95
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Menurut Pasal 268 ayat (3) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja.1 Hal itu berarti putusan yang sudah diajukan peninjauan kembali dan telah diputus untuk perkara yang sama tidak dapat diajukan lagi oleh terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, saat ini upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. Apabila ada pejabat negara atau warga negara yang membatasi upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 maka tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu tujuan dan fungsi peninjauan kembali. Pada dasarnya peninjauan kembali dimaksudkan semata-mata untuk melindungi kepentingan terpidana, bukan kepentingan negara atau korban. Peninjauan kembali yang kini
1
Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
96
tidak dibatasi hanya satu kali jelas akan lebih melindungi kepentingan terpidana untuk mencari keadilan. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.2 Namun pada prakteknya Kejaksaan biasanya melakukan penundaan eksekusi pidana mati ketika terpidana mati mengajukan permohonan peninjauan kembali. Keadaan ini semakin pelik setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013. Adanya kesempatan melakukan peninjauan kembali berkalikali dikhawatirkan akan digunakan oleh terpidana mati untuk terus menunda eksekusi pidana mati terhadap mereka. Atas keadaan ini MAKI dan LP3HI mengajukan judicial review Pasal 268 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak seluruh permohonan MAKI dan LP3HI. Mahkamah berpendapat sikap kehati-hatian jaksa selaku eksekutor dalam hal ini pidana mati harus dihormati. Sebab, seorang terpidana mati yang sedang mengajukan Peninjauan Kembali harus ditunggu terlebih dulu sampai ada putusan untuk menghindari jangan sampai ada
permohonan
Peninjauan
Kembali
yang
dikabulkan
oleh
Mahkamah Agung sesudah eksekusi dilaksanakan. Dalam hal ini jaksa selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati memang harus sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak asasi yang sangat mendasar. 2
Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
97
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi peninjauan kembali tetap satu kali tidak tepat. Selain permasalahan terkait bentuk produk hukum yang digunakan, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak mematuhi asas lex specialis derogat legi generali karena mengacu pada Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Padahal keduanya mengatur peninjauan kembali secara umum. Jika dikaitkan dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana maka sudah seharusnya MA berpedoman pada KUHAP, yang mana Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. 2. Menurut Penulis Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu asas litis finiri oportet maupun kepastian hukum. Perkara yang dimohonkan Peninjauan Kembali hanya perkara yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut bisa dapat langsung dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, keadaan demikian sudah dapat dikatakan sebagai akhir perkara (karena dapat langsung dieksekusi) dan sudah menjamin kepastian hukum.
B. Saran
98
1. Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 perlu segera dilakukan tindak lanjut berupa revisi UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya di bagian tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap. 2. Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 diperlukan sinkronisasi ketentuan-ketentuan terkait upaya hukum peninjauan kembali seperti Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali. 3. Bentuk pengaturan terkait peninjauan kembali sebaiknya dilakukan dalam bentuk Undang-Undang. Hal tersebut dikarenakan setiap pembatasan terhadap hak warga negara seharusnya diatur dalam bentuk Undang-Undang sebagaimana ditentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Mahkamah Agung seharusnya membuat pengaturan terkait kualifikasi novum, batas waktu permohonan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan lain-lain, bukan justru membatasi permohonan Peninjauan Kembali hanya satu kali sebagaimana SEMA Nomor 7 Tahun 2014. 5. Keluarnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 terkesan disebabkan kekhawatiran MA terjadinya banjir permohonan Peninjauan Kembali
99
yang bisa jadi memberatkan kerja MA. Seharusnya dalam hal ini MA tidak melakukan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 dan membatasi peninjauan kembali melalui SEMA nya, melainkan mengatur kualifikasi novum atau yang lainnya yang bisa menjadi alasan pengajuan Peninjauan Kembali kedua dan seterusnya. Selain itu juga MA bisa mendorong setiap hakim untuk dapat menyelesaikan permohonan Peninjauan Kembali yang datang dengan misalnya menerapkan beban kerja minimum per bulan, bukan membatasi permohonan Peninjauan Kembali begitu saja. 6. Pasal 262 RUU KUHAP masih menganut bahwa permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali sebagaimana ditentukan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Perkembangan RUU-HAP yang masih berlangsung di DPR ini perlu diperhatikan karena masih mengatur bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. Oleh karena itu, ketentuan pengajuan peninjauan kembali dalam RUU-HAP harus dirumuskan kembali sehingga sesuai dengan apa yang telah diputus oleh Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.