Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
TERORISME: DIMENSI KULTUR DAN INDIVIDU INDONESIA Oleh : Reza Indragiri Amriel Dosen Psikologi Forensik- Universitas Bina Nusantara Jakarta ABSTRAK Melalui artikel ini, penulis berargumentasi bahwa riset-riset yang ada masih belum memadai untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang tali-temali antara terorisme dengan dimensi kultur. Pada dimensi individu, anggapan tentang adanya kondisi-kondisi psikologis yang khas yang menjadi pembeda antara teroris dan bukan teroris, juga lebih dilandaskan pada penalaran-penalaran awam. Tinjauan secara lebih akademis, yakni membandingkan definisi istilah-istilah yang digunakan masyarakat dengan realita di seputar aksi teror, menunjukkan bahwa ada alasan yang lebih kuat untuk menilai pelaku teror sebagai individu-individu rasional. Rasionalitas itu pula yang memberikan warna baru bagi proses regenerasi teror pada waktu-waktu belakangan ini. Dengan warna yang berbeda tersebut, aparat keamanan pun diduga akan kian kesulitan menangkal bersemainya nilai-nilai teror di tengah masyarakat. Kata kunci: teror, kultur, individu, self-indoctrinization, deradikalisasi. DIMENSI KULTUR Lazimnya, sesuai definisi “psikologi” sendiri, kajian psikologi forensik lebih memfokuskan diri pada telaah dimensi individual yang melatar-belakangi terbentuknya perilaku jahat. Di situ, faktor-faktor psikologis dalam (internal psychological states) merupakan bagian yang paling dominan. Kontras, dimensi kultural, kendati diakui keberadaan dan pengaruhnya terhadap individu/pelaku kejahatan, tidak besar porsinya dalam bahasan-bahasan disiplin ilmu ini. Satu dari sedikit bahasan tentang bagaimana budaya berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku kriminal individu adalah dari Sweeney (2004). Ia berpendapat, unsur-unsur kunci yang dikaji oleh para ilmuwan psikologi lintas budaya yang berhubungan dengan perilaku kriminal adalah kultur individualisme dan kultur kolektivisme. Indidivualisme ditandai oleh cara pandang masyarakat yang mengedepankan kemandirian dan ketangguhan pribadi. Sedangkan kolektivisme bercirikan terfokusnya masyarakat pada nilai tugas dan kepatuhan. Kajian lainnya tentang budaya dan kriminalitas dilakukan oleh Triandis (1995). Ia memilah budaya menjadi dua dimensi, yakni horizontal dan vertikal. Apabila tesis Sweeney dan Triandis dikombinasikan, dapat dirumuskan empat kuadran budaya: horizontal individualime, vertikal individualisme, horizontal kolektivisme, dan vertikal kolektivisme. Masyarakat yang menganut horizontal individualisme, seperti yang juga terdapat pada masyarakat vertikal individualisme, cenderung melakukan aktivitas mereka masing-masing. Perbedaannya, anggota relasi masyarakat vertikal individualisme sangat kental dengan warna persaingan – satu pihak berusaha meraih pencapaian lebih baik daripada pihak lain. Horizontal kolektivisme mengarahkan para anggotanya untuk beraktivitas di sekitar kelompok maupun keluarga dekat mereka. Mereka tidak dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi subordinat dari kelompok tersebut. Berbeda dengan vertikal kolektivisme, 1
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
masyarakat dengan budaya sedemikian rupa bersedia mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka sekaligus mengedepankan kebutuhan dan harapan kelompok. Persoalannya, saya belum menemukan satu riset pun yang mencoba menemukan hubungan bahkan pengaruh keempat variasi budaya di atas dengan perilaku kejahatan. (Barangkali) Ketiadaan teori tentang hal tersebut menjadi sesuatu yang masuk akal, karena—sekali lagi—psikologi forensik lebih memusatkan perhatiannya pada dimensi individual, bukan kultural. Itu yang dapat disimpulkan dari penelitian Sweeney; tipe-tipe kejahatan yang ditelitinya merupakan kejahatan yang dilakukan individu per individu, bukan oleh jaringan atau organisasi semacam aksi teror. Memang, beberapa peristiwa teror di Indonesia dilakukan solo oleh individu (bukan bagian dari kelompok). Namun, dalam jumlah yang jauh lebih besar, kampanye teror di Tanah Air dilakukan sebagai kegiatan terencana oleh kelompok yang mapan. Secara spekulatif, saya cenderung berpendapat bahwa gelombang teror di Indonesia—pelopornya adalah bom Bali I pada tahun 2002—bertali-temali dengan kultur vertikal kolektivisme “yang ada di Indonesia”. Sengaja keterangan tempat tersebut saya bubuhkan tanda petik, karena bisa jadi lebih tepat untuk dinyatakan bahwa vertikal kolektivisme eksis di kelompok teror. Dalam perspektif in-group, kultur vertikal tersebut terlihat pada kepatuhan pada sosok pimpinan (imam?). Secara in group pula, keseragaman/kebersamaan (kolektivisme) menjadi ciri tipikal pada kelompok teror di Indonesia bahkan ‘global’. Sementara dalam perspektif ingroup, budaya yang sama tercermin pada kentalnya tujuan mensupremasikan suatu ideologi atas ideologi lain. DIMENSI INDIVIDU Wacana individu ‘versus’ kelompok seperti tertuang di atas juga relevan untuk membahas motif-motif di balik aksi teror di Indonesia. Motif teror, dalam bingkai kelompok, bisa dikatakan sama, yakni ambisi akan kekuasaan atau status unggul atau power. Kekuasaan itu diterjemahkan ke dalam terminologi-terminologi ideologis keagamaan. Agama menjadi amunisi utama, mulai dari proses perekrutan hingga tahap eksekusi rencana teror. Agama juga menjadi justifikasi atas segala pemikiran dan tindakan. Namun Psikologi Dalam tidak begitu puas apabila sebuah wacana belum mencapai ranah individual. Oleh karena itu, kendati motif kelompok—katakanlah— sudah berhasil dirumuskan, tetap saja ada kegairahan untuk mencari motif individual, yakni motif yang diyakini lebih mendasar dan lebih kuat mendorong setiap individu memutuskan melakukan maupun tidak melakukan kejahatan – dalam hal ini, kejahatan tersebut adalah tindakan teror. Berkaitan dengan motif, Limas Sutanto, seorang psikiater sekaligus akademisi dari Malang, pada tulisannya di harian Kompas (11-10-2005) setelah kejadian bom Bali 2 menyebut para pelaku teror bom sebagai “psikopat”. Tulisan Sutanto tersebut sewarna dengan keingin-tahuan publik yang tertarik mencari sebutan diagnostik tertentu sebagai pembeda antara teroris dan bukan teroris. Apakah teroris adalah pengidap psikopatologi? Dengan asumsi bahwa operasi teror melibatkan perencanaan kompleks, orang-orang yang mengidap psikopatologi tentu tidak bisa diandalkan. Orang-orang semacam itu menjadi terlalu 2
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
sukar untuk diprediksi dan dikendalikan. Melibatkan pengidap psikopatologi dalam aksi teror sangat berpeluang berefek kontraproduktif. Bagaimana dengan psikopati? Masuk akalkah untuk mengkategorikan teroris ke dalam kelompok individu psikopat? Psikopat memiliki gambaran sebagai sosok yang tidak memiliki belas iba, egois, dan resisten terhadap otoritas. Sebaliknya, pelaku teror, apalagi eksekutor bom bunuh diri, justru memiliki sekian banyak ciri yang bertolak belakang dengan psikopat. Teroris adalah orang-orang yang sudi mengorbankan hasrat-hasrat pribadinya. Dia juga menunjukkan penyerahan diri total terhadap otoritas. Spesifik pelaku bom bunuh diri, apakah kondisi psikologis mereka juga sama dengan pelaku bunuh diri pada umumnya? Menurut Depression Health Center (2010), lebih dari sembilan puluh persen individu yang meninggal lewat jalan bunuh diri mempunyai depresi klinis maupun gangguan mental lain. Bagi pelaku yang mengalami depresi klinis tersebut, bunuh diri merupakan pintu penutup atas kesusahan dan keputus-asaan mereka menjalani persoalan hidup. Pelaku bom bunuh diri justru memiliki angan indah sebagai balasan atas pilihan cara yang mereka ambil untuk mengakhiri hidup. Ketika pelaku bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor pendorong (push factor), pelaku bom bunuh diri justru lebih dimotivasi oleh faktor penarik (pull factor). Respon keluarga pun berbeda. Keluarga individu yang bunuh diri pada umumnya merasa malu dan tertekan, berbeda dengan keluarga pelaku bom bunuh diri yang malah tidak jarang merasa bangga atas langkah maut yang diambil anggota keluarga mereka. Pada tataran individual ini, dari sekian banyak teori, ada dua telaah yang paling sering saya angkat dalam bahasan-bahasan bertema terorisme. Pandangan pertama, sangat kentara diwarnai alam berpikir Psikoanalisa, menjelaskan dinamika menjelmanya manusia biasa menjadi pelaku teror dengan memasukkan tiga pihak: individu (pelaku teror), orangtuanya, dan simbol kekuasaan. Pandangan pertama ini berasal dari studi kasus klasik yang dilakukan oleh Post (2004). Ia memilah dua jenis pelaku teror: teror anarkis dan teror separatis. Post melihat pola relasi antara tiga pihak, yakni individu, orangtuanya, dan simbol otoritas (misal: negara), sebagai faktor yang membuat individu tersebut menjelma sebagai pelaku teror. Teroris anarkis adalah individu yang memiliki masalah dengan orangtuanya. Kesulitan untuk memuntahkan emosi kepada orangtuanya, mendorong si individu melakukan displacement, yakni menjadikan simbol-simbol kekuasaan sebagai sasaran pengganti. Simbol kekuasaan dipandang mirip dengan orangtua, yakni selaku pihak yang harus ditaklukkan, dirampas otoritasnya. Teroris separatis, berbeda dengan teroris anarkis, justru mempunyai pertalian batiniah yang dekat dengan orangtuanya. Individu menjadikan dirinya sebagai penerus perjuangan orangtua, yang pada waktu sebelumnya telah takluk dalam perseteruannya melawan penguasa. Kedua tipologi teror (teroris) tersebut, jika disimpulkan ke dalam konteks budaya seperti yang tercantum pada bagian awal tulisan ini, menunjukkan dinamika relasi vertikal antara pelaku teror dan target aksinya (simbol kekuasaan). Pandangan kedua, mengandung sentuhan Behaviorisme, berasumsi bahwa TIRR (target, incentive, risk, dan resource) merupakan elemen-elemen yang selalu dikalkulasi oleh setiap individu yang berencana melakukan aksi kejahatan. Asumsi tersebut bertitik tolak dari keyakinan bahwa pelaku kejahatan adalah individuindividu normal (berakal sehat). Sebagai individu yang rasional, sebelumnya 3
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
menjalankan aksinya, individu pelaku teror memastikan bahwa target benar-benar ada dan dapat dijangkaunya. Individu tersebut juga menilai bobot insentif yang akan diperolehnya lewat operasi teror. Apabila bobotnya signifikan, probabilitas dilakukannya aksi teror akan meningkat. Sebaliknya, andai aksi teror tidak menghasilkan insentif yang berarti, kemungkinan si individu melancarkan teror akan menurun. Selanjutnya, resiko (risk). Setiap aksi kejahatan mengandung resiko. Yang diperhitungkan oleh pelaku kejahatan adalah self-efficacy-nya dalam mengatasi resiko yang bisa muncul. Betapapun resiko ada, namun jika pelaku memiliki selfefficacy yang kuat, kemungkinan terjadinya kejahatan akan meninggi. Terakhir, sumber daya (resources). Untuk melaksanakan misi kejahatan, pelaku melengkapi dirinya dengan sumber daya tertentu. Jika sumber daya yang tersedia mendukung pelaku untuk menuntaskan aksi, ia akan kian terdorong untuk melancarkan aksinya. Dengan titik tolak sedemikian rupa, TIRR semestinya bisa diterapkan pada hampir seluruh aksi kejahatan termasuk teror. Alasannya, didukung antara lain penelitian Fazel dan Grann (2006), dari dua puluh aksi kejahatan yang disertai kekerasan ternyata hanya satu aksi yang dilakukan oleh individu pengidap penyakit mental (mental illness). Faktanya, meskipun gelombang teror dilancarkan oleh orang-orang rasional, tingkah laku teror mereka justru bertolak belakang dengan rumusan TIRR. TIRR, dengan kata lain, tidak dapat diterapkan untuk menjelaskan tindakan individu pelaku teror. Ini pula yang, saya yakini, pada gilirannya mempersulit akademisi dan otoritas keamanan saat harus merumuskan langkah-langkah jitu untuk memutus regenerasi pelaku teror. PERBEDAAN PROFIL Apabila bom buku dibandingkan dengan bom-bom terdahulu, terdapat unsur-unsur yang sangat berbeda satu sama lain. Perbedaan ini memperkuat alasan perlunya dihindari penyebutan kata teror secara gebyah uyah. Bahan bom buku tergolong low explosive, sedangkan bom terdahulu high explosive. Rakitan bom buku pun jauh lebih sederhana. Akibatnya, seperti pada bom buku di Utankayu, bom buku ‘hanya’ menjatuhkan korban dalam skala kecil. Modus bom kali ini adalah menyelipkan bahan peledak ke dalam buku. Dahulu, bom dikemas sebagai aksi bunuh diri. Bom buku menargetkan warga lokal secara individual. Benang merah antartarget juga tidak terbangun secara kokoh. Anggaplah Ulil Abshar Abdalla dan Gories Mere dapat dikelompokkan ke dalam satu kubu, yaitu sebagai pihak yang kontra pemain lama, namun benang merah itu tidak berlanjut ke sosok Yapto S. Soeryosumarno, Ahmad Dhani, dan Taufik Kurniawan. Kontras, bom bunuh diri menyasar massa, khususnya bule dari negara seperti Amerika, Inggris, dan Australia. Yang dari sisi profil psikologis paling unik adalah disclosure. Pada teror-teror bom masa lalu, tidak ada satu pun petunjuk tentang pelaku yang disampaikan ke publik sebelum dan saat pengeboman berlangsung. Identitas pelaku dan jejaringnya baru terungkap sebagai hasil penelusuran Polri setelah bom meledak. Kini, disclosure ditempelkan dengan bom itu sendiri, yakni berupa surat pengantar dengan pengirim bernama stereotip serta judul buku yang provokatif dan mudah dikait-kaitkan ke kalangan tertentu. Jadi, disclosure merupakan desain agar 4
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
persepsi masyarakat serta-merta terarah sesuai keinginan pihak penebar bom buku. Desain itu, jika ditelan bulat-bulat oleh publik, berpotensi—seperti dikemukakan di atas—menyimpangkan masyarakat dari pelaku yang sebenarnya. Seiring dengan itu, pemain lama pun memperoleh media promosi gratis bagi eksistensi mereka. RADIKALISASI DIRI SENDIRI Beecroft (2006) menegaskan, kampanye anti-terorisme harus tetap ditegakkan di atas empati, saling hormat, pengertian, keterdekatan, dan dukungan antara segenap komponen masyarakat dan Pemerintah. Konsep1 deradikalisasi yang berulang kali dikumandangkan Polri dan banyak pihak lain tampaknya mengandung nilai-nilai yang sama dengan pandangan Beecroft. Tetapi, saya memandang, konsep deradikalisasi akan kian menemui kendala pada tataran aplikasi. Pasalnya, pewarisan dan penyemaian ideologi teror kini telah berlangsung melalui saluran-saluran non-konvensional. Bukan lagi melalui forum-forum tatap muka secara langsung antara guru dan murid, tetapi melalui selfindoctrinization dengan memanfaatkan informasi dari laman-laman daring. Dengan mengindoktrinisasi diri sendiri, individu pada gilirannya mengalami radikalisasi juga dengan sendirinya. Bergeser dari ihwal pencegahan regenerasi teror, perlu dilihat respon masyarakat—tidak terkecuali aparat keamanan—setiap kali ada bom. Dalam situasi sedemikian rupa, hampir semua pihak otomatis menyebutnya aksi teror. Selanjutnya, langsung dikait-kaitkan dengan pemain lama. Pola kebiasaan ini justru mempersempit ruang penalaran publik untuk menerima kemungkinan bahwa rangkaian bom buku kali ini dilancarkan pemain baru. Sebagai perbandingan, negara semacam Amerika Serikat, meski juga berulang kali menerima ancaman bom, tidak serta-merta mengkategorikan ancaman-ancaman itu sebagai teror. Saat sebuah bom ditemukan di salah satu sentra niaga beberapa waktu lalu, misalnya, ada kesungguhan untuk tidak menggandengkan peristiwa tersebut ke teror. Atas dasar itu, para penegak hukum dan pembuat opini di Indonesia pun perlu lebih cermat sebelum membingkai kejadian bom buku dengan embel-embel teror. Alih-alih teror, saya mengusulkan penggunaan istilah assassination maupun vandalisme. Assassination—saya pun tidak mengindonesiakan kata ini guna mencegah dampak psikologis yang dimunculkannya—tepat dipakai apabila diyakini bahwa bom buku dibuat sebagai alat pencabut nyawa manusia. Vandalisme digunakan ketika bom ditujukan lebih sebagai alat perusak kantor, rumah, maupun sarana-sarana fisik. Pemakaian sebutan assasination dan vandalisme ditujukan agar kepanikan yang muncul setiap kali ada bom dapat ditoleransi secara lebih wajar oleh akal dan hati masyarakat.
1
Diskusi dengan Kombes. (Pol). Petrus Golose meyakinkan penulis bahwa deradikalisasi baru sebatas konsep.
5
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
DAFTAR PUSTAKA Beecroft, N. (2006). Winning the war on terror: psychology as a strategic framework. Med Confl Surviv, 22(1), 38-46. Depression Health Center (2010). Suicide and Depression: Risk Factors and Warning Signs of Suicide. http://www.webmd.com/depression/guide/depression-recognizing-signsof-suicide Fazel, S. & Grann, M. (2006). The Population Impact of Severe Mental Illness on Violent Crime. American Journal of Psychiatry, 163, 1397-1403. Post, J.M. (2008). The Mind of the Terrorist. Palgrave Macmillan. Sutanto, L. (2005, 11 Oktober). Psikopat Teror Bom. Kompas. Sweeney, J. (2004). The impact of individualism and collectivism on shiplifting attitudes and behaviour. The UCI Undergraduate Research Journal, 6168. http://www.urop.uci.edu/journal/journal99/08_joanne/Joanne%20Sween ey.pdf Triandis, H.C. (1995). Individualism and Collectivism. Boulder, CO: Westview Press.
6