Stres menjadi fenomena yang menarik untuk dibahas beberapa tahun terakhir ini, salah satunya stres yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan (Ahmad & Singh, 2011; Aamodt, 2004). Pekerjaan merupakan bagian sentral dari kehidupan setiap individu. Sebagian besar individu mengabdikan seluruh waktu dan kehidupannya pada pekerjaan bahkan hampir mencapai 70% dari tugas-tugas perkembangan manusia (Bokti & Talib, 2009). Tidak ada atau hanya sedikit waktu yang
dialokasikan
untuk
kehidupan
pribadi
dan
sosial
(Doni,
2004).
Membahascakupan stres dalam konteks pekerjaan maka erat kaitannya dengan sebuah organisasi. Organisasi pada dasarnya merupakan tempat terjadinya interaksi antar berbagai komponen, sumber daya manusia, sumber daya finansial, sumber daya fisik, dan sumber daya informasi. Interaksi antar komponen tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan dari sebuah organisasi yang didukung oleh masing-masing komponen didalamnya. Salah satu aset berharga dan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan yang diharapkan adalah sumber daya manusia. Pengembangan terhadap sumber daya manusia menjadi suatu tugas penting bagi suatu organisasi untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas sehingga tujuan organisasi pun dapat tercapai dengan baik (Herwanto, 2004). Sumber daya manusia dalam organisasi memiliki kekuatan yang cukup besar, meliputi faktor fisik dan psikis yang sekaligus merupakan perbedaan individu dalam bekerja. Faktor fisik, meliputi bentuk tubuh dan komposisinya, taraf kesehatan fisik pada umumnya dan kemampuan panca inderanya. Faktor psikis, meliputi
1
intelegensi, bakat, minat, kepribadian, motivasi, dan pendidikan (As’ad, dalam Herwanto, 2004). Dua kekuatan individu tersebut bila dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan tugas pekerjaan yang telah ditentukan akan menghasilkan kinerja yang baik.Selain itu, sumber daya manusia sebagai individu dalam organisasi kerja juga memiliki karakteristik tujuan, kebutuhan, kemampuan, dan nilai yang dibawa ke dalam lingkungan pekerjaan. Disisi lain, lingkungan kerja juga memiliki karakteristik tuntutan dan tekanan terhadap individu. Idealnya, karakteristik yang dimiliki individu selaras dengan karakteristik organisasi. Pada kenyataannya, seringkali ditemukan ketidakseimbangan melalui perbedaan karakteristik tersebut yang dapat menyebabkan stres kerja yang dirasakan oleh individu dan konsekuensi perilaku yang tidak menunjang pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya, interaksi yang baik akan menghasilkan performansi yang tinggi, kepuasan, dan tingkat stres kerja yang rendah (Muchinsky, 1993). Munandar (dalam Hamdani dan Handoyo, 2012 ) menjelaskan bahwa stres yang dialami karyawan saat ini menjadi masalah yang besar jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan. Salah satunya, karyawan yang merasa stres dan jenuh dengan pekerjaannya akan sangat mudah sekali untuk tidak masuk kerja, dampaknya produktivitas organisasi akan cenderung menurun. Pernyataan tersebut didukung pula oleh penelitian Balakrishnan, Ganesh, dan Soundarapandian (2011) menguraikan bahwa stres dikenal sebagai sesuatu yang membahayakan dan dapat memicu timbulnya penyakit dalam lingkungan pekerjaan. Organisasi sering merasa cemas
2
akan hal tersebut dikarenakan dapat mengurangi efektivitas organisasi itu sendiri serta merusak kesehatan dan kebahagiaan karyawan yang terdapat didalamnya. Penelitian Rehman, Irum, Tahir, Ijaz, Noor, dan Salma (2012) mengatakan bahwa stres kerja merupakan salah satu bagian penting mengenai risiko kesehatan di lingkungan pekerjaan, terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, pada penelitian ini berfokus pada stres yang terjadi pada lingkungan pekerjaan atau yang biasa disebut dengan stres kerja. Pembahasan mengenai stres kerja tidak dapat dilepaskan dari pengertian stres secara umum. Hanya saja stres kerja terjadi pada konteks organisasional (Sekarwangi, 2013). Pembahasan stres secara umum merupakan salah satu fenomena yang cukup kompleks(Balakrishnan dkk, 2011) dan sulit di definisikan dengan tepat (Muthuvelayutham &Mohanasundaram, 2012). Pada kenyataannya, beberapa peneliti juga tidak setuju pada pengertian tunggal terhadap stres (Riggio, 2003). Konsep stres pertama kali diperkenalkan oleh Hans Selye pada tahun 1963. Konsep tersebut dikenal dengan istilah “stringere” yang artinya pengalaman individu terhadap penderitaan,
kesukaran,
kelaparan,
dan
penyakit
(Muthuvelayutham
&
Mohanasundaram, 2012). Oleh karena itu, dapat disimpulkan stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang.Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau reaksi yangmenuntut individu untuk melakukan penyesuaian.
3
Secara spesifik, pengertian stres yang dipandang dari lingkungan pekerjaan atau yang biasa disebut dengan stres kerja dikemukakan oleh Jex, Beehr, dan Robert (1992)berdasarkan tiga pengertian, yaitu stimulus, respon, serta hubungan antara stimulus dan respon. Pertama, definisi stimulus tentang stres yang mengacu pada penyebab stres pekerjaan (stressor) karena setiap kondisi lingkungan ditempat pekerjaan membutuhkan beberapa bentuk respon adaptasi. Sesuai kerangka referensi tersebut, stres diartikan sebagai kekuatan dari luar yang mengenai objek atau individu dan strain adalah pengaruh yang merugikan dari kekuatan dari luar terhadap objek tadi (Kahn & Quinn; Lazarus; dalam Jex dkk, 1992). Peneliti yang mengungkapkan stres sebagai stimulus dikemukakan juga oleh Lazarus dan Folkman(1986), yaitu sebagai keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisikdari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensialmembahayakan, tidak terkendali atau
melebihi
kemampuan
individu untukmengatasinya.
Pengertian
serupa
dikemukakan oleh Chapplin (1999) yang menyatakan stres sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam pendekatan psikologi industri dan organisasi menekankan bahwa pentingnya stressor sebagai penyebab stres pada karyawan (Sekarwangi, 2013). Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (1976).Menurut Lazarus danFolkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusiudara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksisosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai
4
suatuancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor. Pernyataan yang serupa juga diungkapkan oleh Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) yang menegaskan bahwa stressor merupakan kejadian atau peristiwa yang berpotensi membahayakan seseorang. Banyak penelitian menemukan beragam stressor di tempat kerja antara lain; role ambiguity, role conflict, beban kerja, tanggung jawab kerja, hubungan atasan bawahan, pengembangan karir, dan lingkungan kerja (Parker & DeCotiis, 1983; Bashir, Khan, Qureshi, 2013; Foley & Lui,2005; Rydstedt, Jhonsen, Lundh, Deverux, 2013). Adapun dampak dari stres tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan, penyimpangan, produktivitas rendah, ketidakhadiran, dan keluar dari pekerjaan (Parker & DeCootis, 1983). Salah satu stressor yang dibahas dalam penelitian ini adalahstressor yang berasal dari karakteristik organisasi, yaitu kesesuaian antara individu dan organisasi (person-organization fit) (Aamodt, 2004). Merujuk pada hal tersebut maka kesesuaian antara individu dan organisasi merupakan perpaduan antara keterampilan, pengetahuan, kemampuan, kepribadian, nilai-nilai yang harus dimiliki oleh individu dan organisasi. Jika terdapat kesesuaian antar keduanya maka tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi, jika terdapat ketidaksesuaian maka dapat memicu timbulnya stres, rendahnya kepuasan kerja, dan meningkatnya turnover (Aamodt, 2004). Adapun interaksi diantara keduanya digambarkan pada gambar 1 berikut.
5
Karakteristik
Interaksi
lingkungan kerja
lingkungan-
dan individu
individu
Tuntutan & Tekanan Keterampilan, kemampuan, tujuan, nilai individu
Hasil negatif
Konsekuensi
perilaku
Ketidaksesuaian Ambiguitas dan konflik peran
Strain fisiologis & psikologis
Produktivitas rendah, absenteeism,tu rnover, burnout, masalah kesehatan
Gambar 1. PE-Fit Model Stres Kerja (Quick & Tetrick, 2003) Ivancevich, Konopaske, dan DeFrank (2003) menjelaskan bahwa model PEFit digunakan untuk membedakan dua tipe. Tipe pertama menunjukkan kesesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu. Tuntutan lingkungan tersebut, meliputi tugas dari pekerjaan, harapan akan peran, standar kelompok terhadap perilaku, tuntutan akan keamanan dan kebutuhan kesehatan. Sementara itu, kemampuan individu, meliputi kompetensi teknikal seseorang, kemampuan dalam menguasai komputer, dan kemampuan berkomunikasi. Tipe kedua, meliputi kesesuaian antara kebutuhan individu dengan persediaan lingkungan terhadap kebutuhan tersebut. Persediaan tersebut meliputi, penghargaan dari supervisor, kesempatan promosi, ketersediaan dalam program pelatihan.
6
Didukung pula oleh pernyataan Parker dan DeCotiis
(1983) yang
menyatakan bahwa stres kerja dapat dipahami dari dua tingkat. Pertama, peristiwa yang menyebabkan munculnya stres kerja, terkait dengan organisasi dan pekerjaan. Kedua, konsekuensi dari stres kerja tersebut dapat dilihat dari tingkat kepuasan, tingkat kenyamanan, komitmen organisasi, motivasi, dan kinerja. Selain itu, stres kerja juga dapat dipelajari dari tiga sudut pandang, yaitu individu dan lingkungan maupun interaksi antar keduanya. Melalui ungkapan yang berbeda, Riggio (2003) menjelaskan bahwa stres dibangun dari dua kategori, yaitu stres situasional (lingkungan) dan stres disposisional (karakteristik personal). Berdasarkan kondisi tersebut maka motivasi merupakan salah satu faktor individu yang memiliki peranan penting dalam mengatasi stres yang dialami oleh karyawan, terutama motivasi berprestasi.David McClelland dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievement Motivation Theory, mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia. Motivasi berprestasi juga mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan (standard of excellence), baik berasal dari standar prestasinya sendiri (autonomous standards) diwaktu
lalu
ataupun
prestasi
orang
(Robbins,2001).
7
lain
(social
comparison
standard)
Pada pemaparan McClelland tersebut menyatakan bahwa peraih prestasi tinggi akan membedakan diri mereka dari orang lain disertai dengan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik. Karyawan akan mencari situasi dimana mereka dapat mencapai tanggung jawab pribadi untuk menemukan penyelesaian terhadap masalah, dimana mereka dapat menerima umpan balik yang cepat atas kinerja sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi lebih baik atau tidak, dan dimana mereka dapat menentukan tujuan-tujuan yang cukup menantang (Robbins, 2001). McClelland (dalam Moradi & Razaviyayn, 2013) mengutarakan individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki keterampilan, usaha, danumpan balik yang jelas dalam kinerjanya. Akan tetapi hal tersebut membutuhkan tantangan dan risiko yang cukup besar. Hal serupa dikatakan oleh Robbins (2001) bahwa motivasi berprestasidapat dijadikan sebagai penunjang guna meningkatnya produktivitas kerja dan pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan maka dapat diidentifikasi individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi dapat dilihat dari empat faktor. Pertama, risiko pemilihan tugas. Kedua, tanggung jawab individu terhadap kinerja. Ketiga, kebutuhan untuk memperoleh umpan balik. Keempat, inovatif (McClelland, dalam Jayeoba, Sholesi, &Lawal, 2013). Selain itu, motivasi berprestasi yang tergolong tinggi atau rendah dapat ditinjau dari dua aspek yang terkandung didalamnya, yaitu harapan untuk sukses atau berhasil (motif of success) dan juga ketakutan akan kegagalan (motive to avoid failure). Seseorang dengan harapan untuk
8
berhasil lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan dikelompokkan kedalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, sedangkan seseorang yang memiliki ketakutan akan kegagalan yang lebih besar daripada harapan untuk berhasil dikelompokkan kepada mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah (Robbins, 2001). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwamotivasi berprestasi memiliki peranan penting dalam kerangka streskerja (Wallgren & Hanse, 2010). Selain itu, Snead dan Harrel (1991) mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung dapat mengurangi tingkat stres kerja. Melalui bahasa yang berbeda, Selye (1976) menguraikan bahwa stres positif yang biasa disebut dengan
eustress
yang
mendorong
manusia
lebih
berprestasi,
tertantang
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi ada juga stres berlebihan atau berdampak negatif disebut dengan distress. Distress biasanya terjadi ketika mengalami stres yang berlebihan dan tidak ada satu tindakan pun dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan stres tersebut (Aamodt, 2004). Oleh karena itu, motivasi beprestasi memiliki hubungan negatif dengan stres kerja. Artinya semakin tinggi motivasi berprestasi maka semakin rendah stres kerja, begitu pula sebaliknya (Wallgren & Hanse, 2010). Selain faktor yang berasal dari dalam diri individu maka faktor dari luar individu juga memiliki peranan penting dalam mempengaruhi stres kerja, terutama kepercayaan interpersonal. Kepercayaan interpersonal merupakan hal yang sulit 9
dibangun dan dilakukan serta mudah dihancurkan sehubungan dengan hubungan interpersonal yang selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta persepsi dan interpretasi individu terhadap orang lain (Johnson & Jhonson, 2000). Pernyataan tersebut diperkuat dalam penelitian Hoell (2004) yang mengungkapkan bahwa kepercayaan interpersonal
dapat
dibangun dengan berbagai
macam cara.
Kepercayaan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan umum atau khusus yang dapat mempengaruhi sikap individu terhadap orang lain. Pada intinya, kepercayaan interpersonal merupakan harapan atau kepercayaan individu terhadap perkataan, perjanjian, dan perbuatan orang lain maupun kelompok (Rotter dalam Hoell, 2004). Kehadiran tingkat kepercayaan yang tinggi dalam organisasi dapat menyebabkan rendahnya biaya penilaian dan mekanisme kontrol lainnya serta kontrol diri yang dapat menyebabkan motivasi internal. Dengan adanya kepercayaan tersebut maka menjadi suatu tantangan baru pula bagi organisasi dan karyawan yang terdapat didalamnya (Del & Akbarpour, 2011). Selain itu, penelitian lain membuktikan bahwa kepercayaan interpersonal yang rendah pada masyarakat Iran menyebabkan karyawan tidak dapat bekerja secara optimal, memiliki motivasi yang rendah, memiliki pikiran untuk meninggalkan organisasi dan pekerjaannya (Danay dkk, 2009, dalam Del & Akbarpour, 2011). Untuk mencapai keefektifan organisasi maka sangat dibutuhkan kepercayaan interpersonal antara pemimpin dengan pengikutnya (Del & Akbarpour, 2011). Penelitian Chatbury, Beaty, dan Kriek (2011) juga menyatakan bahwa penurunan kepercayaan yang dialami karyawan dapat
10
membuat motivasi menurun sehingga menyebabkan pelaksanaan program dari organisasi juga semakin terlambat. Sedangkan dengan kehadiran kepercayaan dari dalam organisasi dapat meningkatkan motivasi karyawan sehingga sangat membantu manajemen yang efektif pula bagi organisasi (Al vani, 2001 dalam Del & Akbarpour, 2011). Riggio (2003) menyatakan bahwa salah satu sumber stres dalam organisasi, yaitu interpersonal stress yang merupakan stres yang berasal dari kesulitan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Ivancevich dkk (2008) yang menjelaskan apabila ditemui kepercayaan interpersonal yang buruk maka akan meningkatkan stres pada individu. Temuan dari Del dan Akbarpour (2011), juga mengungkapkan bahwa kepercayaan adalah kunci utama dari hubungan interpersonal dalam cakupan dunia kerja. Pada saat ini beberapa karyawan yang terdapat dalam sebuah organisasi sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap para pemimpin mereka, yang menurut mereka, para pemimpin membuat dan mengawal kebijakan demi kepentingan mereka sendiri. Dalam situasi semacam ini, para karyawan pun sangat membutuhkan kepemimpinan moral yang memiliki karakter mengabaikan kepentingan pribadinya dan bekerja sepenuhnya untuk memperjuangkan pengikutnya meraih apa yang diinginkannya melalui aktivitas-aktivitas nyata yang positif.
11
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa karyawan yang mampu menjalin hubungan interpersonal dengan baik maka akan memotivasi karyawan pula dalam bekerja. Sebaliknya, karyawan yang kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain akan cenderung mengalami stres (Riggio, 2003).Didukung pula dengan temuan yang menyatakan bahwa perhatian kepada orang lain menjadi dasar utama dari kepercayaan interpersonal (Horsman, 2001). Artinya, karyawan yang belum mampu memberikan perhatian kepada orang lain akan cenderung sulit dalam membangun kepercayaan interpersonal. Selain itu, Levy (2003) mengungkapkan bahwa salah satu penyebab munculnya stres adalah kurangnya hubungan yang disertai dengan kepercayaan dalam lingkungan pekerjaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan stres kerja memiliki hubungan yang negatif dengan kepercayaan interpersonal. Artinya, semakin tinggi kepercayaan interpersonal maka semakin rendah stres kerja, begitu pula sebaliknya (Celic, Turunc, & Begenirbas, 2011). Sementara itu, faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi stres kerja pada karyawan dapat dilihat melalui dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan (perceived organizational supportz). Menurut Eisenberger & Huntington (1986),perceived organizational supportdidefinisikan sebagai kesatuan keyakinan seseorang tentang tingkat kepedulian organisasi mengenai kesejahteraan karyawan dan penghargaan terhadap kontribusi mereka terhadap organisasi tempatnya bekerja. Didukung oleh teori lain, karyawan mengembangkan perceived organizational
12
supportuntuk memenuhi kebutuhan sosioemosional dan untuk menentukan kesiapan organisasi untuk menghargai usaha ekstra karyawan yang dilakukan demi kepentingan organisasi. Berakar pada teori pertukaran sosial, teori dukungan organisasi mengasumsikan bahwa hubungan karyawan dan organisasi diperkuat melalui pertukaran hasil positif antara karyawan dan organisasi (Eder & Eisenberger, 2008). Perceived organizational support akan dipengaruhi oleh frekuensi, ekstrimitas, dan penilaian ketulusan penerimaan dan penghargaan. Selain itu, perceived organizational supportakan dipengaruhi oleh berbagai aspek perlakuan karyawan oleh organisasi dan nantinya akan mempengaruhi interpretasi karyawan terhadap motif organisasional yang mendasari perlakuan tersebut(Eisenberger& Huntington, 1986). Hal tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa akan ada persetujuan dalam derajat dukungan yang karyawan harapkan dari organisasi dalam berbagai situasi. Termasuk kemungkinan reaksi organisasi terhadap penyakit yang mungkin diderita karyawan, kesalahan, dan performansi superior, dan keinginan organisasi untuk membayar gaji yang adil dan membuat karyawan serta pekerjaan karyawan berarti dan menarik. Perceived support akan meningkatkan harapan karyawan bahwa organisasi akan lebih menghargai usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan (Eisenberger & Huntington, 1986). Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perceived organizational support memiliki peranan penting dalam menentukan reaksi seseorang terhadap stres. Jika interaksi antara
13
karyawan dengan organisasi tidak dapat berjalan dengan baik maka akan menimbulkan kecenderungan stres (Aamodt, 2004). Peristiwa tersebut didukung oleh Rhoades dan Eisenberger (2002) yang menjelaskan bahwa salah satu aspek yang mempengaruhi perceived organizational support adalah role stressor. Stressor menunjuk pada permintaan lingkungan di mana individu merasa tidak mampu untuk menyelesaikannya. Stressor berkaitan dengan 3 aspek peran karyawan dalam organisasi yang mengurangi perceived organizational support: work overload, meliputi permintaan yang melebihi apa yang bisa diselesaikan oleh karyawan dalam waktu yang diberikan; role ambiguity, meliputi tidak adanya informasi yang jelas tentang tanggung jawab seseorang; dan role conflict, meliputi tanggung jawab kerja yang bertentangan satu sama lain. Hal tersebut senada oleh pendapat Aamodt (2004) yang mengungkapkan bahwa karakteristik pekerjaan yang dapat menyebabkan stres adalah konflik peran, kekaburan peran, dan peran yang berlebihan. Selain role stressor, salah satu faktor lain yang mempengaruhi perceived organizational supportadalahdukungan supervisor. Karyawan mengembangkan pandangan umum mengenai seberapa jauh supervisor menghargai kontribusi mereka dan peduli tentang kesejahteraan mereka. Karyawan melihat orientasi supervisor yang baik atau tidak terhadap mereka sebagai indikasi dukungan organisasi karena supervisor bertindak sebagai perantara organisasi, memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan. Karyawan memahami bahwa
14
evaluasi supervisor terhadap bawahan seringkali disampaikan pada manajemen di atasnya. Hal tersebut berkontribusi pada asosiasi karyawan mengenai dukungan supervisor dengan perceived organizational support. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan menekankan perlakuan yang diperoleh karyawan dari organisasi tempatnya bekerja baik secara psikis maupun fisik. Jika perlakuan antara karyawan dengan organisasi dapat berjalan dengan baik maka tidak akan menimbulkan kecenderungan stres, begitupula sebaliknya (Aamodt, 2004). Foley dan Yue (2005) menyimpulkan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan karyawan memiliki hubungan negatif dengan stres kerja. Semakin tinggi dukungan organisasi yang dirasakan karyawan maka semakin rendah stres kerja, begitu pula sebaliknya.
Motivasi Berprestasi
Kepercayaan Interpersonal
Stres Kerja
Dukungan Organisasi yang Dirasakan Karyawan
Gambar 2. Kerangka Penelitian
15
Hubungan antar variabel yang ditunjukkan pada gambar dua bertujuan untuk mengetahui peran motivasi berprestasi, kepercayaan interpersonal, dan dukungan organisasi yang dirasakan karyawan terhadap stres kerja. Adapun hipotesis yang akan diajukan pada penelitian ini adalah motivasi Berprestasi, kepercayaan interpersonal, dan dukungan organisasi yang dirasakan karyawan secara bersama-sama dapat memprediksi stres kerja. Artinya, semakin tinggi Motivasi Berprestasi, kepercayaan interpersonal, dan dukungan organisasi yang dirasakan karyawanmaka semakin rendah stres kerja, begitu pula sebaliknya. Selain itu, secara terpisah kiranya masingmasing variabel dapat menunjukkan peran yang signifikan.
16