Ternyata itu Korupsi Oleh: Aninditha Djuarsa
Jam tanganku berbunyi pelan “beep beep”, terdengar jelas di dalam sepi membuat aku jadi melihat layar jam supaya tahu apa yang terjadi, pukul 16.00 WIB rupanya. Rumahku sore ini sepi dikarenakan ayah belum pulang kantor, ibu sedang pergi dengan tanteku, dan kakak mendadak menambah hari camping‐nya sehingga besok baru sampai ke rumah. Sudah duduk di ruang tamu sekitar 10 menit setelah melepas sepatu kets abu‐ abu kesayanganku dan tersadar akibat bunyi jam tangan tadi, aku bergegas ke ruang kerja ayah di lantai dua rumah. Meskipun masing‐masing dari aku dan kakak punya laptop sendiri, aku lebih menikmati melakukan aktivitas dengan komputer di ruang kerja ayah. Selain karena komputer yang canggih, jendela di samping meja kerja juga merupakan kesempatan melihat dunia luar yang menyumbang banyak inspirasi. Seperti saat ini, aku baru saja menekan tombol ON pada layar komputer ketika aku melihat keluar dan seorang bocah lelaki menggunakan celana pendek merah dan kaos hitam yang sudah pudar sedang berjongkok sambil mengaduk‐aduk tempat sampah, mencari sesuatu. Usianya sekitar tujuh sampai sembilan tahun, ku kira. Aku spontan berlari keluar ruang kerja ayah, menuruni tangga, mengambil roti coklat kesukaanku di atas meja makan, dan sampai di gerbang rumah tepat saat anak kecil itu baru berdiri setelah ia mencari‐cari sesuatu di tempat sampah. “Dek,” aku coba memanggilnya, sambil mendekati dia. Dia menoleh, pada wajahnya ada keheranan. Aku terus berjalan sampai berhadapan dengannya. “Boleh aku ngobrol sama kamu?”, dia diam, kebingungan. Aku memberikan roti di tanganku, dia mengambilnya sambil tersenyum lalu kami berjalan masuk ke gerbang rumahku dan duduk di kursi depan rumah. “Makasih teh,” malu‐malu melihatku sambil dia membuka bungkus rotinya, “Teh” adalah salahsatu sapaan untuk perempuan yang lebih tua dalam bahasa sunda, lengkapnya adalah Teteh. Diucapkannya padaku mungkin karena kita ada di Bandung sehingga lumrah untuk menyapa demikian. “Iya sama‐sama,” aku tersenyum, berusaha nampak seakrab mungkin dengannya. “Aku sering lihat kamu, kalau malam di depan tukang sate yang ada di seberang komplek rumah ini.” Aku membuka obrolan, mudah‐mudah cukup untuk memancingnya bicara lebih banyak. “Bapak di sana kalau malam, abi sok ngiring.” Dia bermaksud mengatakan bahwa ayahnya ada di tempat yang ku sebut barusan, dia suka ikut dengan ayahnya. “Kata bapak, namanya juru parkir kalau malam.” Lanjutnya bercerita sambil terus mengunyah. Aku lupa memintanya untuk cuci tangan sebelum makan. Meskipun roti dibungkus plastik, alangkah lebih baik cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan.
“Oh, malam bantu orang parkir ya. Kalau sebelum malam memangnya bapak ke mana?” aku bingung kenapa diriku jadi seperti wawancara, rasanya ada sesuatu yang harus aku ketahui lebih banyak. Mungkin karena aku mengenal juru parkir yang ternyata adalah bapak dari bocah ini. Aku hanya saja tidak pernah berbincang banyak dengan beliau. “Cari gelas plastik kaya aku, tapi gak bareng‐bareng supaya dapat banyak. Aku cuma sebentar pas sore, siang kan sekolah.” Dia bersemangat sekali makan roti dan bercerita begitu percaya diri seolah‐olah aku adalah teman perempuan yang dikenalnya sejak lama, bukan lima menit lalu. Aku terus bertanya dan dia terus bercerita, sore itu aku jadi tahu bahwa dia bernama Ahmad, anak ke dua dari tiga bersaudara. Bapak yang disebutnya juru parkir adalah pak Heri yang sering membantuku parkir kalau beli sate di seberang komplek, sebelum tukang sate buka beliau berkeliling mencari sampah plastik. Sehari‐hari Ahmad dan Putri, kakak perempuannya, pergi sekolah di SD Sukasari dekat komplek rumahku. Sore hari Ahmad berkeliling mencari sampah plastik, sedangkan Putri membantu ibu menjaga adik bungsu di rumah karena ibu harus menjadi pencuci pakaian di rumah tetangga meskipun harinya tak tentu. Aku jadi tahu, roti di sore hari langka baginya. Membantu bapak adalah kebahagiaan karena dengan membantu bapak, dia tahu dia jagoan. Seperti bapak bilang, “Anakku baik sekali mau membantu bapak, jagoan bapak sudah rajin sekolah rajin juga membantu orang tua.”. Dia adalah Ahmad, bocah delapan tahun yang bekerja keras membantu bapaknya dan aku adalah Yasmine, mahasiswi tingkat dua yang berangkat kuliah saja kadang urung jika sedang hujan, aku jadi malu. *** Aku kembali ke ruang kerja ayah setelah Ahmad selesai makan roti lalu melanjutkan perjalanannya, bukan untuk duduk berlama‐lama di depan komputer tapi untuk segera mematikannya dan bergegas ke ruang televisi. Jangan tanya kenapa, aku hanya merasa perlu melakukannya. Aku menyalakan televisi dan duduk di sofa sekitar 30 menit sampai Papa datang membawa pizza kesukaanku. Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi, aku tidak memesan apapun bahkan papa tidak tahu kalau aku sudah ada di rumah sore ini. Mungkin karena memberikan roti kesukaanku pada yang lebih membutuhkan dan tangan Tuhan bekerja sangat cepat untuk membalasnya. Terlalu cepat sampai aku baru saja menyadarinya. 19.23 WIB kami selesai melaksanakan ibadah sholat Isya berjamaah, aku dan papa menonton televisi lagi sambil melanjutkan makan kami sedangkan mama sibuk menjahit kebaya untuk wisuda kakak minggu depan. “Itu kan gubernur yang dari zaman papa masih PNS ya, Pah?!” aku mengingat nama dan wajah itu saat di televisi ada berita penangkapan koruptor. Papa serius melihat berita, aku malah jadi memerhatikan wajah papa.
Ingat beberapa tahun lalu, sebelum kami kembali ke Bandung papa adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Dinas Pertambangan dan Energi di salahsatu provinsi di Indonesia, suatu malam telepon papa berdering dan beliau menjawab telepon dengan tenang. Malam itu adalah waktu pengambilan keputusan cepat dan sederhana yang jika saja jawabannya berubah sedikit mungkin akan berdampak sangat besar. Saat itu aku tidak tahu siapa yang menelepon dan beberapa hari setelah itu semua berjalan sama dan lancar saja, belakangan aku tahu dari cerita papa ternyata seorang anak buah dari gubernur yang sedang menjabat saat itu menelepon papa dan bertanya apakah beliau mau menjadi dan kepala dinas. Tentu saja papa jawab mau, lalu papa ditanya “Bapak punya uang berapa?”, papa memperagakan si penelefon, “Tidak punya uang.” Jawab papa dan teleponpun di putus oleh si penelefon. Papa tertawa mengakhiri ceritanya tentang telepon itu, meskipun sebenarnya ia punya uang tapi bukan untuk menyogok. Aku ingat dia terlihat tidak menyesal samasekali dengan jawabannya waktu itu dan aku bersyukur atas keputusannya. Karena hari ini aku tahu, yang mengambil keputusan berbeda dengan papaku, tidak sedang bersama keluarga mereka seperti papa. Namun bersama si gubernur dibalik jeruji. “Itu bukan keputusan yang baik, memancing uang dengan uang.” Papa tersenyum padaku, itu adalah senyuman yang mengajakku bersyukur, bahwa keputusan sederhana asalkan baik akan membawa dampak yang luar biasa dan baik pula. *** Keesokkannya aku mengingatkan mama untuk tidak memasak makan malam, aku bilang mau beli satu ke seberang komplek. Aku punya niat bertemu dengan pak Heri sehingga agar terlihat tidak dibuat‐buat, aku harus membeli sate dan parkir dibantu pak Heri. Sambil menyelam minum air, aku bertemu dua orang yang aku kenal di tukang sate. Pak Heri, tentu saja, juga dokter gigi orthodontist yang merawat aku dan memasangkan kawat gigi supaya gigiku rapi yaitu drg. Jodi. Drg. Jodi sering bicara politik, setiap kali datang ke tempat praktiknya aku mengetahui fakta baru tentang politik. Sesekali kami bicara budaya, tempat‐tempat di Bandung, dan hal lain juga. Kebetulan sekali bertemu drg. Jodi, jadi ingat aku seharusnya kemarin periksa gigiku ke tempat praktiknya. Kami berbarengan datang, aku baru saja parkir dan beliau berjalan kaki. Beliau turun dari trotoar ke jalan karena aku parkir di sisi jalan raya. “Yasmine, kemarin gak datang ya.”, drg. Jodi menyapa aku lalu kami bersalaman. “Hehehe, iya dokter aku lupa. Malah ketemu di tukang sate. Jalan kaki dok?” Aku turun dari motor sambil menjawabnya, membiarkan pak Heri membenarkan posisi motorku. “Pakai motor, tapi saya parkir di mini market sana, sengaja beli minum di sana juga.” Jawab drg. Jodi.
Aku yang memang berniat bertemu pak Heri sengaja tidak langsung memesan sate, sedangkan drg. Jodi memesan sate sebentar lalu menghampiriku, aku yakin beliau akan berbincang sesuatu. “Pak Heri, ini dokter gigi saya.” Kataku pada pak Heri. Pak Heri hanya tersenyum dan mengangguk. “Saya kemarin ketemu Ahmad, baik sekali dia mau bantu keliling cari plastik setelah pulang sekolah. Dia bilang jalannya terpisah dengan bapak, jadi saya tidak bertemu bapak.” Tersenyum lagi pak Heri, lalu duduk di salah satu motor di sampingku. “Yasmine, ini menarik untuk dibahas mengingat Indonesia sedang memperingati 2 tahun kepemimpinan presiden periode ini. Sayang sekali banyak anak masih harus ikut bekerja, semoga lapangan pekerjaan yang layak untuk orang dewasa bertambah banyak.” Drg. Jodi angkat bicara. “Iya pak, Indonesia yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Orang‐ orang berdasi di pemerintahan korupsi, kita makan aja susah.” Jawab pak Heri dengan polos. Aku datang ke sini untuk bertemu pak Heri, mau menawarkan buku‐buku yang kumiliki sejak SD agar bisa dibaca oleh Ahmad dan Putri. Perbincangan yang terjadi nyatanya lebih dari ini, bahkan sebelum aku menawarkan bukuku. “Pak, korupsi itu tidak selalu tentang hal‐hal besar. Sekarang kita lihat yang dekat, Yasmine, kamu ke sini pakai helm?”. Kata drg. Jodi sambil melihat ke pak Heri dan aku bergantian. Aku tersenyum malu dan menggeleng. “Peraturan yang dibuat untuk keselamatan warga, dilanggar oleh warga itu sendiri ya? Kita sudah terlalu sering tidak peduli dan menyepelekan peraturan. Ini adalah korupsi dalam sistem yang berbeda saja. Sekarang, apakah lahan parkir ini milik bapak?” “Nggak pak, ini jalan pemerintah. Memangnya kenapa?”, pak Heri kebingungan, aku juga. “Apakah bapak membayar kepada pemerintah untuk yang parkir di sini?”. Pak Heri menggeleng mendengar pertanyaan drg. Jodi. “Bapak sedang korupsi, pak. Jalanan ini bukan hak bapak untuk menjadikannya lahan parkir.” Drg. Jodi, pak Heri, dan aku terus berbincang. Obrolan ini sedikit panjang sampai papa meneleponku untuk segera pulang dan membawa sate, aku yang keasyikan mengobrol segera bergegas membeli sate lalu pulang. Pekan ini aku menyadari banyak hal di sekitarku tidak sesederhana yang aku kira. Banyak hal yang tidak aku sadari bahwa ternyata itu adalah masalah, tapi semua masalah punya solusi. Jumlah solusi lebih banyak dari jumlah masalah, seperti air di lautan yang selalu memiliki ruang untuk ikan‐ikan yang berkembang biak. ***
Seminggu dari hari itu, kakakku wisuda dan pulang dengan bergelar S.T., selain purubahan itu, ada beberapa hal lain, diantaranya adalah aku tidak lagi bepergian tanpa menggunakan helm dan aku pergi membeli sate di seberang komplek dengan berjalan kaki agar tidak parkir di pinggir jalan. Sepulang acara wisuda kakak, mobil kami melintasi taman kota di dekat komplek. Aku melihat seorang bapak sedang menyapu taman menggunakan seragam pegawai kebersihan Kota Bandung, beliau adalah pak Heri dan ada bocah lelaki duduk di bangku taman sambil membaca buku, dia adalah Ahmad. Ahmad yang rajin juga selalu semangat membantu orang tua dan aku adalah Yasmine, mahasiswi tingkat dua yang tidak lagi bolos kuliah kecuali karena hal penting dan tidak parkir sembarangan lagi. *Selesai*