang relatif singkat, sehingga ketersediaan bahan baku daun torbangun untuk pengembangan produk relatif mudah untuk diupayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun dalam bentuk produk siap saji untuk ibu menyusui dan menganalisis
29 karakteristik organoleptik, kandungan gizi, sifat fisik dan mikrobiologinya. Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi olahan torbangun dengan daya simpan yang lebih lama dan penggunaan yang lebih praktis dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi produk tersebut tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat mendukung praktek pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang dimilikinya. Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk pengembangan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui dalam bentuk serbuk siap saji adalah tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula. Bahan kimia digunakan untuk analisis zat gizi dan uji mikrobiologi. Peralatan yang digunakan adalah peralatan untuk uji organoleptik, peralatan gelas untuk analisis kimia dan sifat fisik, drum dryer dan disc mill. Tahapan Penelitian Penelitian ini dimulai dengan analisis proksimat bahan dasar untuk pembuatan produk. Tahap selanjutnya meliputi formulasi bahan dasar, pengolahan menjadi produk, uji organoleptik produk, analisis zat gizi dan pengujian sifat fisik serta mikrobiologi dari 1 produk terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik. Analisis Proksimat Bahan Dasar Analisis proksimat dilakukan terhadap tepung torbangun, tepung jagung, isolat protein kedelai dan susu skim bubuk. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air (metode gravimetri), kadar abu (metode pengabuan kering), kadar lemak (metode Soxhlet) dilakukan sesuai dengan SNI 01-2891-1992 (BSN 1992), kadar protein (metode mikro Kjeldahl) sesuai dengan AOAC 960.52-1961 (AOAC 2010) dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Adapun data proksimat tepung gula diketahui dari Tabel Komposisi Pangan Indonesia (Mahmud et al. 2009). Formulasi Bahan untuk Pengembangan Produk Formulasi atau penyusunan komposisi campuran bahan yang digunakan ditujukan agar secara perhitungan kandungan zat gizi khususnya energi dan protein dari produk yang dihasilkan dapat mendekati angka tambahan kalori dan protein per hari bagi ibu menyusui dan porsi per 1 kali penyajian juga mendekati serbuk sereal komersial. Tahap formulasi untuk pengembangan produk menggunakan rancangan percobaan, yaitu rancangan acak lengkap dengan 1 faktor (Mattjik & Sumertajaya, 2006). Formulasi dilakukan dengan 1 faktor perlakuan dengan 3 taraf pelakuan masing-masing 2 ulangan yaitu penggunaan tepung daun torbangun berturut-urut 9.6 g (F1), 10.8 g (F2) dan 12 g (F3). Formulasi menggunakan bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk dan tepung gula.
30 Pengolahan Menjadi Produk Formula yang disusun F1, F2 dan F3 masing-masing diolah menjadi bentuk serbuk siap saji. Pengolahan dimulai dari pencampuran tepung jagung dan isolat protein kedelai secara merata. Selanjutnya dibuat adonan dengan penambahan air (1:4) dan dimasak dengan uap selama 10 menit Setelah itu campuran tersebut dikeringkan dengan drum dryer (140oC; 3 rpm). Pengeringan dengan alat ini akan menghasilkan produk berupa lembaran-lembaran tipis kemudian ditepungkan dengan disc mill dan diayak dengan ukuran 80 mesh. Selanjutnya dilakukan pencampuran kering (dry mix) tepung komposit tersebut dengan susu skim bubuk, tepung gula dan tepung torbangun. Uji Organoleptik Produk Uji organoleptik produk dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu menyusui bayi umur hingga 6 bulan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Uji organoleptik menggunakan 3 skala hedonik yaitu (1) tidak suka (2) biasa dan (3) suka. Analisis Produk Terpilih Berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik dipilih 1 dari 3 produk untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis produk terpilih meliputi analisis proksimat, sifat fisik dan uji mikrobiologi. Analisis sifat fisik meliputi daya serap air dan kelarutan dalam air, sedangkan uji mikroba meliputi angka lempeng total, E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus. Analisis Data Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif berdasarkan nilai modus dan persentase penerimaan panelis terhadap produk. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis yang meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall produk digunakan uji Kruskal Wallis. Hasil dan Pembahasan Kandungan Gizi Bahan untuk Pengembangan Produk Kandungan gizi dari bahan-bahan yang digunakan dalam pengembangan produk disajikan pada Tabel 8. Selain pada bahan isolat protein kedelai, komponen utama yang terdapat pada bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi adalah karbohidrat. Bahan formulasi dengan kandungan protein paling tinggi adalah isolat protein kedelai. Kadar protein pada susu skim bubuk hanya setengah dari nilai yang tertera pada daftar komposisi bahan pangan Indonesia yaitu 35.6% dan tidak sesuai dengan syarat mutu susu menurut SNI 01-29702006 dimana kadar protein pada susu berlemak atau kurang berlemak minimal 23% sedangkan pada susu bebas lemak minimal 30% (Mahmud 1990; DSN 2006).
31 Tabel 8 Kandungan gizi bahan untuk pengembangan produk (% berat basah) Bahan Air Tepung torbangun 8.79±0.04 Tepung jagung 12.31±0.15 Susu skim bubuk 3.49±0.03 Isolat protein kedelai 6.08±0.02 Tepung Gula*) 5.40 *)
Abu 7.92±0.01 0.86±0.01 6.15±0.03 3.54±0.02 0.60
Lemak 9.17±0.00 3.36±0.00 0.20±0.03 1.93±0.01 0
Protein Karbohidrat 20.91±0.01 53.21±0.05 3.86±0.01 79.61±0.16 17.12±0.12 73.04±0.08 70.93±0.11 17.52±0.15 0 94
Kandungan gizi berdasarkan Tabel komposisi pangan Indonesia (Mahmud et al. 2009).
Hasil analisis proksimat bahan pada Tabel 8 digunakan sebagai pertimbangan untuk merancang jumlah bahan yang digunakan pada tahap formulasi disamping pertimbangan uji coba pengolahan. Jumlah tepung torbangun yang digunakan untuk setiap formula didasarkan pada nilai rendemen pembuatan tepung torbangun terhadap jumlah daun torbangun segar yang umum dikonsumsi per hari di Sumatera Utara yaitu 120-150 g daun torbangun segar (Damanik 2009). Komposisi bahan dari masing-masing formula disajikan pada Tabel 9. Selanjutnya, formula tersebut diolah menjadi bentuk serbuk siap saji berdasarkan modifikasi pembuatan serbuk instan minuman sereal berbahan dasar jagung oleh Charunuch et al. (2003). Tabel 9 Komposisi bahan menurut jenis formula (%) Bahan Tepung torbangun Tepung jagung Isolat protein kedelai Susu skim bubuk Tepung gula Total
F1
F2
F3
9.7 29.7 20.2 10.1 30.3 100.0
10.9 28.5 20.2 10.1 30.3 100.0
12.1 27.3 20.2 10.1 30.3 100.0
Hasil Uji Organoleptik Produk Penerimaan konsumen terhadap suatu produk baru merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dari berbagai keunggulan produk tersebut (Setianingsih at al. 2010). Penerimaan konsumen terhadap produk F1, F2 dan F3 dinilai melalui uji organoleptik untuk mendapatkan 1 produk yang lebih disukai oleh panelis. Pengujian dilakukan oleh 40 orang panelis konsumen yaitu ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Uji organoleptik menggunakan 3 skala hedonik yaitu (1) tidak suka (2) biasa dan (3) suka.
32 Persentase penerimaan panelis terhadap produk dihitung berdasarkan perbandingan jumlah panelis yang memberikan penilaian skala 2 (biasa) dan skala 3 (suka) terhadap total panelis. Tabel 10 menunjukkan bahwa penerimaan produk berkisar antara 88% hingga 100%, dan secara keseluruhan (overall) penerimaannya cukup baik dimana lebih dari 90% panelis dapat menerima ke-3 produk tersebut. Kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan (overall) merupakan nilai yang diperoleh peneliti berdasarkan penjumlahan skor penilaian panelis dengan persentase sebagai berikut : 40% dari skor penilaian warna, masing-masing 25% dari skor penilaian rasa dan aroma serta 10% dari skor penilian terhadap tekstur. Persentase warna lebih tinggi karena penerimaan konsumen terhadap suatu produk makanan seringkali diawali dengan penerimaan terhadap penampakan atau warnanya. Tabel 10 Persentase penerimaan panelis menurut jenis produk (%) Jenis Produk
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Overall
100 100 98
88 98 98
98 95 98
95 100 100
98 100 100
Produk F1 Produk F2 Produk F3
Deskripsi warna dari produk yang dihasilkan adalah agak kehijauan dengan aroma spesifik dari campuran aroma jagung dan torbangun. Tekstur di mulut halus dengan perpaduan rasa manis dan rasa unik dari torbangun yaitu sedikit agak pahit. Nilai modus dan persentase panelis menurut penilaian terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dari masing-masing produk disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai modus dan persentase panelis menurut jenis produk Jenis produk
Produk F1 Produk F2 Produk F3
Warna
Rasa
Aroma
Modus (%)
Modus (%)
Modus (%)
3 (70%) 3 (60%) 3 (55%)
3 (50%) 2 (53%) 3 (70%)
3 (68%) 3 (53%) 2 (48%)
Tekstur
Overall
Modus (%) Modus (%)
3 (68%) 3 (60%) 3 (75%)
3 (70%) 3 (60%) 3 (62%)
Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk F1, F2 dan F3 baik dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall berada di atas kategori 2 dari 3 skala penilaian (Tabel 12). Tabel 12 Nilai rerata kesukaan panelis terhadap produk Jenis Produk
Warna
Rasa
Aroma
Produk F1 Produk F2 Produk F3
2.7±0.5a 2.6±0.5a 2.5±0.6a
2.4±0.7a 2.4±0.6a 2.7±0.5a
2.7±0.5a 2.5±0.6a 2.5±0.6a
Tekstur 2.6±0.6a 2.6±0.5a 2.8±0.4a
Overall 2.7±0.6a 2.6±0.5a 2.6±0.5a
Keterangan: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam kelompok (p>0.05).
33 Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rerata kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan overall produk tidak berbeda signifikan (p>0.05). Berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik tersebut maka ke-3 produk memiliki peluang yang sama untuk terpilih dan dianalisis lebih lanjut meliputi analisis proksimat, sifat fisik dan uji mikrobiologi. Selanjutnya pemilihan 1 produk dilakukan berdasarkan pertimbangan manfaat laktagogum dari tepung torbangun. Produk F3 dipilih yaitu produk dengan taraf penambahan tepung torbangun yang lebih banyak (12 g) dengan persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dari produk tersebut semuanya berada di atas 95%. Kandungan Gizi, Sifat Fisik dan Hasil Uji Mikrobiologi Produk F3 Kandungan gizi, sifat fisik dan hasil uji mikrobiologi produk F3 dicantumkan pada Tabel 13. Pada tabel tersebut turut dicantumkan SNI susu sereal menurut BSN (1996) sebagai pembanding. Susu sereal dipilih sebagai pembanding karena belum ada SNI produk sejenis produk F3 atau produk yang menggunakan bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum. Tabel 13 Kandungan gizi, sifat fisik, mikrobiologi produk F3 Karakteristik yang diuji Kandungan gizi: Air Abu Lemak Protein Karbohidrat Sifat fisik: Indeks daya serap air Daya larut dalam air Mikrobiologi: E. coli Salmonella Staphylococus aureus Angka lempeng total *)
Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b (%) APM/g (koloni/g)
Produk F3 4.36±0.11 2.53±0.04 0.73±0.10 12.15±0.03 80.23±0.04 3.06 76.96 negatif negatif negatif <1.0 x 101
SNI susu sereal*) maks.3.0 maks.4 min.7 min. 5 min.60.7 maks. <3 negatif negatif maks. 5 x 105
Syarat mutu susu sereal menurut SNI 01–4270–1996 (BSN 1996).
Kandungan energi produk F3 sebesar 376 kkal per 100 g. Kandungan energi tersebut dihitung berdasarkan kandungan protein, lemak dan karbohidrat produk F3 yaitu 4 kkal/g protein; 9 kkal/g lemak dan 4 kkal/g karbohidrat. Berdasarkan AKG, ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan memerlukan tambahan kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein sebesar 20 g (Menkes 2013). Oleh karena itu, produk F3 dengan porsi sekali penyajian 33 g dapat berkontribusi terhadap pemenuhan tambahan energi untuk ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38% dan pemenuhan tambahan protein sebesar 20%.
34 Produk F3 memiliki indeks daya serap air sebesar 3.06 dengan daya larut dalam air sebesar 76.96%. Komponen bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap daya serap air adalah pati. Pada produk F3, tepung jagung merupakan bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap daya serap air dibandingkan bahan pangan lainnya karena kandungan pati pada jagung yang lebih tinggi (Marleni 2008). Pengujian mikrobiologi juga sangat penting pada produk pangan untuk menjamin keamanannya (Setianingsih at al. 2010). Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S.aureus. Nilai angka lempeng total yaitu <1.0 x 101 (koloni/g) masih dalam batas toleransi yang diizinkan menurut SNI 01–4270–1996 untuk persyaratan serbuk instan yang terbuat dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/g (BSN 1996). Simpulan Rerata kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, overall produk F1, F2 dan F3 tidak berbeda signifikan (p>0.05). Secara umum, hampir semua panelis dapat menerima produk F1, F2 dan F3 baik dari segi warna, rasa, aroma, tekstur dan overall. Produk F3 merupakan produk terpilih dengan taraf penambahan tepung torbangun yang lebih banyak dan persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, overall, semuanya diatas 95%. Tiap 100 gram produk F3 memiliki kandungan energi sebesar 376 kkal dan protein sebesar 12.15 g dengan daya larut dalam air sebesar 75%. Produk F3 aman untuk dikonsumsi dengan hasil uji negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan S. aureus dengan nilai angka lempeng total masih dalam batas toleransi.
6 PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN BERBASIS TEPUNG TORBANGUN DAN KONSELING MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN PERTUMBUHAN BAYI Pendahuluan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan praktek pemberian makanan yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan salah satu strategi global untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang optimal (WHO 2011). ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek gizi, aspek imunologis, aspek psikologis, aspek kecerdasan, aspek ekonomis dan aspek penundaan kehamilan (Duijts et al. 2009). Meskipun banyak manfaat pemberian ASI eksklusif, cakupannya yang rendah di berbagai negara termasuk Indonesia masih menjadi salah satu keprihatinan di bidang gizi masyarakat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan hanya 30.2% (Kemenkes 2013). Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor utama dan yang paling umum untuk memberikan substitusi atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal (Gatti 2008; Hauck et al. 2011; Hurley et al. 2008; Kent et al. 2012). Studi oleh Hidayat et al. (2010) di Jawa Barat mengungkapkan bahwa 32.2% dari 609 responden mengaku telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas kesehatan di rumah bersalin karena ASI belum keluar. Faktor terkait lainnya adalah pengetahuan dan perilaku di masyarakat yang tidak mendukung untuk mempraktekkan pemberian ASI eksklusif (Agho et al. 2011; Haider et al. 2010). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue). Definisi galaktagogum atau laktagogum menurut ABM (2011) adalah obat-obatan atau zat lain yang dapat membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi ASI. Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui (Depkes 2007). Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Pemanfaatan torbangun masih terbatas di kalangan masyarakat suku Batak. Daun torbangun umumnya dimasak sebagai sayur atau sop untuk dikonsumsi ibu segera setelah melahirkan agar produksi ASI meningkat (Damanik et al. 2006; Damanik 2009). Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu yang tidak menyusui (LIPI 2004). Namun, belum ada produk yang diformulasi dan dikembangkan berbasis tepung torbangun menjadi makanan tambahan untuk ibu menyusui. Padahal tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan baik dari fungsi laktagogumnya, maupun dari sifatnya yang sangat mudah tumbuh
36 dengan umur panen yang singkat (Rice 2011). Oleh karena itu, dikembangkan produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun dalam bentuk produk siap saji. Jumlah tepung torbangun yang digunakan dalam pengembangan produk tersebut setara dengan jumlah daun torbangun segar yang umum dikonsumsi oleh ibu-ibu dari masyarakat suku Batak pasca melahirkan (Damanik 2009). Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi olahan torbangun, lebih tidak mudah rusak dan penggunaan yang lebih praktis dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi produk tersebut diharapkan tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat mendukung praktek pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang dimilikinya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Metode Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain single blind randomized controlled trial, menggunakan 2 kelompok perlakuan yaitu: 1) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan tambahan mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok intervensi; 2) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan tambahan tidak mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok kontrol. Penelitian dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor yaitu desa Bantar Sari, Bantar Jaya, Cimulang dan Pasir Gaok, pada bulan Juli sampai Desember 2013. Populasi dan Subjek Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah ibu hamil pada trimester ke-3 di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Subjek penelitian adalah sebagian dari populasi dengan kriteria inklusi, yaitu umur 20-35 tahun, tidak bekerja formal, kehamilan ke-2 hingga kehamilan ke-5, tidak menderita penyakit kronis, tidak merokok, persalinan ditolong tenaga kesehatan. Kriteria eksklusi, bila bayi lahir prematur atau berat badan lahir kurang dari 2500 g dan persalinan tidak secara normal atau dengan cara operasi caesar. Jumlah minimal subjek penelitian ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Lemeshow et al. 1990): σ2 n ≥2 (Z1-α/2 + Z1-β)2 n = jumlah subjek sebagai jumlah ulangan untuk setiap kelompok perlakuan Z1-α/2 = nilai Z pada uji 2 sisi dengan tingkat kemaknaan (α) 5%=1.96 Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji (1-β) 80%=0.842 = perbedaan rata-rata pemberian ASI eksklusif (µ1-µ2)=80.2 hari σ = standar deviasi dari rata-rata pemberiaan ASI eksklusif=53.3 hari (asumsi nilai dan σ berdasarkan penelitian Nurhayati 2007)
37 Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, maka jumlah minimal subjek untuk setiap kelompok perlakuan adalah sebanyak 7 orang, kemudian ditambah 3 orang untuk kemungkinan subjek gagal untuk diikuti (loss to follow up). Total subjek penelitian berjumlah 20 orang. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dimulai dengan mengelompokkan secara random 20 orang subjek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu 10 orang sebagai kelompok intervensi dan 10 orang sebagai kelompok kontrol. Ibu hamil tersebut diikuti hingga melahirkan. Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Konseling menyusui dilakukan melalui kunjungan rumah dengan durasi 45 menit per 1 kali pertemuan oleh petugas yang telah mengikuti pelatihan konseling menyusui metode WHO/UNICEF /Kemenkes 40 jam. Tahap pemberian makanan tambahan pada subjek dilakukan selama 30 hari dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Desain single blind randomized controlled trial digunakan untuk menentukan jenis produk makanan tambahan yang diberikan ke ibu yaitu kelompok intervensi (n=10) mendapat produk yang mengandung tepung torbangun dan kelompok kontrol (n=10) mendapat produk tanpa tepung torbangun. Bahan Intervensi Bahan intervensi meliputi materi konseling menyusui dan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui. Materi konseling menyusui bersumber dari modul konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/Kemenkes 40 jam (Depkes 2007), meliputi rekomendasi pemberian ASI, mengapa menyusui penting, bahaya makanan pralaktal dan susu formula, inisiasi menyusui dini, kolostrum, kaitan menyusui dengan kesuburan, posisi dan pelekatan, cara mempertahankan menyusui, ASI tidak cukup dan bayi menangis. Setiap subyek penelitian mendapat 1 buku kecil yang berisi ringkasan materi konseling sebagai panduan bagi ibu. Produk makanan tambahan yang diberikan terdiri dari 2 jenis yaitu produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan produk makanan tambahan tanpa tepung torbangun (F0). Ke-2 produk dibuat dengan bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk, gula (Lampiran 2). Komposisi bahan dari produk FT dan produk F0 disajikan pada Tabel 14. Masing-masing subjek penelitian mendapat 3 kemasan produk makanan tambahan per hari selama 30 hari sejak hari ke-2 setelah ibu melahirkan. Produk dikemas dengan bentuk, ukuran dan bahan kemasan yang sama. Produk dikonsumsi 3 kali sehari pada selang waktu makan utama dan pada malam hari sebelum tidur. Tiap kemasan berisi 33 g produk berupa serbuk siap saji. Produk didistribusikan ke ibu 2 kali dalam seminggu. Penyajian produk dengan diseduh air matang yang panas sebanyak 1 gelas (±200 ml) untuk setiap kemasan.
38 Tabel 14 Komposisi bahan dari produk makanan tambahan FT dan F0 (%) Bahan Tepung torbangun Tepung jagung Isolat protein kedelai Susu skim bubuk Tepung gula Total
Produk makanan tambahan FT F0 12.1 0.0 27.3 39.4 20.2 20.2 10.1 10.1 30.3 30.3 100.0 100.0
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer meliputi karakteristik subjek dan keluarga (umur, tinggi badan, paritas, jumlah anak balita dan anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendidikan suami), karakteristik bayi (jenis kelamin, tempat lahir), pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif. Selain data tinggi badan ibu, semua data tersebut diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner oleh enumerator lulusan S1 Gizi yang telah dilatih, sedangkan data tinggi badan ibu diperoleh melalui pengukuran menggunakan mikrotoa yang memiliki ketelitian 0.1 cm. Pengukuran pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif dilakukan sebelum intervensi konseling menyusui dan setelah konseling terakhir dengan menggunakan kuesioner yang dimodifikasi dari pre-post test pada modul Behavior Change Communication for Improved Infant Feeding dan disesuaikan dengan materi konseling yang diberikan. Kuesioner yang digunakan terdiri dari 12 pertanyaan pengetahuan tentang ASI, masing-masing dengan 4 pilihan jawaban dan 12 pernyataan sikap tentang ASI, masing-masing dengan 3 pilihan jawaban yaitu: setuju, ragu-ragu atau tidak setuju. Data antropometri bayi meliputi berat badan, panjang badan dan lingkar kepala diperoleh melalui pengukuran langsung. Berat badan diukur saat bayi lahir dan setiap hari selama periode Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada ibu dengan timbangan bayi kapasitas 20 kg ketelitian 0.01 kg. Panjang badan diukur dengan alat pengukur panjang badan bayi dalam posisi berbaring dengan ketelitian 0.1 cm. Lingkar kepala diukur dengan pita ukur lingkar kepala dengan ketelitian 0.1 cm. Panjang badan dan lingkar kepala diukur pada saat lahir dan pada akhir PMT. Pengolahan dan Analisis Data Data pengetahuan tentang ASI diolah dengan memberi skor 100 untuk 12 pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh subjek penelitian. Pengolahan data sikap tentang ASI dilakukan dengan memberi skor 100 untuk 12 pernyataan yang dijawab dengan benar oleh subjek, dimana pilihan jawaban yang benar adalah “setuju” untuk pernyataan positif dan “tidak setuju” untuk pernyataan negatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program pengolah data Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 16. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensial dengan tingkat signifikansi atau nilai p<0.05. Analisis secara deskriptif dilakukan dengan menghitung rata-rata dan standar
39 deviasi untuk data numerik dan persentase untuk data kategorik. Analisis inferensial dilakukan dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Rerata skor pengetahuan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum intervensi konseling dilakukan dengan uji t independen dan pada akhir intervensi konseling menyusui dengan uji Mann-Whitney. Rerata skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum maupun pada akhir intervensi konseling masing-masing dilakukan dengan uji t independen. Rerata skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif antara sebelum dengan sesudah intervensi konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan dilakukan dengan uji Wilcoxon. Rerata antropometri bayi antar kelompok perlakuan, saat lahir atau sebelum PMT dan pada akhir PMT dilakukan dengan uji t independen untuk berat badan dan panjang badan serta uji Mann-Whitney terhadap ukuran lingkar kepala dan parameter rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan bayi ≥BBL pada akhir PMT ibu. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Subjek dan Keluarga Tabel 15 Karakteristik subjek dan keluarga Karakteristik Umur ibu (tahun) Tinggi badan ibu (cm) Paritas (orang) Jumlah anak balita (orang) Jumlah anggota keluarga (orang) Umur suami (tahun) Pendidikan ibu SD SLTP SLTA PT Pendidikan suami SD SLTP SLTA PT Pekerjaan suami Buruh/tukang/supir Karyawan/satpam/guru swasta PNS Wiraswasta
Kel.intervensi (n=10) 28.5(22;35) a) 151.4±4.7 b) 3(2;4) a) 2(1;3) a) 5.5(4;9) a) 34.7±5.1 b) n (%)
Kel.kontrol (n=10) 27(22;35) a) 154.9±5.2 b) 2(1;4) a) 1(0;2) a) 5(4;6) a) 33.2±6.9 b) n (%)
5(50) 2(20) 2(20) 1(10)
3(30) 4(40) 2(20) 1(10)
2(20) 3(30) 3(30) 2(20)
0(0) 4(40) 5(50) 1(10)
5(50) 4(40) 1(10) 0(0)
4(40) 3(30) 0(0) 3(30)
Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p>0,05). a) Median (minimum; maksimum), perbedaan antar kelompok dengan uji MannWhitney. b) Rerata±standar deviasi, perbedaan antar kelompok dengan uji t independen
40 Secara umum, karakteristik subjek dan keluarga antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol seperti disajikan pada Tabel 15, tidak berbeda signifikan (p>0.05). Umur subjek penelitian saat bayi yang dikandungnya lahir, paling muda adalah 22 tahun dan paling tua 35 tahun. Tinggi badan subjek penelitian berkisar antara 145.5 cm hingga 164 cm. Subjek penelitian dengan tinggi badan <150 cm ada sebesar 50% di kelompok intervensi dan sebesar 20% di kelompok kontrol. Subjek penelitian ini diikuti pada kehamilan trimester ke3 hingga melahirkan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa wanita hamil dengan tinggi badan <150 cm termasuk wanita hamil berisiko tinggi. Persentase subjek dengan tinggi badan <150 cm pada lokasi penelitian ini yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat sejalan dengan hasil yang diungkapkan pada Riskesdas 2013 yaitu, Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu dari 19 provinsi dengan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi berdasarkan tinggi badan (<150 cm) di atas nasional atau lebih besar dari 31.3%. Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang ASI Eksklusif Sebelum intervensi konseling menyusui, ada 3 pertanyaan dengan persentase jawaban benar kurang dari 50% pada kelompok intervensi (FT), yaitu pertanyaan nomor 1, 9,11 tentang kapan bayi mulai menyusu; tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup; dan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui. Pada Tabel 16 terlihat bahwa 3 pertanyaan tersebut juga merupakan 3 pertanyaan dengan persentase jawaban benar yang rendah pada kelompok kontrol (F0). Tabel 16 Persentase jawaban benar tentang pengetahuan ASI eksklusif (%) Topik pertanyaan 1. Setelah persalinan, kapan bayi mulai menyusu 2. Pengertian tentang ASI eksklusif 3. Umur bayi diberikan ASI eksklusif 4. Makanan yang paling tepat untuk bayi sejak lahir sampai 6 bulan 5. Pemberian kolostrum 6. Pemberian cairan atau makanan selain ASI 7. Umur bayi diberikan ASI 8. Kapan mulai diberikan MP-ASI 9. Tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup 10. Frekuensi bayi disusui selama sehari 11. Tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusu 12. Porsi makan ibu menyusui
Kel. perlakuan (FT) sebelum sesudah 40 100 70 100 80 100 90 100
Kel. kontrol (F0) sebelum sesudah 67 100 89 100 100 100 89 100
70 60 90 80 0 60 0
100 100 100 100 60 100 70
89 89 89 100 11 78 0
100 100 100 100 56 100 78
70
100
100
100
Jawaban yang paling banyak diberikan oleh subjek penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol terhadap pertanyaan ‘kapan bayi mulai menyusu adalah setelah dimandikan. Sedangkan untuk pertanyaan tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi seringkali menangis; jawaban untuk tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui dengan jawaban mulut bayi menempel di puting. Depkes (2007) menguraikan bahwa segera setelah persalinan, bayi tidak dimandikan dulu baru diberikan ASI tetapi idealnya
41 bayi segera diberikan ASI melalui proses inisiasi menyusui dini. Tanda yang lebih obyektif bahwa bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi kencing sedikit dan pekat, sedangkan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui adalah bibir bawah bayi berputar keluar. Pada Tabel 17 terlihat bahwa pernyataan sikap dengan persentase jawaban benar yang sangat rendah yaitu kurang dari 25% pada kelompok intervensi (FT) maupun kelompok kontrol (F0) adalah pernyataan tentang bayi mulai menyusu setelah dimandikan dan pernyataan tentang memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 bulan kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil. Tabel 17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%) Topik pernyataan sikap 1. Kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai umur 6 bulan dapat dipenuhi hanya dari ASI saja 2. Setelah persalinan, bayi mulai menyusu setelah dimandikan 3. Kolostrum tidak diberikan 4. Makanan tertentu (misalnya madu) diberikan kepada bayi baru lahir 5. Bayi mulai diberi makan setelah umur 6 bulan 6. Pemberian ASI eksklusif sampai bayi umur 4 bulan 7. ASI diberikan ke anak sampai umur 2 tahun atau lebih 8. Bayi 0-6 bulan sering menangis diberi susu botol sebagai tambahan ASI 9. Bayi disusui sesuai jadwal yang dibuat ibu 10. Porsi makan ibu menyusui lebih sedikit supaya tidak gemuk 11. Memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 bulan, kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil 12. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih kecil kemungkinannya diare dibandingkan bayi yang diberi susu botol
Kel. perlakuan (FT) sebelum sesudah 100 100
Kel. kontrol (F0) sebelum sesudah 100 100
0
100
22
89
50 80
90 100
100 89
100 100
100
100
100
100
90
90
56
89
90
100
100
100
70
90
56
100
70 80
90 100
78 89
89 100
10
80
11
78
50
90
89
89
Skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif melalui intervensi konseling menyusui disajikan pada Tabel 18. Sebelum intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan rerata skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9. rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8 (p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pada akhir intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak berbeda signifikan (p>0.05).
42 Studi melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di Bangladesh oleh Haider et al. (2010) mendukung hasil penelitian ini, bahwa teknik konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu dan anggota keluarga untuk mendukung praktek menyusui eksklusif. Tabel 18 Perubahan skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif Komponen Pengetahuan Sebelum Sesudah Perubahan Nilai p dalam kelompok Sikap Sebelum Sesudah Perubahan Nilai p dalam kelompok
Kel.Intervensi (n=10) Rerata±SD
Kel.Kontrol (n=10) Rerata±SD
59,1±22,4 94,1±6,9 35,0±22,5 0,005
75,0±11,8 94,4±7,2 19,4±16,1 0,017
0,075 0,893 0,105
65,8±11,4 94,1±8,8 28,3±13,1 0,005
75,0±14,4 94,4±11,0 19,4±13,8 0,007
0,148 0,776 0,113
Nilai p
Kontribusi Produk terhadap Asupan Energi dan Protein Ibu Menyusui Jumlah produk yang dikonsumsi oleh subjek penelitian adalah 3 kemasan per hari. Kepatuhan mengonsumsi produk makanan tambahan dimonitor dengan wawancara dan observasi terbatas pada saat penimbangan berat badan bayi melalui kunjungan rumah setiap hari. Kepatuhan mengonsumsi produk sebesar 100%, namun seorang subjek penelitian mengaku pernah 1 kali menyajikan tidak sesuai dengan anjuran yaitu 1 kemasan yang diperoleh subjek dicampur dengan adonan bakwan untuk digoreng dan dikonsumsinya. Produk makanan tambahan dengan tepung torbangun (FT) tiap 100 g memiliki kandungan energi sebesar 376 kkal dan dan protein sebesar 12 g, sedangkan produk tanpa tepung torbangun (F0) dengan kandungan energi 369 kkal dan protein 15 g (Tabel 19). Berdasarkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) bagi bangsa Indonesia tahun 2013, tambahan energi untuk ibu menyusui bayi pada 6 bulan pertama adalah 330 kkal dan protein 20 g. Oleh karena itu, PMT sebanyak 3 kemasan per hari (3 x 33 g) berkontribusi terhadap pemenuhan tambahan kecukupan energi dan protein ibu masing-masing sebesar 113% dan 59% (produk FT) dan 111% dan 74% (produk F0). Tabel 19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui
Komponen Energi (kkal) Protein (g)
Tambahan AKG*) 330 20
Jumlah (3xukuran saji =3x33 g)
Kontribusi terhadap tambahan AKG (%)
Produk FT
Produk F0
Produk FT
372.2 11.9
365.3 14.9
113% 59%
Produk F0
*) Tambahan zat gizi per hari untuk ibu menyusui bayi 0-6 bulan menurut AKG 2013
111% 74%
43 Karakteristik Bayi Bayi yang dilahirkan subjek dari kelompok intervensi sebesar 70% berjenis kelamin laki-laki dan bayi laki-laki yang dilahirkan subjek dari kelompok kontrol sebesar 50%. Semua bayi lahir dengan penolong persalinan oleh tenaga bidan namun masih ada 30% bayi dari kelompok intervensi dan 20% bayi dari kelompok kontrol yang dilahirkan di tempat persalinan yang tidak ideal yaitu di rumah dan di perjalanan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa proses kelahiran bayi dihadapkan pada kondisi kritis sehingga sangat diharapkan dilakukan di fasilitas kesehatan. Tempat yang ideal untuk melahirkan bayi adalah rumah sakit atau minimal di fasilitas kesehatan lainnya agar bila sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka dapat segera ditangani atau bila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Rerata berat bayi lahir pada kelompok intervensi adalah 3190 dan pada kelompok kontrol sebesar 3355 g. Tidak ada bayi lahir pendek (<48 cm) pada ke-2 kelompok. Rerata lingkar kepala bayi saat lahir pada ke-2 kelompok relatif sama yaitu sekitar 33 cm. Hasil analisis dengan uji t independen terhadap rerata ukuran berat badan lahir dan panjang badan lahir serta hasil analisis dengan uji Mann-Whitney terhadap rerata ukuran lingkar kepala lahir menunjukkan bahwa, antropometri bayi yang dilahirkan subjek kelompok intervensi dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dengan kata lain, sebelum PMT kepada ibu, ukuran antropometri bayi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding (Tabel 20). Pengaruh Jenis PMT Ibu terhadap Pertumbuhan Bayi Mortel dan Mehta (2013) menguraikan beberapa studi tentang efikasi galaktagogum yang berasal dari herbal diukur berdasarkan parameter antropometri bayi dan waktu kembali untuk mencapai kembali berat badan lahir (BBL). Pada penelitian ini, pengaruh produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun yang diberikan kepada ibu selama 30 hari terhadap pertumbuhan bayi didasarkan pada paramater waktu untuk mencapai kembali BBL dan antropometri bayi pada akhir PMT yaitu berat badan, panjang badan dan lingkar kepala (Tabel 20). Tabel 20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu Antropometri bayi Berat badan (g) Saat lahir Akhir PMT ibu Panjang badan (cm) Saat lahir Akhir PMT ibu Lingkar kepala (cm) Saat lahir Akhir PMT ibu
Kel.intervensi (n=10) Rerata±SD
Kel.kontrol (n=10) Rerata±SD
Nilai p
3190±369,5 4470±561,8
3355±328,7 4450±392,3
0,305 0,927
49,6±1,2 54,6±1,5
49,3±1,4 54,8±1,5
0,613 0,808
33,5±0,5 36,5±1,9
33,1±0,9 34,8±1,0
0,282 0,044
44 Hasil uji statistik terhadap rerata antropometri bayi pada akhir PMT ibu menunjukkan bahwa produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan parameter lingkar kepala bayi dan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan kembali berat badan lahir (regain birth weight) (p<0.05). Setelah bayi lahir, berat badannya akan turun selama beberapa hari, namun kehilangan berat badan bayi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk mencapai kembali berat badan lahir dapat merupakan indikator kurangnya asupan ASI (Crossland et al. 2008). Gambar 6 menunjukkan bahwa rerata waktu yang diperlukan oleh bayi yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun (FT) untuk kembali mencapai berat badan ≥BBL lebih singkat yaitu 5.1±1.4 hari, dibandingkan dengan rerata waktu yang diperlukan bayi dari ibu yang mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0) yakni 7.0±2.4 hari (p<0.05). 3400 3350 3300 3250 3200 3150 3100 3050 3000 1
2
3 Intervensi
4
5
6
7
Kontrol
Gambar 6 Rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan ≥BBL Studi oleh Turkyilmaz et al. (2011) juga melaporkan bahwa penggunaan laktagogum dari tanaman yaitu teh herbal dapat mempersingkat waktu untuk mencapai kembali berat badan lahir. Studi tersebut menunjukkan bahwa bayi yang ibunya mengonsumsi teh herbal yang mengandung laktagogum dari tanaman fenugreek memiliki waktu yang lebih singkat yaitu 6.7±3.2 hari untuk mencapai kembali berat badan lahir dibandingkan kelompok plasebo dan kontrol masingmasing 7.3±2.7 hari dan 9.9±3.5 hari (p<0.05). Selanjutnya diuraikan bahwa meskipun pemberian teh herbal yang mengandung laktagogum tidak dapat menjelaskan pengaruh langsung terhadap waktu kembali mencapai BBL yang lebih singkat, tetapi kemungkinan hal tersebut dapat terjadi melalui peningkatan jumlah ASI pada minggu pertama.
45 Pengaruh Jenis PMT terhadap Frekuensi dan Durasi Bayi Menyusu Tanaman torbangun memiliki efek laktagogum yaitu dapat meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI (Damanik 2009). Produksi ASI yang meningkat akan memicu ibu untuk menyusui bayinya sehingga dapat mempengaruhi frekuensi dan durasi bayi menyusu. Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu disajikan pada Tabel 21. Pada minggu ke-1 PMT kepada ibu, frekuensi dan durasi bayi menyusu cenderung lebih sering dan lebih lama pada kelompok yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun (FT) dibandingkan bayi pada kelompok yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0). Selama PMT kepada ibu, durasi bayi menyusu dalam sehari cenderung lebih lama pada kelompok yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun (FT) dibandingkan bayi pada kelompok yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0). Namun, uji beda rerata frekuensi ataupun durasi bayi menyusu tidak berbeda signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p>0.05). Tabel 21 Frekuensi dan durasi bayi menyusu selama PMT ibu menyusui Parameter Frekuensi per hari Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4 Durasi per hari (menit) Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4 Durasi per frekuensi (menit) Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
Kel.Intervensi (n=10) Rerata±SD
Kel.Kontrol (n=10) Rerata±SD
Nilai p
14.2 ±2.4 14.9±3.2 16.2±4.0 16.2±3.4
13.5±6.7 16.5±9.4 18.2±9.9 18.5±9.6
0.199 0.880 0.850 1.000
182.4 ±61.8 174.2 ±75.9 180.2 ±67.7 168.9 ±62.2
135.3 ±58.2 166.3 ±68.3 162.4 ±38.7 160.5 ±43.4
0.097 0.809 0.480 0.730
13.0 ±4.3 11.8 ±4.7 11.1 ±3.6 10.6 ±3.5
10.4 ±2.4 10.9 ±3.2 9.9 ±2.5 9.7 ±3.0
0.112 0.602 0.387 0.529
Praktek Pemberian ASI Eksklusif Pemberian ASI eksklusif menurut WHO (2011) adalah tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih selain menyusui (kecuali obatobatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan). Pada penelitian ini, keberhasilan praktik pemberian ASI eksklusif sesuai dengan kriteria WHO pada akhir pemberian makanan tambahan kepada ibu yang mendapat konseling menyusui adalah sebesar 90% pada kelompok intervensi dan 80% pada kelompok kontrol. Sisanya yaitu sebanyak 10% bayi dari kelompok intervensi dan sebesar 20% dari kelompok kontrol gagal mendapatkan ASI eksklusif. Kegagalan praktek pemberian ASI eksklusif tersebut karena pemberian air putih atau susu formula pada hari pertama setelah kelahiran bayi atau sebelum pemberian PMT kepada ibu. Jumlah air putih atau susu formula yang diberikan kepada bayi kurang lebih 3 sendok teh. Keputusan ibu untuk memberikan air putih atau susu formula tersebut adalah atas anjuran dari anggota keluarga yang
46 mendampingi ibu pada hari pertama kelahiran bayi. Alasan pemberiannya karena ASI yang keluar masih sangat sedikit dan bayi sering menangis. Kondisi tersebut dimaknai sebagai tanda bayi lapar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Haider et al. (2010) bahwa faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor yang paling umum untuk memberikan substitusi atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal. Persentase bayi yang gagal mendapat ASI eksklusif pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan studi cross sectional oleh Utari et al. (2013) di 5 desa wilayah kerja Puskesmas Dramaga Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yaitu Desa Ciherang, Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari dimana 56.7% ibu pospartum gagal memberikan ASI eksklusif karena memberikan makanan pralaktal kepada bayinya. Pada penelitian ini, persentase pemberian ASI eksklusif yang diuraikan di atas dapat dipertahankan hingga bayi berumur 6 bulan melalui konseling menyusui yang diberikan kepada ibu menyusui dengan frekuensi 1 kali per bulan. Simpulan Konseling menyusui meningkatkan rerata skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif secara signifikan. Pemberian makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan parameter waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan kembali berat badan lahir (regain birth weight) dan berdasarkan lingkar kepala bayi. Rerata waktu yang diperlukan oleh bayi yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun untuk kembali mencapai berat badan lahir lebih singkat 2 hari dibandingkan dengan rerata waktu yang diperlukan bayi yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun. Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif pada kelompok intervensi lebih tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Program PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan memformulasi bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku melalui konseling menyusui. Produk PMT ini juga dapat dijadikan sebagai alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
7 PEMBAHASAN UMUM Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan sangat penting dan merupakan titik kritis yang menentukan pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak di masa yang akan datang (Bappenas 2012). Kegagalan menanggulangi masalah gizi pada periode 1000 hari pertama kehidupan akan menyebabkan dampak permanen tidak hanya pada pertumbuhan fisik, melainkan juga pada kognitif dan peningkatan risiko penyakit tidak menular di masa dewasa seperti diabetes melitus, hipertensi dan stroke. Menurut WHO (2003; 2011), pemenuhan gizi yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan atau selama 180 hari dari gerakan 1000 hari pertama kehidupan adalah melalui praktek pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mensukseskan pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendukung pemberian ASI eksklusif melalui pemberian makanan tambahan yang mengandung bahan pangan yang memiliki fungsi laktagogum untuk ibu menyusui, yang diintegrasikan dengan pendekatan perilaku melalui konseling menyusui. Rangkaian penelitian yang telah dilakukan terbagi dalam 3 tahap. Pada tahap pertama dilakukan pembuatan tepung torbangun. Tepung torbangun merupakan bentuk bahan pangan setengah jadi agar lebih fleksibel untuk pengembangan produk pangan yang lebih beragam dengan sasaran pengguna tidak terbatas hanya suku Batak. Rendemen tepung torbangun yang dihasilkan sebesar 8 %, artinya bahwa tiap 1 kg daun torbangun segar akan menjadi 80 g tepung torbangun. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengolahan menjadi tepung torbangun membuat berat bahan menjadi sangat berkurang sehingga menghemat ruang dan mempermudah untuk penyimpanan dan pengangkutan. Jumlah daun torbangun segar yang umum dikonsumsi per hari oleh ibu dari masyarakat suku Batak pasca melahirkan adalah 120-150 g (Damanik 2009). Berdasarkan nilai rendemen tersebut, maka 120-150 g torbangun segar setara dengan 9.6-12 g tepung torbangun. Kadar air pada bahan pangan mempunyai peran penting terhadap kerusakannya. Kadar air yang rendah memiliki daya simpan yang lebih lama (Muchtadi 2013). Kadar air setelah menjadi tepung torbangun sekitar 9%, jauh menjadi lebih kecil dibandingkan kadar air pada daun torbangun segar yaitu 92.5%. Dengan demikian maka tepung torbangun sebagai bentuk bahan pangan setengah jadi tidak hanya menjadi lebih fleksibel untuk pengembangan produk pangan yang lebih beragam tetapi dapat lebih lama disimpan dibandingkan dengan torbangun segar. Efek laktagogum dari torbangun berdasarkan studi pada hewan coba oleh Silitonga (1993) dan Permana (2008) tampak dari peningkatan jumlah alveoli kelenjar mammae yang aktif dan proliferasi sel sekresi mammae setelah mengonsumsi sup torbangun. Sementara itu, Jayadepa (2011) dengan teknik in silico mensimulasikan mekanisme domperidone yaitu sediaan farmasi yang digunakan untuk meningkatkan produksi ASI dengan komponen aktif dari herbal dan beberapa tanaman yang digunakan sebagai laktagogum. Selanjutnya diuraikan
48 bahwa kompoen aktif kaempferol pada herbal atau tanaman tersebut memiliki mekanisme yang mirip dengan domperidone yaitu menghambat reseptor dopamine pada kelenjar pituari anterior sehingga memicu pelepasan hormon prolaktin. Studi yang telah dilakukan tentang laktagogum dari torbangun belum menyimpulkan komponen bioaktif yang berkontribusi terhadap fungsi laktagogum torbangun. Polya (2003) menguraikan bahwa manfaat fungsional dari berbagai macam tumbuhan khususnya kelompok sayuran dikaitkan dengan komponen bioaktifnya. Pada penelitian ini, kaempferol sebagai senyawa flavonoid dipilih sebagai parameter komponen aktif pada tepung torbangun. Total flavonoid pada tepung torbangun yang dihasilkan adalah 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan. Pada penelitian tahap ke-2 telah dilakukan pengembangan produk yang ditujukan sebagai makanan tambahan bagi ibu menyusui untuk memperbaiki asupan zat gizi ibu khususnya energi dan protein. Di samping itu, fungsi laktatogum yang dimiliki tepung torbangun dapat meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI sehingga produk tersebut juga potensial untuk mendukung pemberian ASI eksklusif karena salah satu faktor yang menjadi penghalang dalam pemberian ASI eksklusif adalah sekresi dan produksi ASI yang tidak optimal (Turkilkiyam 2011). Produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun memiliki sifat sensori yang dapat diterima oleh panelis. Panelis pada tahap pengembangan produk ini adalah ibu menyusui bukan dari suku Batak sehingga produk ini memiliki peluang untuk diterima oleh masyarakat di luar suku Batak. Tiap 100 g produk mengandung energi 376 kkal dan protein sebesar 12.15%. Ibu yang sedang menyusui bayi usia hingga 6 bulan memerlukan tambahan angka kecukupan energi sebesar 330 kkal dan tambahan kecukupan protein 20 gram (Kemenkes 2013). Bila makanan tambahan fungsional yang dihasilkan ini diberikan sebagai makanan tambahan kepada ibu menyusui dengan berat per saji 33 g, maka kontribusi produk per saji terhadap pemenuhan tambahan energi untuk ibu yang sedang menyusui bayi umur hingga 6 bulan sebesar 38% dan pemenuhan tambahan protein sebesar 20%. Sifat fisik dari produk makanan tambahan fungsional yang dihasilkan adalah memiliki indeks daya serap air 3.06 dan daya larut dalam air sebesar 76.96%. Tepung jagung merupakan bahan pangan yang terutama berkontribusi terhadap daya serap air dibandingkan bahan formula lainnnya. Kandungan pati tepung jagung memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi (Marleni 2008). Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan hasil yang negatif untuk bakteri E.coli, Salmonella dan Staphylococus aureus. Nilai angka lempeng total yaitu <1.0 x 101 (koloni/gram) masih dalam batas toleransi yang diijinkan menurut SNI 01-4270-1996 untuk persyaratan serbuk instan yang terbuat dari susu bubuk dan sereal yang diijinkan yaitu maks. 5 x 105 koloni/gram (BSN 1996). Pada penelitian tahap ke-3, telah dilakukan kajian pengaruh pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi. Konseling menyusui merupakan salah satu bentuk bantuan, dorongan dan dukungan yang ibu perlukan untuk lebih berhasil menyusui. Haider et al. (2010)
49 merekomendasikan perlunya teknik konseling digunakan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hal ini didasarkan pada hasil studi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di Bangladesh yang menunjukkan bahwa ada sejumlah pengetahuan, kepercayaan dan perilaku ibu dan anggota keluarga lainnya khususnya ayah dan nenek yang tidak mendukung untuk mempraktekkan perilaku menyusui eksklusif. Selanjutnya diungkapkan bahwa pengetahuan, kepercayaan dan perilaku tersebut dilakukan karena kurangnya kesadaran tentang manfaat dan risiko jika tidak mempraktekkan pemberian ASI seperti yang direkomendasikan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif Pasal 13 memuat bahwa informasi dan edukasi tentang ASI eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi diberikan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan edukasi ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan, paling sedikit mengenai: 1) keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; 2) gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; 3) akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan 4) kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI (Kemensekneg 2012). Pada penelitian ini, seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan yaitu pada saat hamil trimester ke-3 dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui signifikan meningkatkan skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI ekslusif. Kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9, rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1± 8.8 (p<0.05). Kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Komposisi dan jumlah zat gizi dari produk yang dikembangkan yaitu karbohidrat, protein, dan lemak merupakan zat gizi makro yang sangat penting kontribusinya terhadap asupan zat gizi khususnya energi dan protein. Di samping itu, fungsi laktatogum komponen bioaktifnya dapat meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI sehingga dapat mendukung program pemberian ASI eksklusif dan bayi yang disusui ibu akan bertumbuh secara optimal. Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun berpengaruh signifikan terhadap waktu yang lebih singkat untuk mencapai kembali berat badan lahir bayi yaitu 5.1±1.4 hari untuk kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol 7.0±2.4 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini didukung studi oleh Turkyilmaz et al. (2011) tentang penggunaan teh herbal yang mengandung laktagogum dari tanaman fenugreek. Studi tersebut menunjukkan bahwa bayi yang ibunya mengonsumsi teh herbal yang mengandung laktagogum dari tanaman fenugreek memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu 6.7±3.2 hari untuk mencapai kembali berat badan lahir dibandingkan dengan kelompok plasebo dan kontrol masing-masing 7.3±2.7 hari dan 9.9±3.5 hari (p<0.05). Selanjutnya diuraikan bahwa pemberian teh herbal yang mengandung laktagogum tidak dapat menjelaskan pengaruh langsung terhadap waktu kembali mencapai BBL yang lebih singkat, tetapi hal tersebut kemungkinan dapat terjadi melalui peningkatan jumlah ASI pada minggu pertama.
50 Pemberian makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada studi ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi dan durasi menyusui dengan kelompok PMT tanpa torbangun. Namun, secara substansi, perbedaan rata-rata durasi menyusu per hari pada minggu pertama adalah 47.1 menit lebih lama pada kelompok PMT torbangun dibandingkan kelompok tanpa torbangun. Selisih waktu ini kemungkinan dapat dikaitkan dengan volume dan kandungan ASI sehingga waktu untuk mencapai kembali berat badan bayi lahir bayi dari ibu yang mendapat makanan tambahan dengan tepung torbangun menjadi lebih singkat. Pertumbuhan lingkar kepala paling pesat pada 6 bulan pertama kehidupan, yaitu dari 34 cm saat lahir menjadi 44 cm pada umur 6 bulan. Manfaat pengukuran lingkar kepala terbatas pada umur 6 bulan pertama sampai umur 2 tahun karena pertumbuhan otak yang pesat pada periode tersebut. Lingkar kepala dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak (Soetjiningsih 1999). Pada penelitian ini, pemberian makanan tambahan kepada ibu selama 30 hari menunjukkan perbedaan lingkar kepala bayi yang signifikan antar kedua kelompok perlakuan (p<0.05). Bayi yang ibunya mengonsumsi produk dengan tepung torbangun memiliki lingkar kepala yang lebih besar besar 1.7 cm dari lingkar kepala bayi yang ibunya mengonsumsi produk tanpa torbangun. Keberhasilan praktek pemberian ASI ekslusif pada kelompok intervensi adalah 90% sedangkan pada kelompok kontrol adalah 80%. Sisanya yaitu sebanyak 10% bayi dari kelompok intervensi dan sebesar 20% dari kelompok kontrol gagal mendapatkan ASI ekslusif. Penyebab kegagalan praktek pemberian ASI eksklusif pada penelitian ini adalah karena pemberian air putih atau susu formula pada hari pertama setelah kelahiran bayi atau sebelum pemberian PMT kepada ibu. Alasan pemberiannya karena ASI yang keluar masih sangat sedikit dan bayi sering menangis. Li et al.(2008) melaporkan bahwa alasan yang paling sering diberikan ibu untuk berhenti menyusui antara bulan pertama dan bulan ke-2 adalah bayi mengalami kesulitan dalam mengisap dan pelekatan tidak sesuai; ASI saja tidak cukup lagi bagi bayi; dan ASI tidak cukup banyak. Haider et al. (2010) mengungkapkan bahwa faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor yang paling umum untuk memberikan substitusi atau pengganti ASI sehingga terjadi kegagalan dalam pemberian ASI eksklusif. Keterbatasan penelitian ini mencakup tidak adanya 2 kelompok kontrol yang tidak mendapat konseling menyusui. Kelompok perlakuan yang direncanakan pada awal penelitian terdiri dari 4 kelompok perlakuan masingmasing dengan 10 orang subjek penelitian. Namun, kelompok perlakuan pada penelitian ini hanya terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok yang diberikan produk makanan tambahan dengan tepung torbangun dan kelompok yang diberikan produk makanan tambahan tanpa tepung torbangun. Ke-2 kelompok tersebut mendapat konseling menyusui, tidak ada 2 kelompok kontrol yang tidak mendapat konseling menyusui. Hal ini disebabkan keterbatasan subjek penelitian dengan kriteria inklusi dan pertimbangan waktu untuk mendapatkan 20 orang subjek penelitian sebagai 2 kelompok perlakuan yang tidak mendapat konseling menyusui membutuhkan waktu yang lebih lama.
51 Implikasi Hasil Penelitian ASI adalah satu-satunya makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi sejak lahir hingga umur 6 bulan. Penerima manfaat langsung dari studi ini adalah ibu menyusui dan bayi. Implikasi penelitian ini tidak hanya manfaat dari sisi gizi dan kesehatan untuk ibu menyusui dan bayi. Penelitian ini juga memiliki implikasi terhadap perekonomian melalui peningkatan nilai tambah dari pemanfaatan tanaman torbangun dan nilai ekonomis dari keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Keberhasilan dari penelitian ini memiliki implikasi terhadap perlunya kesinambungan kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah dilanjutkan dan diterapkan pada ibu menyusui dengan produk yang mengandung bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti tepung torbangun dan mengaplikasikan intervensinya dengan pendekatan aspek perilaku melalui konseling menyusui. Produk makanan tambahan yang dihasilkan dari penelitian ini juga dapat dijadikan alternatif untuk makanan tambahan bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat seperti bencana alam. Bentuk produk siap saji yang dikembangkan pada penelitian ini juga dapat menjadi suatu alternatif makanan tambahan untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah. Implikasi terhadap penelitian lebih lanjut yaitu perlunya kajian mekanisme laktagogum dari senyawa fitokimia dari tepung torbangun yang dihasilkan serta studi lanjut tentang umur simpan produk.
52
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Rendemen tepung torbangun pada penelitian ini sebesar 8 % dengan kadar air sekitar 9 %, total flavonoid sebesar 1 mgQE/g dan kandungan kaempferol sebesar 9.64 mg/100 g. Kaempferol derivatif juga terdapat pada tepung torbangun yang dihasilkan. 2. Produk dengan taraf penambahan tepung torbangun 12% dan persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, overall dari produk semuanya diatas 95% dipilih sebagai produk makanan tambahan untuk ibu menyusui. Tiap 100 gram produk tersebut mengandung energi sebesar 376 kkal dan protein sebesar 12.15 g dengan daya larut dalam air sebesar 75%. Produk ini aman untuk dikonsumsi berdasarkan uji mikrobiologi. 3. Konseling menyusui meningkatkan secara signifikan rerata skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif. 4. PMT yang mengandung tepung torbangun kepada ibu menyusui berpengaruh signifikan terhadap lingkar kepala bayi dan peningkatan kembali berat badan lahir yaitu lebih singkat 2 hari dibandingkan bayi yang ibunya mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun. 5. Keberhasilan praktek pemberian ASI eksklusif dengan pendekatan aspek perilaku melalui konseling menyusui dan PMT yang mengandung tepung torbangun lebih tinggi sebesar 10% dibandingkan dengan pendekatan melalui konseling menyusui dan pemberian makanan tambahan tanpa tepung torbangun. Saran Kebijakan PMT bagi ibu hamil yang telah dilakukan oleh pemerintah agar dilanjutkan bagi ibu menyusui untuk mendukung pertumbuhan bayi serta mengatasi stunting melalui pemberian ASI eksklusif. Produk makanan tambahan yang disarankan adalah produk yang mengandung bahan pangan yang mempunyai khasiat laktagogum seperti tepung torbangun, dan diaplikasikan dengan konseling menyusui. Subjek penelitian yang telah berhasil mempraktekkan pemberian ASI eksklusif diharapkan dapat diberdayakan oleh petugas kesehatan sebagai agen promosi ASI eksklusif. Ibu-ibu tersebut dapat dijadikan sebagai kader ASI eksklusif di posyandu atau sebagai konselor sebaya (peer counselors). Produk makanan tambahan yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai alternatif untuk menambah asupan zat gizi ibu menyusui dan sekaligus juga meningkatkan sekresi dan produksi ASI bagi ibu menyusui dalam kondisi darurat seperti bencana alam atau untuk ibu menyusui yang bekerja di luar rumah. Perlu kajian lebih lanjut tentang mekanisme laktagogum dari senyawa fitokimia pada tepung torbangun yang dihasilkan dan studi tentang umur simpan produk yang dihasilkan.
53
DAFTAR PUSTAKA Abba AM, Koninck MD, Hamelin AM. 2010. A qualitative study of the promotion of exclusive breastfeeding by health professionals in Niamey, Niger. Int Breastfeeding J 5:8. [ABM] Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee. 2011. ABM Clinical Protocol #9: Use of Galactogogues in Initiating or Augmenting the Rate of Maternal Milk Secretion (First Revision). Breastfeeding Medicine 6(1). DOI: 10.1089/bfm.2011.9998. Agho KE, Dibley M, Odiase JI, Ogbonmwan SM. 2011. Determinants of exclusive breastfeeding in Nigeria. BMC Pregnancy and Childbirth 11: (2) 1-8. Al-Sahab B, Lanes A, Feldman M, Tamim H. 2010. Prevalence and predictors of 6-month exclusive breastfeeding among Canadian women: a national survey. BMC Pediatrics 2010, 10:20. Anderson PO, Valdés V. 2007. A Critical Review of Pharmaceutical Galactagogues. Breastfeeding Medicine Volume 2(4): 229-242. [AOAC] Official Methods of Analysis. 2010. Microchemical Determination of Nitrogen. AOAC 960.52-1961 (2010). Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangkan Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta: Bappenas. Black R, Allan LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, Mathers C, Rivera J. 2008. The maternal and child undernutrition study group: maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet, 371:243-260. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta:BPOM RI [BSN] Badan Standardisasi Nasional 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI 01-2891-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. _____1996. Susu Sereal. SNI 01-4270-1996. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. _____ 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. Journal of Food and Drug Analysis. 10:178-182. Charunuch C, Boonyasirikool P, Tiengpook C. 2003. Using of extrusion process for preparation of instant cereal beverage powders based on corn and soybean. Kasetsart J (Nat Sci) 37:72-83. Chludi HD, Corbino GB, Leicarh SR. 2008. Soil quality effects on Chenopodium album flavonoid content and antioxidant potential. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 56:5050-5056.
54 Chola L, Nkonki L, Kankasa C, Nankunda J, Tumwine J, Tylleskar T, Robberstad B. 2011. Cost of individual peer counselling for the promotion of exclusive breastfeeding in Uganda. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2011, 9:11. http://www.resource-allocation.com/content/9/1/11 Cornelia, Sumedi E, Nurlita H, Afif I, Ramayulis R, Iwaningsih S, Hartati SAB, Kresnawan T. 2010. Penuntun Konseling Gizi. Jakarta: PT Abadi. Crossland DS, Richmond S, Hudson M, Smith K, Abu-Harb M. 2008. Weight change in the term baby in the first 2 weeks of life. Acta Paediatrica 97(4):425-429. doi:10.1111/j.1651-2227.2008.00685.x. Cuthbertson et.al. 2013. Accurate mass-time tag library for LC/MS-based metabolite profilling of medicinal plants. Phytochemistry 91:187-197. Damanik R, Damanik N, Daulay Z, Saragih S, Hardinsyah. 2001. Tradisi sukubangsa Batak Simalungun mengkonsumsi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) untuk meningkatkan produksi ASI. Di dalam: Nuraida N, Hariyadi RD, editor. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen; Jakarta, 14 Agustus 2001. Bogor: Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB. hlm 344-351. Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr 15(2): 267-274. Damanik R. 2009. Torbangun (Coleus amboinicus Lour): a Bataknese traditioal cuisine perceived as lactagogue by Bataknese lactating women in Simalungun, North Sumatera, Indonesia. J Hum Lac 25(1): 64-72. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. Pelatihan Konseling Menyusui: Panduan Peserta. Jakarta: Depkes RI. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 2006. “Susu bubuk SNI 01-2970-2006”. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Duijts L, Ramadhani MK, Moll HA. 2009. Breastfeeding protects against infectious diseases during infancy in industrialized countries. A systematic review. Maternal and Child Nutrition (5):199-210. Gatti L. 2008. Maternal perceptions of insufficient milk supply in breastfeeding. J Nursing Scholarship 40 (4):355-363. Gillespie S 1999. Supplementary feeding for women and young children. Human Development Network, The World Bank. Giugliani ERJ. 2004. Common problems during lactation and their management. J de Pediatria 80 (5) supl:147-154. Haider R, Rasheed S, Sanghvi TG, Hassan N, Pachon H, Islam S, Jalal CSB. 2010. Breastfeeding in infancy: identifying the program-relevant issues in Bangladesh. Int Breastfeeding J 5 (21):11-12. Hauck YL, Fenwick J, Dhaliwal SS, Butt J. 2011. A Western Australian Survey of Breastfeeding Initiation, Prevalence and Early Cessation Patterns. Matern Child Health J 15:260-268. Hidayat TS, Hermina, Afriansyah N. 2010. Hubungan konsumsi makanan ibu selama kehamilan dan pemberian ASI pertama kali setelah melahirkan.Penelitian Gizi dan Makanan 33(2): 154-160. Huang YY, Lee JT, Huang CM, Gau ML. 2009. Factors related to maternal perception of milk supply while in the hospital. J Nurs Res 17: 179-188.
55 Hurley KM, Black MM, Papas MA, Quigg AM. 2008. Variation in breastfeeding behaviours, perceptions, and experiences by race/ethnicity among a lowincome statewide sample of special supplementation nutrition program for Women, Infants, and Children (WIC) participants in the United States. Maternal and Child Nutrition 4:95-105. [IOM] Institute of Medicine. 1991. Nutrition During Lactation. Washington, DC: National Academy Press. Jakobsen MS, Sodemann M, Biai S, Nielsen J, Aaby P. 2008. Promotion of exclusive breastfeeding is not likely to be cost effective in West Africa. A randomized intervention study from Guinea-Bissau. Acta Pediatrica. 97:68-75. Jayadeepa RM. 2011. In Silico Techniques for the Identification of Novel Natural Compounds for Secreting Human Breast Milk. Webmed Central Bioinformatics 2011;2(8):WMC002120. Jessica at el. 2011. Factors Associated With Exclusive Breastfeeding in the United States. Pediatrics 128:1117–1125. Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS, Bellagio CSS. 2003. How Many Child Deaths Can We Prevent this Year? Lancet 2003; 362: 65– 71 Khattak MMAK, Taher M, Abdulrahman S, Bakar IA, Damanik R, Yahaya A. 2012. Evaluation of phytochemicals and antioxidant concentration in Torbangun (Ati Ati) Coleus Amboinicus Lour used as breast-milk stimulant. J Chemical Society of Pakistan, in press. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010a. Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat 2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI. __________. 2010b. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI. __________. 2011. Sambutan Menteri Kesehatan pada acara temu nasional konselor menyusui ke I sebagai rangkaian kegiatan Pekan ASI Sedunia (PAS). Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Kemenkes RI. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/163-konselor-me..... __________. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI. __________. 2015. Studi diet total: potret pola makan penduduk indonesia saat ini.” Internet:www.depkes.go.id/article/view/ 15041400003/studi-diet-totalpotret-pola-makan-penduduk-indonesia-saat-ini.html#sthash.mvWXdrEO.dpuf,
Mar. 25, 2015 [Apr. 30, 2015]. [Kemensekneg] Kementerian Sekretaris Negara RI. 2012. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Kent JC, Prime DK, Garbin CP. 2012. Principles for maintaining or increasing breast milk production. JOGNN 41: 114-121 Lemeshow S, Hosmer JrDW, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. New York: John Wiley & Sons. Li R, Fein SB, Chen J, Strawn LMG. 2008. Why Mothers Stop Breastfeeding: Mothers' self-reported reasons for stopping during the first year. Pediatrics 122: S69-76
56 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI. Lutter C, Escamilla RP. 1996. Letter to the Editor: Dichlorodiphenyl dichloroehtene and insufficient breast milk. American J of Public Health 86 (6):887. Mahmud MK, Hermana, Zulfianto NA, Apriyantono RR, Ngadiarti I, Hartati B, Bernadus, Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Mahmud MK, Zulfianto NA, editor. Jakarta: Elex Media Komputindo. Marleni L, Sugiyono, Kusnandar F. “Effects of pre-treatments prior drying on young corn kernel instant”. J Teknol. dan Industri Pangan, vol. 19(2),139148, 2008. Materska M. 2008. Quercetin and its determinants: Chemical structure and bioactivity- A Review. Pol.J.Food Nutr.Sci.58(4):407-413. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. IPB Press. [Menkes] Menteri Kesehatan RI. 2013. “Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia”. Mortel M, Mehta SD. 2013. Systematic Review of the Efficacy of Herbal Galactogogues. J Hum Lact.29(154):152-164. Muchtadi TR, Sugiyono.2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan. Bandung: Alfabeta Mudjajanto ES, D. Sukandar D. 2007. Food consumption and nutritional status of brestfeeding mothers and infants. Jurnal Gizi dan Pangan, 2(2), pp.13– 25. Neacsu M, Vaughan N, Raikos V, Multari S, Duncan GJ, Duthie GG, Russell WR. 2015. Phytochemical profile of commercially available food plant powders: their potential role in healthier food reformulations. J Food Chem, (179):159-69. doi: 10.1016/j.foodchem.2015.01.128. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhayati A. 2007. Pengaruh konseling gizi pada ibu keluarga miskin terhadap pemberian ASI eksklusif [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Permana Dhani, 2008. Studi hispatologi pengaruh pemberian daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap produksi susu kelenjar mammae mencit (Mus musculus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Wildman REC. 2007. Handbook of nutraceuticals and functional foods. USA: CRC Press. Polya G. 2003. Biochemical Targets of Plant Bioactive Compounds: A Pharmacological Reference Guide to Sites of Action and Biological Effects. USA: CRC Press. Rice LJ, Brits GJ, Potgieter CJ, Van-Staden J. 2011. Plectranthus: A plant for the future? South African J of Botany 77 (4):947–959. doi:10.1016/j.sajb. 2011.07.001.
57 Rumetor, SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus Amboinicus Lour) dan Zink-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan Etawah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santo LCE, De Oliveira LD, Giugliani ERJ. 2007. Factors associated with low incidence of exclusive breastfeeding for the first 6 months. BIRTH 34 (3):212-219 Santosa CM. 2001. Khasiat konsumsi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus, l) sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusui dan pemacu pertumbuhan bayi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Seham SE, Rabie HE, Azza RAM, Rehab SA, Amany AS. 2012. Polyphenolics content and biological activity of Plectranthus amboinicus (Lour.) spreng growing in Egypt (Lamiaceae). Phcog J. 4(32). Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. Analisis sensory untuk industri pangan dan agro. Bogor-Indonesia: IPB Pres, 2010. Soetjiningsih, Ranuh G. 1995. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit EGC. Silitonga M .1993. Efek laktagogum daun jinten (Coleus amboinicus lour) pada tikus laktasi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tan K.L. 2011. Factors associated with exclusive breastfeeding among infants under six months of age in Peninsular Malaysia. International Breastfeeding Journal, 6(2):1-7. http://www.internationalbreastfeedingjournal.com/content /6/1/2. Turkyilmaz C, Onal E, Hirfanoglu IM, Turan O, Koc E, Ergenekon E, Atalay Y. 2011. The Effect of galactagogue herbal tea on breast milk production and short-term catch-up of birth weight in the first week of life. J Alternative and Complementary Medicine 2(201) pp. 139–142 [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. The State of The World’s Children. Geneva: UNICEF. Urnemi 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder tanaman daun Jinten (Coleus amboinicus Lour) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Utari AP, Roosita K, Damanik MRM. 2013. Pengetahuan gizi, keluhan kesehatan, kondisi psikologis, dan pola pemberian ASI ibu postpartum. J Gizi Pangan 8(3):187-192. Veghari G, Mansourian A, Abdollahi A. 2011. Breastfeeding status and some related factors in northern Iran. Oman Medical J 26(5):316-321. Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N, Damanik MRM. 2005. Modified Nutraceutical Composition. Australia: Australian Patent Office. [WHO] World Health Organization. 2003. Global Strategy for Infant and Young Children. Geneva: WHO. _____. 2011. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere. World Health Organization. Internet: www.who.int/mediacentre/news/statements/2011/breastfeeding_20110115/en/inde x.html. Jan. 15, 2011 [May 16, 2014].
Wildman REC. 2007. Handbook of nutraceuticals and functional foods. USA: CRC Press.
58 Xu F, Binns C, Zheng S, Wang Y, Zhao Y, Lee A. 2007. Determinants of exclusive breastfeeding duration in Xinjiang, PR China. Asia Pac J Clin Nutr 16(2):316-321. Zuppa AA, Sindico P, Orchi C, Chiara C, Cardiello V, Romagnoli C, Catenazzi P. 2010. Safety and efficacy of galactogogues: substances that induce, maintain and increase breast milk production. J Pharm Pharmaceut Sci (www.cspsCanada.org) 13(2) 162 – 174.
59 Lampiran 1 Keterangan lolos kaji etik penelitian
60 Lampiran 2 Tanaman torbangun, tepung torbangun dan produk PMT
Tanaman torbangun
Produk PMT dengan tepung torbangun (FT)
Tepung torbangun
Produk PMT tanpa tepung torbangun (F0)
61 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tapanuli Utara, pada tanggal 21 Desember 1968 sebagai anak ke delapan dari Bapak Melanthon Doloksaribu (Alm.) dan Ibu Tiomelia Pangaribuan. Penulis menikah dengan Maruli Tua Simanjuntak, SE pada tanggal 4 Juli 1995 dan dikaruniai tiga putri, yaitu Ester Melani Andreana Simanjutak, Ecclesya Agata Simanjuntak dan Elishia Anggita Simanjuntak. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1987 dari SMAN 31 Jakarta, meraih Diploma-3 pada tahun 1990 dari Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI di Jakarta. Sejak tanggal 1 Maret 1991, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan. Pada tahun 1997-2000, penulis mengikuti tugas belajar (S1) di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003-2005, mengikuti tugas belajar (S2) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Pada tahun 2010 mendapat kesempatan tugas belajar (S3) di Program Studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S1, S2 dan S3 diperoleh penulis dari Kementerian Kesehatan RI. Penulis menerima bantuan dana penelitian disertasi ini melalui Biaya Operasioal Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Penelitian Strategis IPB dan dari Yayasan Supersemar. th
Penulis adalah alumni The 5 South East Asian Nutrition Leadership Program (SEANLP) tahun 2007, dan tahun 2010 mengikuti Training of the Trainer (TOT) Food Safety, SEAMEO-TROPMED RCCN di Jakarta. Tahun 2012 mengikuti pelatihan konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/KEMENKES 40 Jam di Jakarta. Publikasi ilmiah selama mengikuti tugas belajar S3 di Sekolah Pascasarjana IPB, judul “Kebiasaan makan dan aktivitas fisik remaja obes: studi kasus pada murid SMU Kornita Bogor” diterbitkan pada Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, Volume 34, No 2 Desember 2011 (artikel ini merupakan tugas mata kuliah Gizi Remaja dan Dewasa). Publikasi bagian dari disertasi ini, yaitu (1) judul “The development of torbangun flour-based functional supplementary food for breastfeeding mother. diterbitkan pada International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR) (2015) Volume 23, No 1, pp348-355; (2) judul “Pertumbuhan bayi dan pemberian ASI eksklusif oleh ibu penerima konseling menyusui dan makanan tambahan torbangun” terbit pada Jurnal Gizi dan Pangan dan Volume 10, No 2 Juli 2015.