125
BAB V KESIMPULAN
Pada mulanya saya hanya memahami gig sebagai sebuah pertunjukan musik independen yang berskala kecil dan diadakan pada satu malam saja (sekali waktu). Tetapi, ternyata terdapat hal lain yang membuat gig itu menjadi sebuah peristiwa pertunjukan yang berciri khas dan mampu memberikan pengalaman berbeda kepada para partisipannya daripada kehidupan sehari-hari ataupun peristiwa pertunjukan yang lain. Kekhasan itu terletak pada bagaimana gig mampu menyajikan suasana yang intim, hangat, dekat, dan akrab dalam setiap gelarannya. Dalam prakteknya yang berlangsung di kota ini, gig itu sangat dekat dengan musik independen, karena ia menjadi tempat bagi musisi-musisi independen itu unjuk gigi. Hubungan antara gig dan indie, tidak hanya terletak pada bagaimana musisi-musisi independen itu menjadi penampil di dalam gig dan identiknya istilah gig bagi pertunjukan musik independen di kota ini. Hubungan antara keduanya juga terletak pada bagaimana semangat-semangat independen yang menyelimuti musik independen turut mendasari digelarnya gig. Hal itu ditunjukkan lewat bagaimana dipahaminya gig sebagai sebuah acara yang kolektif secara ekonomi. Biasanya dilakukan dengan mengedarkan kotak donasi sukarela yang seolah-olah membuat tiap partisipan seolah-olah memiliki andil dalam terjadinya gelaran gig itu.
126
Di mata para partisipan, gig dianggap sebagai sebuah pertunjukan musik yang berskala kecil, memanggungkan musisi-musisi independen, dan menyajikan suasana yang intim, hangat, dekat, nan akrab. Perlu diperhatikan di sini bahwa istilah gig itu sendiri bukan berasal dari bahasa Ibu, sehingga perubahan pemaknaan terhadap istilah itu menjadi suatu hal yang sangat mungkin. Globalisasi adalah kunci berlangsungnya praktek gig di kota ini. Ia dibawa melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta semakin mudahnya akses terhadapnya dari waktu ke waktu. Akibatnya ia pun mengalami glokalisasi dan apropriasi, istilah gig diadaptasi dan berusaha dipas-paskan agar sesuai dengan para pelaku atau partisipan yang ada di kota ini. Bentuk dari penyesuaian itu antara lain, diidentikkannya gig kepada musik independen dan skalanya yang kecil. Padahal, di daerah asalnya, baik skala besar maupun kecil, pertunjukan musik itu disebut gig¸ asalkan tidak menerapkan sistem penomoran kursi. Kemudian, dalam praktek yang berlangsung di sini, gig memiliki kecenderungan untuk tidak menerapkan sistem pentiketan sehingga sering dianggap sebagai acara yang gratis. Sementara itu, di daerah asalnya gig itu selalu menerapkan sistem pentiketan, mengingat penggelaran acara itu membutuhkan biaya produksi, minimal untuk menyewa alat pertunjukan. Hal-hal seperti itu membuat gig terkesan diadopsi pada hal-hal yang sekiranya sesuai dan terkesan dipahami pada tataran permukaannya saja. Gig merupakan sebuah peristiwa pertunjukan. Memahami gig dari kacamata itu menunjukkan bahwa gig ini bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja tetapi dibuat dengan tujuan untuk dipertontonkan. Maka, ia harus memiliki
127
partisipan, penyelenggara, dan penonton selaku elemen dari pertunjukan itu. Sebagai sebuah pertunjukan, gig pun memberikan pengalaman yang berbeda sebagai ciri dari pertunjukan. Buktinya adalah digunakannya indera penglihatan dan peraba, selain indera pendengaran, untuk menikmati musik independen di dalam gig. Dampaknya adalah gig membuat musik independen menjadi kembali eksklusif di tengah maraknya pembajakan dan layanan streaming di internet yang membuat musik independen seolah-olah terlalu murah dan mudah didapatkan. Sehingga lewat penampilan langsung yang dapat membuat musik independen bernilai lebih. Mengingat pertanyaan saya itu adalah tentang gagasan konseptual dari suatu gig, saya merasa penting untuk melihat gig dari segi kebentukannya. Dilihat dari segi kebentukannya, gig digelar di ruang yang kecil, tak bertempat duduk (berkursi), berpanggung tanpa tingkat (tak memakai level), dan tanpa ruang belakang panggung (backstage). Namun, dalam praktiknya tidak selalu seperti itu, karena yang dijadikan ruang pertunjukan suatu gig bukan benar-benar tempat yang biasanya untuk menggelar pertunjukan. Sehingga yang dilakukan oleh para penyelenggara itu adalah mengkreasikan ruang-ruang yang sudah ada dan memfungsikannya sebagai ruang pertunjukkan, karena mahalnya sewa tempat untuk menggelar suatu pertunjukan, mengingat gig itu secara ekonomi cukup minim dengan kerapnya digelar secara gratis. Keadaan yang sedemikian rupa sangat memungkinkan untuk terciptanya suasana intim, akrab, dekat, dan hangat. Tempat eksklusif seperti ruang belakang panggung (backstage) pun sengaja ditiadakan agar tidak membeda-bedakan satu
128
partisipan dengan yang lain. Interaksi langsung pada akhirnya menjadi suatu hal yang tak terelakkan, baik secara aktif maupun pasif. Sebab, mereka berada di ruang yang sama dan saling membaur satu sama lain, mengingat tidak adanya jarak yang tercipta antara satu partisipan dengan yang lain. Semua yang berpartisipasi di gig itu terkesan berada pada tingkatan yang sama yaitu sebagai partisipan gig. Keintiman itu juga tidak hanya diakibatkan dari tak berjaraknya satu partisipan dengan yang lain, tetapi bagaimana seolah-olah tiap partisipan itu kawin dengan musik yang mengalun dan bersatu lewat gerak tubuh yang sama. Apabila dari kacamata pertunjukan, partisipan gig itu hanya terdiri atas; penampil, penyelenggara, dan penonton. Tetapi di dalam gig, orang-orang yang seolah tidak terlibat langsung (berada di luar ruang pertunjukan) itu juga dianggap sebagai bagian dari partisipan. Mereka adalah pelapak, karena lapak menjadi tempat mampirnya para partisipan gig yang lain (panitia, penonton, dan penampil) untuk mampir melihat-lihat dagangan dari para pelapak. Area lapak dianggap penting dan bagian dari gig, karena ia menambah suasana menjadi akrab melalui interaksi intens antar partisipan. Area lapak mempertemukan partisipan satu dengan yang lain lewat satu ketertarikan yang sama yaitu musik independen, mengingat rilisan-rilisan yang dijual di sana adalah rilisan dari para musisi independen. Anak muda adalah kelompok sosial yang dianggap memiliki istilah gig, karena mereka lah pengguna istilah itu secara intens untuk menyebut peristiwa pertunjukan tertentu. Media-media yang dipergunakan untuk menyebarkan informasi mengenai gig pun media-media yang dekat dan selalu diakses oleh
129
anak-anak muda. Selain itu,
gig dianggap cukup representatif untuk
menggambarkan anak muda dengan keluwesan yang diberikan oleh gig kepada para partisipannya. Para partisipan pun pertama kali terlibat di usia muda, tepatnya pada belasan akhir. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa orangorang yang berusia lebih tua masih kerap terlibat dalam gig. Terbukti dari adanya istilah „cah tuo‟ yang membenturkan arti antara muda dan tua dalam satu frase. Sehingga gig juga dianggap dapat memudakan para partisipan yang secara usia sudah tua itu tadi lewat sifat „kebocahan‟ dari gig yang cenderung santai dan isinya seolah-olah hanya bersenang-senang saja. Tidak berhenti di situ, melihat bagaimana gig menjadi sebuah peristiwa kolektif—karena melibatkan lebih dari satu orang—penting rasanya untuk memperhatikan gig itu sebagai peristiwa kolektif yang seperti apa. Pertanyaannya adalah apakah itu peristiwa kolektif berbasis komunitas mengingat adanya kesamaan ketertarikan terhadap musik independen yang dimiliki oleh para partisipan gig? Ternyata tidak, saya menggunakan konsep mengenai komunita dari Turner untuk melihat gig sebagai sebuah peristiwa pertunjukan. Komunitas dianggap terlalu berat oleh para partisipan karena dinilai terlalu kaku dan terstruktur. Selama gig berlangsung, para partisipan mengalami kondisi liminal di mana satu partisipan dengan yang lain berada pada tingkatan yang sama tak berstruktur. Tetapi, hal itu bukanlah limen yang menuntut terjadinya reintegrasi yang menyatukan para partisipan menjadi satu komunitas yang lebih teguh setelah kondisi itu. Para partisipan gig tidak menginginkan hal itu, maka setelah
130
berpartisipasi di dalam gig mereka kembali ke status dan kondisi sosialnya masing-masing, hal itu disebut dengan liminoid—turunan dari limen. Gig menjadi cara bagi para partisipan gig untuk melepaskan diri dalam waktu sementara dari komunitas sebelumnya yang mungkin memberikan kejenuhan dan kepenatan. Tidak hanya berusaha lepas dari jenuh dan penat, mungkin komunitas atau kelompok sosial sebelumnya membuat anak-anak muda itu berada dalam tekanan dengan aturan-aturan yang mengikatnya, mengingat identitas lain mereka sebagai anak kuliah atau sekolah dan anak dari orang tuanya. Di dalam gig itu mereka berusaha lepas dari itu semua untuk sementara waktu, karena dalam gig mereka seolah merasa bebas dan menemukan dirinya. Sedangkan, komunitas itu merujuk kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu indie yang mengacu kepada suatu jenis musik dan etos. Para partisipan seolaholah merasa identik satu sama lain karena menyukai musik yang sama. Tetapi tidak ada institusi formal yang menaungi mereka, sehingga yang mereka lakukan adalah berada dalam satu kelompok yang sama berbasis ketertarikan terhadap suatu hal. Interaksi yang berlanjut tidak selalu terjadi secara langsung tetapi melalui kegiatan konsumsi dan produksi terhadap hal-hal yang berbau indie. Gig digelar untuk memenuhi hasrat-hasrat tertentu dari para partisipan gig. Secara garis besar yang ingin dipenuhi adalah hasrat para partisipan terhadap musik independen hanya bisa didapat lewat membeli CD dan menjelajah dunia maya. Lewat berpartisipasi dalam gig mereka pun mendapatkan pengalaman berbeda karena menonton aksi dari musisi-musisi independen secara langsung. Gig juga menawarkan kebaruan bagi para partisipan, karena banyak musisi
131
indpenden yang belum merekam lagunya secara professional, dan karya-karya mereka hanya dapat dinikmati dengan berpartisipasi dalam gig. Tetapi, suasana intim dan hangat adalah daya tarik dan hal yang tak luput untuk mereka cari, karena di sana mereka bisa merasa sama antara satu sama lain dan sejenak melupakan latar belakangnya. Sebab, kebersamaan itu pula yang menjadi ciri khas dari suatu gig, karena segala hal yang di sana sifatnya jadi bersama-sama, begitu pun kesenangannya. Kesenangan di dalam gig itu adalah suatu hal yang dikonstruksi bersama-sama. Atas fungsinya yang dapat mempertemukan orang, gig pun dapat dijadikan sebagai sebuah ruang sosial. Mengingat yang mereka cari adalah suasana yang intim, gig ini disebut sebagai ruang sosial alternatif, karena ruang sosial berupa pertunjukan yang sudah mapan macam konser tidak mampu memfasilitasi mereka untuk memenuhi hal itu. Di konser banyak sekali pembatasan dan pembedabedaan antar satu partisipan dengan yang lain, sehingga semacam terbentuk hirarki di antara para partisipan itu. Sedangkan di dalam gig, hal seperti itu sifatnya lebih kabur, karena mereka bersatu dalam hubungan yang tak berjarak dan tanpa tingkatan. Dengan kondisi seperti itu, para partisipan gig dapat berteman dengan siapa saja. Hal ini membuat sejumlah partisipan sekaligus melakukan investasi berupa pertemanan yang berguna dalam dunia gig pula. Pertanyaan-pertanyaan saya pun akhirnya terjawab sudah dengan berbagai cara pandang yang saya coba gunakan di atas. Sampai pada saat tulisan ini selesai, fenomena mengenai gig dan indie masih terus berlangsung di kota ini. Berbagai gig semakin banyak terselenggara didukung dengan semakin banyaknya musisi
132
independen yang bermunculan. Penelitian ini bermula dari rasa pribadi mengenai hal yang saya anggap dekat dengan kehidupan sehari-hari, yaitu gig dan indie. Ternyata kedua hal itu tidak benar-benar dekat dengan saya dan tidak seremeh yang saya pikirkan. Sebuah hal yang awalnya saya kira hanya hiburan semata ternyata memiliki hal-hal yang cukup serius di belakangnya. Seperti bagaimana ternyata gig ini terdiri atas anak-anak muda dari kelompok kelas menengah yang seolah-olah terlihat berusaha membedakan diri, mengingat biasanya kelas menengah ini berada di antara kelas bawah dan kelas atas. Mereka berusaha membedakan diri, salah satunya dengan ruang berupa gig yang mereka bentuk sedemikian rupa. Salah satu upayanya dalam memenuhi kebutuhan akan hiburan yang
sebenarnya
bukan
kebutuhan
primer,
mereka
lakukan
dengan
merekonstruksi ruang-ruang yang gunanya bukan untuk menggelar pertunjukan itu menjadi ruang pertunjukan untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan. Selain itu, dari awal saya terkesan menunjukkan betap demokratisnya gig dengan saling pengertiannya satu sama lain di dalam suatu gig. Mungkin saya sempat terlena dengan bagaimana keramahan para partisipan gig yang begitu baiknya menyambut saya sejak awal penelitian ini dilakukan. Memang di dalam berlangsungnya pergelaran itu semua tampak setara. Tapi setelah mencoba melihat dari luar, kesetaraan itu ternyata terjadi karena mereka memiliki kelas sosial atau ekonomi yang kurang lebih memang sama, sehingga tidak heran mereka bisa merasa sama satu sama lain. Ke-demokratis-an itu tampak jelas dari bagaimana para partisipan gig itu satu sama lain berhubungan tanpa jarak dan
133
menerima dengan baik segala macam genre musik dalam suatu gig asalkan memiliki semangat yang independen. Tetapi di samping ke-demokratis-an yang mengesankan bahwa mereka cukup inklusif dan terbuka terhadap segala kalangan, mereka sebenarnya sekaligus eksklusif dengan berbagai keengganan terhadap sesuatu yang sifatnya lebih besar yaitu mainstream dan segala perangainya yang dibawa (seperti konser untuk pertunjukannya dan label mayor untuk tempat bernaung para musisinya). Alasan penolakannya adalah yang mainstream itu dinilai terlalu „berjualan‟ atau komersil. Padahal berjualan sendiri tidak ada salahnya. Tetapi keberadaan mainstream itu justru membuat mereka menjadi berbeda, unik, dan menarik. Tanpa keberadaan mereka indie dengan gig-nya tidak bisa membedakan diri. Sehingga, bila dilihat secara lebih luas ternyata indie dan gig-nya itu cukup eksklusif di balik segala keinklusifannya.
Memang yang indie-indie itu juga
berjualan, tetapi tidak dengan skala yang besar dan masif, lagi-lagi hal ini membuat indie dan gig yang didalamnya itu inklusif tetapi apabila dilihat lagi mereka cukup eksklusif. Sebab, dengan skala yang kecil membuat sesuatu yang indie itu belum tentu dapat dimiliki semua orang karena jumlahnya yang cukup terbatas.