Edisi: Maret 2017
Terus Mempromosikan Transparansi Diberbagai Sektor
Dok Foto Ilustrasi www.dedykurniadi.com
Tata kelola pemerintah yang baik (Good Governance), salah satunya ditandai dengan dijalankannya prinsip yang transparans/terbuka dierbagai bidang dan sektor. Baik dalam proses perumusan kebijakan hingga pelaksanaan kebijakan. Prinsip keterbukaan / transparan diyakini dapat mendorong lahirnya partisipasi yang berkualitas, serta melahirkan akuntabilitas kinerja. Sebaliknya, tanpa transparansi, hanya akan melahirkan partisipasi dan akuntabilitas semu. Mendorong transparnsi menjadi salah satu isu yang terus dikerjakan Fitra Riau sebagai civil society organisasi (CSO) di Provinsi Riau. Selain sebagai mandat kelembagaan yang
tertuang dalam visi dan misi lembaga, mempromosikan keterbukaan masih sangat diperlukan di Provinsi Riau ini untuk menciptakan perbaikan pelayanan publik, pengelolaan sumberdaya alam dan pengelolaan anggaran, dilakukan secara baik, efisien, efektif dan pencegahan korupsi. Berdasarkan hasil kajian Fitra Riau, yang disampaikan Usman (Koordinator Fitra Riau), sejauh ini tingkat kesedaran akan keterbukaan informasi publik khususnya pada pemerintah daerah masih sangat minim. Salah satunya ditandai dengan belum semua daerah memiliki infrastruktur pelayanan informasi publik yang secara otomatis dapat berkeja melaku-
kan pelayanan informasi. Kedua, banyak birokrat atau pejabat yang belum memahami dan bahkan belum mengetahui UU 14 tahun 2008, semua mekanisme pelayanan informasi harus menunggu intruksi pimpinan. “Artinya pemerintah daerah kebakayakan di Riau belum memiliki system yang baik dalam pelayanan informasi publik diberbagai sektor, sehingga menyulitkan akses informasi bagi masyarakat yang membutuhkan informasi”, sebut Usman dalam kegiatan FGD mendorong Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan di Riau Transparansi juga sangat diperlukan dalam tata kelola sumberdaya alam.
Riau merupakan daerah dengan kekayaan sumberdaya alam yang cukup banyak. Mulai dari hutan, perkebunan, pertambangan dan Minyak gas bumi. Merujuk pada indeks tata kelola hutan dan lahan yang dilakukan oleh Indonesian Center For Environmental Low (ICEL), menunjukkan bahkan indeks transpransi tata kelola hutan dan lahan di Riau mendapatkan score rendah. Fitra Riau dalam mempromosikan Keterbukaan informasi publik, dilakukan dengan pendekatan advokasi dan asistensi, yang ditujukan kepada tiga stakeholder utama keterbukaan informasi. Pertama, mendorong proactive disclosure badan publik terhadap informasi publik yang wajib dipublikaskan secara berkala dan serta merta,
juga melakukan advokasi untuk mendorong pemerintah daerah menyiapkan infrastruktur yang memadai, seperti Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID), system pelayanan informasi, dan publikasi informasi publik. Kedua adalah Komisi Informasi (KI) daerah provinsi Riau, untuk memastikan transparansi diberbagai sektor, KI sangat berperan penting, bukan hanya pada peran atau tugas sebagai penyelesaian sengketa saja. Melainkan, KI dapat berperan menjadi stimulus dalam penyadaran badan publik untuk memperbaiki layanan informasi publik dan proactive membuka informasi publik. Oleh karena itu, KI menjadi mitra strategis Fitra Riau untuk mendorong percepatan per-
baikan transparansi dierbagai sektor. Ketiga, yang paling penting adalah partisipasi masyarakat untuk sadar pengetahuan, sehingga masyrakat mau melaukan akses informasi sesuai kebutuhan untuk kepentingan pribadi maupun sosial masyarakat. Berbagai upaya dilakukan oleh Fitra Riau untuk mendorong masyarakat melakukan akses informasi sesuai dengan prosedur. Sehingga tidak adalah lagi keluhan masyarkat atas pelayanan publik, anggaran dan lain-lain dengan alasan tidak ada ruang publik untuk mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Tiga komponen ini menjadi penting dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintah yang transparansi, partisipatif dan akuntabel. **
Membidani Terbitnya SK&SE KI Riau
takan di KI adalah informasi – informasi yang sama dan pernah diputuskan oleh KI. Oleh karena itu, Fitra Riau berkolaborasi dengan KI Riau bersama-sama membidani lahirnya SK dan SE KI Riau yang diarahkan untuk informasi-informasi publik yang telah dinyatakan terbuka melalui mekansiem persidangan. Untuk tahap ini SE dan SK yang dikeluarkan adalah terkait informasi sumber daya alam. “Model ini adalah pendekatan baru yang harus didorong agar tidak terjadi sengekta berulang” jelas Mahyudin Yusdar Komisioner KI Riau.
Fitra Riau, berperan aktif berkolaborasi dengan Komisi Informasi Riau dalam berbagai hal. Mulai dari membangun koalisi tahun 2012 untuk mendorong terbentuknya KI Riau, berperan aktif menfungsikan KI sebagai tempat penyelesaian sengketa informasi yang dibutuhkan Fitra Riau untuk advokasi kebijakan, sampai berkolaborasi membidani diterbitkannya Surat Edaran dan Surat Keputusan KI Riau terkait informasi tata kelola hutan dan lahan.
Lahirnya SE dan SK ini tidaklah singkat, berbagai tahapan dilalui. Fitra Riau melalui dukungan Tehe Asia Foundation (TAF), melakukan serangkain aktifitas dalam membidani SE dan SK tersebut, mulai dari Identifikasi informasi dan pengujian kategori informasi yang diselenggaran secara bersama FITRA Riau dan KI Riau, kemudian penyusuna draf SE dan SK yang dilakukan pada bulan Agustus 2016 lalu. Sampai akhirnya pada 5 oktober 2016 SK dan SE tersebut secara sah ditandangani KI Riau berdasarkan hasil rapat Pleno Komisioner KI Riau.
Hadirnya SE dan SK yang diterbitkan oleh KI Riau, terkait Tata Kelola hutan dan Lahan di Riau, bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa informasi secara berulang dengan objek informasi yang telah diputuskan oleh Komisi Informasi diberbagai daerah di Indonesia. Hal ini dorong dari fakta yang terjadi, banyak informasi yang disengke-
Lima SK dan SE yang dikeluarkan yaitu : • Putusan Komisi Informasi Nomor 01/KPTS-KI-R/ XI/2016 Tentang Kewajiban Badan Publik Untuk Menyediakan Dan Mengumumkan Informasi Publik Terkait Kebakaran Hutan Dan Lahan Di ProvinsI Riau
DokFoto Fitra Penyerahan SK & SE KI Riau
• Keputusan Komisi Informasi Provinsi Riau Nomor Nomor : 02 KPTS-KIP-R/ XU 2016 tentang Kewajiban Badan Publik Untuk Menyediakan Dan Mengumumkan Informasi Publik Terkait Izin Usaha Perkebunan Di Provinsi Riau • Surat Edaran Nomor : 01/SE-KIP-R/Xi/2016 tentang Dokumen Hak Guna Usaha Sebagai Informasi Publik Yang Terbuka Dan Wajib Disediakan Oleh Badan Publik
• Surat Edaran Nomor: 02/Se-KIP-R/XI/2016 tentang Dokumen Iuphhk, Rku, Rkt, Rpbbi, Dan Ipk Sebagai Informasi Publik Yang Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik • urat Edaran Nomor : 03/Se-KIP-R/XI/2016 tentang Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Sebagai Informasi Publik Yang Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik
Sosialisasi SE dan SK Menguji Efektifitas Inovasi KI Riau
Dok Foto Fitra Riau
Sejak, ditandatanganinya SE dan SK Komisi Informasi Riau terkait tata Kelola Sumber daya Alam di Provinsi Riau, pada 5 Oktober 2016 lalu, FITRA Riau berkolaborasi dengan KI Riau terus berupaya mensosialisasikannya khususnya kepada bdan publik terkait. Selain ke badan publik, juga sosialisasi ini dirahakan kepada masyarakat agar masaryarakat mencoba untuk mengakses guna menguji efektifitas prodak kebijakan tersebut. Kebijakan ini tentu sangat perlu disosialisasi secara terus menerus agar dapat di ketahui seluruh badan pub-
lik dan masyarakat Riau. Sosialisasi SE dan SK KI ini dilakukan sejak 30 November 2016, melalui serangkaian kegiatan Remuk Transparansi dengan mengundang seluruh badan publik terkait yang ada di Provinsi Riau. Tidak hanya itu, sosiaisasi juga dilakukan melalui roadshow PPID, didaerah-daerah potensial untuk penerapan SE dan SK KI tersebut. Seperti pada Meret 2017 lalu dilakukan di Kabupaten Siak, Pelalawan dan Badan publik Pemerintah Povinsi Riau. Dari hasil sosialisasi diatas, ditemukan ada beberapa hal yang menjadi
catatan penting bagi kita dan juga bagi pemerintah Daerah Kab. Siak, diantaranya, PPID masih awam dalam memahami UU KIP secara keseluruhan, disamping itu Dinas-dinas lainnya yang ditunjuk sebagai pembantu PPID masih belum memahami prosedur pelayanan informasi. Sehingga menjadi masalah bagi PPID utama dalam melaksanakan keterbukaan informasi,. Namun disamping hal hal tersebut PPID Kab. Siak berkomitmen terhadap keterbukaan informasi public, termasuk dengan adanya kebijakan KI Riau tentang
masyarakat guna untuk mendorong percepatan pelaksanaan keterbukaan informasi di Kabupaten Siak. Hal yang sama juga ditemukan di Kabupaten Pelalawan, bahkan daerah ini sama sekali belum menjalankan infrastruktur pelayanan informasi secara baik. Daerah ini baru ada SK PPID saja, namun belum menjalankan pelayanan informasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dok Foto Fitra Riau
SK/SE terkait TKHL. Dan juga memperkuat pemahaman pemahaman keterbukaan informasi publik kepada
Membuka informasi informasi publik adalah kewajiban bagi badan publik sesuai peraturan perundangan. Sementara mendapatkan informasi publik, adalah hak bagi setiap warga negara, termasuk didalamnya kelompok perempuan. Belum semua masyarakat sadar akan pengetahuan informasi, jikapun ada jumlahnya sangat terbatas hanya ada pada kalangan masyarakat tertentu. Sebagian masyarakat berpendapatan, bahwa urusan pemerintah bukan menjadi masayrakat, sehingga tidak perlu untuk ikut campur apalagi sampai meminta informasi. Sebagian yang lain, rasa keingintahuan sampai pada upaya mendapatkan informasi terkendala karena sulitnya mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu, FITRA Riau menilai bahwa masih banyak kelompok – kelompok masyarakat yang belum mengetahui secara lebih jelas, bagaimana memanfaatkan UU KIP sebagai sarana untuk mendapatkan informasi publik. Oleh karena itu, maka Jumat, 24 Maret 2017, bertempat di Kantor FITRA Riau, menyelenggaran pelatihan singkat bagi kelompok perumpuan di Pekanbaru terkait pentingnya informasi publik dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Secara prinsip, daerah berkomitmen untuk menjalankan SE dan SK Komisi Informasi tersebut, namun
terlebih dahulu harus membereskan infrastruktur layanan informasinya. Akan tetapi, pemerintah daerah bersedia menyampaikan SE dan SK ini kepada pimpinan tertinggi daerah dalam hal ini Bupati daerah setempat. Pemerintah sangat berharap, sebagai bagian tugas dan tanggung jawab maka seyogyanya prinsip transparansi harus dijalankan semua lini penyelengaraan pelayanan publik diberbagai sektor, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan kebijakan. ***
Mendorong Perempuan Sadar Informasi
Dok Foto Fitra, Diskusi Bersama Kelompok perempuan
Kegiatan ini dIhadiri oleh sepuluh peserta yang semuanya berasal dari perwakilan kelompok perempuan di Pekanbaru, seperti Mapala, Kohati HMI Pekanbaru, komunitas mahasiswa lainnya. Difasilitasi oleh Koordinator Devisi Advokasi dan Riset Fitra Riau, Tarmizi, membedah kebutuhan informasi publik yang paling mendasar. Taufik, Staff Devisi Advokasi Fitra Riau, yang juga Program Officer Program Stapak II yang dilaksanakan Fitra Riau mengatakan, bahwa kegia-
tan ini dilakukan untuk membangun kesedaran bagi kelompok perempuan untuk melakukan akses informasi publik sesuai kebutuhannya. Tentu, lanjutnya diawali dengan pengetahuan yang paling dasar mengenai apa itu informasi publik dan apa saja kegunaanya bagi masyarakat. Kegiatan yang dilakukan selama sehari ini, telah mampu menggerakkan hati peserta untuk turut serta terlibat aktif dalam mendorong ketebukaan informasi publik. Hal itu, ditandai den-
gan masing-masing perserta memilih informasi yang dibutuhkan dan akan melakukan akses pada badan publik sesuai informasi yang diminta. Salah satu peserta, Yusnita, perwakilan dari Kohati HMI Pekanbaru, mengatakan bahwa selama ini dirinya ingin sekali mengetahu informasiinformasi yang berhubungan dengan daerahnya. Akan tetapi, selama ini belum menetahui bagaimana caranya dan cenderung takut untuk berurusan dengan badan publik. Melalui kegiatan ini, Yusnita akan mencoba
melakukan permohonan akses informasi terkait Dokumen aset Bangunan Kabupaten Inhu. Dokumen RPJMD 2016 – 2021 KAB Inhu, Informasi Dokumen HGU, Dokumen AMDAL, IUPPHK, RKUPHHK-HT, RKT-HA Pada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Inhu. Begitu juga peserta yang lainnya, Rezi Ananda, Mery Handayani, WIka, Nurfatin dan peserta lainnya, juga telah memilih informasi apa saja yang akan diminta kepada badan publik terkait sesuai kebutuhan mereka. Seperti,
keuangan kampus, anggaran APBD, informasi Lingkungan Hidup, dan informasi lainnya didaerah-daerah tempat mereka berasal. Taufik, berharap kepada peserta agar segera melakukan akses informasi, sementara Fitra Riau siap untuk melakukan pendampingan jika mendapatkan kendala-kendala dilapangan. Taufik juga berharap dengan ikutnya partisipasi kelompok perempuan terhadap keterbukanan informasi, dapat mendorong perbaikan derajat keterbukaan informasi publik di Riau.
Anak Talang INHU Harus Tahu Informasi
Dok Foto Fitra Riau Anak Talang Inhu
Bertempat di salah satu rumah warga desa anak talang kecamatan batang cenaku, FITRA Riau bersama warga anak talang menggelar diskusi terkait keterbukaan informasi. Diskusi yang dilaksanakan Jumat, 26 Februari 2016, dikhususnya terkait keterbukaan informasi dan hak warga atas informasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kebijakan pemerintah baik tingkat pusat maupun level pemerintah daerah. Diikuti 15 peserta yang berasal dari pemuda desa anak talang yang merupakan komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indragiri Hulu. Tarmizi menfasilitasi proses dikusi mengawali dengan memperkenalkan pentingnya keterbukaan informasi public disemua sektor khususnya di sektor pengelolaan sumber daya alam di daerah. Tarmizi menjelaskan , Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah di Riau yang memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Juga merupakan daerah yang menjadi target investasi berbasis hutan dan lahan di Provinsi Riau. Ratusan perusahaan yang memiliki konsesi dibebagai sektor, mulai dari pertambangan (migas dan pertambangan minerba), kehutanan, serta investasi perkebunan sekala besar. Keterbukaan informasi menjadi penting untuk terus didorong untuk itu perlu partisipasi masyarakat yang sangat kuat dalam melakukan pengawasan, salah satu strateginya adalah mendorong praktek transparansi dalam tata kelola kebijakan hutan dan
lahan. Pengenalan UU KIP sebagai intrumen untuk mendapatkan informasi publik, sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat anak talang. Apalagi bertepatan saat ini masyarakat batang cenaku khususnya di desa anak talang, sedang dihadapkan dengan munculnya pembukaan lahan oleh salah satu perusahaan (PT. Runggu) yang berada di desa tersebut. Menurut Jhoni Iskandar, salah satu peserta yang mengikuti pelatihan singkat tersebut, mengungkapkan bahwa pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam masih sangat tertutup sekali. Sehingga saat ini, misalnya ada perusahaan yang masuk di desa anak talang namun masyarakat tidak mengetahui, kapan perusahaan tersebut mengeluarkan izinnya. Masyarakat, meunurutnya juga jarang bahkan tidak pernah mencoba mencari informasi resmi dari pemerintah daerah. Karena tidak memahami bagaimana mekanismenya yang harus ditempuh masyarakat untuk mendapatkan informasi. Warga juga merasa kecewa ketika meminta informasi tidak diberikan oleh pemerintah. Namun dia mengakui belum pernah memanfaatkan intrumen UU KIP sebagai alat untuk mendapatkan informasi. Selain, Tarmizi, sebagai fasilitator pelatihan singkat ini, Taufik juga menjelaskan bahwa di Indragiri Hulu telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dengan demikian, sebenarnya di Kabupaten Inhu ini, cara untuk mendapatkan informasi sangat lah mudah. Warga tidak perlu untuk mondar mandir ke
dinas-dinas, karena sudah ada meja layanan khusus untuk mengajukan permohonan informasi tersebut. Proses diskusi terus berjalan, selanjutnya peserta difasilitasi untuk mengindentifikasi kebutuhan informasi yang dibutuhkan. Baik informasi yang berkaitan dengan rencana advokasi penyelamatan lingkungan hidup maupun informasi lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Peserta juga diajak untuk mengidentifikasi keberadaan atau mengindentifikasi siapa badan publik yang menguasai dokumen-dokumen tersebut. Beberapa dokuman yang dilist untuk selanjutnya akan diminta oleh masyarakat adalah, DOkumen Hak Guna Usaha perusahaan yang beroperasi di Kecamatan batang Cenaku, Peta Kawasan, Surat – Surat Izin Operasional perusahaan, Izin Usaha Perkebunan Perusahan, dan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Perusahaan. Selain Informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya Alam, peserta juga melis dokumen/ informasi lainnya yang akan segera di minta ke pemerintah daerah dan Pemerintah Desa. Seperti dokumen anggaran APBD, dokumen rencana kerja pemerintah daerah di sektor perkebunan dan kehutanan serta badan Lingkungan Hidup. Peserta juga meminta FITRA Riau untuk melakukan pendampingan dalam proses akses informasi. Fitra Riau menyanggupi untuk melakukan pendampingan jika permohonan informasi harus bersengketa di Komisi Informasi. **
Menyusun Intrumen Penilaian Kinerja Keterbukaan Informasi TKHL Riau
Berbagai upaya untuk mempromosikan transparansi telah dilakukan oleh FItra Riau dengan bekerjasama pihak –pihak terkait lainnya. Salah satunya adalah dengan mendorong KI Riau inovative untuk mengeluarkan produk kebijakan untuk menjembatani percepatan perbaikan informasi publik khususnya pada sektor tata kelola hutan dan lahan. Secara umum juga informasi publik lainnya diberbagai sektor. Selama ini, penilaian kinerja ketebukaan informasi, hanya dinilai oleh Komisi Informasi saja dengan istilah pemeringkatan. Oleh karena itu, sebagai perbandingan penilaian maka FITRA Riau juga akan turut berperan dalam melakukan penilai kinerja ketebukaan informasi publik di beberapa daerah di Riau. Agar penilaian yang dilakukan dapat diterima dengan metode dan pendekatan yang ilmiah, maka dibutuhkan intrumen penilaian.
Dok Foto Fitra Workshop Expert Meeting Untuk itu, bertempat di Pekanbaru, dengan dukungan the Asia Foudation, Fitra Riau menggelar workshop bersama expert / ahli untuk menyusun intrumen penilain kinerja keterbukaan informasi publik di Provinsi Riau. kegiatan diselenggaran selama sehari, 13 Maret 2017, dengan menghadirkan pada expert yang sudah lama berkecimpung dalam dunia keterbukaan informasi publik. Kegiatan ini juga, menghadirkan anggota Komisoner KI Riau terpilih, yaitu Joni Swtiawan Mundung, Alnofrizal, Tatang Yudiansyah, dan Khaznah Ghazali. Sementara satu komisoner terpilih tidak hadir karena ada agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan. Triono Hadi, Program Manager Stapak II Fitra Riau mengatakan, bahwa upaya mendorong ketebukaan informasi publik harus terus dilakukan. Bahkan, CSO penting untuk melakukan penilaian dengan metode dan pendekatan yang tepat. Agar hasil dari penilaian tersebut tentunya dapat diterima dan berkontribusi untuk perbaikan derajat keterbukaan informasi publik. “Kami sengaja mengundang sluruh komisoner terpilih, agar nantinya dapat menjadi mitra kerja yang baik untuk bersama –sama memastikan diimplementasikannya UU KIP di Riau”, jelas Triono. Kegiatan ini menghadirkan Desi Eko Prayitno, pegiat keterbukaan infromasi, sebagai fasilitator, serta menghadirkan narasumber utama sebagai pengantar diskusi yaitu, Mahyudin Yusdar. Kegiatan tersebut menghasilkan beberapa catatan penting, diantara; Komitmen bersama untuk menguji kinerja keterbukaan informasi dan akan diakui Komisi Informasi Riau sebagai dasar pengujian kinerja keterbukaan informasi kedepan. Selain itu, menghasilkan pendekatan penilaian kinerja keterbukaan informasi publik di Riau. Meletakkan satu intrumen khusus penilaian pada objek informasi terkait tata Kelola hutan dan lahan di Riau.
Menolak Pemborosan Penggunaan APBD Tahun 2017, hampir seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Riau dilanda fenomena kesulitan keuangan daerah. Akibatnya, program pembangunan dan pelayanan sosial dasar yang mestinya harus diberikan kepada masyarakat akhirnya tertunda. Kebijakan merumahkan dihonorer yang telah dilakukan beberapa kabupaten akibat tidak mampunya keuangan untuk membayar berpotensi akan menambah jumlah
penganguran. Tahun 2015, BPS mencatat angka penganguran terbuka Provinsi Riau sebesa 7,8%, meningkat dari tahun 2014 yaitu 6,6%. Ditengah, pemerintah daerah yang katanya mengalami kesulitan anggaran, akan tetapi pemerintah Provinsi Riau justru masih menunjukkan pola pemborosan dalam merencanakan anggaran tahun 2017. Fitra Riau mencatat terdapat anggaran sebesar Rp. 1,03 Triliun yang dibelanjakan un-
Setengah Triliun Untuk Perjalanan Dinas Pemerintah provinsi Riau menganggarkan Rp. 514 Milyar untuk perjalanan dinas pejabat. 33% atau Rp. 174,7 Milyar digunakan untuk belanja perjalanan dinas anggota DPRD Provinsi Riau. Bahkan parahnya lagi pemerintah provinsi Riua tetap menganggarkan belanja untuk wakil gubenur, padahal hingga saat ini wakil gubenur Riau belum ada. Pada APBD 2017 terdapat beberapa kegiatan dewan berpotensi memboroskan keuangan daerah sebesar Rp174,7 milyar, diantaranya; kunker dewan dalam/ luar daerah
tuk 13 jenis kegiatan yang tidak berdampak langsung terhadap publik. Belanja tersebut yaitu, belanja Perjalanan Dinas, Belanja Makan Minum, Belanja Listrik perkantoran, Belanja Cetak dan penggandaan, Belanja tas kegiatan, logistic rumah tangga, plakat, dekorasi dokumentasi. Selian itu ada belanja premi asuransi untuk pegawai, pakai dinas, honorarium PNS (untuk pelaksanaan kegiatan), perawatan kendaraan dinas. Belanja lainnya seperti publikasi, sewa tenda
sebesar Rp.56,8 milyar, kunker AKD sebesar Rp58,5 milyar dan kegiatan reses dewan sebesar Rp30,4 milyar. Lebih parah lagi, terdapat biaya kunjungan kerja luar negeri pimpinan dan anggota dewan sebesar Rp28,8 milyar yang selalu naik dari tahun sebelumnya, tahun 2016 sebesar 12,7 milyar dan tahun 2015 sebesar Rp7,4 milyar. Dari total biaya tersebut mencapai Rp.49 milyar selama tiga tahun terakhir, tidak terlihat sama sekali hasil yang dibawa pulang oleh anggota dewan selain dari kegiatan foya-foya diluar negeri.
Secara rinci, kunker luar negeri dewan tersebut akan dilakukan untuk satu kali kunjungan, maka dari 65 orang anggota dewan akan menghabiskan anggaran sekitar Rp444 juta/ orang, ini jelas merupakan bentuk pemborosan yang dilakukan dewan, bahkan kunjungan luar negeri dewan akhir tahun 2016 lalu sama sekali tidak membawa dampak perbaikan terhadap kinerja dewan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, prilaku boros juga terdapat pada belanja kebutuhan dua orang pejabat tinggi Riau (Gubernur dan Wakil Gubernur), dianggarkan sekitar Rp.13,5 milyar tahun 2017, diantaranya akan digunakan untuk membiayai perjalanan dinas sebesar Rp3,6 milyar, makan minum Rp7,1 milyar, pelayanan rumah tangga Rp2,2 miyar dan pakaian dinas Rp622 juta. Fitra Riau menilai, bahwa kondisi diatas menunjukkan semangat efisiensi anggaran pemerintah belum tercermin dalam perencanaan anggaran daerah. Masih banyaknyya anggaran yang dialokasi secara berlebihan juga sangat
berpotensi menjadi ruang korupsi, apalagi anggaran – anggaran tersebut merupakan anggaran habis pakai yang sangat mudah untuk di selewengkan. Fitra Riau juga bahwa Kementrian Dalam Negeri yang bertugas melakukan verifikasi atas rancanagan APBD pemerintah Provinsi Riau tidak serius dalam melakukan evaluasi. Faknya, masih banyak anggaran yang dialokasikan secara berlebihan lolos dalam evaluasi tersebut. Oleh karena itu, dikarenakan belum terlambat, maka FITRA Riau menyarakan kepada Gubenur Riau untuk melakukan evaluasi kembali atas perencanaan anggaran APBD tahun 2017. Memperketat anggaran perjalanan dinas serta anggaran – anggaran lain yang tidak perlu dilaksanakan tahun pada tahun ini. Gubenur Riau harus melakukan realokasi anggaran yang syarat dengan pemborosan tersebut untuk anggaran – anggaran yang lebih dibutuhkan kepada publik. ***
Diskusi Membedah APBD Advokasi Anggaran Melalui Litigasi
Dok Foto Fitra Sedang berlangsung diskusi mengenasi APBD Riau
Satu sisi pemerintah daerah Provinsi Riau boros dalam merencanakan APBD, hasil analisis yang dilakukan oleh FITRA Riau menunjukkan bahwa lebih dari Rp. 1 triliun APBD Riau digunakan untuk belanja yang tidak memiliki dampak langsung terhadap
pelayanan publik dan kepentingan publik. Namun, dilain sisi pemerintah pelit untuk menganggarkan belanja daerah yang memberikan dampak terhada hajat hidup orang banyak. Alasannya adalah anggaran mengalami rasionalisasi akibat penurunan
pendapatan. Selasa, 28 Maret 2017 Fitra Riau menggelar diskusi dengan menghadirkan expert dan praktisi hukum untuk membedah secara lebih dalam hasil analisi yang dilakukan oleh FITRA
Riau. Dengan menghadirkan narasumber, untuk memberikan masukan serta menyusun rencana advokasi anggaran kedepan. Alokasi belanja kesehatan yang tersedia dalam APBD Provinsi Riau Tahun 2017 tidak mencukupi sebesar 10% diluar gaji pegawai, sebagaimana ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Saat ini pemerintah hanya mengalokasikan belanja kesehatan sebesar 6,75% atau Rp742,5 Milyar dari total belanja daerah sebesar Rp11,08 triliun. Artinya, dari total belanja daerah tersebut pemerintah Provinsi Riau harus mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan kesehatan adalah sebesar Rp1,1 triliun. Selain itu, alokasi anggaran yang masih minim adalah alokasi belanja kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang termuat dalam perda APBD tersebut diduga bertentangan dengan Intruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Karhutla. Bahwa Selain alokasi anggaran yang tidak memadai
terhadap upaya pengendalian karhutla selama ini. Program/kegiatan pengendalian karhutla yang dilakukan pemerintah Provinsi Riau melalui kebijakan anggaran dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016 Tentang APBD Provinsi Riau Tahun 2017, belum seluruhnya mematuhi Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Karhutla, khususnya pada ketentuan huruh (f) dan huruf (g) pada angka 19 Inpres No. 11 tahun 2015, yaitu terkait skema pengawasan, evaluasi serta penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, hal tersebut tidak menjadi program kegiatan dalam belanja daerah. Pendanaan percepatan perhutanan sosial sebagaimana yang terdapat pada APBD Provinsi Riau tahun 2017 belum seluruhnya mematuhi ketentuan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen-LHK) Nomor 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial, diantaranya sebagaimana ketentuan
pasal 7, terkait pendelegasian HPHD, pasal 52 ayat 5 terkait penyusunan RPHD, pasal 53 ayat 1 terkait masa berlaku HPHD, dan pasal 61 ayat 2 terkait fasilitasi percepatan perhutanan social. Sementara pemerintah provinsi Riau saat ini hanya melakukan verifikasi PIAPS dan perhutanan social, di samping itu ketersediaan biaya juga sangat minim. Hasil diskusi tersebut FItra Riau menyusun langkah –langkah advokasi kebijakan anggaran khususnya pada tiga sektor itu. Salah satunya adalah sinyal untuk melakukan gugatan (litigasi) perda APBD nomor 8 tahun 2016 tentang APBD Riau 2017 ke Mahkamah Agung. Akan tetapi sebelum menggunakan langkah tersebut, maka Fitra Riau akan memperdalam analisi dan kajian untuk memperkuat basis argumentasi gugatan APBD tersebut. Langkah litigasi dalam advokasi kebijakan anggaran pernah dilakukan oleh FITRA Riau pada tahun 2013. FItra Riau megajukan gugatan ke Mahkamah Agung Perda APBD tahun 2013 berkerjasama Koalisi APBD di Provinsi Riau.
Terlibat Dalam Koalisi Anti Korupsi
Fitra Riau terlibat dalam gerakan anti korupsi berkilaborasi dengan lembaga CSO lainnya di Provinsi Riau. Seperti Jikalahari, Riau Corruption Trial (RCT), Lembaga bantuan Hukum Pekanbaru (LBH-Pekanbaru), serta lembaga lainnya di Provinsi Riau. Salah satu isu penegakan hukum tindak pidana korupsi di Riau adalah, vonis bebas terdakwa korupsi APBD Riau yang dijatuhkan oleh hakim PN Pekanbaru. Sementara satu terdakwa yang juga koleganya dijatuhi hukum 5,6 tahun penjara disertai dengan denda. Vonis berbeda terhadap terdakwa korupsi tesebut memunculkan pertanyaan dikalangan masyarakat termasuk CSO di Riau. Persoalan Vonis bebas Bupati Non aktif Rokan Hulu, menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat Riau. pasalnya putusan hakim dalam memvonis bebas tersangka sangat disayangkan public. Ketika di tengah semangat melawan keterpurukan korupsi yang di riau, baru kali ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kalah dalam persidangan. Sehingga dari beberapa kalangan masyarakat sipil anti korupsi meragukan integritas dan kredebilitas Hakim. Jumat, 24 Februari 2017, Koalisi Pemantau Penegakan Hukum di provinsi Riau menggelar konferensi Pers secara bersama menyampaikan beberapa tuntutan, yaitu mendesak komisi yudisial segera melakukan investigasi terhadap hakim yang menangani perkara korupsi suparman. Selanjutnya, koalisi mendorong Jaksa untuk melakukan kasasi ke Mahkamah agung, dan melakukan pengawasan terhadap hakim yang menangani perkara korupsi khususnya di Provinsi Riau. Selain itu, koalisi juga mendorong KPK mengikutsertakan masyarakat dalam memandatu proses persidangan perkara korupsi di pengadilan.
Mencegah Fraud Pelaksanaan BPJS
Dok Fitra Riau seang berdiskusi dengan pihak rumah sakit
Salah satu upaya negara dalam memberikan jaminan kesehatan kepada warganya adalah dengan menerapkan program Jaminan Kesehatan melalui Penyelenggaran Jaminan Keshatan (BPJS). Kelompok warga miskin kemudian mendapatkan bantuan iuran dari pemerintah melalui program PBI. Dengan demikian, maka kelompok warga tersebut terutama yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan tidak lagi bermasalah dengan akses terhadap faskes. Meski memiliki akses memadai atas layanan kesehatan, ternyata warga masih menghadapi kendala mendapatkan pelayanan bermutu dan berkeadilan. Sebagian dari mereka harus mendapatkan layanan ala kadarnya dari faskes dan bahkan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari petugas atau penyelenggara faskes. Kondisi tersebut juga ditemui di
Provinsi Riau. Sebagai Civil Societi Organisasi, FITRA Riau memandang perlu untuk memperhatikan akses dan mutu pelayanan kesehatan terutama bagi warga kurang mampu di Provinsi Riau. Agar pelayanan publik khususnya disektor kesehatan ini bernar-benar dijalankan secara layak, baik, dan memberikan kemudahan akses bagi setiap warga. Fitra Riau bermitra dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), melakukan serangkaian kegiatan untuk mendorong perbaikan layanan BPJS kesehatan di provinsi Riau. Kegiatan yang dilakukan yaitu, melakukan kajian untuk mengidentifikasi potensi Fraud yang berpotensi dilakukan oleh penyelenggaran layanan BPJS, baik BPJS maupun rumahsakit. Selain itu, Fitra Riau juga melakkan pendampingan warga yang sedang membutuhkan akses layanan kesehatan menggunakan BPJS.*** Sejak Februari 2017, Fitra Riau melakukan pendampingan terhadap pasien peserta jaminan kesehatan BPJS di provinsi Riau. Pendampingan tersebut diberikan kepada pasienpasien peserta BPJS PBI yang dibayarkan baik APBN maupun pasien PBI yang dibayarkan oleh APBD. Pendampingan dilakukan di rumah sakit Umum khususnya RSUD Arifin Ahmad dan Rumah sakit swasta di Provinsi Riau. Gusmansyah, salah satu tim pendamping pasien, mengatakan bahwa pendampingan ini dilakukan sebagai upaya untuk mengidentifikasi potensi fraud baik dilakukan oleh pihka rumah sakit maupun pihak lainnya yang bekepentingan. Karena, dalam realitanya pihak – pihak utama yang terlibat dalam tindakan fraud BPJS adalah, pihak rumah sakit, dokter, apoteker, hingga ke pasien itu sendiri. Terapat 14 pasien yang sudah diberikan dampingan, mulai dari awal masuk ke rumah sakit hingga ke keluar dari rumah sakit. Pendampingan ini difokuskan bagi pasien yang mendapatkan layanan rawat inap di rumah sakit. Dari 14 pasien yang didampingi tersebut, beragam permasalahannya yang dihadapi. Seperti ada yang sudah dua minggu dirumah sakit tetapi bulan mendapatkan diagnose penyaktinya dan tindakan lanjutan yang harus dilakukan oleh dokter dan rumah sakit. Ada juga pasien yang sudah satu minggu dirawat namun samasekali belum dikunjungi oleh dokter sepesialis. Selain itu, uga ditemukan adanya pasien yang diminta rumah sakit untuk membeli obat diluar rumah sakit. Ismail, (60) adalah salah satu pasien yang didampingi di rumah sakit umum daerah (RSUD Arifin Ahmad). Sebelumnya Ismail dirawat dirumah
Pendampingan Pasien BPJS
dok fitra mendampingi pasien
RSUD Tembilahan Indragiri Hilir selama satu minggu, kemudian dirujuk di RSUD Arfin Ahmad, sudah dua minggi pasien dirawat di rumahs akit tersebu namun belum mendaatkan tindakan lanjutan yang dilakukan oleh rumah sakit. Ismail didiagnoas mengidap penyakit tumor. Kondisi serupa juga dialami pasein lainnya, lambatnya proses penanganan, akibat kekerangan dokter menjadi kendala utama dalam pelayanan kesehatan bagai masyarakat. Akan tetapi, dari 14 pasien yang didampingi ada juga yang merasa dilayani dengan baik oleh pihak dokter dan rumah sakit. Selain pendampingan pasien, kajian ini juga dilakukan dengan metode wawancara kepada pihak-pihak terkait di Provinsi Riau. Seperti, puskesma, rumah sakit, BPJS Perwakilan Riau, Dinas Kesehatan dan para dokter.
Wawancara mendalam ini dilakukan untuk menggali informasi, mencari data dan informasi terkait implementasi pelayanan BPJS. Minimnya standar biaya yang ditetapkan oleh BPJS menjadi keluhan khsususnya pihak rumah sakit dan puskesma. Bahkan akibat rendahnya biaya rumah sakit menolak pasien BPJS, bukan hanya yang peserta PBI, bahkan pasien yang mandiri juga ditolak. Ada juga yang tidak menolak akan tetapi memberikan pelayanan yang ala kadarnya, seperti pasien dengan penyakit yang membutuhkan biaya besar, tidak dilayani dengan baik namun hanya dirawat dengan pengobatan biasa tanpa tindakan lanjutan. Pelaksanaan kajian menggali potensi fraud akan terus dilakukan melalui proses pendampingan pasien dan metode lainnya. ***