yang membawa keranjang di atas kepalanya itu keluar. Ternyata perempuan itu berbelanja cukup banyak. Agaknya keluarganya akan mengadakan perhelatan. Karena itu, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ di luar pasar itu sudah menunggu sebuah pedati yang di dalamnya sudah terisi beberapa bakul yang berisi bermacammacam bahan makan. Ada beras, telur, gula kelapa dan beberapa ekor ayam. Paksi berdiri agak jauh dari pedati itu. Ia melihat anak itu meletakkan keranjangnya di bibir belakang pedati yang berhenti di pinggir jalan. Nampak di wajah anak itu betapa beratnya beban yang diusung di atas kepalanya itu, sehingga mulutnya menyeringai. Di luar sadarnya, bibir Paksi ikut bergerak-gerak. Rasarasanya ia ingin meloncat membantu anak itu. Tetapi ia masih menahan diri agar tidak menimbulkan persoalan karena terjadi salah paham. Ternyata perempuan yang berbelanja itu tidak sendiri. Seorang perempuan lain kemudian datang pula bersama perempuan yang menggendong bakul yang juga sudah penuh, yang kemudian diletakkan ke dalam pedati itu pula. Paksi tersenyum ketika ia melihat perempuan yang menggendong bakul yang penuh itu serta anak yang mengusung keranjang di kepalanya, menerima upahnya. Anak itu nampak gembira, sementara perempuan itupun tersenyum pula. Mereka telah menerima hasil jerih payah mereka. Baru kemudian Paksi mengetahui, bahwa anak yang mengusung keranjang itu adalah anak laki-laki perempuan yang menggendong beban di punggungnya. Ketika keduanya lewat di depan Paksi, Paksi mendengar sekilas mereka
bercakap-cakap. Perempuan yang menggendong beban itu kemudian telah mengusap kepala anak itu sambil berkata, "Jika kau lapar, makanlah. Kau dapat membeli nasi tumpang di sudut pasar itu, Le." "Simbok makan apa tidak?" bertanya anak itu. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Aku nanti gampang, Le." "Aku akan membeli nasi sekeping saja, Mbok. Ini yang dua keping."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bawa saja, Ngger. Jika simbok yang membawa, nanti diminta ayahmu." Anak itu memandang ibunya dengan tatapan mata yang suram. Kecerahan wajahnya telah larut dalam keragu-raguan. Tetapi ibunya masih tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Sekarang kau beli nasi tumpang. Jangan hanya sekeping. Belilah dua keping biar perutmu kenyang. Belum tentu siang nanti kau dapat makan lagi. Jika kau kenyang, maka kau dapat bekerja lebih baik seandainya masih ada orang yang minta kau membawa barang-barangnya." Anak itu mengangguk-angguk. Ketika ibunya kemudian melangkah kembali ke pintu gerbang pasar, maka anak itupun menghambur berlari. Di luar sadar pula Paksipun melangkah ke arah anak itu berlari. Ternyata kemudian anak itu berjongkok di depan penjual nasi tumpang yang berjualan sebelah luar pasar itu. Paksipun telah ikut berjongkok pula. Ketika anak itu membeli nasi tumpang, maka Paksipun membeli pula. Anak itupun kemudian menyuapi mulutnya yang kecil itu. Nasi tumpang itu terasa nikmat sekali, sehingga di mulut Paksipun nasi itupun rasa-rasanya menjadi jauh lebih enak daripada nasi tumpang yang pernah dimakannya sebelumnya.
Anak itu nampak kecewa ketika nasi tumpangnya itu habis. Ia masih memegang pincuk tempat nasi itu. Nampak di wajahnya keragu-raguan untuk membuang pincuk nasi itu. Nampaknya anak itu ingin membeli nasi lagi. Tetapi ia mempertimbangkan sisa uangnya yang mungkin dapat dipergunakan untuk keperluan yang lain. Selagi anak itu termangu-mangu, maka Paksipun bertanya, "Kau masih lapar?" Anak itu memandang Paksi dengan kerut di keningnya. "Jika kau masih lapar, mintalah sepincuk lagi." Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun dengan jujur ia berkata, "Aku akan memberikan sisa uangku kepada Simbok." Paksi tersenyum. Katanya, "Biarlah aku yang membayarnya. Semuanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Anak itu nampak ragu-ragu. Namun Paksipun kemudian mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya. Sambil menunjukkan uang itu ia berkata, "Benar. Aku akan membayar semuanya. Dua atau tiga pincuk nasi tumpang." Anak itu masih ragu-ragu. Namun Paksi telah mengambil pincuk dari tangan anak itu dan memberikannya kepada penjual nasi itu, "Berilah satu lagi. Aku yang akan membayar berapapun yang akan dihabiskannya." Penjual nasi tumpang itupun menjadi ragu-ragu pula. Namun Paksipun segera memberikan lima keping uang. Katanya, "Terimalah. Nanti kita perhitungkan, berapa yang harus aku bayar. Kurang atau lebih." Penjual nasi itu menerima uang itu dengan wajah yang masih saja nampak ragu. Namun kemudian disimpannya uang itu di bawah lambaran daun di atas tampahnya. Kemudian iapun mengisi pincuk anak itu dengan nasi tumpang lagi.
Anak itu menjadi keheranan. Ia belum pernah bertemu dengan orang yang tiba-tiba saja membayar nasi yang dibelinya. Namun sambil tersenyum Paksi berkata, "Terimalah nasi itu. Makanlah. Jangan ragu-ragu." Anak itu menerima pincuk yang telah diisi dengan nasi tumpang. Kemudian sambil sekali-sekali memandang Paksi, ia mulai menyuapi mulutnya lagi. Ketika Paksi menawarinya lagi setelah nasi yang sepincuk itu habis, anak itu menggeleng. Katanya, "Aku sudah kenyang." Paksi tersenyum. Katanya, "Uang itu masih tersisa. Kau baru makan dua pincuk, aku satu. Jika harganya masingmasing sekeping, maka masih tersisa uang dua keping." Tetapi anak itu menggeleng lagi sambil berkata, "Aku sudah kenyang." "Nah, jika demikian, ambil kembalinya. Dua keping." Anak itu menjadi semakin heran. Bahkan penjual nasi itupun menjadi heran pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tetapi akhirnya anak itu mau menerima dua keping yang diberikan dengan ragu oleh penjual nasi tumpang itu. Beberapa saat kemudian, Paksi duduk di bawah sebatang pohon waru dengan anak yang masih saja membawa keranjangnya. "Siapa namamu?" bertanya Paksi. "Kinong," jawab anak itu. Paksi tersenyum. Katanya, "Tentu karena dahimu yang sedikit menonjol itu." Anak itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum iapun mengangguk. "Apakah setiap hari kau berada di pasar ini?" "Ya, Kakang," jawab Kinong.
"Namaku Paksi," berkata Paksi kemudian. Anak itu mengerutkan dahinya. Tetapi anak itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya, Kakang Paksi." "Aku sering pergi ke pasar ini. Tetapi baru sekali ini aku melihat kau dengan keranjangmu." "Sudah beberapa bulan aku membantu simbok," jawab Kinong. "Dimana ayahmu?" bertanya Paksi. Anak itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian wajahnya menunduk sambil berdesis, "Ayah tidak mau mencari uang." "Ayah bekerja di sawah?" bertanya Paksi pula. "Ayah sudah tidak mempunyai sawah lagi." "Kenapa?" "Sawah ayah sudah digadai orang. Ayah kalah berjudi. Sekarang ayah hanya di rumah saja jika tidak sedang berjudi. Simboklah yang harus mencari makan di pasar ini." "Dan kau selama ini berusaha membantu ibumu?" Kinong mengangguk. "Berapa orang jumlah saudaramu?" "Seorang. Aku mempunyai kakak perempuan yang harus tinggal di rumah untuk menanak nasi jika kebetulan simbok mempunyai beras."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi menarik nafas dalam-dalam. Keluarga Kinong memerlukan pertolongan. Tetapi Paksi tidak tahu, bagaimana caranya. Tentu ia tidak dapat ke rumah Kinong, kemudian memberi uang kepada keluarga itu. Jika demikian, maka uang itu tentu akan diambil oleh ayah Kinong dan dipergunakannya untuk berjudi. Paksipun tidak sebaiknya memberi uang Kinong setiap pagi. Dengan demikian, maka jika saatnya nanti ia harus
meninggalkan tempat itu, maka Kinong akan menjadi sangat kecewa. Selain itu, pemberiannya itu akan dapat membuat Kinong menjadi malas. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Paksi melihat ibu Kinong itu mengikuti seorang yang sedang berbelanja dengan menggendong sebuah bakul yang penuh dengan berbagai macam barang. Nampaknya ibu Kinong sudah diupah lagi untuk membawa barang-barang dari seorang perempuan yang sudah agak tua yang sedang berbelanja. "Kakang, aku akan membantu simbok," berkata Kinong sambil bangkit berdiri. Anak itu tidak menunggu jawab. Iapun segera berlari-lari mendapatkan ibunya untuk membantu sebagian dari bebannya di dalam keranjang kecilnya. Perempuan tua yang sedang berbelanja itu berpaling. Tetapi nampaknya ia tidak berkeberatan, seorang anak lakilaki membantu membawa barang-barang itu. Bahkan nampaknya perempuan itu sudah saling mengenal dengan ibu Kinong. Ketika mereka berhenti sejenak untuk memindahkan beberapa jenis bawaan ibunya ke dalam keranjang Kinong, Paksi melangkah mendekati. Dari pembicaraan mereka Paksi mengetahui bahwa ibu Kinong itu justru sudah menjadi langganan perempuan tua itu. Setiap kali perempuan tua itu berbelanja, ia tentu mencari ibu Kinong untuk membantu membawa barang-barangnya. Bukan hanya sampai di luar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pasar, tetapi sampai ke rumahnya yang berantara dua bulak yang tidak terlalu panjang dari pasar itu. Paksi memperhatikan ketiga orang yang berjalan menjauhi
pasar itu. Kinong justru berjalan di depan sambil membawa keranjang kecil itu di atas kepalanya. Ketika ketiga orang itu menjauh, maka Paksipun kembali duduk di bawah pohon waru yang rindang itu. Namun tidak ada lagi yang menarik perhatian Paksi. Orang yang lalu-lalang di depan pasar itu adalah hal yang setiap hari terjadi. Anakanak yang ikut berbelanja dengan orang tuanya merengek minta dibelikan mainan yang dijual di sebelah pintu gerbang. Seorang gadis kecil menjadi gembira, ketika ibunya membeli sebuah golek kayu, bahkan dengan selendang kecilnya sekaligus. Golek kecil itupun kemudian diembannya dengan sayang. Diusapnya dahinya dengan jari-jarinya yang kecil sambil berdendang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ikut bergembira bersama gadis kecil yang menggendong anakanakannya yang terbuat dari kayu itu. Paksi terkejut ketika seorang anak muda tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Sambil berdesah ia berkata, "Udaranya panas sekali, Ki Sanak." "Ya," jawab Paksi. "Tetapi di bawah pohon ini terasa amat sejuk, sehingga aku menjadi mengantuk karenanya." Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Ya. Beberapa saat aku duduk disini, aku tentu akan mengantuk pula." Paksi yang kemudian beringsut sempat memandang anak muda itu sejenak. Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang menarik pada anak muda itu. Seperti anak-anak muda yang lain, maka wajahnya nampak terang. Dengan ramah anak muda itu bertanya, "Kau sering datang ke pasar ini, Ki Sanak?" "Hanya sekali-sekali," jawab Paksi. "O," anak muda itu mengangguk-angguk. "Bagaimana dengan kau?" bertanya Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku sering sekali pergi ke pasar ini. Ibuku berjualan disini. Pagi-pagi aku mengantar ibu ke pasar ini dan di siang hari begini aku menjemputnya." Paksi mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya Paksi bertanya, "Ibumu berjualan apa?" "Kain lurik," jawab anak muda itu. Paksi masih saja mengangguk-angguk. Ketika ia berniat menanyakan rumah anak muda itu, maka niatnya diurungkannya. Jika hal itu dilakukannya, anak muda itu tentu akan bertanya kepadanya pula, dimana ia tinggal. Ternyata anak muda itu juga tidak bertanya, dimana Paksi tinggal, sehingga Paksi tidak harus membuat ceritera tentang tempat tinggalnya. Karena itu, maka untuk menghindari pertanyaanpertanyaan yang belum siap dijawabnya, maka Paksipun kemudian justru bangkit dan berkata, "Aku sudah cukup lama beristirahat. Aku akan mencari bibiku di pasar itu." Anak muda itu berpaling. Dengan tanpa banyak ingin tahu tentang anak muda itu, iapun menjawab, "Silahkan." Paksipun kemudian telah melangkah pergi menuju ke pintu gerbang pasar. Tetapi ia tidak masuk ke dalamnya. Bahkan kemudian iapun telah melangkah menjauh. Paksipun kemudian telah menyusuri jalan kembali ke gubuknya di lereng gunung. Hari itu Paksi tidak melakukan latihan-latihan berat. Ketika ia berada di sanggar terbukanya, maka ia hanya melakukan latihan-latihan ringan, agar urat-uratnya tidak serasa membeku. Demikian tubuhnya basah oleh keringat, maka Paksipun menyudahi latihannya. Setelah mandi dan mencuci, maka Paksipun lebih banyak duduk merenungi apa yang telah dilihatnya di pasar. Paksi tidak dapat segera melupakan dua orang ibu dan anak yang harus bekerja keras untuk dapat mencukupi
kebutuhan mereka sehari-hari, karena laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehidupan mereka, justru telah menjadi benalu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tetapi Paksi tidak dapat berbuat banyak. Di keesokan harinya, Paksi tidak turun dari tempatnya. Ia lebih banyak tenggelam di sanggarnya. Paksi memang berniat untuk tiga atau ampat hari sekali saja turun untuk mengamati kehidupan agar kehadirannya tidak menarik perhatian orang. Sementara Paksi masih terikat pada latihan-latihan yang harus dilakukannya sendiri tanpa Ki Marta Brewok di siang hari. Dengan latihan yang tekun dan teratur, maka kemampuan bidik Paksipun telah berkembang dengan cepat. Bahkan Ki Marta Brewokpun merasa heran dengan kemampuan bidik Paksi. Bukan saja sasaran yang diam, tetapi sasaran yang bergerakpun mampu dikenainya dengan tepat. Demikian pula dengan kemampuannya melempar lembing. Sambil berlari kencang Paksi sanggup mengenai sebatang pisang yang ditanam beberapa langkah dari jalur larinya. Atau dengan lemparan dari jarak yang cukup jauh, dapat mengenai sebuah kelapa yang digantungkan dengan tali pada dahan pepohonan. Di samping panah dan lembing, Paksipun berlatih untuk mempergunakan senjata yang lebih kecil. Pisau, belati dan paser yang dapat dibuatnya sendiri. Bahkan Paksipun memiliki kemampuan melempar sasarannya dengan kapak-kapak kecil yang dibelinya di pasar yang sering dipergunakan untuk membuat perabot rumah. Bukan untuk membelah kayu-kayu gelondong. Dengan demikian, maka kemampuan Paksipun menjadi lengkap. Di malam hari, Paksi masih tetap berlatih bersama Ki
Marta Brewok di sanggar terbukanya. Namun sekali-sekali Ki Marta Brewok juga ingin melihat kemampuan bidik Paksi yang dilatihnya di siang hari. "Nah, kau juga harus mengembangkan kemampuan bidikmu di malam hari, dimana kau berada di dalam lingkungan kegelapan," berkata Ki Marta Brewok. Ternyata Ki Marta Brewok tidak hanya sekedar memberikan perintah-perintah dan aba-aba saja. Mencela atau mengejek kegagalan-kegagalan Paksi. Tetapi Ki Marta Brewok telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memberikan petunjuk-petunjuk langsung serta contoh-contoh, apa yang harus dilakukan oleh Paksi. Ternyata Ki Marta Brewok sendiri mampu membidik sasaran yang berada di dalam gelap. Dengan ketajaman penglihatan serta kemampuan bidik yang sangat tinggi, Ki Marta Brewok dapat mengenai sebongkah batu padas yang dilemparkan oleh Paksi di udara. "Di siang hari kau mungkin dapat melakukannya, Paksi. Tetapi kau juga harus dapat melakukannya di malam hari, karena pada suatu saat kau memerlukan untuk melakukannya di malam hari." Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, "Baik, Ki Marta. Aku akan berlatih juga di malam hari." Tetapi di malam hari Paksi tidak berlatih sendiri. Ia langsung berada di bawah bimbingan Ki Marta Brewok, sehingga penglihatan Paksi menjadi semakin tajam di malam hari. Bahkan kemudian Ki Marta Brewok telah membawa Paksi di dalam laku yang khusus untuk mempertajam penglihatannya. "Bukan hanya penglihatanmu, Paksi. Tetapi segenap inderamu akan dapat kau pertajam dengan laku itu."
Paksi yang sudah menjalani laku apapun tidak menolak. Laku itu dimulai dari jenis makanan yang boleh dimakannya dalam jangka waktu tertentu. Selama ampat puluh hari, Paksi harus menyusut jenis makanan yang dimakannya setiap hari. "Kau hanya boleh makan tiga jenis makanan setiap hari, Paksi," berkata Ki Marta Brewok. "Maksud Ki Marta?" bertanya Paksi. "Jika kau makan nasi dan minum air, maka kau tinggal boleh makan satu jenis lagi. Jika yang satu jenis itu garam, maka kau tidak dapat makan jenis yang lain. Kau tidak boleh makan gula atau daging untuk lauk atau sayur atau apapun. Jika kau makan gula dan minum air, maka kau dapat makan nasi saja, atau ketela saja atau sayuran saja, itupun hanya satu jenis pula."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi mengangguk-angguk. Ia tahu maksud Ki Marta Brewok. Namun kemudian Ki Marta Brewok berkata, "Tetapi ada jenis lain yang dapat kau makan di luar ketiga jenis makanan itu. Yaitu kunyit dan kencur. Tentu saja tidak terlalu banyak." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menjalani laku sejauh kemampuannya. Paksi sudah tidak memikirkan lagi, apakah ia tidak akan terlambat untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu. Karena apa yang dihadapinya itu akan dapat langsung memberikan arti bagi hidupnya. Dalam pada itu, maka sehari kemudian Paksi sudah mulai menjalani laku. Namun ternyata laku yang lainpun harus ditempuhnya pula. Menjelang saat-saat terakhir dari laku yang dijalani dengan hanya makan tiga jenis makanan itu nanti, ia harus menjalani laku pati-geni.
"Laku itu tidak akan kau jalani disini, Paksi. Aku akan membawamu ke satu tempat yang sesuai bagimu untuk menjalani laku itu." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baik, Ki Marta. Aku akan menjalaninya." "Baiklah. Mulailah sejak besok hingga genap ampat puluh hari ampat puluh malam," berkata Ki Marta Brewok. Lalu katanya lebih lanjut, "Tetapi selama itu, kau harus tetap berlatih." Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, maka ketika matahari terbit Paksi sudah berada di dalam laku yang dimaksud Ki Marta Brewok. Namun bagi Paksi laku itu tidak terlalu banyak mempengaruhi ketegaran wadagnya. Ki Marta Brewok hanya menyebut jenis makanan yang boleh di makan. Tetapi tidak jumlahnya. Karena itu, maka Paksi tetap dapat melakukan kewajibannya dengan baik, karena Paksi makan cukup banyak. Ia dapat memberikan warna makanannya yang berbeda-beda setiap hari, meskipun tidak lebih dari tiga jenis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Di samping itu Paksipun sedikit-sedikit makan pula kunyit dan kencur yang membuat tubuhnya menjadi hangat. Dalam pada itu, seperti direncanakan, Paksi dalam waktu tiga atau ampat hari sekali memang turun untuk pergi ke pasar. Namun Paksi sudah mulai mengenali nama beberapa padukuhan. Kadang-kadang ia bertanya kepada anak-anak yang sedang menggembalakan kambing. Tetapi kadangkadang Paksi juga berjalan bersama dengan orang lewat yang dapat memberikan jawaban atas beberapa pertanyaannya. Ketika sudah dua tiga kali Paksi berada di pasar dan dengan sengaja berusaha membuat hubungan dengan beberapa orang, maka Paksi mulai berkenalan dengan
beberapa orang yang sering berada di pasar itu. Setiap kali Paksi tentu bertemu dengan Kinong yang masih saja menerima upah dari orang-orang yang berbelanja yang memerlukan tenaganya. Demikian pula ibunya. Jika Kinong sempat duduk beristirahat dan berbincang, maka Paksi mengetahui bahwa ayah Kinong masih saja gila berjudi dan tidak segan-segan merampas uang ibunya yang didapatkannya dengan bekerja keras bersama Kinong di pasar. "Setiap kali kakak perempuanku hanya dapat menangis. Sebenarnya ia ingin juga bekerja seperti kami di pasar. Tetapi ibu melarangnya." "Kakakmu seorang perempuan, Kinong. Ibumu agaknya tidak rela melihat anaknya perempuan bekerja keras di pasar sebagaimana dilakukan oleh ibunya dan anaknya laki-laki." Kinong mengangguk-angguk. Anak itu tiba-tiba saja bangkit berdiri ketika ia melihat ibunya datang kepadanya. Sambil tersenyum ibunya berkata, "Sudah cukup untuk hari ini Kinong. Kita dapat pulang agak awal. Aku sudah membeli beras seberuk. Cukup untuk hari ini. Jika kau besok akan beristirahat, aku kira tidak ada masalah. Aku masih ada uang." "Simbok dapat uang banyak?" bertanya Kinong. "Tidak banyak, Kinong, Tetapi cukup buat kita." "Aku juga masih mempunyai uang," berkata Kinong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kau bawa saja. Masukkan ke dalam bumbung tabunganmu." Kinong mengangguk-angguk. Sementara ibunya berkata hampir berbisik, "Bukankah kau ingin segera supit seperti kawankawanmu itu? Nah, kau sudah merasa terlambat. Jika uangmu nanti terkumpul dan ada sisa uang Simbok serba sedikit, kau dapat supit sebelum tahun depan." Wajah Kinong menjadi cerah. Katanya, "Baik, Mbok. Aku akan menabung."
Ibunya tertawa. Diusapnya kepala anak itu sambil berdesis, "Nah, marilah kita pulang." Tetapi keduanya tertegun ketika mereka melihat seorang laki-laki berwajah kasar. Matanya kemerah-merahan, sementara pakaiannya nampak kusut. Kinong tiba-tiba menjadi ketakutan. Hampir di luar sadarnya, Kinong berdesis, "Mbok, itu Ayah." Ibu Kinongpun melangkah surut. Didekapnya anaknya yang ketakutan. Sementara itu, laki-laki yang matanya kemerahmerahan itu melangkah mendekati ibu Kinong sambil membelalakkan matanya. "Sampai siang begini kau masih belum pulang?" "Aku baru selesai, Pak," jawab perempuan itu. "Kau tentu dapat uang banyak. Berikan kepadaku." "Sudah aku belikan beras, Pak. Kita sudah kehabisan beras. Uangku hanya cukup untuk membeli beras seberuk." "Bohong. Berikan uangmu kepadaku." "Pak," ibu Kinong berusaha untuk menjawab dengan sareh, "marilah kita pulang. Mungkin aku masih mempunyai sisa uang sedikit. Tetapi jangan disini. Disini banyak orang." Tetapi laki-laki itu tidak peduli. "Cepat, berikan uang itu kepadaku, atau aku tampar wajahmu. Aku tidak peduli apakah disini banyak orang atau tidak. Aku perlu uang itu." "Baik, baik. Tetapi marilah, kita pergi ke tikungan itu." "Tidak," teriak laki-laki itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ibu Kinong menjadi sangat gelisah. Tetapi suaminya tidak menghiraukannya. Bahkan sekali lagi ia membentak, "Berikan uang itu sekarang. Apakah kau tuli?" Beberapa orang telah mengerumuninya. Seorang laki-laki mendekat sambil bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Jangan ikut campur," bentak laki-laki itu pula. "Ini adalah persoalan suami isteri." Paksipun sudah berdiri di antara orang-orang yang berkerumun. Tetapi ia benar-benar dicengkam oleh keraguan, persoalan itu adalah persoalan seorang suami dengan isterinya. Jika ia mencampurinya, apakah itu bukan berarti bahwa ia telah memperburuk hubungan itu. Jika suaminya mendendam, bukankah keadaan isterinya akan menjadi semakin sulit. Selagi Paksi merenung, iapun terkejut. Beberapa orang perempuan menjerit. Laki-laki itu telah menampar wajah isterinya. Kinongpun menangis sambil berpegangan baju ibunya. "Simbok, Simbok," suaranya melengking berkepanjangan. "Diam kau monyet," bentak ayahnya. Tetapi ibu Kinong itu tidak menangis. Iapun menarik ujung kain ikat pinggangnya. Dengan tangan gemetar ia melepas ikatan uang di ujung kain ikat pinggangnya itu. Namun tiba-tiba kerumunan orang itu menyibak. Dari antara mereka muncul seorang perempuan yang terasa asing bagi orang-orang yang ada di pasar itu. Seorang perempuan dengan pakaian yang khusus. Di bawah kainnya yang disingsingkannya, ia mengenakan celana hitam yang longgar. Sebilah pedang terselip di pinggangnya. Di kepalanya dikenakan ikat kepala hitam pula. Namun rambutnya dibiarkan terurai di punggungnya. "Apa yang terjadi?" suaranya melengking tinggi. Semua orang memandang kepadanya. Sementara itu, ayah Kinongpun nampak menjadi cemas. Dengan suara gemetar ia berkata, "Isteriku inilah. Ia telah mengambil uangku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apakah ia tidak kau beri belanja untuk keperluannya
sehari-hari?" "Sudah. Aku memberinya belanja secukupnya. Ia memang pemboros. Ia suka membeli barang-barang yang tidak berguna. Ia suka pula makan di warung-warung di antara banyak laki-laki." Perempuan dalam pakaian asing itu memandang ibu Kinong dengan seksama. Ia melihat setitik darah di sudut bibir ibu Kinong itu. Namun Paksi terkejut sekali ketika ia mendengar perempuan asing itu berkata, "Seorang isteri yang suka mencuri uang suaminya memang harus dihajar habis-habisan. He, kau curi uang suamimu untuk diboroskan?" Jawaban Ibu Kinong juga mengejutkan Paksi. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ibu Kinong itu menjawab, "Aku mengambilnya ketika ia sedang tidur." "Huh. Kau berbakat menjadi pengkhianat. Kembalikan uang itu. Kau nodai nama perempuan. Aku juga perempuan. Aku tidak pernah mencuri uang suamiku. Aku justru memberikan apa saja yang ia minta dariku." Ibu Kinong membuka ikatan pada ujung kain ikat pinggangnya. Diserahkannya beberapa keping uang yang tersisa kepada suaminya. Sambil menerima uang itu, suaminya berkata, "Aku ampuni kau kali ini. Tetapi jika sekali lagi terjadi, aku mungkin tidak dapat mengekang diriku lagi." Laki-laki itupun kemudian melangkah pergi meninggalkan Kinong yang menangis. Tetapi ibunya tetap tidak menangis. Paksi memandang wajah perempuan itu dengan jantung yang berdegup semakin cepat. Rasa-rasanya ibu Kinong itu sudah tidak mempunyai air mata yang tersisa. Namun perempuan asing itu mencibirkan bibirnya sambil berkata, "Untunglah suamimu seorang penyabar. Jika tidak, maka rahangmu akan dihancurkannya." Ibu Kinong tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja Kinonglah
yang berteriak, "Simbok tidak bersalah. Ayah yang penjudi. Ia selalu merampas uang Simbok."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kinong," potong ibunya sambil mendekap anaknya. "Sudahlah. Jangan dipersoalkan lagi." Tetapi Kinong masih tetap menangis. Sementara itu perempuan dengan pakaian yang asing itu berkata, "Ini anakmu, he?" Ibu Kinong mengangguk. "Ternyata anakmu yang masih kecil itu sudah kau ajari berbohong. Kau ajari ia menghina ayahnya yang meneteskan benih di dalam perutmu." "Tidak. Bukan maksudku." Kinong masih akan berteriak lagi. Tetapi ibunya segera menutup mulutnya. Namun orang-orang yang berkerumun itu terkejut sekali lagi. Seorang laki-laki yang masih terhitung muda, tiba-tiba saja menyibak kerumunan orang itu. Dipandanginya perempuan dalam pakaian asing itu sambil berkata, "Apa sebenarnya maksudmu? Aku tahu, kau tentu murid dari Goa Lampin. Murid seorang iblis perempuan yang membenci sesama perempuan. Kau, muridnya, agaknya mempunyai tabiat yang sama." "Darimana kau tahu tentang aku?" perempuan itu menjadi tegang. "Kenapa kau bertanya? Kau pakai dengan bangga ciri perguruanmu. Kau pakai pada ikat kepalamu yang hitam itu, lambang lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah. Lambang dari sekelompok perempuan berilmu tinggi yang merendahkan derajat sesama perempuan." "Iblis kau. Kau murid dari padepokan Sad." "Aku tidak ingkar. Kau tentu mengenal ciri-ciri perguruan Sad. Aku memang salah seorang murid perguruan itu."
"Kenapa kau campuri urusanku?" "Kenapa kau mencampuri urusan suami isteri itu? Kau kira dugaanmu benar, bahwa perempuan itu mencuri uang suaminya?" "Ia mengaku sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Perempuan itu adalah contoh perempuan yang ingin menjunjung tinggi martabat suaminya. Ia tidak mau membuat suaminya malu di hadapan orang banyak. Tetapi anak laki-laki itu berkata dengan jujur. Nah, aku cenderung percaya kepada anak itu daripada pengakuan ibunya." "Sudah. Sudahlah, Ki Sanak," berkata ibu Kinong itu kemudian. "Biarlah terjadi sebagaimana yang terjadi. Aku mohon diri. Aku akan pulang. Aku tidak mau menjadi tontonan terlalu lama disini. Aku berterima kasih kepada semuanya yang menaruh perhatian terhadap persoalan yang aku hadapi." "Pulanglah, Nyi. Mudah-mudahan kemarahan suamimu tidak berkepanjangan. Kau memang harus bersabar menghadapi sikapnya. Tetapi yakinkan dirimu, kau perempuan yang baik." "Huh," desah perempuan yang berpakaian asing itu. "Orang-orang dari perguruan Sad memang pemuja perempuan." "Tidak semua perempuan," jawab laki-laki yang masih terhitung muda itu. "Kami menghargai perempuan sewajarnya. Tetapi kami tidak dapat menghargai perempuan dari Goa Lampin." "Kau telah menghina kami," geram perempuan itu. Namun laki-laki yang masih terhitung muda itu tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia berkata kepada ibu Kinong,
"Pulanglah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa denganmu setelah kau berikan uangmu kepada suamimu." Ibu Kinongpun kemudian telah menggandeng anaknya. Tetapi ketika mereka melangkah, Kinong sempat berlari mengambil keranjang kecilnya. Sekilas ia memandang Paksi yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berlari kepada ibunya. Sejenak kemudian ibu dan anak itupun meninggalkan tempat itu, menembus kerumunan orang-orang yang masih terpancang di tempatnya. Namun perhatian mereka kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ telah berpindah kepada dua orang perempuan dan laki-laki yang kemudian saling berhadapan. Ketika ketegangan terasa semakin mencengkam, maka orang-orang yang berkerumun itupun telah bergeser surut. Lingkaran itupun melebar. Beberapa orang justru telah membenahi barang-barang dagangan mereka. "Jika kawan mereka berdatangan, maka perkelahian akan meluas," berkata salah seorang pedagang nasi tumpang yang dagangannya tinggal tersisa sedikit. Lalu katanya, "Lebih baik aku pulang." Beberapa orang telah berbuat serupa. Seorang penjual dawet telah memanggul sisa dawetnya menjauh. Dalam pada itu, maka perempuan yang berpakaian asing itu agaknya benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka katanya, "Aku tidak akan pergi sebelum aku membuat perhitungan dengan kau yang telah menghina perguruan kami." "Itu terserah kepadamu. Aku tidak peduli. Tetapi aku akan meninggalkan tempat ini." "Kau juga tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kau berlutut di hadapanku dan mohon maaf atas kelancanganmu, mengucapkan kata-kata penghinaan atas perguruan kami."
"Jangan aneh-aneh. Jangan bermimpi tentang sesuatu yang tidak akan pernah terjadi." "Kau tahu watak orang-orang Goa Lampin?" "Tahu. Mereka adalah perempuan-perempuan yang membenci perempuan. Di perguruan Goa Lampin memang terdapat beberapa orang laki-laki. Mereka hidup dalam dunia mimpi, karena laki-laki di perguruan Goa Lampin diperlakukan seperti anak-anak emas yang manja." "Apakah kau merasa iri, bahwa kau bukan salah seorang di antara mereka yang menjadi pilihan penghuni Goa Lampin?" Laki-laki yang terhitung muda itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, "Kau kira aku merasa berbahagia hidup dalam sangkar seperti mereka yang kehilangan harga dirinya sebagai seorang laki-laki? Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terbiasa hidup dalam pengembaraan yang kadang-kadang penuh dengan bahaya. Tetapi dunia laki-laki memang keras." "Kami, perempuan-perempuan dari Goa Lampin tidak akan menghindari kekerasan." "Terutama untuk melindungi laki-laki betina yang kalian simpan di Goa Lampin itu." Perempuan itu benar-benar menjadi marah. Dengan garang ia berkata, "Bersiaplah. Aku akan menundukkanmu dan memaksamu tinggal di dalam sangkar di Goa Lampin. Guru akan dapat membuatmu menjadi jinak, karena kau akan kehilangan segala kebanggaan sebagai seorang yang terbiasa mengembara di dunia olah kanuragan. Tetapi guru akan dapat memberikan kebanggaan baru kepadamu sebagai seorang laki-laki sejati." "Gila," geram laki-laki yang masih terhitung muda itu. Katanya dengan wajah yang menjadi merah, "Penghinaan
yang kau lontarkan tidak dapat dimaafkan lagi." Perempuan yang berpakaian asing itu tidak menjawab. Ketika laki-laki yang masih terhitung muda itu melangkah maju, maka perempuan itupun segera bersiap. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang yang menyaksikannya telah menjadi semakin jauh. Paksi yang tidak ingin menarik perhatian, ikut pula bergeser menjauh. Namun dengan seksama ia memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu. Bukan saja untuk melihat siapakah yang kalah dan siapakah yang menang, namun Paksipun ingin melihat dan mengenali mereka meskipun mereka tidak mempergunakan ciri-ciri perguruan mereka. Ternyata kedua orang itu memiliki landasan ilmu yang sudah mapan. Namun keduanya masih belum sampai pada tataran tertinggi dari ilmu kanuragan. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia berbangga terhadap dirinya sendiri. Ketika kedua orang yang bertempur itu nampaknya sudah sampai pada tataran tertinggi dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kemampuan yang telah mereka warisi, kemampuan mereka masih jauh berada di bawah kemampuan Paksi sendiri. Karena itu, hampir di luar sadarnya Paksipun berdesis, "Aku harus berterima kasih kepada guru, kepada orang yang mengaku pengikut Kebo Lorog dan terutama kepada Ki Marta Brewok. Karena dengan bimbingan mereka aku telah memiliki ilmu yang cukup mapan. Sementara itu, di bawah bimbingan Ki Marta Brewok ilmuku masih terus berkembang." Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Beberapa kali kedua belah pihak telah berhasil menyusupkan serangan mereka di sela-sela pertahanan
lawannya. Ketika laki-laki yang masih terhitung muda itu terlambat menangkis serangan lawannya, maka kaki lawannya itu telah menghantam dadanya, sehingga laki-laki itu terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika perempuan yang berpakaian asing itu memburunya, maka dengan sigapnya laki-laki itu meloncat ke samping. Satu putaran yang cepat telah mengayunkan kakinya ke arah kening lawannya. Perempuan itu sempat melihat serangan lawannya. Dengan cepat kedua lengannya telah melindungi kepalanya. Tetapi ayunan kaki itu demikian kerasnya sehingga perempuan itu hampir saja kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa dengan sigap ia menggeliat dan sesaat kemudian, perempuan itu sudah tegak berdiri dengan kokohnya. Namun lawannya justru bergerak cepat. Seranganserangannya kemudian datang beruntun seperti banjir bandang. Perempuan yang berpakaian asing itu mulai terdesak. Betapapun ia mencoba mengimbangi kecepatan gerak lawannya, namun beberapa kali ia harus berloncatan menghindar serta mengambil jarak. Tetapi lawannya selalu saja mendesaknya. Seranganserangannya seakan-akan menjadi semakin cepat memburunya. Dalam keadaan yang sulit, maka perempuan yang berpakaian asing itu telah menarik pedangnya dengan cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Satu ayunan yang deras hampir saja memenggal kepala lakilaki yang masih terhitung muda itu. Namun laki laki itu sempat meloncat jauhjauh untuk mengambil jarak. Namun perempuan itupun memburunya. Ia tidak ingin kehilangan saat-saat berharga ketika laki-laki itu masih
terkejut mendapat serangannya itu. Namun ketika perempuan itu mengayunkan pedangnya sekali lagi menyerang ke dahi lawannya, maka laki-laki itu menangkisnya dengan pedangnya pula. Benturan senjata itupun tidak dapat dielakkan. Bunga api memercik dari benturan dua bilah pedang yang terbuat dari baja pilihan. Perempuan itu menggeram. Sekali pedangnya berputar, kemudian dengan loncatan kecil pedang itu terjulur ke arah dada. Tetapi lawannya cukup tangkas. Pedang itu mengenainya. Laki-laki itu meloncat surut, sementara pedangnya menebas serangan lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benturan antara dua jenis ilmu pedang yang mempunyai landasan dasar yang berbeda. Namun keduanya menunjukkan kemampuan mereka sehingga pertempuran itupun menjadi semakin menegangkan. Paksi menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut. Kedua orang yang bertempur itu masih harus lebih banyak berlatih agar ilmu mereka menjadi semakin berkembang. Bagi Paksi, keduanya masih terhitung pada tataran yang belum dapat dibanggakan. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia juga mempunyai sebuah senjata yang tidak kalah garangnya dari pedang di gubuknya. Ia mempunyai sebatang tongkat yang di tangannya akan dapat menjadi lebih berbahaya daripada pedang di tangan kedua orang itu. Namun Paksi masih saja tetap berada di pinggir arena, di antara beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang semakin jauh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Paksipun kemudian menjadi berdebar-debar. Nampaknya keduanya benar-benar telah dicengkam oleh kemarahan yang membuat darah mereka mendidih, sehingga mereka tidak lagi mengekang diri. Mereka benar-benar telah tenggelam dalam nafsu untuk membinasakan lawan masingmasing. Tetapi semakin lama perempuan dalam pakaian asing itu menjadi semakin terdesak. Betapapun ia berusaha untuk bertahan, namun senjata lawannya seakan-akan selalu memburunya. Paksi menjadi berdebar-debar ketika perempuan yang berpakaian asing itu menjadi semakin terdesak. Ujung pedang lawannya bahkan telah mulai menyentuh kulitnya, sehingga sebuah goresan kecil menyilang di lengannya, mengoyak bajunya. Perempuan itu mengumpat. Bajunya yang koyak dan kulitnya yang berdarah, membuatnya sangat marah. Tetapi lawannya, seorang laki-laki yang merasa terhina oleh sikap perempuan itu, nampaknya benar-benar telah tersinggung. Ia ingin benar-benar merendahkan lawannya di hadapan banyak orang yang menyaksikan pertempuran itu meskipun dari kejauhan. Karena itu, maka ketika lawannya menjadi semakin terdesak, laki-laki itu berkata, "Aku memberi kesempatan kepadamu untuk menyerah, berlutut dan mohon maaf. Aku akan memaafkanmu, karena perguruan Sad memang tidak ingin bermusuhan dengan perguruan Goa Lampin. Meskipun ada perbedaan-perbedaan yang mendasar, tetapi kita dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu." "Setan kau," geram perempuan itu. "Kau jangan mencoba menghina perguruan Goa Lampin." "Tetapi satu kenyataan harus kau hadapi. Kau sudah terluka. Bajumu sudah koyak. Jika kita bertempur terus, maka
bajumu akan terkoyak dimana-mana, sedangkan luka di tubuhmu akan menganga semakin lebar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Wajah perempuan itu menjadi merah. Ia memang tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan, bahwa bajunya memang sudah terkoyak. Tetapi harga dirinya sebagai murid dari Goa Lampin tidak memungkinkannya untuk menyerah. Namun dalam keragu-raguan itu, terdengar suara seorang perempuan lain dengan lantangnya, "Kau anak dari perguruan Sad. Apakah kau memang sengaja memulai permusuhan dengan kami?" Laki-laki yang masih terhitung muda, yang datang dari perguruan Sad itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia melihat seorang perempuan lain yang melangkah mendekati perempuan yang hampir dikalahkannya itu. Perempuan yang muncul berjalan dari antara banyak orang yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh. Murid perguruan Sad itu tidak segera menjawab. Yang dilihatnya adalah seorang perempuan dalam pakaian yang wajar, seperti perempuan-perempuan lain yang pergi ke pasar. Ia mengenakan kain lurik berwarna coklat. Bajunyapun berwarna coklat pula. Selembar selendang lurik yang juga berwarna coklat, tetapi sedikit lebih tua dari bajunya, tergantung di pundaknya. Langkah perempuan itupun tidak menunjukkan langkah yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Langkah-langkah kecil meskipun cepat. Perempuan yang berpakaian asing, yang lengannya terluka itu memandang perempuan yang datang itu dengan penuh harap. Bahkan ketika perempuan dalam pakaian lurik coklat itu mendekat, perempuan yang terluka pundaknya itu
mengangguk sambil merendahkan tubuhnya pada lututnya. "Aku sudah melihat apa yang terjadi," berkata perempuan berpakaian coklat itu. "Ya, Guru," jawab perempuan yang terluka lengannya. "Anak dari perguruan Sad itu mencampuri urusanku." Perempuan berpakaian coklat itu memandang laki-laki yang disebutnya dari perguruan Sad itu dengan tajamnya. Sekali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lagi ia berkata, "Kau sengaja membuat persoalan dengan kami, perguruan Goa Lampin?" "Bukan maksudku," jawab laki-laki itu. "Jadi kenapa kau campuri urusan muridku?" "Ialah yang mula-mula mencampuri urusan orang dengan sikap yang tidak adil." "Apapun yang dilakukan, biarlah dilakukan." "Tetapi perempuan itu telah merendahkan harga diri, justru seorang perempuan seperti dirinya." "Sudah aku katakan, apapun yang dilakukan, jangan mencampurinya. Aku tidak senang melihat kelakuanmu seperti itu. Ingat." "Tetapi selama orang-orang dari perguruan Goa Lampin masih tetap mencampuri persoalan orang lain dengan sikap yang tidak adil, maka kami tidak akan tinggal diam." "Sejak kapan gurumu mengajarimu berlaku seperti itu? Kau tentu bukan orang baru di perguruan Sad, menilik kemampuanmu. Justru karena itu kau tentu tahu, apa saja yang dilakukan oleh gurumu. Iblis yang licik dan curang." "Aku menduga bahwa kau adalah guru dari perguruan Goa Lampin sesuai dengan sikap perempuan yang terluka itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau dapat menghina guruku." "Lalu apa yang akan kau lakukan, he? Apa? Kau tidak perlu membunuh diri disini untuk sekedar membela nama baik gurumu. Aku sudah mengenal gurumu dengan baik. Kaupun
tentu juga sudah mengenalnya. Apalagi?" Laki-laki yang masih terhitung muda dari perguruan Sad itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba orang dari Goa Lampin itu berkata, "Aku ulangi tawaran muridku. Kami mengundangmu untuk datang ke Goa Lampin. Kau pantas tinggal bersama kami." "Cukup," wajah laki-laki dari perguruan Sad itu menjadi merah. Tetapi perempuan yang berpakaian coklat itu tersenyum. Katanya, "Jangan marah. Hanya sebuah tawaran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku masih mempunyai harga diri sebagai seorang laki-laki. Aku bukan sebangsa laki-laki yang kau kumpulkan di perguruanmu." Tetapi perempuan yang berpakaian coklat itu tersenyum. Orang-orang yang berkerumun dari jarak yang agak jauh itu menjadi berdebar-debar. Perempuan itu memang cantik. Apalagi ketika ia tersenyum sambil melangkah mendekati lakilaki dari perguruan Sad itu. Orang-orang yang menyaksikan sikap perempuan itu menjadi tegang. Paksipun mengerutkan dahinya. Laki-laki dari perguruan Sad itu masih menggenggam senjatanya. Tetapi perempuan cantik itu masih saja tersenyum sambil melangkah lebih dekat lagi. Laki-laki itu tiba-tiba saja telah mengacukan pedangnya. Dengan lantang ia berkata, "Jangan mendekat lagi. Aku dapat membunuhmu." Tetapi perempuan itu menjawab dengan tenang, "Kau tidak akan melakukannya, anak manis." Ketika perempuan cantik dengan pakaian coklat itu menjadi semakin dekat dengan senyumnya yang masih saja mengembang, tiba-tiba saja ujung pedang laki-laki itu menunduk. Semakin dekat perempuan itu daripadanya, maka
pedang itupun menjadi semakin merunduk pula. "Nah," berkata perempuan berpakaian coklat itu, "bukankah lebih baik begitu? Kau memang bukan seorang laki-laki yang jahat. Kau adalah laki-laki yang lembut, yang pantas untuk tinggal bersama kami." Laki-laki itu menunduk. "Jangan malu, pandang wajahku," berkata perempuan cantik itu. Laki-laki itu memang mengangkat wajahnya, memandang wajah perempuan cantik itu. Sementara perempuan cantik itu juga memandang mata laki-laki itu seakan-akan tembus sampai ke pusat jantungnya. Paksi menjadi berdebar-debar. Laki-laki dari perguruan Sad itu adalah laki-laki yang tegar. Namun tiba-tiba saja kepalanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menunduk. Pedangnya terkulai di tangannya yang lemah. Laki-laki itu seakan-akan menjadi tidak berdaya sama sekali. Perempuan cantik berpakaian coklat itu tertawa. Ia benarbenar telah menguasai laki-laki yang masih terhitung muda itu. "Sarungkan senjatamu. Kau tidak akan pernah mempergunakannya lagi." Laki-laki itu seakan-akan telah kehilangan penalarannya. Disarungkannya senjatanya tanpa disadarinya. Paksilah yang benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat membiarkan laki-laki itu begitu saja jatuh ke tangan perempuan berpakaian coklat itu. Paksipun tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan yang cantik. Tetapi Paksipun menyadari bahwa kecantikan itu hanya nampak pada ujud lahiriahnya saja. Sikapnya terhadap laki-laki dari perguruan Sad itu telah menunjukkan wataknya yang
sebenarnya. Apalagi sikap itu dilakukannya di hadapan banyak orang tanpa malu. Namun Paksi masih harus memperhitungkan banyak hal tentang perempuan itu. Paksi mulai membayangkan, apa jadinya jika dirinya yang kemudian berdiri dengan kepala tunduk tanpa dapat memberikan perlawanan sama sekali. "Tentu ada kekuatan yang tidak terlawan oleh laki-laki itu," berkata Paksi di dalam dirinya. Namun dalam pada itu, ketika laki-laki dari perguruan Sad itu benar-benar telah kehilangan kesadarannya, sehingga seakan-akan telah menjadi seekor lembu yang telah dicocok hidungnya, tiba-tiba saja terasa angin berhembus perlahanlahan. Tidak terlalu kencang. Namun angin yang tidak terlalu kencang itupun kemudian telah berputar, seperti sebuah angin pusaran kecil. Hanya debu-debu kecil yang terangkat oleh angin pusaran yang lemah itu. Namun angin pusaran yang lemah itu telah bergerak dengan cepat. Tiba-tiba saja angin pusaran itu seakan-akan telah membelit laki-laki dari perguruan Sad yang telah kehilangan kesadarannya itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Perempuan cantik dari Goa Lampin itu terkejut. Tiba-tiba ia menengadahkan wajahnya. Beberapa langkah ia bergerak surut menjauhi laki-laki dari perguruan Sad itu. "Setan tua. Kenapa kau selalu menggangguku? Marilah, kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas." Tidak terdengar jawaban. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, bahwa laki-laki yang kehilangan kesadaran itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Seperti orang terbangun dari tidurnya ia memandang berkeliling. Namun tiba-tiba saja laki-laki itu meloncat mundur sambil menarik senjatanya dari sarungnya. Dengan garang iapun
berkata, "Apa yang sudah kau lakukan?" Perempuan yang semula nampak cantik dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya itu mengerutkan dahinya. Wajahnya tidak lagi nampak ramah seperti sebelumnya. "Baik," tiba-tiba perempuan itu melangkah mundur, "aku bebaskan muridmu yang satu ini sekarang. Tetapi jika sekali lagi ia mencampuri urusan muridku tentang apa saja, maka ia akan hanyut ke dalam dunia mimpinya yang indah. Sayang, kau sudah terlalu tua untuk itu." "Cukup," laki-laki yang memegang senjatanya itulah yang membentak. Tetapi perempuan itu tertawa berkepanjangan sambil berkata, "Jangan menyalak begitu garang serigala kecil. Kau dapat melakukannya jika gurumu ada di dekatmu." Laki-laki itu tidak menjawab. Sementara perempuan cantik yang berpakaian coklat itupun melangkah meninggalkan lakilaki itu sambil berkata kepada muridnya, perempuan yang lengannya tergores senjata itu, "Marilah. Biarlah anak itu kita lepaskan kali ini." Laki-laki dari perguruan Sad itu tidak memburunya. Tetapi ketika ia memandang berkeliling, maka wajahnya serasa menjadi panas. Laki-laki itu merasa sangat malu, setelah ia sadari apa yang terjadi atas dirinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Karena itu, maka dengan serta-merta laki-laki itupun segera melangkah pergi, meninggalkan lingkungan pasar yang dicengkam oleh ketegangan itu. Demikian laki-laki itu pergi, sementara kedua orang perempuan yang aneh itu tidak nampak lagi, maka orangorangpun menjadi sibuk. Merekapun segera membenahi barang dagangan mereka. Paksi sendiri masih berdiri termangu-mangu. Bahkan kemudian Paksi itu telah berdiri bersandar sebatang pohon di
depan pasar yang menjadi semakin sepi. Ketika Paksi melihat seorang penjual makanan yang duduk dengan wajah sendu menunggui dagangannya, iapun melangkah mendekat. Sambil duduk di sebelahnya, Paksi bertanya, "Kau tidak pulang, Bibi?" Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau lihat, Ngger. Daganganku masih banyak. Jika tidak ada orang yang membeli lagi serba sedikit, aku tidak akan dapat berjualan lagi besok, karena aku tidak mempunyai uang cukup untuk membeli bahan-bahannya. Hari ini daganganku hampir masih utuh." "Apakah karena ketegangan tadi, maka makanan yang Bibi jajakan ini tidak laku?" "Siapa yang akan sempat berpaling pada makanan yang aku jajakan?" jawab perempuan itu. Paksi menarik nafas panjang. Sementara perempuan itu berkata, "Aku tidak tahu, apa yang dapat aku lakukan besok." Sejenak Paksi merenungi makanan itu. Ia sendiri sedang menjalani laku. Ia hanya dapat makan tiga jenis bahan pangan setiap hari. Satu jenis makanan itu tentu sudah mengandung tiga atau bahkan lebih jenis bahan pangan. Sepotong wajik terbuat dari ketan, gula, garam dan santan kelapa. Bahkan kadang-kadang dengan penyedap manis jangan.. Tetapi Paksi tidak sampai hati melihat kegelisahan perempuan tua itu. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Bibi, di rumahku akan ada tamu, kebetulan bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bibi masih mempunyai makanan yang cukup. Karena itu, aku akan membeli beberapa potong." "Kau akan membeli makananku?" wajah perempuan itu
menjadi cerah. "Tetapi tidak terlalu banyak, Bibi." Ternyata Paksi membeli lebih dari separo sisa makanan yang dijajakan itu, sehingga perempuan itu mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil tersenyum berulang kali. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah membawa makanan yang dibungkus dengan daun pisang itu. Tetapi Paksi tidak tahu untuk apa makanan sebanyak itu, karena ia sendiri tidak dapat memakannya. Sementara itu, pasar memang menjadi semakin sepi. Perempuan yang menjual makanan itupun telah membenahi dagangannya pula. Nampaknya dengan uang yang didapatnya dari Paksi, ia akan dapat berjualan lagi esok pagi. Sementara itu Paksi masih kebingungan dengan makanannya. Namun akhirnya Paksi berkesimpulan untuk membawa makanan itu pulang. Ketika di jalan pulang ia melihat sekelompok gembala sedang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, sementara kambing-kambing merekapun berkeliaran di padang rumput yang hijau, maka Paksi tertegun. Beberapa orang anak di antaranya sudah dikenalnya, karena Paksi pernah berbincang-bincang dengan mereka. Karena itu, maka Paksipun telah mendatanginya. Sambil duduk bersama mereka, Paksi berkata, "He, aku membawa makanan buat kalian." "Makanan apa, Kang?" bertanya seorang anak yang kuncung di ubun-ubunnya memanjang sampai ke dahi. Paksi membuka bungkusan makanannya. Di antaranya beberapa potong wajik, jadah, beberapa bungkus hawughawug dan cemplon. Anak-anak gembala itu nampak ragu-ragu. Sementara Paksi berkata, "Jangan malu. Aku sengaja membelinya untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang yang sedang berkumpul seperti ini. Hari ini hari ulang tahun kelahiranku. Tumbuk." Tetapi dengan tidak terduga seorang dari anak-anak itu bertanya, "Tumbuk berapa? Dua atau tiga. Kalau dua, Kakang nampaknya terlalu tua. Kalau tumbuk tiga, Kakang nampaknya terlalu muda. Ayahku baru saja memperingati ulang tahunnya, pada tumbuk tiga." Paksi tersenyum. Katanya, "Umurku sudah duapuluh ampat, sama dengan umur ayahmu." "Tetapi ayah sudah nampak tua." "Sekarang berapa umurmu?" bertanya Paksi. "Tujuh tahun," jawab anak itu. "Hitung, berapa tahun umur ayahmu ketika ibumu melahirkan, jika sekarang umurnya baru duapuluh ampat." Anak itu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Paksi. Namun Paksipun bertanya pula, "Siapa yang mengatakan bahwa ayahmu baru saja ulang tahun pada tumbuk tiga? Tentu keliru. Mungkin tumbuk ampat." Anak itu masih saja termangu-mangu. Tetapi Paksipun kemudian berkata, "Nah, lupakan saja umur ayahmu dan umurku. Sekarang, marilah kita makan bersama-sama." Anak-anak itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka segera memungut makanan sesuai dengan selera masingmasing. "Ini masih ada," berkata Paksi. Anak-anak itu hanya saling berpandangan. Masih seonggok makanan yang tersisa. Tetapi anak-anak itu nampaknya enggan untuk mengambil lagi. Paksi tersenyum. Namun iapun segera bangkit sambil berkata, "Aku akan pulang. Terserah kepada kalian, apakah kalian
akan menghabiskan makanan itu atau tidak." Tidak ada yang menyahut. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Sudahlah. Aku minta diri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Diusapnya kepala beberapa orang anak yang sedang menggembalakan kambing itu. Kemudian Paksi itupun segera melangkah pergi. Ketika Paksi sudah meloncati parit dan berdiri di jalan, maka iapun berpaling. Dilihatnya anak-anak itu sedang sibuk berebut makanan yang ditinggalkan oleh Paksi. Paksi tersenyum. Seorang anak yang melihat Paksi berpaling, menggamit kawan-kawannya. Tetapi ketika mereka melihat Paksi mengangkat tangannya, maka merekapun bersorak sambil melambaikan tangan mereka yang masih menggenggam sepotong makanan. Paksipun menjadi gembira melihat anak-anak itu menjadi gembira. Sekilas memang terbayang kembali masa kanakkanaknya. Ia juga sering berada di dalam satu lingkungan permainan dengan kawan-kawannya. Ia sempat bergembira. Tertawa lepas tanpa kekangan. Bahkan sampai umurnya menginjak tujuh belas. Namun jika ia sudah menginjak ambang pintu rumahnya, maka rasa-rasanya hidupnya menjadi sepi dalam kesendiriannya. Kedua adiknya dapat bergaul rapat dengan ayahnya. Tetapi Paksi sendiri merasa, hubungannya dengan ayahnya terasa renggang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun masa-masa itu sudah lewat. Ia tidak lagi harus bertanya-tanya tentang dirinya. Di gubuk kecil di kaki gunung itu ia telah berjuang di bawah bimbingan Ki Marta Brewok untuk bukan saja menjadi dirinya, tetapi membentuk dirinya sendiri.
Paksi berjalan terus. Panas matahari tidak dihiraukannya. Ia sudah terbiasa terpanggang sinar matahari saat-saat ia berlatih di sanggarnya yang terbuka. Ketika Paksi kemudian sampai di gubuknya, maka iapun segera berbenah diri, sehingga sejenak kemudian ia sudah siap untuk melakukan latihan-latihan ringan, menggerakkan urat-urat darahnya serta melemaskan otot-ototnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi tidak terlalu lama berlatih. Iapun kemudian pergi ke sungai untuk membersihkan badannya dan mencuci pakaiannya. Ketika matahari menjadi semakin rendah, Paksi sempat beristirahat, duduk di belakang gubuk kecilnya. Ia melihat seekor ular yang merayap dengan cepat melintas menuju ke semak-semak belukar. Seperti dikatakan oleh Ki Marta Brewok, di sekitar tempat itu memang terdapat banyak sekali ular dari berbagai macam jenis, sehingga karena itu, maka Paksi tidak pernah lupa setiap hari menelan obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok untuk menawarkan racun. Sambil beristirahat, Paksi sempat merenungi apa yang dilihatnya di pasar itu. Ia memang merasa pengalamannya, bahkan pengalaman jiwanya, menjadi semakin kaya. Ia melihat seorang ayah yang ingkar akan kewajibannya, dan bahkan telah menjadi benalu bagi isteri dan anak-anaknya. Iapun melihat dua orang dari dua perguruan yang berbeda. Ia sempat mengenali gaya dan ciri ilmu dua perguruan. Namun iapun sempat mengenali watak dari dua perguruan itu. Terutama perguruan Goa Lampin. Ketika Paksi sempat mengenang apa yang terjadi atas laki-laki yang sempat dihisap ke dalam lingkungan perguruan Goa Lampin, maka rasa-rasanya bulu-bulu
tengkuknya meremang. "Laki laki yang terkurung di dalam goa itu akan menjadi apa saja nantinya?" pertanyaan itu telah membuat Paksi merasa ngeri. Sementara itu, ia harus mengakui bahwa perempuan cantik yang berpakaian coklat itu tentu perempuan yang berilmu tinggi. Dalam keadaan yang demikian, rasa-rasanya ia ingin segera bertemu dan berbicara dengan Ki Marta Brewok. Ia ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan lakilaki dari perguruan Sad itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bangkit berdiri. Diraihnya kapaknya yang terselip pada dinding rumahnya. Namun sambil melangkah ke halaman, Paksi teringat pada perempuan tua yang berjualan makanan. Nampaknya hidupnya dan barangkali juga dengan keluarganya, tergantung dari setampah makanan yang dijajakannya itu. Namun sejenak kemudian Paksipun telah tenggelam dalam kerjanya. Dengan kapaknya ia membelah gelondonggelondong kayu bakar. Kemudian kayu yang sudah terbelah itu dijemurnya di sisa panasnya matahari. Tetapi kayu-kayu itu tidak perlu ditempatkan di tempat yang terlindung, karena nampaknya hujan masih belum segera turun. Paksipun kemudian telah mengisi waktunya dengan berlatih pula. Sambil duduk di atas sebongkah batu, Paksi mempertajam kemampuan bidiknya dengan sasaran yang lebih kecil yang pernah dilakukan. Seikat jerami yang digantung di tempat yang lebih jauh dari latihan-latihannya terdahulu.
Paksi mengakhiri latihannya ketika senja turun. Tiba-tiba saja ia telah mengharapkan Ki Marta Brewok datang secepatnya. Ternyata Ki Marta Brewok seolah-olah mengetahui keinginan Paksi itu. Demikian gelap turun, Ki Marta Brewok telah berada di tempat itu. "Aku memang mengharap Ki Marta Brewok datang lebih awal," desis Paksi. "Aku juga tahu," jawab Ki Marta Brewok. "Kau tentu melihat peristiwa yang terjadi di pasar itu. Kau tentu melihat murid dari perguruan Goa Lampin dan murid dari perguruan Sad bertempur. Kau juga tahu kedatangan iblis betina, maha guru dari perguruan Goa Lampin itu." "Apakah Ki Marta Brewok juga melihatnya?" "Aku tidak sengaja melihatnya. Tetapi aku mengikuti perkembangan keadaan sejak semula. Aku melihat laki-laki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang memukul isterinya itu. Aku melihat bagaimana perempuan Goa Lampin itu mencampuri persoalan suami isteri itu dan bagaimana anak dari perguruan Sad itu ikut pula melibatkan diri." "Ki Marta," desis Paksi, "ada yang ingin aku tanyakan. Apa yang sebenarnya terjadi ketika laki-laki dari perguruan Sad itu tiba-tiba kehilangan pribadinya. Ia menjadi seakan-akan pasrah serta melakukan segala perintah perempuan berpakaian coklat itu." "Perempuan itu mempunyai kekuatan semacam kekuatan sihir. Siapa yang dipandangi matanya serta orang yang dipandangi matanya itu memandang matanya pula, maka ia akan terpengaruh oleh kuasa ilmu perempuan itu. Orang yang demikian, tidak lagi tahu apa yang dilakukan. Ia berbuat apa saja sesuai dengan kehendak perempuan yang menyihirnya itu. Bahkan untuk membunuh diri sekalipun."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Marta Brewok berkata, "Ada baiknya kau melihatnya, Paksi. Dengan demikian kau mendapat satu pengalaman baru. Sehingga kau harus belajar, bagaimana menghadapi pengaruh sihir seperti itu." Paksi menganggukangguk kecil. "Di samping itu," berkata Ki Marta Brewok, "kau harus mengenali kedua perguruan itu pula. Serba sedikit kau tentu sudah mendapat gambaran isi dari perguruan Goa Lampin. Goa Lampin sebenarnya adalah nama sebuah goa kecil. Namun padepokan yang dibangun di sekitar goa itu kemudian disebut Padepokan Goa Lampin. Padepokan itu dibangun sedemikian rupa, sehingga goa itu berada di dalam padepokan itu." Paksi masih mengangguk-angguk, sementara Ki Marta Brewokpun berkata, "Sedangkan perguruan Sad adalah perguruan yang samar-samar. Aku tidak dapat mengetahui dengan pasti garis kebijaksanaan pemimpinnya. Tetapi untuk sementara kau harus berhati-hati. Aku melihat sifat-sifat yang agak licik pada perguruan itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ki Marta," berkata Paksi kemudian, "apakah ada cara-cara khusus untuk mengatasi kekuasaan sihir itu? Ilmu itu sangat mengerikan. Aku tidak pernah menjadi gelisah melihat berbagai macam ilmu. Tetapi aku benar-benar ngeri mengenang kekuatan ilmu sihir itu. Aku selalu dibayangi oleh angan-angan, apa yang terjadi dengan diriku jika aku jatuh ke tangan iblis betina itu. Lebih baik dadaku ditembus oleh ujung tombak daripada terpengaruh oleh ilmu itu." Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha membantumu. Kau harus melapisi kesadaranmu dengan ketahanan jiwani yang tinggi." "Aku akan menjalani laku apapun untuk menemukan
kekuatan yang dapat melawan ilmu sihir itu." "Kau harus menyelesaikan laku yang sedang kau jalani sekarang lebih dahulu, Paksi. Sementara itu, kau dapat mempersiapkan dirimu untuk menjalani laku berikutnya. Kau tidak usah berpikir, kapan kau harus berangkat untuk meneruskan pencarianmu atas cincin itu. Aku yakin bahwa dalam waktu satu dua tahun, cincin itu masih belum diketemukan. Seandainya cincin itu sudah diketemukan, maka masih dapat dipertanyakan, siapakah yang menemukan cincin itu." Paksi mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia menjadi semakin mantap. Namun Ki Marta Brewok itu masih berkata pula, "Untuk sementara Paksi, kau dapat menghindarkan diri dari pengaruh sihir itu dengan lembaran ketabahan hati serta berusaha untuk tidak memandang orang yang kau curigai mempunyai ilmu sihir itu pada matanya. Namun menurut pengetahuanku, di perguruan Goa Lampin hanya perempuan iblis yang menjadi pemimpinnya itu sajalah yang memiliki kemampuan ilmu sihir. Sedangkan kau sudah pernah melihat orang itu, sehingga kau dapat berhati-hati seandainya kau karena sesuatu hal berhadapan dengan orang itu. Bukankah sebagaimana kau lihat, perempuan yang lengannya terluka itu sama sekali tidak mempunyai kemampuan ilmu semacam itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi mengangguk-angguk. "Baiklah," berkata Ki Marta Brewok. "Kau harus mempersiapkan diri. Kita akan berlatih lagi. Meskipun sebenarnya kau sudah sampai ke puncak, tetapi kau masih harus berusaha membuka pintu-pintu inderamu lebih lebar lagi, agar ilmumu dapat menjadi semakin berkembang."
Sejenak kemudian Paksipun telah tenggelam lagi dalam latihan-latihan yang berat. Ia harus mengasah penglihatan, pendengarannya dan bahkan panggraitanya. Sedikit lewat tengah malam, Ki Marta Brewok mengakhiri latihan itu. Setelah beristirahat sejenak, Ki Marta Brewok sempat makan bersama Paksi. Namun Paksi masih terikat dengan laku yang sedang dijalaninya. "Aku terpaksa harus ikut makan hanya dengan garam," desis Ki Marta Brewok. Paksi tersenyum. Meskipun hanya dengan garam, ternyata Ki Marta Brewok itu makan cukup banyak. Katanya, "Supaya tenaga di dalam tubuh ini tidak menyusut, maka kita harus makan banyak. Menurut pendapatku kau sudah memilih laku yang benar dengan cara yang benar. Setiap hari kau ganti jenis makanan yang tiga itu. Sekali-sekali kau makan bayam rebus saja di samping nasi. Lain kali, ikan air yang kau panggang dengan garam. Kemudian kau makan ketela yang kau rebus dengan gula kelapa." "Dengan demikian aku tidak merasa jenuh dengan satu dua jenis makanan, Ki Marta." "Otakmu cukup terang. Kau dapat melanjutkannya sampai pada suatu saat kau harus melakukan pati-geni." Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, Paksi melanjutkan laku yang dijalaninya. Di samping laku itu, Paksi sekali-sekali juga turun untuk pergi ke pasar. Beberapa orang telah dikenalnya. Anak muda yang hampir setiap hari pergi mengantar dan menjemput ibunya yang berjualan kain lurik, telah dikenalnya dengan akrab pula. Sementara itu, setiap kali Paksi berada di pasar, ia selalu mencari Kinong meskipun hanya untuk berbincang sebentar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan dengan diam-diam Paksi telah mengikuti dan melihat, dimana rumah Kinong itu. Rumah Kinong sebenarnya termasuk rumah yang sedang. Meskipun bukan joglo, tetapi di bagian depan rumahnya terdapat pendapa. Namun rumah itu menjadi tidak terpelihara. Sebuah kandang berdiri di sebelah rumah. Tetapi kandang itu juga sudah kosong. Tidak ada seekor lembupun yang berada di dalam kandang itu. Yang masih nampak berkeliaran di halaman adalah beberapa ekor ayam. Sementara itu, Paksi tidak lagi melihat murid-murid dari perguruan Goa Lampin berkeliaran di pasar. Kecuali jika mereka tidak mengenakan ciri-ciri perguruannya sehingga tidak dapat mengenalinya. Demikian pula para cantrik dari padepokan Sad. Namun dengan demikian Paksi sendiri harus berhati-hati agar tidak menarik perhatian orang lain. Terutama orangorang dari perguruan Goa Lampin. Apalagi jika perempuan yang disebut sebagai mahagurunya itu. Dalam pada itu, laku yang dijalani Paksi sudah hampir sampai pada saatnya genap ampat puluh hari ampat puluh malam. Karena itu, maka Ki Marta Brewokpun kemudian berkata, "Paksi, bersiaplah. Kau akan segera sampai pada puncak laku yang harus kau jalani. Kau harus mengetahui apa yang harus kau lakukan saat kau menjalani pati-geni." "Apa yang harus aku lakukan, Ki Marta?" "Kau akan aku bawa ke satu tempat yang tersembunyi, agar selama kau menjalani laku terakhir, kau tidak terganggu. Kau jangan membawa makanan apapun kecuali pisang, kunyit dan kencur. Selama tiga hari tiga malam, sehingga selama kau menjalani laku itu, kau hanya boleh makan tiga buah pisang." Paksi menyadari, bahwa laku yang harus dijalaninya tentu sangat berat. Tetapi Paksi tidak akan ingkar. Apapun yang
harus dilakukan, akan dilakukan menurut kemampuannya. Namun dalam pada itu Ki Marta Brewokpun berkata, "Tetapi apapun yang kau lakukan, kau tidak boleh melupakan kewajibanmu terhadap Sumber Hidup-mu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Paksi mengangguk-angguk. Sejak kecil ibunya telah memperkenalkannya dengan Sumber Hidup-nya, sehingga Paksi tumbuh di dalam ikatan yang semakin lama semakin erat. Sikap ayahnya yang mendorong Paksi semakin dekat dengan ibunya, membuat Paksi semakin dekat pula dengan Yang Maha Agung sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh ibunya. Ketika Paksi berada di gubuk kecil di kaki gunung itu, maka ia justru merasa hubungannya menjadi semakin erat dengan Sumber Hidup-nya itu. Demikianlah, maka Ki Marta Brewokpun nampak menjadi semakin berhati-hati membimbing Paksi. Laku yang dijalaninyapun menjadi semakin berat. Ia tidak lagi harus melakukan latihan-latihan yang berat di sanggar terbukanya. Tetapi di setiap tengah malam, Paksi duduk di atas sebuah batu yang besar bersama Ki Marta Brewok. Tuntunan yang diberikanpun mulai berkisar. Ki Marta Brewok mulai memperkenalkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam diri Paksi. Ki Marta Brewok mulai mengajarkan, bagaimana Paksi dapat mengungkapkan kekuatan-kekuatan itu. Latihanlatihan mengatur pernafasan sebagai landasan untuk melakukan sikap dan perbuatan selanjutnya dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Ki Marta bahkan menilik setiap gerak yang terjadi di dalam tubuh Paksi. Menjelang hari ke empat puluh maka latihan-latihanpun menjadi semakin khusus, latihan-latihan kewadagan pun
menjadi semakin sedikit. Ki Marta Brewok menganjurkan agar Paksi memanfaatkan waktu yang luang di siang hari untuk melakukan latihan-latihan kewadagan. Dengan demikian, maka Paksipun telah mengalami tempaan lahir dan batin. Dengan segenap kemampuan yang ada, Paksi melakukan segalanya dengan kesungguhan. Akhirnya Paksipun telah sampai pada hari ke empat puluh. Paksi menyadari, bahwa ia akan sampai pada puncak laku yang berat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tetapi Ki Marta Brewok telah mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Lahir dan batin. Ketika senja turun, maka Paksipun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan kemudian. Ia sudah menyediakan tiga buah pisang sebagaimana dipesankan oleh Ki Marta Brewok. Kemudian kunyit dan kencur serba sedikit. Ketika kemudian Ki Marta Brewok itu datang, Paksipun benar benar telah siap. "Nampaknya kau telah mempersiapkan diri dengan baik, Paksi. Sudah waktunya kau menjalani puncak laku yang akan membuka kemungkinan bagimu untuk mengendalikan semua unsur kekuatan di dalam dirimu sesuai dengan kehendakmu. Kekuatan yang bagi banyak orang tersimpan dan tidak dapat dipergunakan karena mereka tidak mengenali diri mereka sendiri seutuhnya, akan dapat kau pergunakan sebaikbaiknya. Tetapi ingat Paksi. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik, yang hidup di dalam lingkungan sesamanya. Karena itu, jika Yang Maha Agung memperkenankan kau memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain, kau dapat mempergunakannya dengan sebaikbaiknya sesuai dengan martabat kita. Kita tidak boleh
mempergunakannya dengan semena-mena. Bukan saja atas sesama, tetapi juga atas lingkungan kita. Karena kita dan lingkungan kita adalah satu keutuhan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi." Paksi mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Ya, Ki Marta. Aku mengerti." "Nah, baiklah. Sekarang, ikut aku." Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata selanjutnya, "Tutup pintu rumahmu. Simpanlah barang-barang terpentingmu. Benahi alat-alat dapurmu. Kita akan pergi selama tiga hari tiga malam." Demikianlah, maka Paksipun kemudian telah mengikuti Ki Marta Brewok meninggalkan gubuknya. Mereka berjalan di dalam kegelapan, melalui lereng dan tebing gunung yang rumit yang belum pernah dikenal oleh Paksi. Namun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ betapapun gelapnya, maka Paksi yang sudah terlatih dengan baik, masih mampu melihat keadaan di sekelilingnya. Ia masih dapat mengenali beberapa ciri yang akan dapat diingatnya jika ia harus berjalan melalui tempat itu lagi. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia harus menuruni sebuah tebing. Sebelum ia sampai ke tempat yang dituju, telinganya yang juga sudah menjadi semakin tajam telah mendengar gemuruhnya air terjun. Beberapa saat kemudian, Paksi telah sampai ke sebuah aliran sungai. Dalam keremangan malam ia melihat air terjun dari ketinggian. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi suaranya yang bergelora berkepanjangan terdengar seirama dengan hembusan angin di lereng gunung. "Kita akan bersembunyi dalam goa di belakang air terjun itu. Dengan demikian, maka kau tidak akan terganggu selama tiga hari tiga malam penuh."
Paksi mengangguk kecil. Demikianlah, maka merekapun kemudian menyusuri lereng berbatu-batu padas mendekati air terjun itu. Tetapi Paksi tidak melihat sebuah goa di sekitar air terjun itu. Namun Paksi mengira, bahwa ketajaman penglihatannya saja yang masih belum dapat menangkap mulut goa yang dimaksud oleh Ki Marta Brewok. Tetapi ternyata dugaan Paksi keliru. Ki Marta Brewok telah membawa Paksi menembus air terjun itu, karena mulut goa itu berada di belakangnya, tertutup oleh air yang meluncur dari ketinggian. Dengan demikian, maka keduanya menjadi basah kuyup ketika mereka kemudian berdiri di sebuah mulut goa. "Marilah," berkata Ki Marta Brewok. Namun iapun mengingatkan pula, "Juga di dalam goa ini terdapat banyak ular dari berbagai jenis. Tetapi jika kau sudah minum obat itu, maka kau tidak usah menjadi cemas." Paksi tidak menjawab. Ia melangkah dengan hati-hati di belakang Ki Marta Brewok.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Di dalam goa itu gelap terasa menjadi semakin pekat. Tetapi perlahan-lahan penglihatan Paksi yang tajam mulai membiasakan diri dengan kegelapan itu. Meskipun sangat samar, namun Paksi mulai dapat melihat isi goa itu. Yang nampak tidak lebih dari bebatuan. Batu-batu yang tajam menggantung dan yang lain mencuat dari bawah. Keduanya melangkah semakin lama menjadi semakin dalam. Titik-titik air menetes dimana-mana sehingga di bawah kaki mereka, air itu berkumpul dan mengalir keluar. Beberapa saat kemudian, Ki Marta Brewok telah membelok memasuki cabang goa yang lebih kecil, memanjang menusuk perut bumi.
Di ujung cabang goa yang dalam itulah kemudian Ki Marta Brewok memerintahkan Paksi untuk mencari tempat duduk. "Di sebelah ini ada sebuah ruang yang agak luas," berkata Ki Marta Brewok. "Nanti kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi itu tidak penting. Kau untuk sementara tidak memerlukan ruangan yang luas. Kau hanya memerlukan tempat duduk yang cukup memuat tubuhmu saja, karena selama tiga hari tiga malam, kau akan melakukan latihan-latihan dengan sifat halusmu serta pemahaman-pemahaman terpenting dari laku yang kau jalani." Paksi mengangguk kecil. -ooo00dw00ooo-
Jilid 05
DEMIKIANLAH, maka Paksi mulai menjalani puncak lakunya. Bersama Ki Marta Brewok ia berada di dalam goa yang gelap pekat. Namun Paksi sama sekali tidak merasa terganggu pernafasannya. Ia yakin bahwa ada lubang-lubang udara yang membuat ruangan-ruangan di dalam goa itu tetap mendapat udara yang segar meskipun ruangan itu tetap saja terasa pengap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ternyata laku yang dijalani Paksi memang berat. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus dan bahkan kemudian pemusatan nalar budi yang harus dilatihnya tataran demi tataran. Dengan tekun dan bersungguh-sungguh pula orang yang menyebut dirinya Ki Marta Brewok itu memberikan tuntunan setapak demi setapak. Sekali-sekali ia bersikap lembut seperti kepada kanakkanak yang baru belajar berjalan, namun
kadang-kadang ia bersikap keras. Bentakan-bentakan kasar telah menyengat telinga Paksi yang sedang memusatkan nalar dan budinya itu. Namun dengan dengan perlahan-lahan Paksi telah memasuki sikap samadi. Laku yang dijalani tidak lagi bersifat semata-mata wadag. Paksi yang duduk di atas batu karang di hadapan Ki Marta Brewok itu mulai membayangkan gerakangerakan perlahan-lahan sebagaimana diungkapkan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali, namun kemudian Paksi harus dapat menuntun penglihatan batinnya sendiri. Diucapkannya apa yang telah diucapkan oleh Ki Marta Brewok tentang makna dari unsur-unsur gerak itu serta watak dan sifatsifatnya. Kekuatan dan kelemahannya serta beberapa perbandingan unsur-unsur gerak yang sejajar. Dengan demikian, maka beberapa unsur gerak yang paling rumit telah dilakukan tanpa kesertaan wadagnya. Namun unsur-unsur itu bagaikan telah terpahat di dinding jantungnya, sehingga tidak akan pernah dilupakannya. Demikianlah terjadi untuk waktu yang terasa panjang. Panjang sekali. Begitu banyak unsur-unsur yang harus dikuasainya. Bukan sekedar kemampuan untuk melakukannya, tetapi juga penguasaan sampai ke kedalamannya. Waktu yang tiga hari tiga malam itu terasa betapa panjang. Tetapi yang panjang itu rasa-rasanya masih belum cukup untuk menampung segala-galanya. Di hari pertama dan kedua, Paksi masih mendapat kesempatan untuk beristirahat di tengah malam untuk makan sebuah pisang dan minum beberapa teguk air yang menetes
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dari ujung-ujung batu karang yang mencuat. Namun kemudian pada hari yang ketiga, Paksi harus memasuki
puncak dari segala laku yang telah dijalaninya. Demikian ia duduk di tempatnya, maka Ki Marta Brewok telah menuntunnya untuk memasuki alam halusnya. Paksi yang duduk di atas sebongkah batu padas dengan mata terpejam itu seakan-akan telah melihat dirinya sendiri bangkit berdiri. Kemudian dengan mendengarkan perintahperintah Ki Marta Brewok, Paksi Pamekas melihat dirinya sendiri menjalani sikap dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali dan satu unsur gerak ke unsur gerak yang lain. Sekali dua kali ia melihat dirinya sendiri mengulangi dan mengulangi. Kemudian melakukan tingkat selanjutnya dan selanjutnya. Tingkat demi tingkatpun telah dijalani. Menurut penglihatan batin Paksi yang wadagnya masih tetap duduk di atas batu karang itu, ia melihat dirinya melakukan latihan yang semakin berat. Setiap gerak mengandung tenaga yang semakin lama menjadi semakin besar dan semakin kuat, sehingga di ujung dari puncak laku yang dijalaninya itu, Paksi melihat dirinya sendiri mampu mengungkapkan inti kekuatan yang terangkum di dalam diri dan kemudian mengangkat ke permukaan. Demikian puncak laku itu dijalani, maka terasa betapa seluruh tubuh Paksi itu bergetar. Ia melihat dirinya sendiri bergetar, namun ia mulai merasakan wadagnyapun bergetar. Perlahan-lahan mata batin Paksi melihat dirinya sendiri itu bergerak perlahan-lahan seakan-akan melayang tanpa batasan bobot dan ruang. Batu-batu yang tajam bergayutan serta yang mencuat dari permukaan, sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia masih sempat melihat dirinya itu semakin dekat pada wadagnya yang semula bagaikan terlupakan adanya. Namun tiba-tiba terjadi benturan yang sangat dahsyat. Dirinya sendiri yang nampak di mata hatinya itu seakan-akan lebur dan luluh di dalam ujud kewadagannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tubuh Paksi benar-benar telah bergetar. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi ujud wadagnya. Namun terasa betapa kesadaran dirinya menjadi baur. Paksi masih mendengar suara Ki Marta Brewok, "Paksi, jangan tenggelam ke dalam kesamaran dirimu. Kau harus segera bangun dari samadimu. Kau harus segera kembali kepada kesadaran unsur wadagmu sebelum wadagmu kehilangan arti sama sekali dan tenggelam ke dalam kebekuan." Paksi merasakan goncangan yang keras pada wadagnya, sehingga dengan serta-merta Paksipun telah terbangun dan serasa telah terhempas kembali dari dunia pemusatan nalar budinya yang terdalam. Tiba-tiba saja Paksi ak