TESTOSTERON REPLACEMENT THERAPY PADA DISFUNGSI EREKSI OLEH KARENA DIABETES MELITUS Ni Luh Kadek Alit Arsani Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha e-mail :
[email protected] Abstrak Disfungsi seksual banyak terjadi di masyarakat, baik pada pria maupun wanita, walaupun belum ada data yang pasti tentang insidennya. Salah satu disfungsi seksual pada pria yang sering dijumpai adalah disfungsi ereksi. Diduga tidak kurang dari 10% pria menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Sekitar 30%-90% pria dengan diabetes melitus akan menderita disfungsi ereksi. Sejak ditemukannya PDE-5 (Phosphodiesterase type 5) inhibitors untuk terapi disfungsi ereksi testosteron telah dikesampingkan sebagai terapi pilihan pada disfungsi ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang diterapi dengan PDE-5 inhibitors menunjukkan kegagalan. Hal ini menimbulkan ketertarikan pada terapi disfungsi ereksi dengan hormon testosterone. Hormon testosteron mempunyai peranan yang besar pada jaringan penis termasuk dalam mekanisme ereksi, memelihara dan mempertahankan integritas struktur jaringan erektil. Kekurangan testosteron akan menyebabkan gangguan pada anatomi dan fisiologi jaringan erektil, gangguan pada serabut saraf kavernosal. Secara histologis, gangguan yang nampak pada jaringan erektil penis adalah kehilangan serat-serat elastin pada tunika albuginea dan otot polos korpus kavernosum, digantikan oleh jaringan kolagen pada kedua struktur tersebut, terjadinya kebocoran pada vena (venous leakage) sehingga menyebabkan terjadinya venous reflux dan terjadilah gangguan ereksi. Penurunan 50% testosteron pada sirkulasi akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah intrakavernosal. Pada penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi, pemberian testosteron akan dapat meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum sehingga dapat memperbaiki fungsi ereksi. Kata kunci: testosteron replacement therapy, diabetes mellitus, disfungsi ereksi
61
mencapai hampir 70%. Pada tahun
PENDAHULUAN Perubahan
dan
2005 diduga terdapat 322 juta pria
perilaku seksual yang terjadi sejak
yang mengalami disfungsi ereksi di
lebih dari dua dekade yang lalu
seluruh dunia. Di Indonesia, belum
menyebabkan
lebih
ada data yang pasti berapa banyak pria
keluhan
mengalami DE (Pangkahila, 2005;
terbuka
persepsi
masyarakat
menyampaikan
seksual yang dialaminya. Disfungsi
Agarwal et al., 2006).
seksual banyak terjadi di masyarakat, baik
pada
pria
maupun
wanita,
Disfungsi
psikis.
tentang
dikelompokkan
Salah
satu
bisa
disebabkan oleh faktor fisik dan faktor
walaupun belum ada data yang pasti insidennya.
ereksi
Faktor
fisik
dapat
menjadi
faktor
disfungsi seksual pada pria yang
endokrin, neurogenik, vaskulogenik
sering
disfungsi
dan iatrogenik (Pangkahila, 2005).
ereksi. Diduga tidak kurang dari 10%
Faktor risiko utama yang berpengaruh
pria menikah di Indonesia mengalami
terhadap terjadinya disfungsi ereksi
disfungsi ereksi (Pangkahila, 2005).
adalah
dijumpai
Di
adalah
Amerika
Massachusetts
Serikat,
the
diabetes
hiperkolesterolemia,
(DM),
merokok,
dan
Faktor-faktor
ini
Male
Aging
Studi
penyakit
melakukan
survei
pada
meningkatkan risiko untuk terjadinya
1.290 pria berumur 40-70 tahun dari
aterosklerosis yang merupakan faktor
tahun
mendapatkan
predominan untuk terjadinya disfungsi
ereksi
(DE)
ereksi vaskulogenik (Agarwal et al.,
Prevalensi
DE
(MMAS)
1987-1989
prevalensi sebesar
disfungsi 52%.
kronis.
melitus
2006).
meningkat sesuai dengan umur. Pada
Disfungsi ereksi lebih sering
umur 40 tahun prevalensinya sebesar
terjadi pada penderita diabetes melitus
40%
dibandingkan dengan populasi umum.
dan
pada
umur
70
tahun
62
Sekitar
30%-90%
diabetes
melitus
pria
dengan
dan aktivitas nitrit oksida. Sebagai
menderita
akibat dari diabetes melitus maka akan
disfungsi ereksi (Cho et al., 2005;
terjadi kehilangan yang progresif dari
Kapoor et al., 2007). Studi-studi
otot polos dan endotel yang normal
sebelumnya
dari
akan
melaporkan prevalensi
korpus
kavernosum
diganti
berkisar antara 20-70% (Penson et al.,
dengan jaringan fibrotik sehingga
2004).
menyebabkan
Terjadinya
hipogonadisme,
terjadinya
disfungsi
autonomic neuropathy, dan arterial
ereksi yang komplit (Penson et al.,
insuficiency
2004; Brown et al., 2005; Sakka dan
dihubungkan
dengan
tingginya kejadian disfungsi ereksi
Yassin, 2010).
pada diabetes melitus.
Studi-studi
Relaksasi jaringan erektil pada
selama
2
epidemiologis dekade
terakhir
korpus kavernosum memerlukan nitrit
menunjukkan pria dengan DM tipe 2
oksida (Nitric Oxide/NO) dari neuron
mempunyai kadar hormon testosteron
nonadrenergik-nonkolinergik
yang rendah. Dhindsa et al. (2004)
endotel.
Jaringan
diabetes
penis
melitus
dan penderita
menunjukkan
melakukan
penelitian
pada
pria
dengan DM tipe 2 yang berumur
gangguan relaksasi dari otot polos
antara
yang dimediasi oleh faktor neurogenik
diantaranya mempunyai kadar free
dan endotel, peningkatan advanced
testosterone yang rendah. Hal ini
glication end products (AGEs), dan
berhubungan dengan tidak cukupnya
upregulation
yang
kadar luteinizing hormone (LH) dan
nitrat
follicle-stimulating hormone (FSH),
merupakan oksida
arginase kompetitor
sintase
dari
(NOS)
dengan
31-75
menyebabkan
tahun,
sepertiga
terjadinya
substratnya yaitu L-arginin, sehingga
hypogonadotrophic
hypogonadism.
terjadi penurunan sintesis, pelepasan,
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
63
penelitian yang dilakukan di United
Berdasarkan studi yang dilakukan
Kingdom, Italia, Australia, dan Brazil.
pada binatang menyatakan bahwa
Chandel et al. (2007) juga melaporkan
insulin diperlukan oleh otak untuk
tingginya
prevalensi
fungsi yang normal dari hypothalamo-
hypogonadism
hypophyseal-testis axis. Insensitivitas
hypogonadotrophic
pada pria muda (18-35 tahun) dengan
insulin
DM tipe 2 yaitu sebesar 58%.
menyebabkan
Testosteron dihubungkan
yang
dengan
rendah penurunan
pada
level
hipotalamus terjadinya
hipogonadotropik
hipogonadisme
sehingga terjadi penurunan fungsi
libido, disfungsi ereksi, peningkatan
testis
masa lemak, penurunan masa otot dan
penurunan
tulang,
testosteron (Dandona et al., 2009).
serta
penurunan
energi,
dan
menyebabkan produksi
terjadi hormon
depresi, dan anemia (Dandona et al.,
Pada pria dengan gejala-gejala
2009). Investigasi yang dilakukan
hipogonad, maka pemberian hormon
pada binatang menunjukkan bahwa
sulih
kekurangan
replacement
hormon
testoteron
testosteron
(testosterone
therapy)
menyebabkan atropi jaringan penis,
meningkatkan
fungsi
perubahan struktur nervus dorsalis,
memelihara
karakteristik
perubahan
endotel,
sekunder (Dandona et al., 2009).
penurunan otot polos trabekular, dan
Synder et al. (2000) menyatakan
akumulasi jaringan lemak pada daerah
bahwa terapi dengan testosteron pada
subtunika korpus kavernosum (Sakka
pria hipogonad dapat meningkatkan
dan Yassin, 2010).
fungsi seksual, libido, masa otot,
morfologi
Mekanisme
terjadinya
seksual
dapat dan seks
kekuatan fisik, densitas tulang, dan
hipogonadotropik hipogonadisme pada
perasaan
pria dengan DM tipe 2 belum jelas.
Morgentaler
senang. (2005)
Lazarou
dan
menyatakan
64
bahwa pemberian hormon testosteron
obesitas, dan kombinasi dari penyakit
merupakan terapi terbaik pada pria
ini, dimana dengan terapi PDE-5
hipogonad dengan disfungsi ereksi.
inhibitor
Sejak ditemukannya
PDE-5
telah
mengembalikan
gagal fungsi
untuk ereksinya.
(Phosphodiesterase type 5) inhibitors
Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan
untuk
ereksi
dalam fungsi ereksi setelah 12-20
dikesampingkan
minggu diterapi dengan testosteron.
terapi
testosteron
disfungsi
telah
sebagai terapi pilihan pada disfungsi
Greenstein
ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang
melaporkan bahwa 63% dari pria
diterapi dengan
hipogonad dengan disfungsi ereksi
PDE-5
inhibitors
et
al.
yang
2005).
testosteron saja mendapatkan kembali
ini
ketertarikan pada
menimbulkan terapi disfungsi
ereksi dengan hormon testosteron
fungsi
ereksi
terapi
juga
menunjukkan kegagalan (Park et al., Hal
diberikan
(2003)
yang
dengan
normal
dan
peningkatan sexual desire.
(Hesle et al., 2005). Pada
penderita
diabetes
melitus dengan disfungsi ereksi, maka
KAJIAN PUSTAKA Fungsi Seksual Pria
pemberian testosteron akan dapat
Fungsi seksual pria terdiri dari
mengembalikan fungsi ereksinya. Hal
4 komponen, yaitu: dorongan seksual,
ini sesuai dengan penelitian yang
bangkitan
dilakukan oleh Yassin et al. (2006);
ejakulasi. Bangkitan seksual terutama
Yassin & Saad (2006; 2007 b)
berupa ereksi penis. Setiap gangguan
terhadap peran hormon testosteron
pada salah satu komponen itu dapat
pada disfungsi ereksi dengan penyakit
menimbulkan
penyerta
seperti diabetes
Disfungsi seksual pria dikelompokkan
sindrom
metabolik,
melitus,
dislipidemia,
menjadi:
seksual,
1)
orgasme,
disfungsi
Gangguan
dan
seksual.
dorongan
65
seksual
yang
meliputi
dorongan
seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual;
2)
Disfungsi
ereksi;
dan 3) restriksi aliran keluar vena penis (Bivalacqua et al., 2003).
3)
Telah lama diketahui bahwa
Gangguan ejakulasi yang meliputi
NO memegang peranan yang penting
ejakulasi dini (rapid ejaculation) dan
dalam regulasi ereksi penis dalam
ejakulasi
keadaan
terhambat
(retarded
fisiologis
(Bivalacqua
Ejakulasi sebenarnya lebih banyak
merupakan
berfungsi reproduksi. Tetapi karena
penting dalam proses relaksasi otot
pada pria normal ejakulasi terjadi pada
polos kavernosa yang menyebabkan
saat
gangguan
ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh
ejakulasi seringkali juga mengganggu
adanya guanetidin dan atropin pada
sensasi orgasme (Pangkahila, 2005).
lapisan otot dan diduga merupakan
maka
mediator
al.,
patologis
ejaculation); 4) Gangguan orgasme.
orgasme,
et
dan
mediator
saraf
2003). yang
NO sangat
nonadrenergik-
nonkolinergik. Relaksasi otot polos
Ereksi Ereksi fenomena
penis
adalah
suatu
yang disebabkan oleh NO terjadi
yang
melalui
neurovaskular,
peningkatan
siklus
GMP
tergantung dari integritas saraf, fungsi
(guanosin monophosphate) (Tendean,
dari sistem vaskular, dan jaringan
2004).
kavernosal yang sehat. Fungsi ereksi yang normal meliputi tiga proses sinergis
dan
1)
Ereksi penis adalah manifestasi
yang
bangkitan seksual yang terjadi bila
2)
pria normal menerima rangsangan
relaksasi dari otot polos kavernosal,
seksual yang cukup. Ereksi penis
peningkatan dimediasi
simultan arterial
secara
yaitu:
Mekanisme Ereksi
inflow neurologis,
tergantung
pada
interaksi
yang
66
kompleks
antara
psikis,
otot polos korpus kavernosum yang
neurogenik, vaskuler, dan hormon.
menimbulkan detumesensi dan fleksid
Hormon testosteron mempunyai peran
penis. Ketika mengalami rangsangan
penting baik di tingkat pusat maupun
seksual, impuls saraf menyebabkan
perifer pada proses ereksi. Proses
pelepasan
ereksi
pada
parasymphatetic nonadrenergic non
keseimbangan antara aliran darah yang
cholinergic (NANC) dan sel endotel
masuk
korpus
korpus kavernosum. NO merupakan
terjadi
mediator kimia yang terpenting untuk
keseimbangan antara aliran darah
menimbulkan relaksasi otot polos
masuk dan keluar, maka penis menjadi
korpus kavernosum.
juga
dan
faktor
tergantung
keluar
kavernosum.
dari
Bila
flaccid (fleksid=lemas). Bila aliran
NO
melalui
meningkat, sedangkan aliran keluar
sebagai berikut:
vena
Fase 0: fase fleksid
maka
penis
neuron
Peristiwa ereksi berlangsung
masuk ke arteri korpus kavernosum
terhambat,
dari
rangkaian
delapan
fase
mengalami tumescence (tumesensi=
Dalam keadaan fleksid, penis berada
membesar
di bawah pengaruh saraf simpatetik.
dan
memanjang)
(Pangkahila, 2006). Faktor mempengaruhi
Aliran masuk arteri lambat, hanya saraf
yang
kurang dari 15 cm per detik, dan otot
mekanisme
ereksi
polos trabekula mengalami kontraksi.
adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2-S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan
otot
polos
pihak
lain,
menyebabkan dilatasi arteriol yang
stimulasi saraf simpatetik Th12-L2
menyebabkan aliran arteri meningkat
mengakibatkan konstriksi arteriol dan
sampai 30 cm per detik. Relaksasi
trabekula
relaksasi
Fase 1: fase pengisian (filling phase)
penis.
Di
Rangsangan
parasimpatetik
67
trabekula
menyebabkan
terjadi
menekan pleksus vena subtunika, yang
pengisian sinusoid tanpa peningkatan
menyebabkan
yang
darah ke dalam vena emissaria. Pada
bermakna
pada
tekanan
intrakavernosa.
berkurangnya
aliran
saat ini, tekanan gas darah sama dengan di darah arteri.
Fase 2: fase tumesensi Pada fase ini, tekanan intrakavernosa
Fase 4: fase ereksi rigid
mulai meningkat, yang menyebabkan
Karena pengaruh nervus pudendus,
penurunan relatif pada aliran masuk
muskulus
arteri. Karena tekanan meningkat di
berkontraksi sehingga menekan crura
atas tekanan diastolik, maka aliran
dan
hanya
tekanan
intrakavernosa di atas tekanan darah
sistolik. Selanjutnya, karena sinusoid
sistolik. Maka penis mengalami ereksi
melebar, terjadilah kompresi pada
atau
pleksus vena subtunika. Akibatnya
Muskulus
penis memanjang dan membesar ke
dibuat berkontraksi atau di bawah
kapasitas maksimalnya.
pengaruh
terjadi
pada
saat
meningkatkan
rigiditas
yang Fase 3: fase ereksi sempura (full erection phase)
rigiditas masuk
Pada fase ini tekanan intrakavernosa meningkat sampai 90% dari tekanan darah sistolik. Aliran darah arteri ke dalam penis terus menurun, tetapi masih lebih besar daripada selama fase fleksid.
Sinusoid
yang
ishiokavernosus
tekanan
yang
sempurna.
ishiokavernosus
refleks mampu
dapat
bulbokavernosus, mempertahankan
selama arteri
darah
penetrasi.
berhenti
Aliran
dan
vena
emissaria tertutup rapat sehingga penis menjadi
sebuah
ruangan
tertutup.
Mekanisme yang menyebabkan aliran keluar vena dari penis tertutup, disebut veno-occlusive mechanism.
melebar
68
Fase 5: fase detumesensi awal Pada
fase
ini
terjadi
Disfungsi Ereksi sedikit
Disfungsi
peningkatan tekanan intrakavernosa,
ketidakmampuan
yang bersifat sesaat. Peningkatan ini
mempertahankan ereksi penis yang
mungkin dipengaruhi oleh rangsangan
cukup untuk melakukan hubungan
simpatetik terhadap aliran keluar vena
seksual dengan baik. Pada dasarnya
yang tertutup.
disfungsi faktor
ereksi mencapai
ereksi fisik
berarti
disebabkan
dan
faktor
atau
oleh psikis.
Fase 6: fase detumesensi lambat
Penyebab fisik dapat dikelompokkan
Pada saat ini terjadi kontraksi otot
menjadi
polos trabekula, konstriksi arteriola
vaskulogenik, faktor neurogenik, dan
helicinae, dan menurunnya tekanan
faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005).
darah
intrakavernosa.
menyebabkan
Reaksi
kompresi
faktor
hormonal,
faktor
ini
Beberapa gangguan hormonal
vena
yang berkaitan dengan disfungsi ereksi
subtunika berkurang dan aliran keluar
adalah
hipogonadisme,
vena meningkat.
hiperprolaktinemia,
hipertiroidisme,
dan
hipotiroidisme.
Penyebab
Fase 7: fase detumesensi cepat
neurogenik disfungsi ereksi meliputi
Pada fase ini terjadi rangsangan
setiap penyakit atau trauma yang
simpatetik yang menyebabkan aliran
mempengaruhi susunan saraf pusat,
masuk
darah
korda spinalis, dan susunan saraf
cepat.
perifer. Disfungsi ereksi vaskulogenik
arteri
intrakavernosa
dan
tekanan
menurun
Perubahan ini diikuti peningkatan
adalah
faktor
penyebab
aliran keluar vena dan detumesensi
disfungsi ereksi pada pria tua. Faktor
yang cepat.
resiko
terhadap
vaskulogenik
disfungsi
adalah:
tersering
ereksi
overweight,
69
hipertensi,
diabetes
merokok.
Faktor
penyakit
atau
melitus, arterial
dan
berupa
gangguan
Faktor psikis meliputi semua faktor
yang
dapat
menghambat
yang
mekanisme ereksi, meliputi semua
menghambat aliran darah ke dalam
faktor dalam semua periode kehidupan
korpus
yaitu periode anak-anak, remaja, dan
kavernosum.
tersering
faktor
aterosklerosis.
Penyebab
arteri
Aliran
adalah
darah
yang
dewasa.
Faktor
dikelompokkan
psikis
dapat
menjadi
faktor
terhambat ke penis mengakibatkan
predisposisi, faktor presipitasi, dan
iskemia
korpus
faktor pembinaan. Faktor predisposisi
kavernosum terganggu. Keadaan ini
misalnya pandangan yang negatif
mengakibatkan disfungsi otot polos
tentang
yang menimbulkan disfungsi veno-
pendidikan
oklusif. Beberapa cara operasi, obat-
mitos, hubungan keluarga terganggu.
obatan,
dan
oksigenasi
dan
seks, seks
trauma
seksual,
kurang,
percaya
radioterapi
dapat
Faktor presipitasi misalnya hambatan
disfungsi
ereksi.
psikis karena penyakit atau gangguan
Kerusakan saraf atau arteri yang
fisik, proses penuaan, ketidaksetiaan
berkaitan dengan fungsi ereksi yang
terhadap
terjadi
dapat
berlebihan, depresi, dan kecemasan.
ereksi.
Faktor pembinaan misalnya karena
Beberapa obat yang mengakibatkan
pengalaman sebelumnya, hilangnya
disfungsi
obat
daya tarik pasangan, komunikasi tidak
antidepresan,
baik, takut yang berkaitan dengan
mengakibatkan
selama
mengakibatkan
operasi disfungsi
ereksi
misalnya
psikotropik, antihipertensi, antikolinergik
obat (Pangkahila,
Hargreave, 2006).
hormon, 2005;
keintiman,
pasangan,
dan
harapan
pendidikan
yang
seks
kurang. Faktor psikis tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, baik di sirkulasi
70
maupun penis mengakibatkan ereksi
adiponektin
terhambat (Pangkahila, 2005).
obesitas.
yang
menurun
pada
Bukti dari beberapa populasi Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, dan Hormon Testosteron
studi longitudinal menunjukkan bahwa testosteron rendah adalah faktor risiko
Resistensi
insulin
yang
independen untuk terjadinya obesitas,
terutama disebabkan oleh adipositas
sindrom metabolik, dan diabetes tipe
abdominal,
2.
terbukti
sebagai
Data
penelitian
abnormalitas patologis utama dalam
terdapat
terjadinya sindrom metabolik dan
testosteron rendah dengan akumulasi
diabetes. Jaringan adiposa sangat aktif
lemak
secara metabolik dan menghasilkan
testosteron berkorelasi negatif dengan
berbagai
akumulasi lemak sentral (Tsai and
zat
yang
memperantarai
hubungan antara obesitas, resistensi insulin, vaskuler
diabetes, serta
hubungan
menunjukkan
sentral,
antara
dimana
kadar
kadar
Boyko, 2000).
dan
penyakit
Obesitas berhubungan dengan
kondisi
lainnya.
kadar sex hormon binding globulin
Hormon-hormon yang berasal dari sel
(SHBG)
adiposit
secara
dikenal
mengakibatkan penurunan kadar total
sebagai
adipositokin
telah
kolesterol dan kadar testosteron bebas
mengubah paradigma dari sel lemak
pada pria obesitas. Dari penelitian
sebagai tempat penyimpanan energi
HERITAGE family, dalam sekelompok
menjadi
217
komponen
jaringan
kolektif dan
adiposa
penting
dari
sebagai sistem
pria
yang
sehat
rendah
yang
yang
dilakukan
pemeriksaan kadar testosteron dan
endokrin. Adipositokin yang paling
juga
dilakukan
CT
scan,
bahwa
banyak pada manusia adalah leptin
penurunan total testosteron dan SHBG
yang meningkat pada obesitas dan
merupakan prediktor untuk terjadinya
71
peningkatan timbulnya obesitas dan
penurunan sensitivitas insulin dan
kadar lemak sentral (Couillard, et al.,
gangguan metabolisme karbohidrat,
2000).
peningkatan
juga
kerusakan
tulang,
Penurunan kadar testosteron
gangguan fungsi kognitif, kehilangan
terkait
motivasi, kelelahan, dan kelemahan
dengan
abnormalitas
dalam metabolisme glukosa. Dalam
(Jones, 2008).
studi terhadap 1.292 orang non-
Kadar hormon testosteron yang
diabetes, didapatkan adanya korelasi
rendah, baik bioavailable testosterone
terbalik antara kadar total kolesterol
dan free testosterone secara bermakna
dengan kadar
lebih
insulin yang tetap
rendah
pada
diabetes
signifikan setelah pengendalian faktor
melitus
umur dan obesitas (Hardiman, 2010).
Kapoor et al. (2007) melaporkan bahwa
Diabetes Melitus, Testosteron, dan Korpus Kavernosum Penis
dengan
pria
dari
beberapa
tahun
terakhir, testosteron telah diketahui oleh sebagian besar klinisi terutama sebagai hormon seks. Tetapi studistudi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan mempunyai penting, metabolisme,
bahwa efek
testosteron
biologis
khususnya tulang,
yang
terhadap otot,
sistem
kardiovaskular dan otak. Kekurangan testosteron
dapat
menyebabkan
populasi
di
ereksi.
Inggris
sebanyak 355 orang ditemukan 50% diantaranya
Selama
disfungsi
kadar
mengalami
testosteron
penurunan
bebas
atau
boiavailabilitas testosteron. Sedangkan penelitian Selvin et al. (2007) dalam Third National Health and Nutrition Survey (NHANES III) pada 1.413 pria, dilaporkan bahwa pria pada tertile bawah untuk kadar testosteron bebas dan bioavailabilitas testosteron adalah sekitar 4 (empat) kali lebih besar
risikonya
untuk
menderita
diabetes daripada mereka yang berada
72
di tertile atas setelah pengendalian
diabetes melitus antara lain: penelitian
faktor
Yassin et al. (2006); Yassin & Saad
usia,
Sensitivitas
obesitas, insulin,
dan
obesitas,
etnis. dan
(2006;
2007
b),
terhadap
peran
testosteron saling terkait satu sama
hormon testosteron pada disfungsi
lain,
dapat
ereksi
dengan
menurunkan obesitas dan resistensi
seperti
diabetes
insulin.
dari
metabolik, dislipidemia, obesitas, dan
testosteron terhadap fungsi ereksi pada
kombinasi dari penyakit ini, dimana
studi yang dilakukan pada tikus adalah
dengan terapi PDE-5 inhibitor telah
melalui stimulasi sintesis NO dan
gagal untuk mengembalikan fungsi
sebagai vasodilator pada penis (Yassin
ereksinya. Dilaporkan bahwa terjadi
and Saad, 2008).
peningkatan
dimana
testosteron
Mekanisme
kerja
penyakit
penyerta
melitus,
sindrom
dalam
fungsi
ereksi
Sebagai akibat dari diabetes
setelah 12-20 minggu diterapi dengan
melitus maka akan terjadi kehilangan
testosteron. Penelitian Greenstein et
yang progresif dari otot polos dan
al. (2003), dilaporkan bahwa 63% dari
endotel yang normal dari korpus
pria
kavernosum diganti dengan jaringan
ereksi yang diberikan terapi dengan
fibrotik
menyebabkan
testosteron saja mendapatkan kembali
ereksi
fungsi
sehingga
terjadinya
disfungsi
yang
komplit (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005; Sakka dan Yassin, 2010).
hipogonad
ereksi
Hasil-hasil
yang
disfungsi
normal
dan
peningkatan sexual desire. Ereksi fenomena
Terapi Sulih Testosteron dan Fungsi Ereksi
dengan
penis
adalah
neurovaskular,
suatu yang
tergantung dari integritas saraf, fungsi dari sistem vaskular, hormonal, dan
penelitian
jaringan kavernosal yang sehat. Fungsi
mengenai terapi sulih testosteron pada
ereksi yang normal meliputi tiga
73
proses sinergis dan simultan yaitu: 1)
(venous
peningkatan
menyebabkan terjadinya venous reflux
dimediasi
arterial secara
inflow
yang
neurologis,
2)
dan
leakage)
terjadilah
sehingga
gangguan
relaksasi dari otot polos kavernosal,
Penurunan
dan 3) restriksi aliran keluar vena
sirkulasi akan menyebabkan terjadinya
penis (Bivalacqua et al., 2003). Setiap
penurunan
gangguan pada salah satu komponen
intrakavernosal.
itu
diabetes melitus dengan disfungsi
dapat
menyebabkan
disfungsi
seksual.
50%
ereksi.
testosteron
pada
tekanan
darah
Pada
penderita
ereksi, maka pemberian testosteron
Hormon
testosteron
akan dapat meningkatkan ketebalan
mempunyai peranan yang besar pada
otot
jaringan
sehingga dapat memperbaiki fungsi
penis
termasuk
dalam
mekanisme ereksi, memelihara dan
polos
korpus
kavernosum
ereksi.
mempertahankan integritas struktur jaringan
erektil.
Kekurangan
akan
menyebabkan
Berdasarkan paparan di atas, maka
gangguan pada anatomi dan fisiologi
dapat disimpulkan bahwa: hormon
jaringan
pada
testosteron mempunyai peranan yang
Secara
besar pada jaringan penis termasuk
histologis, gangguan yang nampak
dalam mekanisme ereksi, memelihara
pada jaringan erektil penis adalah
dan
kehilangan serat-serat elastin pada
struktur jaringan erektil. Kekurangan
tunika albuginea dan otot polos korpus
testosteron
kavernosum, digantikan oleh jaringan
gangguan pada anatomi dan fisiologi
kolagen pada kedua struktur tersebut,
jaringan
erektil,
terjadinya
serabut
saraf
testosteron
serabut
erektil, saraf
gangguan
kavernosal.
kebocoran
pada
vena
SIMPULAN
mempertahankan
akan
integritas
menyebabkan
gangguan
pada
kavernosal.
Pada
74
penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi,
maka pemberian
testosteron akan dapat meningkatkan ketebalan
otot
polos
korpus
kavernosum
sehingga
dapat
memperbaiki
fungsi
ereksi.
Disarankan perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut
testosteron
terhadap dalam
peranan
memperbaiki
disfungsi ereksi yang disebabkan oleh karena kerusakan yang terjadi pada korpus kavernosum penis. Pemberian terapi
sulih
testosteron
memperhatikan
selalu indikasi,
kontraindikasi, dan follow up secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA Arver, S. and Lehtihet, M. 2008. Testosterone Replacement Therapy. In: Jones,T.H. editor. Testosterone Deficiency in Men. New York: Oxford University Press. p. 71-77. Bivalacqua, T.J., Usta, M.F., Champion, H.C., Kadowitz, P.J., Hellstom, W.J.G. 2003. Endothelial Dysfunction in Erectile Dysfunction: Role of the Endothelium in Erectile
Physiology and Disease. Journal of Andrology; 24: 1937. Brown, J.S., Wessel, H., Chancellor, M.B., Howards, S.S., Stamm, W.E., Stapleton, A.E., Steers, W.D., Eeden, S.K., McVary, K.T. 2005. Urologic Complications of Diabetes. Diabetes Care; 28: 177-185. Chandel, A., Dhindsa, S., Topiwala, S. 2008. Testosterone Concentrarion in Young Patiens with Diabetes. Diabetes Care; 31: 2013-2017. Cho, N. H., Ahn, C.W., Park, J.Y., Lee H.W., Park, T.S., Kim, I.J., Pomerauntz, K., Park, C., Kimm, K.C., Choi, D.S. 2005. Elevated Homocysteine as a Risk Factor for the Development of Diabetes in Women with a Previous History of Gestational Diabetes Mellitus: a 4-year Prospective Study. Diabetes Care; 28: 2750–2755. Couillard, C., Gagnon, J. 2000. Contribution of Body Fatness and Adipose Tissue Distribution to the Age Variation in Plasma Steroid Hormone Concentrations in Men: The HERITAGE Family Study. J Clin Endocrinol Metab; 85: 1026-1031. Dandona, P., Dhindsa, S., Chandel, A., Topiwala., S. 2009. Low 75
Testosterone in Men with Type2 Diabetes-a Growing Public Health Concern. Diabetes Voice; 54: 27-29. Greenstein, A., Mabjeesh, N.J., Safer, M., Kaver, I., Matzkin, H., Chen, J. 2003. Does Sildenafil Combined with Testosterone Gel Improve Erectile Dysfunction in Hypogonadal Men in Whom Testosterone Therapy Alone Failed? J Urol; 173: 530–532. Guyton, A.C., and Hall, J.E. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Text Book of Medical Physiology). Alih Bahasa: Irawati, Tengadi L.M.A.K., Santosa, A. Editor Bahasa Indonesia: Irawati. Edisi 9. Jakarta: EGC. Hardiman, D. 2010. Testosteron, Obesitas, Sindrom Metabolik, dan DM tipe-2. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Persandi-Pandi. Solo 21-24 April. Hargreave, T.B. 2006. Problem: Sexual Dysfunction. In: Schill, W-B., Comhaire, F.H., Hargreave, T.B. editors. Andrology for the Clinician. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p 85-113. Jones, T.H. 2008. Clinical Physiology of Testosterone. In: Jones, T.H. editor. Testosterone Deficiency in Men. New York: Oxford University Press. p 9-21.
Kapoor, D., Aldred H., Clarke, S., Channer, K.S., Jones, T.H. 2007. Clinical and Biochemical Assessment of Hypogonadism in Men with Type 2 Diabetes. Diabetes Care; 30: 911–917. Kapoor, D., Goodwin, E., Channer, K.S., Jones, T.H. 2006. Testosterone Replacement Therapy Improves Insulin Resistance, Glycaemic Control, Visceral Adiposity and Hypercholesterolemia in Hypogonadal Men with Tipe-2 Diabetes. European Journal of Endocrinology; 154: 899-906. Klingmuller, D., Bliesener, N., Haidl, G. 2006. Hormonal Evaluatio in Infertility and Sexual Dysfunction. In: Schill, W-B., Comhaire, F.H., Hargreave, T.B., editors. Andrology for the Clinician. Berlin: SpringerVerlag Berlin Heidelberg. p. 408-413. Pangkahila, W. 2005. Disfungsi Seksual Pria. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Pangkahila, W. 2006. Disfungsi Ereksi. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Park, K., Ku, J.H., Kim, S.W., Paick, J.S. 2005. Risk Factors in Predicting a Poor Response to Sildenafil Citrate in Elderly
76
Men with Erectile Dysfunction. BJU Int; 95: 366–370. Penson, D.F. and Wessells, H. 2004. Erectile Dysfunction in Diabetic Patiens. Diabetes Spectrum; 17: 225-230. Sakka, A.I. and Yassin, A.A. 2010. Amelioration of Penile Fibrosis: Myth or Reality. Journal of Andrology; 31: 324-334. Selvin, E., Feinleib, N. 2007. Androgens and Diabetes in Men: Result from The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III). Diabetes care; 30: 234238. Tsai, E.C., Boyke, E.J. 2000. Low Serum Testosterone Level as a Predictor of Increased Visceral Fat in Javanese-American Men. Int J Obes Relat Metab Disord; 24: 485-491.
Yassin, A.A., et al. 2006a. Longacting Testosterone Undecanoate for Parenteral Testosterone Therapy. Therapy; 3: 709–721.
Yassin, A.A. and Saad F. 2007. Improvement of Sexual Function in Men with Late Onset Hypogonadism Treated with Testosterone Only. J Sex Med; 4: 497–501. Yassin, A.A., Saad, F., Deide, H.E. 2006b. Testosterone and Erectile Function in Hypogonadal Men Unresponsive to Tadalafil: Results from an Openlabel Uncontrolled Study. Andrologia; 38: 61–68. 77