PLURALITAS DAN KESERAGAMAN DALAM APRESSIASI KONSTRUKSI POLITIK INDONESIA DRS. P. ANTHONIUS SITEPU, MSi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 1. PENDAHULUAN Mengamati semakin banyaknya muncul yang menamakan dirinya Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) baru atau apapun namanya akhir-akhir ini telah mewarnai perdebatan politik yang menarik dalam masyarakat. Dari perdebatan yang muncul, ada tiga masalah yang diketengahkan. Pertama, yang melihat bahwa kehadiran organisasi organisasi kemasyarakatan baru adalah merupakan hal yang wajar-wajar saja jika dikaitkan dengan tuntutan demokratisasi yang semakin dibutuhkan. Kedua, melihat bahwa kehadiran organisasi-organisasi kemasyarakatan baru pada saat ini dianggap sebagai suatu fenomena politik kemasyarakatan yang lahir sebagai akibat semakin sempitnya sarana/saluran aspirasi politik yang ada (partai-partai politik dan dewan). Ketiga, melihat bahwa kehadiran atas organisasi-organisasi kemasyarakatan baru ini kepermukaan, lebih menunjukkan kepada memanfaatkan situasi dan perkembangan baru atas sistem politik (format politik) sekarang yang menuju kepada format politik parlementarisme dengan semakin semaraknya sistem kepartaian ganda (multiparty system) atau dengan perkataan lain, menghidupkan kembali pola politik aliran yang diambil dari partai-partai lama dikemas ke dalam wadah yang baru. 2. PERUBAHAN AFILIASI FORMAT POLITIK Terhitung dari sejak tahun 1966-an, format politik baru yang dikembangkan di Indonesia ternyata tidak lagi membuka peluang dan ruang gerak bagi perdebatanperdebatan politik dan ideologis yang memadai. Karena yang terjadi di sini adalah satu pembentukan format yang baru, yakni dengan direduksinya makna politik yang menjadi sekedar persoalan teknis-administratif dalam memecahkan persoalan. Format baru yang dimaksudkan di sini adalah sebagai kebalikan dari model kepolitikan Orde baru yang telah mencapai usia kurang lebih tiga puluh tahun yakni pada pola politik aliran 1950 sampai dengan tahun 1960-an (ideologi dan budaya). Peta politik model aliran seperti yang pernah dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku mereka yang berjudul,Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 mengenai lima aliran utama pemikiran politik Indonesia 1945-1965 yang terdiri dari: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokrasi dan Komunisme. Lima aliran pemikiran politik itu kemudian selanjutnya mewujudkan diri kedalam lima bentuk partai politik. Nasionalisme radikal mewujudkan diri kedalam Partai Nasional Indonesia (PNI); Islam meleburkan diri kedalam MASYUMI (sosialisme-demokratik) dan Nahdatul Ulama (NU); Sosialisme demokratik mewujudkan diri kedalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) sedangkan komunisme mewujudkan diri kedalam Partai Komunis Indonesia (PKI); dan yang terakhir aliran tradisonalisme-Jawa satu-satunya yang tidak membentuk diri kedalam partai politik secara nyata. Dalam era pasca politik aliran (Orde Baru) di mana jumlah kekuatan dan peranan partai politik telah direduksir ke dalam bentuknya sebagai proses pemfusian terhadap partai-partai poloitik dalam dua wadah baru (retrukturisasi sistem kepartaian Januari 1973) yang terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari unsur-unsur partai Islam diantaranya Nahdatul Ulama (NU), PERTI, PSSI,
© 2003 Digitized by USU digital library
1
dan Parmusi. Dan yang kedua berfungsi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari unsusr-unsur Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katholik dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sementara kino-kino kemasyarakatan yang dibidani oleh birokrasi berfungsi dan memetamorfosakan diri kedalam Golongan Karya (Golkar). Disusul kemudian kebijakan (sebagai ungkapan perubahan dinamis dalam pengembangan budaya politik) pembangunan politik floating mass (massa mengambang) sampai kepada penetepan azas tunggal Pancasila. Maka dalam hubungan ini yang menjadi inti persoalan sebutulnya terletak dalam penbentukan dua kutub yang saling bersinggungan yaitu antar kutub pemerintah (negara) yang menganut faham developmentalisme-intergeralisis dengan menekankan pada faktor pembangunan ekonomi dan stabiltas politik serta tertib sosial (social orderly) dan kubu yang lain (non- pemerintah) berdasarkan pada spektrum pemikiran (aliran) plural-kritis atau liberal-reformisme.
PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA 1966-SEKARANG DevelopmentalismeIntegeralis
* Stabilitas 'Politik * Pertumbuhan Ekonomi * Peran sentral negara * Keserasian sosial. * Demokratisasi
Pluralis-kritis
* Hak-hak azasi manusia * Rule of law * Keadilan sosial.
Sumber : Herbert Feith and Lance Castles (ed), Indonesian Political Thinking 19451966, (Ithaca : Cornel University Press,1970) dan Herbert Feith & Lance Castel, (ed),Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966,(Jakarta LP3ES,1988).
© 2003 Digitized by USU digital library
2
PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA 1945-1966 PENGARUH BARAT PKI SOSIALIS DEMOKRASI
KOMUNISME
PNI NASIONALISME RADIKAL
MASYUMI NU
TRADISIONALISME HINDU JAWA
ISLAM
TRADISI
3. IMPLIKASI PENYEMPITAN PLURALISME Ketika disain akbar digelar dalam pembangunan politik dan ekonomi kurang lebih tiga puluh tahun terakhir oleh regim Orde Baru, tampaknya telah membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam segi kehidupan politik bangsa ini. Semakin merebaknya sifat pluralis dalam masyarakat (ras dan etnis), juga pluralisme aksessibilitas terhadap kesempatan memilki sumber-sumber ekonomi dan aksessibilitas terhadap pusat-pusat kekuasaan.Kita ambil misalnya contoh kasus di Medan yang menggambarkan bagaimana kondisi terjadinya penyempitan terhadap beberapa aksesibiltas-pluralistis terhadap sumber-sumber ekonomi dan sebab-sebab pluralitas etnis dan ras tadi. Disebabkan timbulnya jurang pemisah antara kedua hal tersebut di atas senantiasa menemui kesulitan untuk dapat mengartikulasikannya, sehingga pada gilirannya terakumulasi kedalam berbagai letupan-letupan ketidakpuasan dengan diwarnai oleh primordialisme (agama dan etnis). Hal ini saya kira merupakan faktor dan kondisi yang setidak-tidaknya persis dengan proposisi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1959) yang mengatakan bahwa dalam realitas empiris politik, memiliki afinitas yang kuat untuk menuju kepada afiliasi politik aliran (organisasi massa) baru. Pergunjingan politik yang akhir-akhir ini dan juga tahun sebelumnya telah terjadi (1994) dalam kaitannya dengan usaha untuk mendirikan Ikatan Cendikiawan Kebangsaan Indonesia(ICKI). Yang menarik dalam hal ini terletak pada bangkitnya kembali faham kebangsaan yang dianggap sebagai tandingan dari bangkitnya faham sektarian kalau bukan ditujukan kepada tandingan terhadap Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)? Namun kebangkitan itu tidaklah hanya terlihat dari keberadaan usaha-usaha pembentukan berdirinya Ikatan Cendikiawan Kebangsaan
© 2003 Digitized by USU digital library
3
Indonesia itu sendiri melainkan telah timbul persepsi terhadap pluralitas dan keseragaman yang dikemas dengan persoalan di lingkungan kekuasaan. Pluralitas dalam persfektif berbangsa dan bernegara senantiasa bertumpu pada masalah ketegangan dalam kerangka pencaharian keseimbangan hubungan kekuasaan (balance of power relationships) antar tonggak-tonggak kekuasaan (titik kekuasaan) sebagai suatu paradoks yang saling melengkapi dan membutuhkan. Keseragaman, membutuhkan pluralitas yang terkonstruksi, agar, masalah bagaimana yang bernama keseragaman itu bisa dan mampu berdiri kokoh. Namun disisi lain, muncul rasa kekhawatiran dengan dibayangi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu (1950an) yang telah dijadikan sebagai pakem dari argumen pembangunan politik selama ini yakni, kekhawatiran akan terulang kembali fragmentasi politik yang tajam dan pada gilirannya kelak akan mengancam integritas bangsa. Munculnya berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan menggunakan label Persatuan Nasional Indonesia (PNI), MASYUMI Baru, Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO), Murba Baru, dan sebagainya, dinilai sebagai pencangkokan nama yang sudah lama mati diangkat kembali ke dalam kemasan yang pernah hidup pada masa lalu untuk sebagian tampak ikut mewarnai atau memperkuat konstatasi tentang pemunculan kembali pola afiliasi politik aliran. Kendati belum jelas betul, sejauhmana dampak atas kehadiran mereka ini manakala pola politik aliran tersebut terhadap pembentukan format politik yang baru. Kemunculan mereka (ormas-ormas) baru ini juga menampakkan suatu kecenderungan seolah-olah mengisyaratkan belum optimalnya organisasi-organisasi politik konvensional, semisal partai politik dan dewan yang ada dalam kerangka menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat yang terus tumbuh dan berkembang dan karena itulah pula orang mencari saluran lain yang diantaranya dalam bentuk afiliasi lama. Ternyata kondisi politik dalam formatnya yang ada saat ini belumlah dapat dikatakan berhasil untuk menciptakan landasan yang kokoh dan memberhasilkan bagi terciptanya landasan yang baru kepada sistem kepartaian dan corak afiliasi politiknya. Secara formal, memang upaya restrukturisasi politik dengan cara memfusikan kekuatan-kekuatan (partai-partai politik) yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dianggap sebagai satu pola yang antik (unik) terutama jika dilihat dari kepustakaan politik (demokrasi). Namun demikian, setidak-tidaknya langkah seperti ini telah memberikan kontribusinya yang berarti bagi obsesi ganda politik Orde Baru yakni, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Namun sebaliknya jika hal ini diperhatikan akan memberikan pengaruhnya kepada pembatasan-pembatasan bagi partisipasi rakyat. Semuanya ini dikembalikan kepada suatu langkah perubahan yang diharapkan sebagai komitmen maju ke depan di dalam kerangka usaha membangun masyarakat Indonesia ini secara keseluruhan. Perubahan tersebut khususnya dalam orientasi dan budaya politik yang diharapkan dengan melalui suatu proses pemfusian terhadap partai-partai politik tadi itu belum menampakkan hasilnya yang nyata dan malahan sebaliknya; kita bisa mengatakan bahwa orientasi pada ideologi dan primordialismelah yang sering muncul bagi prilaku politik. Hal ini, akan bisa kita amati bahwa masalah agama, yang diperkental terutama pada masa-masa menjelang pemilihan umum dan semakin menguatnya isu-isu unsur setiap saat menjelang diadakannya suatu kongreskongres tertentu, muktamar dan apapun namanya itu, dimana justru, spesifikasi program sebagai faktor pembeda diantara partai-partai politik seakan-akan tenggelam dibalik masalah dan perdebatan pembagian kursi (kekuasaan), jatah unsur dan sebagainya. Sementara itu kita juga dapat myang tumbuh yang akhirnya mengakibatkan ketiadaan bagi aksesibiltas untuk berhadapan dengan puncak kekuasaan yang pada gilirannya menumbuhkan dan menguatnya apa yang disebut dengan istilah: "sense
© 2003 Digitized by USU digital library
4
of inferiority complex partai-partai politik berhadapan dengan supra-struktur politik. Diperlihatkan di dalam perpolitikan perijinan, pembatalan SIUPP terhadap surat-surat kabar, yang dianggap sebagai bagian kecil contoh nyata untuk menunjukkan betapa sedemikian kokohnya kekuasaan negara dalam format politik saat ini yaitu suatu format politik yang oleh sebagian pengamat politik disebut sebagai sebuah statecorporatism (korporatisme negara). Atas format seperti ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai dan memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan terutama dalam kerangka bangunan politik ditata dengan melalui berbagai macam organisasi korporatisme yang sepenuhnya di bawah kendali (bayang- bayang) negara tadi. 4. POSISI KEKUATAN SOSIAL POLITIK Bahwa kehadiran organisasi-organisasi kemasyarakatan baru pada akhir-akhir ini, tentunya (apa lagi ia muncul sebagai kekuatan besar) merupakan saingan baru pula terutama jika hal ini diarahkan kepada aksesibilitas (sarana) ke pusat-pusat kekuasaan. Melahirkan pluralitas-aksessibilitas yang justru akan mempersempit jalan kearah itu. Bagaimana caranya agar kekuatan-kekuatan yang baru itu (meskipun dianggap sebagai persaingan kepentingan) itu ditiadakan saja jika masalah ini akan dikemas ke dalam format politik (sistem politik) yang tentunya mengalami perubahan- perubahan. Kita melihat dalam sistem politik yang ada sekarang ini bahwa kekuatankekuatan sosial politik yang terakumulasi ke dalam tiga kekuatan politik yakni, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Partai partai Politik dan Birokrat (Golongan Karya). Dan jika kita hadapkan dengan kemunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan baru yang semakin marak pada saat ini, katakanlah jika bisa masuk ke dalam sistem (struktur) yang ada sekarang, maka yang bakal terjadi adalah adanya perubahan format dan konstelasi sistem politik yang ada. Namun pun demikian, ada satu faktor yang sangat dominan dalam percaturan politik yang sedemikian, yaitu figur Presiden Soeharto. Maka karakter determinan format politik Orde Baru sekarang ini terletak pada tangan Soeharto sebagai presiden yang berkuasa. Ini didasarkan kepada satu asumsi bahwa rejim militer tidak berada di dalam ruang kosong atau dalam istilah "political vacuum" yang di dalam kerjanya diterapkannya sebagai: "to cantrall the polity". Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak akan bisa bersikap netral dalam kapasitasnya sebagai kekuatan sosial - politik (dual functional). Hal ini disebabkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mengharuskannya mempunyai sikap dan memilih kawan yang bisa diandalkan guna mencapai tujuan atau cita-cita bangsa. Kesamaan idealisme dan historis posisi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) amat dekat dengan Golongan Karya (GOLKAR) dimana peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai legitimasi politik (negara), tercermin di dalam dwi fungsinya tadi itu. Dalam wacana konstitusional (juridis formal) munculnya organisasi-organisasi massa baru bersinggungan dengan makna politik terhadap kegiatan organisasi. Artinya, sejauh ia tidak melakukan kegiatan politik, ia tidak menjadi soal dan ini telah diatur dalam Undang Undang No.3 Tahun 1985 tentang partai Politik dan Golongan Karya dan juga dalam Undang Undang No.8 Tahun 1985 tentang Keormasan. Memang ada perbedaan antara organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan (ormas) terletak di dalam hak dan kewajiban. Maka dengan demikian, yang dipertanyakan di sini adalah berkenaan dengan perolehan legitimasi. Sejauhmana mereka (ormas baru) ini bisa menjadi satu kekuatan sosial politik dilihat ke dalam wacana politik yakni, aksessibilitas ke pusat-pusat kekuasaan. Ataukah ada dalam pikiran mereka ini bahwa berdasarkan fenomena politik yang terjadi, tidak
© 2003 Digitized by USU digital library
5
akan memberikan peluang baru sebagai kontribusi mereka dalam kerangka perkembangan perpolitikan di Indonesia atau juga dengan kemampuan yang mereka miliki menjadi persoalan lain menuju ke arah cita-cita tersebut. Akan tetapi yang paling jelas kelihatan adalah permasalahan pertisipasi masyarakat (rakyat) dalam politik muncul kembali di dalam bentuk kebangkitan baru organisasi- organisasi kemasyarakatan kendatipun belum memiliki legitimasi baik secara hukum maupun berupa pengakuan-pengakuan yang kuat sebagaimana yang diberikan kepada partai-partai politik sebagai kekuatan sosial politik. Baru yang tampak, sejumlah besar kelompok-kelompok dan individu- individu berkehendak merebut kekuasaan (posisi) ke dalam kerangka bangunan rejim yang baru. Sebagai contoh, pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum 1997-1998. Ini, merupakan suatu upaya manuver-manuver politik yang mereka tampilkan dengan berbagai argumentasi yang diarahkan kepada suatu tatanan politik nasional yang baik, sesuai dengan persepsi mereka sendiri. Mereka, datang untuk membangkitkan kembali partai- partai politik yang telah lama terkubur di bawah tanah longsoran Orde Baru. Orang-orang yang mewakili sayap modernis Islam Indonesia, berusaha menghidupkan kembali Masyumi Baru (partai terbesar kedua (20, 9%) yang memperolehsuara dalam Pemilihan Umum tahun 1955, namun. dilarang oleh Presiden Soekarno karena partisipasinya dalam aksi-aksi pembrontakan di daerahdaerah sekitar tahun 1950-an. Ketika Soeharto naik ke pentas politik nasional sebagai presiden Republik Indonesia, dalam pemerintahan Orde Baru, hanya mengijinkan pendirian partai politik baru bernama PARMUSI (partai Muslimin Indonesia) dan semua mantan pemimpin partai tersebut disingkirkan. PARMUSI, yang memperoleh suara 5,3% dalam pemilihan umum tahun 1971. Kehadiran organisasi-organisasi massa baru ini juga kelihatannya berkorelasi dengan aspek agama dan ideologi. Indikasi seperti penyerapan unsur-unsur Islam menjadi issu besar kerangka ideologi yang lebih bergaung dibandingkan dengan unsur-unsur yang membangkitkan kembali unsur Kristen ataupun unsur nasionalis. Maka yang menjadi pertanyaannya: mengapa issue itu yang menjadi tetap kuat dan terus berlanjut (perobahan dan kesinambungan)? Apakah ini merupakan suatu cerminan atas issu-issu tentang adanya dominasi Jawa dan distribusi pendapatan yang tidak merata antara pulau Jawa dan di luar pulau Jawa ? Atau apakah ini juga ada kaitannya dengan kondisi masyarakat kita yang memiliki heterogenitasnya sedemikian besar sehingga faktor multietnisitas turut mewarnai peta perpolitikan nasional kita? Oleh sebab itu seolah-olah organisasi-organisasi massa yang barubaru ini bermunculan dapat dikatakan sebagai yang mewakili "tradisi" itu yang dikarakterisasikan ke dalam bentuk-bentuk persaingan yang mungkin terjadi sebagai upaya untuk memperoleh kekuasaan dan ini senantiasa didasarkan kepada landasan keberagaman di atas tadi. Dan ini selanjutnya akan memberikan dampak terhadap perkembangan dan perubahan sistem politik nasional umumnya. Perubahan dan perkembangan sistem politik yang dimaksudkan itu berkenaan dengan kemampuan yang dimiliki oleh organisasi-organisasi massa untuk dapat memasuki gerbang sistem politik itu sendiri. Persoalannya terletak pada keberadaan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan dukungan sehingga dapat diartikulasikan dan diagregasikan. Sumber daya itu dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi yang berasal dari dukungan dan tuntutan rakyat banyak yang dinyatakan atau diartikulasikan bagi kepentingan-kepentingan/harapanharapan/nilai-nilai kepada organisasi tersebut. Maka dengan demikian apakah organisasi-organisasi itu telah siap ? Sejauh langkah itu belum diperoleh, maka perannya dalam kerangka sistem politik, hampir pasti tidak memberikan arti apa-apa. Katakanlah hal ini tidak menjadi kenyataan, apa sajakah yang hendak diharapkan lagi oleh organisasi-organisasi massa itu sampai kehadiran mereka menjadi diskusi politik yang menarik ? Apakah ada yang
© 2003 Digitized by USU digital library
6
melihat bahwa akan terjadi suatu perobahan dan perkembangan yang sangat penting dalam kaitannya dengan perpolitikan nasional masa mendatang (proses perobahan politik) yakni akan terbukanya arena/gelanggang parlementer atau dibukanya suatu sistem kepartaian yang baru? 5. PENUTUP Kebangkitan kembali organisasi-organisasi kemasyarakatan baru-baru ini dinilai sebagai suatu refleksi terhadap azas-azas demokrasi yang dijadikan sebagai suatu kebutuhan mendasar dalam kerangka bangunan sistem politik. Hal ini disebabkan kerena semakin menyempitnya saluran-saluran aspirasi politik (kepentingan politik) rakyat sebagai bentukan bagi partisipasi politik rakyat di atas tatanan politik Orde Baru yakni dalam format politik dimana telah terjadi pengreduksian makna politik dan persoalan politik bisa diselesaikan dengan cara teknis-administratif. Kebangkitan kembali organisasi-organisasi massa baru lebih banyak memberikan dasar lukisan yang diwarnai oleh sektarianisme/primordialisme atau dengan pola politik aliran sebagaimana telah pernah terjadi pada era sistem politik demokrasi liberal. Namun demikian yang menjadi persoalan adalah akan mereka ini akan memberikan pengaruh terhadap sistem politik yang ada saat ini atau sejauh manakah mereka memiliki akses untuk bisa masuk ke dalam sistem itu sehingga dalam dataran politik Orde baru akan menghasilkan polarisasi kekuatan terutama dalam proses politik yang akan datang. Apakah kehadiran mereka ini hanya untuk memanfaatkan kesempatan sesaat (situasi) dimana akan terjadi perkembangan baru atas sistem politik yang menuju kepada dianutnya sistem pemerintahan parlementer dengan sistem kepartaian yang banyak (multy system party) sehingga memungkinkan mereka bisa berebut posisi di dalamnya?
© 2003 Digitized by USU digital library
7
BAHAN BACAAN FEITH, Herbert & Lance Castles (ed),Indonesian Political Thinking 1945-1966, (Ithaca: Cornell University Press, 1970) dan Herbert Feith & Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1845-1966 (Jakarta: LP3ES, 1988). ISHAK, otto Syamsudin, "Afiliasi Politik Di Masa Orde Baru", KOMPAS, 16 Februari 1994. KAISIEPO, Manuel, "Dari Ideologi ke Penafsiran Baru", KOMPAS (20 Mei 1994). KOMPAS, (2 Juni 1994) HAMID, Abdul, "Pluralisme dan Tertib Politik",KOMPAS (8 Juni 1994). KAISIEPO, Manuel, "persoalan Pasca Politik Aliran",KOMPAS (18 Agustus, 1994). WIJAYA, Andy F, "Mereka-reka Pemikiran Politik Era Orde Baru", KOMPAS (30 Oktober 1994). KOMPAS (Oktober 1995 dan Nopember 1995). SURYADINATA, Leo, Golkar (Jakarta: LP3ES, 1992).
dan
Militer
:
Studi
Tentang
Budaya
Politik,
LIDDLE, R.William, Pemilu Pemilu Orde Baru pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta: LP3ES, 1992). ---------------------, Partisipasi Politik dan Partai Politik : Indonesia pada awal Baru, (Jakarta: Pustaka utama Grafiti Press, 1992).
© 2003 Digitized by USU digital library
Orde
8