Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL P. Anthonius Sitepu Abstract: This study is made according to the research result about International Political Realism Theory by Hans J. Morgenthau. The main purpose of this research is to analyze deeply the theory by identifying that theory and from the identification step, then it is made the assessment as the validity test of the realism theory either in factual or in conceptual aspects. This research used the descriptive method of which the data sources are from the articles and books written by Hans J. Morgenthau. It is concluded that Hans J. Morgenthau’s idea about the International Political Realism Theory is the explanation for the analysis to whom that will be the actor? In the international politic stage, how is the interaction among the actors . And it is a method to solve the problem, how are the international phenomena described, explained into the causality analysis systematically. Keywords: realism theory, national interest, power, balance of power, international politics 1. PENDAHULUAN Di antara para ilmuwan politik, khususnya hubungan internasional, Hans J. Morgenthau (17 Februari 1904 – 19 Juli 1980), merupakan tokoh ilmuwan yang sangat populer. Semasa hidupnya ia pernah menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Politik Luar Negeri Amerika pada Universitas Chicago, dan semua mahasiswa yang mempelajari hubungan internasional pasti mengenalnya. Terhadap studi hubungan internasional yang mulai berkembang di universitas-universitas di Amerika Serikat tahun 1920-an yakni setelah berakhirnya Perang Dunia I yang telah memunculkan Amerika Serikat sebagai kekuatan besar dengan tanggung jawab yang bersifat global, berkenaan dengan itulah kiranya sumbangan pikiran Hans J. Morgenthau cukup besar. Beliau bahkan telah tercatat sebagai salah satu ilmuwan populer yang berjuang untuk menjadikan studi hubungan internasional sebagai suatu disiplin ilmu sendiri, sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, sebelum meletus Perang Dunia I fakultas-fakultas sejarah, hukum, dan filsafat telah berbagi tanggung jawab dalam pengajaran hubungan internasional. Para ahli sejarah mencatat substansi diplomasi dan strategi, para ahli hukum menginterpretasikan perjanjianperjanjian dan praktik-praktik hukum nasional, dan pada saat yang sama pula para ahli filsafat berspekulasi mengenai sifat manusia, perang, perdamaian, dan keadilan. Usaha-usaha untuk
48
mempelajari masalah-masalah dunia (world affair) secara lebih khusus baru timbul setelah Perang Dunia II. Pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh kedua perang tersebut telah mendorong para ilmuwan untuk mendalami lebih jauh masalah-masalah perang dan damai dengan satu kehendak untuk menciptakan tata dunia yang lebih tertib dan stabil. Sebagai seorang ilmuwan politik, khususnya politik internasional, Hans J. Morgenthau telah menempatkan dirinya sebagai seorang pengamat mashab (school of thought) realis, sejajar dengan ilmuwan realis lainnya seperti Reinhold Nierbuhr, Nicholas J. Spykman, E.H. Carr, Frederick Schuman, Arnold Wolfets, Raymond Aron, Stranlay H. Hoffmann, Kenneth W.Thompson, dan sebagainya. Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang telah menempatkan dirinya sebagai seorang penganut aliran pemikiran realis berkenaan dengan konsepnya tentang “power” sebagai yang dominan dalam politik internasional. Dalam hal ini Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa “…selama periode sejarah apapun hubungan yang terjadi di antara unit-unit merdeka dan berdaulat, seperti dalam masa-masa negara kota Yunani dan dalam sistem negara Eropa Modern, perimbangan power adalah bersifat dominan”. (Mc.Chelland, 1966: 17). Lebih lanjut dikatakan “…keadaan ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan refleksi hukum politik (an iron law of politics)” (Mc Chelland, 1966: 17). Sistem gagasannya tentang power ini telah dipaparkan ke dalam berbagai tulisannya baik yang berupa buku esai maupun artikelnya.
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
power is to be found in the writing of Hans J. Morgenthau” (Mc Clelland, 1999: 17).
Berkat tulisan-tulisannya tentang teori realisme politik inilah maka Hans J. Morgenthau tidak hanya berhasil tampil sebagai seorang tokoh realis akan tetapi juga tampil agak menonjol di antara tokoh-tokoh realis lainnya. Kemenonjolannya antara lain dapat dilihat dari besarnya pengaruh hasil karyanya terutama dalam pengajaran-pengajaran studi bukunya yang berjudul Politics Among Nations: The Strunggle For Power And Peace, 1945, 1960, 1967, dan 1973 dipandang sebagai refleksi dari kebangkitan kembali realisme politik (Maghroori, 1984: 11). Di samping banyak tulisan-tulisan yang dimuat di dalam berbagai majalah dan jurnaljurnal ilmiah Hans J. Morgenthau juga menyumbangkan buku karyanya yang lain seperti Scientific Man vs Power Politics (1964), In Difference of The National Interest (1951), Dilemnas of Politics (1958), The Purpose of American Politics (1960), Politics In The Twentieth Century (1962), Vietnam And The United States (1965), Truth And Power (1970), dan Science: Master Of Servant. Bukti-bukti lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber legalitas atas kemasyhuran Hans J. Morgenthau dalam pengembangan studi hubungan internasional diambil dari berbagai versi pernyataan para ilmuwan lainnya. Seperti dikatakan oleh Stanley H. Hoffmann dalam bukunya International Relations: The Long Road to Theory (1959). Katanya: “…the theory which has occupied the center of the soene in this country during the last ten years is Professor Morgenthau’s realist theory of power politics. It tries to give us a realiable map of the landscape of world affairs, to catch the easece of world politics” (World Politics, 1967: 39).
Kenneth W. Thompson dalam artikelnya yang berjudul American Approach to International Politics (1959) menyatakan bahwa “…much of the literature of international politics is a dialogue, explicits or not, between Morgenthau and his critics…” (Mc Clelland, 1999: 17). Dengan bertitik tolak dari kenyataan dan pernyataan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka semakin jelaslah peranan Hans J. Morgenthau dalam kerangka bangunan perkembangan studi politik dan hubungan internasional terutama perkembangan teori realisme (power). Namun, yang menjadi pertanyaan dalam kaitan ini adalah: apa sebenarnya yang menjadi inti (substansi) teori realisme politik Hans J. Morgenthau dalam kerangka bangunan studi politik dan hubungan internasional? Mengapa dan bagaimana teori tersebut mampu menempatkan dirinya sebagai teori yang cukup andal dalam studi politik dan hubungan internasional? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dijawab penelitian ini. Dari latar belakang di atas dapatlah kiranya diturunkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa dan bagaimana penjelasan lengkap dan akurat tentang inti teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau? 2. Bagaimana format identifikasi teori realisme politik Hans J. Morgenthau tentang politik internasional? 3. Bagaimana kritik-kritik terhadap teori realisme politik Hans J. Morgenthau tentang studi politik dan hubungan internasional?
K. J. Holsti dalam bukunya yang berjudul, The Concept of Power and The Study of International Relations (1964) yang mengatakan bahwa: “Hans J. Morgenthau is the foremed advocate of th concept of power as the theoritical core of international politics” (Sander & Durbin, 1971: 89). Demikian juga Charles Mc Clelland dalam bukunya yang berjudul “Power an Influence (1966)”yang mengatakan bahwa: “…there is broad agreement that the most comprehensive and sucsessful characterization of international relations in the frame of reference of political
2. ARAH DAN LINGKUP PEMAHAMAN TEORI REALISME POLITIK INTERNASIONAL HANS J. MORGENTHAU Teori, seperti yang dikemukakan pakar ilmu politik dan hubungan internasional senantiasa merujuk kepada “semua sistem generalisasi atas dasar penemuan empiris yang dapat diuji secara empirik”, sejumlah pernyataanpernyataan disebut sebagai hukum, yang satu dengan yang lainnya akan diekspresikan dalam variabel-variabel dari berbagai sebutan dari sistem itu (H. Ronald Chicote, 1981:15). Namun, dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa
49
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
teori seperti suatu cara (jalan) untuk mengorganisasikan pengetahuan untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan, dijadikan sebagai pedoman penelitian (James N. Rosenau/Robert L. Pfaltagraff, 1977: 25). Sesuai dengan luas cakupannya, teori senantiasa akan menunjukkan kepada proposisiproposisi yang saling ada keterkaitan dan dengan secara logis dirancang untuk mensintesiskan data yang banyak jumlahnya. Ia juga merupakan usaha yang sistematik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan kita mengorganisasikan serta menafsirkannya. Teori membantu kita untuk menata data yang telah dikumpulkan (Stanley H. Hoffmann, 1960: 7-8) Teori merupakan suatu kerangka konseptual yang akan diketahui sebagai serangkaian pertanyaan-pertanyaan, demi membimbing kita ke arah penelitian. Dan ia terdiri atas suatu sistem hipotesa kerja di mana ada kait-mengkait antara proposisi-proposisi untuk menjelaskan prilaku (Stanley H. Hoffmann, 1980: 8). Sehubungan dengan penelitian teori dan fungsinya, sebenarnya teori merupakan suat produk kegiatan ilmiah. Sebagai suatu kegiatan ilmiah maka teori dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda satu sama lain namun tetap inereo. Pertama, teori sebagai: “…a body of knowledge” (bangunan atau tubuh pengetahuan) yang berisi hukum-hukum atau fakta-fakta. Sedangkan yang kedua, teori sebagai suatu “methode of obtaining the body of knowledge” atau metode untuk memperoleh tubuh/bangunan pengetahuan tersebut (Alan C. Isaak, 1975: 26). Pengertian kita mengenai dan fungsinya, dihadapkan dengan pemahaman kita tentang teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau dilakukan dengan memproyeksikannya dengan dimensi bahwa teori sebagai tubuh pengetahuan maupun teori sebagai metode. Maka dalam tataran yang pertama dilaksanakan dengan melihat penjelasan-penjelasan apa yang telah diberikan oleh Hans J. Morgenthau tentang politik internasional; konsep-konsep yang digunakan untuk membuat penjelasan-penjelasan tersebut, serta apakah penjelasan-penjelasan dan konsep-konsep yang digunakan itu telah didasarkan pada metode yang dipilih. Sementara dalam tataran yang kedua, pemahaman terhadap teori tersebut dilakukan dengan memperhatikan metode apa yang dipilih
50
dan ditentukan Hans J. Morgenthau untuk sampai kepada dasar konseptual baik metode yang dipilih dan dikembangkan untuk memahami fenomena-fenomena politik pada umumnya dan politik internasional khususnya. Maka dalam konteks ini kritik yang ditujukan kepada teori realisme politik yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau akan dititikberatkan pada persoalan kecukupan ilmiah (the scientific adequancy) atas penjelasan teorinya tentang politik internasional. Dalam tahap ini, sebagaimana telah disinggung Allan Isaak, menyebutnya sebagai: the scientific knowledge. Selanjutnya untuk kecukupan ilmiah dari pemilihan metode yang dipergunakan dalam karya Hans J. Morgenthau sampai kepada penjelasan disebut sebagai: the scientific method. Oleh karena itu, teori yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah adalah yang hanya terdiri dari metode ilmu pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dalam rangka melihat teori sebagai suatu penjelasan, maka kita ditekankan pada persoalan: apakah teori yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau telah didasarkan kepada dua batu uji yakni batu uji logis dan batu uji empirikal. Sehubungan dengan ini, menurut Allan Isaak bahwa: “…a science of politics begins with the assumption that not political phenomenon just happens” dan “…to be scientific is to objective… that objective is in many ways a synonim of empirical”. Untuk melihat masalah “kecukupan ilmiah” dari penjelasan Hans J. Morgenthau tentang politik dan hubungan internasional maka yang diproyeksikan adalah berkenaan dengan: (1) penjelasan tersebut telah didasarkan kepada “law of universal caution” atau juga sebagai konsep-konsep yang digunakan dan telah didasarkan kepada hukum sebab akibat yang tepat dan logis, (2) penjelasan yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau apakah bersifat objektif atau empirik, ataupun juga konsep-konsep yang dikemukakannya itu telah dirumuskan atas dasar pengamatan empirikal? 3. HANS J. MORGENTHAU DAN TEORI REALISME POLITIK INTERNASIONAL Di dalam buku Hans J. Morgenthau, politik internasional secara gamblang mendapat porsi sangat dominan dan masalah ini dapat dijumpai di bukunya yang berjudul: Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Di sini Hans J. Morgenthau banyak berbicara mengenai teori realisme politik
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
internasional dalam kerangka analisis politik internasional mencakup sifat dan kecenderungannya. Lebih jauh Hans J. Morgenthau terus mengembangkannya, selain di dalam berbagai tulisan artikelnya, dimaksudkan sebagai cara untuk melengkapi sistem gagasannya. Sedangkan pandangannya yang lebih bersifat filofosis terutama jka dilihat dari segi ilmu pengetahuan dan ini menjadi dasar kuat penentuan dalam memilih metode dalam melakukan pengamatan atas fenomena politik internasional, menjelaskan hubungan antara fenomena-fenomena itu, pemikiran ini dijumpai dalam bukunya Scientific of Man vs Power Politics. Dalam mengkaji lebih jauh tentang teori realisme politik internasional, Hans J. Morgenthau tampak akan berangkat dari konsep yang mendasari teorisasi hubungan internasional. Teori itu merupakan: “…a systematic study of observable phenomena that tries to discover the principles variables, to explain behaviour and to reveal the characteristic type of relations among national units” (Theodore A, Coloumbis/J.H wolfe, 1978: 25). Hubungan internasional juga merupakan: “…Study of interaction between certain kind of social entity, including the study of relevant circumstance surrounding the interaction. Facts of international relations can beselecter and organized according to the two references of actors and interactions” (Sanders & Durbin, 1971: 40-41). Dalam rangka eksplanasi teori rasisme politik internasional, Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa ini merupakan suatu teori yang memiliki keterkaitan dengan sifat manusia (human nature) seperti yang sesungguhnya ada dan dengan suatu proses sejarah. Teori ini dibangun berdasarkan keyakinan yang berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh aliran pemikiran (mashab) idealis. Oleh karena itu, kata Hans J. Morgenthau, sejarah pemikiran politik modern merupakan cerita tentang persaingan antara aliran pemikiran tadi yang secara mendasar berbeda dengan konsep mengenai manusia, masyarakat, dan politik (Hans J. Morgenthau, 1973: 3-4). Bilamana teori politik idealis dibangun dengan asas keyakinan bahwa (1) universal dapat
diwujudkan di sini dan sekarang; (2) manusia pada hakikatnya memiliki kebaikan esensial dan didik; (3) kurangnya pengetahuan dan pengertian, adanya lembaga-lembaga yang sedang usang, kejahatan individu ataupun kelompok individu tertentu yang terisolasi merupakan sebab kegagalan tertib sosial; (4) pendidikan, reformasi, dan penggunaan kekuatan aporadis dapat menimbulkan kerusakan atau kegagalan (Hans J. Morgenthau, 1979: 3). Namun pada pandangan teori realisme politik sebagaimana yang dikembangkan justru kebalikan dari yang dianut oleh aliran pemikiran idealis. Adalah pemikiran dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa: “…the world, inperfect as it from the rational point of view, is result of forces inherent in human fordes, not againts the. This being … of opposing interests and of conflict among them, moral principles can never be fully realized, but must as best be apporximated through the ever temporarry balancing of interest and the ever precrious settlement of universal principles for abstract principles, and aims at realization of the lesser evil rather than of the absolute good (Hans J. Morgenthau, 1974: 4) Dalam kaitannya dengan kejelasan metodologis terhadap pandangan teoretisnya, Hans J. Morgenthau berusaha menjelaskan dua hal pokok, yakni: (1) bagaimana menetapkan fakta-fakta itu dan selanjutnya memberi arti, dan (2) apa konsep-konsep dasar keunikan-keunikan atas fakta-fakta yang ditemui sesuai dengan bidang yang diselidiki serta menjelaskan hubungan antara fakta-fakta itu ke dalam pengertian-pengertian yang bulat, sistematis, dan dapat dipahami. Dalam kehidupan manusia memang terdapat keajekan-keajekan (regularitas) terutama dalam kehidupan politik, bisa dipahami sebagai suatu fakta. Keajekan-keajekan tersebut dipengaruhi oleh hukum-hukum objektivitas yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri dan dapat dilakukan verifikasi, diuji kebenarannya dengan menggunakan akal dan pengalaman agar dengan demikian kita dapat memahami faktafakta yang kemudian memberikan arti yang tepat kepada fakta-fakta itu. Jika hal ini dikaitkan dengan politik internasional, maka fakta-fakta yang dimaksudkan adalah berupa kebijakan-kebijakan
51
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
luar negeri. Hal ini dapat dipahami secara pasti yang ditimbulkan oleh adanya: tindakan-tindakan politik tersebut dapat memberikan paling tidak harus mendekatinya dari segi realitas politik yakni dengan membuat peta (ikhtisar) yang dapat menunjukkan makna politik luar negeri. Politik luar negeri yang bersumber dari suatu fakta yang ditangkap sebagai fenomena politik internasional, tentunya harus diuji dan pemberitaan makna. Oleh karena itu dijelaskan suatu langkah penting yakni dengan menetapkan/ membangun konsep dasar. Konsep dasar dijadikan sebagai alat bantu untuk mengeksplorasi atau mendeskripsikan ke dalam suatu format (lampiran pemandangan) bagi suatu politik internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan oleh Hans J. Morgenthau adalah apa yang disebut dengan terminologi: “…the concept of interest defined in terms of power” (Hans J. Morgenthau, 1973: 5). Konsep kepentingan (interest) yang dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha memahami politik internasional dengan fakta-fakta yang merupakan arah memilah-milah antara faktafakta politik dan bukan fakta politik, arah mana akan memberikan suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup ini akan membedakan lingkup kegiatan lainnya. Konseptualisasi kepentingan (interest) dalam formulasi “power” dimanifestasikan ke dalam tataran politik internasional, mendasari pemikiran teori realisme politik akan memberikan kerangka bangunan teoretis terhadap politik luar negeri. Karena pada dasarnya realisme politik ditandai oleh pemikiran kepada sesuatu “…pluralistic conception of human nature Real man is a composite of economic man., political man, moral man, religious man”. (Hans J. Morgenthau, 1973: 14). Konsep dasar yang diilhami dari kenyataan makna dasar manusia, yang pada gilirannya diproyeksikan secara makro dalam realisme politik internasional. Realisme politik internasional pada hakekatnya merupakan: “…struggle for power as like all politics, is a struggle for power. Whatever the ultimate aims of politics power is always the immediate air man’s control over the minds and actions of other man. Political
52
power is the mutual relations of control among the holders of public authority and between the latter and the people at large” (Hans J. Morgenthau, 1973: 28) Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dalam tataran politik internasional senantiasa terwujud dalam hubungan internasional. Mekanisme dan dinamika hubungan internasional ini dimanifestasikan oleh aktor. Aktor dalam kerangka hubungan dan politik internasional adalah negara. Kendati demikian, tidak semuanya tindakan negara yang ditujukan kepada negara lain adalah berdimensi politik dan juga tidak semua negara pada setiap waktu memiliki keterlibatan yang sama luasnya dalam percaturan politik internasional. Meskipun demikian, aspirasi setiap negara untuk memperoleh power, merupakan unsur yang paling mencolok dalam politik internasional. Dan bahkan jika dalam kondisi terpaksa, maka politik internasional merupakan politik kekuatan (internasional politics is power politics). Argumentasi ini akan dapat tercermin dalam politik luar negeri masing-masing negara. Namun power dalam politik luar negeri bukan power yang berasal dari individu-individu anggota negara bersangkutan melainkan power yang berasal dari orang-orang yang mengadministrasikan power dari negara bersangkutan. Atau dalam pengertian yang lebih khusus, orang-orang yang mengatasnamakan negara di atas panggung politik internasional (Hans J. Morgenthau, 1973: 103-104). Orangorang yang mengorganisasikan dirinya ke dalam apa yang disebut dengan negara-bangsa, mengejar politik luar negeri sebagai organisasi yang bersifat legal. Negara bertindak sebagai wakil dari bangsa itu. Mereka berbicara atas nama negara, mendefinisikan tujuan, memelihara, meningkatkan, serta mendemonstrasikan powernya. Mereka ini adalah individu-individu yang apabila muncul sebagai wakil dari bangsanya di panggung politik internasional memperluas power dan mengejar kebijaksanaan bangsanya. Inilah arti dari konsep power atau politik luar negeri suatu bangsa. Sebagai suatu interaksi yang terjadi di antara negara-negara dalam kerangka berjuang untuk memelihara, meningkatkan, atau bahkan untuk mendemonstrasikan power, maka dalam kondisi yang demikian akan terjadi situasi interaktif yang mana akan terbentuk kondisi
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
policy interaction, di samping interaction system. Manakala terjadi “balance of power”, kondisi yang demikian akan terjadi bilamana aspirasi untuk memperoleh power di pihak beberapa negara yang masing-masing berusaha untuk memelihara bahkan meruntuhkan status quo, maka dengan terpaksa membawa ke arah kondisi figuratif (balance of power) dan ke arah kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memelihara pertimbangan kekuatan. Pertimbangan kekuatan, sebagai suatu situasi interaktif yang terkadang bisa bersifat ‘equilibrium’ (suatu keadaan di mana kekuatan benar-benar seimbang). Dan bahkan terkadang bisa terbentuk dalam kondisi yang bersifat ‘disequilibrium’. Jika hal ini terjadi maka konsep perimbangan kekuatan sama dengan ‘distribution power’. Inilah yang dikatakan oleh Imts Claude (1962: 16), “…as temperature refers the thermal situations, wether it be hot or cold, so balance or power refens to the power situation, wether it be balanced or unbalanced”. Pandangan filosofis Hans J. Morgenthau tentang ilmu politik kerangka bangunan metode ilmiah yang ia kembangkan mengacu kepada bagaimana kita dapat memahami fenomenafenomena politik khususnya mengenai politik internasional, tercermin dalam perdebatan yang berkepanjangan antara pendekatan tradisional dengan pendekatan ilmiah. Hal ini merupakan debat realis dan kaum idealis sejak tahun 1950an. Persoalan utamanya dalam sifat dari sistem internasional serta pendekatan yang paling baik terhadap tingkah laku internasional mengalami kemunduran. Ada semacam tuntutan agar muncul suatu generasi baru (ilmuwan baru) yang menghendaki mengembangkan studi tentang fenomena-fenomena politik lebih sistematis dan ilmiah. Gejala ini mulai dilihat sebagai sikap menggugat metode yang telah dikembangkan oleh Hans J. Morgenthau. Gugatan semacam ini merupakan babak baru dalam kerangka perdebatan antara kelompok tradisionalist melawan kelompok behavioralis, dalam melihat dan membangun suatu paradigma dan mempelajari hubungan internasional. Kelompok pendekatan ilmiah telah mengecam pendekatan tradisional (klasik) sebagaimana yang dikembangkan oleh E. H. Carr atau juga oleh Hans J. Morgenthau. Kelompok ini dalam pandangannya yang kemudian mengintrodusir suatu pendekatan baru yang dianggapnya lebih mampu dan memiliki
kecukupan ilmiah (scientific adequacy) yang mereka sebut pendekatan “behavioralism” atau sebut saja sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan ini oleh para pendukungnya dirumuskan sebagai “…the sistematic search for political and the terchical analysis and verification there (Maghroori, 1983: 16). Hedley Bull menyebutnya sebagai “…a theory of internasional relations whose propositions are based either upon ligocal pr mathematical proof, or upon strixt, emprial procedues of verification” (Sanders & Durbin, 1971: 16). Pendekatan yang bersifat ilmiah menekankan pada 2 prinsip pokok yakni (1) formulasi konsep-konsep hipotesa-hipotesa, dan penjelasan-penjelasannya tercermin di dalam ukurannya yang sistematik; dan (2) metode penelitiannya bersifat empirik (Maghoori, 1983: 16). Kerangka empiriknya antara lain meliputi game theory, penggunaan model probabilitas sistematik, analisa transnasional, penggunaan indeks-indeks interaksi antarnegara serta linkage theory yang difokuskan pada hubungan yang dapat diamati di antara variabel-variabel antarnegara dan tingkah laku negara. Dan sebagai kontribusi yang dianggap paling penting dari pemikiran ini adalah implementasinya dalam analisis statistikan fenomena-fenomena internasional (Maghoori, 1983: 16). Sikap umum yang diambil oleh aliran ilmiah sangat dipengaruhi oleh keinginannya untuk mengimplementasikan metode ilmu pengetahuan alam untuk memahami fenomenafenomena sosial termasuk di dalamnya ilmu politik. Sikap ini dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme abad 17 adan 18 yang gaungnya masih berpengaruh pada abad 19 dan awal 20-an. Suatu filsafat yang sudah seharusnya mendapat revisi itulah maka dalam memberikan tanggapannya Hans J. Morgenthau terutama pandangan filosofinya mengenai ilmu politik yang mengatakan: “…that may theoretical approach to international politics differs from those which are at present fashionable in academis circles behaviorism, system anaysis, game theory, simulation methodology in general –I am being appears to be at present the prevaling trend in the fields. I do not intend to do this; for I have learned both from historic and personal experience that the academic polemics generally do not
53
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
advance the cause of truth but leave things very much as they found the what is deceiver for the succes of failure of a theory is the contribution it makes to our knowledge and understanding very much as they found the. What is deceiver for the succes understanding of phenomena which are worth knoring and understanding. It is by its result that a theory just be judged, not by its epistonological pretences and methodological invation …that the theoretical understanding of international politics is possible only worth relatovely narrow limits and that the present attempts at a through rationalization of international theory are likely to be as futile as those which have preceeded them since secenteenth century (Hans J. Morgenthau, 1966). Filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad 17 dan 18 tidak lagi dapat memberikan makna terhadap pengalaman pertengahan abad ke 20. Karena rasionalisme pada zaman itu masih mendominasi. Abad 19 dan 20 memiliki dua asumsi yaitu (1) konsepsi dunia sosial dan fisikal sebagai yang dapat dimengerti dengan melalui proses rasional yang sama, betapapun proses rasional ini didefinisikan; (2) keyakinan bagi pemahaman dengan melalui proses rasional ini semua dibutuhkan kontrol rasional dunia sosial dan fisikal (Hans J. Morgenthau, 1946: 3). Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan merupakan manifestasi penting dari filsafat rasionalisme. Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan ini merupakan ciri intelektual yang menempatkan kita terpisah dari periode sejarah yang mendahuluinya. Dalam pandangan rasional abad 17 persoalan-persoalan masyarakat dan alam secara esensial sama dan pemecahan persoalan tergantung kepada perluasan kualitatif metode ilmu alam dan lingkungan sosial. Demikian juga halnya bidang politik. Maka sebagai suatu filsafat politik, rasionalisme telah salah menerangkan sifat politik dan tindakan politik yang secara bersamaan. Periode di antara dua Perang Dunia juga melihat kemenangan dalam teori dan praktik, dan memperlihatkan bagaimana kebangkrutan intelektual moral dan politik. Sebab dalam hal ini manusia tidak dapat hidup tanpa filsafat yang akan memberikan makna terhadap eksistensinya dengan jalan
54
menjelaskan dalam ukuran kausalitas, merasionalisasikannya dalam ukuran filsafat perlu direvisi kembali, merevisi asumsi-asumsi serta merasionalisasikannya dengan tradisi atas pengalaman dan kebutuhan yang mendesak alam kehidupan modern (Hans J. Morgenthau, 1946: 9). Dikarenakan filsafat rasionalisme ditinjau kembali bagi pandangan Hans J. Morgenthau paling tidak harus dimulai dengan membangun asumsi-asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut dihadapkan kepada kenyataan bahwa: “power politics-rooted in the lust power in common to all men is for this reason inseparable political sosial life itself. In order to eliminate from the political sphere not power politics –which is beyond the ability of any political philosophy or system but the destructiveness of power, rational faculties are needed which are different form and superior to reason of the scientific age” (Hans J. Morgenthau, 1946: 9-10). Sejajar dengan penolakannya terhadap filsafat radionaisme sekaligus ia menolak pendekatan ilmiah (behavioralisme). Hal ini dikatakannya dengan didasarkan pada argumentasi bahwa: “politics must be understanstood through reason, yet it is not inreason that it find its model. The principles of scientific reason are always simple, consistent, and abstract, the social world is always compliated, incongrous and concrete. Politics in art and not a rationality of the engineer but the wisdom and the moral pure and simple, yields only to that intricate combination of moralan material pressure which the art of the statement dreated and aintains (Hans J. Morgenthau, 1946: 10). Hans J. Morgenthau mengembangkan suatu pendekatan terhadap teorisasi dalam rangka suatu permasalahan yang bersumber dari filsafat sejarah sehingga untuk bisa mencapai suatu derajat teoretis berisikan pada sifatnya yang ‘scientific adequacy’, tinggi, akan tergantung pada kekuatan penilaian dan intuisi dan bukan kepada prosedur-prosedur verifikasi yang senantiasa didasarkan pada batu uji matematika.
P. Anthonius S., Teori Realisme Politik Hans J. Morgenthau dalam Studi Politik …
Baginya yang penting adalah bahwa yang menentukan keberhasilan ataupun kegagalan suatu teori, adalah sejauh mana kontribusi yang diberikannya kepada ilmu pengetahuan serta pemahaman terhadap fenomena-fenomena yang perlu diketahui dan dipahami. Sebuah teori bisa menata dan memberi makna terhadap sekumpulan fenomena, tanpa teori akan tetap tercerai-berai dan tidak dapat dimengerti. Oleh karena itu teori tersebut harus dihadapkan pada dua batu-yakni: batu uji empirikal dan batu uji logikal. Batu uji yang berisi empiris, menunjuk kepada fakta-fakta seperti apa yang sesungguhnya menjamin dirinya sendiri untuk interpretasi yang telah diambil tentang fakta-fakta itu? Sedangkan batu uji logika menunjuk pada apakah kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh teori tersebut mengikuti kebutuhan logik dari premis-premisnya? Atau dengan singkat dikatakan, apakah teori konsisten dengan faktafakta? Uji menangkap fakta-fakta, serta memahaminya terhadap fakta tersebut, perlunya menetapkan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut disusun atas dasar pengalaman pribadi dan pengalaman sejarah. Dari konsep-konsep yang telah ditetapkan itu barulah kemudian dapat memahami fenomena yang dijumpai, mencocokkan antara konsep dengan fakta-fakta, dan selanjutnya membuat generalisasi tentang fakta tersebut sehingga kemudian diperoleh sebuah teori. Cara pengamatan deduktif: cara pengamatan yang berbeda dengan cara pengamatan induktif yang lebih menekankan pada observasi baru kemudian memprosesnya serta membuat generalisasi-generalisasi. Oleh karena itu bagi penganut paham pendekatan seperti ini (induktivitas) politik dirumuskan dalam ukuran rangkaian tindakan tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan bukan dalam ukuran-ukuran konsep-konsep dan impresi-impresi (Columbis and Wolfe, 1978: 22). Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep balance of power: 1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan pada negara-negara sebagai aktor utama dalam panggung politik internasional. Pengamatan terhadap tingkah laku negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Negara dan politik luar
negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya. 2. Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara di panggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya. 3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan, dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power). 4. KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh satu benang yang menghubungkan gagsan teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau dengan eksplanasi mengenai siapa aktor di panggung politik internasional dan bagaimanakah interaksi antara aktor-aktor tersebut. Di samping itu, suatu metode yang menjelaskan bagaimana fenomenafenomena politik internasional harus dipahami dan selanjutnya dijelaskan ke dalam suatu hubungan kausalitas (sebab akibat) yang sistematis agar dapat dengan mudah dipahami. Sebagai suatu eksplanasi mengenai siapa “aktor” dan bagaimana “interaksi” di antara para aktor di panggung politik internasional maka teori realisme politik internasional Hans J. Morgenthau terdiri dari muatan yang mengandung elemen beberapa tesis bahwa negara, atau national state dijadikan sebagai aktor utama di dalam formulasi kesatuan politik yang merdeka, berdaulat. Selanjutnya di dalam mekanisme interaksinya masing-masing negara (aktor) akan berupaya untuk mengejar kepentingan nasionalnya. Kepentingan inilah yang akhirnya diformulasikan ke dalam konsep “power” kepentingan (interest) didefinisikan ke alam terminologi power. Sebagai suatu metode, berusaha menunjukkan tentang bagaimana memberikan tatanan dan makna kepada sejumlah fenomena yang tanpa dua pokok pikiran yakni (1) menetapkan fakta-fakta, menguji faktanya, selanjutnya memberi arti terhadap fakta tersebut dan siap serta orientasi/persepsi menjadikan dasar filosofis bagi penyusunan teori realisme politik internasional.
55
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
DAFTAR PUSTAKA Chilcote H. Ronald, 1981. Theories of Comparative Politics the Search for a Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado hal 15. Claude, Inis L. Jr 1962. Power and International Relations, Rasdon House, New York, Hal 16. Coulumbis, Theodore A and James H. Wolfes, 1978. Introduction To International Relations, Prentice Hall, Inc, New Jersey, hal 25. Doungherty, James B & Robert L. Pfalgraff, 1977, Contending Theories of International Relations, J. B. Lipopoco at, New York, hal 25. Haffann, Stanley H. 1960. Contemporary Theory in International Relations, Prentice-hall, Inc, New Jersey, 7-8. Isaak, Alan C. 1975., Scope and Methods of Political Science, the Dorsey Pressm Illinois. Lijphart, Arend, 1967, World Politics, Allyn and Bacon, Boston, hal 39. Mc Clelland, Charles. A. 1966. Theory And Internasional System, The Macmillan Company, New York. Maghroori, Ray & Tamberg, Bennet; 1982. Globalism Vs Realism: International Third Debate, Westview Inc. Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Justice Alfred, A & Knopt, New York hal 3-4. Morgenthau, Hans J, 1946. Scientific Man Versus Power Politics, The University Of Chicago Press, Chicago, hal 3. Sanders, Bruce L & Alan Durbin C., 1971. Contemporary International Relations Inroductory Reasings. John Willey and Sons Inc, New York, hal 89. Wasby, Stephen L. 1970. Political Science: The Dicipline and Its Dimension an in Introduction, Charles Scribner & Sons Inc, New York, hal 89.
56