Terlambat Aku Mengenal-Mu
Franciska Yohana Sri Winarshih (Inez)
“Aku tidak mau mengingat Dia …. maka dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala terkurung dalam tulang-tulangku, aku berlelah-lelah untuk menahannya tetapi aku tidak sanggup”. (Yer 20: 9). Keluh kesah Yeremia tersebut sangat mewakili pergulatan hati saya dalam mendengarkan, memahami dan akhirnya mentaati kehendak Allah. Untuk sampai pada kesanggupan mengatakan “YA” atas panggilan Tuhan menjadi sahabat setia-Nya, perjalanan rohani saya berliku-liku. Jalannya naik-turun, terang dan gelap, namun bila kini saya menegok ke belakang, keindahannya tak terperikan. Sempurna. **************
Bagian 1. Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Katolik karena Bapak ibu saya penganut Kejawen (agama tradisional Jawa). Sungguhpun saya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur namun pendidikan agama tidak merupakan prioritas. Keluarga besar ayah saya kebanyakan beragama Kristen Protestan sedang dari sisi ibu mereka adalah muslim yang taat. Di salah satu desa tempat saya dibesarkan (itu karena kami sering pindah tempat tinggal), Islam adalah satu-satunya agama yang saya kenal. Setidak-tidaknya itulah yang saya pelajari di Sekolah Dasar. Pada saat kelas lima SD, mulailah saya sholat dan berpuasa sebagaimana layaknya anak-anak yang lain tanpa ada yang menyuruh dan menuntun. Saya belajar dari buku tuntunan shalat yang saya pinjam dari seorang teman dan saya masih ingat damainya hati ketika mengambil air wudhlu sebelum sholat. Saya kira itulah benih kerinduan awal untuk berrelasi dengan Tuhan Pencipta. Lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke kota (Solo). Kakak saya (yang sudah menjadi Katolik) mendaftarkan saya sebagai siswi beragama Katolik. Jadilah saya masuk kelompok siswa Katolik tanpa ide apapun mengenai Agama Katolik. Itu mencemaskan. Saya ingat betapa takutnya saya sewaktu pada awal mengikuti pelajaran Agama Katolik, terutama pada saat doa. Doanya sendiri tidak menakutkan, yang menakutkan adalah ‘mandapatkan giliran’ untuk memimpin doa. Ketika yang lainnya membuat tanda salib, yang spontan muncul dalam hati saya adalah Bismillah. Seiring berjalannya waktu Tuhan semakin serius dalam membangun iman saya. Tidak ada yang menyuruh atau mendorong, sama seperti saat saya mulai mempelajari Agama Islam, saya memutuskan untuk ikut katekumen di paroki Purbayan Solo. Itu adalah paroki terdekat dari tempat kos saya. Pengajarnya seorang Suster Fransiskanes (OSF). Itulah perjumpaan awal dan dekat dengan sosok biarawati. Selama satu tahun mengikuti katekumen, akhirnya saya dibabtis saat kelas tiga SMP. Itulah hari ketika saya secara definitif menjadi seorang Katolik. Dari segi iman, saya cukup setia dengan doa novena, rosario dan sesekali membaca Kitab Suci. Tetapi pengalaman akan Allah itu seperti apa, saya tidak mengerti. Pelajaran agama di sekolah saya ikuti dengan tekun. Saya “mengetahui” siapa Tuhan namun tidak merasa mengalami Allah yang hidup sebagaimana diajarkan dalam pelajaran. Menjadi suster? Itu jauh dari angan-angan. Saya ingin bekerja di luar Jawa, memiliki banyak uang dan mengunjungi tempat-tempat baru dan asing. Saya suka perjalanan. Kelak terbukti bahwa dengan menjadi suster, saya menembus batas-batas wilayah dan mengenal budaya berbagai negeri.
Selepas SMA saya melajutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada saat di perguruan tinggi inilah sejarah panggilan saya dimulai. Ada dua peristiwa penting yang menjadi titik tolaknya. Pertama, terjadi ditahun terakhir saya kuliah, semester tujuh tepatnya. Saya merasa studi saya akan segera berakhir, status sebagai mahasiswa menjelang kadaluwarsa, what next? Memikirkan hal itu membuat hati saya berdesir – desir. Saya cemas. Kemudian pertanyaan tersebut menjadi sangat signifikan pada peristiwa berikutnya. Sore itu saya keluar ke teras di samping kost saya. Sambil memandang langit Bogor yang cerah dan alam sekitar yang hijau, saya bertanya dalam hati, ”Tuhan , mengapa Kau ciptakan aku? Kalau hidup memiliki tujuan, apakah itu? Kalau hidup ini Kau kehendaki dan ada tujuannya, bagaimana saya harus mengisi hidup agar bermakna?”. Lama kemudian saya menyadari bahwa setiap orang, pada saat tertentu, akan sampai pada pertanyaan semacam itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasar karena berkenaan dengan makna hidup. Saya tidak mempunyai ide bagaimana menemukan jawabnya. Kiranya waktu itu saya belum mengenal Allah meski saya mengaku beriman. Ini adalah tahap Samuel muda yang meski tinggal dalam bait Tuhan namun belum mengenal Allah. Kedua, ketika saya mengikuti misa minggu panggilan di Katedral Bogor. Misa itu dipimpin oleh seorang imam dari ordo Fransiskan (OFM). Diakhir homilinya, beliau mengajukan pertanyaan ini ”Tuhan memanggil, siapakah yang akan menanggapi kalau bukan kita?” Sepulang dari misa, sambil berjalan mengitari Kebun Raya Bogor, saya menyadari pertanyaan tadi tetap menggema di hati dan pikiran saya. Pertanyaan tersebut akhirnya bukan lagi untuk orang lain, melainkan untuk diri saya sendiri. Pertanyaannya berubah menjadi ”Tuhan memanggil, siapakah yang akan menanggapi kalau bukan saya?” Heroik, itulah yang saya rasakan. Ada dorongan untuk menjawab, berkorban dan hidup secara berbeda demi Tuhan. Saya mulai berangan-angan, apa jadinya kalau saya menanggapi ini? Dua peristiwa itulah yang memunculkan gagasan menjadi suster. Sejak itu saya rajin ikut misa pagi di kapel milik Suster Gembala Baik. Kebetulan kapel tersebut dekat dengan tempat kost saya. Saya menemukan kegembiraan dengan mendengarkan para suster berdoa bersama sebelum misa dimulai. Ketika pagi masih buta dan kebanyakan makhluk masih terlelap, para suster bangun dan menyucikan dunia. Saya merasakan damai dan tenang saat mendengarkan mereka berdoa. Belakangan, saya tahu bahwa itu adalah doa ofisi// brevir. Saya mulai memikirkan seandainya saya menjadi salah satu dari mereka. Ah, betapa pikiran tersebut mulai lebih sering datang. Kalau dipikir, inilah barangkali -secara serius- Tuhan mulai mengacaukan pikiran dan hati saya.
Bagian 2. Belajar Menjadi Murid Saya lulus kemudian pergi ke Kalimantan. Tujuan utama adalah untuk menimbang panggilan hidup : menjadi awam atau menjadi suster. Delapan belas bulan saya habiskan untuk memikir dan menimbang. Basecamp saya adalah Paroki Tenggarong, Kutai Timur. Saya membantu pekerjaan di paroki dan di sanalah awal saya memperbincangkan kerinduan saya dengan seorang imam SVD. Dari buku petunjuk gereja saya tahu ada banyak sekali kongregasi. Namun satu – satunya kongregasi yang saya kenal waktu itu adalah salah satu kongregasi fransiscan. Pikir saya waktu itu, ”Memang ada beda signifikan antar kongregasi? Bukankah mereka semua berjubah dan tidak menikah?”. Ach naifnya saya .... belakangan saya tahu bahwa setiap kongregasi memiliki karisma dan spiritualitasnya masing-masing. Alasan saya memilih melamar ke kongregasi ini adalah karena ini kongregasi guru katekumen saya. Meski saya belum mengenalnya, toch saya mengirim surat juga ke Semarang. Balasan datang dari suster pemimpin noves
(almarhum). Kata-kata beliau menyejukkan dan tulisan tangannya bagus sekali. Bukan main girang hati saya. Kisah panggilan sayapun secara serius dimulai. Dalam keraguan dan kecemasan akan kebenaran pilihan saya, saya mengetuk pintu biara ini. Saya sadar betul bahwa tidak akan ada tanda maupun jawaban pasti dari pencarian ini namun yang saya tahu adalah saya mengikuti dorongan hati terdalam dan yakin Tuhan akan menuntun saya. Panggilan saya yang pertama adalah menjadi Suster Fransiscanes. Itu terjadi tahun 1989. Dua tahun setelah saya lulus. Tiga tahun saya jalani pendidikan postulan dan novisiat. Saya merasa pada saat itulah saya mulai mengenal Tuhan di dalam hidup saya. Ia memperkenalkan diri-Nya secara intensif dan saya menanggapi-Nya dengan penuh semangat. Ia bukan-Nya tidak terjangkau untuk dikenal oleh manusia. Ada saat ketika saya mengeluh kepada-Nya dengan keluhan St. Agustinus,’Tuhan, terlambat saya mengenal-Mu. Kalau tahu begini saya tidak akan berlama – lama mengahabiskan waktu di banyak tempat.’ Seperti seorang guru mendidik muridnya, Tuhan mengenalkan diri–Nya secara personal kapada saya. Pernahkah kamu rasakan cinta yang tidak sanggup kau deskripsikan, yang membuatmu merasa hal-hal lain di dunia nampak kurang berharga? Itulah pengalaman akan Allah dan betapa Tuhan memanjakan saya dengan pengalaman semacam itu. Saat itu adalah saat saya dikelilingi dan dibantu para formator terbaik. Saya diajari bagaimana mengenal diri dan mengenal Tuhan, menambal yang luka maupun merangkul kelemahan. Beberapa pengajar adalah imam dari Serikat Yesus (SJ). Dari mereka saya mengenal Spiritualitas Ignasian dan salah satu di antaranya adalah semangat Magis, to be more. Saya belajar mengabdi-menghormati-memuliakan Allah melalui kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana : misalnya dalam membersihkan kamar mandi/WC, dalam menyirami tanaman, dalam mengelap meja, dalam bernyanyi pun dalam berdoa. Pendek kata, dalam hal apa pun. Kata kuncinya adalah belajar mengalahkan diri. Pekerjaan seremeh apa pun lalu menjadi sangat bermakna ketika diletakkan dalam konteks pujian dan pengabdian. Hidup berkomunitas, meski tidak mudah, namun harus diakui …. sangat menggembirakan. Sungguh itu merupakan saat yang luar biasa dan saya sangat bersyukur akan hal itu. Kaul pertama terjadi tahun 1992. Saya tidak akan mengisahkan perjalanan selama 4 tahun sejak tahun 1992. Pada tahun 1996 masa kegembiraan saya sebagai Suster fransiscanes pun berakhir. Saya tidak diterima untuk memperbaharui kaul. Artinya saya harus meninggalkan kongregasi yang selama ini menjadi ibu dan guru saya. Sangat gelap, itulah gambaran saya akan masa itu. Jika merenungkan kembali peristiwa itu maka saya menyadari bahwa saat itu merupakan titik terendah sekaligus titik balik di dalam hidup saya. Lama baru saya menyadari bahwa itu adalah saat ketika “saya dilahirkan kembali secara baru”. Kongregasi fransiscan yang saya tinggalkan hanyalah tempat singgah sementara, tempat saya ditempa dalam pendidikan rohani dasar. Tuhan yang sangat mengenal saya hendak menuntun saya ke tempat yang baru – yang dikehendaki-Nya. Pada saat itu saya belum mampu menangkap maksud hati-Nya maka saya menggerutu. Berulang kali. Dengan sekuat tenaga. Dan memuncak dalam kemarahan yang tak terktakan. Pada siapa? Pada banyak orang namun akhirnya tertuju pada satu pribadi : pada Tuhan. Dalam Kitab Keluaran, dikisahkan umat Israel keluar dari Mesir melalui Laut Merah dan masuk ke padang gurun. Keluaran dari Mesir menuju tanah terjanji, itulah gambaran saya mengenai masa tiga tahun setelah peristiwa itu. Itulah masa padang gurun saya. Sembari mencoba memaknai peristiwa yang baru saja saya alami, saya merancang kehidupan baru. Saya ke Jakarta, bekerja dan melanjutkan studi. Tiga tahun itu sungguh masa yang sangat berat. Persis umat Israel yang marah, kesal, lelah, menggerutu, menuntut dan mengikuti kemauan sendiri, itu pula yang terjadi pada diri saya. Ada banyak sekali pertanyaan dan
tak satu pun terjawab. Sering saya berteriak minta tolong, namun Dia diam seribu bahasa. Saya mengembangkan rasa putus asa. Dan marah. Hingga pada suatu hari saya merasakan dorongan yang kuat di dalam hati saya untuk pergi ke kapel (ada kapel di lembaga tempat saya bekerja). Ketika saya duduk, saya langsung bertanya, “Ada apa? Kau mau bicara apa?” Rupanya setelah dua tahun berdiam diri, Tuhan mulai angkat bicara. Ia menjelaskan segala sesuatu dan hati saya tidak hanya memahami melainkan berkobar-kobar. Air mata saya berlinang-linang di akhir percakapan. Ia membuat saya mampu “melihat kembali”. Saya mengalami relasi yang baru dengan Tuhan. ”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (ayub 42: 5-6).
BAGIAN 3. Dirikan rumahmu atas dasar batu Ketika terjadi gempa di Bantul dan sekitarnya tahun 2006, salah satu yang dilakukan FCJ adalah membantu masyarakat mendirikan kembali rumahnya. Caranya adalah dengan memilih bahan-bahan dari rumah lama yang masih bisa dimanfaatkan, membuang yang tidak lagi bisa digunakan, dan menambah bahan baru yang diperlukan. Fondasi dan tiang-tiangnya dibangun dengan cara baru dengan harapan akan tahan gempa. Itu jualah yang dilakukan Tuhan padaku : membantu saya membangun bangunan baru dengan bahan lama yang telah menjadi puing namun masih bisa digunakan, dan dengan fondasi yang lebih kokoh. Setidaknya saya siap dengan bangunan baru yang pondasinya lebih kokoh. Jika ada angin kencang mungkin bangunan tersebut akan goyang tetapi setidaknya tidak runtuh atau tercerabut. Setelah dua tahun proses ”membangun kembali”, saya menemukan bangunan hidup saya lebih indah dari pada yang sudah-sudah. Dan proses itu tidak mudah. Kalau sekarang saya melihat ke belakang, saya bisa mengatakan betapa indah proses tersebut. ”Allah ada dalam segala sesuatu, juga pada masa hancur dan gelap” memang banar. Namun pada saat masih berada dalam gelap dan tak tahu arah, saya menjalaninya dengan marah dan kadang putus asa. Kata kuncinya adalah senantiasa berjalan dan tidak membiarkan diri berhenti karena putus asa. Itu menjadi awal hidup baru saya. Saya menjalin lagi hubungan dengan Tuhan dan pada saat yang sama dipulihkan oleh-Nya. Iman saya menjadi lebih sederhana, dan yang pasti antara saya dan Tuhan lebih bisa saling jujur. Pada akhir kuliah, saat menulis tugas akhir, saya mulai mengarahkan pandangan ke beberapa tempat untuk menimbang pekerjaan. Ada mimpi yang mulai saya renda. Juga sudah jelas bahwa saya akan hidup melajang. Pada hari ketika saya mulai merancang hidup saya, Tuhan meyesakkan jiwa saya dengan perkara hidup panggilan. Bukan berkenaan dengan keputusan menjadi lajang atau tidak, namun lebih mendasar lagi, yaitu Tuhan mempertanyakan cara saya mengambil keputusan : sepihak, tanpa mengikutsertakan Dia. Rasa itu sungguh menyesakkan, hingga suatu kali saya menemui rama pembimbing rohani, seorang Yesuit. Beliau mengatakan begini ”Kegelisahanmu itu barangkali karena kamu berdiri di tempat yang salah”. Olehnya saya diberi kartu nama Kongregasi Suster FCJ. Tentu saja saya tidak dengan segera menanggapinya. Saya merasakan ketakutan dan kecemasan untuk masuk ke dunia yang sama kedua kalinya. Penundaan berlangsung berlarut – larut hingga pada akhirnya saya mengalami mimpi yang kurang lebih sama sebanyak tiga kali.
Di dalam mimpi itu serasa saya masuk satu kota asing dengan ditemani oleh seseorang yang tidak saya kenal namun akrab di hati. Kota itu kecil, tidak terlalu ramai. Saya berjalan menyusuri kota itu dan berhenti pada sebuah rumah bermodel Joglo dengan kebun yang asri. Pintunya tertutup. Suasananya tenang dan membawa kehangatan dalam hati. Lalu terjadilah percakapan antara saya dengan seseorang yang menemani saya: ‘Mbok kamu kenalan dengan si empunya rumah itu?’ ’Tidak, saya tidak mau.’ ’Mengapa? Alasannya apa kok tidak mau? Toh, kamu tidak dipaksa untuk tinggal, dan kalaupun kamu diminta tinggal namun kamu tidak mau, juga tidak apa-apa! Tidak ada yang akan memaksamu. Tidak ada ruginya, malahan dapat kenalan baru!”. Begitulah garis besar cerita dari mimpi yang saya alami. Mimpi yang cukup kuat bahkan terjadi sampai tiga kali, mendorong saya untuk menulis dan mengirim surat perkenalan kepada Suster Barbara FCJ di Jogja. Bulan September 2001, pertamakali saya berkunjung ke biara FCJ di Yogya. Rumah FCJ Soropadan dibangun dengan sangat elok, dengan taman di tengah rumah dan banyak ruangan terbuka. Saya terkesan pada pandangan awal namun sekaligus hati saya digelayuti oleh rasa cemas yang besar. Juga rendah diri. Saya pernah tinggal di kongregasi lain, apa kata para suster tentang hal ini? Dua tahun saya bolak-balik Jakarta-Yogya-Jakarta menggabungkan diri pada kelompok yang disebut d’Houet, yakni kelompok para perempuan yang berminat mengenal FCJ. Semangat dan minat saya naik turun. Satu tahun sejak kunjungan pertama, saya ditawari masuk menjadi postulan bersama tiga rekan lain dalam d’Houet. Saya mengelak dengan alasan kuliah belum selesai. Dua tahun pun berlalu, masih tanpa keberanian membuat keputusan. Keterbukaan hati saya menipis bahkan ada waktu ketika saya menimbang untuk kembali pada pilihan semula : menjadi selibat awam. Titik. Namun belum sempat saya menjatuhkan kepastian, Sr. Marion bertanya apakah saya siap menjadi postulan. Menimbang beberapa saat, saya menjawab ”Ya”. Kalau saya ingat kembali, saya masih tidak mengerti mengapa waktu itu saya mengiyakan. Saya tidak menemukan alasan yang mencukupi untuk mengatakan ”Tidak”. Malamnya dalam perjalanan kembali ke Jakarta, hati saya terasa hampa berisi kecemasan. Namun setiap kali menengok ke dasar hati terdalam, saya merasakan ketenangan. Damai. Kedamaian lalu menjadi penanda bahwa ini keputusan yang benar. Saya melemparkan diri ke dalam misteri yang bernama iman sebab tidak ada perhitungan apa pun yang secara manusiawi bisa mendukung keputusan ini. Bagaimana akan kujelaskan hadirnya perasaan tenang namun diselimuti oleh kecemasan dan ketidak pastian akan masa depan? Saya mengurus pengunduran diri saya dari tempat bekerja dan bersiap menuju Yogya. Melaju dan menuju Yogya, perjalanan saya memutar terlebih dahulu melewati Toraja dan Lombok. Saya masih berharap ada tanda yang memberi tahu mengenai kekeliruan keputusan ini. Suatu senja di Batutumonga Toraja. Tempat tersebut berkabut, tinggi dan indah. Seluas mata memandang terdapat lembah yang sangat hijau. Saya berkata di dalam hati saya, ‘Tuhan, berilah saya suatu tanda!’. Saat itu saya masih bisa meraih kembali keinginan lama saya seandainya Tuhan tidak menghendaki saya masuk FCJ. Hari untuk menuju Yogya sudah semakin dekat. Dada saya sangat sesak. Saya berteriak sekuat tenaga. Tidak ada tanda yang jelas kecuali rasa tenang di dasar hati dan undangan untuk percaya pada-Nya. Dari Toraja saya bertolak menuju ke Lombok, masih dalam rangka mencari tanda. Saya naik gunung Rinjani. Saya merasa tanda yang diberikan selama ini masih samar – samar dan saya ingin menegaskan, apakah yang saya pilih
dan putuskan itu sesuai dengan yang Tuhan kehendaki? Pertanyaan itu menjadi mantra yang terus menerus saya ucapkan sewaktu mendaki. Pada malam kedua pendakian, di dalam doa Tuhan menjawab,’Kamu tidak akan diberi tanda. Sekarang tanyakan kepada dirimu sendiri. Apa yang paling kamu inginkan dari hidupmu? Apa yang kamu harapkan dari hidupmu? Apapun yang kamu pilih akan Kuberkati.’ Rupanya Tuhan lelah juga menuruti kebimbangan saya. Akhirnya saya menemukan bahwa tanda yang sebenarnya terletak pada relung hati terdalam – pada rasa tenang dan damai yang tidak mampu saya ungkap dalam kata. Setelah itu saya tidak lagi bertanya mengenai tanda. Saya merasa seperti diajak menyusuri jalan yang saya tidak kenal sementara jarak pandang saya cuma selangkah ke depan. Yang saya lakukan hanyalah percaya sepenuhnya dengan tuntunan-Nya. Saya ikhlas dengan resiko atas keputusan yang saya buat. Saya menyadari akan keterbatasan daya – daya manusiawi saya dalam menimbang dan mengambil keputusan. Kalaupun saya membuat kekeliruan dalam mengambil keputusan, saya tahu saya tetap dalam tangan Tuhan. Rasa damai tenang itulah tanda yang saya pegang. Saat saya bergabung dengan FCJ, saya merasa lebih jauh lebih siap daripada ketika saya masuk biara pertama saya. Saya sudah mengalami peristiwa paling gelap, dalam rahmat Tuhan saya bisa melewatinya. Seluruh masa lalu –khususnya masa gelap- sangatlah berharga karena membentuk saya menjadi seperti ini. Seperti bola saat dijatuhkan. Semakin keras sebuah bola dijatuhkan, semakin tinggi pula daya lentingnya. Dikeluarkan dari kongregasi pertama merupakan peristiwa kejatuhan saya pada jurang yang dalam dan keras namun itu pula yang memampukan saya melenting tinggi, lebih tinggi dari keadaan saya yang semula. Jadi akhirnya, mengapa saya takut pada penderitaan jika ternyata itu bisa menjadi sarana yang menjadikan saya manusia yang lebih beriman? Saya mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 3 Januari 2010, bahagia dan bangga menjadi suster FCJ. Cara Tuhan mendidik dan menyelami hati tetap tak terpahami. Perjalanan saya untuk sampai ke tempat ini berlikuliku namun keindahannya tak terperikan.