DARI redaksi Pelindung: Kepala BPKP
Introspeksi Menuju Perubahan
Pembina/Pengarah: Sekretaris Utama Penasehat: Para Deputi Kepala BPKP Penanggung Jawab: Kepala Biro Hukum dan Humas Kontributor Ahli: Ardan Adiperdana, Bambang Utoyo, Para Kepala Pusat, Kepala Biro Perencanaan Pemimpin Umum: Kepala Bagian Humas dan Hubungan Antar Lembaga Pemimpin Redaksi: Tri Wibowo
Pembaca WP Setia, Mungkin bagi sebagian orang, berlalunya satu tahun menuju tahun berikutnya merupakan sesuatu yang biasa. Berbagai perlehatan tahun baru seperti “pesta tahun baru” menunjukkan betapa tahun baru menjadi hari yang dinantinanti setiap orang. Namun, adakah satu dari kita yang melakukan evaluasi diri sudah bermaknakah usia kita di tahun ini dan apa yang akan kita perbuat di tahun 2012? Rutinitas yang sudah pasti menyita waktu kita sepertinya tidak menyisakan waktu meski hanya untuk introspeksi diri. Padahal hal
baca akan informasi pengawasan. Dengan keterbatasan personil, edisi kali ini memerlukan energi yang lebih. Namun, dengan orientasi pada kepuasan pembaca, kami tetap berupaya memberikan yang terbaik yang dapat kami berikan. Pembaca WP Setia, Menjelang penulisan edisi ini, berita media massa banyak mengulas tentang utang pemerintah, untuk itu redaksi mencoba menghadirkan materi tentang utang pemerintah, mulai dari melihat efektivitas utang pemerintah, utang dari aspek regulasi, pengawasan atas efektivitas,
Pemimpin Administrasi: Suhadril Redaktur Pelaksana: Nani Ulina Kartika Nasution
1
Staf Redaksi: Harry Jumpono Kurniawan, Sri Hartanti Staf Administrasi Ajat Sudrajat, Yustinus Santo Nugroho, Idiya Zikra Staf Sirkulasi/Distribusi: Edi Purwanto, Adi Sasongko
Redaksi menerima tulisan (laporan, reportase, feature, dan saduran), yang berkaitan dengan masalah pengawasan. Tulisan yang masuk menjadi milik redaksi, tulisan hendaknya diketik dengan spasi satu setengah. Maksimal 4 halaman A4. Isi Warta Pengawasan belum tentu mencerminkan kebijakan, pendapat, dan sikap penerbit (BPKP).
para kontributor ahli saat sidang redaksi penentuan topik warta utama
tersebut sangat penting kita lakukan untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Pembaca WP Setia, Tidaklah berlebihan jika kami segenap redaktur majalah Warta Pengawasan mengajak semua orang untuk berbenah diri sehingga kita dapat menjadi pribadi yang lebih bermakna di tahun 2012. Pergantian tahun, membawa redaktur untuk mengevaluasi kinerja, apakah tulisan yang kami sajikan telah menjawab kebutuhan pem-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
dan permasalahan seputar pengelolaan utang pemerintah. Di samping itu, materi-materi seputar pengawasan juga kami coba sajikan. Pembaca WP Setia, Menyambut tahun 2012, kami segenap redaksi majalah WP mengucapkan Selamat Tahun Baru dan Selamat Hari Natal bagi yang menjalankannya. Semoga tahun 2012 dapat kita isi dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermakna bagi kita dan BPKP
Salam Redaksi
DAFTAR isi
21 Sejak awal tahun 2011 ini, negara-negara di Benua Eropa mengalami suasana batin “harap-harap cemas” menyusul perkembangan yang terjadi pada Yunani terkait Utang Pemerintahnya. Lalu, Bagaimana dengan Utang Pemerintah Indonesia ? dan bagaimana dengan Pengawasan terhadap utang Pemerintah di Indonesia ?
2
1 Dari Redaksi 2 Daftar Isi 3 Kontak Pembaca 4 Editorial Round Up 5 Sudah Efektifkah Utang Pemerintah Indonesia Warta Utama 8 Selayang Pandang Pengelolaan Utang Pemerintah 11 Portofolio Utang : “Antara Politik dan Angka 14 Pinjaman LN atau SUN 16 Portofolio Utang: Antara Politik dan Angka 18 Utang Pemerintah On The (Media) Spot 20 Hibah Langsung: Kelemahan Pengendalian Intern Berbuah WDP 21 Pengawasan atas Utang Pemerintah: Mengumpulkan Keping Gambar yang Berserakan 25 Pengawasan Utang Pemerintah Perlu ditingkatkan 26 Mendesak Pre Audit dan Current Audit terhadap PHLN 27 Perlu Performance Audit untuk Melihat Efektivitas Utang Negara 28 Meninjau Risiko Utang Pemerintah 30 Mengendalikan Utang Pemerintah dengan SPIP
okoh 32 Hadi Purnomo,Ketua BPK RI: Komunikasi BPK dan APIP Harus Baik
Warta Pusat 34 Regional Public Sector Conference: Akuntansi Sektor Publik bagi Kese jahteraan Masyarakat 37 Open Government Knowledge Forum 39 Update Knowledge Demi Sebuah Trust 42 Jangan Terperangkap dalam Ketidaktahuan Manajemen 45 Pengeloaan Risiko Atas Reputasi Kolom 48 THBRM di Instansi Pemerintah Suatu
Tantangan Baru 50 Perkembangan Konsep Internal Control versi Coso 52 Akuntabilitas Pembiayaan dalam Penanggulangan Bencana Profesi 54 Konsultasi JFA 58 Komite Sertifikasi, Menjaga Kualitas SDM Internal Auditor Pemerintah GCG 60 ASEAN-Supreme Audit Institutions:: Integritas: Solusi Kebal Terhadap Krisis 62 Mengenal Lebih Jauh The Asian Roundtable on Corporate Governance: Update of The White Paper on Corporation Governance in Asia Budaya Kerja 66 Mensinergikan Budaya Kerja, SPIP dan RB Teknologi Informasi 68 E-Government: Menuju Layanan Publik Berbasis IT Warta Daerah 73 Diklat dan Modul-Modul Kita Perlu di Upgrade 74 Humas Pemerintah di Era Reformasi 76 Low Cost High Explosive Apa Siapa 80 Kebijakan Abu-Abu 81 Don’t Blame Anyone Reformasi Birokrasi 82 Benarkah Reformasi Birokrasi Gagal Total Seputar Kita 85 Sederhana, Bukan Berarti Tidak Profesional MoU 86 Menggapai Kebermaknaan BPKP BPKP dalam Berita 90 Telusuri Penyebab sebagai Memperoleh WTP 92 PNBP: Potensi, Permasalahan dan Pemecahannya 94 Akrual Basis Sebuah Tuntutan 95 Saat Istri Mengatakan “Tidak” pada KKN 96 LSP-AF Media Lahirkan Auditor Forensik
Alamat Redaksi/Tata Usaha: Gedung BPKP Pusat Lantai 1 Jl. Pramuka No. 33 Jakarta Timur 13120 Tel/Fax. 62-021-85910031, pes 0102 dan 0103, Diterbitkan Oleh: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Berdasarkan: Keputusan Kepala BPKP Nomor: Kep-73/K/SU/2010 Tanggal 28 Januari 2011 STT Nomor: 958/SK/Ditjen PPG/STT/1982 Tanggal 20 April 1982 ISSN 0854-0519 Home-page: http://www.bpkp.go.id. e-Mail:
[email protected]. Dilarang mengutip atau memproduksi seluruh atau sebagian isi majalah tanpa seijin redaksi. WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
KONTAK pembaca Yth. Redaksi Warta Pengawasan Saya sangat senang membaca majalah Warta Pengawasan, namun sebaiknya lebih banyak menyajikan materi dalam bentuk kasus-kasus yang ditemukan dalam pengawasan sehingga dapat menginspirasi APIP dalam melaksanakan pengawasan. Syamsudin Sekretaris Inspektur Kabupaten Ngawi Jawa Timur Terima kasih atas perhatian saudara terhadap majalah Warta Pengawasan. Saran dan
masukan saudara akan dapat meningkatkan pengeloaan majalah Warta Pengawasan. Sebagai referensi anda dapat membacanya pada edisi Vol XVIII/No.3/ September 2011 dan kedepan akan kami prioritaskan Yth. Redaksi Warta Pengawasan Kami pernah membaca majalah Warta Pengawasan, isinya sangat informatif. Sebagai pengurus Bakohumas dan pengelola majalah Warta Bakohumas, kami sangat berharap adanya kerja sama antara majalah Warta Pengawasan dengan kami dalam hal pertukaran informasi. Mungkin ada kebijakan BPKP yang
harus segera diketahui oleh seluruh instansi, dapat di publikasikan melalui Warta Bakohumas yang kami kirim ke seluruh Kementerian dan seluruh instansi baik pusat maupun daerah. Terima kasih atas perhatiannya. Katmi Pengurus Bakumas Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika Terima kasih atas perhatian saudari terhadap majalah Warta Pengawasan. Usul saudari akan kami tampung dan kami teruskan kepada pimpinan kami.
3
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
EDITORIAL
Sudah Ambrukkah Akuntabilitas Kita ?
J
4
embatan Kukar Ambruk ! Sekejap kita terpana. Jembatan kebanggaan masyarakat Kalimantan Timur sepanjang 710 meter tersebut tiba-tiba runtuh membawa sejumlah korban jiwa dan materi. Yang membuat kita tercenung, bukan sekedar bencana dan jumlah korbannya, tapi bagaimana mungkin jembatan dengan konstruksi seperti itu bisa runtuh ketika usianya belum beranjak 10 tahun? Menjadi tanda tanya bagi kita jika membandingkannya dengan jembatan besi peninggalan Belanda yang usianya mencapai 100 tahun dan masih berdiri tegak hingga saat ini. Bencana ini layak menjadi perhatian, mengingat saat ini Indonesia masih memiliki beberapa jembatan serupa. Di depan mata, kita tengah berencana membangun jembatan yang membentang di Selat Sunda. Walau pada awalnya kita bangga dengan infrastruktur hasil karya putra bangsa sendiri tersebut, namun kejadian ini memaksa kita untuk melakukan evaluasi diri. Mengapa bisa terjadi demikian? Saat ini beberapa pakar teknik jembatan dan aparat penegak hukum memojokkan dua pihak, yaitu pihak pelaksana pembangunan jembatan (perencana, pelaksana dan pengawas) dan pihak yang melakukan perawatan jembatan. Yang memojokkan pihak pelaksana, menyoroti terjadinya kegagalan struktur hingga mengakibatkan tiang jembatan melengkung hingga 15 cm, dan otomatis mengakibatkan gelagar (lantai) jembatan melengkung ke bawah 75 cm saat terjadinya bencana. Sementara yang lain menyoroti
tata cara perawatan jembatan sebagai penyebab runtuhnya jembatan. Runtuhnya jembatan terjadi ketika pekerja yang tengah memperbaiki turunnya gelagar, menyetel ulang kabel penggantung satu per satu. Pada saat itu sebagian jembatan masih dipergunakan oleh masyarakat. Disinyalir, pelaksanaan pengencangan kabel penggantung tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Apapun nanti hasil penyelidikan, ambruknya Jembatan tersebut telah menampar wajah banyak pihak di negeri ini. Runtuhnya jembatan dengan konstruksi seperti itu, konon merupakan kejadian langka di dunia. Artinya, telah terjadi kelalaian yang besar dalam proses pengelolaan infrastruktur jembatan itu. Hal ini dapat menunjukkan masih lemahnya kualitas bangsa ini dalam mengelola sumber daya dan infrastruktur yang dimilikinya. Dari sudut pandang akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, tentunya kita tidak bisa hanya menyoroti pihak pelaksana atau perawat infrastruktur jembatan. Lebih jauh lagi harus dilihat komponen lain yang mendorong terjadinya kesalahan tersebut. Siapa tahu justru hal-hal yang tidak tampak di depan matalah yang menjadi penyebab utama bencana tersebut. Siapa tahu kelemahan sistem politik ikut berperan dalam bencana itu ? atau masalah etika penyelenggara negara dan budaya kerja yang menjadi penyebab. Untuk itu kita perlu melakukan evaluasi komprehensif terhadap kasus tersebut. Jangan sampai ambruknya jembatan tidak menjadi pembelajaran dan melebar menjadi ambruknya akuntabilitas pengelolaan keuangan negara kita (triwib)
WARTA WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
ROUND up
5
S
ejak awal tahun 2011 ini, negara-negara di Benua Eropa mengalami suasana batin “harap-harap cemas” menyusul perkembangan yang terjadi pada Yunani. Seluruh Menteri Keuangan negara Eropa, bahkan dunia, memantau dengan cermat perkembangan negara tersebut dengan kekuatiran terjadinya efek domino. Bayang-bayang krisis 1998 dan 2008 kembali membayang. Walau belum terasa dampaknya, namun beberapa pihak di Indonesia juga mulai menguatirkan dampaknya pada Indonesia. Kitapun lalu bertanya, bagaimana dengan kondisi Utang Pemerintah Indonesia saat ini, masih amankah? Sebelum kita melihat kondisi Utang Pemerintah di Indonesia, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di Yunani. Saat ini, Pemerintah Yunani terancam bangkrut karena tidak memiliki uang untuk membayar utang yang mulai jatuh tempo pada tanggal 29 Mei 2010. Untuk memperoleh dana talangan dari sesama negara Uni Eropa (EU) dan IMF, mereka dipaksa untuk menurunkan defisit anggaran negara. Pemerintah Yunani terpaksa memangkas sisi belanja negara, antara lain dengan menurunkan gaji para pegawai negeri dan jaminan sosial lainnya. Pada umumnya, Utang pemerintah terjadi karena setiap tahun pemerintah menerapkan sistim anggaran defisit, yaitu keadaan dimana belanja pada APBN
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
ROUND up
6
lebih besar dari pendapatan. Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Beni Assa (2011) mengungkapkan, para menteri keuangan sebuah negara modern pada umumnya membenarkan adanya defisit dan Utang, karena didasarkan pada konsep untuk memperbesar volume atau besaran APBN dengan harapan dapat menambah laju pertumbuhan ekonomi. Konsep ini dikenal luas sebagai ‘leverage’ yaitu usaha untuk melipatgandakan kemampuan ekonomi. Kekurangan atau defisit APBN yang terjadi pada umumnya ditutup dengan membuat Utang negara melalui penjualan obligasi atau instrumen finansial lainnya yang secara singkat dapat disebut sebagai Surat Utang Negara (SUN). Tentang berapa besarnya sebuah negara boleh membuat Utang, para menteri keuangan umumnya menggunakan teori ekonomi yang mengatakan bahwa sepanjang jumlah defisit APBN dan atau jumlah Utang lebih kecil dari prosentasi tertentu terhadap PDB, maka keadaan itu menjadi ‘leverage’ yang baik dan tidak perlu dikuatirkan. Setiap tahun atau periode tertentu, kementerian keuangan membuat Utang baru dengan menjual SUN baru kepada para investor publik yang kemudian digunakan untuk membayar SUN yang jatuh tempo, membayar bunga SUN yang sedang berjalan dan untuk menutup defisit anggaran baru. Akibatnya adalah jumlah Utang makin lama makin besar dan sepanjang itu masih lebih rendah dari prosentasi tertentu terhadap PDB, maka menteri keuangan tidak akan pernah merasa kuatir. Lalu, mengapa Yunani bisa bangkrut ? Utang baru untuk membayar Utang lama melalui proses penjualan SUN baru dapat berjalan terus tanpa batas bilamana pertumbuhan ekonomi berjalan terus tanpa interupsi, dan bilamana investor publik masih tetap mau membelinya karena memiliki kepercayaan terhadap kredibilitas dan kemampuan pemerintah dalam membayar Utang. Kedua keadaan ini ternyata tidak dapat berlangsung terus. Dengan satu dan lain alasan, pada saatnya pertumbuhan ekonomi akan mengalami interupsi. Para investor di pasar keuangan dunia sering mengatakan bahwa ‘leverage’ sama hakekatnya dengan ‘pedang bermata dua’ yaitu bila ternyata digunakan sesuai dengan rencananya maka akan sangat bermanfaat, tetapi bilamana tidak, maka akan sangat menghancurkan. Kekuatiran mereka mulai muncul ketika melihat
penggunaan Utang tidak efektif, tidak memberikan manfaat ekonomi yang diinginkan, atau terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya dan sejenisnya. Dengan kekuatiran yang makin hari makin tinggi, setiap tahun para investor meminta bunga yang lebih tinggi untuk membeli SUN baru dan klimaksnya tidak lagi berminat membeli SUN baru. Keadaan ini yang terjadi di Yunani, dimana klimaksnya terjadi saat ini ketika SUN lama mulai jatuh tempo. Karena para investor publik tidak berani lagi membeli SUN baru, maka pemerintah Yunani tidak memiliki uang untuk membayar SUN lama yang jatuh tempo sehingga harus meminta dana talangan atau Utang dari sesama negara EU dan IMF. Lalu bagaimana dengan kondisi Utang Pemerintah di Indonesia? Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, posisi jumlah utang Pemerintah RI per bulan Desember 2010 mencapai Rp 1.676 triliun atau setara dengan 68,12 juta dolar AS. Jika dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto, Utang tersebut sebesar 26,9 % dari PDB. Dalam lima tahun terakhir, posisi Utang dan ratio Utang Pemerintah terhadap PDB tampak sebagai berikut : Trend Utang PPemerin emerin tah Terhadap PDB Tahun 2006 - 2010 emerintah
Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan
Melihat data tersebut di atas, dapat dikatakan posisi utang Indonesia cukup aman. Walaupun jumlah Utang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
ROUND up namun ratio Utang terhadap PDB mengalami penurunan. Utang Pemerintah Indonesia jumlahnya meningkat dari 1.302 Trilliun pada tahun 2006, menjadi Rp 1.676 trilliun pada tahun 2010. Sedangkan ratio Utang terhadap PDB menurun dari 40,4 % pada tahun 2006 menjadi 26,9 % pada tahun 2010. Pada umumnya Ratio Utang terhadap PDB cukup aman pada level 30 %. International Monetary Fund dalam “IMF Country Report No. 05/327” yang dikeluarkan pada September 2005 melakukan analisis mengenai tingkat Utang pemerintah Indonesia yang aman. Level utang yang aman didefinisikan sebagai level utang yang tidak rentan terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu kesinambungan fiskal. Studi empirik ini menemukan bahwa level utang pemerintah yang aman bagi Indonesia adalah 35-42 persen dari PDB. Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa posisi Utang Pemerintah Indonesia secara umum pada tingkatan yang cukup aman dalam menghadapi dinamika dunia saat ini. Trend di atas menunjukkan posisi utang negara Indonesia sudah ‘on the track’. Namun demikian beberapa tokoh dan pengamat tak kurang ‘mewanti-wanti’ untuk tetap waspada terhadap kondisi utang Indonesia. Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam (Koran Jakarta, 4 Mei 2011) menyebutkan walau ratio terhadap PDB tampak baik, namun jika hutang negara dibandingkan Produk Nasional Bruto (PNB) sudah mencapai 42 %. Ini menjadi indikasi negara akan kesulitan mengembalikan Utang, ujarnya. Wahyu Susilo dari Infid (Koran Jakarta, 7 Mei 2011) menyebutkan perlunya mewaspadai penggunaan utang untuk kegiatan yang bersifat konsumtif
dan tidak terserapnya utang dengan baik. Berdasarkan manajemen utang pemerintah dan praktik yang sehat (best practice), disebutkan bahwa pengelolaan Utang akan memberi manfaat yang maksimal jika semua asumsi berjalan sesuai dengan yang diprediksi. Terdapat beberapa ancaman terhadap pengelolaan utang, seperti penggunaan Utang yang tidak efektif, tidak memberikan manfaat ekonomi yang diinginkan, atau terjadi penyalahgunaan korupsi dan sejenisnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika melihat profil jatuh tempo utang Indonesia dalam 25 tahun ke depan, tampak adanya beban yang sangat besar untuk membayar utang pada tahun 2012-2021 dan pada tahun 2033. Melihat kondisi di atas, tentunya ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari kalangan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). APIP, yang paling utama adalah melakukan evaluasi diri, Apakah Pengawasan terhadap Utang Pemerintah sudah cukup efektif ? Untuk itu APIP perlu melihat apakah utang negara sudah efektif penggunaannya? apa manfaat ekonomi yang diberikan dari utang tersebut? Dan tentunya apakah utang negara tersebut digerogoti oleh koruptor atau tidak? Peran APIP cukup signifikan dalam mengawal agar Utang pemerintah dapat memberi manfaat yang maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Pada artikel-artikel berikutnya akan membahas lebih tajam tentang regulasi dan manajemen utang yang baik (best practices), berbagai contoh permasalahan pengelolaan utang pemerintah yang ada, bagaimana peran APIP dalam mengawal utang pemerintah, dan bagaimana pandangan dan harapan beberapa tokoh masyarakat (triwib)
Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
7
8
Sumber kekayaan alam Indonesa sangat berlimpah mulai dari sabang sampai merauke. Hampir tidak ada wilayah di Indonesia tanpa potensi alam yang bernilai ekonomis. Tetapi, sepertinya negara Indonesia sulit lepas dari utang? Jika melihat trend utang pemerintah sejak tahun 2006 sampai dengan 2010, rasio utang indonesia terhadap PDB memang mengalami penurunan dari 39% menjadi 26% meskipun secara total, utang pemerintah mengalami peningkatan dari Rp 1.302 triliun menjadi Rp 1.677 triliun.
P
raktik pemanfaatan utang untuk membiayai pembangunan suatu bangsa sesungguhnya terjadi hampir disemua negara, kecuali negara-negara yang terkena sanksi politik dan ekonomi seperti Korea Utara. Apalagi negara Indonesia, dengan potensi alam yang bernilai ekonomis tinggi, kebijakan utang pemerintah seharusnya bisa dibenarkan. Yang menjadi persoalan adalah, sejauh mana utang pemerintah dimanfaatkan secara tepat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Angka rasio utang terhadap PDB tahun 2010 tersebut seharusnya dapat mencerminkan bahwa posisi utang pemerintah masih masuk kriteria aman bahkan lebih rendah jika dibandingkan negara
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Selayang Pandang Pengelolaan Utang Pemerintah
lain, seperti United Kingdom, US, Argentina, dan Turkey. (Buku Perkembangan Utang Negara-DJPU). Namun, pendapat miring terhadap kebijakan utang pemerintah tidak sedikit pula menghiasi media massa. Banyak pertanyaan dibenak kita, seperti, mengapa negara Indonesia harus utang? Apakah pengelolaan utang negara di Indonesia sudah efektif menjamin, diperolehnya utang dengan biaya yang wajar dan risiko yang dapat diterima, serta apakah kemanfaatan utang telah menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada kemampuan membayar kembali utang tersebut? Terdapat 5 alasan mengapa negara Indonesia harus melakukan utang sebagai alternatif pembiayaan yaitu adanya defisit APBN setiap tahun, kebutuhan pelunasan utang jatuh tempo (refinancing), perubahan nilai tukar rupiah yang menyebabkan perubahan nilai nominal utang luar negeri dalam rupiah, pengeluaran pembiayaan untuk pendanaan risiko fiskal dan partisipasi Pemerintah dalam menunjang program pembangunan infrastruktur, dan berkurangnya sumber pembiayaan APBN dari non utang, misalnya privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan hasil pengelolaan aset. Sebelum tahun 2000-an, mungkin kita hanya mengenal utang pemerintah dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN), namun seiring dengan perkembangan iklim ekonomi global dan tuntutan masyarakat untuk mengurangi ketergantungan akan PLN, pemerintah mulai menggunakan strategi perolehan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga negara dengan jenis beragam. Jenis Pinjaman dan SBN dapat dilihat pada gambar 1. Untuk pinjaman luar negeri, di samping kewajiban membayar pokok pinjaman dan bunga, pemerintah juga dikenakan biaya yang disebut
WARTA utama
commitment fee. Commitmen fee yaitu biaya yang timbul sebagai akibat tidak diserapnya jumlah PLN yang telah disepakati kedua belah pihak. Penetapan commitment fee dari lender sebenarnya sah-sah saja karena dengan adanya kesepakatan utang, pihak lender telah menyisihkan dana untuk ditarik dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Yang menjadi persoalan adalah ketika pemerintah tidak menyerap dana yang telah disepakati, maka pihak lender akan mengenakan commitmen fee kepada pemerintah. Mungkin ini pula yang tidak disadari oleh Kementerian/Lembaga yang memperoleh dana dari sumber pinjaman luar negeri. Sejauh ini, utang pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1 menunjukkan peningkatan utang pemerintah dari Rp 1.302,16 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 1.676,85 triliun pada tahun 2010. Peningkatan jumlah utang pemerintah tersebut didominasi oleh peningkatan penerbitan SBN baik dalam bentuk valas maupun rupiah yang pada tahun 2006 sebesar Rp 742,73 triliun menjadi Rp 1.064,4
Gambar 1. Jenis Pinjaman dan SBN
Sumber :Paparan Diklat Audit PHLN-BPKP
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
9
WARTA utama Tabel 1. PPosisi osisi Utang PPemerin emerin tah Tahun 2006-2010 emerintah
10
triliun pada tahun 2010. Sementara untuk pinjaman luar negeri terjadi penurunan dari sebesar Rp 730,25 triliun pada tahun 2008. menjadi Rp 612,28 triliun pada tahun 20 10 atau terjadi penurunan sebesar Rp 117.97 triliun. Di samping utang pemerintah tersebut, pemerintah juga menerima bantuan baik dari dalam maupun luar negeri dalam bentuk hibah. Bentuk hibah ini dapat berupa devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga tanpa ada kewajiban untuk membayar kembali. Jika dilihat dari jenisnya, hibah dapat dibagi menjadi hibah yang direncanakan dan hibah langsung.
Berbeda dengan utang yang menimbulkan kewajiban untuk membayar kembali pokok, bunga, dan biaya ikutannya, maka hibah tidak ada kewajiban untuk membayar kembali. Melihat kompleksitas utang pemerintah, maka manajemen pengelolaannya pun harus dapat mengikuti dinamika global. Saat ini, manajemen pengelolaan utang pemerintah secara struktur relatif sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dahulu. Hal ini pun diaminkan oleh staf ahli pada World Bank, Amien Sunaryadi. Menurut Amien, kondisi yang semakin baik ini diawali dengan langkah restrukturisasi yang dilakukan Kementerian Keuangan melalui pembentukan Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan utang pemerintah secara terintegrasi dan satu pintu. Artinya, mulai dari pengadaan utang, penetapan strategi utang, sampai evaluasi dan pencatatan dilakukan oleh DJPU melalui dukungan 5 direktorat yang dibagi dalam 3 fungsi yaitu front office, middle office, dan back office. Front office adalah Direktorat Pinjaman dan Hibah, Direktorat Surat Utang Negara, dan Direktorat Pembiayaan Syariah, middle office adalah Direktorat Strategi dan portofolio utang, sedangkan yang bertindak sebagai back office adalah Direktorat evaluasi akuntansi dan setelmen. Namun, efektif atau tidaknya utang pemerintah yang telah diperoleh oleh DJPU sangat tergantung dari manajemen kas pemerintah yang saat ini masih dilakukan oleh Dirjen Perbendaharaan Negara (DJPB), perencanaan kegiatan oleh K/L dan Bappenas, dan
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Selayang Pandang Pengelolaan Utang Pemerintah
aparat pengawasan baik internal maupun eksternal. Berbagai regulasi terkait pengelolaan utang telah dikeluarkan demi terpenuhinya prinsip good governance. Diantaranya, penerbitkan PP No 10 tahun 2011 tentang tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah sebagai pengganti PP No 2 tahun 2006. Sementara untuk surat berharga negara, acuannya adalah UU No 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara. Terakhir, pemerintah mengeluarkan Strategi Utang negara melalui penerbitan Keputusan Menteri Keuangan No. 380/KMK.08/2010 yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 514/KMK.08/2010 tentang Strategi Utang Negara Tahun 2010-2014. Berdasarkan KMK tersebut, fokus strategi pengelolaan utang tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut: • Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan SBN Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri; • Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficient dan risiko yang minimal; • Pengadaan pinjaman luar negeri dilakukan
WARTA utama
sepanjang digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas, memberikan terms & conditions yang wajar (favourable) bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor; • Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka menengah; • Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama dalam rangka mendorong upaya financial deepening; dan • Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating. Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Penerimaan Hibah PP No 10 tahun 2011, merupakan acuan pemerintah dalam pengadaan PLN dan hibah, mulai dari pengadaan, penatausahaan, Monev dan pengawasan. Satu hal yang harus diingat adalah prinsip dasar dari PLN dan hibah adalah transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan Negara. Mekanisme atau proses pengadaan PLN dapat dilihat pada gambar 2 berikut:
Gambar 2: Proses Pengadaan Pinjaman Kegiatan K/L
Sumber: Paparan Diklat Audit PHLN-BPKP
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
11
WARTA utama
12
Selayang Pandang Pengelolaan Utang Pemerintah
Persoalan klise yang selalu dihadapi dalam pengelolaan utang luar negeri adalah terkait penyerapan atau disbursement pinjaman. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan pinjaman luar negeri, diantaranya ketidaksiapan K/L dalam melaksanakan proyek yang bersumber dana dari pinjaman luar negeri seperti persoalan pembebasan lahan, hambatan di proses pengadaan barang dan jasa atau proyek tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan oleh K/L. Dari sisi lender, seringkali terjadi keterlambatan penerbitan NOL sebagai dasar pencairan PLN. Padahal, ada kewajiban yang harus dibayar sebagai akibat tidak terserapnya PLN yaitu berupa commitment fee yang membebani APBN dengan kisaran 0,1-0,25% dari pinjaman yang tidak terserap. Surat Berharga Negara (SBN) UU No 24 tahun 2002 telah mensyaratkan agar penerbitan SBN harus menjamin setidaknya lima hal yaitu (1) terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang berkesinambungan sesuai dengan kondisi ekonomi makro, (2) dengan biaya terendah, (3) meningkatkan prinsip kehati-hatian, (4) meminimalkan risiko, baik risiko pasar maupun risiko refinancing, dan (5) mengembangkan upayaupaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan perkiraan biaya. Saat ini pengelolaan SBN jenis SUN berada di direktorat SUN sementara untuk Surat Berharga Syariah Negara dikelola oleh Direktorat Direktorat Pembiayaan
.....Kondisi yang harus diperhatikan dari pengelolaan surat berharga negara adalah kerentanannya terhadap risiko pasar seperti tingkat suku bunga yang selalu berfluktuatif, nilai tukar mata uang, harga komoditi, tingkat inflasi, serta funding risk atau risiko yang berkaitan dengan akses pasar..... Syariah. Kondisi yang harus diperhatikan dari pengelolaan surat berharga negara adalah kerentanannya terhadap risiko pasar seperti tingkat suku bunga yang selalu berfluktuatif, nilai tukar mata uang, harga komoditi, tingkat inflasi, serta funding risk atau risiko yang berkaitan dengan akses pasar. Untuk itu, Kementerian keuangan telah membuat sebuah kerangka manajemen risiko yang memungkinkan DJPU melalui direktoratnya mengidentifikasi dan mengelola "trade off" antara ongkos dan risiko dalam portofolio utangnya yang tertuang dalam strategi pengelolaan utang tahun 2010-2015. Melalui regulasi yang terus mengikuti kedinamisan situasi global saat ini, pemerintah diharapkan dapat mengelola utang pemerintah secara tepat. DJPU, Kementerian Keuangan. Meskipun diberi kewenangan untuk mengelola utang pemerintah, tetapi efektivitasnya sangat dipengaruhi dukungan dari seluruh institusi terkait, seperti Bappenas dan K/L pada tahap perencanaan, K/L pada tahap pelaksanaan, dan aparat pengawasan baik internal maupun eksternal pada tahap pengawasan. Sinergi ketiga tahapan tersebut akan menjadi faktor penentu menjadikan utang pemerintah yang berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(nani)
WARTA utama
"Setiap lender punya development objective dan country partnership strategy. Itulah yang menjadi acuan dalam kesepakatan PLN" jelas staf World Bank, Amien Sunaryadi. Meskipun usulan ide proyek dapat berasal dari kedua belah pihak tetapi pada prinsipnya harus sesuai dengan strategi kedua belah pihak. Misalnya, jika pemerintah Indonesia mengajukan proyek pembangunan bandara sementara tidak ada di rencana strategi world bank, pihak lender dapat menolak usulan tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika ide lender tidak sesuai dengan RPJMN maka pemerintah indonesia dapat juga menolaknya. Di samping itu, pihak world Bank sangat ketat terhadap capaian sasaran atau development objective dari setiap proyek. Satu hal yang sangat penting menurut Amien di samping kedua hal itu adalah adanya kebijakan world bank terkait program anti korupsi yaitu agar semua dana yang dipinjamkan kepada pemerintah indonesia tidak boleh sedikitpun dikorupsi.
Pihaknya juga melakukan sosialisasi anti korupsi kepada masyarakat dengan cara yang paling mudah dicerna oleh masyarakat awam seperti pemasangan banner "Proyek bebas pungli dan suap." Menurut Amien, masyarakat perlu pemahaman bahwa suap dan gratifikasi sudah termasuk tindak pidana korupsi. Ia bahkan menyayangkan masih banyaknya pihak yang memahami korupsi hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar hukum, merugikan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Bagi Amien, ini adalah satu cara agar masyarakat ikut mengawasi dan berpartisipasi mengurangi perilaku korupsi terhadap pengeluaran negara termasuk proyek yang didanai oleh Loan. Jika pihak lender saja memiliki perhatian khusus atas perilaku koruptif atas proyek yang didanainya, mengapa pemerintah Indonesia yang memiliki kewajiban membayar kembali utang tersebut harus tidak perduli?
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(nani)
13
WARTA utama
14
Berbicara mengenai pengelolaan utang pemerintah, DR. Hekinus Manao yang saat ini menjabat sebagai Director for Financial Accounting & Reporting Ministry of Finance World Bank, menyebutkan bahwa secara umum pengelolaan utang pemerintah di Indonesia sudah jauh lebih baik. Dari sisi administrasi, menurutnya sudah lebih memadai meski belum sempurna. Namundari sisi manajemen portofolio, masih terdapat tarik menarik antara Pinjaman Luar Negeri dan penerbitan Surat Berharga Negara.
P
enyempurnaan administrasi yang perlu dilakukan adalah masih terdapat beberapa pencatatan yang masih outstanding atau di neraca masih tercatat sebagai uang muka berupa talangan terhadap pinjaman, ujar Hekinus. “Terhadap pinjaman tersebut, harus dicek oleh World Bank atau ADB bekerjasama dengan Bank Indonesia, untuk memisahkan antara utang pinjaman yang eligible dengan non-eligible. Dengan demikian, untuk pinjaman yang eligible sudah bisa ditagihkan kembali dari pemberi pinjaman. Sementara untuk non-eligible dilakukan jurnal pembalik di neraca karena sebelumnya sudah dibebankan kepada APBN. Sebelumnya, masih tidak jelas untuk akun apa yang harus di debit, apakah aset atau uang muka.”jelasnya. Dari sisi portofolio, disampaikan Hekinus, bahwa saat ini, secara total, portofolio utang Luar Negeri masih lebih besar daripada utang dalam negeri. Namun, portofolio tahunan pemerintah Indonesia menunjukkan pinjaman dalam negeri sudah lebih besar daripada pinjaman luar negeri. Bahkan, menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, portofolio pinjaman luar negeri tahunan semakin negatif, artinya untuk pinjaman luar negeri, pemerintah Indonesia lebih banyak melunasi daripada menarik. Ia pun menyarankan agar pemerintah Indonesia
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Pinjaman LN atau SUN
menghadapi risiko pasar yang serba tidak pasti. Di samping itu, meminjam secara bilateral / multilateral ada agreement yang dikaitkan dengan program. Misal: pinjaman dalam rangka PNPM atau kegiatan Reformasi Birokrasi. Dengan menggunakan pinjaman luar negeri, tambah Hekinus, masih ada kontrol keterkaitan antara kegiatan dengan agreement tersebut. Sedangkan jika pinjam atau jual SUN, pemerintah tidak akan bisa mengontrol penggunaan pinjaman untuk apa. “Bisa saja digunakan untuk menaikkan gaji pegawai atau pengeluaran lain yang tidak berdampak langsung ke masyarakat”jelasnya. Tetapi jika pinjam dari luar negeri, tidak akan bisa digunakan untuk kegiatan seperti itu, karena sudah ada covenant nya, sehingga kontrolnya menurut Hekinus akan jauh lebih bagus. Meskipun demikian Indonesia tetap harus memperkuat pasar SUN agar dapat memiliki basis sebagai tempat meminjam
selain untuk kepentingan pembentuk pasar uang dan pasar peminjaman. Negatifnya menurut Hekinus, akan terjadi persaingan antara investor dan pemerintah. Saat ini, menurutnya, portofolio pinjaman Indonesia terlalu berat di portofolio tahunan. “Saat ini, masih lebih berat bersandar pada pasar daripada multilateral. Namun, diharapkan jangan sampai kebablasan untuk melakukan pinjaman ke pasar semua dan melupakan pinjaman multilateral. “kata Hekinus. Dari aspek pengawasan, pemanfaatan pinjaman luar negeri yang telah dituangkan dalam agreement, relatif lebih mudah. Bahkan menurutnya, pemberi pinjaman jauh lebih ketat pengawasannya. Menyikapi isu adanya pemerintah daerah yang melakukan pinjaman secara langsung, menurutnya, hal tersebut sudah melanggar UU 17 karena seluruh pinjaman LN seharusnya melalui Menteri Keuangan
15
(triwib/nani)
dok: beritasatu.com
tetap memanfaatkan pinjaman multilateral, seperti pinjaman dari World Bank, ADB, IDB,dsb. Menurut Hekinus, banyak keuntungan yang diperoleh pemerintah Indonesia dengan memanfaatkan Pinjaman Luar Negeri untuk menutupi pembiayaan atau membiayai program pemerintah dibandingkan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pemanfaatan Utang Luar Negeri, menurutnya, dapat meminimalkan risiko dalam menutupi defisit fiskal karena pinjaman dari multilateral bersifat covenant agreement. Artinya, kapan dilunasi dan berapa besar bunganya telah terjadwal dan tetap. Sedangkan utang yang diperoleh melalui penerbitan Surat Berharga Negara, seperti SUN, tidak dapat diprediksi kapan pihak yang menaruh uang akan menarik kembali dananya. Ia mencontohkan, jika kondisi pasar sedang jelek, maka otomatis seluruh SUN akan ditarik dan dilepas semuanya sehingga untuk mempertahankan jumlah SUN, pemerintah harus membeli lagi atau dengan membayar bunga yang lebih tinggi. Sedangkan untuk covenant agreement dengan multilateral, sekali disepakati maka tetap tidak berubah. Kondisi fiskal juga lebih stabil sementara jika meminjam dari pasar, pemerintah harus
WARTA utama
Karyawan pada salah satu Bank Nasional mengamati SUN di Bank tersebut
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA utama
16
Tiada kebijakan tanpa konsekuensi, mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan dampak dari sebuah kebijakan politis terhadap pengelolaan portofolio utang pemerintah.
R
eformasi tahun 1998, merupakan titik awal perubahan strategi utang pemerintah. Teriakan "hapus ketergantungan terhadap utang luar negeri" dari kalangan mahasiswa, pengamat, dan politisi begitu menggema saat itu. Kecemasan akan intervensi pihak asing terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia seolah menjadi alasan mengapa pemerintah harus menurunkan porsi pinjaman luar negeri. Dampak nyata dari tuntutan tersebut adalah dengan keluarnya strategi pengelolaan utang pemerintah berupa "tambahan pinjaman luar negeri netto dianggarkan negatif sejak 2004, artinya jumlah pembayaran kembali (refinancing) utang dianggarkan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penarikan pinjaman luar negeri baru, mengutamakan penerbitan surat berharga negara (SBN) rupiah di pasar dalam negeri, dan membuka akses sumber pembiayaan di pasar internasional untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah sebagai peminjam. Hal ini mengandung arti, Pemerintah lebih memprioritaskan penggunaan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dibandingkan Pinjaman Luar Negeri (PLN). Yang menjadi pertanyaan, apakah strategi yang ditetapkan pemerintah dengan memperkecil PLN dan memperbesar penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tersebut murni sebagai strategi yang tepat dari sisi kebijakan ekonomi makro, atau sekedar memenuhi kepentingan politik? Padahal, jika dicermati, risiko strategi penerbitan SUN sesung-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Portofolio Utang: Antara Politik dan Angka
guhnya lebih besar jika dibandingkan PLN, mulai dari risiko pembiayaan kembali, tingkat bunga yang relatif lebih tinggi, nilai tukar yang fluktuatif dan tidak pasti, likuiditas, dan operasional. Untuk itu, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 514/KMK.08/2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 380/ KMK.08/2010 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2010-2014. Inti dari strategi tersebut adalah bagaimana pemerintah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran yang cenderung meningkat melalui pinjaman dan Surat Berharga Negara yang dikelola oleh DJPU, Kementerian Keuangan dengan meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Namun, satu hal yang menarik untuk dicermati yaitu dengan kebijakan menurunkan ketergantungan terhadap PLN, secara otomatis berdampak pada peningkatan perolehan utang dari penerbitan SBN. Padahal terdapat konsekuensi peningkatan kewajiban bunga yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan PLN. Sebagai ilustrasi, suku bunga per 9 Desember untuk PLN adalah LIBOR+0,2 s.d 0,48, (Euro Libor rate 12-month per 9 Desember 2011=1,97786) sementara SBN suku bunganya mengacu pada BI rate (per 8 Desember 2011=6%). Jika melihat tabel 1, kewajiban pembayaran bunga atas penerbitan SBN jauh lebih tinggi jika dibandingkan pinjaman luar negeri. Kedua, tingkat ketidakpastiannya relatif lebih tinggi yang disebabkan tingkat suku bunga yang berfluktuasi tergantung pada
WARTA utama
tingkat bunga pasar yang dikeluarkan BI dan perilaku buyer. Kondisi ini berbeda dengan PLN yang seluruh kewajiban dan peruntukkannya telah diatur dalam Loan Agreement. Ketiga, pengelolaan SBN relatif lebih kompleks dan rumit karena harus mempertimbangkan secara seksama detik demi detik pergerakan suku bunga dan kondisi kas negara. Satu hal yang lebih penting dari sekedar aspek finansial sebagaimana disampaikan oleh Staf Ahli World Bank, Amien Sunaryadi, bahwa penggunaan PLN meringankan beban pemerintah dalam mengawasi jalannya proyek berbantuan luar negeri karena pihak lender ikut mengawasi mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan. DI samping itu ada transfer knowledge dari pihak lender ke pelaksana proyek di kementerian/lembaga. Kondisi ini sangat berbeda jika proyek atau kegiatan dibiayai dengan SUN yang murni derencanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pemerintah sendiri dan tidak dapat dikaitkan langsung dengan aktivitas ekonomi/kegiatan pembangunan yang telah diamanahkan. Sehingga tak dapat diukur secara langsung kinerja/dampak utang tersebut dalam pertumbuhan ekonomi negara Menyikapi kondisi diatas, perlu dilakukan kajian secara mendalam dan khusus terkait portofolio utang pemerintah terutama terkait dengan kebijakan terkait sertifikat berharga negara(SBN), seperti koordinasi yang lebih intensif antara Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara(DJPB) selaku manajer kas dengan Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) selaku penyedia dana yang bersumber dari utang (Nani)
Tabel 1. PPemba emba an Bunga Utang dalam dan luar Negeri embayyar aran
sumber: Buku Perkembangan Utang Negara dari DJPU
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
dalam triliunan rupiah
17
WARTA utama
18
18
Utang Pemerintah selalu menarik bagi media massa untuk memberitakannya. Apalagi saat ini dimana pada belahan dunia lain di Eropa, tengah terjadi gejolak akibat kegagalan dalam mengelola utang. Walaupun menurut data yang ada posisi Utang Pemerintah Indonesia cukup aman, tapi para pengamat ekonomi dan media massa masih terus memberitakan hal ini dari berbagai sudut pandang. Berikut beberapa cuplikannya. Kondisi Utang Pemerintah Indonesia Semakin Baik Kondisi Utang Pemerintah Indonesia saat ini cukup aman. Hal ini diberitakan beberapa media. Tajuk Seputar Indonesia pada hari Selasa, 22 November 2011 mengungkapkan bahwa pada masa Presiden SBY, pengelolaan Utang Pemerintah semakin hari semakin baik. Hal tersebut tercermin dari perkembangan rasio Utang terhadap PDB yang terus menerus turun sejak tahun 2007 sebesar 35 %, 2008 senesar 33 %, 2009 sebesar 28 %, dan tahun 2010 sebesar 26 %. Meski pada tahap aman, jangan sampai menghilangkan kewaspadaan mengingat adanya kondisi eksternal (global) yang bisa membalikkan keadaan sesaat. Seputar Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia harus belajar dari kasus Utang Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol. Dari apa yang menimpa negara tersebut, Indonesai perlu menghilangkan kebiasaan menumpuk Utang. Koran Tempo pada hari yang sama memberitakan Utang Pemerintah dengan judul “Utang Pemerintah Kian Menggelembung”. Berita tersebut mengungkapkan pernyataan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Rahmat Waluyanto bahwa total Utang Pemerintah sampai bulan Oktober 2011 mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 1.768 trilliun. Pinjaman
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Utang Pemerintah On The (Media) Spot
sebesar itu terdiri dari Pinjaman dalam dan luar negeri sebesar Rp 605 trilliun (34 %) dan Surat Berharga Negara sebesar Rp 1.163 trilliun (66%) . Kenaikan Utang Pemerintah tersebut akibat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Rendahnya Penyerapan Utang Pemerintah menjadi Masalah Klasik Walaupun kondisi umumnya cukup aman, namun terdapat permasalahan yang hingga kini masih menjadi duri dalam pengelolaan utang. Hingga saat ini masih banyak Kementerian/lembaga yang masih rendah penyerapannya. Selain melemahkan laju pembangunan, hal ini membawa akibat adanya sanksi berupa commitment fee. Selain itu ada masalah di tahap perencanaan pengadaan utang. Hal ini diberitakan juga oleh beberapa media massa. Bisnis Indonesia (24 November 2011) memberitakan dengan judul “80% Uang Proyek ke Infrastruktur”. Berita tersebut mengungkapkan niat Pemerintah yang akan mengalokasikan 80% dana pinjaman proyek luar negeri untuk pembangunan infrastruktur dan energi agar pertumbuhan dapat didorong secara lebih maksimal. Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Bidang Pendanaan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Wismana Adi Suryabrata. Ia menambahkan bahwa Pemerintah akan semakin selektif dalam menarik Pinjaman Luar Negeri. “Perencanaan penarikan pinjaman luar negeri disesuaikan dengan prioritas pembangunan kita, baru dicocokkan dengan indikator, perkiraan pembiayaan, dan development coorporation, serta kementerian / lembaga penanggung jawabnya. Media tersebut juga mengungkapkan pendapat anggota Komite Ekonomi Nasional, Ninasapti Triaswati yang menilai positif kondisi Utang Pemerintah. Meski demikian, ia mengingatkan jika pinjaman dan hibah luar negeri tidak dicairkan atau dibatalkan, pemerintah akan mendapat konsekuensi berupa commitment fee. “Masih banyak pinjaman luar negeri yang belum tepat waktu dan belum tepat sasaran,” ujarnya. Berita serupa diwartakan Koran Tempo (24 November 2011) dimana Bappenas mengungkapkan, penyerapan pinjaman dan hibah luar negeri oleh Kementerian dan Lembaga masih rendah. Hingga semester kedua tahun ini, utang yang terserap baru 52 % dari total. Disebutkan dari komitmen pinjaman bilateral dan multilateral sebesar US $ 21,7 juta untuk 165 proyek, baru terserap US $ 11,5 juta. Bappenas minta Kementerian dan Lembaga segera mengoptimalkan penyerapan utang tersebut. “Akan dikenakan penalti jika
WARTA utama
penyerapannya di bawah target.” Berita di atas merupakan permasalahan yang berkelanjutan dari tahun sebelumnya. Pada awal tahun, Kontan (13 Januari 2011) memberitakan dengan judul “Penarikan Utang Pemerintah 70 % dari Plafon”. Kontan memberitakan pada tahun 2010, penarikan pinjaman program terserap Rp 29,05 trilliun atau 98 % dari pagu, namun Pinjaman proyek hanya terserap Rp 20,5 trilliun atau hanya 50 % dari pagu APBN tahun 2010. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, rendahnya penyerapan tersebut karena progress proyek infrastruktur pemerintah banyak yang tidak sesuai harapan. Utang Pemerintah di Daerah masih ‘kisruh’. Sementara dari Pemerintah Daerah, pengelolaan Utang Pemerintah tidak kalah rumitnya. Hal ini tercermin dari pengelolaan Utang PDAM (umumnya berupa penerusan Pinjaman Pemerintah Pusat) yang hingga saat ini masih ‘kisruh’. Jawa Pos (26 Oktober 2011) memberitakan dengan judul “Utang PDAM Rp 1,04 T Dihapuskan”. Pada berita tersebut diungkapkan hingga kini terdapat 175 PDAM yang mengunggak Utang kepada Pemerintah Pusat. Dari jumlah tersebut, 116 PDAM telah mengajukan restrukturisasi (penghapusan), 54 PDAM belum melakukan restrukturisasi, dan baru lima PDAM yang sudah melunasi tunggakannya. Proses restrukturisasi utangpun tidak semulus yang diharapkan. Bisnis Indonesia (23 September 2011) mengungkapkan pihak DPR telah meminta Kementerian Pekerjaan Umum untuk meninjau ulang penghapusan (restrukturisasi) utang tersebut. Berkaitan dengan Utang Pemerintah di Daerah, Pemerintah berupaya menjaga tata kelolanya agar terjaga baik. Koran Tempo (27 September 2011) memberitakan dengan judul “Pemerintah Batasi Utang Daerah”. Berita tersebut mengungkapkan Pemerintah Pusat membatasi maksimal utang pemerintah daerah. Defisit anggaran tidak boleh lebih dari 6 persen dari royeksi Pendapatan Daerah. Batas Maksimal kumulatif pinjaman daerah maksimal 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto. Hal-hal tersebut di atas merupakan sebagian ‘current issue’ seputar Utang Pemerintah yang beredar di kalangan media massa saat ini. Selain itu masih terdapat beberapa permasalahan yang tidak terungkap oleh media massa, namun menjadi pembahasan yang cukup intensif di jajaran instansi pengelola Utang Pemerintah, seperti masalah pencatatan hibah langsung dan masalah porto folio Hutang
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(triwib)
19
WARTA utama
P
20
Peran Nyata Pengawas Intern Membangun Value Sektor Publik
engelolaan hibah memang memiliki karakteristik yang unik. Sifat hibah yang seperti ‘hadiah’ ini memang sering membuat pihak penerima hibah terlena. Penerima hibah sering berfikir, “inikan hadiah, pengelolaannya ya terserah yang menerima..wong yang ngasih aja enggak nuntut macem-macem”. Pemikiran inilah yang membuat penerima hibah sering kali lalai dalam pengelolaannya. Padahal, Pemerintah telah menetapkan aturan tersendiri mengenai hal tersebut. Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2010 memberi catatan terhadap pengelolaan hibah (grant) pada beberapa Kementerian/Lembaga(K/L). Hasil pemeriksaan menyebutkan terdapat penerimaan hibah minimal sebesar Rp 868,43 milliar pada 18 K/L yang belum dilaporkan kepada Bendahara Umum Negara (BUN) dan dikelola di luar mekanisme APBN. Hasil evaluasi atas pengelolaan hibah yang dilakukan BPKP pada tahun 2009 menginformasikan kondisi yang sama. Hibah merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa, dan atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah tanpa perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam atau luar negeri. Atas penerimaan hibah tersebut, K/L dapat memanfaatkan secara langsung untuk mendukung tugas dan fungsi K/L, atau diserahkan kepada masyarakat, atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD. Terdapat dua jenis hibah yaitu Hibah terencana dan Hibah Langsung. Hasil pemeriksaan BPK-RI dan evaluasi BPKP menunjukkan masih banyak pengelola hibah yang belum mengelola hibah sesuai aturan yang berlaku. Pada saat ini masih dijumpai pihak pemberi hibah, khususnya hibah yang tidak direncanakan atau hibah
langsung, melakukan komunikasi dan negosiasi secara langsung dengan K/L penerima tanpa melalui Bappenas dan Kementerian Keuangan. Misalnya, pada saat terjadinya bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, banyak pemberi bantuan melakukan komunikasi langsung dengan instansi yang dituju. Contoh lain, sebuah yayasan di Saudi Arabia memberikan bantuan berupa bahan pustaka kepada perpustakaan sebuah instansi pemerintah. Pada kedua kondisi tersebut, pihak Bappenas dan Kementerian Keuangan tidak dilibatkan sama sekali. Dengan demikian hibah tersebut tidak teradministrasikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, nilai neraca Pemerintah menjadi ‘understate’. Kondisi inilah yang menjadi salah satu catatan BPK RI hingga memperoleh opini ‘Wajar Dengan Pengecualian’ pada LKPP tahun 2010. Menyikapi kondisi tersebut, Menteri Keuangan telah meminta BPKP untuk melakukan upaya yang diharapkan menjadi solusi melalui peningkatan peran APIP. Sejalan dengan permintaan tersebut, BPKP menyusun Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Hibah yang diharapkan dapat menambah pemahaman seluruh APIP K/L tentang permasalahan di seputar pengelolaan hibah. Selanjutnya hal tersebut diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas penyajian laporan keuangan kementerian/lembaga yang lebih baik dan wajar. Pada pedoman disebutkan setidaknya ada tiga kegiatan pokok yang harus segera dilakukan oleh APIP, yaitu: 1) Memastikan bahwa K/L memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang mengatur pengelolaan hibah. 2) Melakukan inventarisasi awal hibah yang ada pada Kementarian/Lembaga masing-masing, baik hibah direncanakan maupun hibah langsung. 3) Reviu Laporan Keuangan secara periodik.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
(triwib)
Peran Pengawas Intern Membangun Value
WARTA utama
21
21
Pada awal rubrik ini telah disebutkan bahwa nilai Utang Pemerintah hingga akhir tahun 2010 mencapai Rp 1.676,8 trilliun. Bahkan pada akhir tahun 2011 ini mendekati angka Rp 1.800 trilliun. Sebuah nilai yang spektakuler dan menjadi sebuah tanggung jawab yang besar, mengingat hal tersebut mengandung konsekuensi berat yaitu untuk mengembalikan pokok hutang beserta bunganya.
S
ecara normatif, hal tersebut tidak menjadi permasalahan besar jika pengelolaannya memenuhi beberapa kondisi, yaitu penggunaan Utang Pemerintah efektif, dapat memberikan manfaat ekonomi yang diinginkan, dan tidak terjadi kehilangan akibat korupsi dan sejenisnya. Jika ketiga hal ini terpenuhi, maka keberadaan Utang Pemerintah akan memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional, yang artinya meningkatkan pendapatan nasional bruto secara signifikan, meningkatkan pendapatan perpajakan, dan pada akhirnya Pemerintah memiliki dana untuk melunasi kewajibannya. Untuk menjaga agar ketiga kondisi tetap eksis, dibutuhkan sebuah proses pengawasan yang andal terhadap pengelolaan Utang Pemerintah. Pengawasan harus dilakukan terhadap seluruh tahapan pengelolaan Utang Pemerintah, sejak proses perencanaan, pengadaan, setelmen, penggunaan, penerusan, penatausahaan, hingga efektivitas pemanfaatannya. Penilaian secara komprehensif juga dibutuhkan sebagai bahan evaluasi menyeluruh dari pengelolaan tersebut. Tanpa pengawasan yang baik dan komprehensif, kita akan sulit melihat dan menilai, apakah keberadaan Utang Pemerintah sudah mampu memberi nilai tambah bagi negara kita atau justru sebaliknya.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA utama
22
Pengawasan Utang Pemerintah Pengawasan terhadap Utang Pemerintah terdiri dari beberapa 'layer' yang dilakukan oleh berbagai lembaga pengawasan. Pengawasan terhadap total nilai Utang Pemerintah yang tercantum pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. BPK RI melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Bendaharawan Umum Negara (LKBUN) dan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), termasuk terhadap Laporan Keuangan Hibah. Audit ini dilakukan untuk menilai kewajaran nilai Utang Pemerintah dan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi Pemerintah, serta menilai pengelolaannya. Pengawasan terhadap Utang Pemerintah terbagi dua bagian besar yaitu Pengawasan terhadap Utang Pemerintah yang berasal dari Dalam Negeri (Surat Berharga Negara dan Pinjaman Dalam Negeri), dan Utang Pemerintah yang berasal dari Pinjaman dan Hibah dari Luar Negeri (PHLN). Terhadap Utang dari Dalam Negeri, pengawasan dilakukan mengikuti mekanisme APBN pada umumnya. Hal ini karena dana yang berasal dari sumber tersebut, didistribusikan murni untuk menutup defisit anggaran negara tanpa tujuan tertentu. Sedangkan pengawasan terhadap PHLN, memiliki pola pengawasan yang berbeda karena masing-masing jenis pinjaman memiliki tujuan atau sasaran program yang spesifik dan terikat dengan agreement. Pengelolaan setiap jenis dan sumber Pinjaman dan Hibah tersebut masing-masing memiliki kebijakan, sistem dan prosedur yang berbeda. Untuk PHLN, secara
garis besar pengelolaan Utang Pemerintah tersebut terbagi dari tiga aspek, yaitu aspek kebendaharaan, aspek perencanaan, dan aspek penggunaan. Aspek kebendaharaan meliputi proses penetapan Batas Maksimal Pinjaman (BMP), penetapan sumber pinjaman, dan menandatangani perjanjian pinjaman. Aspek perencanaan meliputi perencanaan pemanfaatan pinjaman, menyetujui usulan kegiatan, dan menyusun daftar kegiatan. Sedangkan aspek penggunaan meliputi pengusulan kegiatan dan pelaksanaan kegiatan. Dalam pengelolaannya, aspek perencanaan dilaksanakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS. Aspek kebendaharaan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan aspek penggunaan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga Teknis atau Pemerintah Daerah. Pengawasan oleh APIP dan Legislatif Pada 'layer' di bawah penga-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
wasan BPK, terhadap setiap jenis PHLN atau Program/Proyek dilakukan pengawasan juga oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Kantor Akuntan Publik. Pengawasan oleh APIP pengawasan dilakukan oleh BPKP dan APIP Kementerian/ Lembaga sesuai kewenangan yang dimiliki. Pengawasan aspek perencanaan dilaksanakan oleh Inspektorat Kementerian PPN/ Bappenas, aspek Kebendaharaan dilaksanakan oleh Inspektorat Kementerian Keuangan, dan aspek penggunaan oleh Inspektorat masing-masing Kementerian/Lembaga. Sedangkan audit umum atau opini dilakukan oleh BPKP atau KAP atas permintaan lender. Inspektorat Kementerian PPN/ Bappenas melakukan pengawasan berupa audit terhadap proses perencanaan pengadaan Utang Pemerintah. Inspektorat Kementerian PPN/Bappenas melakukan Pre Audit untuk melihat apakah keberadaan Utang Pemerintah dan penetapan kegiatan sudah selaras dengan
WARTA utama
kebutuhan sebagaimana diminta dalam RPJP dan RPJM. Selain itu inspektorat Kementerian PPN/ Bappenas melakukan audit ketaatan untuk melihat apakah proses perencanaan PHLN telah taat azas sesuai peraturan yang berlaku (PP nomor 2 tahun 2006 jo PP Nomor 10 tahun 2011). Inspektorat Kementerian Keuangan melakukan pengawasan berupa audit ketaatan terhadap administrasi pengelolaan Utang Pemerintah dan proses negosiasinya, serta melakukan reviu dalam penyusunan laporan-laporan yang terkait. Selain itu Inspektorat Kementerian Keuangan melakukan pendampingan terhadap unit pengawas intern pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Pemerintah dalam melakukan pengawalan pengelolaan Utang Pemerintah (Control Self Assessment), sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Bidang Inspektorat III Kementerian Keuangan, Rudy Baharsah. Inspektorat Kementerian/ Lembaga Teknis melakukan pengawasan PHLN sejak pencairan, pelaksanaan hingga pelaporan kegiatan yang didanai oleh PHLN. Inspektorat K/L
menjaga ketaatan pengelola PHLN terhadap aturan yang berlaku (compliance audit). Pada umumnya kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan audit reguler. Selain itu BPKP melakukan audit umum untuk memberikan opini terhadap Laporan Keuangan yang disusun oleh Kementerian/ Lembaga teknis pengguna PHLN. Hal ini dilakukan atas permintaan dari pihak lender seperti World Bank, Ausaid, atau ADB. Pada saat ini BPKP melakukan audit terhadap 25 - 30 persen dari proyek yang ada. Selain itu BPKP juga membantu melakukan reviu atas pengadaan terhadap kegiatan yang bersifat komunitas (CCD) berupa Pre Procurement Review (PPR). Hal ini dilakukan dalam rangka mengawal agar proses pengadaan sesuai ketentuan yang berlaku. BPKP pernah juga melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap Utang Pemerintah tahun 2004 2009 yang hasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan/Bappenas. Selain oleh APIP, terhadap setiap jenis PHLN dilakukan supervisi oleh masing-masing lender. Supervisi dilakukan dari
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
berbagai aspek seperti manajemen keuangan, pengadaan barang dan jasa, tata kelola, maupun aspek teknis. Secara periodik, tim dari lender melakukan tinjauan ke lapangan untuk menilai apakah seluruh aspek tersebut telah dilaksanakan sesuai standar yang berlaku. Hal ini untuk menjamin ketercapaian sasaran masing-masing proyek. Selain itu pengawasan legislatif dilaksanakan oleh Komisi XI DPR RI. Hal ini pernah dilakukan dengan dibentuknya Panitia Kerja Utang Pemerintah pada pertengahan tahun 2010 untuk melakukan penilaian apakah penggunaan Utang Pemerintah telah sesuai dengan peruntukannya atau belum. Mengumpulkan Keping Gambar yang Terserak Secara kasat mata, pengawasan yang berlapis tersebut tampaknya sudah cukup memadai untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan Utang Pemerintah. Artinya, telah terdapat pola pengawasan yang memadai untuk memberi jaminan bahwa beban negara tersebut telah dilaksanakan secara efektif, memberi manfaat ekonomis dan
23
WARTA utama
24
bebas dari penyimpangan atau korupsi. Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat beberapa tantangan dan hambatan dalam mewujudkan hal itu, seperti : 1) Lemahnya pemahaman auditan dalam pengelolaan PHLN. Saat ini masih banyak dijumpai pengelola PHLN, khususnya dari kalangan Kementerian/Lembaga Teknis, yang belum memahami tata cara pengelolaan Utang Pemerintah secara memadai. Hal ini membuat kondisi sistem pengendalian intern pengelolaan Utang Pemerintah masih lemah. Akibatnya antara lain adalah rendahnya kemampuan Kementerian/ Lembaga dalam menyerap Utang Pemerintah. Beberapa tahun terakhir, kemampuan penyerapan hanya berkisar 70 persen. 2) Pengawasan PHLN membutuhkan auditor yang memahami agreement dan regulasi serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Untuk melakukan pengawasan terhadap PHLN, auditor perlu memahami aturan main yang terkait dengan regulasi-
regulasi pada beberapa negara atau lembaga donor. Hal ini membutuhkan pengetahuan dan wawasan auditor yang luas serta kemampuan bahasa yang baik. Kemampuan teknik komunikasi auditor juga dibutuhkan, khususnya jika dijumpai adanya permasalahan yang membutuhkan komunikasi intensif antara auditor dengan auditan. 3) Penilaian komprehensif terhadap efektivitas dan manfaat ekonomis setiap jenis PHLN belum memadai. Sebagaimana uraian di atas, selain supervisi dari lender, pengawasan PHLN dilaksanakan oleh APIP dan eksternal auditor yang sifatnya masih partial dan terkotak-kotak. Belum terdapat proses pengawasan yang komprehensif terhadap setiap jenis PHLN sejak proses perencanaan, negosiasi, perjanjian, penyerapan, penggunaan, hingga hasil (outcome) atau manfaat ekonomisnya. Dengan demikian penilaian terhadap efektivitas setiap jenis PHLN hingga saat ini dapat dikatakan masih lemah. Masyarakat masih sulit melihat, bagaimana gam-
baran utuh tentang hasil dan manfaat dari pengadaan Pinjaman Luar Negeri. Melihat kondisi di atas, dapat dikatakan pengawasan terhadap PHLN bagaikan kepingan gambar yang terserak. Banyak instansi yang telah melakukan pengawasan, namun belum terbentuk sebuah pola pengawasan yang utuh dan terpadu sehingga dapat melihat gambaran utuh efektivitas setiap jenis PHLN. Untuk itu dibutuhkan sinergitas pengawasan yang kuat antar APIP dan Eksternal Auditor agar terbangun pola pengawasan yang utuh. Demi kemajuan bangsa, kita harus mengumpulkan keping gambar yang terserak menjadi sebuah gambar yang utuh. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi aparat pengawas di Indonesia saat ini. Untuk memberi jaminan yang memadai bahwa Utang Pemerintah akan memberi manfaat ekonomis, efektif dan bebas dari penyimpangan, ketiga hal tersebut harus dipecahkan secara sinergis. Tanpa hal tersebut, Utang Pemerintah dapat menyeret bangsa Indonesia ke dalam situasi yang tidak diharapkan di masa mendatang (triwib)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
U
ngkapan itu disampaikan Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian, DR. Binsar H Simanjuntak. Berikut bincang-bincangnya bersama Warta Pengawasan. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan BPKP terhadap Utang Pemerintah ? Sesuai dengan permintaan, BPKP pernah melakukan evaluasi atas pengelolaan Utang Pemerintah dan Hibah Luar Negeri tahun 2004 – 2009. Evaluasi telah selesai dan hasilnya telah kami sampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ada beberapa rekomendasi yang diberikan oleh BPKP agar pengelolaan Utang Pemerintah semakin baik. Selain itu, dari sejak dahulu BPKP dipercaya untuk melakukan audit umum (general audit) terhadap laporan keuangan proyek PHLN, namun belum seluruhnya. Audit ini dilakukan untuk memberi keyakinan secara formal dan material bahwa proyek telah dilaksanakan dengan baik dan laporan keuangan telah disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku.
Pengawasan Utang Pemerintah harus dapat manjaga agar Utang Pemerintah telah memberi manfaat ekonomis, efektif dan bebas dari korupsi. Melihat kondisi saat ini, pengawasan Utang Pemerintah masih perlu ditingkatkan. Pada pengawasan terhadap Hibah, peran APIP Kementerian/Lembaga perlu lebih dioptimalkan untuk menjaga agar pengelolaannya lebih baik. Sebelumnya banyak hibah langsung yang tidak diadministrasikan oleh Kementerian/Lembaga penerima. Hal ini yang menjadi catatan BPK RI pada Laporan Hasil Pemeriksaan LKPP tahun lalu. Kemudian dari aspek perencanaan pinjaman, ada perjanjian yang ditandatangani ketika persiapannya belum matang. Akhirnya begitu pinjaman ditandatangani, kegiatan tidak bisa langsung dilaksanakan. Padahal ‘argo’ (commitment fee.red) jalan terus. Ini perlu pengawasan yang intensif. Selain itu masih banyak keterlambatan pelaksanaan. Untuk itu APIP harus didorong untuk melakukan pengawasan sejak tahap perencanaan, setelah pelaksanaan, hingga pemanfaatannya.
Bagaimana BPKP menjaga kualitas pengawasan terhadap Utang Pemerintah tersebut? BPKP melakukan quality control secara berjenjang dari tingkat Kepala Perwakilan, Kepala Bidang, Pengendali Teknis, Ketua Tim, hingga Anggota Tim. Proses audit harus berjalan sebagaimana mestinya. Kita menjaga agar output-nya tepat waktu dan semua auditor tidak mencederai profesionalisme. Kita menjaga agar tidak terjadi fraud dalam pelaksanaan pengawasan. Ini masalah kepercayaan yang harus dijaga. Saya tambahkan bahwa untuk menjamin agar proses pelaksanaan pengawasan atas PHLN sesuai dengan standar internasional, BPKP telah menunjuk lembaga sertifikasi internasional yang berkantor pusat di Jerman yaitu TUV NORD. Sertifikasi atau ISO Audit And Related Services ini sebagai bentuk pengakuan internasional bahwa BPKP telah melaksanakan pengawasan atas PHLN sesuai standar internasional.
Apa solusinya? Pertama, setiap instansi pengelola utang pemerintah harus menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern dengan baik dalam pengelolaan utang. Kedua, Pengawasan pada tahap perencanaan harus memadai. Kita harus memiliki keyakinan bahwa perencanaan telah matang. Apa yang ada di ‘blue book’ dan ‘green book’ benar-benar sudah siap dan sesuai kebutuhan. Ketiga, masalah SDM, baik pengelola Proyek maupun auditornya. SDM pengelola proyek, mulai dari yang di lapangan hingga yang di Pusat harus benar-benar kapabel dan memahami aturan main. Untuk auditornya, bagi BPKP yang menjadi masalah adalah ketersediaan waktu. Dengan ruang lingkup proyek yang sangat luas, auditor BPKP sulit untuk meng-covernya. Untuk itu BPKP telah melakukan upaya dengan menjalin kerja sama dengan Inspektorat Wilayah. Namun kita masih perlu melakukan capacity building terlebih dahulu
Apakah pengawasan Utang Pemerintah sudah memadai?
(triwib)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
25
P 26
engawasan terhadap pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) pada tahap perencanaan memiliki tantangan tersendiri. Untuk meningkatkan penyerapan dan akuntabilitas PHLN, pre dan current audit sudah sangat mendesak dilakukan. Hal ini diungkapkan Inspektur Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Slamet Soedarsono, di ruang kerjanya kepada Warta Pengawasan. "Pertama, aparat pengawas harus melihat prakarsa dari keberadaan PHLN itu. Seharusnya, keberadaan PHLN itu berawal dari kebutuhan. Dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), diketahui kebutuhan pendanaan. Kebutuhan tersebut dihadapkan pada resource envelope, kemudian selisihnya disebut resource gap yang salah satunya dipenuhi dari PHLN. Telaah ini memberi keyakinan bahwa PHLN memang diprakarsai oleh kita, bukan dari pihak asing (donor - driven)." "Kedua, APIP harus melihat apakah keberadaan PHLN taat azas atau tidak. Saat ini telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Pengelolaan PHLN harus taat terhadap ketentuan ini." "Untuk itu APIP sebaiknya melakukan semacam pre audit atau audit tahap perencanaan. Sebenarnya pre audit ini penting sekali, bukan hanya terkait dengan PHLN, namun juga dalam pengelolaan rupiah murni. Jika PHLN tidak direncanakan secara baik, maka banyak risikonya. Di antara risiko tersebut antara lain adalah kesiapan proyek, kelayakan (teknis, keuangan, dan lain-lain), dan kemampuan membayar kembali (untuk pinjaman)." Slamet Soedarsono juga mengingatkan tantangan APIP untuk melakukan pre audit itu tidaklah mudah. Dibutuhkan kapasitas auditor yang handal. "Berbeda
dengan rupiah murni yang relatif seragam, karakteristik PHLN sangat beragam. Masing-masing negara atau lembaga memiliki aturan tersendiri. Untuk itu dituntut kapasitas auditor yang 'mumpuni'. Selain memahami business process, auditor perlu mendalami regulasi, dan harus menguasai agreement yang mendasarinya. Lebih dari itu auditor harus mampu mengkomunikasikannya secara baik." Selain pre audit, Slamet Soedarsono juga menekankan perlunya melakukan current audit. "Pada umumnya aturan governance (tata kelola) PHLN lebih baik (sistem pengendalian intern lebih baik.red). Mitra pembangunan (donor atau lender) umumnya memiliki tradisi governance yang lebih mapan. Kita harus banyak belajar dari mereka. Sebagai satu contoh, bagaimana aturan UNDP dalam pengelolaan anggaran. Tantangan kita adalah pada penyerapannya. Kapasitas kita dalam penyerapan (PHLN ataupun rupiah murni) masih sangat rendah. Current audit diharapkan bisa memberikan peringatan dini, jauh sebelum proyek berakhir. Selain untuk antisipasi audit keuangan, current audit mestinya diperkaya dengan audit substantif (nonkeuangan) untuk menjawab pertanyaan berkaitan dengan probabilitas efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran." Terkait dengan audit terhadap PHLN yang dilakukan oleh BPKP, ia mengungkapkan bahwa Bappenas mestinya bisa mendapatkan overview hasil audit BPKP secara menyeluruh. Maksudnya bukan laporan hasil audit individual masing-masing proyek yang merupakan hak donor dan proyek. Saat ini Bappenas hanya mendapat hasil audit atas PHLN yang proyeknya dikelola Bappenas saja. Padahal Bappenas membutuhkan umpan balik dari hasil audit keseluruhan untuk perencanaan PHLN ke depan. Ini untuk memperkuat akuntabilitas pengelolaan PHLN secara komprehensif, ujarnya mengakhiri perbincangan (triwib)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Direktur Pengawasan Pinjaman dan BantuanLuar Negeri, Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian BPKP, Elly Fariani, Ak., M.Sc:
Perlu Performance Audit Untuk Melihat Efektivitas Utang Pemerintah
D
itemui diruangan kerjanya, Elly Fariani, menyebutkan betapa kompleksnya pengelolaan utang pemerintah dan hibah. Untuk itu, pengawasan yang harus dilakukan terhadap pengelolaannya juga harus dilakukan secara komprehensif. Ia mencontohkan, persoalan penatausahaan hibah. Menurutnya, belum seluruhnya penerimaan Hibah tercatat di Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang terutama untuk jenis hibah langsung. Pasalnya, menurut Elly, tidak seluruh kementerian/ lembaga(K/L) melaporkan penerimaan hibah langsung ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang(DJPU). “Perlu inisiatif K/L untuk melaporkan ke DJPU mengingat jenis hibah langsung diserahkan langsung oleh donator ke K/L tanpa melalui atau sepengetahuan DJPU. “ungkapnya. Padahal, lanjutnya, hal inilah yang menjadi satu persoalan terberat yang dihadapi pemerintah untuk memperoleh opini WTP atas LKPP tahun 2010 dari BPK RI. Hasil audit BPK menurutnya menemukan masih banyak hibah yang belum dipertanggungjawabkan oleh pemberi hibah. Untuk itu lah, Kementerian Keuangan meminta BPKP untuk memberikan sosialisasi terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban hibah kepada seluruh APIP. Ke depan, BPKP berharap APIP dapat membantu BPKP dalam melakukan audit terhadap pengelolaan penerusan utang negara ke daerah dan hibah. Menyikapi efektifitas pengawasan terhadap utang pemerintah, ia menginginkan pengawasan yang tidak seperti Polisi Lalu Lintas yang hanya menyodorkan surat tilang. “Seharusnya, trend
menyerobot lampu merah yang tetap tinggi, bahkan meningkat, harus menjadi pertanyaan. Mengapa pengguna jalan kerapkali menyerobot lampu merah? Harusnya, pengawasan atas utang pemerintah bisa mencari something behind the problem, not only find the problem” jelasnya. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan jumlah utang pemerintah yang terus meningkat, sementara penyerapannya relatif rendah. Hal inilah yang menurutnya harus dicari solusi setelah sebelumnya dilakukan identifikasi titik-titik yang menjadi penyebab. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, Bappenas, dan K/L menurutnya perlu masukan dari para aparat pengawas, seperti APIP dan auditor eksternal. Sejauh ini, ia berpendapat, setidaknya ada tiga penyebab kegagalan pemanfaatan utang pemerintah, yaitu kurangnya awareness dari K/L terhadap sumber daya manusia yang mengelola proyek terutama bersumber dana dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) sehingga kesalahan yang sama selalu ditemukan ditahun berikutnya,kedua, sebaran proyek berbantuan luar negeri yang terlalu jauh dan tidak didukung tenaga fasilitator yang cukup sehingga pengawasan sangat rendah, dan ketiga, pemeriksaan yang selama ini dilakukan masih bersifat general audit dan financial audit yang belum sepenuhnya menyentuh pada kebermanfaatan dari sebuah proyek. Ke depan, ia berharap dapat dilakukan performance audit atas proyek bersumber dana dari Pinjaman Luar Negeri sehingga dapat diketahui apakah outcome dari proyek benar-benar telah tercapai
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(nani)
27
WARTA utama
28
ntuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan, Pemerintah dihadapkan pada berbagai pilihan sumber pembiayaan. Pembiayaan dalam negeri merupakan pilihan utama pemerintah. Namun penerimaan dalam negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta penerimaan dalam negeri lainnya belum cukup untuk membiayai pembangunan sesuai target pertumbuhan yang diinginkan.
U
terus meningkat yang dikhawatirkan akan semakin membebani APBN karena akibat lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga setiap tahunnya. Bahkan, jika dibandingkan antara jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga dengan jumlah penambahan utang baru, ternyata jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga lebih besar daripada penambahan utang baru, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Berdasarkan data tersebut, maka tidak ber-
Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pembiayaan pembangunan tersebut dari utang dan kebijakan tersebut termasuk salah satu kebijakan ekonomi yang tidak berubah sejak pemerintahan orde baru hingga pemerintahan Indonesia Bersatu. Pembiayaan defisit anggaran dengan pinjaman/utang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan Negara yang lazim dilakukan oleh suatu Negara. Namun, jumlah utang pemerintah cenderung
lebihan apabila dikatakan bahwa Indonesia sudah masuk dalam perangkap jebakan utang (debt trap) yang memaksa pemerintah melakukan gali utang bayar utang setiap tahunnya (Radhi,2009). Namun demikian, pihak pemerintah (Kementerian Keuangan) menyatakan bahwa utang pemerintah Indonesia masih dalam batas aman (wajar).Saat ini pengelolaan utang sudah lebih baik dibandingkan dengan masa lalu (antara news, 2009). Hal ini dilihat dari rasio utang terhadap
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA utama produk domestik bruto (PDB) yang cenderung semakin menurun yang mengindikasikan peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang. Dengan jumlah utang yang semakin besar tersebut, banyak ekonom yang memeringatkan pemerintah akan adanya risiko jebakan utang (debt trap), dimana utang sudah terlalu membebani anggaran negara untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga. Risiko lainnya terkait dengan tereksposure-nya pemerintah Indonesia kedalam risiko perekonomian global. IMF dan World Bank (2001) mengidentifikasi beberapa risiko yang dihadapi suatu Negara terkait dengan pengelolaan utang pemerintah yaitu market risk, funding risk, liquidity risk, credit risk,dan operational risk. Market risk merupakan risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan inflasi.Funding risk merupakan risiko ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan anggaran ataupun rolloverutang pada tingkat yang dapat diterima.Risiko roll-over yaitu risiko bahwa utang akan diroll-over dengan biaya yang sangat tinggi atau bahkan risiko utang tidak dapat diroll-over sama sekali. Liquidity risk berkenaan dengan manajemen kas pemerintah.Risiko likuiditas menunjuk ke suatu keadaan dimana volume aset lancar (kas) menurun dengan cepat karena timbulnya kewajiban pembayaran yang tidak diantisipasi sebelumnya atau kesulitan dalam memperoleh kas melalui pinjaman jangka pendek.Pembayaran angsuran pokok utang dan bunga yang setiap tahun meningkat membawa risiko terhadap likuiditas APBN. Apabila jebakan utang tidak segera diselesaikan maka akan mengarah ke liquidity trap. Mexico merupakan salah satu Negara yang mengalami liquidity trap yang sangat besar sehingga akhirnya dinyatakan default. Dari APBN tahun 2008 terlihat bahwa anggaran yang harus disediakan pemerintah Indonesia untuk membayar bunga utangsebesar Rp89,46 trilyun (mencapai 10% dari total pendapatan atau 9% dari total belanja). Pada tahun 2009, diprediksi pembayaran bunga utang sebesar Rp101,66 trilyun atau 10,3% dari total pendapatan atau 9,8% dari total belanja. Credit risk berkenaan dengan kinerja yang rendah dari peminjam atas kesepakatan keuangan yang telah dituangkan dalam kontrak.Risiko tersebut relevan khususnya dalam pengelolaan aset lancar. Risiko kredit juga terkait dengan
penerimaan atas penawaran surat berharga (surat utang) yang diterbitkan pemerintah ataupun kontrak-kontrak derivatif yang ditutup oleh pemerintah. Risiko kredit yang tinggi akan menjadikan pemerintah dikenakan premi yang tinggi pada saat menjual surat utang atau menutup kontrak derivative, sehingga menjadikan biaya peminjaman (cost of borrowing) lebih tinggi di atas rata-rata tarif premi pasar. Operasional risk meliputi berbagai jenis risiko seperti kemungkinan kesalahan berbagai tahapan pelaksanaan dan pencatatan transaksi, ketidakcukupan atau kegagalan pengendalian intern atau kegagalan sistem, risiko reputasi, risiko hukum, risiko keamanan dan risiko bencana alam yang mempengaruhi aktivitas pemerintah. Contoh nyata dari risiko operasional adalah adanya pembangunan fisik yang salah sasaran dan dilaksanakan dengan tidak efisien. Juga risiko dana pembangunan dari utang yang dikorupsi. Untuk itu, maka diperlukan pengelolaan utang yang lebih komprehensif. Pemerintah perlu melakukan analisis yang lebih mendalam atas risiko yang dihadapi pemerintah terkait dengan utang tersebut baik dari segi jumlahnya maupun jenis instrumen utang. Dari hasil analisis risiko tersebut pemerintah dapat memformulasikan strategi pengelolaan utang yang diarahkan pada pengelolaan biaya dan risiko dan penyusunan rerangka hukum untuk memastikan batasan kewenangan pemerintah (eksekutif ) dan lembaga legislative dalam penetapan tambahan utang yang diperlukan untuk menutup defisit APBN. Disamping itu diperlukan pula strategi untuk mengintegrasikan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan utang. Dengan pengelolaan utang yang baik yang merupakan salah satu prasyarat dalam mencapai MDGs, bersama-sama dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penguatan institusi pemerintah, dan kebijakan ekonomi pro rakyat, maka target pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada tahun 2015 tidak mustahil untuk dicapai Disarikan dari Tulisan: Arief Tri Hardiyanto:
REFERENSI: Danmarks National Bank, (1998), “Government Debt Policy in an International Perspective” in Danish Government Borrowing and debt 1998; IMF dan World Bank, (2001).Guidelines for Public Debt Management; Radhi, Fahmy, (2009), “Beban Utang Luar Negeri dalam Perekonomian Indonesia”, Economic Review: Nomor 215; World Bank, (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
29
WARTA utama
Reformasi Pengawasan
Oleh : Setya Nugraha*
S
30
ebagaimana diketahui, total utang Pemerintah Indonesia hingga Oktober 2011 mencapai Rp 1.768,04 triliun, atau bertambah Rp 91,19 triliun jika dibandingkan dengan jumlah utang posisi Desember 2010 yang sebesar Rp 1.676,85 triliun (detik news, 29 November 2011). Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga sudah 27,5% artinya sudah mendekati 30% atau batas yang diasumsikan sebagian pakar ekonomi sebagai zona “waspada”. Mengambil hikmah dari krisis utang di Eropa akhir-akhir ini, seharusnya utang Pemerintah memang harus dikendalikan agar krisis serupa tidak menimpa Indonesia. Utang (Surat berharga, pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri) sebagai bagian dari kebijakan fiskal merupakan bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi secara keseluruhan serta konsekuensi logis dari kondisi APBN kita dimana Pendapatan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara. Mengingat utang harus dibayar maka kontrol atau pengendalian atas utang tentu saja mutlak harus dilakukan guna meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali. Artikel ini mencoba mengupas Peranan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menurut PP 60 tahun 2008 dalam mengendalikan sekaligus mengelola Utang Pemerintah. Pentingnya Aspek Soft Control dalam SPIP Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menurut PP 60/2008 merincikan pengendalian intern ke dalam 5 unsur yakni lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta peman-
tauan/monitoring. Satu hal yang utama dalam konsep pengendalian intern menurut COSO ini adalah peran aspek soft control yaitu aspek pelaku sistem yang tercermin dalam komponen lingkungan pengendalian (unsur pertama SPIP), antara lain integritas dan nilai etika, filosofis dan gaya operasi manajemen. Mengendalikan utang Pemerintah bukan perkara yang mudah apabila faktor soft control yakni SDM Birokrasi Pemerintahan belum berkomitmen dan menjunjung tinggi integritas dan nilai etika. Penyimpangan penggunaan dana seperti dana BOS, dana PNPM Perdesaan/ Perkotaan, dan dana sanitasi, yang notabene dana-dana tersebut berasal dari Pinjaman Pemerintah sudah cukup sering kita dengar di mass media. Membangun komitmen, integritas dan nilai etika aparat birokrasi pemerintah sebagai penanggung jawab, penggerak dan pelaku operasional penggunaan utang Pemerintah adalah tantangan berat meskipun bukan tidak mungkin. Langkah konkrit yang sudah dilakukan dan sebaiknya terus dilakukan adalah penandatanganan Pakta Integritas bagi para aparat birokrasi Pemerintahan, implementasi aturan perilaku yang tegas berikut pengenaan sanksi bagi pelaku fraud (kecurangan). Pengenaan sanksi yang tegas tanpa “tebang pilih” dapat menimbulkan efek jera guna meminimalkan risiko kebocoran utang Pemerintah. Berbagai unsur pengendalian yang merupakan aspek hard control pun tetap harus dijalankan melengkapi aspek soft control SPIP. Terkait pengendalian utang Pemerintah, peranan SPIP banyak terjawab dalam unsur-unsur SPIP yaitu:
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Mengendalikan Utang Pemerintah dengan SPIP
Unsur penilaian risiko (unsur kedua SPIP), memberikan early warning bagi Pemerintah sebagai eksekutor untuk memetakan tingkat risiko suatu utang Pemerintah pada level yang dapat diterima. Pengendalian terletak pada hasil kajian penilaian risiko sebagai dasar penentuan utang Pemerintah dapat diterima atau tidak. Logis, kalau negara pemberi utang (lender) berlomba-lomba mendistribusikan pinjaman kepada banyak negara termasuk kepada Pemerintah Indonesia. Namun proses seleksi penentuan utang Pemerintah semestinya harus lebih ketat lagi dengan berbagai kriteria yang ditentukan seperti rasio utang terhadap PDB, suku bunga yang diberikan lender, dan kriteria penting lainnya. Berbagai risiko yang inherent terkait utang Pemerintah termasuk risiko gagal bayar harus secara hati-hati/prudent dimonitor dan dievaluasi dan dimitigasi seoptimal mungkin. Unsur Kegiatan Pengendalian (unsur ketiga SPIP) memberikan berbagai piranti kontrol atas utang Pemerintah yaitu berbagai tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko utang Pemerintah telah dilaksanakan secara efektif. Contoh adalah pencatatan dan pengendalian sistem informasi database utang Pemerintah, otorisasi penarikan utang, dan sistem akuntabilitas termasuk pengawasan atas kemanfaatan utang Pemerintah. Reviu atas kinerja mencakup penilaian terhadap perbaikan kualitas pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya berbagai indikator perekonomian antara lain penyerapan lapangan kerja, penurunan angka kemiskinan dan penurunan jumlah kematian bayi. Pengelolaan utang juga dikendalikan melalui pengaturan kelembagaan yang baik, yang memberikan kejelasan peranan, tanggung jawab, dan mandat. Melalui Sistem Informasi dan Komunikasi (unsur keempat SPIP), Sistem Informasi utang Pemerintah dikelola, dikembangkan dan diperbaharui secara terus menerus. Awareness atas
WARTA utama
potensi terjadinya krisis utang juga selalu dikembangkan dengan melihat berbagai “sinyal” dalam Sistem Informasi yang telah dibangun antara lain rasio utang per kapita, kemampuan membayar utang, keseimbangan primer (pendapatan negara dikurangi belanja dalam APBN diluar pembayaran cicilan utang), dan berbagai indikator penting lainnya. Unsur kelima SPIP yaitu monitoring, memantau efektivitas control atas utang Pemerintah secara berkesinambungan serta memperbaiki berbagai kelemahan atau loop holes atas berbagai kebijakan pengendalian utang Pemerintah guna mencapai akuntabilitas kinerja pengelolaan keuangan seoptimal mungkin. Salah satu barometer efektivitas akuntabilitas kinerja pengelolaan utang tentu saja adalah opini BPK terhadap Laporan Keuangan Bagian Anggaran terkait Pengelolaan Utang. Simpulan Utang Pemerintah yang diperlukan sebagai konsekuensi Pendapatan Negara yang lebih kecil daripada Belanja Negara tetap harus dikendalikan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah berfungsi mengendalikan aspek soft control (SDM birokrasi pemerintahan) maupun melalui pengendalian hard control. Efektifitas pengendalian SPIP terhadap utang Pemerintah terletak pada komitmen dan integritas SDM birokrasi pemerintahan serta penegakan berbagai kegiatan pengendalian yang sudah dijalankan selama ini. Utang Pemerintah dikendalikan dengan penerapan SPIP agar tidak terjadi kebocoran, kenaikan jumlah utang tanpa kendali, risiko gagal bayar yang kurang diperhitungkan, serta utang tanpa arah kemanfaatan yang optimal. Utang ibarat pedang bermata dua, mata yang satu berguna untuk peningkatan kemakmuran rakyat sementara mata yang lain adalah berpotensi menyengsarakan rakyat. Mari kita kendalikan utang Pemerintah dengan penerapan SPIP secara konsekuen dan konsisten. *Penulis adalah Kepala Bidang IPP BPKP Jambi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
31
TOKOH
32
S
ejak tahun 2009, Hadi Poernomo, dipercaya menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) yang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan seluruh keuangan negara di Indonesia. Perjalanan panjang sebagai birokrat tulen, membentuk dirinya sebagai pemimpin dengan visi yang kuat dalam membangun organisasinya. Drs Hadi Poernomo Ak, pria kelahiran Pamekasan 21 April 1947, sebelum menjadi Ketua BPK-RI, ia menjabat sebagai Kepala Bidang Ekonomi di Dewan Analisis Strategis pada Badan Intelejen Nasional (BIN), 2009. Namun perjalanan karirnya banyak dihabiskan di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Ia berkarir sejak tahun 1973 hingga terakhir ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak sejak tahun 2001. Tokoh asal pulau Garam ini sempat
berbincang-bincang dengan Warta Pengawasan di kantornya pada awal bulan Desember ini. Pada kesempatan tersebut, ia memaparkan harapannya setelah BPK ditunjuk sebagai Ketua ASEANSAI, sebuah organisasi profesi eksternal auditor pemerintah se ASEAN. “Kita selalu terlambat dalam banyak hal. Mengapa? Ternyata karena ada gap, yaitu masalah monitoring. Saat ini proses monitoring-nya terpecah-pecah. Untuk itu kita harapkan dapat menyusun sistem informasi nasional yang sinergi. Selama ini kita tahu anggaran pengembangan Information Technology mencapai Rp 4 trilliun. Dengan sinergi ini, semua data baik finansial maupun non financial, kita buat link and match dan interface dengan pusat data yang kuat, dengan alat yang bernama smart engine. Untuk lebih meningkatkan efektivitasnya, kita membangun ASEANSAI yang dilakukan secara step
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Komunikasi BPK dan APIP harus Baik
by step . Dengan bekerja sama, kita bisa link and match dengan menaruh orang di negara lain. Seperti di Amerika, ada ‘second man’ untuk mengambil data dan informasi yang diperlukan dan tanpa biaya.” Ia juga memiliki komitmen yang tinggi untuk memanfaatkan Teknologi Informasi dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Satu tahun terakhir, ia mengembangkan eaudit di lembaganya. Dengan hal tersebut, data ataupun informasi dari auditee telah berbentuk file data komputer dan terhubung langsung dengan jaringan internet, sehingga bisa diakses secara online dan real-time oleh para pemeriksa BPK. Penerapan ini diharapkan dapat menekan penyelewengan keuangan negara hingga 30 persen. Pada akhir tahun 2011 ini, ia mewacanakan BPK RI akan melakukan pengawasan terhadap utang pemerintah. Hal ini sempat ia singgung saat berbincang dengan Warta Pengawasan. “Kita ingin melihat dasar hukumnya, mengapa sebuah utang diambil. Kita ingin melihat apakah sudah lebih menguntungkan? Kemudian, bagaimana pelaksanaannya? bagaimana administrasinya? dan kemudian bagaimana kinerjanya? BPK mencoba melihat secara substansial dan berkesinambungan, jangan sampai ada utang yang belum dipakai, namun sudah dikenai biaya seperti commit-
TOKOH
ment fee, dan sebagainya. Hal ini untuk memberi keyakinan bahwa utang pemerintah telah memberi manfaat pada masyarakat.” Hadi Poernomo tumbuh besar di kota Jember, Jawa Timur. Ia memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat Jokotole Jember tahun 1959 dan SMP Negeri 1 Jember tahun 1962. Kemudian ia pindah ke Kediri melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Kediri. Lulus SMA, ia mengikuti Pendidikan Bond A dan Bond B, Akademi Ajun Akuntan, hingga mengikuti pendidikan di Institut Ilmu Keuangan yang diselesaikannya pada tahun 1973. Setelah itu, ia berkarir di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Pengalamannya sebagai pegawai Dirjen Pajak memberi pandangan bahwa antara eksternal auditor dengan internal auditor harus terbangun komunikasi yang baik. Hal ini ia terapkan ketika menjadi Ketua BPK RI. Ia menjalin komunikasi yang kuat dengan Aparat Pengawas Intern Pemerintah seperti BPKP, Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Wilayah. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbangun sinergi pengawasan yang baik juga. “Dengan komunikasi yang baik, monitoring akan lebih baik. Kita bisa ‘nitip’ hal-hal yang perlu dipertanyakan. Hal ini akan membantu kita. Selain itu menurut Undangundang, seluruh hasil pemeriksaan APIP harus diserahkan ke BPK. Ini membutuhkan komunikasi yang baik.”ungkapnya. Harapan Hadi Poernomo akan sebuah pengawasan yang kuat merupakan tantangan tersendiri, bukan hanya untuk BPK RI tetapi untuk para Aparat Pengawasan internal Pemerintah, baik yang ada di Kementerian, Lembaga, maupun Pemerintahan Daerah. Sinergi pengawasan merupakan sebuah solusi untuk menjawab persoalan penyimpangan keuangan negara. Ke depan, masyarakat ingin melihat bahwa opini WTP yang diberikan BPK RI dapat menjadi jaminan telah terwujudnya tata kelola keuangan negara yang baik (nani)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
33
WARTA PUSAT
34
34
Awal bulan November 2011, para akuntan Indonesia menggelar sebuah ‘hajatan’ besar. Dengan dimotori organisasi profesinya, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengadakan konferensi regional tingkat ASEAN pada tanggal 8 – 10 November 2011, dengan tema “Public Sector Accounting for Public Walfare”. Kegiatan ini merupakan bagian dari peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN, yang saat ini berusaha keras untuk memperkokoh kerjasama diantara negara-negara anggota melalui implementasi tiga pilar ASEAN Community, yaitu ASEAN Political and Security Community (APSC); ASEAN Economic Community (AEC); dan ASEAN SocioCultural Community (ASCC).
D
iantara kerjasama yang dicakup dalam ASEAN Economic Community (AEC) adalah kerjasama di bidang human resources development and capacity building serta recognition of professional qualifications. Regional Public Sector Conference yang diadakan oleh IAI bekerjasama dengan ASEAN Federation of Accountant (AFA) dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kualifikasi profesional yang digagas oleh elemen masyarakat dan organisasi profesi untuk mewujudkan ASEAN yang semakin maju.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Meningkatkan Informasi Keuangan Negara
Wakil Presiden, Boediono
Pembukaan konferensi berlangsung di Istana Wakil Presiden, Jalan Kebun Sirih No 14 Jakarta. Wakil Presiden Boediono membuka acara tersebut didampingi oleh Menteri Negara PAN dan RB, Azwar Abubakar dan Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia, Prof. Mardiasmo. Pada kesempatan tersebut, Wakil Presiden menekankan pentingnya kualitas SDM yang andal di bidang Akuntansi Pemerintah. Saat ini Indonesia membutuhkan banyak tenaga yang memahami akuntansi sektor Pemerintah untuk membantu mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang akuntabel. Hal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses Reformasi Birokrasi di Indonesia yang menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional 2010-2014. Lebih besar lagi, hal ini merupakan bagian dari proses demokratisasi bangsa Indonesia. Sebelumnya, Ketua Umum IAI, Prof. Mardiasmo menyampaikan kata sambutannya sebagai penyelenggara acara. Pada kesempatan tersebut Mardiasmo menyampaikan tujuan dari konferensi ini adalah untuk meningkatkan Good Governance di
WARTA PUSAT
kawasan ASEAN serta memperkuat peran strategis dan kontribusi Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Ia juga mengungkapkan akan adanya program sertifikasi Akuntansi Pemerintah untuk menyiapkan SDM yang handal dan memiliki kompetensi dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara/ daerah. Selain Wakil Presiden Boediono, beberapa Menteri dan Wakil Menteri tampil sebagai keynote speaker. Wakil Menteri Keuangan, Ani Rahmawati tampil membawa materi dengan judul “Govermental Accounting System Development to Realize an Effective and Efficient Budget Execution”. Ani menyampaikan pengembangan konsepsi dan sistem akuntansi pemerintahan melalui peningkatan sinergitas akuntansi dengan kebijakan pelaksanaan anggaran negara yang ekonomis, efisien, dan efektif serta berorientasi pada sistem pengendalian intern dan fraud control system. Ia memaparkan tentang reformasi keuangan negara dari aspek regulasi, akuntabilitas, dan auditing, permasalahan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Permasalahan penyusunan anggaran yang efisien dan efektif. Terkait penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah, ia mengungkapkan beberapa strategi untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, yaitu meningkakan komitmen Menteri atau Pimpinan Lembaga, pendidikan dan pelatihan pegawai, menindaklanjuti temuan hasil pengawasan BPK-RI, meningkatkan peran APIP dalam reviu laporan keuangan, pembinaan secara intensif khususnya pada instansi yang masih mendapat opini ‘disclaimer’, dan mengimplementasikan akuntansi berbasis akrual pada tahun 2013. Menteri Dalam Negeri dalam sambutannya menyampaikan bahwa indikator utama untuk mengukur kualitas pengelolaan keuangan daerah adalah ketepatan penyampaian laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), tingginya penyerapan APBD, dan kualitas opini pemeriksaan BPK. Sedangkan kontribusi terbesar dari akuntansi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dana lokasi sumberdaya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Akuntansi sektor publik juga memberikan manfaat di setiap tahapan pengelolaan keuangan daerah. Di tahapan perencanaan dan penganggaran, akun-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
35
WARTA PUSAT
36
tansi berkontribusi sebagai sumber informasi dalam proses penyusunan RPJMD dan dokumen perencanaan tahunan dan memberikan tools dalam bentuk Analisis Standar Belanja sebagai dasar pengalokasian dan pengukuran. Di tahapan pelaksanaan, akuntansi bermanfaat sebagai alat pengendalian pelaksanaan anggaran. Di tahapan penatausahaan dan akuntansi, kontribusi yang diberikan adalah sebagai alat untuk menghasilkan informasi penggunaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan. Pada tahapan selanjutnya, yaitu tahapan pemeriksaan dan pertanggungjawaban, akuntansi berkontribusi sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi kinerja dari kanan ke kiri: Wakil Presiden, Boediono, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar(no. 2 dari kiri) Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo(kiri), sedang berdiskusi usai acara dan juga sebagai alat untuk mengukur kepatuhan dalam pengelolaan keuangan. Beberapa peran yang dimainkan oleh akuntansi luas, termasuk informasi mengenai sumber daya alam sektor Pemerintahan dalam upaya pembenahan pe- negara (natural resources) seperti kekayaan hutan dan ngelolaan keuangan daerah agar dapat mendukung laut. Ia juga mengungkapkan bahwa kebutuhan inforupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yaitu: masi kinerja yang komprehensif membutuhkan lebih 1) Penyempurnaan regulasi keuangan daerah dari sekedar informasi penyerapan. Instansi peme2) Pengembangan tools perencanaan penganggaran berbasis kinerja berdasarkan prinsip 3E (Ekonomis, rintah harus menjelaskan efisiensi penggunaan sumber daya dan efektivitas pencapaian tujuan dalam Efisien, Efektif ). 3) Integrasi sistem perencanaan dan penganggaran, menjalankan fungsi pelayanan publik. Untuk itu perlu sistem penatausahaan barang dan keuangan dilakukan audit kinerja yang memberikan opini untuk daerah memberikan jaminan yang memadai atas informasi 4) Membangun sistem akuntansi di tingkat nasional kinerja. Melalui audit kinerja akan ditemukan kesenyang terintegrasi dengan sistem keuangan daerah jangan antara perencanaan dan realisasi serta ke5) Pencetakan tenaga akuntansi sektor publik secara patuhan terhadap aturan. Dengan audit kinerja, akan massif dan berkualitas diperoleh rekomendasi perbaikan kinerja yang sangat 6) Penyediaan pelatihan bidang keuangan daerah dibutuhkan oleh Kementerian/Lembaga. Konsep ter7) Fasilitasi dan pendampingan pengelolaan ke- sebut sebagaimana telah dirintis di Australia dan Seuangan Pemda landia Baru. 8) Peningkatan Sistem Pengendalian Intern (SPI) Tantangan lainnya adalah penyatuan laporan 9) Reviu LKPD keuangan dan LAKIP. Konsep pelaporan ini akan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kesejalan dengan konsep Anggaran Berbasis Kinerja tua Bappenas menyampaikan bahwa Setidaknya ada yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dua tantangan lain yang perlu dibahas dalam kondengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk ferensi ini. Pertama adalah menyusun laporan keefisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran uangan yang terkonsolidasi untuk mewujudkan Latersebut. poran Keuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia Selain itu materi tersebut di atas, beberapa kisah (LKNKRI). Pada saat ini, laporan keuangan pemerintah sukses juga dibahas sebagai pembelajaran bagi daepusat terpisah dari laporan keuangan daerah (Prorah lain seperti kisah sukses Provinsi Sulawesi Utara, vinsi/Kabupaten/ Kota). Kedua, aset yang tercantum Provinsi DI Yogyakarta, Kota Semarang, Provinsi Jawa dalam laporan keuangan pemerintah masih dibatasi Timur, POLRI, PT Garuda Indonesia, dan lainnya. Salah pada barang berwujud maupun tidak berwujud yang satu sesi yang tak kalah penting pada acara tersebut dikuasai oleh instansi pemerintahan (tanah, gedung, yaitu di-launching-nya program Sertifikasi Akuntansi peralatan dan mesin, perangkat lunak). Dalam konteks Pemerintan oleh IAI perencanaan, kebutuhan informasi aset jauh lebih (triwib)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA PUSAT
Open Government pada dasarnya adalah pemerintah yang terbuka/ transparan, mengundang rakyat berpartisipasi, dan mengajak segenap unsur masyarakat berkolaborasi memecahkan pelbagai masalah demi kesejahteraan rakyat.
Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto
K
eterbukaan diharapkan menjadi salah satu pemicu dan pemacu reformasi birokrasi lintas sektor dan lintas institusi. Dengan transparansi, semua menjadi jelas dan terang benderang. Open government mengaktualisasikan secara praktis pengertian pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Beberapa momentum yang baik untuk menuju ke arah open government diantaranya adalah dengan diterbitkannya UU no.14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik, dan telah diluncurkannya Open Government Partnership (OGP) dimana 46 negara menyatakan bersedia bergabung dan Indonesia diharapkan menjadi co-chair tahun 2012. Indonesia telah menyusun rencana aksi menuju Open Government yang melibatkan pemerintah, LSM, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat luas. Rencana aksi memiliki triple track, track 1 penguatan dan percepatan program berjalan, track 2 pengembangan portal keterbukaan informasi, dan track 3 pilot project dan inisiatif baru.
Open Government Knowledge Forum 2011 yang digagas oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) kali ini dilaksanakan di Ruang Cempaka, Balai Kartini, Jakarta (14/ 12) dengan mengambil tema “Open Government dan Partisipasi Publik dalam Perencanaan dan Monitoring Program Pembangunan”. Acara ini mendatangkan keynote speaker Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, dan Mr. Martin yang mewakili Maya Harris, dari Ford Fondation yang berhalangan hadir. Forum ini juga mengundang pembicara Sujana Royat, Deputi VII Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, dengan tema paparan “Mewujudkan Transparansi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Upaya Pengentasan”. Pembicara lainnya adalah Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Teten Masduki, dengan tema paparan “Partisipasi Masyarakat Dalam Reformasi Pelayanan Publik”, dengan moderator Febby Tumewa. Dalam paparannya, Kuntoro menyampaikan bahwa sekarang Unit Kerja Presiden
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
37
WARTA PUSAT
38
Mr. Martin dari Ford Fondation
Open Government Knowledge Forum
Rencana Aksi (action plan) menuju Open Government dan prinsip-prinsip rencana aksinya. Hal yang terpenting ke depan adalah mengimplementasikan action plan dan prinsip-prinsip yang telah dibuat tersebut. Martin berharap action plan tersebut dapat diimplementasikan pada 3 Provinsi/Kab/Kota yang dijadikan sebagai pilot project open government. Sementara itu, Sujana Royat, dalam paparannya mengatakan bahwa program PNPM – mandiri yang dinaungi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra telah mengikutkan partisipasi masyarakat untuk pelaksanaannya dengan membentuk Lembaga Dana Amanah Masyarakat (Community Trust Fund). Partisipasi juga merupakan salah satu asas dari ke-12 asas yang diterapkan oleh PNPM Mandiri, dimana masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan. Lalu Teten Masduki, memaparkan prinsip Empowered Participatory Governance (EPG) yang muncul di salah satu sekolah di Chicago, mirip penerapannya dengan komite sekolah di Indonesia. Dalam EPG, masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif dan mempengaruhi kebijakan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup mereka. Kesimpulan yang dapat diambil dari forum diskusi ini adalah bahwa Transparansi institusi dan adanya partisipasi dari masyarakat luas akan memberikan hasil yang Ekonomis bagi pembelanjaan anggaran negara, Efisien dalam proses pelaksanaan suatu program/pekerjaan, dan Efektif terkait hasil yang akhirnya dicapai oleh kegiatan tersebut
untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) membuka SMS 1708 bagi masyarakat terkait dengan kinerja kementerian, langkah itu dikemas dalam program Lapor (Layanan Pengaduan Online Rakyat). Masyarakat Indonesia bisa mengkritisi kinerja menteri yang dinilai buruk hanya dengan mengirim(HJK) kan SMS keluhan ke nomor 1708. SMS keluhan segera diproses Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk disampaikan kepada kementerian terkait. Alurnya, kata Kuntoro, laporan disampaikan ke menteri, lalu menteri akan memerintahkan ke dirjen, dan dirjen akan meneruskannya hingga ke instansi yang berada di lapangan. Saat ini, memang laporan masyarakat masih belum sampai pada penindaklanjutan karena UKP4 masih merumuskan beberapa mekanisme, misalnya bagaimana solusi untuk laporan yang bersifat non fisik seperti keluhan perizinan. dari ki-ka: Sujana Royat, Deputi VII Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Martin mengatakan dalam sambudan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan tannya bahwa Indonesia telah menjadi Rakyat RI, Febby Tumewa sebagai moderator, dan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Teten Masduki, anggota OGP dan juga telah mempunyai
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA PUSAT Peningkatan Kompetensi, harus menjadi perhatian serius BPKP. Rasanya itulah yang harus terus dilakukan BPKP mengingat kian beragamnya tuntutan para pengguna jasa BPKP serta situasi eksternal yang terus berubah.
U
ntuk itu pula, Deputi Bidang Akuntan Negara BPKP, menyelenggarakan Workshop dengan tema "Melalui Peningkatan Kompetensi SDM KeakuntanNegaraa, Kita Wujudkan Organisasi yang Responsif dan Antisipatif" di Jakarta, pada tanggal 10 - 14 Oktober 2011. Kegiatan workshop dibuka oleh Kepala BPKP Mardiasmo, yang dalam sambutannya menegaskan kembali betapa strategisnya peran BPKP dewasa ini. Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya menjaga trust yang sudah diamanatkan oleh Pemerintah dan para Stakeholders dengan senantiasa bekerja dalam suasana togetherness dan penuh integritas dalam menjalankan tugasnya, terutama untuk membantu Pemerintah dalam mencapai Program MDG's, Ketahanan Pangan, Pengerjaan Infrastruktur, dan Program Pemerintah yang terkait isu strategis Nasional seperti Analisa Kelayakan dalam berinvestasi oleh BUMN, Biaya Lifting Migas, Pajak Migas serta Cost Recovery. Harapan yang sama juga disampaikan Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana. Seluruh pegawai di Deputi Akuntan Negara (DAN), harus terus meng-update pengetahuan agar nilai tambah dari BPKP terus meningkat. Banyak isu-isu terbaru terkait Good Corporate Governance (GCG) yang disajikan dalam workshop ini, mulai dari, perkembangan dan isu-isu terkini penerapan GCG di Indonesia dan Experience Sharing GCG, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik perusahaan dari sisi tata kelola perusahaan dan kecurangan bisnis, Overview IFRS dan Hot Issues IFRS dan Sharing Penerapan IFRS. Turut hadir narasumber dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), PT Antam, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Trimegah Securities, akademisi dari ITB, Yassierli
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
39
WARTA PUSAT nesia sendiri merupakan salah satu solusi untuk menciptakan kegiatan berusaha yang kondusif dan dapat menghindarkan segala bentuk skandal dalam suatu perusahaan. Namun, yang di sayangkan, menurut Tony, dalam kenyataannya GCG hingga saat ini belum diterapkan sepenuhnya atau masih belum membumi. Secara umum, perusahaan di Indonesia masih terkonsentrasi pada ukuran angkaangka penilaian GCG dan tidak menyentuh substansi yang diharapkan dari GCG, yaitu Transparansi (Transparency), Keadilan (Fairness), Akuntabilitas (Accountability), dan Responsibilitas (Responsibility). Di samping itu, yang perlu diperhatikan dalam penerapan GCG seperti disampaikan Tony adalah 6 prinsip-prinsip pokok yang disusun oleh OECD, yakni: Adanya dasar kerangka kerja GCG yang efektif (Ensuring the basis for an effective corporate governance framework), hak-hak pemegang saham (the rights of shareholders and key ownership functions), perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders), peranan stakeholders (the role
40 Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana
PhD dan Budi Martokoesoemo dari Kantor Jasa Penilai Publik Martokoesoemo Prasetyo & Rekan (KJPP MPR), menjadi pembicara dalam acara workshop tersebut. Salah satu materi yang cukup menarik adalah yang disampaikan Tony Silitonga dari Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD). Kepedulian praktisi ini terhadap GCG sepertinya cukup beralasan. Mengingat tumbuh kembangnya iklim investasi di negara manapun akan sangat tergantung pada corporate governance yang diimplementasikan. Artinya, sejauh mana manajemen perusahaan di suatu negara menghormati dan mematuhi hak-hak hukum para pemegang saham, lender, dan bondholders. Investor asing maupun lokal pasti akan berpikir panjang untuk berinvestasi atau menanamkan modalnya pada perusahaan di suatu negara yang tidak menerapkan corporate governance. Semakin baik suatu negara menerapkan prinsip-prinsip yang ada dalam GCG merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal. Adanya GCG di Indo-
Tony Silitonga dari Indonesian Institute for Corporate
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Update Knowledge Demi Sebuah Trust
Prof. Mariam Darus
of stakeholders), pengungkapan dan transparansi (disclosure and transparancy), tanggung jawab direksi dan komisaris (the responsibility of the board). Prinsip itu pula yang harus diperhatikan BUMN/D yang menjadi fokus BPKP dan tentu saja perlu modifikasi mengingat sifatnya yang agak spesifik. Poin tambahan tersebut lanjutnya adalah Ensuring an Effective Legal and Regulatory Framework for State-Owned Enterprises; The State Acting as an Owner; Equitable Treatment of Shareholders; Relations with Stakeholders; Transparency and Disclosure; dan The Responsibilities of Boards of State-Owned Enterprises.
WARTA PUSAT
Sesi lain yang cukup menarik adalah terkait Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik perusahaan dari sisi tata kelola perusahaan dan kecurangan bisnis yang disampaikan oleh Prof. Mariam Darus. Ia menyadari tidaklah mudah bagi BPKP untuk memahami regulasi terkait Perseroan Terbatas. Minimal, menurutnya, butuh waktu minimal 2 (dua) tahun karena pemahaman hukum tentang Perseroan terbatas bertingkat-tingkat, semakin lama tingkatan akan semakin banyak. Padahal, dalam melakukan peran konsultasi dan quality assurance, tanpa memahami aturan hukumnya, akan sulit bagi BPKP dalam memberikan masukan atau solusi kepada BUMN/D. Salah satu kendala, menurut Mariam adalah perangkat hukum di Indonesia banyak yang menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Kitab UU Perdata yang ada sejak tahun 1848 sampai sekarang, pembaharuannya baru bersifat parsial dalam arti per bagianbagian saja. Hal ini mengakibatkan para pelaku sekarang ini wajib memahami hukum dari sisi positif atau konkrit dan abstraktif. Untuk itu, lanjut Mariam, sebelum melakukan audit terhadap sebuah persero, maka seorang auditor harus mempelajari terlebih dahulu karakter dari perusahaan tersebut. Melalui rangkaian kegiatan yang dilatarbelakangi keinginan untuk pengembangan kompetensi para auditor di Kedeputian Akuntan Negara, diharapkan dapat meningkatkan kontribusi BPKP akan sebuah BUMN/D yang baik tata kelolaanya bukan dalam angka tetapi secara nyata
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(Harjum/nani/Tanti)
41
WARTA PUSAT
“Jangan Terperangkap Dalam Ketidaktahuan” Forum Kehumasan dan Website BPKP selalu menjadi even yang dinanti para insan Kehumasan BPKP terutama saat acara “Malam Anugerah”.
K 42
ali ini, forum yang mengusung tema “Refor masi Birokrasi Kehumasan BPKP” dilaksana kan di Kota Kembang, Bandung, pada tanggal 21 hingga 25 November 2011. Pemilihan tema ini tidak lepas dari semangat BPKP untuk menyukseskan program Reformasi Birokrasi yang telah didengungkan pemerintah beberapa tahun terakhir ini. Insan kehumasan BPKP diharapkan dapat mendukung program Reformasi Birokrasi nasional di bidang kehumasan sekaligus mendukung penyebarSekretaris Utama BPKP, Suwartomo
Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi , Prof. Eddy Mulyadi
luasan informasi terkait Reformasi Birokrasi di BPKP. Melalui kegiatan forum diharapkan akan tercapai kesamaan tindakan dan persepsi sesama insan kehumasan BPKP baik di pusat maupun perwakilan dalam mendukung tugas dan peran BPKP sekaligus mengidentifikasi hambatan, peluang dan solusi sehingga dapat merumuskan langkah strategis yang berguna bagi peningkatan citra BPKP. Forum juga bertujuan meningkatkan kompetensi insan kehumasan agar semakin handal dalam mengemban tugas di masa yang akan datang. Forum dibuka secara resmi oleh Sekretaris Utama, Suwartomo dan dihadiri Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat, Tahria Syafruddin. Dalam sambutannya, Suwartomo mengharapkan agar insan kehumasan agar senantiasa melakukan berbagai upaya agar dalam menyampaikan informasi harus mengetahui benar apa yang telah, sedang dan akan dilakukan BPKP. Kehumasan harus senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan unit kerja teknis agar apa yang diinformasikan kepada publik dapat dipertanggungjawabkan baik secara materi substansi maupun cara penyampaian mengingat tidak semua informasi di BPKP dapat dipublikasikan kepada publik. Hari berikutnya Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi selaku Role Model Transparansi, Prof. Eddy Mulyadi berkesem-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Jangan Terperangkap Dalam Ketidaktahuan
WARTA PUSAT
dari kiri ke kanan : Deputi Bidang Tata Laksana Kementerian PAN dan RB, Ir. Deddy S. Bratakusuma, MURP, MSc, Phd, kabag Humas dan HAL BPKP, Ratna Tianti dan peneliti dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, DR. Udi Rusadi
patan memberikan pemaparan mengenai Transparansi Organisasi. Menurutnya, dalam menghadapi media jangan dihindari dan menjawabnya harus dengan profesionalisme yang terukur, menyatukan antara ilmu dan empirical. Jangan terburu-buru dalam menjawab namun jangan terperangkap dalam ketidaktahuan. Dalam menghadapi fakta pers, kita juga jangan terperangah, takut dan menganggap sebagai pressure. Kita harus meng-counter fakta pers, melalui informasi yang ada dikemas menjadi fakta pers lagi, tidak menceritakan fakta audit.
Kepala PusinfoWas, Ani Maharsi juga didaulat hadir untuk memaparkan E-Public Services yang merupakan menu baru pada website bpkp.go.id. EPS menjadi media bagi pengguna untuk menyampaikan keluhan tentang produk/jasa/pegawai BPKP, informasi dugaan TPK serta kritik, saran dan apresiasi. Sasaran pengembangan EPS adalah terbangunnya sistem layanan publik berbasis web. Memasuki materi inti tentang Reformasi Birokrasi Kehumasan, menghadirkan narasumber Deputi Bidang Tata Laksana Kementerian PAN dan RB, Ir. Deddy S. Bratakusuma, MURP, MSc, Phd dan peneliti dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, DR. Udi Rusadi. Keduanya menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas informasi untuk melahirkan kepercayaan dan partisipasi dalam mendukung Reformasi Birokrasi. Diskusi tentang Konsep Reformasi Birokrasi kehumasan pun digulirkan untuk menggali masukan dari seluruh peserta forum. Beberapa masukan yang cukup penting diantaranya adalah image building apa yang ingin dicapai BPKP, tulisan baik di daily news maupun majalah yang masih terkesan seperti laporan audit, wartawan yang lebih mencari bad news daripada good news serta masih adanya kesalahan penulisan kepanjangan BPKP di media cetak maupun online. Selain itu dilakukan pula diskusi pengelolaan website yang menyoroti perubahan sistem dan tampilan website pada tahun ini yang dibuat untuk lebih memudahkan para pengelola website unit kerja dan terciptanya konsistensi tampilan antara pusat dan perwakilan. Ke depan, website harus lebih menggali berita dari internal BPKP serta adanya rencana re-engenering website BPKP pada tahun 2012. Forum lebih bersemangat dengan hadirnya pakar komunikasi UI, Effendi Gazali, PHd, MPS ID yang menyajikan materi Reformasi Birokrasi Kehumasan (dengan Ko-Kreasi Publik). Effendi menyoroti pentin-
pakar komunikasi UI, Effendi Gazali, PHd, MPS ID WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
43
WARTA PUSAT gnya humas melakukan manajemen pencitraan dari dalam selanjutnya melakukan manajemen informasi sehingga humas bisa mengendalikan informasi. Kinerja tanpa komunikasi tidak akan menghasilkan reputasi, padahal BPKP telah menyelamatkan keuangan negara, mendukung optimalisasi pendapatan negara dan upaya penghematan. Dengan keterbatasan sistem yang ada, BPKP harus melakukan apa yang bisa dilakukan sehingga publik bisa mendengarkan dan menghargai BPKP. Pakar Fotografi Ari Angin juga dihadirkan untuk menyajikan materi pengenalan kamera dan pencahayaan, pemotretan gerak, serta pemakaian lampu kilat. Setelah mendapat teori fotografi, peserta diberi kesempatan praktik pengambilan gambar di sekitar lokasi penyelenggaraan forum. Kemeriahan dan keakraban forum kental terasa pada saat Malam Anugerah Kehumasan 2011 berlangsung hingga penutupan oleh Kepala Biro Hukum dan Humas, Momock Bambang Sumiarso. Juara umum tahun ini diraih Perwakilan BPKP Provinsi DIY sedangkan juara untuk masing-masing kategori yakni:
A. 1. 2. 3. B. 1. 2. 3. C. 1. 2. 3. D. 1. 2. 3. E.
Kategori Website Terbaik : BPKP Provinsi Riau BPKP Provinsi Bengkulu BPKP Provinsi DIY Kategori Cinderamata Terbaik : BPKP Provinsi Jawa Barat BPKP Provinsi Sulawesi Selatan BPKP Provinsi DIY Kategori Majalah : BPKP Provinsi DIY BPKP Provinsi Jawa Tengah BPKP Provinsi Sulawesi Selatan Kategori Media Non Majalah PusdiklatWas BPKP Provinsi Sumatera Barat BPKP Provinsi Kalimantan Timur Penghargaan Khusus Pengelola Kehumasan Terbaik diraih BPKP Provinsi Banten F. Penghargaan Khusus Pembentuk Opini Terbaik diraih BPKP Provinsi Sulawesi Selatan G. Penghargaan Khusus Daily News Terbanyak diraih BPKP Provinsi Bengkulu
44
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 Hasil foto para peserta Forum Kehumasan dan Websiite Tahun 2011 setelah mendapatkan pembelajaran dari pakar fotografi
(dian)
MANAJEMEN
Pengelolaan Risiko Atas Reputasi "it takes twenty years to build a reputation and five minutes to destroy it " (Warren Buffett, CEO Berkshire Hathaway)
K
utipan di atas menunjukkan betapa pentingnya reputasi dan penuh kandungan risiko yang perlu dicermati. Kata reputasi itu sendiri bukanlah istilah asing bagi kita. Reputasi adalah persepsi seseorang terhadap orang lain atau suatu organisasi, yang mempengaruhi respon orang tersebut di masa yang akan datang. Jadi, reputasi tidaklah selalu merupakan gambaran atau refleksi dari kenyataan yang sebenarnya. Reputasi tidak dibangun dalam satu hari. Reputasi tersebut dibangun bertahun-tahun berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan seseorang selama berinteraksi dengan orang lain atau suatu organisasi. Ironisnya, reputasi yang dibangun bertahun-tahun dapat runtuh dalam satu hari sebagaimana dinyatakan oleh Warren Buffet di atas. Bagi suatu perusahaan atau organisasi, reputasi adalah aset (intangible asset) yang sangat bernilai walaupun nilainya sulit dinyatakan dalam satuan uang (monetary term). Ada kemungkinan, nilainya bertambah baik atau bertambah buruk (reputation risk). Oleh karena ada risiko yang mungkin terjadi maka risiko tersebut harus dikelola dengan baik dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan reputasi yang sudah baik dan juga menghindarkan memburuknya reputasi. Untuk itu, dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai risiko reputasi dan bagaimana mengelola reputasi, Puslitbangwas mengirimkan tiga personilnya untuk mengikuti seminar Managing Reputational Risk. Seminar diselenggarakan oleh MIS Training Institute selama dua
hari yakni 31 Oktober hingga 1 November 2011, di Hongkong, Cina. Pengajar atau narasumber pelatihan adalah Jenny Rayner, seorang konsultan independen dan penulis buku yang mengkhususkan diri dalam manajemen risiko, tata kelola perusahaan, risiko reputasi, dan audit internal. Beberapa materi yang diajarkan dalam seminar ini, antara lain adalah Reputation risk unravelled, Adopting a risk-based approach, Identifying risk to reputation, Roles and responsibility, Assessing reputational risk,Strategies for managing risks to reputation, Reputation risk monitoring and assurance, Spreading the news, Towards a sustainable reputation, Putting it all together Secara umum materi seminar terdiri atas risiko atas reputasi dan pengelolaan
risiko atas reputasi dengan ringkasan berikut butir-butir pelajaran yang dapat dipetik (lesson learned) sebagai berikut: Risiko atas Reputasi Terminologi ‘reputational risk’ atau ‘reputation risk’ sering kali dipergunakan dan disalahmengertikan, seolah-olah risiko reputasi merupakan suatu kelompok risiko tersendiri di luar risiko keuangan atau risiko operasi. Jenny Rayner mengatakan: “sebenarnya tidak ada reputation risk, yang ada adalah risk to reputation (risiko atas reputasi)”. Risiko atas reputasi adalah setiap tindakan, kejadian atau keadaan yang dapat memperbaiki (beneficially impact) atau memperburuk (adversely impact) reputasi organisasi. Berdasarkan pernyataan di atas, ada
peserta seminar Managing Reputation Risk dari kanan ke kiri: Hari Setiadi, Narasumber, Sri Nurhayati, dan John Tigor
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
45
MANAJEMEN dua hal yang dapat kita nyatakan, yaitu: • Tindakan, kejadian, atau keadaan yang ada tidak selalu berdampak buruk terhadap reputasi organisasi tetapi bisa berdampak baik atau menguntungkan • Risiko atas reputasi bukanlah tindakan, kejadian, atau keadaan (sumber dari risiko itu sendiri) tetapi adalah dampak dari kejadian tersebut. Oleh karena reputasi organisasi sangat rentan terhadap tindakan individu dalam organisasi tersebut dan juga perubahan lingkungan di luar organisasi maka sangatlah penting bagi suatu organisasi untuk mengelola risiko-risiko yang ada sehingga tidak memperburuk reputasi organisasi tersebut.
46
Gambar 1. Faktor-faktor Pendorong Pembentuk Reputasi
Sumber: Bahan Seminar Managing Reputational Risk Pengelolaan risiko atas reputasi Pada dasarnya, pengelolaan risiko atas reputasi tidak berTujuh faktor tersebut di atas mendorong apakah reputasi beda dengan pengelolaan risiko-risiko yang lain, yaitu mulai yang dibangun akan memunculkan ancaman atau peluang. dari board/executive commitment and tone-setting, risk Setiap faktor memiliki komponen pemenuhan reputasi, identification, risk assessment, risk-response planning, serta secara keseluruhan terdapat 37 komponen yang diharapkan monitoring and reporting. pada faktor pendorong tersebut, di antaranya adalah sebagai Setelah adanya komitmen dari pimpinan, tahap pertama berikut: dan paling penting dalam pengelolaan risiko atas reputasi (1) Financial performance & long-term investment value: adalah identifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi • Apakah perusahaan memiliki track record yang baik?
•
Narasumber Seminar
reputasi organisasi. Risiko harus dikenali dan dipahami dan dianalisis pengaruhnya terhadap kinerja keuangan, citra organisasi, dan sebagainya. Berdasarkan analisis tersebut, organisasi dapat mengembangkan dan menerapkan strategi untuk mengelola reputasinya. Untuk itu perlu dikenali, faktor-faktor pendorong yang dapat mempengaruhi reputasi organisasi. Jenny Rayner mengelompokkan faktor-faktor pendorong tersebut ke dalam tujuh kelompok seperti berikut:
Apakah perusahaan dapat menunjukan keuntungan berinvestasi jangka panjang? (2) Corporate governance & leadership: • Apakah pimpinan perusahaan memiliki integritas yang tinggi? • Apakah perusahaan memiliki visi masa depan yang realistik? (3) Communications & crisis management: • Apakah perusahaan memberikan informasi yang bermanfaat secara transparan agar stakeholders memahami value, tujuan, pencapaian dan prospek masa depan-nya? • Bagaimana perusahaan memberikan respon atas kejadian buruk yang menimpa perusahaan dan mempengaruhi stakeholders-nya? (4) Regulatory compliance: • Apakah perusahaan menjalankan aktivitas bisnis sesuai dengan hukun dan regulasi yang ada (5) Delivering customer: • Apakah perusahaan secara konsisten menghasilkan produk yang berkualitas? • Bagaimana perusahaan menangani komplain dan bagaimana pula kinerja customer service-nya? (6) Corporate social responsibility: • Apakah perusahaan menyadari pengaruh sosial, etika dan lingkungan dari aktivitas yang dilakukannya? • Bagaimana perusahaan meresponnya? (7) Workplace talent & culture:
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Pengelolaan Risiko atas Reputasi •
Bagaimana perusahaan memperlakukan para karyawannya? • Apa yang dirasakan dengan bekerja di perusahaan tersebut? • Apakah perusahaan mampu mempekerjakan, membangun dan mempertahankan karyawan yang berkualitas? Selain itu, para pemangku kepentingan jangan diabaikan., dan untuk itu kita perlu memahami pemangku kepentingan dengan cara memetakan dan mengidentifikasi persepsi, tuntutan dan harapan mereka terhadap organisasi. Sebuah pertanyaan kuncinya adalah apa yang akan membuat para pemangku kepentingan ini merasa berbeda - baik secara positif atau negatif – mengenai organisasi kita? Langkah-langkah kunci untuk menganalisis pemangku kepentingan adalah : • Mengidentifikasi semua pemangku kepentingan • Mengelompokkan sifat hubungan masing-masing pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kepentingan dan pengaruhnya terhadap tujuh pendorong reputasi organisasi • Memprioritaskan para pemangku kepentingan • Melibatkan para pemangku kepentingan utama (key stakeholders) untuk mengidentifikasi persepsi, masalah, keprihatinan, persyaratan dan ekspetasi mereka • Merumuskan risiko dan peluang ke dalam profil risiko organisasi (lihat gambar 2)
•
•
•
MANAJEMEN
Keep Satisfied, stakeholders memiliki pengaruh tinggi tetapi kepentingan rendah, artinya: magnitude reputasi sedang? Kelompok pemangku kepentingan ini dapat menjadi sumber risiko dengan demikian organisasi hendaknya melakukan monitoring secara cermat untuk menjaga kepuasan kelompok pemangku kepentingan ini Keep Informed, stakeholders memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah artinya: magnitude reputasi kecil? Organisasi hendaknya melakukan inisiatif khusus (mis. terjaganya informasi) untuk melindungi kepentingannya. Minimal Efforts dimana stakeholders memiliki kepentingan rendah dan pengaruh rendah, artinya magnitude reputasi diabaikan dampak ? organisasi hanya memonitor kelompok pemangku ini.
Tahapan berikutnya risiko atas reputasi diidentifikasi adalah melakukan penilaian atas risiko risiko tersebut, menetapkan respon untuk meminimalisir kemungkinan dan dampak yang ditimbulkannya serta meng-eksplore peluang untuk memanfaatkan risiko tersebut. Akhirnya, pemutakhiran status risiko yang harus selalu dipantau dan dilaporkan pada tingkatan manajemen yang tepat serta menginformasikannya kepada para pembuat keputusan.
Lesson learned Reputasi adalah menyangkut persepsi para pemangku kepentingan. Reputasi ini dibangun bertahun-tahun Gambar 2. The Power-Interest Matrix lewat perilaku dan hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Reputasi ini bisa membaik dan bisa memburuk tergantung dari tindakan setiap individu dalam organisasi. Jadi, reputasi bukanlah hanya urusan manajemen puncak tetapi setiap individu dalam organisasi (everyone business). Setiap faktor yang berpengaruh terhadap reputasi organisasi dan harapan atau tuntutan para pemangku kepentingan utama perlu diidentifikasi sehingga dapat dikelola dengan benar. Beberapa komponen penting dari manajemen risiko atas reputasi adalah: (1) Visi, nilai, dan strategi organisasi jelas dan dikomunikasikan kepada semua pegawai dan pemangku kepentingan Sumber: Managing Reputational Risk: curbing threats, leveraging opportunities (2) Adanya kebijakan dan kode etik yang memandu Untuk itu, setiap pemangku kepentingan perlu diklapengambilan keputusan dan perilaku semua pegawai sifikasikan ke dalam empat kuadran sesuai dengan pengaruh sehingga tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai-nilai dan minat mereka. Berdasarkan posisi pemangku kepenorganisasi. tingan dalam matriks tersebut, organisasi dapat menentukan (3) Terbukanya ruang dialog dan partisipasi stakeholders pendekatan dan model kerjasama yang dilakukan untuk agar perubahan dan harapan stakeholders terlacak. masing-masing pemangku kepentingan. (4) Penerapan manajemen risiko yang efektif Matriks pengaruh-kepentingan di atas menggambarkan: (5) Adanya kepedulian risiko yang melekat dalam budaya • Key Player, stakeholders memiliki kepentingan tinggi dan organisasi pengaruh tinggi, artinya magnitude reputasi yang kuat ? (6) Komunikasi yang transparan dalam memenuhi kebuOrganisasi hendaknya membangun hubungan kerja yang tuhan dan membangun kepercayaan stakeholders erat dan baik dengan kelompok pemangku kepentingan (7) Pengaturan manajemen krisis yang terlatih dan tangguh. ini. (Sri Nurhayati)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
47
TBHRM di Instansi Pemerintah, Suatu Tantangan Baru
KOLOM
Oleh: Sumardi *
48
S
ebagaimana praktik manajemen pada umumnya maka manajemen sumber daya manusia juga mengalami transformasi dari satu tahapan ke tahapan yang lain seiring dengan tuntutan perubahan yang terus-menerus bergulir. Pada awalnya manajemen sumber daya manusia hanya diperlakukan sebagai sebuah urusan personalia belaka bercampur dengan urusan umum dan administrasi. Dalam kondisi demikian maka manajemen belum merasa perlu memikirkan bagaimana mengembangkan kemampuan para pegawainya. Kemudian manajemen sumber daya manusia berkembang menjadi bidang tersendiri yang sudah mulai proaktif dan memikirkan investasi pengembangan sumber daya manusia. Selanjutnya dalam tahapan berikutnya manajemen sumber daya manusia mulai dikelola berdasarkan basis kompetensi atau competency based human resources management (CBHRM) artinya bahwa dalam setiap tahapan siklus manajemen sumber daya manusia pada suatu organisasi mendasarkan pada kompetensi sebagai backbone-nya. Berkembang pada tahap berikutnya manajemen sumber daya manusia dikelola layaknya sebagai sebuah modal berupa modal insani atau human capital yang dalam pengelolaannya didukung dengan human resources accounting yang memadai untuk menghitung return dalam setiap kegiatan di bidang manajemen sumber daya manusia. Kemudian yang saat ini mulai berkembang pesat di sektor swasta adalah pengelolaan sumber daya manusia berdasarkan pada talenta atau dikenal dengan Talent Based Human Resources Management (TBHRM). Melalui konsep TBHRM maka fokus pengembangan manusia bergeser dari mengisi competency gap, menjadi mengembangkan sisi keunggulan seseorang (bakat yang dibawa sejak lahir) untuk mencapai tahap excellent people. Kebutuhan sumber daya manusia berpredikat
unggul dengan bakat istimewa merupakan salah satu alasan mengapa model TBHRM diadopsi oleh berbagai organisasi bisnis saat ini. Hal ini dapat difahami mengingat organisasi bisnis saat ini dan di masa depan dituntut untuk survive di tengah-tengah persaingan global yang semakin kompetitif. Oleh karena itu mereka berusaha untuk menjadi organisasi unggul yang didukung dengan SDM unggul di bidangnya masing-masing. Untuk merealisasikan hal tersebut maka organisasi harus membangun sebuah superteam yang diisi oleh orang-orang yang unggul di bidangnya masingmasing, bukan membangun superman yang tahu semua permasalahan (walaupun hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil). Hal ini berarti jika leader yang diperlukan maka organisasi akan membangun leader yang berkelas, tentu setelah melihat talenta seseorang tersebut apakah memiliki bakat sebagai leader atau tidak. Demikian juga jika diperlukan seorang specialist maka organisasi akan mencari dan membangun specialist yang berkelas wahid sesuai dengan talentanya juga. Hal lain yang menjadi alasan atau pertimbangan penerapan TBHRM adalah faktor efisiensi biaya. Dengan mendidik dari sisi keunggulan seseorang maka akan diperlukan biaya pelatihan yang lebih sedikit dibandingkan dengan mendidik seseorang yang bukan pada talentanya. Beberapa perusahaan yang sudah mulai menerapkan model TBHRM misalnya Astra Group yang melakukan pengelolaan sumber daya manusia dengan cara membangun sistem pengembangan karyawan secara berjenjang dan lengkap beserta program evaluasi yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Kemudian Trans TV juga menerapkan model TBHRM dengan cara mengubah strategi rekrutmen tanpa dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan kandidat, namun yang lebih penting adalah mempunyai kreativitas dan bakat sesuai dengan bidang fungsional atau selaras
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 2011
Faktor yang menghambat Penulis mencoba menganalisis dua faktor utama penghambat mengapa model TBHRM belum menjadi sesuatu yang menarik di kalangan instansi pemerintah. Pertama, kurangnya atmosfer kompetisi di lingkungan instansi pemerintah. Secara umum instansi pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya karena adanya suatu mandat dari suatu regulasi. Dengan demikian baik tugas, fungsi maupun kewenangannya bersifat monopoli artinya tidak ada dua atau lebih instansi pemerintah yang menangani tugas dan fungsi yang sama. Kondisi ini mengakibatkan instansi pemerintah bekerja tanpa kompetisi, memberikan pelayanan kepada masyarakat cenderung minimalis atau apa adanya dan santai karena tidak adanya ancaman sebagaimana di sektor swasta. Dalam situasi ini mereka merasa tidak perlu mengembangkan talenta pegawainya agar sampai pada tingkat unggul atau world class untuk memenangkan persaingan. Kedua, belum terbangunnya sistem jabatan yang memungkinkan adanya kesetaraan remunerasi atau fasilitas lainnya antara jabatan manajerial (leader) dengan jabatan fungsional (specialist). Dampak dari hal tersebut akhirnya banyak pegawai cenderung menginginkan menjadi pejabat struktural atau kurang menyukai jabatan fungsional walaupun yang bersangkutan sama
sekali tidak mempunyai talenta sebagai seorang leader. Apalagi jika dikaitkan dengan formasi maka sesungguhnya tidak lebih dari dua puluh persen dari keseluruhan pegawai di suatu Kementerian/ Lembaga/Pemda yang akan menjadi pejabat struktural di instansinya. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah tim apapun juga nama tim, harus ada yang berperan sebagai leader dan juga ada yang harus berperan sebagai specialist sesuai dengan talentanya. Tantangan Tantangan yang perlu disikapi saat ini adalah bagaimana berfikir ulang dalam pengelolaan sumber daya manusia agar menghasilkan pegawai-pegawai unggul, sesuai dengan talentanya guna mendukung capaian visi organisasi. Pengembangan manusia dari sisi kelemahannya selama ini telah menghabiskan banyak biaya namun sebenarnya hanya menghasilkan output yang sekedar untuk “bisa” atau tidak gagal. Perlu kiranya ditengok bagaimana jika kita membangun manusia dari sisi keunggulannya yaitu dari sisi talenta, interest dan willingness-nya. Tidak mudah memang, namun melalui model TBHRM akan didapatkan pegawai-pegawai unggul yang bekerja sesuai dengan talenta atau “sesuatu yang dimilikinya oleh individu yang merupakan karunia Allah SWT sejak lahir”. Tantangan terberatnya adalah bagaimana mendesain ulang komposisi pegawai di instansi pemerintah yang sudah terlanjur tidak ideal secara jumlah maupun kualifikasi yang tentunya belum sesuai dengan harapan kita bersama. Fokus di masa depan adalah sebuah tantangan bagi instansi pemerintah untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Keberadaan instansi pemerintah diharapkan tidak hanya sekedar sebuah simbol tanpa makna, namun sebaliknya diharapkan eksistensinya akan berguna bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pelayanan prima hanya dapat diberikan oleh pegawaipegawai yang unggul di bidangnya atau yang bekerja sesuai dengan talentanya. Mengapa demikian ? Karena pegawai yang bekerja sesuai dengan talentanya akan mempunyai minimal tiga kelebihan, yaitu dia memiliki kemampuan belajar yang lebih cepat, bisa bertahan lebih lama pada pekerjaannya, serta tidak mangkir dari tugasnya. Kesemuanya itu dapat diperoleh jika sebuah organisasi baik swasta ataupun pemerintah bersedia menerapkan model Talent Based Human Resources Management (TBHRM). *)Penulis adalah Kepala Bagian Organisasi pada Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 2011
KOLOM
dengan bisnis media televisi tersebut. Demikian halnya di PT PLN juga melakukan langkah penyusunan manajemen talenta untuk mendapatkan calon pimpinan pada jabatan kunci di perusahaan tersebut. Lalu, bagaimana implementasi TBHRM di lingkungan instansi pemerintah? Sampai dengan saat ini, di lingkungan instansi pemerintah secara parsial cenderung menganut model CBHRM yaitu melakukan pengembangan pegawai dalam rangka mengisi perbedaan yang terjadi antara kompetensi yang dipersyaratkan pada suatu jabatan dengan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing pegawai. Oleh karena itu pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lebih mengarah kepada “standard class”, bukan menuju ke “world class”. Secara umum mereka belum tertarik untuk mengadopsi konsep TBHRM, hal ini mungkin dikarenakan kekurangpahaman bagaimana cara mengimplementasikan model ini atau karena atmosfer yang kurang mendukung untuk menerapkan model tersebut. Kementerian Keuangan barangkali hanya salah satu contoh sedikit instansi pemerintah yang sudah mulai mencoba mengadopsi model TBHRM tersebut, itupun khusus untuk menyiapkan calon pemimpinnya di masa depan.
49
KOLOM
Perkembangan Konsep Internal Control Versi COSO
50
Oleh: Bambang Utoyo *
S
elepas dikeluarkannya PP 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Peme rintah sering disinggung mengenai konsep Internal Control yang dikeluarkan COSO (The Committee of sponsoring Organizations of the Treadway Commission), banyak pihak yang telah mengetahui mengenai COSO namun mungkin banyak juga pihak yang belum mengetahui apa itu COSO. David Landsittel Chairman dari COSO saat membawakan makalah berjudul“COSO Current Activities and Look Ahead” pada ECIIA Internal Auditing Europen Conference Tanggal 20 Oktober 2011 lalu memberikan penjelasan bahwa COSO adalah organisasi yang berdiri pada tahun 1985 yang disponsori oleh lima organisasi besar yang berkecimpung dalam dunia akuntansi dan keuangan yaitu : American Accounting Association (AAA), American Institut of sertified Public Accountant (AICPA), Financial Executives International (FEI), Institut of Management Accountant (IMA) dan The Institute of Internal Auditor (IIA). Misi COSO adalah : “To provide thought leadership through the development of comprehensive frameworks and guidance on enterprise risk management, internal control and fraud deterrence designed to improve organizational performance and governance and to reduce the extent of fraud in organizations.” Dari misi tersebut terlihat bahwa COSO memberikan fokus pada tiga area dalam rangka meningkatkan kinerja dan tata kelola organisasi yaitu : Manajemen risiko terpadu (Enterprise Risk Management), Pengendalian Intern (Internal Control) dan pencegahan kecurangan (Fraud Detterence), dengan gambar/simbol sebagai berikut:
Secara nyata disebutkan dalam misinya bahwa ERM, Internal Control dan fraud deterrence yang dikembangkan oleh COSO didesain untuk meningkatkan kinerja dan tata kelola organisasi, serta mengurangi berkembangnya fraud (KKN) dalam organisasi. Sementara prisip dasar COSO adalah : Good risk management and internal control are necessary for long term success of all organizations. Artinya, seluruh organisasi akan sukses dalam waktu yang panjang apabila mempunyai pengendalian intern dan manajemen risiko yang baik.
Rerangka Kerja dari Pengendalian Intern versi COSO (COCO Internal Control Framework /Internal Control Integrated Framework (ICIF)
Kerangka internal Control Coso ini pertama sekali dikembangkan pada tahun 1992, kemudian diikuti oleh banyak organisasi ketika terjadi banyaknya kasus karena kegagalan pengendalian keuangan pada tahun 2000an. Konsep COSO ini banyak dipakai di Amerika, namun dalam perkembangannya juga banyak dipakai di seluruh dunia Seperti tampak pada gambar di atas, lima komponen pengendalian intern versi COSO adalah : Control environmet, Risk Assessment, Control Activities, monitoring dan Information and communication. Dalam konsep ICIF yang pertama kali dikeluar-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
10)Membahas penyeimbangan antara laporan keuangan dengan operasional dan ketaaatan (Balance discussion of financial reporting with operations and compliance) 11)Membahas manajemen kinerja dan keuntungannya (Discuss performance management and incentives) 12)Mengurangi persepsi ke Amerikaan dalam rerangkanya (Reduce US-centric perception of the Framework) Dalam perkembangannya, unsur internal control akan disempurnakan menjadi 17 unsur dengan gambaran sebagai berikut : Dari konsep internal control yang terbaru, terlihat adanya penguatan dalam penilaian risiko (risk assess-
KOLOM
kan tahun 1992, yang konsepnya diadopsi dalam PP 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, diketahui bahwa terdapat 5 unsur dan 26 sub unsur dari pengendalian intern. Namun, konsep yang lebih dikenal dengan Internal control integrated framework ini juga dalam taraf penyempurnaan. Penyempurnan dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan dan tuntutan teknologi dan pengelolaan organisasi (governance), diantaranya: 1) perlunya melakukan redefinisi, penentuan tujuan dan komponen dari sistem pengendalian intern 2) Melakukan updating sebagai refleksi dari perkembangan lingkungan terkini, 3) Lebih memberikan fokus pada tujuan pengendalian ketaatan dan operasional serta 4) Secara nyata mengidentifikasi prinsip dan atribut untuk peningkatan efisiensi dan dasar untuk melakukan evaluasi atas keefektifan pengendalian intern. Penyempurnaan konsep ICIF tersebut telah dilakukan oleh COSO dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan selesai pada tahun 2012 yang meliputi 12 kata kunci dasar penyempurnaan yaitu: 1) Merefleksikan implikasi perkembangan teknologi dan makin kompleksnya lingkungan operasi (Reflect implication of increased use of technology and greater complexity of operational environment) 2) Mengambil pembelajaran dari banyaknya masalah perusahaan sehingga dikeluarkan Sorbone Oxly Act (SOX) serta pertimbangan biaya manfaat (Incorporate lessons learned from SOX and cost / benefit considerations) 3) Untuk lebih meningkatkan etika, ketaatan dan ekspektasi anti kecurangan (Capture increased ethics, compliance and anti-fraud expectations) 4) Memperluas skope pelaporan tidak hanya untuk kepentingan laporan keuangan untuk pihak luar (Broaden the scope of “reporting” beyond “external financial reporting”) 5) Memperkuat konsep pengawasan risiko dan tata cara penilaian risiko (Enhance the concept of risk oversight and role of risk assessment) 6) Merefleksikan perluasan aturan tata kelola dalam organisasi (Reflect expanded governance roles in organizations) 7) Menggunakan bahasa yang jelas dan mudah (Clarify and simplify language) 8) Lebih banyak menerapkan pendekatan prinsip-prinsip dasar dan memberikan dasar untuk melakukan evaluasi atas efektivitas pengendalian (Apply a more principlesbased approach and provide basis for evaluating control effectiveness 9) Memperbanyak petunjuk praktis sebagai penjelasan dari rerangka konseptualnya (Increase practical guidance to supplement the conceptual framework)
51 ment) yaitu dengan : penetapan tujuan yang relevan dan spesifik (specified relevant objectves), identifikasi dan penilaian risiko (identified and assessess risk) , identifikasi dan penilaian perubahan penting (identifies and assesses significant change) dan melakukan penilaian terhadap risiko kecurangan (Assesses of fraud Risk). Peran Intenal auditor yang tadinya secara nyata tercantumkan sebagai salah satu sub unsur control environment ditiadakan dan dimasukkan dalam sub unsur establishes accountablity. Bahwa penyempurnaan internal control versi COSO antara lain dimaksudkan untuk mengurangi berkembangnya fraud/kecurangan dalam organisasi. Kesadaran akan banyaknya fraud atau yang lebih sering dikenal dengan istilah KKN seharusnya menjadi fokus dalam pengembangan sistem pengendalian intern yang dikembangkan oleh unit kerja. Selain memperoleh opini WTP sebagai gambaran dari baiknya pengelolaan keuangan, diharapkan juga mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas organisasi instansi yang bersangkutan juga terbebas dari penyakit KKN. *) Penulis adalah Direktur Pengawasan Hambatan Kelancaran Pembangunan pada Deputi Investigasi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
KOLOM
Akuntabilitas Pembiayaan dalam Penanggulangan Bencana
52
Oleh: Tavip Joko Prahoro *
S
eiring dengan runtutan kejadian bencana alam yang menimpa wilayah Indonesia serta rentanya posisi geografis Indonesia terha dap vencana alam, saat ini pemerintah telah mengatur penanggulangan bencana melalui undang undang nomor 24 Tahun 2007. UU tersebut, secara spesifik mengatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana mulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Untuk pendanaan, sesuai pasal 4 undang undang nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana,maka sumber dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah, dengan sumber dana yang berasal dari APBN ,APBD dan atau bantuan masyarakat. Sementara untuk BNPB, penggunaan dana DIPA APBN nya diatur sesuai tahap penanggulangan bencana yang meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap darurat dan tahap paska bencana atau tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mekanisme pembiayaan/ pendanaan sebagai berikut: 1) Tahap Pra Bencana. Dana APBN untuk pembiayaan penanggulangan bencana pada tahap pra bencana dialokasikan dalam situasi tidak terjadi bencana dan terdapat potensi terjadinya bencana. Mekanisme Pencairan dan Penempatan Dana diatur dengan Petunjuk Teknis Kegiatan Penguatan Kelembagaan Tahun Anggaran 2011 dengan uraian sebagai berikut : a) Dana Penguatan Kelembagaan berasal dari dana DIPA. Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) membuka rekening pada Bank BNI terdekat atas nama: BPP Penguatan Kelembagaan Provinsi. b) Sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 57/ PMK.06/2006 pembukaan rekening dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan i.c. Kuasa Umum Bendaharawan Negara, yang akan dimintakan ijin pembukaannya oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
c) Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) Provinsi mengajukan anggaran pembiayaan kegiatan kelembagaan, dilengkapi dengan MOU antara KPA dengan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi yang disertai dengan rincian pembiayaan Kegiatan Penguatan Kelembagaan ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, yang kemudian diteruskan ke Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk diproses lebih lanjut oleh Biro Keuangan. d) BPP Penguatan Kelembagaan Provinsi mempertanggung jawabkan penggunaan dana ke Bendahara Pengeluaran melalui PPK Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. e) Apabila terdapat Sisa Dana Penguatan kelembagaan disetorkan ke Kas Negara. 2) Tahap Tanggap Darurat Dana APBN untuk pembiayaan penanggulangan bencana pada tahap Tanggap Darurat dialokasikan dalam situasi keadaan darurat bencana. Kegiatan ini dilaksanakan dalam upaya untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana di wilayah bencana. Mekanisme Pencairan dan Penempatan Dana Tanggap Darurat diatur dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai, dengan uraian sebagai berikut : a) Dana Siap Pakai berasal dari dana DIPA. b) Pengguna Dana Siap pakai adalah lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi penanggulangan bencana yaitu BNPB, BPBD Provinsi/ Kabupaten/kota dan Perangkat Daerah yang memiliki tugas dan fungsi penanggulangan bencana bagi daerah yang belum memiliki BPBD. c) Batas waktu penggunaan Dana Siap pakai adalah pada waktu keadaan darurat, yaitu
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
d)
f)
g)
h)
3) Pembiayaan/Pendanaan pada tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi Dana APBN untuk pembiayaan penanggulangan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dialokasikan untuk membiayai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi setelah terjadi bencana. Mekanisme Pencairan dan Penempatan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan uraian sebagai berikut : a) Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana berasal dari dana DIPA. BPP membuka rekening pada Bank terdekat . b) Pembukaan rekening dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan i.c. Kuasa Umum Bendaharawan Negara, yang akan dimintakan ijin pembukaannya oleh KPA kepada Kepala KPPN Jakarta IV a.n. Menteri Keuangan. c) Pengguna Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana adalah lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi penanggulangan bencana yaitu BPBD Provinsi/Kabupaten/kota dan Perangkat Daerah yang memiliki tugas dan fungsi tersebut. Bagi daerah yang belum memiliki BPBD, dibantu unit teknis yang ada di daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
d) Pemerintah daerah yang terkena bencana dapat mengusulkan bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana kepada Kepala BNPB dengan menyampaikan proposal kegiatan. e) Berdasarkan proposal kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang diajukan, dilakukan verifikasi oleh tim antar Kementerian atau lembaga pemerintah dibawah koordinasi BNPB untuk menentukan pemberian bantuan. f) PJOK Provinsi mengajukan anggaran pembiayaan kegiatan Rehabilitasi dan rekonstruksi dilengkapi dengan MOU antara KPA dengan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi yang disertai dengan proposal kegiatan serta rincian pembiayaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi ke PPK Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang kemudian diteruskan ke KPA untuk diproses lebih lanjut oleh Biro Keuangan . g) BPP Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi mempertanggung jawabkan penggunaan dana ke Bendahara Pengeluaran melalui PPK Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk diproses lebih lanjut pertanggung jawabannya kepada KPPN Jakarta IV melalui Biro Keuangan. h) Apabila terdapat Sisa dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi disetorkan ke Kas Negara. Salanjutnya atas penggunaan dana DIPA APBN tersebut yang pengelolaanya digunakan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai tahap pra bencana, tahap tanggap darurat dan tahap paska bencana atau tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan pengelolaan keuangan negara maka, sesuai amanat pasal 55 ayat 2.a UU nomor 1 tahun 2004 Kepala BNPB selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang wajib menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Sejak kelahiranya BNPB telah menyusun Laporan Keuangan mulai tahun 2007,2008, 2009 dan 2010 dan atas Laporan Keuangan tersebut telah diaudit oleh BPK RI dengan pendapat terbaik pada Laporan Keuangan tahun 2010 dengan mendapat Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) setelah pada tiga tahun sebelumnya mendapat opini Disclaimer. Diharapkan atas Laporan Keuangan Tahun 2011 BNPB akan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam penyusunan laporan Keuangan tersebut, disamping mendapat pembinaan dari Kementerian Keuangan juga mulai tahun 2009,BNPB mendapat pendampingan dari Deputi PIP Bidang Polsoskam. ( TJP-BPKP dpk BNPB)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
KOLOM
e)
dimulai saat tanggap darurat ditetapkan sampai ketetapan tahap tanggap darurat selesai yang jangka waktunya beragam antara dua minggu sampai dengan 1 (satu) bulan atau dapat diperpanjang sesuai Keputusan Presiden / Kepala Daerah. Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang terkena bencana dapat mengusulkan bantuan Dana Siap Pakai kepada Kepala BNPB dengan menyampikan laporan kejadian, jumlah korban, kerusakan, kerugian dan bantuan yang diperlukan. Berdasarkan usulan instansi, BNPB dapat menyerahkan secara langsung melalui Giro Bilyet, Cek atau uang tunai kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/ Kota yang terkena bencana dilengkapi dengan bukti penerimaan berupa kwitansi dan Berita Acara Penyerahan Bantuan Uang. Dana yang telah diterima, dikelola oleh Pejabat yang berwenang mengelola bantuan Dana Siap Pakai di daerah yaitu Kepala BPBD. Namun jika di daerah lokasi bencana belum terbentuk BPBD, pengelolaannya langsung wewenang Kepala Daerah. Penerima bantuan Dana Siap Pakai paling lambat 3 (tiga) bulan setelah bantuan diterima melaporkan kinerja dan pertanggung jawaban keuangan yang dilampiri dengan bukti-bukti pengeluaran kepada BNPB cq PPK Deputi Bidang Tanggap Darurat. Apabila terdapat Sisa dana Siap Pakai disetorkan ke Kas Negara .
53
PROFESI
KONSULTASI JFA Pengasuh: Cak Sidik Wiyoto dan Ceu Iin
Sidik Wiyoto Kapusbin JFA BPKP
54
Meidyah Indreswari Kapusdiklatwas BPKP
Pertanyaan Terkait dengan karier di jabatan fungsional ada persepsi bahwa pengembangan kariernya lebih baik dibandingkan dengan jabatan struktural. Pada kenyataannya tidak demikian, salah satunya Jabatan Fungsional Auditor yang menurut kami banyak hambatan dalam karier, misalnya: 1) Terbatasnya dalam kenaikan pangkat, dimana pangkat terkait dengan jabatan, dan jabatan terkait dengan formasi yang tersedia, sehingga banyak terdapat auditor yang terhambat kenaikan pangkatnya karena terbatasnya formasi jabatan yang tersedia. 2) Persyaratan untuk menjadi Auditor Utama dianggap jauh lebih susah daripada untuk menduduki jabatan struktural Eselon II, karena untuk mendudukinya selain angka kredit harus 850 juga harus lulus sertifikasi jenjang utama. 3) Auditor yang terkena hukuman disiplin tingkat sedang/ berat terkena sanksi PP 53/2010 dan dibebaskan sementara dari jabatan fungsional Auditor sesuai dengan Pasal 31 ayat 9 huruf a, hal ini seolah-olah auditor terkena sanksi ganda. 4) Adanya ketidakseragaman perlakuan dalam pembinaan oleh instansi pembina Jabatan Fungsional Auditor kepada instansi pengawasan(APIP). Hal ini terkait dengan adanya beberapa instansi pengawasan yang bebas dalam pengelolaan jabatan dan kepangkatan, sedangkan disisi lain terdapat instansi pengawasan yang pengembangan karier auditornya terhambat. Misalnya terdapat auditor dengan pendidikan S2 yang menduduki jabatan dan pangkat yang sama selama lebih dari 10 tahun, terkendala kenaikan jabatan dan atau pangkatnya hanya karena keterbatasan formasi. 5) Auditor yang telah memenuhi angka kredit dan telah
lulus sertifikasi, ternyata tetap tidak dapat dinaikkan jabatan dan atau pangkatnya karena kendala formasi. Bagaimana sebenarnya pola/jenjang karier jabatan fungsional khususnya auditor sehingga menjadi pilihan karier yang menarik. Solusi saat ini menurut kami adalah perlunya pemisahan jabatan dengan pangkat, sehingga kenaikan pangkat auditor tidak terhambat dengan formasi jabatan. Pertanyaan dari beberapa APIP Pusat dan APIP Daerah JAWABAN: Bahwa Jabatan Fungsional Auditor (JFA) merupakan salah satu jabatan fungsional yang diduduki PNS di lingkungan APIP yang mempunyai peran sangat penting dan strategis dalam pengawalan hingga pelaksanaan APBN/APBD. Sebagaimana kita ketahui pelaksanaan kegiatan pemerintah menggunakan anggaran (APBN/APBD) yang setiap tahunnya cenderung terus meningkat. Untuk itu tentunya diperlukan auditor yang profesional dan kompeten sehingga peran APIP yang efektif sebagaimana amanah Pasal 11 PP 60 tahun 2008 yaitu peran dalam memberikan penjaminan yang memadai dan peran konsultansi serta pencegahan korupsi pada aspek proses tata kelola (governance process), manajemen risiko (risk management) dan pengendalian (control) dapat terwujud. Namun disisi lain kesejahteraannya belum memadai atau sebanding dengan risiko pekerjaannya. Bahwa sebagaimana diatur dalam PP 16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS, untuk mendapatkan PNS yang profesional diperlukan sertifikasi. Untuk itu
Pembaca, rubrik ini kami sediakan untuk Anda yang mempunyai masalah dengan Jabatan Fungsional Auditor (JFA), baik seputar aturan-aturan JFA, angka kredit maupun sertifikasinya. Pengasuh rubrik ini adalah Cak Sidik dan Ceu Iin. Surat yang Anda layangkan untuk rubrik ini, hendaknya ditujukan ke
[email protected]. atau redaksi Warta Pengawasan WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
PROFESI BPKP sebagai instansi pembina JFA melalui PermenPAN nomor 220 tahun 2008 tentang JFA dan Angka Kreditnya mensyaratkan adanya sertifikasi jabatan bagi PNS yang akan duduk dalam jabatan auditor dan yang akan dipromosikan ke dalam jabatan setingkat lebih tinggi. Dalam proses sertifikasi tersebut BPKP terus mengupayakan perbaikan mutu Ujian Sertifikasi Auditor sehingga mendapatkan auditor berkualitas yang siap memenuhi kebutuhan stakeholders dan siap mengantisipasi perubahan lingkungan pengawasan saat ini. Namun disisi lain peran pimpinan APIP dalam rekrutmen PNS yang akan duduk dalam JFA juga harus menjadi perhatian dan harus melalui proses seleksi bakat/ minat/kemampuan baik pengangkatan pertama melalui formasi CPNS maupun pengangkatan melalui perpindahan jabatan. Menyangkut kesejahteraan auditor, BPKP telah mengusulkan kembali peningkatan Batas Usia Pensiun (BUP) kepada MenPAN dan RB pada saat kunjungan ke BPKP tanggal 1 Nopember 2011, yaitu BUP untuk auditor jenjang Terampil s.d. Muda mencapai usia 58 tahun, Madya 60 tahun dan Utama 62 tahun. Jumlah auditor di Indonesia saat ini sampai dengan 30 Juni 2011 masih sedikit yaitu 7.656 auditor sedangkan kebutuhannya mencapai 40 ribuan auditor. Gambaran pola karier dalam JFA dapat dilihat pada gambar berikut:
Tabel di atas merupakan gambaran karier Jabatan Auditor menurut PermenPAN 220 tahun 2008 dan petunjuk teknisnya. Kriteria yang digunakan sebagai filter promosi atau bahan pertimbangan untuk kenaikan jabatan dan atau pangkat para auditor baik dalam jenjang jabatan yang sama atau jenjang jabatan yang berbeda, sebagai berikut: 1) Memenuhi Jumlah Angka Kredit Kumulatif Minimal yang dipersyaratkan sebagaimana lampiran III s.d. IV Peraturan Menteri PAN nomor 220 tahun 2008. 2) Komposisi Jumlah Angka Kredit Kumulatif Minimal Angka kredit penjenjangan yang meliputi Unsur Utama ? (minimal) 80% dan Unsur Penunjang ? (maksimal) 20%; dengan memperhatikan perolehan angka kredit tertentu dalam sub unur Pengembangan Profesi sesuai pasal 15 PermenPAN 220/2008. (1) Dalam pasal 14 disebutkan auditor yang telah memiliki angka kredit melebihi angka kredit yang telah ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan pangkat berikutnya. (2) Dalam pasal 15 disebutkan Auditor yang akan naik jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi diwajibkan mengumpulkan angka kredit dari unsur pengembangan profesi sebagai berikut: a. Auditor Pelaksana paling rendah 1 (satu) angka kredit; b. Auditor Pelaksana Lanjutan paling rendah 2 (dua) angka kredit; c. Auditor Penyelia paling rendah 4 (empat) angka kredit; d. Auditor Pertama paling rendah 3 (tiga) angka kredit; e. Auditor Muda paling rendah 8 (delapan) angka kredit; f. Auditor Madya paling rendah 15 (lima belas) angka kredit; g. Auditor Utama paling rendah 30 (tiga puluh) angka kredit. Kelebihan angka kredit dari jumlah yang diwajibkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan untuk kenaikan pangkat berikutnya. Sehingga angka kredit yang harus dipenuhi untuk sub unsur pengembangan profesi adalah perolehan (delta) angka kredit dalam pangkat terakhir di jabatannya. 3) Sertifikasi mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS, yang menyebutkan antara lain bahwa :
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
55
PROFESI a. Jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan ditetapkan dengan kriteria antara lain mempunyai metodologi, teknik analisis, teknik dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan dan/ atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi b. Kebijaksanaan Pendidikan dan Pelatihan jabatan fungsional serta sertifikasi keahlian dan ketrampilan jabatan fungsional ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional dengan pembinaan Lembaga Administrasi Negara.
56
Sertifikasi jabatan auditor keahlian dan jabatan ketrampilan digunakan sebagai salah satu syarat untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi pada jenjang jabatan yang berbeda 4) Tersedianya formasi mengacu ke PP No. 97 Tahun 2000 tentang Formasi PNS. Formasi terkait perhitungan beban kerja dan jumlah orang yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kewenangan penetapan formasi berada pada Pejabat Pembina Kepegawaian di masing-masing unit kerja (Kementerian/Lembaga /Pemda) dan bukan pada instasi pembina sebagaimana Pasal 28 PermenPAN 220 tahun 2008. Pengangkatan PNS dalam jabatan auditor harus memperhitungkan beban kerja dan hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing APIP yang mengetahui kondisi organisasinya. 5) Hasil penilaian Bapperjakat masing-masing instansi, terkait unsur Kompetensi, Prestasi, Loyalitas, Integritas dan sebagainya. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembinaan auditor sebagai berikut: 1. Pembinaan PNS baik jabatan fungsional dan struktural sesuai dengan PP 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan pangkat PNS disebutkan bahwa: 1) Pangkat adalah kedudukan yang menunjukan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. 2) Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian 3) Jabatan Fungsional Tertentu adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta
bersifat mandiri dan untuk kenaikan pangkatnya disyaratkan dengan angka kredit. 4) Kenaikan pangkat pilihan bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu atau jabatan tertentu yang pengangkatannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden diberikan dalam batas jenjang pangkat yang ditentukan untuk jabatan yang bersangkutan. Memperhatikan ketentuan di atas, maka pembinaan PNS harus bisa mengkaitkan pengembangan karier antara jabatan, pangkat, diklat, kompatensi dan masa kerja jabatan saat pertama kali diangkat dalam jabatan sampai dengan pensiun. Misalnya: Untuk Jabatan Fungsional: 1) untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan Muda pangkatnya Penata dan sampai dengan pensiun pangkatnya hanya Penata Tingkat I, golongan ruang III/c - III/d dan tidak dimungkinkan jabatan Muda menduduki pangkat Pembina, golongan ruang IV/a. 2) Untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan Madya pasti pangkatnya IV/a dan akan pensiun dalam pangkat IV/c. Untuk Jabatan Struktural: 1) Untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan eselon IV, pangkatnya paling rendah III/b + 2 tahun atau III/c dan akan pensiun dalam pangkat III/d, kecuali yang bersangkutan berpendidikan Pasca Sarjana (S-2) 2) Untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan eselon III pangkatnya minimal III/D + 2 tahun atau IV/a dan akan pensiun dalam pangkat IV/b. 3) Untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan eselon II, pangkatnya IV/b + 2 tahun atau IV/c dan akan pensiun di golongan IV/d. Kemudian berdasarkan Keppres 87 tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS mengatur batasan jabatan dan pangkat sebagaimana pasal 5, yaitu berdasarkan penilaian terhadap bobot jabatan fungsional, maka jabatan fungsional keahlian dibagi dalam 4 (empat) jenjang jabatan yaitu : a. Jenjang Utama, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis nasional yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tertinggi dengan kepangkatan mulai dari Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d sampai dengan Pembina Utama, golongan ruang IV/e. b. Jenjang Madya, yaitu jenjang jabatan fungsional
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
PROFESI keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis sektoral yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi dengan kepangkatan mulai dari Pembina, golongan ruang IV /a sampai dengan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV /c. c. Jenjang Muda, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat taktis operasional yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat lanjutan dengan kepangkatan mulai dari Penata, golongan ruang III/c sampai dengan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d. d. Jenjang Pertama, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat operasional yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat dasar dengan kepangkatan mulai dari Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b. 2. Menyangkut karier Auditor yang dibebaskan sementara dalam jabatan struktural kemudian akan diangkat kembali dalam JFA, maka Angka kreditnya dihitung berdasarkan saat pembebasan ditambah selama pembebasannya sehingga tidak dirugikan kariernya. Jabatan ditetapkan berdasarkan angka kredit yang diperoleh dan sertifikasi jabatan yang dimilikinya sedangkan pangkat sesuai dengan pangkat yang didudukinya. Penggunaan tabel perpindahan untuk angka kredit sebagai bentuk apresiasi jabatan struktural tidak diperkenan lagi sehingga sesuai dengan Pasal 32 ayat 5 PermenPAN 220/2008. Dengan demikian angka kredit pengangkatan kembali dihitungg berdasarkan seluruh dokumen penugasan selama di struktural diusulkan untuk dinilai angka kreditnya dan pengangkatan kembali ke JFA harus diusulkan kepada instansi pembina untuk mendapatkan persetujuan teknis secara tertulis. 3. Mengenai reward, di Permenpan 220/2008 telah diatur perolehan tambahan angka kredit bagi auditor yang berkinerja/berperan satu tingkat di atas jabatannya dalam penugasan. Sedangkan reward lain sepenuhnya diserahkan kepada Pimpinan APIP masing-masing Kementerian/Lembaga/Pemda. 4. Kesejahteraan lain yang menjadi kewajiban instansi pembina jabatan fungsional adalah memfasilitasi peningkatan Tunjangan JF Auditor. Sementara menyangkut kebutuhan jumlah auditor/formasi sepenuhnya tergantung beban kerja masing-masing Kementerian/Lembaga/Pemda. 5. Memang benar bahwa PNS dimungkinkan kena dua sanksi sekaligus terkait indisipliner yang nantinya terkena sanksi PP 53/2010 dan ketentaun dalam Jabatan Fungsional sepertt pembebasan sementara. Bahwa ke depan (menurut Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi) akan ada aturan tentang Sistem Kinerja Pegawai dimana setiap pegawai bila tidak menunjukkan kinerja sesuai target dimungkin kena sanksi sehingga Jabatan Fungsional tertentu dimungkinkan dikenakan tiga sanksi sekaligus untuk hal yang berbeda. 6. Untuk pekerjaan struktural eselon II yang dilaksanakan oleh fungsional memang tidak diperkenan/tidak dinilai AKnya karena berbeda tupoksinya. Permasalahan di lapangan adalah jenis/rincian kegiatannya sering sulit dirumuskan/kurang riil . Dengan demikian Pimpinan APIP seharusnya memberikan penugasan untuk kegiatan yang riil dan dapat dilaksanakan. Untuk dapat dinilai angka kreditnya, maka setuap penugasan harus didukung dengan surat tugas (ST/SPT, Noda Dinas atau Disposisi) dan norma hasil kegiatan Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat dalam membina kompetensi dan profesionalitas para auditor di lingkungan APIP.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
57
.
58 58
Kurang lebih 70% temuan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, seperti kasuskasus dugaan korupsi yang marak diberitakan di media massa, bermula dari temuan hasil pemeriksaan internal audit. Hal ini, mengindikasikan besarnya peran dari internal audit, baik dilihat dari sisi preventif, maupun kompetensi internal audit itu sendiri.
D
ilihat dari sisi preventif, bisa dikatakan pencegahan penyelewengan atas pengelolaan keuangan negara masih lemah. Meskipun, peraturan perundang-undangan, mekanisme kerja atau yang dikenal dengan SOP telah ada, namun, jika dalam pelaksanaannya tidak dilakukan pengawasan secara ketat, maka penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan kerap terjadi. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang harus melakukan pengawasan? Dalam konteks pengelolaan keuangan ngara, APIP lah yang diharapkan dapat berperan secara lebih independen dan objektif dalam mengawasi pengelolaannya. Banyak pihak berharap agar APIP dapat optimal dalam menjalankan peran preventifnya. Yang menjadi persoalan adalah, pemerintah mengalami kekurangan tenaga auditor dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Menurut data di Sekre-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
PROFESI tariat Komite Sertifikasi, Indonesia kekurangan jumlah auditor. “Kira-kira dibutuhkan 46.560 orang auditor internal. Sementara yang tersedia 7.656 orang. Sehingga terdapat kekurangan 38.904 orang” demikian dikatakan Kepala Bidang Evaluasi Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor BPKP yang juga sebagai Ketua Tim Sekretariat Komite Sertifikasi, Massa Siahaan, Ak, MM. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh pernyataan Gubernur Provinsi Bengkulu, Agusrin M. Najamudin, ketika menandatangani MoU dengan BPKP, di Jakarta, Oktober lalu.”Kami kekurangan SDM yang berlatar belakang akuntansi yang mengerti pengelolaan keuangan Negara. Kami sangat mengapresiasi BPKP yang selama ini menjadi mitra kami dalam mengelola keuangan Negara”, kata Gubernur Bengkulu. Keberadaan komposisi internal auditor, saat ini, menjadi perhatian BPKP karena sebagai Instansi Pembina, BPKP bertugas memberi arahan, peningkatan kompetensi dan kapabilitas internal auditor seluruh Indonesia, sesuai Permenpan 220/ M.PAN/7/2008 tentang JFA dan Angka Kredit. Dalam Permenpan itu, BPKP dibantu oleh Komite Sertifikasi Auditor yang berperan memberi pertimbangan dan atau usulan yang bersifat strategis tentang arah dan pengembangan kompetensi auditor intern pemerintah kepada Instansi Pembina Jabatan Fungsional Auditor (BPKP). Akhir Oktober lalu, Komite Sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor (JFA) pun dikukuhkan oleh Kepala Badan Pengawasan
Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Mardiasmo di Gedung BPKP Pusat. Dalam kata sambutannya, Mardiasmo mengatakan bahwa kehadiran para Pengarah, narasumber dan anggota Komite yang berasal dari berbagai perwakilan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) baik dari Kementerian/ Lembaga maupun pemerintah Daerah, dapat menjadi momentum yang bersejarah bagi kerjasama yang lebih erat dimasa mendatang. Betapa tidak, pengukuhan ini memiliki arti penting bagi upaya Pemerintah untuk menghadapi dan memberi solusi, atas tantangan pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Lingkungan APIP. Ke depan, Mardiasmo berharap agar Komite ini dapat menghasilkan strategi pengembangan APIP. Hadir pada acara pengukuhan tersebut Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Deputi MenPAN Bidang SDM Aparatur Kementerian PAN dan RB, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri,
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan RI, dan Wakil Inspektur Pengawasan Umum POLRI. Setelah dikukuhkan, para Komite sertifikasi langsung memulai tugasnya dengan melaksanakan sidang yang dibuka langsung oleh Sekretaris Utama BPKP selaku Ketua Komite. Sidang ke 7 sejak Komite dibentuk ini, membahas berbagai masukan dari anggota komite terkait sertifikasi JFA dan usulan program kerja Komite untuk periode 2011– 2014. Seluruh anggota Komite yang hadir memandang auditor sebagai profesi penting dan perlu terus menerus ditingkatkan kompetensi dengan memperhatikan perkembangan yang ada sehingga dapat memberikan manfaat dan nilai tambah bagi organisasi. Dengan pertimbangan tersebut sidang memandang perlu agar Komite memperhatikan pola karier dan pola hubungan auditor dengan pejabat struktural dan dengan Jabatan Fungsional lainnya. Hal lain yang diusulkan oleh sidang untuk menjadi program kerja Komite periode 2011 – 2014 adalah pemetaan kebutuhan auditor di setiap APIP baik dari segi kuantitas maupun kompetensi dan pemberian penghargaan kepada auditor agar auditor bangga dengan profesinya antara lain melalui peningkatan tunjangan auditor, perpanjangan batas usia pensiun, pemberian gelar profesi serta pemberian nomor register auditor. Diharapkan dengan pemberian penghargaan tersebut, auditor dapat terus meningkatkan profesionalismenya sekaligus dapat meningkatkan kapabilitas APIPnya (Diana)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
59
60 60
Nusa Dua Bali yang biasanya sepi, terlihat cukup ramai dengan diselenggaranya perhelatan negara-negara di kawasan ASEAN. Perhelatan yang melahirkan berbagai kesepakatan sontak menjadikan Nusa Dua Bali menjadi pusat perhatian.
B
ayangkan, seluruh delegasi dari seluruh negara ASEAN, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Para Pemimpin Negara ASEAN, bahkan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama hadir di Pulau Dewata Bali. Terlihat penjagaanpun sangat ketat. Hanya mereka yang terdaftar dan memiliki pass masuk saja yang dapat memasuki area konferensi.Tentu saja, kemacetanpun terjadi di hampir semua ruas jalan menuju Kawasan Nusa Dua yang dikenal dengan kawasan wisata untuk para ekspatriat. Tampak aparat pengamanan (red.Polisi) yang kelihatan lelah karena harus stand by 24 jam menjaga kawasan ini, terlihat menegur pengunjung yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak semestinya sehingga membuat kemacetan. Tetapi siapa yang memperhatikan kelelahan mereka ditengah kesibukan menyambut para kepala negara? Mungkin itu sisi lain dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 19 yang luput dari perhatian kita. Masyarakat mungkin tidak tahu apa yang dibahas dalam KTT Asean 19 tersebut dan apakah berdampak pada kehidupan mereka, tetapi yang pasti, kegiatan tersebut cukup mempengaruhi geliat perekonomian Provinsi Bali. Di sela-sela jadwal KTT ASEAN ke 19 yang sangat padat, para pemimpin Badan Pemeriksa sembilan negara di Kawasan ASEAN juga mengambil bagian untuk memanfaatkan momen berharga tersebut dengan menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk Association of South East Asian Nations Surpeme Audit Institutions (ASEANSAI) yang dibuka secara langsung oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Kesepuluh negara yang tergabung dalam asosiasi tersebut adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Banyak pihak mempertanyakan, apa bentuk kerjasama yang akan dibangun dan apa pula
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011 WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
GCG hasil yang diharapkan? Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Drs. Hadi Poernomo, Ak. menyatakan bahwa pembentukan ASEAN -SAI bertujuan mendorong kerja sama antar Badan Pemeriksa negara-negara ASEAN melalui pertukaran dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam audit sektor publik. Di katakan Hadi, bahwa pembentukan ASEAN-SAI merupakan gagasan dari beberapa Badan Pemeriksa negara-negara ASEAN, dan ditindaklanjuti dengan komunikasi antar Badan Pemeriksa negara-negara anggota yang berlangsung dalam kurun waktu sembilan bulan. Kerja sama ini seperti disampaikan Hadi yang juga terpilih sebagai Ketua memiliki peran strategis, karena tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan kapasitas antar Badan Pemeriksa, tetapi diharapkan dapat berkontribusi positif dan konstruktif bagi komunitas ASEAN 2015. Inisiatif tersebut merupakan langkah positif untuk menjadikan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai salah satu pilar integritas nasional sebagaimana keinginan dari Bank Dunia. Sebagai salah satu pilar, tentu BPK memiliki peran strategis terutama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparansi, dan berdaya tahan tinggi. Setidaknya, itulah harapan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka acara tersebut. Untuk dapat berdaya tahan tinggi, Presiden menegaskan perlunya mengembangkan manajemen keuangan yang penuh kehati-hatian. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah bagi BPK. Lebih lanjut, Presiden berharap agar Badan Pemeriksa, selain bertanggungjawab mengaudit pendapatan dan belanja pemerintah, juga bertanggung-jawab atas terwujudnya integritas keuangan dan kredibilitas pemerintah. “Pemerintahan yang baik membutuhkan pembongkaran atas pelanggaran-pelanggaran terhadap segala ketentuan yang berlaku. Dan perwujudan hal ini akan berupa perang melawan korupsi dan pembo-
rosan anggaran publik.”tegas Presiden. Apa yang disampaikan Presiden seharusnya menjadi tonggak perubahan terhadap manajemen pemerintahan baik di Indonesia maupun seluruh negara di kawasan Asean. Jika pemerintahan di kawasan Asean dapat dipercaya oleh masyarakatnya maka masyarakat seluruh dunia juga akan mempercayainya. Kepercayaan masyarakatlah yang akan menjadikan sebuah komunitas dapat kebal terhadap krisis global. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden di akhir kata sambutannya bahwa pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya lah yang paling bisa mengatasi tantangan jaman. “Tidak ada negara di dunia yang kebal terhadap tantangan regional dan global, namun, dengan dukungan dari rakyatnya, pemerintahan mana pun bisa kuat mengatasi segala tantangan dan bisa lebih kuat lagi karena dukungan negara-negara lain di kawasan,” tuturnya. ASEAN-SAI merupakah perwujudan keinginan dari semua negara anggota untuk terus meningkatkan kapasitas dan kompetensi auditornya sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat akan sebuah pemerintahan yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Berbagai harapan juga diungkapkan masing-masing negara yang tergabung dalam ASEAN-SAI. Yang cukup menarik adalah apa yang dikatakan Ketua Badan Pemeriksa Singapura,Mr.Lim Soo Ping , keikutsertaannya dalam komunitas ini diharapkan dapat semakin meningkatkan kepercayaan masyarakatnya akan sebuah pemerintahan yang akuntabel, efisien, dan efektif dalam mengelola keuangan negara sesuai harapan masyarakat.”Pemerintah harus jujur dan tidak boleh membohongi rakyatnya”ungkapnya. Satu hal yang paling penting dibangun oleh ASEAN - SAI adalah bagaimana menghasilkan auditor yang memiliki integritas dan independensi yang tinggi
para pemimpin negara ASEAN menandatangani kesepakatan untuk membentuk Associatioan of South East Asian Nations Surpeme Audit Institutions (ASEANSAI) WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(Nani/Tanti/Harjum)
61
GCG Mengenal Lebih Jauh The Asian Roundtable on Corporate Governance:
Update of The White Paper on Corporate Governance in Asia Dalam pertemuan tahunan ke-12 tanggal 4 Oktober 2011 di Bali, para peserta the Asian Roundtable on Corporate Governance menyepakati prioritas baru dalam reformasi tata kelola perusahaan di Asia. Kesepakatan ini merupakan update bagi prioritas sebelumnya sebagaimana tercantum dalam the White Paper on Corporate Governance in Asia yang disepakati the Asian Roundtable tahun 2003. Namun, sebelum menguraikan update prioritas baru tersebut ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sekilas tentang the Asian Roundtable on Corporate Governance, OECD Principles on Corporate Governance, OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises (SOE), dan The White Paper on Corporate Governance in Asia. The Asian Roundtable bertujuan untuk mendukung para pengambil keputusan dalam meningkatkan tata kelola perusahaan dalam kawasan Asia dengan: - melaksanakan riviu secara informal atas kerangka kerja kebijakan tata kelola perusahaan dan
-
-
praktik-praktiknya dalam yurisdiksi, dengan mengambil manfaat dari pengalaman internasional. meningkatkan kesadaran atas perkembangan utama dan tantangan yang terjadi mengevaluasi penerapan dan
dok: antaranews
62
The Asian Roundtable on Corporate Governance The Asian Roundtable merupakan suatu forum dialog dan kerja sama regional (Asia) yang terbentuk sejak tahun 1999 untuk saling bertukar pengalaman dan memajukan agenda reformasi di bidang tata kelola perusahaan, sambil mempromosikan kesadaran dan penggunaan Prinsip-Prinsip Tata Kelola Perusahaan (OECD Principles on Corporate Governance) serta Panduan Tata Kelola Perusahaan bagi BUMN (OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises). The Asian Roundtable adalah wadah berkumpulnya para pembuat kebijakan yang paling menonjol, aktif, dan berpengaruh. Pada setiap pertemuan diundang praktisi dan ahli tata kelola dari perusahaan-perusahaan di Asia, negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan institusi-institusi internasional yang relevan.
para peserta the Asian Roundtable on Corporate Governance Tahun 2011 yang dilaksanakan di Bali
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
Update of The White Paper on Corporate Governance in Asia
penegakan mendiskusikan dan menganalisis pilihan-pilihan kebijakan untuk mendukung reformasi tata kelola perusahaan yang layak dan efektif Selain menjadi tempat berharga untuk membangun jaringan dan berbagi pengetahuan, the Roundtable menghasilkan policy reports dan guides berdasarkan konsensus. Pada tahun 2003, the Roundtable menerbitkan the White Paper on Corporate Governance in Asia sebagai suatu pekerjaan ambisius bagi kawasan Asia dengan tingkat keberagaman yang cukup tinggi. White Paper merupakan upaya kolektif dari para pengambil keputusan dan regulator di Asia serta para ahli (regional dan internasional) untuk mencapai kesepakatan tentang roadmap penerapan tata kelola perusahaan di Asia. The Roundtable menyelenggarakan pertemuan tahunan pada negara yang berbeda setiap tahun. Di samping pertemuan tahunan, Roundtable juga menyelenggarakan pertemuan-pertemuan lainnya atas topik-topik tertentu yang telah ditargetkan. Hingga saat ini, pertemuan-pertemuan tersebut telah mencakup tata kelola perbankan, upaya memerangi penyalahgunaan related party transaction, dan tata kelola pada ekonomi-ekonomi tertentu di Asia. The Roundtable didukung oleh OECD dan memperoleh bantuan keuangan dari Pemerintah Jepang, the Asian Development Bank, dan World Bank Group. -
Taskforces and networks Untuk mengkaji topik-topik tertentu dengan lebih dalam, the Roundtable membentuk satuan tugas khusus. Hasilnya dipresentasikan kepada Roundtable untuk dibahas dan disepakati melalui
konsensus sebelum laporan diterbitkan. Laporan-laporan yang telah diterbitkan satuan tugas hingga saat ini meliputi: Policy Brief on Corporate Governance of Banks (2006) yang menyajikan pilihan kebijakan untuk peningkatan tata kelola perusahaan di Asia; dan Guide on Fighting on Abusive Relating Party Transactions in Asia (2009). Dengan bantuan the Roundtable, the OECD - Asia Network on Corporate Governance of State-Owned Enterprises diterbitkan pada tahun 2006. Network meningkatkan kesadaran dan mendorong peningkatan tata kelola perusahaan milik negara (SOE)
di Asia dengan berpedoman pada The OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises sebagai referensi. Sejak tahun 2011, network disponsori oleh Korea. OECD Principles on Corporate Governance Sejak diterbitkan tahun 1999, prinsip-prinsip corporate governance OECD telah menjadi rujukan bagi para pembuat kebijakan, investor, perusahaan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya di seluruh dunia. Prinsip-prinsip tersebut diakui oleh the Financial Stability Board (FSB) sebagai salah satu dari 12 standar kunci stabilitas keuang-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
GCG
an internasional dan merupakan dasar bagi komponen CG pada the World Bank Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC). Prinsip-prinsip corporate governance OECD [revisi, tahun 2004] terdiri atas enam kategori umum, yaitu: 1. Kerangka kerja pengembangan Corporate Governance yang efektif 2. Hak Pemegang Saham dan Fungsi Utama Kepemilikan Saham 3. Perlakuan yang sama terhadap Pemegang Saham 4. Peranan Stakeholders dalam Corporate Governance 5. Keterbukaan dan Transparasi 6. Tanggung Jawab boards [Komisaris dan Direksi] Keenam prinsip di atas telah melahirkan infrastruktur berupa code of corporate governance di berbagai negara Asia. Di Indonesia, Komite Nasional GCG yang terbentuk tahun 1999 dan berubah nama menjadi KNKG di tahun 2004 juga telah menerbitkan Pedoman Nasional GCG (Indonesia Code of GCG) pada tahun 2001 yang telah direvisi pada tahun 2006. OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises (SOE) Pedoman tata kelola perusahaan atas perusahaan milik negara yang diterbitkan oleh OECD merupakan standar terkemuka di dunia dalam membantu pemerintah mengelola tanggung jawabnya sebagai pemilik perusahaan dengan lebih efektif. Penerapan tata kelola perusahaan atas SOE berdampak pada peningkatan daya saing, efisiensi, dan transparansi perusahaan milik negara tersebut. Penerapan standar tata kelola yang lebih tinggi memberikan kemampuan yang lebih baik pada SOE untuk
63
GCG
World Bank dan Asian Development Bank yang menyeponsori The Asian Roundtable dalam periode tahun 1999 - 2003
64
mencapai prioritas, baik komersial maupun non-komersial. Pedoman ini didasarkan atas dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang diterbitkan oleh OECD, tetapi secara eksplisit diorientasikan pada isu-isu spesifik yang terkait dengan tata kelola perusahaan milik negara. Terkait dengan negara sebagai pemilik, pedoman ini menetapkan elemen inti dari aturan tata kelola perusahaan yang baik. Pedoman yang menyajikan standar, praktikpraktik yang baik, dan tuntunan penerapannya ini hendaknya disesuaikan dengan kondisi spesifik masing-masing negara. Pedoman meliputi enam area, yaitu: i) memastikan efektivitas kerangka kerja hukum dan regulasi bagi SOE, ii) negara bertindak sebagai pemilik, iii) perlakuan yang adil bagi pemegang saham, iv) hubungan dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan/ stakeholders, v) transparansi dan pengungkapan, dan vi) tanggung jawab boards [direksi dan dewan komisaris] SOE.
The White Paper on Corporate Governance in Asia Sebagaimana tertuang dalam The White Paper on Corporate Governance in Asia, pada tahun 2003, The Asian Roundtable telah menyepakati rencana aksi untuk meningkatkan tata kelola perusahaan di Asia. The White Paper merefleksikan hasil diskusi dan rekomendasi atas lima pertemuan The Asian Roundtable dalam periode tahun 1999 - 2003. Pekerjaan ini disponsori oleh World Bank dan Asian Development Bank yang bermitra dengan Pemerintah Jepang dan Global Corporate Governance Forum. Mengambil pelajaran dari krisis keuangan Asia tahun 1997, the White Paper mengadaptasi penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang diterbitkan OECD sesuai dengan kondisi spesifik di Asia; menilai kemajuan dan tantangantantangan yang tersisa; serta merumuskan tujuan kebijakan bersama dan agenda reformasi praktis sebagai panduan bagi inisiatif masingmasing negara di Asia dalam meningkatkan tata kelola perusahaan.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
Enam prioritas yang ditetapkan dalam rangka reformasi tersebut meliputi: Prioritas 1: Institusi sektor publik dan private hendaknya terus meningkatkan kesadaran di antara para perusahaan, direksi/dewan komisaris, pemegang saham, dan pihak yang berkepentingan lainnya terhadap nilai GCG. Prioritas 2: Seluruh yurisdiksi hendaknya berkeinginan kuat atas penerapan dan penegakan hukum dan regulasi di bidang tata kelola perusahaan. Prioritas 3: Negara-negara yang tergabung dalam Asian Roundtable hendaknya mengkonvergensi standar dan praktik internasional sepenuhnya di bidang akuntansi, audit, dan pengungkapan non-keuangan. Dimana, untuk sementara, konvergensi penuh tidak memungkinkan, divergensi dari standar dan praktik internasional (dan alasanalasan untuk divergensi ini) hendaknya diungkapkan oleh standards setters; laporan keuangan perusahaan hendaknya mengulang atau merujuk pengungkapan-pengungkapan tersebut, sesuai dengan relevansinya. Prioritas 4: Boards of directors [direksi dan dewan komisaris] harus meningkatkan partisipasinya dalam perencanaan stratejik, pemantauan sistem pengendalian intern, dan riviu independen atas transaksi-transaksi yang melibatkan manajer, pemegang saham pengendali, dan pihak-pihak dalam lainnya. Prioritas 5: Kerangka kerja legal dan regulatory hendaknya memberikan keyakinan bahwa pemegang saham non-pengendali dilindungi dari pengeksploitasian oleh pihak-pihak dalam dan pemegang saham pengendali. Prioritas 6: Pemerintah hendaknya mengintesifkan upayanya un-
Update of The White Paper on Corporate Governance in Asia
salah satu prioritas yang ditetapkan oleh OECD dalam rangka reformasi yaitu Kerangka kerja legal dan regulatory hendaknya memberikan keyakinan bahwa pemegang saham nonpengendali dilindungi dari pengeksploitasian oleh pihak-pihak dalam dan pemegang saham pengendali. tuk meningkatkan regulasi dan tata kelola Update of the White Paper on Corporate Governance in Asia Sejak tahun 1999, the Asian Roundtable on Corporate Governance telah membawa para peserta untuk saling bertukar pengalaman dan memajukan agenda reformasi tata kelola perusahaan, mengadaptasi penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola Perusahaan (OECD) dengan konteks regional. Sejak penerbitan White Paper, banyak hal yang telah berubah dalam lanskap tata kelola perusahaan Asia, dalam ukuran yang besar, berkat hasil kerja berke-
lanjutan dari the Asian Roundtable. Selain itu, pada tahun 2004, OECD juga telah merevisi prinsip-prinsipnya di bidang GCG untuk memperhitungkan, antara lain, pengalaman/praktik kepemilikan saham yang terkonsentrasi (concentrated ownership) di Asia. Bekerja sama dengan OECD, pada tanggal 4 Oktober 2011, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bapepam- LK menyelenggarakan pertemuan tahunan the Asian Roundtable on Corporate Governance ke-12 di Bali. Memperbaharui keenam prioritas yang termuat dalam the White Paper pada tahun 2003, para pembuat kebijakan Asia dan para ahli (regional dan internasional) berkomitmen untuk menerapkan enam prioritas baru bagi reformasi tata kelola perusahaan. Keenam prioritas yang disepakati oleh tiga belas negara Asia peserta the Asian Roundtable, termasuk Indonesia, terdiri atas: 1. Melanjutkan membuat kasus/ argumen bisnis bagi nilai tata kelola perusahaan yang baik 2. Mengupayakan penegakan hukum dan regulasi di bidang tata kelola perusahaan secara aktif, terlihat, dan efektif 3. Meningkatkan kualitas pengungkapan secara tepat wak-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
GCG
tu dan transparan, termasuk informasi tentang kepemilikan menguntungkan dan pengendalian 4. Meningkatkan kinerja board melalui pelatihan lanjutan yang tepat dan evaluasi serta memastikan transparansi atas proses nominasi board [direksi dan dewan komisaris] 5. Memastikan bahwa kerangka kerja di bidang hukum dan regulasi cukup melindungi pemegang saham non-pengendali terhadap pengambilalihan oleh orang dalam (insiders) dan pemegang saham pengendali (controlling owners) 6. Memfasilitasi dan mendorong keterlibatan pemegang saham Prioritas baru di atas dimaksudkan untuk mendukung para pengambil keputusan dan praktisi dalam meletakkan tata kelola perusahaan pada tingkatan yang lebih tinggi. Komitmen terhadap penerapan prioritas baru akan berdampak pada peningkatan kegiatan, khususnya, di bidang penegakan hukum yang terkait dengan tata kelola perusahaan dan perbaikan regulasi yang mendorong keterlibatan pemegang saham pada negara-negara peserta yang masih memiliki tantangan di kedua hal ini. Ke depan, pada dekade berikutnya, para peserta Asian Roundtable menyepakati kebutuhan atas agenda reformasi yang lebih ambisius. Meskipun prinsip-prinsip OECD memberikan dasar umum yang dapat diandalkan bagi seluruh kawasan regional, namun, prioritas dan rekomendasi pada laporan ini ditujukan bagi reformasi yang mencerminkan kondisi dan kebutuhan spesifik di Asia (Tongam Pribadi)
65
BUDAYA KERJA
66
B
udaya kerja, sepertinya bukan hal baru. Setiap organisasi memiliki budaya kerja sesuai dengan tujuan dari organisasi tersebut. Perbedaan budaya kerja sudah pasti akan kita temui, sebagai contoh ketika memasuki pintu sebuah Bank, petugas keamanan atau Satpam, akan langsung tersenyum ramah sambil mengucapkan salam "Selamat pagi Ibu/Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Lalu kita akan dipersilahkan mengambil nomor antrian untuk keperluan konsultasi dengan front office dan mengantri untuk keperluan ke petugas teller. Ada mekanisme kerja yang jelas terasa saat mengawali proses layanan meski tanpa gambar bagan alur layanan dan ada kesan ramah, santun, dan keinginan membantu dari para petugas. Mungkin pemandangan seperti itu, akan sulit kita temui di Instansi Pemerintahan. Saat ini, setiap Kementerian/Lembaga bahkan pemerintah daerah merefleksikan budaya kerja melalui nilai-nilai organisasi, seperti BPKP dengan Profesional, Integritas, Orientasi Pengguna, Nurani dan akal sehat, Independen, dan Responsif (PIONIR), Kementerian Keuangan dengan Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesem-
purnaan. Namun, seberapa jauh, nilai-nilai tersebut mampu terefleksi dalam aktivitas organisasi seharihari? Untuk itulah, BPKP selah memiliki komitmen kuat untuk membangun budaya kerja, diantaranya melalui kegiatan-kegiatan ESQ, mindsetting, kegiatan kebersamaan, dan forum budaya kerja. Agak berbeda dengan forum sebelumnya, forum kali ini dilaksanakan bersamaan dengan acara Sinergi Satgas Budaya kerja, SPIP, dan RB. Penggabungan even tersebut karena BPKP melihat ada keterkaitan antara ketiganya. Dari contoh diatas, dapat dilihat betapa eratnya kaitan antara budaya kerja dengan apa yang menjadi tujuan dari SPIP dan RB, yaitu pemerintah yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik, efektivitas dan efisiensi kegiatan pemerintahan, dan peningkatan kualitas pengambilan kebijakan. Dalam kata sambutan pembukaannya, Sekretaris Utama BPKP, Suwartomo, menyampaikan harapannya agar forum kali ini dapat menghasilkan sebuah rumusan yang menyatukan langkah kerja ketiga satgas tersebut. Acara yang cukup menarik dari seluruh rangkaian acara adalah pemilihan pegawai teladan BPKP tahun 2011 yang menghasilkan terpilihnya para
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.4/DESEMBER 2011
BUDAYA KERJA pegawai teladan BPKP tingkat nasional Tahun 2011 untuk 2 kategori yaitu adi kinerja pejabat fungsional auditor (PFA) dan Pelayanan Prima (Non PFA). Wajah penuh keharuan dan kebanggaan menghiasi wajah para finalis dan para pegawai teladan yang berhasil terpilih dengan seleksi yang cukup ketat. Untuk kategori adi kinerja, dewan juri telah memilih peringkat 1 sampai dengan 3 masingmasing, Heli Restiati (PFA Deputi Akuntan Negara), Damargo (PFA Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan) , dan Imelda Mouldivita (PFA dari Biro Kepegawaian BPKP). Sementara untuk kategori pelayanan prima, peringkat pertama sampai ketiga masing-masing, M.Ramadhan (Jabatan Fungsional Umum Perwakilan Provinsi Jawa Timur), Siti Suharti ( Arsiparis dari Deputi Akuntan Negara), dan Siti Akrojah (Penyedia Layanan Informasi Kehumasan Perwakilan BPKP Perwakilan DI Yogyakarta). Banyak harapan ditumpukan kepada para pegawai teladan untuk membawa BPKP ke arah yang lebih baik. Hal itu pula yang di sampaikan oleh Prof. Mardiasmo dalam kata sambutan yang sangat hangat dan menyiratkan keinginan adanya perubahan signifikan di organisasi BPKP. Satu kata kunci yang disampaikan beliau adalah berkarya dengan hati. Ke depan, predikat pegawai teladan seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pelaksana tetapi yang paling penting para pemimpin sebagai role model budaya kerja. Ia pun mengingatkan bahwa tuntutan kepada BPKP, saat ini semakin besar. Untuk itu, insan-insan BPKP harus terus berinovasi sehingga keberadaan
BPKP benar-benar bermakna bagi para pemangku kepentingan terutama Presiden. "BPKP harus bisa menjawab keinginan Presiden terutama dalam upaya penyelamatan keuangan negara dan keberhasilan pencapaian programprogram prioritas yang bersifat lintas sektoral. "tegasnya. Kondisi ini juga menyikapi harapan dari Ketua DPR RI, Marzuki Ali, beberapa waktu lalu agar BPKP lebih eksis untuk mengatasi carut-marut pengelolaan keuangan negara. Saat ini, sebagaimana dipaparkan beliau, masyarakat sudah tidak mempercayai tiga pilar suatu negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk itu, saat ini, menurut beliau, harapan rakyat sekarang tertumpu pada aparat pengawas,"tegasnya. Untuk kesemua harapan tersebut, beliau mengajak BPKP untuk terus berbenah diri dengan berpegang pada 9 kunci perubahan yaitu, role model yang menunjukkan keteladanan, adanya internal driven, avoid too much changes but never change, working with passion, shifting from another. "Insan BPKP harus ingat bahwa majikan kita adalah rakyat sehingga apapun yang kita lakukan harus untuk kepentingan rakyat,"ungkapnya. Besarnya harapan BPKP kepada para teladan, mungkin tidaklah sebesar harapan insan BPKP akan sebuah organisasi yang mampu menjadi sandaran kepercayaan masyarakat kepada institusi pengawasan. Selamat kepada para teladan BPKP. Semoga keteladan para teladan dapat menjadi penggerak perubahan di BPKP
Para pegawai teladan berfoto bersama dengan Kepala BPKP, Mardiasmo(ke enam dari kiri)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(nani)
67
TEKNOLOGI informasi
68
Tuntutan masyarakat akan terwujudnya layanan publik yang prima telah mendorong jajaran instansi pemerintah untuk mengembangkan e-Government.
P
erkembangan konsep eGovernment 1.0 menjadi eGovernment 2.0 juga telah meningkatkan ekspetasi masyarakat akan terciptanya layanan publik yang semakin baik. Konsep e-Government 2.0 merupakan konsep pemanfaatan e-Government yang tidak sekedar memberikan informasi kepada pengguna, tetapi juga memberi fasilitas komunikasi, pertukaran informasi yang aman, serta kolaborasi aplikasi dengan World Wide Web. Dengan kemampuan tersebut, layanan yang diberikan instansi pemerintah kepada masyarakat melalui sarana internet semakin luas dan berkualitas. Beberapa instansi pemerintah telah berinovasi dengan memanfaatkan konsep e-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
government 2.0 dalam meningkatkan kualitas layanannya Kota Yogyakarta: Pentingnya Komitmen Pimpinan Kemajuan penerapan eGovernment di Indonesia tergambar pada saat pemberian anugerah e-government dan smart city tahun 2011 oleh Majalah Warta Ekonomi. Beberapa instansi pemerintah yang mendapat penghargaan menunjukkan inovasi dan kreativitasnya dalam memanfaatkan penggunaan Teknologi Informasi dalam memberikan layanan pada masyarakat. Yang tidak terduga adalah, penerapan e-government di lingkungan pemerintah daerah tampaknya lebih maju dan kreatif dibandingkan pada pemerintah
TEKNOLOGI Informasi masyarakat, akan tetapi melalui Kantor Layanan Satu Atap Kota Yogyakarta. Dikatakan oleh Suciati bahwa website Kota Yogya memiliki sebuah subdomain untuk mengimplementasikan UU KIP dan UU Pelayanan Publik yang bernama Unit Pengelola Informasi dan Keluhan (UPIK). Melalui UPIK ini publik dapat memberikan memberikan masukan, bertanya, melaporkan permasalahan yang terjadi di lapangan melalui media website, email, sms, ataupun datang langsung ke Subbag UPIK, Bagian Humas dan Informasi Pemkot Jogja. Kota Yogyakarta yang berhasil meraih juara pertama e-government award kategori leadership versi Majalah Warta Ekonomi pada 22 September 2011 di Jakarta. Penghargaan diterima oleh Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto
pusat. Salah satu Kabupaten/Kota yang telah berhasil dalam mengimplementasikan e-government adalah Kota Yogyakarta yang berhasil meraih juara pertama e-government award kategori leadership versi Majalah Warta Ekonomi pada 22 September 2011 di Jakarta, sebuah penghargaan yang ditujukan kepada lembaga pemerintah terbaik di Indonesia yang telah mengimplementasikan teknologi informasi dalam fungsinya untuk pelayanan masyarakat. Bentuk pengembangan e-Government oleh Kota Yogyakarta diungkapkan secara panjang lebar oleh Kepala Sub Bagian Perangkat Keras dan Jaringan, Suciati, ST, saat dijumpai oleh Tim Warta Pengawasan di ruang kerjanya. Pada saat ini Kota Yogyakarta telah memiliki website yang di-launcing untuk pertama kalinya pada 7 Oktober 2002. Website jogjakota.go.id merupakan layanan yang dapat diakses oleh publik dengan beberapa bentuk layanan seperti Konsultasi Belajar Siswa, layanan Pariwisata, Layanan Pengadaan Secara Elektronik/ LPSE, dll. Di samping itu, Kota Yogyakarta juga mempunyai 32 aplikasi internal (Sistem Informasi Manajemen/ SIM) untuk pelayanan kepada masyarakat, seperti: perijinan, pemakaman, gaji, retribusi, pasar, simapada, simpeg, simasenering, simcapil, PBB online, dll. Untuk pelayanan tersebut, aplikasi internal ini belum bisa dilakukan langsung oleh
69
Kepala Sub Bagian Perangkat Keras dan Jaringan Pemkot Yogyakarta, Suciati, ST
UPIK mendapat perhatian besar dari Walikota Yogya. Hal ini ditandai dengan adanya operator UPIK di tiap-tiap SKPD yang akan menindaklanjuti atau menjawab permasalahan yang masuk dalam 2X24 jam. “UPIK kalau di kota ini sakti, SKPD langsung menindaklanjutinya”, tandas Suciati. Hal ini menunjukkan komitmen yang sangat besar dari Walikota Yogyakarta dalam memberikan layanan yang prima pada masyarakat melalui e-Government. Walikota Yogyakarta, Harry Zudiarto selalu me-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
TEKNOLOGI informasi Warta Ekonomi. Tim Warta Pengawasan (WP) berkesempatan untuk mewawancarai Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Pemprov DIY, Ir. Tjipto Haribowo, yang didampingi oleh Kasi Manajemen Informasi Perubahan dan Inovasi Bidang Layanan dan Manajemen Informasi, Sugeng Wahyudi, S.Pd., M.Eng., dan Kasubbag Program dan Informasi, Sayuri Egaravanda, S.Kom., M. Eng. Disampaikan oleh Tjipto, Provinsi DI Yogyakarta telah mempunyai Peraturan Gubernur Website Provinsi DI Yogyakarta
70
mantau secara seksama setiap masukan dari berbagai pihak dan menjadi bahan dalam mengendalikan jalannya pemerintahan. Untuk memelihara dan menjaga keamanan server yang ada, Suciati juga berujar bahwa semua server yang ada terpusat di ruang server dan tidak boleh sembarang orang boleh akses kecuali petugas admin server, ruang server pun dilengkapi dengan CCTV. Sedangkan untuk pengamanan software dari hacker dan virus, selain terdapat firewall, Pemkot Jogja membeli lisensi penggunaan software untuk pengamanan jaringan. Lalu agar konten-konten yang dilarang tidak dapat masuk, digunakan filtering untuk itu. Filtering diwajibkan dengan SK Walikota, tidak hanya bagi Pemkot tapi juga bagi warnet-warnet di Kota Jogja. Keseluruhan layanan e-government tersebut telah ada dalam Master Plan E-Government Pemerintah Kota Yogya 2008 – 2026 yang harus diikuti oleh tiap orang yang menduduki posisi walikota, sehingga pembangunan e-govt di Kota Yogya dapat dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus walaupun terjadi pergantian pimpinan (walikota). Provinsi DI Yogyakarta : Pengembangan Citizen Centric Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga meraih penghargaan juara pertama e-government award kategori Provinsi versi Majalah
Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Pemprov DIY, Ir. Tjipto Haribowo
Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor 42 Tahun 2006 tanggal 26 Desember 2006, tentang Blueprint Jogja Cyber Province (JCP) Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Jogja Cyber Province Blueprint adalah cetak biru (Blueprint) program transformasi layanan strategis Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berorientasi masyarakat (citizen centric) dengan berbasis pada proses bisnis, informasi, dan pengetahuan yang memanfaatkan teknologi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
TEKNOLOGI Informasi
Website Provinsi DI Yogyakarta
informasi dan komunikasi sebagai akselerator pembangunan wilayah propinsi yang berdaya saing, nyaman, mandiri, efisien, dan efektif. Untuk mewujudkan JCP ini diperlukan sinergi pihak-pihak terkait seperti: pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan perguruan tinggi. Dalam rangka menuju JCP, PemProv DIY mulai 2005 merintis program Digital Government Services (DGS). Program DGS menggunakan kebijakan
Kepala Bagian Perencanaan Biro Administrasi dan Pembangunan Pemprov Sultra, DR. Ronny Yakub, MSi.
sebagai berikut: Memposisikan masyarakat sebagai pelanggan (customer); Mengenal pelanggan dengan baik dan memberikan layanan berbasis pengetahuan yang sesuai dengan budaya pelanggan; Inovasi dalam mengembangkan produk dan layanan berdasarkan kebutuhan pelanggan dan mengantisipasi potensi masalah selanjutnya; Inovasi untuk memperbaiki dan mengubah proses kerja agar dapat terus menerus meningkatkan kepuasan pelanggan; Memperbaiki dan meningkatkan kompetensi dan profesionalitas sumberdaya dan organisasi penyedia layanan; Mendekatkan produk dan layanan kepada masyarakat; dan Memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, bukan untuk kepentingan pemerintah. DGS memiliki 9 bidang layanan unggulan yaitu: Bidang Pendidikan dengan “DIY Learning Gateway” atau “Gerbang Pembelajaran”; Bidang Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi dengan DIY Small and Medium Business Center; Bidang Pariwisata dengan DIY Tourism Promo Center; Bidang Pertanian dengan DIY Agri Center; Bidang Perikanan dan Kelautan dengan DIY Fishery Business Center; Bidang Perhubungan dengan DIY Integrated Transportation Information Center. Dalam 9 bidang layanan unggulan, terdapat 3 layanan yang baru dikembangkan, diantaranya Bidang Penanaman modal, Bidang Kesehatan, dan Bidang Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Kedepannya, diharapkan tiap-tiap SKPD di Pemprov DIY memiliki layanan unggulan seperti tersebut diatas. Mengenai pengelolaan keamanan server JCP, Pemprov berlangganan software security dan telah dipasang firewall. Untuk meningkatkan keamanan di masa yang akan datang, akan digunakan server mirror. Website Provinsi DI Yogyakarta saat ini menggunakan pendekatan pelayanan citizen centric yakni lebih mengutamakan penyediaan layanan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, daripada menyediakan layanan yang dimiliki oleh pemerintah government centric. Sehingga website akan berkembang seiring dengan dinamisnya kebutuhan pelayanan yang diinginkan oleh
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
71
TEKNOLOGI informasi
Kepala Bagian Humas Pemkot Kendari, Trikora Irianto, SE, MSi
72 72
masyarakat luas. Tim WP berkunjung juga ke Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Terkait implementasi e-govt, Pemprov Sultra tengah berusaha untuk berbenah diri meningkatkan penerapan e-govt agar pelayanan publiknya semakin baik. Salah satu implementasi egovt adalah dibentuknya Layanan Pengadaan Secara Elektronik Provinsi Sultra (LPSE Prov. Sultra) yang beroperasi sejak tahun 2009 dengan ketuanya, DR. Ronny Yakub, MSi. dan juga merangkap Kepala Bagian Perencanaan Biro Administrasi dan Pembangunan Pemprov Sultra. Ronny mengungkapkan bahwa LPSE Sulta telah berhasil mengefisienkan APBD Sultra dari segi pengadaan barang dan jasa. Dengan memanfaatkan LPSE, banyak penghematan yang dapat dilakukan dan tidak perlu lagi pergi ke Makasar untuk urusan pengadaan secara elektronik yang telah menjadi kewajiban melalui terbitnya Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Korupsi pun dapat dihindari secara sistemik karena penyedia jasa dan pemilik pekerjaan tidak saling bertemu secara langsung. Selain Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Pemerintah Kota Kendaripun berusaha terus
memperbaiki penerapan e-govt nya. Seperti dikatakan oleh Kepala Bagian Humas Pemkot Kendari, Trikora Irianto, SE, MSi., bahwa website Kota Kendari memerlukan dukungan semua pihak dari segi dana, sarana prasarana, maupun keterkinian konten website. Selain keempat kota tersebut, Kota Cimahi mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simkep) dan Pesan Singkat Penduduk (Pesduk). Pesduk merupakan sarana masyarakat untuk menyampaikan pengaduan, aspirasi ataupun keluhannya kepada Pemerintah Kota Cimahi. Pengaduan tersebut dapat dipantau secara langsung oleh Walikota Cimahi. Sementara dari instansi Pemerintah Pusat, Kementerian Keuangan mengembangkan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Sistem ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Keuangan dengan LG CNS untuk meningkatkan fungsi dari perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, manajemen kas, akuntansi, serta pelaporan dalam satu aplikasi. Hal ini merupakan bentuk dari penyempurnaan proses bisnis dan komunikasi dari Kementerian Keuangan. Dampaknya pada Pengawasan Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) dalam memberikan pelayanan publik memberi dampak bagi dunia pengawasan di Indonesia. Dengan semakin banyaknya pemanfaatan TI, para auditor dituntut untuk memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup. Lebih jauh lagi, para auditor dituntut untuk dapat bekerja pada lingkungan berbasis komputer. Sesuai perannya sebagai pengawas intern yang memiliki fungsi sebagai quality assurer dan consultant, para auditor juga harus bisa memberikan bimbingan teknis di bidang Teknologi Informasi, seperti tentang e-Government. Teknologi Pengawasanpun harus dikembangkan, tidak sekedar manual namun harus berbasis komputer. Hal tersebut diungkapkan secara panjang lebar oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi DI Yogyakarta, Condro Imantoro. Ia juga mengungkapkan, bahwa kondisi ini merupakan tantangan yang besar bagi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP. Dengan kondisi ini, modul-modul dan materi pendidikan dan pelatihan harus di-upgrade
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(triwib/HJK)
TEKNOLOGI Informasi
B
anyaknya penerapan e-Government di lingkungan instansi pemerintah membawa dampak yang cukup besar bagi para aparat pengawas intern pemerintah (APIP). Hal itu diungkapkan oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi DI Yogyakarta, Condro Imantoro kepada Warta Pengawasan. Bagaimana dampak meningkatnya penerapan e- Government bagi aparat pengawas ? Pertama, teknologi pengawasan kita harus ditingkatkan. Dalam melakukan audit, saat ini masih banyak mengunakan teknologi pengawasan yang manual. Di masa mendatang, sesuai peran baru pengawas intern, seharusnya seorang pengawas bisa menggunakan teknologi informasi, sehinga bisa mengimbangi perkembangan teknologi yang digunakan oleh obyek pengawasannya seperti di Pemda. Misalnya, pengawas melakukan reviu Laporan Keuangan berbasis EDP (komputer.red). Kedua, dari sisi kompetensi SDM auditor juga harus ditingkatkan. Penggunaan sistem berbasis komputer akan meningkatkan kecepatan, akurasi dan dapat menyediakan informasi yang lebih baik. Ini harus dilihat sebagai peluang. Dengan peran APIP, tentunya dituntut untuk bisa melakukan tugas konsultansi, reviu atau lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Kita harus bisa memberikan bimbingan teknis terkait penerapan e-Government atau bagaimana pengendalian intern pada e-Government. Bagaimana dengan kesiapan aparat pengawas saat ini ? Saya kira saat ini kita belum siap kalau harus melakukan audit pada sistem berbasis komputer. Kemampuan pengawasan berbasis komputer harus ditingkatkan. Walaupun saat ini sudah banyak aparat pengawas yang sudah terbiasa bekerja di lingkungan berbasis komputer. Jadi potensi kita sebenarnya sudah ada, tetapi belum tergali dengan optimal. Untuk itu pendidikan dan pelatihan dan
modul-modul di bidang pengawasan yang saat ini ada harus di-upgrade. Bagaimana solusi ke depan untuk mengantisipasi perkembangan e-Government ini? Pertama, dari sisi SDM harus ada perencanaan yang matang, bagaimana kebutuhan kompe tensi APIP dalam mengantisipasi perubahan yang ada, termasuk menghadapi implementasi e-Government. Ini tugas berat bagi Pusdiklatwas. Memang saat ini untuk menyediakan auditor yang berkualitas masih menghadapi banyak kendala, apalagi menyediakan auditor yang kompeten dari sisi Teknologi Informasi. Untuk itu BPKP dapat mengusulkan kepada MenPAN & RB kebutuhan formasi APIP ke depan itu seperti apa, bukan sekedar dari sisi jumlah tapi juga kompetensinya. Ada sebuah pendapat, sebaiknya 30 % pegawai unit pengawas intern sudah bersertifikat CISA. Bagaimana dengan APIP kita ? Saya dapat cerita bagus dari Korea Selatan. Suatu saat seseorang datang ke kantor pengawas dan dijumpai banyak pegawai yang masih berada di kantor. Dia bertanya, “Bapak apa tidak bekerja ke Obrik?” Dijawab oleh pegawai yang ditanya,“Buat apa kami ke obyek pemeriksaan. Kami sudah dapat melakukan langkah kerja audit dari kantor ini.” Inilah yang berbeda dengan di Indonesia, dimana jika aparat pengawas berada di kantor, artinya tidak bekerja. Jadi emang sudah saatnya sekarang kita memilik auditor yang berkelas CISA atau berkelas internasional. Walaupun tidak CISA, tetapi auditor yang memahami audit pada lingkungan berbasis komputer. Bukan sekedar bagaimana audit sistem, tetapi juga bisa melakukan bimbingan teknis pada sistem berbasis komputer
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(triwib)
73
WARTA daerah
Humas Pemerintah di Era Reformasi Presiden SBY sebelum/usai rapat kabinet pada Jumat 2 Desember 2011 menyampaikan kekecewaannya atas komunikasi publik yang lamban. Beliau mendapat informasi lebih cepat dari media dari pada staf/menterinya. Di dalam situasi demikian, muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, bagaimana humas pemerintah menghadapai era keterbukaan dan teknologi informasi yang cepat berubah, sementara itu ekspektasi publik akan informasi juga meningkat.
M 74
asalah kesiapan humas pemerin tah juga menjadi salah satu agenda Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas). Untuk itu, penyelenggarakan Pertemuan Tahunan Tingkat Nasional 2011 di Bali akhir Oktober lalu mengusung tema: Tata Kelola Government Public Relations (GPR) dalam Sinergitas Pelayanan Informasi Publik. Ketua Pelaksana Bakohumas, James Pardede menyatakan maksud pertemuan adalah untuk menyamakan persepsi tugas dan fungsi humas pemerintah dalam sinergitas pelayanan informasi kepada masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah untuk menyatukan gerak langkah dalam meningkatkan sinergitas pelayanan informasi publik. Bertindak sebagai keynote speech yang mewakilai Menteri Komunikasi dan Informatika, Freddy Tulung, mengatakan humas pemerintah di era reformasi, tidak bisa lagi malaksanakan tugasnya secara business as usual, paradigma komunikasi di Indonesia sudah berubah. Di zaman orde baru, yang berlaku komunikasi satu arah atau top down. Humas berfungsi sebagai corong pemerintah. Sedangkan di era reformasi, para-
Freddy Tulung
digma komunikasi cenderung dua arah, bottom up , dan horisontal, demikian ujar Freddy Tulung. Humas bersedia menerima masukan/ saran, dan siap berdiskusi untuk mencapai pemahaman yang optimal terhadap suatu permasalahan. Sehingga Humas bukan lagi sebagai corong pemerintah, namun lebih merupakan penghubung ide/kebijakan. Pergeseran
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
paradigma itu menuntut Humas pemerintah mampu melakukan terobosan baik dalam kebijakan, program dan kegiatan. Humas mampu menyusun agenda setting, melakukan riset, perencanaan, penetapan tujuan serta evaluasi kehumasan. Dengan demikian dapat diberikan informasi yang proporsional dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Perubahan peran humas juga dipengaruhi dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan dari pemerintahan di zaman Orde Baru yang cenderung otoritarian menjadi pemerintahan yang demokratis menyebabkan hubungan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat juga berubah. Diperlukan hubungan yang setara dan transparan serta partisipasi publik dalam penetapan kebijakan pemerintah. Apalagi dengan bergabungnya Indonesia di dalam Open Government Partnership yang dicanangkan oleh Presiden Barack Obama di New York (20 September 2011), menguatkan lagi perubahan dalam pemerintahan, sehingga pola semula “pemerintahan untuk masyarakat” menjadi “pemerintahan bersama masyarakat”. Tifatul mengakui kapasitas SDM kehumasan pemerintah masih
WARTA daerah menghadapi beberapa kendala, meliputi kelembagaan, infrastruktur, dan kapasitas SDM. Oleh karena itu, Bakohumas memiliki tiga agenda besar hingga tahun 2014. Pertama, penguatan kelembagaan Bakohumas dengan mengutamakan konsolidasi anggota, dimana Bakohumas menjadi pusat informasi untuk program prioritas nasional. Kedua, pengembangan jaringan Bakohumas melakukan langkah-langkah yaitu penguatan kelembagaan Bakohumas, pengembangan jaringan Bakohumas dengan mengidentifikasikan kelompok strategis sebagai jaringan dalam diseminasi informasi. Ketiga, peningkatan kapasitas SDM, terutama pengembangan profesionalisme di bidang manajerial dan teknis. Sementara itu, di tingkat daerah, masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, terkait masalah pengintegrasian kelembagaan di bidang komunikasi, informasi, dan kehumasan. Di dalam pemaparannya, Deputi Tata Laksana Kementerian PAN dan RB,
Deddy Bratakusumah menyatakan harus ada pembedaan terkait fungsi komunikasi, informasi, dan kehumasan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk menghindari terjadinya tugas dan fungsi yang tumpang tindih. Disamping itu Deddy mengingatkan, sebaiknya secara fungsi humas harus bisa menjadi koordinator bagi kelembagaan tersebut. Sedangkan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan harus ada dasar hukum penggabungan ketiga lembaga tersebut, dan perlu dilakukan analisis pengabungan antara fungsi staf (humas) dan fungsi lini (dinas Kominfo). Alternatif lain, dengan melakukan revisi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sesuai dengan spirit dan filosofi melalui pendekatan tugas pembantuan saja. Narasumber lain adalah Staf Ahli Kominfo, Suprawoto, yang mengungkapkan tanpa adanya lembaga yang pemerintah yang khusus menangani komunikasi menjadikan komunikasi pemerintah kurang optimal. Sementara itu, didaerah lembaga komunikasi bervariasi, ada dinas hubkominfo dan dinas infokom yang sebenarnya tugas dan fungsinya sama. Kondisi tersebut tidak terlepas dari produk hukum terkait pemerintah daerah. Menurut Peraturan Deputi Tata Laksana Kementerian PAN dan RB, Deddy Bratakusumah Pemerintah No.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
38 Tahun 2007, pasal 7 ayat 2 butir q menyebutkan bahwa komunikasi dan informatika adalah urusan wajib. Di peraturan lain, yaitu Peraturan Pemerintah No. 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah, khususnya pasal 22 ayat 4, yang mengakibatkan munculnya alternatif lembaga yang menangani komunikasi dan informasi, yaitu Dinas Komunikasi dan Informatika dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika. Sehubungan dengan kondisi tersebut di atas, pertemuan Bakohumas kali ini merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya dibentuk suatu organisasi yang mampu mengintegrasikan fungsi komunikasi, informasi dan kehumasan pemerintah ditingkat pusat maupun daerah. Kedua, melakukan kajian akademik atas pengintegrasian fungsi-fungsi tersebut dalam satu organisasi. Di dalam pertemuan yang dihadiri 520 peserta yang terdiri dari pejabat humas pemerintah pusat dan daerah, Humas BUMN seIndonesia, dan Humas Perguruan Tinggi Se-Indonesia, juga menyelenggarakan malam Anugerah Media Humas 2011 (AMH 2011). Ajang ini merupakan sebuah bentuk apresiasi atas karya insan kehumasan dalam menciptakan media komunikasi yang tepat sasaran, efisien, dan efektif. BPKP mendapatkan penghargaan juga turut dalam ajang ini, dan termasuk dalam daftar nominasi lima pelaporan kehumasan terbaik. Tampil sebagai juara umum kategori pemerintah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sedangkan kategori Kementerian/LPNK/PTN direbut oleh Universitas Negeri Semarang dan kategori Badan Usaha Milik Negara adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Tim warta)
75
76
APBD minim bukan halangan membuat rakyat kaya. Kuncinya adalah partisipasi masyarakat. Herman Deru, Bupati OKU Timur Sumsel, peraih rekor MURI perolehan suara terbanyak dalam sejarah pilkada di Indonesia, membuktikan hal itu dok: wisatapalembang.com
76
"Ketika rakyat memilih kita, sesungguhnya ada pesan di sana bahwa mereka siap berpartisipasi untuk membangun bersama. Partisipasi masyarakat adalah kekuatan besar. Tinggal masalah manajemen dan komitmen pimpinan saja. Ini manajemen Low Cost - High Explosive. Dengan kekuatan partisipasi ini, meskipun APBD kami miskin tetapi rakyat kami bisa menjadi kaya," ujar Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Herman Deru (44 tahun) membuka percakapan. Herman Deru yang ditemui sore di ruang kerjanya awal Desember lalu adalah sosok Bupati hasil pilkada
dengan perolehan suara terbanyak dalam sejarah pilkada di Indonesia, yaitu 94,56 persen suara. Jumlah perolehan suaranya yang dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) ini melampaui perolehan Walikota Solo sekarang. Apa yang dikatakan Putera Komering yang dianugrahi gelar KRH oleh Sultan Pakubuwono XIII ini memang sudah dibuktikan. Dalam tujuh tahun kepemimpinan Herman Deru (sudah memasuki periode ke dua), OKU Timur berkembang pesat menjadi daerah yang paling rendah tingkat kemiskinannya di seluruh WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Indonesia. Dalam kesempatan terpisah, stafnya menuturkan bahwa setiap pulang kantor, Herman yang fasih berbahasa Jawa ini selalu berkeliling mengunjungi warga sekitar tiga sampai empat kali sehari. Bahkan pada akhir minggu, undangan bisa sampai 14 tempat. Dan semua itu bukan saja dilakoni tetapi juga tidak bisa dicegah. Herman tak segan-segan menghajar pengawalnya sendiri yang mencoba memisahkan ketika masyarakat merangkulnya. Di ruang kerjanya di Kantor Bupati OKU Timur, Martapura Sumsel, kepada Warta Pengawasan
WARTA daerah bangunan harus "terasa" dan "terlihat" bagi masyarakat. Selanjutnya, trust itu muncul dari fakta di lapangan dan kesungguhan kita. Di OKU Timur masyarakat tahu, Pemdanya miskin. APBD Pemkab OKU Timur ketika saya masuk hanya Rp12 miliar. Karena itu, pengeluaran APBD selain hanya sebagai stimulan, dananya harus dihemat betul. Di sini tidak ada proyek mercu suar. Bahkan proyek multiyears pun tidak ada. Tapi, kami berhasil mendapatkan piala adipura tiga tahun berturutturut. Selain itu, dana bansos di anggaran kami nol. Kami juga Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Herman Deru (kedua dari kiri) bersama Kepala Perwakilan BPKP Prov. Sumatera Selatan(kedua dari kanan) dan para stafnya ketika mengunjunginya tidak mendirikan BUMD. Penghematan terlihat pula Herman Deru banyak memberikan resep dari kinerja pada pengadaan kendaraan dinas. Sudah tujuh governance-nya. Berikut kutipan wawancara: tahun, pemda tidak membuat pengadaan kendaraan dinas. Tetapi Anda lihat sendiri, kendaraan Sebelumnya Anda adalah pengusaha sukses. Apa dinas kami terawat. Resepnya? Setiap tahun semua sebenarnya motivasi Anda menjadi kepala kendaraan dinas dikonteskan. Pegawai yang kendaerah? daraan dinasnya paling terjaga perawatannya diberi Ya. Sebelum menjadi bupati saya adalah pengupenghargaan, dan pegawai yang perawatan kensaha, bergerak di bidang kontruksi. Antara lain daraannya buruk, kendaraannya kami sita. pekerjaan jalan tol Cipularang tujuh kilometer dan beberapa pekerjaan lain. Setelah terpilih sebagai Contoh partisipasi lain? Bupati, semua saya tinggalkan. Saya cuma ingin Kami buat Perda Badan Amil Zakat (BAZ). Dari membuktikan bahwa pemerintah daerah bisa program ini, tahun lalu terkumpul dan tercatat di membuat rakyat sejahtera. Para Kepala Daerah yang APBD sekitar Rp 2 miliar, dan terus berlanjut. Kami sering mengeluhkan kecilnya APBD sering tidak luncurkan program bedah rumah atas rumah warga menyadari bahwa anggaran bukan segalanya. APBD yang kurang layak huni. Angka terakhir mencapai sesungguhnya hanyalah stimulan. Partisipasi 350 rumah. Dari APBD hanya diberikan Rp 5 juta masyarakatlah kekuatan yang sebenarnya. Potensi rupiah per rumah per desa. Tetapi setiap satu rumah ini harus didorong untuk meningkatkan kesejahsetelah selesai setara dengan nilai Rp 20 hingga Rp teraan masyarakat kembali. Anda bisa lihat: APBD 30 juta per rumah. Masyarakat sekitar terpancing kami miskin, tetapi rakyat kami kaya. untuk membantu dan bergotong royong memBagaimana Anda mengelola potensi partisipasi masyarakat itu? Pertama, tentu kita harus menanamkan trust. Bahwa kami memang sungguh-sungguh bekerja untuk mereka. Dan ada hasilnya. Ada yang bilang bahwa kemajuan pembangunan itu tidak perlu "terlihat", tapi "terasa". Ada juga yang bilang sebaliknya. Bagi saya, harus dua-duanya: pem-
berikan material dan bantuan tenaga. Bagaimana dengan OKU Timur yang jadi lumbung pangan se-Sumsel? Dalam bidang pangan, ketika saya terpilih pertamakali, OKU Timur rawan pangan. Panen tidak menolong banyak. Harga beras jatuh bagitu panen. Saya lihat, sebabnya adalah karena panen yang berbarengan. Maka, kami pun menggilir jadwal aliran
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
77
WARTA daerah air irigasi pada beberapa lahan yang tersebar di OKU Timur. Dengan cara itu, panen menjadi merata sepanjang tahun. Ditambah lagi, kami ambil kebijakan pemberian remunerasi pegawai pemkab yang bukan berupa uang, tetapi beras. Setiap bulan, pegawai pemda yang berkeluarga mendapatkan 20 kg beras kualitas unggul, yang karena bagusnya tidak ada beras pegawai yang dijual kembali. Maka pegawai senang, petani pun tertolong. Harga beras pun stabil. Selain itu, kami juga mengeluarkan perda yang menyatakan bahwa lahan pertanian dilarang dialihfungsikan. Atau, kalaupun ada yang memaksa, yang bersangkutan berkewajiban membuka lahan pertanian lain dengan luas tiga kali lipat dari lahan yang dialihfungsikan itu. Maka, OKU Timur pun menjelma menjadi penyuplai 60 persen kebutuhan beras seluruh Sumsel. Demikian juga halnya dengan OKU Timur yang sekarang menjadi penyuplai terbesar kebutuhan daging sapi di seluruh Sumsel. Padahal dahulu, di sini, sapi hampir tak bersisa karena dirampok.
78
Berkaitan dengan tanah, kami dengar ada yang perolehannya gratis. Bagaimana ceritanya? Ya di OKU Timur dulu ada pembangunan jalan yang terhambat sampai 27 tahun, karena harus melalui tanah milik TNI AD. Kebetulan, ada saatnya kami diundang dalam pertemuan kepala daerah dengan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) Pak Djoko Santoso di Lampung. KASAD dalam pidatonya mengatakan bahwa TNI itu adalah abdi negara, "Jangankan harta, nyawa pun akan diberikan demi untuk negara," kata Beliau. Maka dalam dialog dengan para kepala daerah, saya katakan kepada Pak
Djoko bahwa daerah kami sering macet. Awalnya KASAD heran, kalau macet kan urusan polisi, bukan TNI AD? Langsung saya sambut, bahwa untuk mengatasi macet, kami sedang membuat jalan. Tapi sudah 27 tahun terhambat karena harus membelah tanah TNI AD. Konsisten dengan ucapan dalam pidato sebelumnya, langsung Pak Djoko memerintahkan penyerahan tanah TNI itu kepada daerah. Kami akhirnya mendapatkan tanah itu gratis, bahkan dalam pembebasannya dikawal tentara. Perolehan tanah yang lain? Ya. Satu lagi terkait dengan tanah keluar Pak Ibnu Sutowo. Istri Pak Ibnu, atau Ibu dari Pak Ponco Sutowo kan berasal dari Martapura, OKU Timur. Di Martapura ini ada tanah sekitar 15 hektar di pusat kota yang dimiliki keluarga Ibnu Sutowo. Untuk sarana dan prasarana umum tanah itu sangat dibutuhkan. Tapi sangat mahal. APBD tak sanggup membiayainya. Maka, kami bersama para ketua adat di OKU Timur berangkat ke Jakarta, ke Hotel Sultan, untuk menemui Pak Ponco. Saya katakan ke Pak Ponco, bahwa ibu Beliau berasal dari daerah kami. Saya tanyakan, apa yang selama ini telah diberikan oleh Keluarga Ibnu Sutowo kepada rakyat OKU Timur? Pak Ponco bertanya balik, apa kira-kira yang bisa dibantu untuk daerah kelahiran Ibunya itu? Gayung bersambut, langsung saya paparkan kebutuhan pembangunan di OKU Timur yang berkait dengan tanah keluarga yang dibutuhkan masyarakat itu. Seketika, Pak Ponco setuju untuk menghibahkan tanah keluarganya ke Pemda OKU Timur. Jadilah, tanah yang demikian mahal sampai APBD tidak sanggup membiayainya itu justru kami peroleh dengan gratis.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA daerah relatif aman. Daerah yang dulu sarang kriminal, sekarang justru menjadi tempat transit kendaraan. Di samping itu, tidak ada pengemis di sini. Bahkan, tidak ada lagi kaleng sumbangan di jalan untuk pembangunan rumah ibadah. Kalau Anda masih temui itu, tendang saja. Ada Perda pelarangan hal itu. Memintaminta demi alasan agama itu justru memalukan agama.
Pemberian gelar oleh Sultan Keraton Surakarta Pakubuwono XIII(kanan) di keraton Surakarta
Pembangunan di atas tanah itu pun segera dilakukan. Di lain pihak, tanah Kantor Bupati ini merupakan wakaf dari masyarakat. APBD tak mengeluarkan barang limapuluh rupiah pun untuk mendapatkan tanah ini. Anda katakan tadi mengenai partisipasi masyarakat. Padahal, masyarat di OKU Timur beragam. Bagaimana resep Anda agar mereka ‘solid’? Kuncinya pada bahasa. Setiap tanggal 5 diwajibkan kepada warga OKU Timur untuk menggunakan Bahasa Jawa, tanggal 15 untuk Bahasa Komering dan tanggal 25 untuk bahasa masingmasing. Ini penting untuk membuat solid masyarakat. Mereka membaur, dan tidak ada rahasia diantara mereka karena masingmasing mengerti bahasa suku yang lain. Itukah sebabnya Keraton Surakarta memberikan gelar bangsawan Jawa kepada Anda? Sungguh. Saya tidak pernah
menyangka kalau kedekatan saya dalam memimpin dan dalam keseharian akan mendapat perhatian dari Keraton Surakarta sehingga saya dianugerahi gelar kekerabatan. Tanggal 22 Oktober lalu, Sahadat Sampean Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Pakubuwono XIII Tejowulan menganugerahi saya dengan gelar Kanjeng Raden Haryo (KRH) Haji Mengkudiningrat SH MM di Keraton Surakarta. Sementara istri saya Hj. Febrita Lustia dianugerahi gelar Kanjeng Mas Ayu Temenggung Hajjah Sekarpangesti. Saya, katanya, dianggap berhasil mengayomi penduduk keturunan Jawa di OKU Timur yang lebih dari 50%. Bagaimana Anda melihat hasil kerja keras Anda sejauh ini? Dulu daerah OKU Timur termasuk miskin. Sekarang, justru dicatat BPS sebagai daerah yang paling rendah tingkat kemiskinannya di seluruh Indonesia. Demikian pula, OKU Timur yang dahulu rawan kriminal, sekarang
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Dari semua itu ternyata laporan keuangan pemkab masih Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Komentar Anda? Saya mengerti bahwa partisipasi masyarakat harus pula diikuti dengan transparansi dan akuntabilitas yang baik, melengkapi perwujudan utuh good governance. Dan laporan keuangan adalah salah satu ukuran untuk melihat sampai sejauh mana transparansi dan akuntabilitas itu bekerja. Dari hasil audit BPK atas LKPD OKU Timur tahun 2010 memang terdapat beberapa kualifikasi yang menyangkut aset dan persediaan. Saya tidak tahu persisnya, tapi menurut staf saya jumlah dan permasalahannya tidak terlalu signifikan. Apa pun itu, saya pikir di sinilah porsi BPKP, yang sangat memahami keuangan daerah dan akuntansi, untuk dapat membantu kami mencapai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Bagi saya dan masyarakat OKU Timur ini penting. Agar apa yang telah kami capai selama ini dapat dijaga dalam sebuah sistem pencatatan yang dapat diandalkan, secara lebih transparan dan akuntabel. Dan saya berkomitmen untuk itu Dikdik Sadikin Kabid Akuntan Negara pada Perw BPKP Provinsi Sumatera Selatan
79
APA siapa
80
T
ercatat untuk periode 2000-2005, Rudy Ariffin menjadi Bupati Banjar. Ketika hendak meneruskan untuk mencalonkan diri pada periode kedua, konon sang Guru tidak berkenan. Mengapa harus mencalonkan jadi Bupati Banjar lagi, sekalian saja mencalonkan diri jadi Gubernur Kalsel? Atas restu sang Guru pula, Rudy pun melaju menjadi Gubernur Kalsel 2005-2010. Bahkan untuk periode kedua 2010-2015 pun Rudy tetap tidak tertandingi. Tetapi, tentu, menjadi kepala daerah tak kurang berisiko. “Ada ketidak jelasan dalam wilayah kebijakan publik kita: apakah ranah kebijakan itu diletakkan pada ranah administrasi, ranah pidana, pidana khusus, atau ranah apa? Padahal, kita tahu, ranah administrasi bukanlah ranah pidana. Tetapi, karena sekarang ini hukum administrasi kita belum dikodifikasikan dengan baik, maka sebuah kebijakan bisa begitu saja dibawa ke ranah pidana. Dan ini riskan. Karena, sebagai pejabat negara, kami senantiasa dihadapkan dengan kondisi untuk mengambil keputusan. Kalau kami tidak mengambil keputusan, berarti kami tidak berbuat apaapa untuk masyarakat. Tetapi, begitu keputusan diambil, dalam kondisi grey area itu, dampaknya bisa kemana-mana kepada kami,” ujar Rudy Ariffin. Soal pembebasan tanah, misalnya, bukan kebijakan mudah. Menurut Rudy, begitu masyarakat setempat tahu tanahnya mau dibuat jalan, maka harga tanah pun melonjak melampaui pagu di APBD. Maka kebijakan Rudy pada sebuah proyek adalah membuat patok pada dua jalur daerah yang akan dibuat jalan.
Warga bertanya, buat apa harus dipatok dua lajur, padahal yang diperlukan cuma satu lajur. Dijawab Gubernur kebijakan itu sebagai alternatif. Warga antara dua jalur itu silakan kompetisi soal harga tanahnya. Jalur yang menawarkan lebih murah, itu yang akan diambil. Maka dari persaingan itu Pemda pun mendapat harga tanah yang layak. Toh kebijakan Gubernur itu tak seberapa ekstrim dibandingkan kebijakan seorang Bupati seperti yang di ceritakan Gubernur. Maka Pak Gub pun cerita, ada seorang Bupati menghadapi dilema soal harga tanah yang akan dibebaskan. Dibuatlah strategi. Bupati memanggil preman yang paling kesohor di daerah itu. Sang preman dibayar untuk satu hal: jangan melawan kalau Bupati menamparnya di depan warga. Maka keesokan harinya, ketika sang preman di depan warga sedang berdebat hangat soal harga tanah, datanglah Bupati. Di depan warga, Bupati pun “Plak!!” menampar sang preman. Sesuai skenario, sang preman diam tidak melawan. Dampaknya luar biasa bagi warga. Warga pikir Bupati lebih hebat dari preman. Di situ Bupati pun bisa bilang, itulah jadinya kalau urusan tanah dengan preman. Sudahlah, dengan pemda saja, lebih aman. Maka, warga pun menurut. Persoalan tanah selesai. Tetapi, persoalan dengan preman rupanya tidak selesai sampai di situ. Malamnya, sang preman kembali mendatangi Bupati. Ada apa rupanya? Mau membalas? Oh bukan. Ternyata, sang preman minta tambahan duit pembayaran. Alasannya? “Bapak Bupati menampar saya kekencangan. Lebih keras dari kesepakatan..!” Dasar preman. Ada-ada saja (Dikdik Sadikin)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
APA siapa
S
ebuah penelitian yang dilakukan pakar Harvard Business School, Prof. John Kottler dan Prof.Dr.janes Heskett, menyebutkan terdapat korelasi positif antara penerapan budaya perusahaan dengan prestasi bisnis yang dapat dicapai dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi gambaran betapa pentingnya membangun budaya organisasi. Namun, bagaimana membangun budaya organisasi bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Untuk itu, WP mencoba menggali lebih dalam bagaimana kiat membangun budaya organisasi dari Prof Komaruddin Hidayat usai menyampaikan paparannya terkait Transformasi Nilai Organisasi pada acara budaya kerja BPKP di Bandung pada bulan November lalu. “Membangun coorporate culture harus di awali dari membangun familiy culture,” ungkapnya mengawali wawancara. Bagi Komar, terdapat 7 modal kebahagiaan, yaitu having a good family, good financial situation, melakukan pekerjaan yang disenangi, persahabatan, kesehatan, kemerdekaan, dan nilai individu atau belief atau keyakinan. Keluarga, lanjutnya, adalah sumber kebahagiaan. Sebagaimana yang pernah dialami pria yang dekat dengan lingkungan pesantren ini, meskipun terlahir dari keluarga sederhana di Muntilan, tetapi pengaruh positif lingkungan keluarga dan pesantren telah mampu menanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Nilai-nilai positif itulah yang selalu ia coba tularkan ke lingkungan tempatnya menapaki karir. “Kita butuh guidance dan nilai diri untuk menjadi sosok manusia yang bermakna. Hadirnya sosok kiai Hamam Ja’far dalam hidupnya, diakui Komar telah memberikan arti tersendiri baginya. Satu pesan Kiai Hamam yang selalu ia ingat adalah sebagai manusia, kita harus memiliki prinsip hidup seperti air. Kalau mengenang saja, ia akan menjadi sumber penyakit, sementara apabila mengalir, ia akan menjadi bersih. Pesan sederhana itu pula yang telah menjadi pemicu bagi Komar untuk hijrah ke Jakarta dan menata hidupnya menjadi bermakna tidak hanya bagi dirinya, keluarganya, tetapi lingkungan kerjanya. Di samping itu, ia juga selalu mencoba mengajak lingkungannya untuk bergerak kearah yang positif dengan mengawalinya dari membawa nilai diri menjadi nilai organisasi tempat kita bekerja. Saat ditanya bagaimana membangun nilai dalam sebuah organisasi, Komar dengan tegas menyatakan harus dimulai dari leader. “Ada 2 tipe pemimpin yaitu Nabi Musa yang memiliki kekuatan karakter dan bersih serta Nabi Isa yang penuh kasih sayang. Jika kedua tipe pemimpin ini ada pada seorang leader, maka pemimpin dapat mendrive individu organisasi untuk berubah kearah positif.“Indonesia membutuhkan pemimpin yang strong dan clean seperti Nabi Musa dan penyayang seperti nabi Isa. Tetapi ia juga mempertanyakan, apakah dengan kondisi Indonesia seperti saat ini, memungkinkan untuk hadir pemimpin seperti itu? Untuk itu, ia berharap semua individu di organisasi memulai memperbaiki diri dari rumah.
Di kampusnya, ia berusaha agar dekat dengan mahasiswa, diantaranya dengan memanfaatkan jejaring sosial seperti twitter dan facebook. “Mahasiswa dapat bebas berbicara mulai dari kritikan dan masukan dengan saya tanpa batasan waktu dan tempat.”ungkapnya. Ia berupaya membuka pintu komunikasi seluas-luasnya dengan mahasiswa. Ia juga selalu memberikan ruang lebar kepada mahasiswa yang tidak mampu untuk bisa mengenyam pendidikan. Satu kata kunci diakhir wawancara “Don’t blame anyone. Mulailah berbuat sesuatu yang positif” tegasnya. Apa yang menjadi harapan Komaruddin, itu pulalah yang menjadi harapan bangsa Indonesia. Sikap yang kerapkali menyalahkan orang lain bukanlah sikap seorang kesatria, tetapi belajarlah dari kesalahan untuk memperoleh kehidupan yang lebih bernilai. (nani)
WARTA WARTA WARTAPENGAWASAN PENGAWASAN PENGAWASANVOL. VOL.XVIII/NO. XVIII/NO.4/DESEMBERR 3/SEPTEMBER 4/DESEMBER 2011 2011
81
81
PROFESI
Headline berjudul "Reformasi Birokrasi Gagal Total" seiring dengan terkuaknya kasus rekening gendut milik PNS muda, harus menjadi renungan kita bersama.
S
82
etelah program Reformasi Birokrasi disuarakan tahun 2007, masyarakat sesungguhnya berharap banyak terhadap program Reformasi Birokrasi yang dicanangkan pemerintah. Namun, benarkah reformasi birokrasi sudah gagal total? Apa benar, begitu sulitnya bangsa Indonesia mereformasi birokrasinya? Padahal berbagai studi banding ke negara-negara yang sukses dalam proses Reformasi Birokrasi telah dilakukan. Satu hal yang harus dipahami masyarakat bahwa Reformasi Birokrasi merupakan sebuah proses yang hasilnya tidak dapat dilihat secara instan. Kita juga tidak menutup mata bahwa telah ada perubahan pada birokrasi. Setidaknya upaya kearah birokrasi yang siap menjadi pelayan masyarakat sudah mulai terlihat meski belum terlalu signifikan dapat dirasakan masyarakat, seperti terobosan yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dibawah kepemimpinan Jokowi dan Kementerian Keuangan. Upaya pemerintah untuk mendorong K/L/Pemda untuk memperbaiki kualitas pelayanan terus dilakukan pemerintah, diantaranya melalui berbagai bentuk penghargaan bahkan insentif serta penguatan struktur pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional, salah satunya dengan membentuk Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional atau yang dikenal dengan TQA RBN yang beranggotakan 6 personil yang berasal dari kalangan birokrat maupun konsultan. Sejauh ini, mungkin masyarakat belum mengetahui keterlibatan TQA yang diketuai oleh Prof. Mardiasmo- Ex Officio Kepala BPKP dalam proses reformasi birokrasi nasional. Padahal peran tim ini sangat strategi untuk memastikan Program RB telah dilaksanakan on the right track dan berkelanjutan. Sejak dibentuk awal tahun 2010 lalu, TQA dengan dibantu tim teknis dari BPKP telah memulai langkahnya, yang diawali dengan penyusunan Pedoman Monitoring dan Evaluasi serta Pedoman Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Nasional, dan piloting penjaminan kualitas pada lima Kementerian/Lembaga yaitu BPKP, Sekretariat Negara, KemenPAN dan RB, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan yang selanjutnya Kementian PAN dan RB menerbitkan Pedoman Monev dan Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Nasional melalui PermenPAN dan RB No 53 tahun 2011. Pasca penerbitan PerMenPAN tersebut, TQA mengawali tugasnya dengan melakukan QA pada Badan Pemeriksa Keuangan RI. Dari hasil perjalanan TQA ini, banyak hal-hal positif yang telah ditunjukkan masingmasing K/L tersebut dalam mereform birokrasinya dan dapat dijadikan gambaran apakah telah ada perubahan setelah Program Reformasi Birokrasi dijalankan. BPKP,
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
REFORMASI Birokrasi torat, Karo/Kabag/Kadin, Setda, Setwan, DPRD) pada tahun 2010 dengan capaian sebesar 3,95 dan Indeks kepuasan pemilik kepentingan atas IHPS (Responden: anggota DPR, BAKN, Biro Analisa APBN) dengan capaian 3,83 dari 5 skala likert. Sebagai organisasi yang tidak melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat, BPK adalah instansi yang satu-satunya telah melakukan survey tersebut. Langkah lain yang telah dilakukannya adalah transparansi proses rekrutmen para calon auditornya, dan launching program e-audit. Berbeda dengan Sekretariat Negara, Diskusi QA dengan Tortama BPK, dari kiri ke kanan: Felia Salim, Prof. Mardiasmo, Ilya kondisi yang sangat menonjol adalah upaAvianti, Auditor Utama Keuangan VII ya right sizing yang cukup signifikan dengan mengurangi jumlah jabatan struktural dan transsebagai instansi yang pertama kali dilakukan piloting paransi dalam rekruitmen CPNS. atas pelaksanaan Reformasi Birokrasi, telah menunDari seluruh instansi yang telah dilakukan QA, jukkan sisi positif yang dapat dilihat dari perubahan mungkin Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupaperan secara signifikan dari semula orientasi pada kan instansi yang telah mencapai perubahan yang audit, saat ini lebih menekankan pada peran konsultasi sangat signifikan, diantaranya penggunaan TI dalam quality assurance. bisnis prosesnya yang salah satunya dengan National Jika ditanya ke para stakeholders BPKP, kehadiran Single Windows yang merupakan sistem layanan puBPKP tidak lagi sebagai sesuatu yang harus dihindari blik terintegrasi, yang menyediakan fasilitas pengatetapi dinanti. Saat ini banyak Kementerian/Lembaga/ juan dan pemrosesan informasi standar secara elekPemda bersinergi dengan BPKP demi terwujudnya tronik, guna menyelesaikan semua proses kegiatan pemerintahan yang akuntabel. Melalui strategi dalam penanganan lalulintas barang ekspor, impor preventif atau pencegahan sampai dengan represif dan transit, untuk meningkatkan daya saing nasional. melalui audit atas permintaan baik Kementerian/ Melalui sistem ini, seluruh informasi terkait larangan Lembaga/Pemda maupun BUMN/D, telah banyak inodan pembatasan ijin keluar/masuk barang seluruh vasi yang dilakukan BPKP untuk menjawab kebutuhan instansi menjadi terpusat. Penggunaan sistem ini para stakeholdersnya. Namun, sekeras apapun BPKP secara otomatis memperpendek jalur birokrasi peberupaya, kesungguhan K/L/Pemda tetap menjadi ngurusan izin impor dan ekspor barang. Di samping faktor penentu. Terkait sistem rekrutmen pegawai, itu, sistem ini juga dapat mengetahui pergerakan BPKP merupakan instansi yang sejak sebelum Reforimpor dan ekspor barang secara real time. masi Birokrasipun telah menerapkan prinsip transparansi. Hasilnya, saat ini banyak tenaga BPKP yang dipekerjakan di K/L/ Pemda bahkan BUMN. Bagaimana dengan BPK RI? Saat ini, BPK RI telah melakukan perubahan struktur organisasi yang mengarah pada organisasi yang tepat fungsi (right sizing) melalui pengurangi eselonisasi secara signifikan. Bahkan kedepan, direncanakan akan dilakukan penghapusan terhadap eselon III dan IV. Sesuatu yang cukup mengesankan adalah dilakukannya survey kepuasan pemilik kepentingan atas LHP (Responden meliputi: Gub/Bupati/Walikota, InspekPelaksanaan QA di Dirjen Bea Cukai, Soekarno Hatta
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
83
84
Sementara untuk cukai rokok, saat ini DJBC telah membangun inovasi seperti: Layanan Mandiri, Layanan Mobil Keliling & Drive Thru, Sistem Aplikasi Cukai/ SAC, Office Automation, dan SMS BC Kediri. Satu terobosan lagi dari DJBC adalah sistem manajemen sumber daya manusia. Saat ini, setiap individu memiliki target kinerja yang tertuang dalam fakta integritas yang harus dicapai sebagai refleksi dari kinerja DJBC. Di samping itu, peran Dirjen DJBC sebagai penggerak Reformasi Birokrasi sangat dirasakan oleh TQA. Nuansa perubahan sangat terasa saat kita berada dilingkungan DJBC. Namun, kita juga tidak memungkiri masih banyak pembenahan yang harus dilakukan sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Menteri PAN dan RB, Prof. Eko Prasojo, dalam Seminar Reformasi Birokrasi yang mengundang wartawan dan Kehumasan K/L pada tanggal 20 Desember 2011, lalu. Dalam paparannya, beliau menyampaikan berbagai problematika birokrasi di Indonesia dan bestpractice di beberapa negara yang dinilai telah berhasil dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan proses Reformasi Birokrasi tidak berjalan mulus, diantaranya faktor budaya, individu, dan organisasi dan manajemen yang buruk. Di samping itu, carut marut sistem politik yang ada juga menjadi faktor penghambat proses Reformasi Birokrasi. Melalui berbagai upaya yang tengah dilakukan pemerintah, Eko berharap akan terwujudnya pemerintahan yang efisien di tahun 2014, yang akan ditempuh melalui lima strategi yaitu (1) Gerakan Nasional dan Kampanye Reformasi Birokrasi, (2) Percepatan Formulasi peraturan Perundang-undangan, (3) Quick Wins Reformasi Birokrasi, (4) Reformasi Birokrasi Internal Kementerian PAN dan RB serta (5) Reformasi Birokrasi Nasional pada tingkat Agency Level. Menurutnya, pekerjaan ini sangat berat sehingga kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan adalah hal
yang urgent dalam pencapaian reformasi birokrasi. Keinginan yang kuat dari Kementerian PAN dan RB sebagai penggerak Reformasi Birokrasi dan perangkat yang telah dibentuk dalam proses Reformasi Birokrasi seperti Tim Quality Assurance diharapkan dapat mempercepat perjalanan Reformasi Birokrasi. Bestpractices yang diterapkan K/L yang telah terlebih dahulu dilakukan QA juga telah memberikan bukti nyata bahwa reformasi birokrasi tidak sepenuhnya gagal total. Mungkin kita hanya perlu bercermin dan mencontoh bestpractices tersebut dalam organisasi kita dan berbuat lebih baik lagi (nani/tanti)
Wakil Menteri PAN dan RB, Prof. Eko Prasojo
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
SEPUTAR kita
B
ersih, rapi, dan sederhana, kesan itu sangat terasa saat kami mengunjungi sebuah pabrik yang bergerak di bidang produksi sepatu di kawasan berikat Purwakarta. Tidak terlihat kesan mewah sedikitpun. Tidak tampak mobil maupun sepeda motor yang parkir di halaman kantor, kecuali truk tronton yang tengah bersiap mengangkut hasil produksi untuk dibawa ke berbagai negara di belahan dunia. “Kok gak ada mobil pribadi yang parkir disini , “ tanya penulis pada salah satu petugas yang ada dengan rasa keingintahuan. Ternyata, mulai dari direktur sampai pegawai terendah, seluruhnya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. “Yang berbeda cuma merek sepedanya saja bu?” kata salah satu supervisor yang kebetulan warga negara Indonesia. Pantas saja, meskipun berada di areal industri, udara tetap terasa nyaman dan bebas polusi. Saat masuk ke sebuah ruangan yang cukup lapang, kami di sambut dengan ramah oleh salah satu manajer perusahaan. Dengan suguhan makanan kecil plus soft drink, manajer tersebut menyampaikan profil dan strategi perusahaannya. Dengan penampilan dan pakaian yang bersahaja, cukup sulit bagi kami membedakan posisi dirinya dengan pegawai yang lebih rendah. “Sederhana” , itulah yang menurut kami harus ditiru oleh birokrat pemerintah lainnya. Dibalik aura kesederhanaan pimpinan dan pegawai perusahaan, tidak ada kesan bekerja ‘asal-asalan’. Saat melihat proses produksi, seluruh pegawai terlihat bekerja secara sungguh-sungguh, professional, disiplin, namun tidak meninggalkan sikap ceria dan sesekali tersenyum saat kami menghampiri. Saat kami bertanya ia menjawab dengan singkat tanpa memberhentikan pekerjaannya. Hal ini memang sangat memungkinkan mengingat tahapan-tahapan pekerjaan sudah dipahami secara detail oleh masing-masing karyawan. Sepanjang hari setiap orang telah mengetahui dengan jelas, apa yang
harus dilakukan dan dicapai secara terukur. Tidak ada satu pekerjaanpun yang boleh berhenti karena akan mempengaruhi langsung ketahapan berikutnya. Satu hal yang sangat menarik adalah tahap quality control. Terlihat petugas memperhatikan detail sepatu yang telah selesai diproduksi secara teliti. Sesaat ia menyingkirkan sebuah sepatu yang ditandai dengan stiker khusus. Kami bertanya, “Kenapa disingkirkan? apa yang salah dengan sepatu ini?”. Menurut pandangan kami, tidak ada masalah dengan sepatu tersebut. Ternyata, adanya satu titik kotoran saja, hal itu berarti sepatu tidak siap untuk di-packing. Memperhatikan tahap demi tahap proses produksi, sangat terlihat bagaimana proses supervisi berjalan sangat efektif terhadap setiap detail pekerjaan. Di samping itu, kekompakan, ketelitian, dan kerjasama sepertinya sudah menyatu dalam setiap detail pekerjaan yang dilakoni para pekerja yang sebahagian besar merupakan penduduk di sekitar pabrik. Hal lain yang tidak kalah menarik, terkait bagaimana perusahaan tersebut mengelola barang scrap-nya, yaitu dengan menghancurkan seluruh sepatu yang cacat atau gagal produksi. Hal ini untuk menjaga nama baik pemesan produksinya. Menurut salah seorang manajernya, biaya untuk memusnahkan terkadang justru lebih besar jika dibandingkan dengan biaya produksi. Tetapi itulah bagaimana perusahaan tersebut menjaga kualitas produksinya sehingga pembeli menjadi puas saat mengenakan sepatu hasil produksinya. Kesederhanaan tanpa meninggalkan profesionalisme yang ditunjukkan manejer dan perusahaan tersebut merupakan sebuah contoh praktek reformasi birokrasi yang harus di contoh oleh birokrasi di Indonesia. Dengan kesederhanaan, pegawai negeri sipil diharapkan dapat tetap bekerja secara professional untuk sebuah pelayanan publik yang berkualitas
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(nani)
85
MoU
Menggapai Kebermaknaan BPKP Dunia audit sepertinya sudah jauh dari rutinitas BPKP. Sebagai salah satu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, ada peran yang lebih penting daripada audit yang lebih menekankan aspek represif. Karena ternyata, tindakan pencegahan terjadinya sebuah perilaku fraud lebih efisien dan efektif dari padam enangani perilaku fraud. Saat ini, peran itulah yang dituntut pemerintah terhadap APIP. Sudah banyak hal yang telah dilakukan oleh BPKP, namun mungkin banyak pihak yang tidak mengetahuinya. Rangkaian kerjasama telah dijalin BPKP baik dengan kementerian/lembaga/pemerintah daerah menjadi bukti bahwa kehadiran BPKP memang dinanti. Berikut rangkaian perjalanan BPKP menggapai sebuah makna.
86
Review dan sosialisasi serta Assessment Penerapan Good Corporate Governance (GCG) dengan menggunakan parameter yang telah disepakati oleh BPKP dan Menteri BUMN; Review, Asistensi dan sosialisasi atas Kebijakan Management Asset; Konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards); Asistensi pengembangan dan implementasi Manajemen Risiko; Pendidikan dan Latihan Sumber Daya Manusia bidang Pelelangan, Keuangan dan Satuan Pengawasan PT Pelindo I (Persero), Gandeng BPKP Internal; Survey kepuasan pelanggan, karyawan dan Keinginan PT Pelindo I (Persero) untuk menjalin vendor; In House Clean pada pekerjaan pemborongan kerjasama dengan BPKP dalam tata kelola perusahaan dan kerja sama; dan Jasa-jasa lainnya sesuai kebuyang baik (Good Corporate Governance/GCG), disam- tuhan dan kompetensinya. paikan Direktur Utama PT. Pelindo I (Persero), Alfred Pernyataan Direktur Utama PT. Pelindo I (Persero), Natsir saat penandatanganan MoU antara Perwakilan Alfred Natsir merupakan sebuah harapan akan BPKP Provinsi Sumatera Utara dengan PT Pelindo I hadirnya sebuah APIP yang siap mengawal bukannya (Persero). menghakimi. Penandatanganan Nota Kesepahaman Ruang lingkup Nota Kesepahaman ini antara lain antara PT pelindo Indonesia I (Persero) dengan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara yang juga dihadiri Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana, merupakan rangkaian dari kerjasama yang telah dijalin sebelumnya yaitu kegiatan Clearence Asset, Evaluasi atas Kerjasama PT. Pelindo I (Persero) dengan PT. Metito dan Reviu Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPY BDS) pada PT. Pelindo I (Persero), serta Reviu dalam rangka Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk Pelabuhan Dumai Tahap III. Masih banyak hal yang harus dilakukan BPKP untuk merealisasikan Nota Kesepahaman, diandari kiri ke kanan: Direktur Utama PT. Pelindo I (Persero), Alfred Natsir dan BPKP Perwakilan Provinsi taranya review dan sosialisasi serSumatera Utara, M. Yusuf, disaksikan Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana, WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
MoU
ta Assessment Penerapan Good Corporate Governance(GCG) dengan menggunakan parameter yang telah disepakati oleh BPKP dan Menteri BUMN; Review, Asistensi dan sosialisasi atas Kebijakan Management Asset; Konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards); Asistensi pengembangan dan implementasi Manajemen Risiko; Pendidikan dan Latihan Sumber Daya Manusia bidang Pelelangan, Keuangan dan Satuan Pengawasan Internal; Survey kepuasan pelanggan, karyawan dan vendor; dan In House Clean pada pekerjaan pemborongan dan kerja Rektor ITB, Akhmaloka(kanan) dan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, saling memperlihatkan nota kesepahaman usai penandatanganan sama. Dalam kesempatan yang sama, Deputi Kepala datangan. BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana, juga Dalam pidatonya, Akhmaloka mengatakan bahwa mengharapkan menyatakan kerja sama PT Pelindo I ITB memerlukan instansi-instansi lain untuk bisa (Persero) dengan BPKP telah berjalan baik dan akan memperbaiki kinerja ITB, terutama dari segi keuangan. terus dilanjutkan. Beliau berharap PT. Pelindo I Ia berharap, semua transaksi yang ada di ITB harus (Persero) bisa mempertahankan bahkan mening- akuntabel. Lebih lanjut dikatakan pula oleh Akhmakatkan kinerja yang telah dicapainya. loka, walaupun dalam 3 tahun terakhir laporan keuangan ITB memperoleh predikat WTP, tapi ITB tetap Transfer knowledge antara ITB dan BPKP masih harus terus belajar agar ITB ke depan lebih baik Good University Governance telah menjadi kebu- lagi. tuhan bagi setiap perguruan tinggi dan peningkatan Sementara itu, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo mekapasitas SDM adalah penting bagi setiap instansi, ngatakan bahwa ada beberapa hal yang harus menuntuk itu Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan jadi perhatian oleh rektor dalam mewujudkan Good kerjasama yang saling menguntungkan dengan BPKP. University Governance, diantaranya adalah: akuntaHal ini dikukuhkan dengan penandatanganan MoU bilitas pelaporan keuangan dan kinerja; pengelolaan di Gedung CCAR ITB Lt.3 Jl. Tamansari 64 Bandung aset lancar dan aset tetap (pengadaan barang dan pada Kamis, 8 Desember 2011. MoU yang dilakukan jasa); pengelolaan investasi yang berbau bisnis/ terkait kerjasama pendampingan implementasi Satuan Usaha Komesial (SUK); pembuatan program pengelolaan keuangan ITB dan peningkatan kapasitas yang tetap berpegang pada prinsip partisipatif, akunSDM BPKP. Penandatanganan MoU dilakukan oleh tabel, dan transparan; dan penyelamatan keuangan Rektor ITB Akhmaloka dan Kepala BPKP, Prof. Mar- negara. diasmo. Prof. Mardiasmo mengharapkan agar dibentuk Ruang lingkup MoU untuk ITB meliputi: pendam- Satgas SPIP di ITB yang nantinya akan bekerjasama pingan implementasi manajemen keuangan; pen- dengan tim dari BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat dampingan implementasi manajemen kinerja; pen- untuk membangun SPIP dan budaya internal control di dampingan implementasi pengadaan barang dan ITB. jasa; konsultasi perancangan SOP untuk mendukung peningkatan akuntabilitas dan kinerja; dan bimbingan Bantu Polri Demi Penegakan Hukum teknis lainnya. Sedangkan ruang lingkup MoU untuk Komitmen BPKP dalam mensukseskan Inpres 5 BPKP adalah proses belajar SDM BPKP melalui pen- tahun 2006 tentang Percepatan Pemberantasan didikan tinggi jenjang Strata II dan Strata III. MoU ini Korupsi kembali ditunjukkan BPKP dengan terus berlaku untuk jangka waktu 3 tahun sejak penan- membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia
87
MoU 88
perhatian Ketua DPR Marzuki Alie. Begitulah setidaknya keprihatinan yang disampaikannya saat penandatanganan MoU antara BPKP dengan BURT DPR RI, di ruang Rapat BURT Gedung Nusantara II pada hari Kamis (13/10). Melalui MoU ini, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, menyatakan keinginan BPKP untuk membantu DPR khususnya BURT dalam mengelola keuangan negara terutama terkait dengan pengelolaan anggaran di Setjen DPR RI, termasuk mempertahankan opini WTP yang telah dicapai. Dikatakan MarWakil Kepala Kepolisian Negara RI, Komjen Pol Nana Soekarna(kiri) dan Kepala Badan Pengawasan diasmo, WTP adalah syarat miKeuangan Pembangunan (BPKP), Prof. Mardiasmo, Ak, MBA, PhD nimal , namun, yang terpenting (POLRI) demi mendorong peningkatan kinerja Kepoadalah bagaimana optimalisasi penggunaan anglisian Negara Republik Indonesia, termasuk dalam garan yang lebih Ekonomis, Efisien dan Efektif dan penanganan kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi dan kinerja yang sehat. Pidana Umum. Lebih lanjut, Marzuki menyatakan bahwa potensi Peran ini sesungguhnya bukan merupakan seBPKP untuk menjadi pengawas internal dengan orangsuatu yang baru mengingat sudah sejak lama BPKP orangnya yang kredibel dan berpengalaman harus membantu Kepolisian RI, mulai dari audit investigatif, bisa dimanfaatkan. " Kemampuan BPKP yang mumaudit tindak pidana perbankan, audit tindak pidana puni ini tentu sayang jika tak dimanfaatkan." ungkappencucian uang, perhitungan kerugian keuangan nya. negara, pendampingan dalam penyelenggaraan Fraud Untuk itu, ia juga berharap agar DPR harus menjadi Control Plan, dan bantuan tindakan lainnya sesuai kepelopor bagaimana menciptakan sistem yang bersih pentingan penegakan hukum. Untuk kesinambungan dan bertanggungjawab. "BPKP itu, hebat dan teruji, kerjasama antara BPKP dan Kepolisian RI, keinginan tapi kenapa tidak dimanfaatkan? Karenanya, saya pun itulah yang melatarbelakangi ditandatanganinya kesemenyarankan kepada Presiden, Wapres dan Pimpinan pakatan antara Wakil Kepala Kepolisian Negara RI, DPR untuk menghidupkan kembali BPKP, dan mereka Komjen Pol Nana Soekarna dan Kepala BPKP, Prof. sepakat untuk memfungsikan kembali BPKP," kata Mardiasmo, Ak, MBA, PhD. Marzuki Kedepan, BPKP akan mendampingi POLRI, khuSaat ini, tambahnya, sistem politik yang berbiaya susnya dalam pendampingan penyelenggaraan SPIP, tinggi membuat penyelewengan APBN dan APBD pendampingan dalam penyusunan dan review menjadi semakin marak, sementara DPR tidak bisa laporan keuangan, peningkatan kompetensi dan menyentuh hal itu karena berkaitan dengan partai kapasitas SDM POLRI, audit gabungan atas program politik. Ia mengharapkan, langkah DPR ini juga akan strategis dan isu-isu terkini yang menjadi sorotan diikuti oleh seluruh lembaga negara dan kementerian. publik, pendampingan dalam pengembangan sistem Dengan demikian, tidak ada lagi temuan BPK informasi pengawasan, serta sinkronisasi dan akurasi mengenai ketidakjelasan program pembangunan data pengawasan. pemerintah, karena BPKP sudah melakukan tugas pengawasannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan Bersih-bersih di DPR RI Bersama BPKP dan evaluasi. "Ini bentuk komitmen kami untuk bersihTingkat korupsi yang semakin menjadi-jadi setelah bersih agar menjadi contoh bagi lembaga lainnya," fungsi pengawasan yang selama ini di jalankan oleh katanya. BPKP diganti menjadi fungsi konsultasi juga menjadi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
Ketua DPR Marzuki Alie (kiri) dan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo
Basarnas Perkuat Tata Kelola pemerintahan dengan BPKP Semangat untuk terus memperbaiki pengelolaan keuangan yang baik terus bergelora, salah satunya oleh Badan SAR Nasional (Basarnas). Bertempat di Gedung Angkasa JL.Angkasa Blok B.15 KAV 2-3 Kemayoran - Jakarta Pusat berlangsung penandatangan MoU antara Basarnas dengan BPKP Memorandum of Understanding (MoU) antara 2 institusi mencakup peningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata kelola sesuai dengan Inpres 4 tahun 2011 yang meliputi, peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan negara, penerapan SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah), join Audit program strategis di Basarnas, dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia pengelola keuangan. Kepala Basarnas, Marsekal Madya Daryatmo menegaskan MoU ini merupakan langkah awal sejak dikeluarkannya PP No 99 tahun 2007 yang menetapkan Basarnas menjadi salah satu Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Saat ini, menurutnya, Basarnas telah memiliki Inspektorat. Untuk itu, pihaknya memerlukan bimbingan BPKP dalam meningkatkan kompetensi SDM. "Saya mengapresiasi kerjasama ini, khususnya terhadap Kepala BPKP dan berharap MoU ini bukan basa - basi , bukan lip service, melainkan outputnya adalah
BAPETEN rangkul BPKP untuk Meningkatkan Tata Kelola Keuangan Keinginan mewujudkan tata kelola juga menjadi keinginan BAPETEN. Untuk itu, dengan diawali penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo dengan Kepala BAPETEN As Natio Lasman, kedua belah pihak sepakat untuk saling mendukung demi terwujudnya tata kelola yang baik di BAPETEN. Kepala BPKP, Mardiasmo menyatakan bahwa MoU ini merupakan langkah awal yang baik dan merupakan payung hukum bagi BPKP untuk menjadi mitra yang baik dalam peningkatan pengelolaan keuangan negara di Bapeten. As Natio Lasman dalam kata sambutannya berharap melalui kerjasama dengan BPKP, jangan sampai pengelolaan keuangan negara di Bapeten menjadi 'kejeglong' dan tentunya tujuan akhirnya adalah apa yang diamanatkan Presiden dalam KIB II dapat terlaksana dengan sebaik - baiknya. Tujuan dari Mou ini, agar anggaran di lembaga negara termasuk Bapeten dapat dipergunakan sebaik-baiknya dengan efektif dan efisien serta tidak ada 'penyalahgunaan' keuangan negara. Bersama Inspektorat, BPKP juga akan melakukan joint audit sebelum diperiksa oleh BPK dan Diagnostic Assesment Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (DA SPIP). Di dalam kegiatan Kepala BPKP, Mardiasmo(kiri) dengan Kepala BAPETEN As Natio Lasman, asyik berdiskusi tersebut, BPKP akan melakukan general sebelum penandatanganan MoU dilaksanakan WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
MoU
check up untuk mendapatkan titik kritis, agar arah Sistem Pengendalian Intern bisa dipertanggungjawabkan. Tujuan akhirnya tentu saja pengelolaan keuangan bisa berjalan akuntabel , auditabel dan ada upaya preventif terhadap potensi penyelewengan keuangan negara.
89
MoU 90
dengan Pemprov Bengkulu (28/10). Lebih lanjut beliau berharap agar langkah selanjutnya berupa Joint Audit atas Laporan Keuangan tahun 2011 dapat segera dilakukan. Lingkup MoU sebagaimana disampaikan beliau meliputi pengelolaan keuangan daerah, pengembangan dan penyelenggaraan sistem akuntansi keuangan daerah, pengembangan dan penyelenggaraan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, penyelenggaraan pengawasan dan peningkatan kapasistas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah daerah dengan cara joint audit, dan pengembangan serta penyelenggaraan Kepala Basarnas, Marsekal Madya Daryatmo (kanan) dan Kepala BPKP, Mardiasmo saling bertukar cinderamata usai penandatanganan MoU Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). tata kelola kepemerintahan yang baik", ungkap Kepala Penandatanganan MoU ini menjawab keinginan Basarnas Pemprov Bengkulu untuk mewujudkan tata kelola Komitmen yang sama juga ditunjukkan Kepala pemerintahan yang baik sebagaimana disampaikan BPKP, Prof. Mardiasmo, bahwa BPKP akan membantu Plt Gubernur Bengkulu H. Junaidi Hamsyah, dalam Basarnas untuk mewujudkan Good Public Governance, kata sambutannya didepan para pejabat eselon I dan yang diawali dengan melakukan Diagnostic Assessment II di lingkungan BPKP Pusat dan Inspektur Provinsi (DA) untuk mengidentifikasi titik kritis dalam pengeBengkulu. “Pemprov Bengkulu berharap BPKP dapat lolaan keuangan. Di samping itu, Mardiasmo juga memembantu Pemprov Bengkulu dalam meraih WTP dan negaskan, bahwa BPKP akan terus melakukan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. preventif, edukatif dan pre emptive untuk mencapai Melalui konsistensi dan kesungguhan kedua belah Good Public Governance. Harapannya dengan mengimpihak, MoU diharapkan dapat menjadi langkah awal plementasikan SPIP, Basarnas bisa mendapatkan opini yang positif bagi pengembangan manajemen peWTP dari BPK RI merintahan di Prov Bengkulu. Rangkaian MoU hendaknya menjadi langkah awal bagi BPKP untuk meraih makna dari keberadaannya. Untuk itu, ditengah kompleksitas peran, langkah pengembangan kompetensi untuk terus dapat menjawab harapan stakeholders merupakan sebuah keniscayaan agar BPKP dapat terus berkarya demi sebuah tujuan yaitu tata kelola keuangan yang baik Tahun 2012: Joint Audit LK Pemprov Bengkulu 2011 Langkah membentuk satgas antara Pemprov Bengkulu dengan BPKP untuk proses penyusunan Laporan Keuangan (LK) tahun 2011 merupakan sebuah solusi untuk mempercepat Provinsi Bengkulu meraih WTP. Hal inilah yang disampaikan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo saat memberi sambutan pada acara penandatanganan MoU antara BPKP
Plt Gubernur Bengkulu H. Junaidi Hamsyah(kanan) dan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo saling bertukar cinderamata usai penandatanganan MoU
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
BPKP dalam berita
Telusuri Penyebab sebagai Langkah Memperoleh WTP
O
pini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK sudah menjadi suatu tuntutan bagi setiap instansi pemerintah pusat maupun daerah sebagai persyaratan minimal untuk memperoleh kinerja yang lebih baik. Ini mendasari pelaksanaan Seminar Nasional dengan tema "Strategi Meraih Opini WTP 2012" yang bertempat di Hotel Rattan Inn - Banjarmasin, pada Rabu 21 Desember 2012. Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama Perwakilan BPKP Prov. Kalimantan Selatan, BPKP Prov. Kalimantan Tengah, BPK Perwakilan Kalimantan Selatan, BPK Perwakilan Kalimantan Tengah, IAI Wilayah Kalimantan Selatan, dan Kanwil Ditjen Pajak Kalimantan Selatan. Peserta seminar adalah praktisi keuangan daerah, pengawas internal dan eksternal pemerintah, DPRD, serta Akademisi dan mahasiswa. Hadir sebagai narasumber Kepala BPKP Mardiasmo, Anggota VII BPK RI Bahrullah Akbar, Inspektur Wilayah III Kemendagri Dadang Suwanda, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin, Wakil Gubernur Kalimantan Selatan Ahmad Diran, Kaper BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Hamonangan Simarmata, dan Kepala Biro Keuangan Provinsi Sulawesi Utara Praseno Hadi. Adapun tujuan dilaksanakan seminar adalah memperoleh gambaran mengenai permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, terutama dalam audit atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK dan solusi untuk mengatasinya. Di samping itu, seminar dimaksudkan untuk memperoleh gambaran strategi dan langkah kerja yang diperlukan untuk memperoleh opini WTP, baik berdasarkan pengalaman maupun prospek pengelolaan di masa mendatang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin dalam pidato pembukaan mengatakan bahwa permasalahan yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan sebagai penyebab belum meraih opini WTP dari BPK adalah terkait penyertaan modal pemda dan masalah pengelolaan aset. Untuk memperbaikinya, Pemprov Kalimantan Selatan melaksanakan pokok-pokok perbaikan pada aspek Sistem Pengelolaan Keuangan seperti Kebijakan Akuntansi Daerah, Sistem dan Prosedur Pembukuan SKPD, Sistem Aplikasi Teknologi Komputer, Inventarisasi Aset, Pemberian bantuan dan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, dan Penjaminan Mutu (Quality Assurance) oleh Pengawas Internal. Seminar ini, menurut Rudi merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah provinsi/kab/kota se-Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah untuk memperbaiki kinerja anggaran. "Kinerja yang baik akan mendapatkan output yang baik , dan output yang baik akan memberikan kemaslahatan serta kemajian bagi masyarakat/daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia."ungkapnya. Pada kesempatan yang sama, Kepala BPKP Mardiasmo menyampaikan beberapa permasalahan yang juga harus mendapatkan perhatian serius pemerintah daerah terkait akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, diantaranya keterlambatan pengesahan APBD, rendahnya penyerapan anggaran, porsi penerimaan PAD yang masih rendah, jumlah Silpa yang signifikan, dan keterbatasan SDM aparatur pengelola keuangan daerah. Keinginan untuk memperoleh WTP tentu saja akan memperoleh kendala jika tidak ada kesamaan persepsi antara auditor atau BPK RI dengan auditee atau pemerintah daerah dalam menyikapi suatu permasalahan. Untuk itu, seminar juga
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
91
BPKP dalam berita menghadirkan Auditor Utama Keuangan Negara VII BPK RI Bahrullah Akbar. Bahrullah menjelaskan secara gamblang tentang permasalahan yang ditemui BPK dalam melaksanakan audit serta kiat-kiat memperoleh opini WTP. Jika pemerintah daerah ingin memperoleh Opini WTP, menurutnya, Laporan Keuangan harus menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP sedangkan opini WDP diberikan apabila laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum kecuali untuk dampak hal-hal yang dikecualikan. Kondisi yang menyebabkan opini WDP menurutnya adalah adanya salah saji dan keterbatasan lingkup. Adapun opini TW menurutnya diberikan jika pemeriksa setelah memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup memadai, menyimpulkan bahwa salah saji yang ditemukan, baik secara individual maupun agregat adalah material dan pervasive (berpengaruh secara keseluruhan) pada laporan keuangan. Lalu opini TMP apabila terdapat pembatasan lingkup yang luar biasa sehingga pemeriksa tidak dapat memperoleh bukti yang cukup memadai sebagai dasar menyatakan opini. Selain itu, Bahrullah juga mengungkapkan hal-hal yang perlu dicermati untuk meraih opini WTP yakni, sistem
pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban anggaran, quality assurance oleh pengawas intern, dan sumber daya manusia. Seminar menjadi cukup menarik ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Praseno Hadi memaparkan upaya-upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk meraih opini WTP pada 2009 dan 2010. Kiat yang dilakukan Pemprov Sulsel, menurutnya adalah dengan memberikan pemahaman berupa sosialisasi dan bimtek kepada gubernur, DPRD, dan aparat pemerintah daerah tentang pengelolaan keuangan daerah yang baik serta manfaat dan pengaruh opini WTP. Selain itu, pihaknya juga membangun komitmen yang kuat dari gubernur, DPRD, sekda, dan kepala SKPD untuk meraih opini WTP. Sementara dari segi fungsi dan kelembagaan, Praseno menjelaskan juga bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah menerapkan sebuah kebijakan yaitu dibawah Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD ada fungsi verifikasi, perbendaharaan, dan akuntansi yang terpisah satu sama lainnya. Sedangkan dalam hal sistem dan prosedur, Pemprov Sulut bekerja sama dengan Kemendagri, Kemenkeu, BPKP, Perguruan Tinggi, dan Swasta untuk pengembangannya (HJK)
92
PNBP: Potensi, Permasalahan Dan Pemecahannya
P
enerimaan Negara Bukan Pajak atau yang dikenal dengan PNBP harus diakui belum mampu mengimbangi penerimaan negara dari pajak. Namun, upaya kearah peningkatan yang signifikan terus diupayakan pemerintah diantaranya melalui pembentukan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tm OPN) yang diketua BPKP dan beberapa kementerian sebagai anggotanya. Salah satu langkah yang dilakukan BPKP adalah dengan menggagas “Diskusi Panel Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Instansi Pemerintah” bertempat di Jakarta (19/12). Diskusi yang dihadiri oleh utusan dari hampir seluruh Kementerian dan Lembaga serta Badan di lingkungan pemerintah pusat dibuka oleh Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian BPKP, DR. Binsar H Simanjuntak. Dalam sambutannya, beliau berharap melalui diskusi yang menghadirkan panelis dari BPKP, BPPT, LIPI, Kemkunham, UNJ, ESDM, LAPAN, BPK, dan Kementerian Keuangan, Tim OPN
Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian BPKP Binsar H Simanjuntak
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
BPKP dalam berita dapat memperoleh masukan yang berharga dalam menjalankan tugasnya membantu Kementerian Keuangan terutama Direktorat Jenderal Anggaran dalam mengelola PNBP. Binsar berharap agar PNBP semakin meningkat dan pada suatu saat nanti, akan bisa lebih besar dari belanjanya. Terdapat 3 hal yang ingin diulas dalam diskusi tersebut yaitu pertama permasalahan pengelolaan PNBP pada instansi pemerintah, kedua strategi optimalisasi PNBP dari sudut pandang penguatan APBN, dan ketiga pemecahan masalah pengelolaan PNBP pada instansi pemerintah. Salah satu narasumber yaitu Direktur PNBP Direktur PNBP Kemenkeu, Askolani Kemenkeu, Askolani menyampaikan beberapa prinsip-prinsip pengelolaan PNBP yang harus dipahami oleh Tim OPN yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1997, UU no. 17 tahun 2003, UU no. 1 tahun 2004, PP no. 73 tahun 1999, dan PP no. 22 tahun 2005. Prinsip-prinsip pengelolaan PNBP seperti dikatakan Askolani adalah bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara, penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara pada waktunya, penerimaan Kementerian/Lembaga tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran (dapat digunakan langsung apabila ada keputusan Menteri Keuangan), seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN, semua penerimaan yang menjadi hak negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN, dan tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam UU atau PP yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. Namun, lanjutnya, terdapat kegiatan tertentu yang dapat dibiayai langsung dari dana PNBP meliputi bidang-bidang kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi; pelayanan kesehatan; pendidikan dan pelatihan; penegakan hukum; pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan pelestarian sumber daya alam. Ia juga menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan tengan menyusun naskah akademik dalam rangka revisi UU no. 20 tahun 1997 tentang PNBP dan diharapkan akan siap dibahas dengan DPR pada tahun 2013. (HJK)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
93
BPKP dalam berita
Sekretaris Utama BPKP, Suwartomo (no 3 dari kanan) berfoto bersama para pejabat Akauntan Negara Malaysia
A 94
pa itu akrual basis? Mungkin buat orang yang awam terhadap ilmu akuntansi akan muncul pertanyaan demikian. Menurut ilmu akuntansi, Jika suatu entitas menggunakan metode pencatatan akuntansi berdasarkan akrual basis, entitas akan mencatat pendapatan ketika transaksi aktual selesai bukan pada saat kas diterima. Entitas akan mengakui bahwa perusahaan tersebut menerima pendapatan pada saat terjadinya transaksi. Walaupun entitas yang bertransaksi belum menerima uang atas transaksi tersebut secara kas. Begitu pula dengan pencatatan beban entitas. Berbeda dengan kas basis, pada metode ini, entitas mencatat beban didalam akun keuangan ketika kas dikeluarkan atau dibayarkan. Selain itu, pendapatan dicatat ketika kas masuk atau diterima. Akrual basis lebih baik daripada kas basis, karena pada akrual basis beban dan pendapatan secara hati – hati disamakan dan menyediakan informasi yang lebih handal dan terpercaya tentang seberapa besar suatu entitas mengeluarkan uang atau menerima uang dalam setiap bulannya. Pencatatan menggunakan metode ini mengakui beban pada saat transaski terjadi walaupun kas belum dibayarkan. Begitu pula dengan pendapatan. Pendapatan dicatat pada saat transaksi pendapatan terjadi walaupun kas atas transaksi pendapatan tersebut baru diterima bulan depan. Dalam hal ini maka dapat disimpulkan bahwa pencatatan menggunakan akrual basis lebih mencermikan keadaan entitas dan lebih dapat mengukur kinerja perusahaan. Akrual basis saat ini sudah menjadi tuntutan, tidak hanya untuk sektor swasta akan tetapi juga sektor publik. Pelaporan neraca instansi pemerintah suatu negara, sekarang harus sudah mengarah kesana untuk pelaporan dan pengukuran kinerja yang lebih baik. Oleh karena itu,
pada Jumat 9 Desember 2011, Jabatan Akauntan Negara Malaysia (JANM) melakukan kunjungan ke BPKP yang diterima oleh Sekretariat Utama BPKP Suwartomo di ruang rapat Sesma Lt.3 Gedung Kantor BPKP Pusat Jl. Pramuka no.33 Jakarta. Negara Malaysia melalui Projek Perakaunan Akruan JANM akan menerapkan asas akrual basis dalam sistem akuntansi pemerintahannya (sistem perakaunan kerajaan persekutuan) mulai tahun 2014 nanti. Sampai dengan saat ini Ngara Malaysia masih menggunakan kas basis yang dimodifikasi (Modified Cash Basis) dan baru akan merubahnya ke akrual basis, oleh karenanya pihak JANM merasa perlu untuk melihat ke negara jiran terkait penerapannya. Kunjungan ini dimaksudkan untuk mempelajari pengalaman Indonesia (BPKP) dalam melakukan peralihan dari kas basis ke akrual basis pada sistem akuntansi instansinya. Dijelaskan oleh Sekretaris Utama Suwartomo bahwa pada saat ini BPKP masih menggunakan sistem akuntansi kas menuju akrual (Cash Toward Accrual), belum melaksanakan akrual secara penuh. Sistem akrual secara penuh baru akan dilaksanakan secara wajib pada tahun 2014 nanti. Namun BPKP telah melakukan persiapan kearah akrual. Disampaikan pula oleh Suwartomo bahwa Pada tahun 2010 telah terbit regulasi untuk penerapan akrual basis yakni PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005 yang masih menerapkan basis kas menuju akrual. Diharapkan setelah PP 71/ 2010 ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
(HJK)
BPKP dalam berita
S
eandainya, seorang istri bertanya kepada sang suami jika memperoleh rezeki diluar kewajaran, itulah titik awal menghapus prilaku koruptif para birokrasi. Tetapi, saat seorang istri hidup bermewah-mewah, itu pula awal munculnya prilaku koruptif. Itulah makna yang tersirat dibalik penyelenggaraan program Dharmawanita Pusat di Aula Gandhi (3/11) yang mengangkat tema "Peran Wanita dalam Mewujudkan Lingkungan yang Hijau dan Pemerintahan yang Bersih. Keinginan tersebut diungkapkan langsung oleh Wakil Ketua DWP Kelompok V, Erna Budi Yuwono di depan Ketua dan Pengurus DWP IPP Kelompok V yang berasal dari DPW Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan /Bappenas Pusat, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Daerah Tertinggal, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Tenaga Nuklir, dan BPKP. Tidak dapat disangkal jika peran seorang istri sangat penting bagi sebuah mahligai rumah tangga, mulai dari mendidik anak yang akan menjadi penerus bangsa maupun mendampingi suami dan menjaga agar suami tetap memiliki integritas. "Istri yang baik, harus mendukung kegiatan suami dan mendorong agar tidak melakukan KKN, hidup sederhana dan wajar, serta menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan rumah tangga". ungkapnya. Hal itu ditegaskan pula oleh Penasehat DWP BPKP, Prof. Mardiasmo, Menurutnya, keberhasilan penerapan konsep eco office dan pemerintah yang bersih tidak lepas dari dukungan dari entitas terkecil yaitu lingkungan keluarga. Harapan beliau kegiatan ini menjadi penanda komitmen kita menerapkan nilai-nilai kejujuran dengan sungguh-sungguh sehingga akan terwujud pemerintahan yang bersih. Materi menarik lainnya juga disampaikan oleh Ka-
bag pada Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP, Sally Salamah dan Ir. Elly Maryana,MM dari Kementerian Kehutanan. Menurut Sally, di sadari atau tidak wanita Indonesia telah banyak memberikan kontribusi dalam pemerintahan terutama dalam penerbitan sebuah regulasi. Ia pun berharap agar peran wanita semakin ditingkatkan terutama dalam membangun generasi muda yang dapat diandalkan. Hal itu, diperkuat pula oleh Elly Maryana,MM saat memaparkan materi tentang KBR (Kebun Inti rakyat). Menurutnya, KBR yang merupakan kebun bibit tidak hanya dikelola oleh kaum pria tetapi juga wanita. Tujuannya, menurutnya untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan yang berbasis sumber daya alam dan untuk memperbaiki lingkungan. Di samping acara tersebut, sebelumnya, Dharma Wanita BPKP telah melaksanakan kegiatan menanam pohon sebagai wujud keikutsertaannya dalam mendukung program eco office di BPKP. Rangkaian kegiatan Dharma Wanita dapat menjadi cerminan bagaimana seorang istri memiliki peran yang sangat penting bagi keluarga maupun lingkungannya. (Tine)
Kegiatan penanaman pohon oleh Ketua Dharmawanita BPKP Pusat, Retno Widyastuti didampingi Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011
95
BPKP dalam berita
LSP-AF Media Lahirkan Auditor Forensik
P
96
entingkah profesi auditor forensik? Saat ini, harus diakui kebutuhan terhadap auditor forensik semakin besar. Hal ini, seiring meningkatnya transaksi ekonomi dan maraknya kejahatan dalam dunia bisnis dan birokrasi. Namun,karena selama ini di Indonesia belum ada suatu lembaga yang memberikan sertifikasi terhadap kompetensi auditor forensik maka BPKP, Polri, dan Kejagung sepakat membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSP-AF) yang dikukuhkan melalui penandatangan kesepakatan bersama antara Kepala Bareskrim Polri, Jampidsus Kejagung, dan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi pada tanggal 27 Nopember 2008. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, pada hari Jumat (15/7), bertempat di Aula Gandhi Gedung BPKP Pusat Jakarta, diresmikan beroperasinya LSP-FA oleh Kepala BPKP, Mardiasmo. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa beragamnya tindak kecurangan yang terjadi membutuhkan auditor yang kompeten di bidang audit forensik. “Tidak hanya cukup dengan auditor lulusan S1 namun auditor dengan jam terbang tinggi dan memiliki bekal ilmu audit forensik,” tegasnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sertifikasi auditor forensik juga merupakan salah satu bentuk dukungan ketiga instansi tersebut terhadap implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dengan bersertifikasi, menurutnya, auditor fo-
rensik akan lebih kompeten dalam menghitung kerugian keuangan negara dan menelusuri aset Negara yang hilang. “Seringkali hakim dan pengacara menanyakan keahlian auditor saat memberikan keterangan ahli. Sertifikat auditor forensik sebagai bukti keahlian tersebut,” kata Mardiasmo. Untuk itu, ia berharap dengan diresmikan LSP-FA, pihak Polri, Kejagung, dan inspektorat kementerian/lembaga dapat mengirimkan auditornya untuk disertifikasi sebagai auditor forensik. “Ke depan, tidak perlu menunggu BPKP, kementerian/lembaga dapat menggunakan auditornya yang telah ahli di bidang audit forensik guna mengungkap kecurangan di lingkungannya,” tambah Mardiasmo. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pelaksana LSPFA, Ubaedi mengungkapkan secara panjang lebar mengenai program kerja LSP-FA. Dikatakannya, kegiatan yang dilakukan LSP-AF meliputi uji kompetensi auditor forensik, sertifikasi kompetensi, dan akreditasi tempat uji kompetensi. Standar kompetensi bagi auditor forensik lanjutnya, juga didasarkan pada Keputusan Menakertrans Nomor 46/Men/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang auditor forensik. Hadir dalam peresmian tersebut, Sesjampidsus, Direktur Tipikor Bareskrim Polri, PPATK, dan Inspektur Jenderal Kementerian/Lembaga serta pengurus LSPAF. (Hartadi)
Para pengurus LSP-AF berfoto bersama Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo(no. 8 dari kiri) WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011