Prolog Monica masih mengenakan rok SD-nya ketika memasuki pelataran rumah kedua sahabatnya. Ia sudah mengganti kemeja putihnya dengan kaos biru muda, tetapi malas mengganti roknya. Ia tahu sahabat lelakinya, Alex, belum pulang ke rumah sampai sore hari seperti ini akibat harus mengulang ujian matematikanya. Ia sudah memaksa Alex untuk belajar serius tadi malam. Apa daya, sahabat laki-lakinya itu malah memilih main playstation dibandingkan berkutat dengan rumus-rumus. Karena sudah sering main ke rumah ini, Monica tidak harus mengetuk pintu atau menekan bel lagi. Biasanya rumah ini sepi siang hari karena pembantu mereka tidur siang. Selain Alex, Monica punya satu sahabat lagi di rumah ini, yakni kakak perempuan Alex yang bernama Shelby. Hubungannya dengan Shelby memang tidak terlalu dekat sebab umur Shelby terpaut tiga tahun lebih tua. Tapi Shelby tetap jadi teman bermain barbie yang menyenangkan. Untuk itulah siang ini Monica memilih untuk membawa koleksi barbienya dan mau mengajak Shelby bermain. Kamar Shelby ada di lantai paling atas rumah ini hingga Monica harus memiliki tenaga ekstra untuk menaiki anak tangga. “Om pulang dulu ya,” langkah Monica terhenti di ujung tangga ketika melihat seorang lelaki berumur hampir 30 tahun-an keluar dari kamar
Shelby. Lelaki itu membetulkan risleting celananya yang menurut Monica mungkin melorot. Ia nampak familier dari bentuk wajahnya, tetapi Monica tidak mengenalinya. “Eh, Monic!” seru Shelby gembira begitu melihat Monica berdiri di ujung tangga. Om yang barusan keluar kamar Shelby tadi belum melihat kehadiran Monica kini terlihat kaget. “Sudah lama di situ?” tanya Shelby lagi. Monica menggeleng. “Kau mau main barbie? Aku bawa barbie,” jawab Monica sambil menunjukkan tasnya yang penuh dengan boneka barbie. “Mau!” pekik Shelby senang. “Sampai jumpa, Om. Kapan-kapan kita belajar lagi ya.” Shelby menoleh pada Om itu dan melambai. Om itu turun sambil tersenyum penuh arti. Monica bergidik melihat senyum yang menurutnya mengerikan itu. “Tadi siapa?” tanya Monica ketika Om berambut agak gondrong dan berkulit sawo matang itu sudah hilang dari pandangan. Orang dewasa itu bertubuh cukup tinggi, bila dibandingkan dengan Monica mungkin ia hanya mencapai lututnya saja. “Oh, itu saudara. Yuk, main.” Shelby menyeret Monica ke dalam kamarnya. Tak lama, sosok kecil Alex pulang dan langsung bergabung dengan Shelby dan Monica. ***
Satu Menjadi anak pindahan di kota baru bukan hal menyenangkan. Setidaknya itulah yang aku rasakan mulai tadi malam. Kekhawatiran tidak diterima dalam lingkungan baru membuatku tidak nyaman. Aku harus beberapa kali mengganti pakaianku pagi ini karena takut dicap aneh-aneh oleh mahasiswa yang lain. Bila aku memakai baju terlalu cerah, mungkin yang lain akan mengira aku terlalu bersemangat untuk kuliah, tetapi bila aku memakai baju terlalu gelap, mungkin yang lain akan mengira aku mahasiswi pemalas yang hanya mendapatkan IP satu koma. Jadi akhirnya aku memutuskan untuk memakai tank top oranye dengan kemeja flannel kotak-kotak warna biru tua. Keluargaku baru saja pindah dari Ibukota ke wilayah pinggiran Ibukota. Ayahku baru saja membuka praktek dokter gigi di daerah ini dan Ibuku serta Tante Rika (adik Ibuku) bertugas sebagai perawat yang membantunya. Ayah dan Ibu sangat senang membantu orang lain. Jadi ketika kolega Ayah memberitahu bahwa ia membuka klinik di wilayah ini untuk membantu orang lain, mereka langsung mengiyakan tanpa bertanya padaku dulu. Mau dikatakan apa lagi. Memang seperti itulah nasib seorang anak bontot yang “tertinggal” dengan orangtuanya. Aku memiliki dua saudara kandung yang usianya lebih tua dibandingku. Kak Nathan yang sekarang sudah bekerja di Singapura sebagai
arsitek dan Kak Arion yang saat ini sedang menjalani program beasiswa dari Turki jurusan arkeologi dan terikat dinas dengan perusahaan pemberi beasiswa selama dua tahun ke depan. Mereka semua sudah meninggalkan rumah dan hidup mandiri dengan pilihan masing-masing, sedangkan aku baru saja memulai petualangan di dunia perkuliahan. Terkadang sebagai anak bontot dan anak perempuan satu-satunya, mereka terlalu sayang padaku hingga keputusan terbaik selalu dipilih berdasarkan keputusan mereka, bukan kesepakatan mereka denganku. “Sudah siap?” kepala Ibu menyembul di balik pintu kamarku. Kamarku masih berantakan, benda-benda yang aku sendiri tidak tahu mengapa aku menyimpannya teracak-acak keluar dari kardus, sama seperti pakaianku yang belum sepenuhnya kumasukkan dalam lemari. “Ya!” seruku berpura-pura semangat. Aku tidak mau menghancurkan semangat Ibu dan Ayah yang hari ini akan memulai kehidupan baru mereka di klinik. “Semoga kelasnya menyenangkan.” kata Ibu sebelum aku naik mobil bersama Ayah. Gedung kampusku tidak terlalu tua, tetapi tidak terlalu baru pula. Beberapa gedung menjulang dengan berbagai macam palang fakultas di depannya. Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Keperawatan, dan akhirnya
mobil Ayah berhenti di depan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi. “Cari teman baru yang banyak ya,” canda Ayah sebelum aku turun dari mobil. Ia selalu menganggap aku masih berumur 13 tahun padahal sebenarnya aku sudah lima tahun lebih tua daripada angka itu. Canggung. Canggung. Canggung. Beberapa pasang mata mulai memerhatikanku, seolah aku alien yang baru saja mendarat di sekolah mereka dengan mengenakan jubah hitam dan sapu lidi. Tolong, jangan lihat aku. Padahal kami semua sama-sama mahasiswa-mahasiswi baru. Untungnya kampusku ini tidak mengadakan OSPEK karena aku pasti tidak akan mau mengikuti hal semacam itu. Aku terlalu kaku untuk hal-hal yang menuntut kerja sama tim. Mungkin aku akan memohon-mohon pada Ayah dan Ibu untuk memberikanku surat dokter. “Hai! Kau pasti anak baru itu kan?!” teriak seorang perempuan begitu aku memasuki lorong kampus. “Ya?” jawabku tak yakin. Bukankah kita semua anak baru di kampus ini? “Kara,” ia mengulurkan tangannya percaya diri. “Ariel,” jawabku sambil membalas uluran tangannya. “Pagi ini kau kelas apa? Coba kulihat jadwalmu,” ia menggamit lenganku dan menemaniku menyurusuri lorong dan berbelok kanan begitu sampai di ujung. “Kita sekelas,” katanya lagi begitu melihat jadwal pertamaku pagi ini adalah kelas Bahasa Indonesia.
“Bukankah kita semua anak baru di kampus ini?” tanyaku sambil mengamati suasana sekitar lorong. “Oh, maaf. Aku sudah ada di kampus ini semenjak lahir. Jadi aku menganggap kalian semua anak baru—atau tamu dan aku tuan rumahnya— semacam itulah. Kau pasti bertanya-tanya apa maksudku kan? Ibuku dosen di kampus ini, jadi aku sudah sering ke sini sepanjang hidupku. Bisa dikatakan ini rumah keduaku,” jelasnya panjang lebar seperti tanpa nafas. Kami memasuki ruangan dengan pintu kayu yang berderit. Di sana terjajar rapi meja yang menyatu dengan kursi, beberapa mahasiswa sudah ada yang menempati kursi tersebut. Seorang dosen cantik dengan kacamata berbingkai kotak dan rambut kuncir kuda sudah ada di depan kelas. Entah mengapa, Kara menuntunku menuju dosen itu. “Kau pasti Natalia Ariel, ya kan?” dosen berumur separuh baya dengan rok dan blazer hitam itu tersenyum pada kami. Kacamata berbingkai hitam yang digunakannya membuatnya terlihat jadi lebih muda. “Iya. Halo, Bu,” sapaku sambil mengulurkan tangan. “Ibu yakin Kara sudah menemukanmu duluan. Ibu yang memberinya tugas itu,” ia mengedipkan sebelah matanya pada Kara. Jika diperhatikan kedua orang ini memiliki bentuk wajah yang hampir mirip... “Ini Ibuku, Bu Deyandra,” bisik Kara seperti menjawab pikiranku. Aku hanya mengangguk-
angguk tanda mengerti. Begitu rupanya. Pantas saja mereka mirip. “Kalian sekelas lagi di kelas Kewarganegaraan, bukan begitu, Kara? Kau bisa menjadikan Kara sahabatmu di sini. Ibu yakin Kara yang terbaik di kampus ini dalam hal bersahabat,” ucap Bu Deyandra sambil mengedipkan sebelah matanya. Masih dalam keadaan sangat bingung, aku menatap Bu Deyandra dan Kara bergantian. Di kampus ini begitu banyak anak-anak baru dan mengapa hanya aku yang disambut sedemikian rupa? Aku jelas bukan anak spesial di kampus ini yang membutuhkan “pemandu tur” seperti Kara. “Kau terlihat bingung.” tegur Bu Deyandra menyadari raut wajahku yang tidak fokus. “Aku hanya bingung, mengapa kalian menyambutku saja tapi tidak dengan anak-anak baru lainnya?” tanyaku sambil memandang sekeliling kami. Ibu dan anak itu saling pandang kemudian terkekeh. “Oh, Sayang. Aku adalah kolega Ayah dan Ibumu. Aku dan suamiku, tepatnya. Suamiku dokter umum di klinik. Kami yang menyarankan agar orangtuamu pindah ke klinik. Apakah Ibu dan Ayahmu tidak memberitahu kalau anak kolega mereka juga kuliah di sini?” jelas Bu Deyandra panjang lebar. Ah, sekarang semuanya sudah jelas. Kara pasti sudah mengetahui berita tentangku lebih dulu hingga ia langsung mengenaliku ketika pertama kali bertemu di bawah tadi.
“Tidak, Bu. Mereka terlalu bersemangat dengan klinik barunya.” dan aku memaklumi hal itu karena aku tahu ini impian Ayah dan Ibu sejak dulu. “Oh, tentu saja! Mereka akan jadi dokter gigi terbaik di klinik. Well, silakan pilih kursi kalian. Ibu harap kalian bisa bersahabat karib.” Bu Deyandra tersenyum tulus dan mempersilakan aku dan putrinya duduk di kelasnya. Sembari berjalan menuju kursi yang kami pilih di baris ketiga dari depan, Kara memperkenalkanku pada kampus. Maksudnya, ia menjelaskan di mana letak toilet bersih dan toilet kotor, di taman mana mahasiswa dan mahasiswi bisa merokok dan berpacaran, di mana kelas-kelas berhantu, dan sebagainya. Ia juga sempat memberitahuku nama sebagian mahasiswa di kelas kami dan seperti apa mereka. Misalnya saja, lelaki yang duduk di meja depan kami, namanya Fendy. Ia memiliki rambut ala Bruce Willis atau bisa kau bilang botak, pebasket handal di sekolah, juga kapten tim debat. Plus, Kara sudah memilihnya untuk dijadikan fantasi ciuman pertama jadi aku tidak boleh menaksir Fendy. Di sebelah Fendy duduk Gary, memiliki rambut gimbal dan kulit khas orang Indonesia Timur dan juga pebasket handal di sekolah. Ditambah, murid terpintar di kelas kami, Maria yang memakai kawat gigi dan kacamata setebal kaca botol saus, dan juga ada mahasiswi—yang katanya—tercantik di fakultas ini, Cindy yang memiliki rambut coklat alami karena Ayahnya asli orang Denmark dan kulit mulus
bercahaya. Alasan Kara mengetahui mereka semua adalah karena mereka berasal dari sekolah yang sama sebelumnya. Ketika aku iseng bertanya siapa yang terganteng di fakultas ini, Kara hanya mengangkat bahunya. Menurut Kara, predikat tersebut belum dimiliki siapa-siapa di fakultas ini dan ia menyayangkan hal itu. Melihat dari banyaknya lelaki berwajah tampan di kelas ini, aku mungkin akan bingung juga untuk memilih siapa yang berhak menyandang predikat terganteng. “Selamat pagi, Kawan-kawan.” sapa Bu Deyandra dari balik mejanya sambil memberikan senyum termanisnya. Kelihatannya ia dosen yang menyenangkan. “Pagi ini, sebelum kita memulai kelas, Ibu mengajak beberapa senior kalian untuk memperkenalkan UKM yang ada di kampus kita. Jika ada yang tertarik, jangan sungkan untuk menghubungi senior kalian,” lanjut Bu Deyandra seraya membuka pintu kelas. Beberapa orang yang umurnya terlihat lebih dewasa daripadaku masuk ke dalam kelas. Aku masih berpikir Unit Kegiatan Mahasiswa apa yang harus kuikuti. Aku tidak terlalu suka bersosialisasi dan kerja sama tim, aku tidak bisa menari, aku tidak bisa main drama, aku bukan pecinta alam, dan jelas aku bukan penyuka olah raga seperti taekwondo. Sepertinya aku tidak cocok di UKM manapun.
“Kalian diwajibkan mengikuti satu UKM untuk syarat kelulusan semester satu ini. Kewajiban ini dilakukan agar kalian bisa lebih mudah untuk mengenal satu sama lain di kampus,” kata-kata Bu Deyandra seperti menyahut pikiranku. Seorang senior perempuan bertubuh pendek dari depan kelas membagikan sebuah brosur. Setiap halaman diisi oleh jenis-jenis UKM yang ada di kampus ini, tagline mereka, serta visi dan misinya. Aku membaca sekilas nama-nama UKM itu dan tagline-nya. Student Solidarity? “Organisasi gabungan mahasiswa-mahasiswi yang peduli pada aktifitas kampus”. Jelas tidak. Modern Dance? Jangan tanya. Drama Queen Class? “Kelas drama dan teater yang akan mengubah hidup Anda”. Sudah dipastikan bencana besar. To The Nature and Jungle Community? “Aktifitas mahasiswa pecinta alam, menjelajah gunung dan lautan Indonesia”. Ah, akan sulit untuk minta izin masuk hutan pada Ayah dan Ibu. Taekwondo Unity? “Self-defense dibutuhkan semua orang, tanpa memandang gender”. Hah, sepertinya ini pilihan terakhir, dan ini yang paling individualis dibandingkan UKM lainnya—baca; tidak membutuhkan kerja sama tim. Sepertinya aku sudah menentukan pilihan, walaupun dalam hati aku kurang yakin dengan apa yang kupilih. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin cukup satu semester saja. Lagipula, ini hanya kewajiban untuk mahasiswa semester satu, bukan?