Itu adalah Ana! Itu adalah Ana, Vera! Di sinilah aku pernah melihatnya sebelumnya, dan berkalikali. Selama ini aku bertanya-tanya apakah melihat dirinya dalam sebuah film atau bertemu dengannya dalam mimpi. Aku bahkan membayangkan bahwa mungkin aku telah bertemu dengannya dalam sebuah realitas lain. Tetapi, di sinilah ia berada. Di sini Ana berbaring di atas sebuah sofa panjang dalam studio milik Goya, di sini ia tergantung di dinding Prado, sementara turis-turis yang ingin tahu berkeliaran di sekitarnya. Saat Jose menggenggam lenganku, aku terbawa kembali ke Air Terjun Bouma di Taveuni, ketika sekilas aku melihat tubuh Ana. Di sanalah aku menyadari bahwa aku hanya mengenali mukanya, dan kini aku mengerti mengapa. Ana jauh lebih langsing daripada maja milik Goya, dan mungkin itulah mengapa aku tidak pernah menghubungkan mereka, mengapa aku tersesat. Tetapi, bahkan ketika aku melihat Ana mengenakan gaun merah, aku mendapat dua pikiran sekaligus: satu adalah keyakinan bahwa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, sementara yang lain mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kini, banyak hal menjadi jelas. John menyinggung tentang internet, dan tentunya ia tidak mendapat banyak kesulitan dalam mencari gambar karya-karya terbesar Goya. Kemudian, ia menyarankan agar aku mengunjungi Prado. Tetapi, mengapa ia tidak menceritakan segalanya kepadaku saat di Fiji? Kini aku dan Jose berdiri di hadapannya, dan kami mundur beberapa langkah. Aku terkejut, aku kewalahan, aku ketakutan. Jika saja kedua lukisan itu tidak dibuat dua abad yang lalu, aku pasti bersumpah Analah yang menjadi modelnya, setidaknya sebagai wajah sang wanita. Dan ada hal lain lagi. Ana tidak suka dikenali, dan jelas Jose sama sekali membenci hal itu. “Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol. Itu kenyataan, Frank. Bahkan di Madrid.” Jawaban itu tertanam dalam ingatanku. Sekarang, saat berdiri di sini, aku dapat membayangkan betapa menyebalkan bagi Ana untuk terusmenerus dikenali. Tentunya sulit dianggap sebagai wanita yang hidup di Spanyol dua ratus tahun yang lalu. Keadaan semakin buruk ketika John Spooke meletakkan jarinya di dahi Ana dan mengatakan, “Dan ruh yang ini bernama Maya!” Saat itu, John tengah memikirkan filsafat Vedanta, tentang bayang-bayang tak nyata, tentang ilusi dan tipuan, tetapi mungkin ia juga memikirkan maja milik Goya, karena bukankah ia juga menggambarkan Ana sebagai sebuah “karya besar”? Sebenarnya, aku berdiri di sana di Prado sambil menyaksikan ilusi terbesar yang pernah dijalankan kepada diriku. Sebuah pikiran mengerikan tebersit dalam kepalaku. Mengapa Ana terkena serangan tiba-tiba itu di Maravu? Dan mengapa ia meninggal beberapa bulan kemudian? Apakah ada hubungan antara kemiripannya dengan maja milik Goya dan fakta bahwa ia meninggal pada usia yang sangat muda? “Ia benar-benar mirip.” Jose menggelengkan kepalanya. “Itu memang dia,” ujarnya. “Tapi, itu tidak mungkin.” “Tentu saja itu tidak mungkin. Tetapi ini adalah Ana.” Kami berdiri lama sekali di belakang ruangan itu sambil berbincang-bincang pelan. “Tahukah engkau sejarah dari lukisan-lukisan ini?” tanyanya. “Tidak,” ujarku. Kurasa, aku masih belum pulih dari rasa terkejut. Ia melanjutkan.
“Tidak ada yang benar-benar tahu, tidak yang sebenarnya, tetapi memang hanya sedikit yang diketahui.” Aku tidak sabar. “Dan apakah itu?” “‘La Maja Desnuda1 pertama kali disebutkan oleh Agustin Cean Bermudez dan pemahat Pedro Gonzales de Sepulveda, yang mendeskripsikannya pada 1800, saat lukisan itu tergantung di sebuah lemari pribadi dalam istana milik Manuel Godoy bersama-sama dengan beberapa sketsa klasik lainnya yang menggambarkan ketelanjangan, seperti ‘Venus dan Cupid’ karya Velazquez bersama sebuah Venus abad ke-16 dari Italia. Kedua lukisan ini adalah hadiah dari Duchess of Alba kepada Godoy.” “Godoy memiliki minat khusus terhadap lukisan telanjang?” “Dapat dikatakan begitu. Dalam lemari ini pula ia memiliki sebuah tiruan patung Venus karya Titian. Namun, pada saat itu, lukisan mengenai wanita tanpa busana dilarang, walaupun sketsa-sketsa yang menggambarkan makhluk-makhluk mitologi yang dibuat lebih idealis seperti Venus sedikit lebih dapat diterima dibandingkan ‘Maja Telanjang’.” “Mengapa?” “Seperti yang dapat kau lihat, maja milik Goya sama sekali tidak tampak seperti makhluk mitologi. Ia adalah seorang wanita hidup yang terdiri dari darah dan daging, dan tentu saja, dilukis dari aslinya. Oleh karenanya, lukisan ini lebih menjurus atau bobrok, dapat dikatakan daripada Venus karya Titian atau Velazquez, contohnya. Lukisan ini dianggap sebagai pornografi.” “Oh, begitu.” “Baik Carlos III maupun Carlos IV mempertimbangkan untuk menghancurkan semua lukisan seperti itu dari koleksi seni kerajaan, walaupun Godoy tentunya telah dianugerahi suatu hak istimewa untuk dapat menyimpan lukisan-lukisannya, tetapi hanya di dalam apartemen pribadinya.” “Apakah ia juga memiliki ‘Maja yang Berpakaian’?” Ia mengangguk. ‘“La Maja Vestida’ kemungkinan besar dilukis setelah ‘La Maja Desnuda’ karena karya ini pertama kali disebut dalam sebuah katalog pada 1808, sebuah katalog yang disusun oleh seorang pelukis Prancis, Frederic Quilliet, yang merupakan agen Jose Bonaparte. Di situlah untuk pertama kalinya ‘La Maja Vestida’ dihubungkan dengan ‘La Maja Desnuda’.” Pada saat ini ia harus merendahkan suaranya untuk mencegah ceritanya terdengar oleh orang lain. “Apakah engkau tahu apa arti maja? Goya melukis beberapa dari mereka.” “Wanita desa?” aku menebak. “Atau seorang gadis petani muda, seorang wanita yang menarik dan berpakaian warna-warni. Persamaannya bagi lelaki adalah majo.” “Mungkinkah Ana disebut sebagai maja?” Ia menggelengkan kepala dengan tegas. “Ana adalah seorang gipsi, seorang gitana. Lagi pula, sangat diragukan bahwa ‘Maja’ adalah judul yang diberikan oleh Goya. Ketika Ferdinand VII menyita harta
milik Godoy pada 1813, sebuah katalog mendeskripsikan subjek dari kedua lukisan itu sebagai ‘Gitanas’, wanita-wanita gipsi, dan itu agak berbeda dari maja. Pada 1808 pun wanita dalam kedua lukisan itu disebut sebagai seorang gipsi. Kita tidak boleh melupakan bahwa 1808 hanya berjarak beberapa tahun setelah karyakarya itu dibuat, dan sang pelukis sendiri masih hidup, dan baru bertahun-tahun kemudian ia harus melarikan diri dari Spanyol ke Prancis. Wanita itu pertama kali dianggap sebagai seorang maja pada 1815. Sejak saat itu, judul itu terus menempel pada kedua lukisan itu.” Jose berhenti sejenak, tetapi aku memberinya isyarat agar ia melanjutkan. Aku tidak dapat mengerti arti penting apakah wanita dalam kedua lukisan itu adalah seorang maja atau seorang gitana. Hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa sesungguhnya Goya melukis sebuah wajah dua abad penuh sebelum wajah itu terlahir. “Pada Maret 1815,” ia melanjutkan, “Goya dipanggil ke hadapan Dewan Inkuisisi untuk mempertanggungjawabkan kedua lukisan itu. Ia ditanya apakah ia yang melukis keduanya, alasannya melakukan hal itu, siapa yang menyuruhnya, dan apa tujuannya. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah dijawab, dan hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti siapa yang memerintahkan pembuatan kedua lukisan itu.” Kerumunan di sekitar maja telah menipis, dan aku mendekat untuk sekali lagi melihat dengan lebih jelas. “Tidak sulit untuk melihat mengapa engkau mempelajari sejarah kedua lukisan ini dengan begitu teliti “Seperti yang telah kusebutkan tadi, ada alasan kuat untuk memercayai bahwa versi yang telanjang diciptakan terlebih dulu. Kedua lukisan itu tergantung di istana Godoy, dan ia, walau bagaimanapun, tidak sepenuhnya kebal terhadap Inkuisisi. Mungkin maja yang mengenakan pakaian dilukis untuk digantung di atas versi yang telanjang. Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kedua lukisan itu diatur sebagai sebuah lelucon, dengan menunjukkan versi yang mengenakan pakaian terlebih dulu dan kemudian, dengan menggunakan semacam mekanisme, memperlihatkan versi yang telanjang. Menelanjangi wanita memang sebuah kegemaran yang sangat tua.” Sekali lagi aku merasa kembali berada di Air Terjun Bouma. Dengan sengaja aku telah mengintip melalui jari-jari yang menutup mataku. Ia melanjutkan. “Sejak 1836 hingga 1901, kedua lukisan ini tergantung di Akademi San Fernando, walaupun yang telanjang tidak pernah dipertontonkan. Sejak 1901, keduanya dipindahkan ke Prado, tetapi bahkan di sini pada awalnya ‘Maja Telanjang’ ditampilkan dalam sebuah ruangan terpisah dengan izin masuk yang terbatas.” Aku tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak karena walaupun aku mendengarkan semua yang ia katakan, aku hanya dapat memikirkan Ana. “Apakah kita tahu siapa yang menjadi model bagi lukisan-lukisan itu?” aku bertanya. Ia mengangkat alis. “Atau model-model,” ujarnya. Aku melihat kedua lukisan itu lagi. “Mereka persis sama.” “Pergilah mendekat dan teliti keduanya dengan baik sebelum engkau memutuskan.” Aku melakukan apa yang ia suruh. Mungkin “Maja Berpakaian” telah dikerjakan dengan lebih terburu-buru dan lebih tidak berhati-hati dibandingkan yang
telanjang. Sang subjek tampak lebih arogan dan terlukis lebih baik ketimbang saudarinya yang telanjang. Jika “Maja Telanjang” telah terlebih dulu diabadikan ke atas kanvas, mungkin Goya cepat-cepat menciptakan versi yang mengenakan pakaian untuk menutupi yang telanjang. Tetapi, mereka adalah wanita yang sama, dan keduanya adalah Ana, bahkan jika hanya kepalanya yang milik Ana, hanya wajah dan rambut Ana. Lalu ada tonjolan kecil itu, tentu saja. Kini aku dapat melihat dengan jelas betapa pertama-tama Goya telah melukis tubuh telanjang seorang wanita, dan kemudian menambahkan wajah wanita lain pada tubuh itu. Dengan sedikit kesabaran, semua orang dapat melihat bahwa sosok wanita itu terdiri dari dua bagian, tubuh dan kepala, dan hal ini tampak jelas terutama pada wanita yang telanjang. Memang kepala Ana yang kulihat saat ini, tetapi bukan tubuh Ana. Seolah-olah kepala Ana telah dicangkokkan ke atas tubuh telanjang itu. Aku berjalan kembali ke Jose. “Ia menggunakan dua orang model,” ujarku. “Satu untuk tubuhnya dan satu untuk kepala.” Ia mengangguk, tetapi tanpa tersenyum. Hal ini bukanlah permainan bagi Jose. “Model telanjang itu mungkin adalah seorang wanita terhormat,” ia berkata, “sehingga jelas Goya tidak dapat melukis wajahnya.” Maka, ia pun melukis wajah Ana, pikirku. “Dan apakah kita mengetahui apa pun tentang wanita terhormat ini?” tanyaku. “Ada beberapa teori. Salah satu yang populer adalah bahwa lukisan ini diperintahkan dibuat oleh Godoy, yang merupakan favorit sang ratu, dan bahwa sang model-model yang telanjang adalah wanita simpanannya, Pepita Tudo. Jika memang ini yang terjadi, semakin pentinglah untuk menutupi identitasnya. Tetapi, ada juga teori lain.” “Lanjutkanlah!” “Kita tahu bahwa Duchess of Alba memiliki hubungan dekat dengan Goya selama beberapa waktu, dan bahwa selama 1796 hingga 1797, yaitu saat pembuatan ‘Maja Telanjang’, Goya tinggal di tanah pedesaannya di Sanlucar de Barrameda di dekat muara Guadalquivir. Sejak tahun-tahun pertama abad ke-19, terdengar desas-desus berkepanjangan bahwa Duchess of Alba sendirilah yang menjadi model bagi ‘La Maja Desnuda’. Desas-desus ini mungkin muncul dari orang pertama, dan semakin tua sebuah desas-desus, semakin banyak alasan untuk memercayai kebenarannya.” “Oh, begitu,” aku berkata. “Oh, begitu!” “Jika seseorang meneliti lukisan-lukisan Goya lainnya yang menggambarkan sang Duchess, seperti potret dirinya yang terkenal dari 1797, atau lukisan sang Duchess tengah menata rambutnya, juga dari 1796 atau 1797, dari bentuk tubuhnya tidak ada yang akan mencegahnya menjadi model bagi ‘La Maja Desnuda’.” “Apakah mereka memiliki hubungan erotis?” “Hal itu tidak diketahui, walaupun banyak hal yang menunjukkan bahwa Goya tidak akan berkeberatan untuk itu. Dalam sebuah surat yang ditulis pada 1795, ia menceritakan sang Duchess yang mengunjunginya di studio untuk dirias. Dan sang pelukis menambahkan: ‘Hal ini memberiku lebih banyak kesenangan daripada melukisnya di atas kanvas.’ Dalam sebuah potret cat minyak sang Duchess di Sanlucar, ia melukisnya mengenakan pakaian hitam dengan sebuah jubah pendek, dan sang Duchess mengenakan dua buah cincin bertuliskan ‘Alba Goya’. Dan terlebih lagi, lukisan itu menggambarkan sang Duchess dengan tegas dan otoritatif menunjuk ke bawah ke pasir yang di situ tertulis ‘Solo Goya’. Tak disangkal lagi, Duchess of Alba adalah seorang wanita yang cantik dan menarik, dan ia
menjadi janda saat Duke of Alba, yang jauh lebih tua darinya, meninggal di Sevilla pada 9 Juni 1796.” “Jadi, apa yang mencegah mereka memiliki hubungan erotis?” “Lukisan sang Duchess berada dalam kepemilikan pribadi Goya, sehingga alasannya mungkin lebih karena fantasi dan harapan daripada kenyataan. Walaupun sang Duchess sangatlah liberal, aku menduga ia tidak akan mengingini sebuah potret dirinya yang begitu angkuh. Dan lagi, seberapa besar sih kemungkinan seorang yang relatif cantik berusia tiga puluh empat akan jatuh cinta kepada seorang pria sedikit renta berusia lima puluh tahun, yang juga tuli total?” “Ya, memang Goya menderita suatu penyakit ii “Walaupun demikian, tidak ada yang menutup kemungkinan bahwa sang Duchess mungkin adalah model bagi ‘La Maja Desnuda’. Kenyataan bahwa sang pelukis telah begitu sering melukisnya menyiratkan bahwa Goya hampir sepenuhnya bebas untuk datang dan pergi sesuka hati dalam lingkungan pribadi sang Duchess. Tetapi, fakta sesungguhnya mengenai hubungan antara Goya dan sang Duchess tidak akan pernah diketahui dan sudah tidak lagi relevan. Untuk sementara, mereka adalah kawan yang sangat dekat.” Sambil mengisi waktu, aku terus-menerus menatap wajah sang wanita. Aku tidak dapat melepaskan Ana dari benakku. “Hingga sekarang kita hanya membicarakan siapakah orang yang sebenarnya menjadi tubuhnya,” ujarku. “Kita belum membicarakan sedikit pun tentang siapa yang mungkin menjadi model bagi wajahnya.” Aku tida k bisa yakin apakah aku menangkap secercah kecil senyuman saat ia berkata, “Itu adalah sebuah cerita yang jauh lebih panjang, dan juga lebih rumit. Tetapi, lebih dari itu, juga jauh lebih sulit untuk dipahami. Mari kita pergi.” Aku mengangguk. “Apakah engkau sudah cukup melihat?” Aku mendekati kedua lukisan itu untuk terakhir kalinya. Aku menatap wajah Ana. Ekspresinya persis sama seperti yang begitu sering kulihat di Taveuni dengan bibir tipisnya yang terkatup rapat dan mata hitam yang menatapku dengan curiga. Aku menemani Jose keluar dari koleksi Goya, menuruni tangga menuju lantai dasar dan keluar ke Plaza de Murillo. Ia berjalan dengan mantap melintasi lapangan ke arah pintu masuk Kebun Raya. Ia mengeluarkan 200 peseta dan membeli sebuah tiket, dan aku pun berbuat yang sama. Aku hanya mengikuti di belakangnya. Kami mulai berjalan melalui Kebun Raya dan segera diserang oleh simfoni berbagai aroma tanam-tanaman dan pohon-pohonan yang kini, di awal Mei, tengah mengembang dengan sempurna. Burung-burung pun dalam puncak kesibukan mereka, hampir tidak mungkin untuk membedakan satu nyanyian burung dari yang lainnya. Pada awalnya, Jose berjalan beberapa langkah di depan, tetapi setelah beberapa lama, ia membiarkanku menyusulnya. “Ana suka sekali pada oasis ini,” ia berkata tanpa menoleh untuk melihat ke arahku. “Setiap kali kami berada di Madrid, ia berkeras untuk berjalan-jalan ke sini bersamaku, setidaknya sekali sehari, tanpa peduli musim apa. Jika aku menghadiri rapat, ia mungkin akan menghabiskan setengah hari di sini sendirian, dan jika rapatku dimulai pukul sepuluh, mungkin baru berjam-jam kemudian aku datang menjemputnya untuk makan siang. Ia akan selalu menemukan sesuatu yang
baru. Mencari dirinya di Kebun Raya ini adalah semacam permainan kami. Di manakah aku akan dapat menemukannya hari ini? Berapa lama aku harus mencari? Dan lebih penting lagi: berita apa yang akan ia bawa untukku? Jika ia melihatku duluan, terkadang ia menghibur diri dengan bersembunyi dariku dan bahkan membuntutiku sementara aku berkeliling mencari dirinya. Satu demi satu, ia mempelajari nama pohon-pohon dan semak-semak yang ada, dan pada akhirnya ia tahu persis di pohon yang mana setiap burung bersarang.” “Tetapi, engkau kebanyakan bermukim di Sevilla?” Ia mengangguk, kemudian menggelengkan kepala dan berkata, “Tujuh atau delapan tahun yang lalu, aku mulai mengerjakan sebuah serial televisi mengenai sejarah para gipsi di Andalusia. Aku ingin mencoba memunculkan sesuatu yang baru mengenai evolusi kebudayaan flamenco dalam kuali kuno tempat bercampurnya tradisi Iberia, Yunani, Romawi, Kelt, Moor, Yahudi, dan tentu saja, Kristen. Begitulah bagaimana aku bertemu Ana di Sevilla; ia adalah seorang penari flamenco yang luar biasa dan telah menjadi seorang bailaora yang tersohor sejak berusia enam belas tahun. Hanya dalam waktu beberapa minggu, kami sudah tak dapat dipisahkan, dan sejak saat itu, kami tidak pernah menghabiskan satu malam pun terpisah.” Aku masih begitu tersihir oleh kemiripan yang begitu luar biasa antara Ana dan maja milik Goya sehingga mengalami kesulitan menyerap apa yang ia ceritakan. Tetapi, ia terus melanjutkan tanpa menatapku. “Namanya adalah Ana Maria. Itulah yang tertera pada papan iklan, dan begitulah ia dipanggil oleh seluruh keluarganya. Aku memanggilnya Ana hanya sebagai panggilan sayang khususku.” “Dan ia juga memiliki nama belakang, tentunya?” Ia mengangguk mantap, seolah-olah ia telah menunggu pertanyaan itu dilontarkan. “Maya,” ujarnya. “Apa katamu?” “Nama lengkapnya adalah Ana Maria Maya.” Aku benar-benar tak mampu berkata-kata. Tidak hanya setiap detail dari Ana menyerupai maja karya Goya, tetapi ia juga bernama Maya. Sekali lagi aku berada kembali di Taveuni ketika John Spo-oke meletakkan jarinya di alis Ana, menyatakan dengan caranya yang tiada duanya bahwa ia telah berhasil menemukan bahwa nama Ana adalah Maya. Jose tidak dapat menerima hal itu. “Ini tidak mungkin benar,” ujarku. Sekali lagi ia mengangguk. “Nama itu cukup umum di antara para seniman flamenco dari Andalusia. Yang paling terkenal, tentu saja, adalah sang baitaor Mario Maya. Tetapi putrinya, Belen Maya, juga memiliki reputasi, begitu pula keponakannya, Juan Andres Maya. Dinasti flamenco mereka sering disebut sebagai ‘Los Maya’. Ana datang dari keluarga Maya yang lain, atau setidaknya sebuah cabang yang lain.” “Apakah kata itu memiliki arti?” “Maya adalah nama rempah-rempah dari famili Compositae, bunga aster atau Bellis perennis. Aku tidak tahu pasti bagaimana bunga cantik itu mendapatkan nama maya dalam bahasa Spanyol, tetapi mungkin itu adalah sebuah perubahan dari nama bulan mayo. Di beberapa negara, bunga aster juga dikenal sebagai ‘mayflower1, bunga bulan Mei. Nama Latinnya itu menjelaskan bahwa tanaman itu berbunga hampir sepanjang tahun. Terlebih lagi, dalam bahasa Spanyol, maya juga dapat berarti gadis muda, ratu bulan Mei, atau wanita berkostum atau bertopeng.”
“Hampir sama dengan kata yang satu lagi,” aku membandingkan. “Hampir sama artinya dengan maja.” “Tepat sekali. Dan kedua kata itu memiliki asal-usul Indo-Eropa yang sama. Engkau akan menemukan akar yang sama dari kata untuk bulan Mei atau untuk dewi Romawi Maia, dalam semua turunan dari kata bahasa Latin magnus atau maior, sama seperti Plaza Mayor, dalam turunan dari kata bahasa Yunani megas, dalam berbagai kata Indo-Eropa untuk much, seperti kata maha dalam bahasa Sanskerta.” “Seperti mahatman, sang jiwa dunia?” Ia mengangguk. “Itulah yang begitu banyak dibicarakan oleh Laura di Maravu,” aku berkomentar. “Ia membicarakan Gaia dan maya, dan di sini di Spanyol menjadi Goya dan maja. Rasanya hampir seperti ada semacam hubungan.” “Segalanya berhubungan,” ujar Jose, dan ketika ia mengatakan hal itu seolah-olah aku dapat mendengar suara Laura lagi. Ia masih tidak melihat ke arahku. Sambil berjalan mengelilingi salah satu air mancur yang terbuat dari marmer, ia berkata, “Ana Maria adalah putri bungsu dalam sebuah keluarga gipsi terhormat yang telah tinggal di distrik Triana di Sevilla sejak awal abad ke-19; dan orangtuanya yang malang masih tinggal di sana, begitu pula dua dari kakek dan neneknya. Salah satu cabang dari keluarganya dikabarkan merupakan keturunan dari seorang penyanyi cante jondo terkenal, El Planeta, pencipta dari apa yang kemudian menjadi gaya menyanyi khusus Aliran Triana. Ia aslinya berasal dari Cadiz dan hidup mulai dari sekitar 1785 hingga 1860. Mungkin ia mendapatkan namanya karena konon ia memercayai pengaruh bintang dan planet-planet; yang jelas, lagu-lagunya banyak sekali menyebutkan tentang benda-benda angkasa. Namanya mungkin juga merupakan sebuah referensi dari dirinya sebagai seorang ‘pengembara’ atau seorang ‘bintang yang mengembara’. Ia tiba di Sevilla pada awal abad ke-19 dan bekerja di sebuah peleburan logam di Triana, yang merupakan tempat bekerja yang sangat umum bagi kaum gipsi pada masa itu. Menurut keluarganya, ia adalah kakek buyut Ana, walaupun aku tidak dapat menemukan adanya bukti selain dari tradisi keluarga itu sendiri. Tetapi, setelah tujuh generasi, tentunya kini ia memiliki beberapa ratus keturunan, mungkin beberapa ribu, dan mengapa tidak mungkin Ana adalah salah satu di antaranya?” “Lalu?” “Hanya dalam beberapa minggu, kami menjadi sangat terikat satu dengan yang lain, sangat terikat, engkau mengerti, tidak seperti biasanya. Dan ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan hasil.” “Mengapa tidak?” “Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayangbayanginya selama ia hidup.”
“Ini benar-benar menarik.” Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu— batu dan menatap mataku lurus-lurus. “Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi.” Kami mulai berjalan lagi. “Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya. Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco. Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak.” “Bagaimana ia menerima semua ini?” Ia mendengus marah. “Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak, bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar— ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan hasil.” “Mengapa tidak?” “Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayangbayanginya selama ia hidup.” “Ini benar-benar menarik.” Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu— batu dan menatap mataku lurus-lurus. “Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi.” Kami mulai berjalan lagi.
“Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya. Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco. Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak.” “Bagaimana ia menerima semua ini?” Ia mendengus marah. “Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak, bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar— ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan hasil.” “Mengapa tidak?” “Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayangbayanginya selama ia hidup.” “Ini benar-benar menarik.” Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu— batu dan menatap mataku lurus-lurus. “Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi.” Kami mulai berjalan lagi. “Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya. Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak.” “Bagaimana ia menerima semua ini?” Ia mendengus marah. “Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak, bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar-benar ia suka.” “Maka, kalian pergi ke Fiji?” Ia membiarkan pertanyaan itu menggantung. “Kemudian, engkau dan aku bertemu di Salamanca,” ujarnya. “Ana dan aku saat itu tinggal di Madrid, tetapi kami tengah menghabiskan beberapa hari di Salamanca untuk mengunjungi keluargaku. Musik flamenco tiba-tiba mulai diputar di kafe di Plaza Mayor itu. Yang memainkan adalah grup yang bekerja dengan Ana di Sevilla beberapa tahun sebelumnya. Aku dapat melihat bagaimana musik itu mulai memikat tubuhnya. Ia mulai mengetukngetukkan tangannya ke atas meja dan menjentikkan jarinya, dan akhirnya aku menyuruhnya untuk berhenti, aku berkata bahwa tidak seharusnya ia menyiksa diri tanpa guna. Itulah ketika ia tiba-tiba melompat berdiri dan berkata bahwa ia ingin pulang ke Sevilla. Aku khawatir tidak akan dapat mencegahnya menari, tetapi akhirnya kami mengunjungi Sevilla dan tinggal dengan orangtua Ana selama beberapa hari di Triana. Kami belum ke sana selama enam bulan, dan selama beberapa hari kami melakukan perjalanan panjang ke Taman Maria Luisa, Plaza de Espana, Taman Alcazar, dan kawasan lama Yahudi di Santa Cruz. Tetapi, ia tidak mau ikut denganku ke Plaza Santa Cruz, tempat selama beberapa tahun terakhir ia menari setiap malam. Dari sana pulalah ia dilarikan dengan ambulans, saat terakhir kali melakukan pertunjukan. Ia tidak pernah mengatakan apa pun mengenai hal itu, mengenai penyakit jantungnya maupun flamenco. Tetapi, setiap kali kami mendekati lapangan itu, dengan salib tua dari besi yang menandai tempat pernah berdirinya sebuah gereja yang kental dengan tradisi, ia akan menarikku memasuki sebuah gang menuju arah lain.” Kami tiba di sisi lain Kebun Raya itu di mana sebuah lereng penuh tanaman membatasi kebun itu dengan Claudio Moyano dan barisan panjang toko-toko buku bekas. Bertahun-tahun lalu, di salah satu toko itu, engkau pernah membeli sebuah buku tua terjemahan, Victoria, karangan Hamsun. Jose duduk di atas air mancur marmer, dan aku mengikuti perbuatannya. “Kami berdua sangat menyukai Taman Alcazar,” ia melanjutkan. “Dan akulah yang memperkenalkan Ana pada taman itu karena walaupun dibesarkan di Sevilla, ia belum pernah menginjakkan kaki ke dalamnya sebelum aku membawanya ke sana. Sejak saat itu, tempat itu menjadi tempat pelarian khusus bagi Ana di Sevilla, dan terkadang kami berjalan-jalan di sana setidaknya dua kali seminggu. Nah, lalu datanglah hari itu. Pada hari ketiga kunjungan kami ke Sevilla, kami tengah melakukan tur di taman-taman itu, sebagaimana begitu sering kami lakukan sebelumnya. Kami merasa bahwa kompleks taman yang tertutup itu bagaikan sebuah dunia yang terpisah, dan hari itu kami berkelakar bahwa kami dapat mengunci diri di dalam Taman Alcazar dan menghabiskan sisa hidup kami di sana. Mungkin tidak seharusnya kami mengatakan hal itu. Tidak seharusnya kami mengatakan hal itu!” “Dan kemudian,” ujarku. “Ada apa kemudian?” “Kami duduk di sebuah bangku di depan kafe ketika tiba-tiba Ana melihat seorang kurcaci. Pertama-tama ia menunjuk ke arah Puerta de Marchena dan berkata ia melihat si kurcaci mengeluarkan kepalanya dari Galeria del Grutesco. ‘Ia memotretku,’ ujarnya, seolah-olah hal itu adalah sebuah penghinaan yang tak termaafkan. Detik berikutnya, kami berdua melihat sosok kecil itu mengintip kami dari salah satu celah di dinding panjang yang memisahkan Taman Alcazar menjadi dua, bagian yang lama dan yang baru. Ia memotret kami lagi. ‘Itu dia!’ Ana berseru. ‘Itulah sang kurcaci dengan lonceng-lonceng yang bergemerencing!’”
“Tetapi, siapakah dia?” aku memotong. “Kurcaci apa?” Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan narasinya. “Ana melompat berdiri dari kursinya dan berlari mengejar sang kurcaci. Saat itu, kami melihatnya lagi di bawah Puerta de Marchena. Kurasa, aku berusaha untuk menahannya, tetapi bahkan akhirnya aku pun ikut mengejar karena sejak mengenalnya, aku selalu mendengar Ana menyebut-nyebut tentang seorang kurcaci. Awalnya ia mengejar kurcaci itu dengan berputar ke kiri, melalui pintu gerbang besi dan kolam tempat patung Merkurius berdiri, kemudian menuruni undak-undakan menuju Taman Tahan dan terus turun menuju Taman para Wanita, melalui air mancur Neptunus, melalui pintu gerbang besar dan mengelilingi paviliun Carlos V, ke dalam Labirin dengan pagar tanamannya yang setinggi satu meter, dan keluar dari dalamnya lagi, naik ke sepanjang Galeria del Grutesco, menuju sebelah kanan melalui Puerta del Privilegio, dan akhirnya turun ke Taman para Penyair. Baik Ana maupun si kurcaci berlari lebih cepat dariku, ditambah lagi aku tertahan oleh protes para pengunjung yang berpikir bahwa Ana tengah menyiksa seorang kurcaci malang, walaupun sesungguhnya yang terjadi adalah yang sebaliknya ia mengejar kurcaci itu hanya untuk mengakhiri segala gangguannya. Di Taman para Penyair, Ana terjatuh di atas pagar tanaman yang mengelilingi kolam bagian bawah, sesungguhnya berjarak sangat dekat dari Plaza Santa Cruz karena kini hanya ada sebuah dinding tinggi yang memisahkan dirinya dari tabtao flamenco “Los Gallos”, tempat sekian lama ia menjadi seorang baitaora yang hebat. Kerumunan orang telah mengelilinginya sebelum aku berhasil tiba di sana. Ia masih sadar, tetapi wajahnya hampir biru dan ia bersusah payah untuk bernapas. Aku mengangkatnya ke atas air mancur marmer yang besar di antara kedua kolam dan meletakkan dirinya di air selama beberapa menit untuk mendinginkan tubuhnya yang demam. Aku berhasil berteriak bahwa ia mengidap penyakit jantung, dan tidak lama kemudian, petugas-petugas ambulans datang dengan membawa tandu.” Jose terduduk untuk waktu yang lama sambil hanya menatap Kebun Raya Madrid. Tidak ada orang di sekitar kami, tetapi kami dapat mendengar burung-burung berkicau, dan kini begitu nyaring sehingga hampir menenggelamkan suara lalu lintas yang datang dari Paseo del Prado. Seolah-olah burung-burung itu pun tengah bernyanyi tentang kawan mereka yang telah meninggal. “Bagaimana dengan kurcaci itu?” tanyaku. “Tidak ada yang memikirkan dirinya. Seolah-olah ia telah ditelan bumi.” “Dan Ana?” “Di rumah sakit, mereka memberinya beberapa suntikan, dan selama beberapa jam kemudian ia sedikit membaik, tetapi ia tidak pernah turun dari tempat tidur lagi. Para dokter berkata akan mencoba mengoperasinya bila denyut nadinya telah kembali normal, tetapi ia tidak bertahan selama itu. Belum seminggu ia meninggal, dan Jumat ini kami mengadakan sebuah misa perkabungan di Gereja Santa Ana di Triana.” Ia mengangkat kepala untuk menatapku. “Alangkah baiknya jika engkau dapat meluangkan waktu untuk datang,” ujarnya. “Tentu saja aku akan datang.” “Baiklah!” “Tapi, apa yang dikatakan Ana selama ia berada di rumah sakit? Apakah selama itu ia sadar?” “Sangat sadar. Ia menceritakan banyak hal kepadaku yang belum pernah kudengar sebelumnya mengenai sang kurcaci dan El Planeta serta kakek buyutnya yang meninggal setelah malam yang sial itu, ditambah dengan begitu banyak rahasia
flamenco. Hal terakhir yang ia katakan sebelum jantungnya akhirnya berhenti berdetak adalah: ‘Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.’ Itu adalah kalimatku, sebuah ungkapan perasaanku tentang kehidupan, tetapi perasaan itu telah memengaruhi dirinya setelah aku menjadi seorang aficionado flamenco. Katakata terakhir yang diucapkan Ana ini adalah ucapan selamat tinggal dan juga sebuah pernyataan cinta.” Aku tidak sempat bertanya apa yang ia maksud dengan hal itu karena ia bangkit dengan terburu-buru dan mulai berjalan kembali ke dalam Kebun Raya. Aku mengikuti di belakangnya. Sementara aku mendengarnya bercerita mengenai Ana, mata hatiku terus-menerus melihat kedua lukisan di Prado itu. Apakah ada hubungan antara apa yang ia ceritakan kepadaku mengenai kurcaci yang dikejar Ana di Taman Alcazar dan kemiripan luar biasa antara dirinya dan maja Goya? “Ketika pertama kali engkau bertemu dengan Ana bertahun-tahun yang lalu Tetapi, ia menyadari ke mana arah bicaraku karena ia mendahuluiku. “Tidak, aku tidak berpikir mengenai Goya. Kurasa, reaksiku sama denganmu. Aku merasa yakin pernah bertemu Ana sebelumnya, tetapi perasaan itu mungkin hanyalah sebuah perwujudan dari cintaku yang penuh gairah terhadapnya.” “Mungkin kita memiliki semacam mekanisme pertahanan yang mencegah kita menghubungkan seseorang yang kita temui dalam kehidupan nyata dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu.” Ia hanya mengangkat bahu. “Dan apa pendapatmu sekarang?” tanyaku. Wajahnya berubah memancarkan suatu ketegasan. “Mereka tidak hanya mirip,” ia berkata. “Perlahan-lahan mereka berubah menjadi sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan nama panggilan ‘La Nina del Prado’.” “Engkau berkata ‘semakin hari semakin menjadi’?” “Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya.” Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan: “Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan hidupnya satu hari pun.” “Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?” “Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya.” “Aku ingin mendengar semuanya.” Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata: “Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas lukisan yang telanjang “Benarkah?” “Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu keturunannya? Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang
wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya? Andalah sang ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?” Aku menggelengkan kepala. “Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyutbuyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis? Lebih mungkin untuk memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal seperti itu tidak pernah terjadi.” “Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar,” ia berkomentar. “Ana dan sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti yang kita tahu.” Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya. “Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?” “Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama.” Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian ia berkata, dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu.” Ia hanya mengangkat bahu. “Dan apa pendapatmu sekarang?” tanyaku. Wajahnya berubah memancarkan suatu ketegasan. “Mereka tidak hanya mirip,” ia berkata. “Perlahan-lahan mereka berubah menjadi sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan nama panggilan ‘La Nina del Prado’.” “Engkau berkata ‘semakin hari semakin menjadi’?” “Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya.” Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan: “Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan hidupnya satu hari pun.” “Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?” “Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya.” “Aku ingin mendengar semuanya.” Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata: “Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas lukisan yang telanjang “Benarkah?” “Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu keturunannya? Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya? Andalah sang ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyutbuyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis? Lebih mungkin untuk memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal seperti itu tidak pernah terjadi.” “Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar,” ia berkomentar. “Ana dan sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti yang kita tahu.” Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya. “Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?” “Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama.” Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian ia berkata, “Teori yang paling sederhana adalah bahwa Ana sendirilah yang berpose untuk lukisan yang kau pelajari dengan begitu saksama di museum.” “Tetapi, lukisan itu berusia dua ratus tahun.” “Itu yang mereka katakan.” Ia ragu sejenak, kemudian menambahkan: “Aku harus memaksa diri untuk mempertimbangkan setiap kemungkinan yang mungkin maupun tidak mungkin. Jadi selalu ada kemungkinan bahwa Ana memang benar-benar sudah setua itu ketika ia meninggal.” Aku menatap wajah yang pucat itu. Jika bukan karena kenyataan bahwa aku baru bertemu Ana dua minggu yang lalu, tentunya aku mencurigai Jose mengalami masalah kejiwaan serius, atau setidaknya sulit berpikir jernih. “Ini bukan lelucon,” ujarku. “Aku tidak bercanda. Walaupun aku tidak akan membantah bahwa aku sendiri tidak yakin, lebih tidak yakin daripada yang dapat kau bayangkan. Akulah yang duduk bersama Ana di atas bangku itu di Taman Alcazar pada hari ia menjadi serupa persis dengan gitana Goya. Pagi itu ia bahkan menyisir rambutnya seperti wanita dalam lukisan itu, bahkan riasannya pun sama. Dapatkah engkau mengerti?” “Kurasa ya.” “Pengalaman mengatakan bahwa tidaklah mungkin Ana adalah model sang Maestro Tua, tetapi secara logika hal itu bukan tidak mungkin.” “Dengan dasar pemikiran yang begitu liberal seperti ini, tentunya engkau memiliki beberapa teori lain?” Ia menyentuh dahinya dan berdehem beberapa kali sebelum menjawab. “Jika gitana milik Goya dilukis pada akhir abad ke-18, mungkin saja, entah bagaimana, Ana dibentuk sesuai sosok sang model,” ia berkata. “‘Dibentuk1 bagaimana?” “Aku hanya mencoba menata pikiranku. Engkau tentunya tahu cerita mengenai
Pygmalion?” “Metamorfosis karya Ovid,” jawabku. “Pygmalion jatuh cinta kepada patung wanita cantik yang ia ciptakan sendiri. Kemudian, Aphrodite mengasihani-nya dan menghidupkan patung tersebut. Ada teori lain?” Ia berhenti sejenak dan merenung sambil menatapku. “Penampilan mereka begitu mirip sehingga mereka dapat disangka kembar identik.” “Tentu saja,” ujarku, walaupun aku tidak terlalu mengerti apa yang ia tuju. “Apakah engkau berpendapat,” ia menambahkan, “bahwa benar-benar tidak mungkin seorang lelaki yang terlahir dua ratus tahun dari sekarang, persis sama denganku, bahkan hingga sidik jari dan segala macamnya?” “Tidak,” aku berkata. “Itu tidak mungkin. Beri aku beberapa sel hidup dan sebuah lemari pembeku yang baik, dan kita dapat membuat klon dirimu dalam dua abad lagi. Aku harus menekankan bahwa engkau tidak akan mengalami kebahagiaan ‘terlahir kembali’ itu sendiri.” Aku sendiri tidak melihat pentingnya komentarku itu. “Maka, mungkin saja sebuah sampel jaringan diambil dari model Goya, dan jaringan ini secara ajaib diawetkan selama hampir dua abad sebelum sekitar tiga puluh tahun yang lalu, materi genetik dari salah satu selnya dimasukkan ke dalam sebuah sel telur tanpa gen.” Seluruh tubuhku terasa merinding, hampir sama seperti ketika Ana dan Jose berjalan di antara pepohonan palem dan berbicara mengenai penciptaan manusia dan betapa Adam tidak keheranan. “Aku tahu maksudmu,” ujarku. “Dan tentu saja, itu merupakan sebuah kemungkinan. Tetapi, banyak yang telah terjadi dalam bidang mikrobiologi dan perawatan fertilitas selama tiga puluh tahun belakangan.” “Oleh karenanya, itu hampir tidak mungkin,” ia menyimpulkan. “Hampir tidak mungkin, betul. Lebih baik kita tetap pada gagasan mengenai kebetulan sepenuhnya, walaupun itu cukup menyebalkan. Hal itu mengindikasikan sesuatu yang biasanya kutolak: bahwa alam menemukan beberapa rute paralel untuk menuju tujuan yang persis sama. Tetapi, alam tidak bekerja seperti itu. Alam tidak mengambil lompatan tiba-tiba dan tidak bertujuan.” “Kita pernah membicarakan hal ini sebelumnya.” “Apa itu?” “Sejauh mana alam memiliki tujuan; sesuatu yang harus dicapai oleh alam, sesuatu yang ingin ditunjukkan atau dimunculkannya. Kita juga membicarakan apakah sesuatu yang terjadi saat ini dengan suatu cara dapat dilihat sebagai penyebab dari sebuah kejadian jauh di masa lalu.” Semua itu terjadi dalam “konferensi tropis” yang diprakarsai John Spooke. Banyak yang telah terjadi setelah itu, dan kini aku teringat akan sesuatu yang lain. “Mungkin kita semua salah menganggap Goya menggunakan seorang model hidup untuk wajah dalam lukisannya. Ia hanya perlu menggambar sebuah wajah di atas tubuh yang telanjang untuk menutupi identitas sang model hanya untuk kamuflase.” Jose tersenyum mantap, karena tentu saja ia pun telah mempertimbangkan hal itu.
“Jadi?” “Jadi, mungkin saja sebuah kebetulan bahwa beberapa abad kemudian, muncul seorang wanita yang persis sama dengan khayalan sang seniman.” Ia menggelengkan kepala dengan putus asa. “Sama saja kita kembali kepada Pygmalion. Suatu hari, Tuhan menghidupkan khayalan Goya.” “Aku sudah menyatakan dengan tegas bahwa itu tentunya adalah sebuah kebetulan. Walaupun dapat dipastikan ini adalah sebuah kebetulan yang sangat luar biasa.” “Maka, ‘kebetulan’ adalah sebuah kemungkinan. Tetapi, bagaimana jika Goya mampu melihat rencana Tuhan? Maksudku, mungkinkah seorang seniman visioner seperti dia juga dapat sedikit meramal?” Kami tiba di patung dada Carolus Linnaeus. “Ada teori lain?” tanyaku. “Atau hanya itu?” Ia mengangguk sedih, seakan menyerah. “Ya, hanya itu,” ia mengakui. “Aku sudah kehabisan ide.” Ia berhenti selama beberapa saat sebelum menambahkan, “Tetapi, ada sebuah penjelasan yang sama sekali berbeda, yang diyakini baik Ana maupun keluarganya. Itu karena mereka telah menjadi orang gipsi selama beberapa generasi. Aku baru menjadi gipsi selama beberapa tahun.” Ia melirik sekilas ke arah jam, dan tepat saat aku mengira akan mendengarnya menuturkan penjelasan Ana sendiri mengenai kemiripannya yang tanpa cela dengan seorang wanita yang hidup di planet ini dua ratus tahun yang lalu, Jose berkata, “Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku sudah seperempat jam terlambat menghadiri sebuah janji penting.” Aku merasa dicurangi, dan tentunya ia dapat membaca perasaanku, karena sambil berbalik ia meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, “Ada banyak yang perlu kuurus sekarang. Sebagian tugasku begitu berat, tetapi sebagian cukup menyenangkan. Menjelajahi Prado untuk mencarimu adalah salah satu tugasku yang menyenangkan. Tetapi, aku harus memikirkan hal-hal lain.” Setelah mengatakan itu, ia pun bergegas menuju pintu keluar. Begitu banyak yang masih belum terjawab. Aku tidak mengetahui siapakah kurcaci di Sevilla itu. Aku tidak mendengar pendapat Ana sendiri mengenai lukisan aneh yang mirip dengan dirinya. Aku belum mendengar banyak mengenai El Planeta maupun mengenai kakek buyut Ana. Aku juga memerlukan penjelasan mengenai segala ungkapan aneh yang terus dikutip oleh Ana dan Jose di Taveuni. Kami belum mengatur janji untuk bertemu lagi. Atau apakah ia telah mengetahui bahwa aku menginap di the Palace? Apakah aku telah menyebutkan hal itu? Satu-satunya yang dapat kuandalkan adalah misa berkabung di Sevilla, Jumat mendatang, di Gereja Santa Ana. Sekali lagi, kemiripan nama yang muncul hampir terasa mengesalkan. Tiba-tiba, aku merasa begitu sedih. Aku mendapat ide bahwa mungkin aku dapat memintamu menemaniku ke Sevilla akhir minggu ini. Kurasa, engkau berutang kepadaku, setelah tawamu yang begitu menggelegar ketika aku mengenali Ana dan Jose di tepi Sungai Tormes. Setidaknya, engkau dapat membantuku dengan mendampingiku dalam sebuah misa berkabung yang sepertinya penting untuk kuhadiri.
Betapa engkau tertawa, Vera. Tetapi, peralihan dari tawa menjadi tangis sungguh merupakan sebuah perjalanan yang pendek, karena kebahagiaan sama rapuhnya dengan gelas. Tidak ada yang lebih memahami hal itu daripada kita berdua. Aku menatap Linnaeus. Mungkin ialah yang memberi nama bunga aster Bellis perennis. Setidaknya ia mencoba untuk mengerti lebih banyak mengenai dunia yang luar biasa ini, yang di atasnya kita semua hanya “numpang lewat”. Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku kembali ke Prado dan koleksi Goya. Sekali lagi aku mempelajari bagaimana rupa Ana Maria Maya pada hari ia mengejar seorang kurcaci di Taman Alcazar. “La Nina del Prado” tidak berubah banyak dalam beberapa bulan sejak aku bertemu dengannya di Taveuni. Aku hanya melihatnya sekilas di Salamanca saat ia berlari keluar dari kafe. Tetapi, kurcaci itu, kurcaci itu memfoto Ana dari Galeria del Grutesco. Apa yang ia inginkan dengan foto itu? Aku membeli sedikit makanan di sebuah bar dan berjalan-jalan berkeliling sebelum akhirnya kembali ke hotelku. Ketika akhirnya tiba di kamarku, aku berjalan ke jendela, menatap Neptuno di bawah, lalu ke arah Ritz dan gedung Prado di sisi seberang Paseo del Prado. Dua lukisan mengenai Ana Maria Maya tergantung di dalamnya. Pada saat itulah aku memutuskan untuk melakukan segala yang kumampu untuk membuatmu ikut ke Sevilla. Untuk dapat meyakinkan hal itu, pertama-tama aku harus menyampaikan seluruh cerita panjang yang telah kususun selama lebih dari empat puluh delapan jam ini, dengan mengetiknya di lap-topku di hotel ini. Aku duduk di mejaku, menyalakan komputerku, mencatat bahwa hari itu adalah Selasa S Mei 1998, dan memulai mengerjakan tulisan ini paragraf demi paragraf. Yang pertama kali kulakukan adalah memberikan gambaran kasar mengenai apa yang telah kulihat dan alami di Oseania sejak November hingga Januari; aku menuliskan mengenai penerbangan dari Nadi ke Matei, aku memberikan gambaran singkat mengenai Taveuni dan Maravu Plantation Resort, dan aku menjelaskan pertemuan pertamaku dengan Ana dan Jose. Aku memulai suratku sehari sebelum aku bertemu Jose di Taman Retiro, sebelum aku mendengar apa yang terjadi pada El Planeta di Marseilles pada musim panas 1842, dan sebelum aku menemukan apa yang terjadi di tepi dermaga di Cadiz pada suatu hari pada musim dingin 1790. Hari ini adalah Kamis, 7 Mei, pukul 4 sore, dan tidak lama lagi aku akan berada dalam kereta menuju Sevilla. Aku memiliki seikat foto di hadapanku, dan yang paling menakjubkan dari foto-foto ini bukanlah subjeknya, melainkan apa yang telah ditulis oleh Ana di belakang tiap foto. Aku juga menyimpan sebuah cerita tentang alasan mengapa Ana begitu mirip dengan sebuah lukisan yang berusia dua ratus tahun. Dua hari telah berlalu sejak aku kembali ke kamar hotelku setelah berjalan-jalan dengan Jose di Kebun Raya. Dalam selama selang waktu itu, menjadi semakin penting bagiku untuk mengirim surat panjang ini kepadamu. Aku tidak dapat mengambil risiko tidak dapat menemukanmu sekarang, karena engkau harus, pokoknya engkau harus ikut denganku ke Sevilla besok. Semoga saat membaca suratku ini, engkau telah memutuskan untuk pergi. Aku memutuskan untuk meneleponmu saat ini juga, maka surat yang panjang ini juga mencatat upayaku untuk mengontakmu, sebelum aku mengirimkan semua yang telah kutulis melalui e-mait. Engkau harus memilih kalimatmu dengan hati-hati. Dalam beberapa jam lagi, kata-katamu itu akan muncul lagi di layar komputermu. Aku duduk di mejaku, mengangkat telepon dan memutar nomormu di Barcelona …. Tentu saja aku tidak dapat mengingat setiap kata yang terlontar di antara kita.
Namun, demikianlah ingatanku mengenai pembicaraan kita itu. “Ya, ini Vera.” “Ini aku.” “Frank?” “Ana telah meninggal.” “Aku tahu.” “Apa katamu?” “Aku tahu Ana telah meninggal.” “Tetapi, kamu kan tidak kenal Ana?” “Tidak, tepat sekali! Aku tidak pernah mengenalnya.” “Tetapi, engkau tahu ia telah meninggal?” “Apa-apaan semua ini, Frank?” “Bagaimana engkau tahu ia meninggal?” “Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu mengapa engkau mengarang semua ini.” “Aku tidak … maksudku, aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan ‘semua ini’.” “Sudahlah!” “Aku sendirian dalam sebuah kamar hotel, aku berada di sini sudah hampir dua minggu. Aku hanya ingin seseorang untuk diajak bicara. Aku harus memberi tahu seseorang bahwa Ana telah meninggal.” “Tidakkah kau memberinya nomor teleponku?” “Ia siapa?” “Ia menyebut dirinya Jose.” “Apa?” “Seorang lelaki baru saja menelepon dan mengatakan ia telah bertemu denganmu di Taman Re-tiro. Dan bahwa ia telah memberimu sebuah hadiah untuk kita bagi bersama.” “Ia berkata begitu?” “Dan kemudian, ia mengatakan bahwa Ana telah meninggal.” “Ia berkata begitu kepadamu?” “Tidakkah kau tahu ia menelepon?” “Tidak!” “Kalau begitu, bagaimana dengan ‘hadiah’ ini?” “Memang ia pernah menyinggung hal itu. Bahwa benda itu untuk kita berdua.” “Dengar, aku akan menutup telepon “Halo?” “Aku akan menutup telepon jika engkau tidak memberitahuku apa yang ia maksud dengan ‘hadiah’ ini.” “Aku tidak mengerti mengapa engkau begitu agresif.” “Aku tidak agresif.” “Mudah terpancing, kalau begitu.” “Aku juga tidak mudah terpancing. Aku hanya bertanya ‘hadiah’ apa itu.” “Hadiahnya berupa beberapa foto. Lalu ada semacam manifesto.” “Semacam apa?” “Manifesto.” “Baiklah. Ya, kau saja yang simpan, Frank.” “Aku benar-benar tidak tahu bahwa ia meneleponmu.”
“Setidaknya engkau pasti tahu bahwa engkau memberinya nomor teleponku.” “Aku tidak memberinya apa pun.” “Apakah engkau memberi tahu namaku?” “Itu mungkin saja.” “Sebuah ‘manifesto’?” “Bukan itu sebabnya aku menelepon.” “Jadi, mengapa engkau menelepon? Aku punya pekerjaan lain.” “Ingatkah engkau bagaimana engkau tertawa pada waktu itu? … Engkau tidak mengatakan apa-apa.” “Malam itu memang indah, Frank. Dengarlah, maafkan aku karena sedikit kesal. Maksudku, barusan tadi. Aku otomatis berpikir bahwa engkaulah yang menyuruhnya menelepon. Mengenai hadiah untuk kita berdua. Engkau mengerti, kan? Kemudian, setengah jam setelahnya, engkau menelepon.” “Aku sama sekali tidak tahu ia meneleponmu.” “Aku ingat aku tertawa saat itu. Tentu saja kupikir engkau mengarang segala hal itu. Dua-duanya begitu tipikal dirimu.” “Keduanya?” “Mengarang cerita kemudian menyuruh seorang kenalan untuk meneleponku mengenai sebuah hadiah.” “Kita kan sudah selesai membahasnya tadi. Jika tidak, aku yang akan menutup telepon “Halo?” “Aku sudah duduk di sini siang malam menulis surat untukmu.” “Mengenai kita?” “Mengenai Ana dan Jose.” “Kirimkan saja kepadaku. Tentu saja akan kubaca.” “Tetapi tidak banyak waktu, kau tahu. Apakah engkau akan menyalakan internet malam ini? Aku memerlukan waktu beberapa jam lagi.” “Tentu saja.” “Dalam surat yang panjang ini, aku akan memohon bantuanmu. Bahkan jika itu adalah hal terakhir yang akan pernah kau lakukan untukku.” “Apakah yang begitu penting itu?” “Jika kuberi tahu sekarang, engkau pasti menolak.” “Katakan saja apa itu.” “Aku ingin memintamu ikut denganku ke misa perkabungan Ana besok malam. Di Sevilla.” “Engkau sudah menanyakannya kepadaku.” “Sudah?” “Orang yang meneleponku yang menanyakannya. Aku merasa keduanya pada dasarnya sama saja.” “Ia memintamu datang ke Sevilla?” “Engkau mengatakan bahwa kau tidak tahu apa pun mengenai hal ini?” “Tidak! Maksudku, ya. Aku tidak tahu apa-apa. Tentunya ia menelepon Penerangan.”
“Aku berkata bahwa Jumat ini aku tidak bisa pergi. Aku tidak mengenal wanita itu, Frank.” “Engkau mengenalku.” “Ya, tetapi untungnya bukan engkau yang meninggal.” “Aku ingat banyak orang yang menghadiri pemakaman Sonja belum pernah bertemu dengannya.” “Itu berbeda.” “Tidak jika aku mengatakan kepadamu bahwa Ana adalah teman dekatku.” “Aku menyadari hal itu. Tetapi, kita tidak lagi tinggal bersama.” “Apakah engkau akan hadir pada pemakaman ibuku?” “Sekarang kupikir kelakuanmu mengerikan.” “Kita tidak perlu berdebat mengenai siapa di antara kita yang kelakuannya paling mengerikan.” “Aku tidak berdebat. Aku sudah lelah melakukannya. Kita telah mengucapkan selamat berpisah, Frank. Kapankah engkau menyadari hal itu?” “Apakah engkau menjalin hubungan dengan lelaki lain?” “Menurutku, engkau tidak berhak menanyakan itu.” “Sekarang engkau membuat harga dirimu turun. Aku hanya bertanya apakah engkau memiliki seorang kekasih.” “Tidak.” “Apa?” “Aku tidak akan menikah lagi.” “Bagaimana engkau bisa begitu yakin?” “Tetapi, aku punya banyak sekali teman baik. Dan kuharap engkau pun begitu.” “Tidak terlalu banyak di sini di Spanyol. Itulah mengapa akan sangat berarti bagiku jika engkau datang ke Sevilla. Tentu saja aku yang akan membayar segala pengeluaran.” “Aku tidak tahu, Frank. Aku benar-benar tidak tahu.” “Baiklah, kita biarkan saja pertanyaan ini menggantung untuk saat ini. Tetapi, berjanjilah engkau akan membaca apa yang akan kukirim malam ini.” “Aku sudah bilang akan membacanya. Aku akan meluangkan waktu untuk melakukannya.” “Baiklah. Kita lihat nanti apakah engkau akan berubah pikiran.” “Apakah yang tengah kau tulis ini? Yang waktu itu engkau ceritakan kepadaku di atas jembatan?” “Sebagian di antaranya, tetapi pada saat itu aku masih belum tahu apa-apa.” “Engkau membuatku penasaran. Tidak dapatkah kau memberiku versi pendeknya?”
“Tidak, itu tidak mungkin. Aku ingin agar engkau mendapatkan keseluruhannya sekaligus, semua atau tidak sama sekali.” “Kalau begitu, aku akan menunggu hingga malam ini.” “Engkau bisa mendapatkan sebuah teka-teki. Agar ada sesuatu yang dapat kau pikirkan.” “Teka-teki?” “Bagaimana seseorang yang hidup pada masa sekarang bisa persis sama dengan seseorang yang pernah hidup dua ratus tahun yang lalu?” “Aku tidak tahu. Lagi pula, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rupa orang-orang yang hidup dua ratus tahun yang lalu.” “Ada banyak lukisan.” “Tetapi, tidak ada dua orang yang persis sama, Frank. Kupikir, engkau mempelajari genetika?” “Kubilang itu adalah sebuah teka-teki.” “Apakah engkau habis minum-minum?” “Jangan mulai lagi hal-hal histeris itu.” “Menurutku, alkohol tidak terlalu cocok untukmu.” “Tahukah kau, engkau mengingatkanku kepada siapa?” “Aku bertanya apakah engkau habis minum-minum.” “Engkau mengingatkanku akan seekor tokek.” “Oh, berhentilah!” “Maksudku, seekor tokek yang sangat khusus.” “Apakah sekarang kau menderita gangguan saraf?” “Apakah engkau percaya akan kurcaci?” “Apakah aku percaya akan kurcaci?” “Lupakan saja. Misa perkabungan itu diadakan di Triana, di Gereja Santa Ana, pukul tujuh malam.” “Kita lihat saja nanti. Tetapi akan kubaca apa yang telah kau tulis.” “Aku tinggal di the Palace.” “Engkau gila. Aku bersyukur kita tidak lagi memiliki rekening bersama.” “Aku tidak akan menulis surat maupun meneleponmu jika aku tidak masih sayang kepadamu.” “Dan aku tidak akan membiarkan sebuah percakapan telepon yang begitu tidak masuk akal seperti ini berlangsung begitu lama jika aku tidak punya perasaan yang sama.” “Bye, Vera.” “Bye. Engkau benar-benar gila, tahukah kau. Tetapi, engkau memang selalu begitu.”[] Kurcaci dan Gambar Ajaib
PADA RABU PAGI, AKU TIBA DI PRADO PADA PUKUL SEMBILAN LEWAT SEDIKIT, beberapa menit setelah galeri itu dibuka. Aku pergi dengan harapan dapat bertemu Jose lagi karena kami belum menentukan tempat pertemuan yang lain. Kesempatan berikutnya adalah di Gereja Santa Ana di Sevilla, tetapi di sana tentunya akan ada banyak orang di sekeliling kami. Sekali lagi aku melewati “Taman Kesenangan Duniawi” dan menunggu sebentar di sana, karena di situlah aku telah bertemu Jose sehari sebelumnya. Aku naik menuju lantai pertama dan tidak lama kemudian berdiri di hadapan kedua maja. Lama aku berdiri sambil menatap ke dalam mata Ana, dan hampir menyeramkan betapa ia menatapku kembali tanpa berkedip. Aku tidak akan terkejut jika ia mengedipkan mata ke arahku. Setelah satu jam, aku meninggalkan galeri itu dan berjalan ke arah Calle de Felipe IV, menyeberangi Calle Alfonso XII yang hiruk pikuk, dan memasuki Taman Retiro. Seluruh permukaan rumput di taman itu diselimuti oleh bunga-bunga maya berwarna kuning, putih, dan merah, oleh bunga aster, oleh Bellis perennis. Aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekeliling taman yang luas itu sambil menonton anak-anak berseragam sekolah, pasangan-pasangan pelajar, para pensiunan, dan segerombolan kakek dan nenek membawa balita, banyak dari mereka membawa kantung-kantung makanan untuk tupai. Terdapat kontras yang begitu besar antara keindahan yang sesungguhnya dari kehidupan sehari-hari dan betapa biasa hal itu dianggap oleh mereka yang melakukannya. Aku teringat sesuatu yang pernah dikatakan oleh Ana dan Jose di Taveuni: “Kini, para peri itu berada dalam dongeng, tetapi mereka tidak menyadarinya. Apakah dongeng benarbenar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa melihat dirinya sendiri? Apakah kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia terus-menerus berkeliling untuk menjelaskan dirinya sendiri?” Aku memutuskan untuk kembali ke Prado lagi, tetapi sebelumnya aku duduk di sebuah bangku di atas El Parterre yang memiliki banyak petak bunga dan tanaman yang dipangkas menyerupai berbagai bentuk. Tiba-tiba Jose sudah berdiri di hadapanku. Seolah-olah seseorang telah memberitahunya tentang tempatku berjalanjalan setiap hari di Taman Retiro. Ia duduk di sampingku di bangku, dan kami tetap di sana selama beberapa jam. Ia menggenggam selembar koran dan sebuah amplop kuning besar. Ia berkata akan mengambil kereta tengah hari untuk menuju Sevilla, dan sekali lagi aku meyakinkannya bahwa aku akan menghadiri misa perkabungan pada Jumat itu. Aku sama sekali tidak menyebutkan sedikit pun mengenai harapan rahasiaku bahwa engkau mungkin juga akan datang. Tetapi, mungkin aku pernah menyebutkan namamu di Fiji. Dan seandainya aku belum menyebutkan nama belakangmu kepadanya, jelas aku pernah menyebutkannya di hadapan si orang Inggris, yang masih tinggal di Maravu setelah aku pergi. Jose duduk di sana selama beberapa menit tanpa berkata-kata. Tidak hanya wajahnya pucat pasi, tetapi seluruh keberadaannya tiba-tiba hampir menyerupai hantu. Aku ingat saat itu aku terbayang akan Orpheus yang kembali dari neraka tanpa Eurydice. Akhirnya, aku memecahkan keheningan. “Sekarang-sekarang ini tentunya merupakan masa yang sangat sulit bagimu,” ujarku. Ia mencengkeram apa yang ada di tangannya kuat-kuat. “Aku telah memikirkan lebih jauh mengenai kemiripan luar biasa antara Ana dan wanita dalam lukisan Goya,” aku melanjutkan. “Aku masih berusaha menerima pendapat bahwa hal itu merupakan satu kebetulan yang luar biasa.” Ia cepat-cepat mengangguk. Seolah-olah ia berusaha menyusun jalan pikirannya untuk memberikan penjelasan.
“Tetapi, bukankah engkau mengatakan bahwa Ana dan keluarganya memiliki penjelasan yang sangat berbeda?” Sekali lagi ia mengangguk. “Penjelasan mereka berhubungan dengan sebuah cerita lama, menurutku sih tidak lebih dari sekadar kepercayaan lama. Semua bermula dengan sesuatu yang terjadi pada El Planeta di Prancis.” “Lanjutkanlah,” ujarku. “Kumohon lanjutkanlah!” “Pada musim semi 1842, ia dikabarkan berangkat untuk menjalani perjalanan suci dari Cadiz menuju Les Saintes Maries de la Mer di lie de la Carmargue di antara kedua muara Sungai Rhone. Pada 26 Mei tahun itu, dilaporkan bahwa ia telah tiba di Marseilles. Di sana ia bekerja sebagai kuli dermaga selama beberapa saat, mengumpulkan uang untuk perjalanan pulangnya. Beberapa minggu kemudian, ia mengalami sesuatu yang sejak saat itu dituturkan dari generasi ke generasi, terus hingga saat ini. Ini adalah sebuah cerita yang diceritakan kepadaku ketika aku pertama kali berkenalan dengan Ana dan keluarganya. Dan sebaiknya aku menjelaskan dari awal bahwa kisah yang akan kuceritakan ini memiliki banyak versi yang berbeda, bahkan di dalam keluarga Maya sendiri. Di sini yang kita hadapi adalah sebuah tradisi verbal, dapat dibilang sebuah lingkaran mitos tersendiri. Aku belum pernah dapat menemukan dokumentasi tertulis mengenai tradisi Andalusia ini, bahkan tidak ditemukan materi-materi dari masa yang lebih belakangan. Tetapi, kabarnya ada sebuah tradisi Swiss yang sama sekali tidak berhubungan yang konon sama tuanya dengan tradisi Andalusia ini. Akan kucoba untuk menceritakannya secara singkat. Oleh karenanya, aku hanya akan menyebutkan fakta-fakta dasarnya.” “Silakan lanjutkan!” “Pada suatu sore di awal Juni 1842, El Planeta tengah menunggu di tepi dermaga di Marseilles agar dapat naik ke kapal layar yang berlabuh untuk menurunkan muatannya. Kapal layar tersebut, yang ngomong-ngomong merupakan sebuah kapal Norwegia, tampak jelas telah mengalami cuaca buruk. Bahkan, sebelum mereka selesai memperbaiki jembatan kapal, seorang kerdil memanjat menuruni rantai kapal dan melompat ke darat. Ia berlari di antara beberapa gudang di tepi dermaga lalu menghilang.” “Seorang kerdil?” “Ia adalah seorang kurcaci, benar-benar berpakaian seperti seorang bufon atau badut istana. Dikisahkan, kostum yang ia kenakan berwarna ungu dan ia memakai sebuah topi hijau dan merah ditempeli telinga keledai. Baik topi maupun kostumnya dipenuhi lonceng kereta kecil yang bergemerencing keras saat ia melesat di antara gudang-gudang untuk bersembunyi. Oleh karenanya, luar biasa bahwa ia menghilang cukup cepat. Banyak orang di dermaga itu melihatnya, dan berbagai pertanyaan pun diajukan kepada para pelaut di atas kapal itu untuk mengetahui identitas kurcaci itu.” “Apa yang mereka katakan?” “Kapal itu datang dari Teluk Meksiko, dan di suatu tempat di selatan Bermuda, mereka menyelamatkan kurcaci itu dan seorang pelaut Jerman dari dalam sebuah perahu. Pelaut itu berkata bahwa sebelumnya mereka berlayar dalam sebuah kapal layar Maria, yang terbalik beberapa hari sebelumnya, dan diduga hanya merekalah yang selamat dari antara puing-puing kapal.” “Ia tidak mengatakan apa-apa lagi?” “Pelaut Jerman tersebut tidak banyak bicara, dan sore itu, di tepi dermaga di Marseilles, terjadi masalah komunikasi yang serius karena sang orang Jerman tidak dapat berbahasa Prancis maupun Spanyol. Dengan segera ia pun menghilang seperti sang kurcaci. Sebuah versi mengatakan bahwa setelah itu, ia menetap
sebagai seorang pembuat roti di sebuah desa di pegunungan Swiss.” “Apakah mereka pernah terlihat lagi?” “Kurcaci itu, ya. El Planeta hidup susah di antara gudang-gudang di dermaga, yang ia inginkan hanyalah pulang ke kampung halamannya di Cadiz begitu mendapatkan uang yang cukup. Setelah muatan kapal layar tersebut selesai diturunkan, ia pun meninggalkan tempat itu untuk pergi tidur, tetapi dengan segera ia menyadari ada seseorang yang bersembunyi di antara tong-tong anggur kosong, seseorang yang tengah menangis sedih. El Planeta mendekat dan di sana ia menemukan si kurcaci yang tidak bahagia.” “Apakah yang ia katakan?” “Ia hanya dapat berbahasa Jerman, dan bahasa itu tidak dapat dimengerti oleh sang gipsi dari Cadiz, sama seperti bahasa Spanyol tidak dimengerti oleh orang kecil itu. Tetapi, setidaknya sebuah versi kisah pertemuan El Planeta dengan sang kurcaci menunjukkan bahwa kurcaci itu berusaha menyembunyikan identitasnya.” “Menyembunyikan apa?” “Ia menyembunyikan kostum badutnya. Sepertinya sungguh penting bagi sang kurcaci untuk menyembunyikan pakaiannya, sama seperti seorang narapidana yang melarikan diri berusaha menyembunyikan seragam penjaranya. Ia tidak ingin dikenali, tidak sebagai badut. Konon El Planeta meminjamkan sebuah man-tel pendek, dan setelah itu, segala jejak kurcaci itu menghilang dari Marseilles.” “El Planeta tidak pernah melihatnya lagi?” “Di bagian itu, tradisi terbagi dua. Sebagian mengatakan bahwa El Planeta dan kurcaci itu hidup bersama selama beberapa hari di antara gubuk-gubuk di tepi dermaga Marseilles. Dan pada suatu malam, si kurcaci berusaha mencerita