1 Alhamdulillah... Ternyata Aku Lulus UN Oleh: Ghofar El Ghifary
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Dan jam pun berganti hari. Tinggal menunggu waktu tiga hari lagi aku akan meraih hasil dari jerih payahku selama tiga tahun belajar di SMP Al Qalam. SMP yang ada di tempat perantauanku, di Kota Jakarta. Kala itu, waktu tiga tahun adalah waktu belajar yang cukup lama, tetapi di dalam anggapan masyarakat umum keberhasilannya hanya ditentukan oleh tiga hari itu dan hanya tiga mata pelajaran pula: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.
1
Pada hari Senin nanti surat pengumuman kelulusan Ujian Nasional akan aku terima dari Kepala Sekolah. Hari Senin adalah hari di mana hatiku berharap-harap cemas. Benar hatiku berharap-harap, karena aku mengharapkan bisa lulus ujian dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, tingkat SMA. Tetapi ada benarnya juga hatiku saat ini dilanda perasaan cemas, cemas karena takut tidak lulus ujian. Dan harus bagaimanakah kelanjutan nasibku dalam menuntut ilmu di pendidikan formal ini? Pernah terbersit di pikiranku jikalau aku tidak lulus aku akan berjuang di Palestina untuk membantu perjuangan Islam melawan Zionis bersama saudara-saudaraku seiman di sana. Aku merasa jikalau tidak lulus cita-citaku untuk membahagiakan kedua orang tuaku di kampung akan pupus bak ikan yang digoreng di penggorengan hingga hangus, takkan mampu untuk kembali menjadi segar sesegar sediakala. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur, begitulah. Dalam penantianku ini aku selalu berpikir dan berpikir serta berusaha menghibur diri. Mana mungkin aku tidak lulus Ujian Nasional, beberapa hari sebelum dilaksanakan ujian aku selalu belajar dan belajar. Tak ada waktu yang kubiarkan berlalu tanpa belajar. Bahkan sambil makan pun aku selalu membawa buku dan membacanya. Aku akan pulang ke kampung di tahun ini dengan membawa ijazah, Bapak dan Ibu akan bangga dengan anaknya yang satu ini. Dan mereka akan membiarkanku untuk tetap melanjutkan sekolah di kota perantauan. Aku pasti lulus, gumamku dalam hati dengan sumringah. ***
2
Hari ini hari Senin. Aku berjalan pelan dari asrama menuju ke sekolah. Jarak antara asrama dengan sekolah tidak terlalu jauh, tak sampai 1 km. Sesampai di sekolah, kusapa teman-temanku dengan salam dan kami pun berucap saling mendoakan, ‘mudah-mudahan lulus’. Hingga kami memasuki ruangan kelas, kami tetap saling mendoakan. Lalu Pak Mahidin, selaku kepala sekolah kami, memasuki kelas. Membuka pembicaraannya dengan salam dan melanjutkannya dengan beberapa bait kalimat. Ia menyampaikan pesan tentang syukur dan sabar. “Apabila lulus, kalian harus bersyukur. Tetapi apabila tidak lulus, kalian harus bersabar. Ketidaklulusan dalam ujian ini bukanlah kegagalan kalian dalam menuntut ilmu. Ingat, kegagalan adalah awal dari keberhasilan,” kilah sang kepala sekolah berdarah Sasak itu dengan mimik serius. Kira-kira begitulah pidato singkatnya yang kudengar. Surat pengumuman ujian telah kuterima, tetapi belum aku buka. Begitu juga teman-temanku yang lain. Ternyata kami lebih memilih untuk membukanya di asrama saja. Dengan wajah penuh kekhawatiran, kami menuju asrama. Setelah sampai di asrama, teman-temanku membuka surat itu di kamarnya. Sedangkan aku lebih memilih untuk membuka surat itu di musala. Perasaanku semakin khawatir dan semakin tidak enak. Dengan bibir bergetar sembari mengucap basmallah, kubuka surat itu dengan perlahan. Setelah kubuka, kutemukan namaku, Qomar. Lalu kulihat ke bawah lagi, Astaghfirullahal’adzim. Tulisan lulusnya tercoret. Dan tampaklah tulisan “tidak lulus”. Ya Allah, aku tidak lulus. Aku tercengang dalam diam. Kudapati nilai Matematika 3
yang membuatku tidak lulus: 3,8. Aku masih terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Bibirku terasa kelu. Kepalaku sakit. Ubun-ubunku terasa kaku bagai ditancap paku. Perasaanku begitu miris karena teriris. Tanpa kusadari air mataku pun meleleh dan menetes. Tanda tangan Kepala Sekolah dengan tinta hitam tebal yang tertera di surat juga meleleh karena tetesan air mataku. Lalu kuremas-remas selembar kertas yang ada di tanganku itu. Begitu muak kumelihatnya. Begitu jijik kumemegangnya. Dan kulemparkan kertas yang sudah tak berbentuk itu ke luar jendela musala. Ya Allah, mengapa Engkau membuatku seperti ini? Hatiku berat untuk menerima kenyataan ini. Engkau telah mengingkari janji-Mu sendiri. Engkau berfirman dalam kitab-Mu… Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Apakah ini janji yang layak Engkau berikan kepadaku? Apakah Engkau tidak menghargai usahaku dalam belajar setiap waktu? Tak kupikirkan aku punya pakaian kotor yang belum kucuci. Tak kupedulikan perutku yang lapar. Apakah ini yang harus kuterima, Ya Allah? pekikku dalam hati. Ingin rasanya kumenjerit, tetapi apalah dayaku saat ini. Dalam kesedihanku itu, tiba-tiba salah seorang temanku datang menghampiriku dan menanyakan keterangan surat tadi. Aku menjawab dengan jujur apa adanya. Seketika ia langsung memelukku sembari menenangkan hatiku. Ia mengajakku untuk mendirikan salat Dhuha. Lalu dengan bijak kutanggapi ajakannya itu. Aku beranjak dari tempat dudukku. Sejurus kemudian, ia menuntunku untuk mengambil air wudu. Setelah itu
4
kami mendirikan salat Dhuha secara masing-masing, tidak berjamaah. Aku memulai salatku dengan takbiratul’ihram hingga mengakhirinya dengan salam. Lalu kupanjatkan doa kepada-Nya. Mengadukan derita jiwa ke hadirat-Nya. Dalam doaku itu, aku menangis sejadi-jadinya. Dengan napas tersengal-sengal bahkan terengah-engah bibirku mengucap beberapa untaian kalimat doa. Hatiku sedih meratapi permohonan dengan penuh pengharapan. Setelah berdoa, aku menuju tempat di mana tumpukkan Alquran berada. Kuraih salah satu di antaranya dan membacanya di sudut kanan depan musala. Dan kebetulan aku membaca Alquran surat Ar Ra’du. Lalu aku men-tadaburi kandungan surat itu dengan penuh penghayatan. Aku membacanya dengan tartil dan begitu lepas tanpa beban. Sekiranya sesuai dengan hukum bacaan dalam ilmu tajwid. Begitu nikmat kurasakan. Begitu indah kubayangkan. Perasaanku berselancar dalam ketenangan dan ketenteraman. Sungguh kumembacanya secara syir dengan penuh keikhlasan. Lalu sampailah bacaanku pada ayat kesebelas. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya”. Dalam ayat itu seketika aku teringat dengan penyesalanku tadi, ketika membuka surat pengumuman ujian. Aku begitu menuntut janji-janji-Nya. Aku begitu menuntut keadilan-Nya. Aku sungguh malu dengan-Nya karena itu semua. Dengan bacaan yang benar-benar tartil dan penuh penghayatan aku dapat menangkap apa makna dari ayat tersebut. Ayat itu menerangkan bahwa Allah akan 5