37 ISLAM DAN PLURALITAS BANGSA INDONESIA Anas Amarulloh Staf Pengajar UNTIRTA Serang Banten Jl. Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan, Serang Banten Telp: (0254) 280330
[email protected] Abstrak Hubungan antara Islam dan Pluralitas Bangsa Indonesia, secara normatif, selain tercermin dalam ajaran agama Islam, pada saat yang bersamaan tercermin pula dalam Pancasila yang merupakan ideologi terbuka dan konstitusi negara hukum Indonesia, yaitu UUD 1945. Dalam pembahasan di sini akan ditampilkan model perspektif Islam, yaitu Islam Madani, suatu model Islam yang dapat diterima oleh masyarakat kontemporer yang pluralistik, khususnya di Indonesia. Untuk membuktikan adanya hubungan antara Islam dengan pluralisme ini terdapat tiga pendekatan. Pertama, pendekatan Nash, baik berupa Alquran maupun Hadis Nabi saw; Kedua, pendekatan sejarah Islam, dan ketiga pendekatan sosiologis. Oleh karena berbagai keterbatasan, maka di sini penulis hanya akan fokus pada Q.S. Al-Anbiya ayat 107, yang artinya: “Tidaklah kami mengutus Engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Dengan kata lain, pluralisme di sini akan dilihat dari perspektif Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam. Tentunya hal ini tanpa bermaksud mengabaikan ayatayat lain. Kata Kunci: Islam, Pluralitas, Sejarah Indonesia.
PENDAHULUAN Judul di atas sekilas memperlihatkan adanya hubungan antara “Islam”1 sebagai agama mayoritas di Indonesia dengan “Pluralitas Bangsa Indonesia” yang multi kultur, multi etnik, dan multi agama. Hubungan tersebut, secara normatif, selain tercermin dalam ajaran agama Islam, pada saat yang bersamaan tercermin pula dalam Pancasila yang merupakan ideologi terbuka dan konstitusi negara hukum Indonesia, yaitu UUD 1945.2 Demikian pula hubungan 1
2
Semua agama, terutama Islam dengan intensitas yang berbeda-beda, memiliki 5 dimensi agama: ideologial, ritual, mistikal, intelektual, dan sosial atau akhlak. Akhlak ini merupakan substansi agama dan tujuan Rasul diutus, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Islam model sosial inilah yang berhubungan dengan pluralisme. Dalam ilmu sosial pluralisme adalah sebuah kerangka yang di dalamnya terdapat interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Lihat buku Yaya Suryana, Pendidikan Multi Kultur Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa, Konsep-Prinsip-Implementasi, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 94. Pancasila sila kesatu, ketiga, dan kelima adalah berhubungan dengan paham pluralisme dan pluralitas bangsa Indonesia. Sila kesatu berkenaan dengan kebebasan dalam beragama; Sila ketiga berkenaan dengan persatuan Indonesia yang plural; dan yang kelima berkenaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang juga bersifat plural. Adapun dalam UUD 1945, pluralisme agama terdapat pada pasal 28 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”; dan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Adapun mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul terdapat pada pasal 28, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikian dengan lisan dan tulisan dan sebagainya tetetapkan dengan undang-undang.” Lihat buku Rohidin, Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, FH UUI Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 34-35.
38 di atas, terlihat dalam praktik keberagamaan sebagian besar pemeluknya dengan budaya bangsa Indonesia pada umumnya yang pluralistik. Adapun hubungan konseptual yang bersifat normatif ini dapat berupa konsep Islam sebagai agama pluralis dan konsep Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia yang berpandangan pluralis. Adapun hubungan faktual yang bersifat praktik ini dapat berupa historis dan sosiologis-empirik, yaitu berupa fakta sosial.3 Hubungan-hubungan inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu hubungan konseptual dan aktual Islam sebagai agama pluralis dengan konseptual dan aktual bangsa Indonsesia yang pluralistik. Adanya fakta-fakta itulah yang melatarbelakangi tulisan ini. PEMBAHASAN A. Hubungan Islam Konseptual dengan Pluraitas Bangsa Indonesia 1. Islam dan Pluralisme Isu pluralisme agama hingga kini masih cukup kontroversial dalam masyarakat. Meski begitu, tidak ada kesepakatan yang sama mengenai definisinya. MUI, misalnya, mendefiniskan pluralisme agama sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama, bahwa kebenaran setiap agama adalah relatif.4 Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tiga perspektif dalam memandang Islam: Fiqhi, Siyasi, dan Madani. Islam Fiqhi adalah memandang ajaran Islam sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan petunjuk praktis untuk kehidupan manusia sehari-hari. Islam Siyasi memandang ajaran Islam sebagai ideologi untuk menegakkan kekuasaan Tuhan di muka bumi. Islam Madani berusaha menampilkan Islam yang diterima oleh masyarakat kontemporer yang pluralistik. Jika islam Fiqhi bersifat sektarian dan Islam Siyasi bersifat eksklusif, maka Islam Madani bersifat nonsektarian, inklusif, dan pluralistik. Islam Madani hadir untuk menyebarkan kasih kepada seluruh umat manusia, “Rahmatan lil alamin”.5 Sesuai dengan judul di atas, maka di sini akan ditampilkan model perspektif Islam yang ketiga, yaitu Islam Madani, suatu model Islam yang dapat diterima oleh masyarakat kontemporer yang pluralistik, khususnya di Indonesia. Dengan demikian, kehadirannya dapat dirasakan dan menjadi rahmat bagi mereka sesuai dengan tujuan Nabi Muhammad saw. diutus, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran yang artinya: “Tidaklah kami mengutus Engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam”.6 Untuk Islam perspektif Fiqhi dan Siyasi tidak dibahas di sini karena selain tidak relevan dengan judul di atas, juga memerlukan bahasan tersendiri pada tempat yang berbeda. Untuk membuktikan adanya hubungan antara Islam dengan pluralisme ini terdapat tiga pendekatan. Pertama, pendekatan Nash, baik berupa Alquran maupun Hadis Nabi saw; Kedua, pendekatan sejarah Islam, dan ketiga pendekatan sosiologis. Untuk pendekatan yang ketiga, ada hubungannya dengan bahasan mengenai “Islam mayoritas dan pluralitas bangsa Indonesia”, dan akan dibahas secara spesifik pada bagian 2, sub b.
3
4
Dua istilah yang disebutkan terakhir, yaitu normatif yuridis dan sosiologis empirik meminjam istilah Rohidin, Ibid. hlm. 34.
Hendar Riyadi, “Koeksistensi Damai Dalam Masyarakat Muslim Modernis,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016): 18–33. 5 Jalaluddin Rahmat dalam ektrinsik buku profile IJABI 2000-2007. 6 QS. Al-Anbiya: 107
39 Dalam kaitannya dengan pendekatan yang pertama, banyak sekali ayat Alquran dan Hadis yang berkenaan dengan pluralisme. Oleh karena berbagai keterbatasan, maka di sini penulis hanya akan fokus pada Q.S. Al-Anbiya ayat 107 sebagaimana dijelaskan di atas, yang artinya: “Tidaklah kami mengutus Engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Dengan kata lain, pluralisme di sini akan dilihat dari perspektif Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam. Tentunya hal ini tanpa bermaksud mengabaikan ayat-ayat lain. Kembali kepada tujuan Rasul diutus dalam Alquran, yaitu sebagai rahmat bagi segenap alam; sedangkan dalam Hadis, tujuan Rasul diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak.7 Kedua tujuan tersebut memiliki kesamaan, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam karena ketika manusia sebagai subjek atau khalifah fil ardhi memiliki akhlak mulia, maka tentunya akan membawa rahmat bagi dirinya, orang lain juga alam semesta. Adapun yang dimaksud dengan rahmat adalah kelembutan hati sehingga cenderung untuk mengasihi orang lain.8 Namun, Rahmat Allah adalah berupa kebaikan, bukan kelembutan hati karena Allah terbebas dari sifat makhlukNya.9 Dalam Alquran kata rahmat ini selain dihubungkan dengan Rasul aaw., sebagaimana ayat di atas, orang-orang mukmin, agama, Alquran, juga terutama dengan Allah sendiri.10 Melekatnya sifat-sifat itu pada yang disifati adalah menunjukkan mulianya sesuatu yang disifatinya, yaitu Allah, Nabi, Alquran, agama, dan orang-orang mukmin. Rupanya pesannya bagi kita adalah hendaklah kita semua memiliki dan menebarkan rasa kasih sayang tersebut, sebagaimana sifat dan tujuan Rasulullah diutus. Adapun ar-Rahman-ar-Rahim (Maha pengasih dan Penyayang) merupakan dua sifat Asmaul Husna Allah Swt., yang harus diteladani oleh manusia. Oleh karenanya, tidak heran jika tujuan Rasulullah diutus itu adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam yang sejalan dengan sifat Allah, Alquran, agama sendiri, dan orang-orang mukmin. Lalu apa bentuk dari rasa kasih sayang yang sangat mendalam dari Allah melalui RasulullahNya itu; sejauh mana ruang lingkup kasih sayang itu; dan apa yang dimaksud “Seluruh alam” dalam konteks ayat di atas. Menurut as-Sarbashy, bahwa yang dimaksud kasih sayang itu adalah Beliau menjadi sebab untuk mendapatkan rahmat, kebaikan kebahagian, dan petunjuk bagi setiap yang berakal dan yang mengharapkannya.11 Adapun ruang lingkupnya adalah meliputi orang-orang kafir, mukmin, dan makhluk Allah yang lainnya12. Adapun rahmat bagi orang kafir adalah berupa penangguhan siksanya kelak di hari kiamat, lain halnya dengan umat-umat sebelumnya.13 Sementara yang dimaksud dengan seluruh alam itu adalah meliputi alam dunia dan akhirat,14 dan di akhirat bagi orang mukmin adalah berupa pahala yang besar karena telah mengikuti ajarannya.15 Kasih sayang Allah dan RasulNya ini bagaikan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan kasih sayang Allah terhadap 7
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain Ali al-Baihaqy, Sunan Al-Baihaqy, Mauqi Wazarah al- Auqaf, Mesir, 1344 H, Zuj 2, hlm. 472. 8 Ahmad as-Sarbashy, Yasalunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Dar al-Jail, Bairut, Jilid 4, hlm. 397. 9 Ibid, hlm. 397-401. 10 Ibid. 11 Ahmad as-Sarbashy, , Yasalunaka, hlm. 400-401. 12 Ibid.. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid.
40 makhluknya. Jika orang tua menginginkan anaknya berbahagia dan tidak celaka, apalagi Allah yang penuh kasih sayang terhadap hambaNya serta rahmatNya meliputi segala Sesuatu.16 Oleh karenanya, orang tua selalu berupaya dengan sepenuh hati agar anaknya itu berbahagia, sekurang-kurangnya di dunia. Lebih jauhnya di akhirat. Oleh karenanya, tidak heran biasanya orang tua terkesan memaksakan kehendak kepada anaknya itu agar selamat dan bahagia, terkadang dengan menggunakan cara-cara yang tidak disukai oleh anaknya itu karena anak tidak tahu dan tidak menyadari manfaat dan madharatnya, selain karena perbedaan cara pandang dan keinginannya yang pendek. Sementara orang tua melihatnya dari perspektif kasih sayang dan pengalaman hidupnya bahwa hal demikian itu tidak baik, tidak bermanfaat, dan merugikannya, jika hal itu berkenaan dengan keburukan. Sebut saja seorang anak yang memainkan pisau dan orang tua mengamankannya terkadang dengan cara memaksanya agar dia tidak celaka karena hal tersebut. Begitu pula Allah membuat syariat dan supaya ditaatinya, agar manusia ciptaanNya selamat dan berbahagia dunia dan akhirat. Itulah tujuan diturunkannya agama Islam. Oleh karenanya, dalam Alquran, di satu sisi Allah terkadang terkesan memaksa agar manusia taat kepadaNya. Namun, di tempat lain secara tegas Allah tidak memaksanya, tidak apa paksaan dalam beragama.17 Hal ini menurut Syeh Rasyid Ridha adalah merupakan kaidah atau prinsip besar agama Islam dan rukun yang mulia dalam bersiasah.18 Adanya kebebasan dalam beragama ini jangan disalahartikan dengan tidak memuliakan, tidak memperjuangkan, tidak menghormati, dan tidak mendakwahkan agama yang diyakininya itu karena itu adalah bagian dari kewajiban seorang muslim terhadap agamanya, yaitu Amal ma’ruf nahyi munkar.19 Justru dengan sikap itu, Islam menempatkan dirinya sebagai agama yang terhormat, tidak memaksa siapapun untuk memeluknya karena jika Allah menghendaki maka semua manusia akan beriman.20 Terkecuali apabila Islam itu telah futuh atau merdeka seperti ketika Nabi sudah di Makkah, maka yang non muslim itu diberikan dua pilihan apakah mau beriman atau membayar upeti atau pajak.21 Oleh karenanya, dalam Alquran Allah mengingatkan NabiNya untuk tidak sekali-kali memaksa manusia agar beriman, “Apakah Engkau orangnya yang memaksa agar manusia dapat beriman.”22 Islam tidak membenarkan pula mengajak orang lain dengan cara-cara yang tidak santun, keras kepala, dan anarkis. Dengan meminjam istilah Thomas Santoso, “Kekerasan menjadi agama baru, yaitu kekerasan agama tanpa agama.”23 Rasul sendiri tidak melakukan dakwah di luar kewenangannya, beliau hanya berkewajiban untuk menyampaikan dengan cara-cara yang hikmah, mauidhoh, dan dialog yang simpatik.24 Oleh karenanya, tidak heran jika dalam Islam Amar makruf nahyi munkar itu ada syarat atau aturannya. Terdapat 5 syarat Amar maruf nahyi munkar, yaitu: Pertama, tidak boleh 16
Q.S. 7: 156. Q.S. 2: 256. 18 Ahmad as-Sarbashy, Yasalunaka, juz 2, hlm. 550. 19 Amal ma’ruf nahyi munkar adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran. Ini dapat berfungsi selain memberikan pencerahan agama, juga sebagai kontrol sosial. Ini penting karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa selamat secara sendirian. 20 QS. 10: 99 21 Ahmad as-Sarbashy, Yasalunaka, Ibid. 22 QS. 10: 99 23 Istilah “kekerasan sebagai agama baru atau agama tanpa agama” adalah istilah Thamas Santoso yang terdapat dalam ektrinsik buku Kekerasan Tanpa Agama, Pustaka Utan Kayu, Jakarta, 2002. 24 QS. 16: 125. 17
41 Amar ma’ruf nahyi munkar secara semena-mena dilakukan oleh orang awam tanpa ilmu karena selain hal itu dapat mengakibatkan kesalahan, baik dalam teori maupun praktiknya juga akan menjadi kontraproduktif. Alih-alih mau mendakwahkan Islam sebagai agama yang suci dan agung, malah mencemarkan atau merendahkannya Islam itu sendiri. Kedua, Amar ma’ruf nahyi munkar harus dilakukan semata-mata karena Allah dan untuk ketinggian Agama Allah; Ketiga, dilakukan dengan penuh kasih sayang; tidak kasar dan keras kepala karena Allah berkata kepada Nabi Musa dan Harun AS. ketika mereka diutus kepada Fir’aun, “Maka bertutur katalah kalian dengan kata-kata yang lembut atau santun”; Keempat, hendaklah dilakukan dengan penuh kesabaran karena Allah telah berkata kepada Lukman as, “…cegahlah mereka dari munkar dan bersabarlah terhadap yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah pening”; Kelima, hendaklah diamalkan terlebih dahulu sebelum diperintahkannya kepada orang lain, agar tidak menjadi bahan ejekan dan diperolok-olokkan. Allah berkata: “Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab, tidakkah kamu mengerti.”25 Dalam kaitannya dengan Islam sebagai agama yang toleran, begitu pula sejarah Islam telah membuktikan model pendidikan yang multi kultural, sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun tahun (813-833 M); Muhammad Ibn Musa al-Hawarizmi (780850 M); dan Al-Kindi (809-866 M). Konsep pendidikan multi kultural ini telah dikenal pada zaman Al-Ma’mun pada institusi pendidikan Islam Bayt al-Hikmah, Masjid, Halaqah, Maktab, Ribath dan Majlis.26 Demikian sekilas uraian tentang Islam dan pluralisme, dilihat dari perspektif Islam sebagai agama rahmat bagi semua alam dan tujuan Nabi diutus serta perspektif sejarah Islam. 2. Islam Sebagai Mayoritas di Indonesia dan Pluralitas Bangsa Indonesia Dalam upaya untuk membuktikan adanya hubungan antara Islam dan pluralitas bangsa Indonesia sebagaimana judul di atas, maka akan relevan jika membahas mengenai hubungan antara Islam sebagai mayoritas di Indonesia dengan pluralitas bangsa Indonesia. Berikut ini adalah gambaran tentang Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan pemeluk-pemeluk agama lainnya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Agama yang Dianut oleh Penduduk Indonesia Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 No. Agama Jumlah Persentase 1 Islam 207.176.162 87.18 2 Kristen 16.528.513 6.96 3 Katolik 6.907.873 2.91 4 Hindu 4.012.116 1.69 5 Buddha 1.703.254 0.72 6 Khong Hu Chu 117.091 0.05 7 Lainnya 299.617 0.13 8 Tidak Terjawab 139.582 0.06 9 Tidak ditanyakan 757.118 0.32 Jumlah 237.641.326 100.00 25 26
Syeh As-Samarqandy, Tanbihul Ghafilin, t.t, t..pn, t.th, hlm. 99. Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 32-33.
42 Sumber: BPS, 2010
Berdasarkan tabel tersebut, agama yang dianut oleh penduduk Indonesia terdiri atas Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khong Hu Chu, dan lain-lain. Berdasarkan tabel ini, pemeluk mayoritas penduduk Indonesa adalah beragama Islam. Besarnya jumlah penduduk yang beragama Islam ini tidak terlepas dari sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia yang menggunakan pendekatan kultural sehingga kehadirannya dapat diterima oleh budaya setempat. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam di Indonesa bercorak kedaerahan sesuai dengan daerah yang dimasukinya pada waktu itu, yang secara umum bercorak ke Indonesian. Oleh karena itu pula, terdapat perbedaan pemahaman keagamaan pada setiap daerahnya. Kehadiran Islam ini telah lama di Indonesia serta dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat pada tabel di atas. Oleh karenanya, telah mempengaruhi Khazanah budaya bangsa. Ini tidak heran jika dalam perkembangannya Islam telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia. Misalnya, pernikahan, seni, hukum, pemikiran, organisasi dan politik bernegara, termasuk di dalamnya adalah pandangan mengenai pluralisme yang terutama sejalan dengan pandangan organisasi Islam terbanyak di Indonesia, yaitu NU. Yang jelas di manapun Islam berada selalu dapat berkompromi baik dengan kultur lokal, nasional, maupun internasional. Islam di Indonesia ini telah tumbuh dan berkembang dalam bentuk organisasiorganisasi keagamaan yang hidup secara rukun dan damai sekalipun di sana sini terdapat perbedaan-perbedaan termasuk pandangannya dalam berbangsa dan bernegara. Secara umum pandangnya ada yang Islam fiqhi, siyasi, dan madani, sebagaimana telah dikemukakan di atas. NU27 ini tampaknya lebih memilih Islam model madani daripada dua model lainnya, sebagaimana pandangan-pandangan Islam tentang pluralisme di atas. Oleh karenanya, ormas Islam, Nahdlatul Ulama ini memiliki pandangan dan menjungjung tinggi nilai-nilai pluralisme sebagaimana yang telah ditunjuakan oleh para pendiri dan tokohnya sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. Ini tidak berarti ormas yang lain tidak memiliki pandangan demikian, tetapi NU dalam hal ini lebih jelas dan terbukti sepanjang sejarah serta sikap ini melekat dengan kultur warga NU. Pandangan NU mengenai paham kebangsaan yang pluralis dan akomodatif ini bisa dilihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum PBNU berikut ini: “Sudah 87 tahun, Nahdlatul Ulama (NU) mengabdi kepada bangsa. Banyak sumbangan pemikiran maupun pelayanan masyarakat yang telah diberikan. Hanya saja sebagai organisasi Islam terbesar, ia masih sering disalahpahami. Kesalahpahaman ini berangkat dari ketidakpahaman atas basis pemikiran Islam yang melandasi hubungan NU dengan negara ini. Kesalahpahaman ini yang membuat NU dicap sebagai oportunis yang hanya bisa melegitimasi kekuasaan yang ada. Sebuah stereotype oleh kalangan modernis terhadap kaum “Islam klasik”. Dengan sikap legitimatif ini, NU dianggap hanya ingin mendapatkan jatah kekuasaan. Dalam rangka Hari Lahir ke-87 NU, 31 Januari 2013, tulisan ini 27
NU atau Nahdlatul Ulama secara bahasa adalah kebangkitan ulama. Organisasi ini didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya atas prakarsa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan didirikannya organisasi ini untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlusunnah waljamaah dan menganut mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafii dalam wadah Negara kesatuan. Lihat Ensiklopedia Islam untuk Pelajar, 3. 2001, hlm. 61.
43 hendak menggambarkan dasar-dasar pemikiran politiknya demi pemahaman yang saling menghargai. Realisme Religius sebagaimana diketahui, corak pemikiran politik NU bersifat realistik. Ia berangkat dari realitas politik yang ada, demi pemanfaatan realitas tersebut bagi tercapainya tujuan Islam. Sebuah tujuan yang merujuk pada fungsi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta). Dalam kaitan ini, NU mendasarkan diri pada kaidah alghayah wa alwasail (tujuan dan cara pencapaian). Maka, ketika kerahmatan Islam bisa ditegakkan (alghayah), bentuk dari negara yang menjadi cara pencapaian (alwasilah) menjadi tidak penting lagi. Cara berpikir seperti ini merupakan kritik atas corak pemikiran kenegaraan Islam yang an sich bersifat legalformalis. Hal ini misalnya terdapat sejak pada Imam alMawardi dalam alAhkam alShulthaniyah yang hanya berkutat pada sarat rukun pendirian negara dan imam. Meskipun bersifat realis, pemikiran politik NU sejak awal berangkat dari ketakterpisahan Islam dengan politik. Artinya, NU menempatkan Islam sebagai “agama politik” sebab ia telah menetapkan kemashlahatan manusia sebagai tujuan utama syariat. Tentu politik dalam hal ini merujuk pada perwujudan kebaikan bersama (res publica), yang menempatkan negara sebagai alat bagi perwujudan tersebut. Inilah yang dimaksud oleh kaidah fiqh, tasharruf alimam ‘ala alra’iyyah manuthun bi almashlahah (keabsahan imam terdapat pada kemampuannya mensejahterakan rakyat) yang selama ini menjadi kaidah politik NU. Dengan amat bagus, Imam alGhazali menetapkan cara pensejahteraan ini melalui prinsip daf’u daruri ma’sumin (mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan). Baik melalui pemenuhan kebutuhan dasar hidup maupun perlindungan atas keamanan. Cakupan perlindungan inipun tidak terbatas pada umat Islam, melainkan segenap rakyat termasuk nonmuslim. Pola pemikiran seperti ini, yang menggambarkan keteguhan memegang prinsip Islam sembari menerima tradisi baru, mencerminkan watak Islam itu sendiri yang bersifat kosmopolitan. Inilah yang menjadi makna dari kesempurnaan Islam di dalam Surat al-Maidah ayat 3. Kesempurnaan Islam terdapat pada keluasan pandangan untuk menerima dan menyerap peradaban lain. Bukan ketertutupan nilai yang mengasingkan Islam dari perkembangan zaman.”28 Demikianlah sekilas mengenai hubungan Islam dengan pluralitas bangsa Indonesia, khususnya NU yang merupakan Ormas Islam terbesar di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan baik secara historis, yuridis-normatif dan sosiologis, dengan pendekatan Islam sebagai agama pluralis dan pandangan Islam mayoritas, yaitu NU yang pluralis juga sehingga pluralitas bangsa Indonesia dapat terjaga dan terpelihara sampai sekarang. Itulah tesis yang berkenaan dengan hubungan Islam dengan pluralitas bangsa Indonesia. B. 1.
Hubungan Faktual Islam dan Pluralitas Bangsa Indonesia Dalil Historis dan Awal Masuknya Islam ke Indonesia
28
Harian Republika, 8 Februari, 2013.
44 Dalil kedua yang dapat membuktikan adanya hubungan antara Islam dengan pluralitas bangsa Indonesia adalah dalil historis, selain normatif yuridis dan sosiologis empiris. Yang dua terakhir akan dibicarakan menyusul. Secara historis, baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan tahun 1945, bangsa Indonesia sudah terdiri atas berbagai macam kultur, etnik, dan agama. Dengan kata lain Indonesia adalah masyarakat yang multikultural. Dalam masyarakat multikultural, pengikut atau pemeluk agama memainkan peranan dominan bagi ajaran agama yang dipeluknya atau bahkan di antara mereka ada sekelompok orang yang acuh terhadap agama yang mereka peluk.29 Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Yaya Suryana dalam bukunya Pendidikan Multi Kultur. 30 Demikian pula Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia merupakan salah satu agama di tengah-tengah pluralitas agama-agama lain. Kemudian, secara konsensus para tokoh agama dan bangsa pada waktu itu sepakat untuk hidup bersama dan berdampingan dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga sampai sekarang ini, yang lebih dikenal dengan lambang Bhinneka Tunggal Ika (berbedabeda, tetapi satu tujuan). Ini sebagaimana dikemukakan oleh Rosihin, bahwa dasar keberadaan konstitusi itu adalah kesepakatan umum atas persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Hal tersebut diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.31 Mengenai kapan sejarah awal mula masuknya Islam ke Indonesia, terdapat tiga teori yang terkenal, yaitu: Teori Makkah, Gujarat (India), dan Persia. Teori ini rupanya didasarkan pada asal mula orang dan bangsa yang menyebarkan agama Islam tersebut. Menurut teori pertama, yang dikemukakan oleh Crawford, Islam dibawa dan datang dari Makkah, yaitu pada abad ke-7 M, jauh lebih awal daripada teori yang kedua dan ketiga, yaitu Gujarat dan Persia pada abad ke-13 M. Muhammad Hamka, seorang ulama dan sekaligus sejarawan Islam Indonesia termasuk yang meyakini teori ini, dengan alasan bahwa pada abad ke-7 ini di pusat kerajaan Sriwijaya telah dijumpai perkampungan-perkampungan pedagang Arab. Adapun menurut teori yang kedua, Islam berasal dari Gujarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Mouquette, Ilmuwan Belanda, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13-14 Masehi. Hal ini didasarkan pada adanya tulisan batu nisan yang ditemukan di Samudra Pasai, Aceh Timur. Pada batu nisan tersebut tertera tulisan angka “17 Dzulhijah 831 atau 21 September 1428 M”. Ini identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H atau 1419 M) di Gresik, Jawa Timur; Serta dengan ditemukannya batu nisan Malik al-Saleh, Raja Samudera Pasai, yang berangka tahun 698 H atau 1297 M. Selain itu, menurut Pijnappel, batu-batu nisan tersebut sama dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat. Kedua tempat itu sama-sama menganut mazhab Syafi’i. 32 Demikian pula menurutnya, para pembawa Islam di Indonesia berasal dari 29
Casram Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 2 (2016): 187–198. 30 Menurutnya, “Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, entis, atau kelompok sosial, kepercayaan, agama, dan budaya yang berbeda-beda dari daerah satu dengan daerah lain yang mendominasi khazanah budaya bangsa.” Lihat buku Yaya Suryana, Pendidikan, hlm. 93. 31 Rohidin, Op. cit., hlm. 18. 32 Mazhab adalah cara pandang seseorang atau kelompok terhadap agama, baik berkenaan dengan masalah fiqih maupun ushuluddin atau dasar-dasar agama. Sampai sekarang, di Indonesia Mazhab ini paling banyak dianut oleh kebanyakan penganut Islam, terutama oleh organisasi NU yang mayoritas di Indonesia.
45 Gujarat dan Malabar, sedangkan menurut Morrison dan Arnold bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh orang-orang Coromandel dan Malabar. Selain sumber batu nisan di atas, sumber lainnya didapat dari tulisan Marcopolo, pedagang Venesia yang singgah di Sumatera dalam perjalanan pulang dari Cina pada tahun 1292. Di sana, disebutkan bahwa Perlak merupakan kota Islam. Menurut teori yang ketiga, Islam di Indonesia berasal dari Persia, pada abad ke-13 M. Menurut Husein Djajadiningrat, ini didasarkan pada adanya kesamaan kultur dan budaya Persia dan Indonesia, antara lain tradisi 10 Muharam dan pengaruh bahasa yang dipakai di Indonesia. Sebutan alfabetis huruf arab alif, be, te, tse dan seterusnya yang dikenal dalam ejaan Arab Sunda dan istilah harakat jabar, jeer, dan pees adalah semuanya merupakan bahasa Persia. Kesamaan kultur dan budaya tersebut sampai sekarang melekat di kalangan Islam NU yang mayoritas di Indonesia sehingga tidak heran jika K.H. Abdurahman Wahid yang biasa dikenal dengan Gus Dur, salah seorang tokoh NU dan keluarga besar pendiri NU juga tokoh pluralis di Indonesia, menyatakan bahwa NU itu adalah model Islam Syiah33 kultural tanpa Imamah34; Sementara, Syiah adalah NU plus Imamah. Maksudnya adalah ada kesamaan kultur dan budaya antara Islam di kalangan NU dengan Islam Syiah di Persia atau Iran sekarang yang bermazhabkan kepada keluarga Nabi Muhammad saw. atau biasa disebut dengan mazhab Ahlul Bait. Bukan pada tempatnya untuk membahas tentang perspektif kedua mazhab besar Sunni-Syiah tersebut. Di sini cukuplah ditegaskan bahwa sesama muslim itu adalah saudara dan damaikan mereka yang berselisih35. Oleh karenanya, betapapun tajamnya perbedaan pendapat, ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim harus tetap nomor 1 dan jangan dikorbankan karena berukhuwah itu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim. Sebaliknya, sesama muslim tidak boleh bercerai berai, 36 bukan tidak boleh berbeda karena perbedaan atau keragaman itu adalah sebuah sunnah atau keniscayaan Ilahiyyah. Bukankah di alam ini tidak pernah ada ciptaan Allah yang sama persis? Itulah makna dari pernyataan Gus Dur di atas. Yang pasti Gus Dur sebagai seorang ulama besar di kalangan NU dan merupakan bapak bangsa serta tokoh pluralis37 selalu berusaha menghormati, menghargai dan membela kaum-kaum minoritas yang tertindas karena dalam pandangannya. Hal itu sejalan dengan nilai-nilai dan semangat ajaran Islam.38 33
Syiah adalah mazhab Islam yang bermazhabkan kepada keluarga Nabi saw., dianut oleh sebagian besar umat Islam di Persia atau Iran sekarang, Suriah, Irak, Yaman, dan Negara Islam lainnya. Barat terutama Amerika sentimen terhadap keberadaan dan perkembangan Islam Syiah ini karena selain mereka memiliki pemimpin tokoh Spiritual atau Imam, juga tidak kompromi dalam hal menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karenanya, negara yang ada Islam Syiahnya biasanya dicurigai dan diobok-obok. Yang menjadi motifnya menurut para ahli adalah selain politik dan agama juga untuk menguasai sumber kekayaan alamnya. Mereka selalu berupaya untuk memecah belah dua kekuatan Sunni-Syiah ini melalui berbagai macam cara, di antaranya dengan menggunakan media online, yang selalu menggembor-gemborkan fitnah dan kebohongan tentang Syiah. Bahwa terdapat Syiah yang ekstrim, itu adalah sebagian kecil saja. Sebagaimana terdapat Sunni yang ekstrim, maka tidak boleh digeneralisir bahwa semua Sunni adalah sesat, demikian pula halnya dengan Islam Syiah. Jadi, kebenaran itu ada di mana-mana, demikian pula kesalahan ada di mana-mana. Sebaik-baiknya orang adalah yang paling bertaqwa di sisi Allah Q.S. 49: 13. 34 Imamah adalah konsep kepemimpinan sepeninggalan Nabi yang dikenal di kalangan Islam Syiah; Sementara di kangan Sunni adalah konsep Syura (musyawarah). 35 Q.S. 49: 10. 36 Q.S. 3: 103. 37 Terdapat sebuah yang ditulis oleh Syamsul Hadi yang berjudul Gus Dur KH. Abdurahman Wahid guru bangsa, bapak pluralisme, Jahra book, jombang, tth. Hlm. 38 Ketika Gusdur sering dikritik karena suka membela kaum minoritis dan tertindas, beliau menjawab, Allah saja telah memuliakan anak Adam, Q.S.17: 70. Mengapa kita melebihi Allah Swt., menghina, mencaci, mengkafirkan sesama muslim yang berbeda pendapat dan cap-cap lainnya yang merendahkan martabat bani Adam.
46 Beliau lebih tertarik pada persamaan-persamaannya dan tidak memutlakkan pendapatnya, bahwa dirinya yang paling benar dan saleh. Dalam hal ini, Allah lebih mengetahui siapa orang-orang yang mendapatkan petunjuk, 39 dan siapa saja orang-orang yang sesat.40 Manusia hanyalah kafilah-kafilah yang sedang mencari kebenaran. Kadang manusia melihatnya dengan perspektif yang berbeda sehingga kebenaran yang diperolehnya berbeda pula. Oleh karenanya, Ibn Hajar al-Hayetami yang mengutipnya dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 4: 313-119 menyatakan: “Mazhab kami benar, mengandung kekeliruan dan mazhab orang lain keliru mengandung kebenaran.”41 Disitulah pentingnya sikap toleransi,42 menghormati, dan saling menghargai terhadap sesama. Sekali lagi Alquran tidak melarang perbedaan, namun yang dilarang itu adalah perpecahan atau Tafarruq (bercerai berai), dengan tujuan atau motif yang berbeda bukan karena Allah atau untuk ketinggian Agama Allah. Adapun makhluk yang suka mengklaim kebenaran dan kesalehan adalah Iblis yang terkenal dengan slogan “Ana khairum minhu...”43 (Aku lebih baik dari padanya...). Oleh karenanya, ia tidak mau sujud kepada Adam as.44 Oleh karena itu pula, ia dilaknat oleh Allah Swt. sampai hari kiamat.45 Jadi, jika ada orang yang mengklaim kebenaran dan merasa shaleh, dia sudah terjangkit virus Iblis, tidak peduli apa ia seorang ulama atau bukan. Walhasil, dalam sejarah penciptaan Adam as., dosa besar Iblis itu adalah Takabbur,46 sebuah sifat yang mestinya hanya Allah yang berhak menyandangnya. 2. Dalil Normatif Yuridis Yang dimaksud dengan dalil normatif yuridis adalah dalil yang berupa norma perundang-undangan yang tertulis, yang dalam hal ini berupa landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Pancasia dan UUD 1945. Pancasila sila kesatu, ketiga, dan kelima adalah berhubungan dan sekaligus pengakuan terhadap paham pluralisme bangsa Indonesia. Sila kesatu berkenaan dengan kebebasan dalam beragama; Sila ketiga berkenaan dengan persatuan Indonesia yang plural; Demikian pula sila kelima berkenaan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang plural. Adapun dalam UUD 1945, mengenai pluralisme agama terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Adapun mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul terdapat pada pasal 28, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Itulah sekilas mengenai dalil normatif yuridis mengenai hubungan Islam dengan pluralitas bangsa Indonesia. 3. Dalil Sosiologis Empiris
39
Q.S. 6: 117; 16: 125; 17: 84; 28: 56; 53: 30; 78: 7; dan lain-lainnya. Q.S. 28: 85; 53: 30; 78: 7; dan lain-lainnya. 41 Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, Mutahhari Press, Bandung, 2003, hlm. 33. 42 Toleransi adalah sikap yang dikembangkan dalam civil society untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. Lihat buku Rohidin, Op. cit., hlm. 73. 43 Q.S. 38: 76. 44 Q.S. 2: 34. 45 Q.S. 38: 78. 46 Q.S. 38: 74. 40
47 Jika dalil normatif yuridis lebih bersifat teks perundang-undangan yang tertulis, maka dalil sosiologis empiris adalah dalil yang bersifat praktik dan konversi ketatanegaraan.47 Ini dapat diamati dan dirasakan langsung oleh kita sebagai rakyat Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang, di mana nilai-nilai kebhinnekaan di tengah-tengah pluraritas bangsa Indonesia masih melekat dan terjaga, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa tempat terdapat gesekan-gesekan atau benturan-benturan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, baik agama, etnis dan lain-lain sehingga terjadi intoleransi dan disharmoni di antara kolompok-kelompok tersebut. Itu semua terjadi diakibatkan karena tidak saling memahami, menghormati, menghargai, dan memaksakan kehendak satu sama lain. Ini juga bukan berarti bahwa sikap toleransi yang merupakan hakikat dari pendidikan multi kultur terjadi dengan sendirinya, namun tetap harus dijaga, dipertahankan dan diajarkan kepada segenap warga negara Indonesia dengan berpegang teguh pada pluralisme bangsa Indonesia. Oleh karenanya, hal ini terus dijaga dan dipupuk melalui pendidikan multi kultur dan pemahaman agama yang benar terhadap plurarisme dan paham kebangsaan, sebagaimana yang telah diyakini dan diimplementasikan oleh para Ulama dan Tokoh Bangsa dari dulu hingga sekarang.48 Memang kita harus meyakini tanpa ragu sedikitpun terhadap agama yang kita anut dan mendakwahkannya kepada orang lain karena hal itu bagian dari kewajiban agama itu sendiri. Akan tetapi, hal itu tidak berarti berarti harus mengorbankan sikap toleransi, saling mengormati, menghargai, dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang berbeda dan menabrak hak-hak azasi manusia yang paling mendasar, namun harus dilakukannya dengan menggunakan cara-cara yang hikmah dan teladan yang baik serta dialog dengan penuh simpatik. Dengan cara demikian, walaupun kita tidak berhasil untuk meyakinkan orang lain, setidaknya kita sudah berhasil memperlihatkan wajah Islam yang penuh rahmat dan kedamaian. Dengan demikian, ketika mereka tidak mengikutinya bukan salah kita, tetapi salah mereka sendiri karena mereka tuli, bisu, dan buta terhadap kebenaran, dan ini adalah sifat orang-orang munafik,49 karena pada diri mereka terdapat penyakit kemunafikan dan penyakitnya semakin parah, bagi mereka siksa yang pedih karena mereka mendustakannya.50 KESIMPULAN Bahwa antara Islam dan pluralitas bangsa Indonesia ini terdapat hubungan yang erat sekali. Hubungan ini dapat dibuktikan baik melalui pendekatan normatif atau konseptual ajaran Islam yang pluralistik sebagaimana telah ditunjukkan di atas, dan melalui perilaku keagamaan penganutnya atau Islam aktual; maupun secara historis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana telah dibuktikan sejak pra kemerdekaan hingga sekarang ini. Sekalipun hal ini harus diakui bahwa di berbagai tempat di Indonesia masih sering terjadi benturan dan disharmoni antara suku, agama, dan ras atau golongan. Wallahu Tabaraka Wataala A’lam.
47 48
Rosihin, Op. cit., hlm. 18. Yaitu, dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Para ulama, khususnya ulama NU dan para cendikiawan muslim yang berpandangan terbuka sampai sekarang beranggapan bahwa Pancasila itu sudah final, sebagai hasil konsensus keberagaman budaya, entik, dan agama pada waktu itu. 49 Q.S. 2: 18. 50 Q.S. 2: 10.
48 DAFTAR PUSTAKA Ahmad bin al-Husain Ali al-Baihaqy, Abu Bakar. 1344. Sunan Al-Baihaqy. Mesir: Mauqi Wazarah al-Auqaf. As-Samarqandy, Syeh. t.th. Tanbihul Ghafilin. As-Sarbashy, Ahmad. t.th. Yasalunaka fi ad-Din wa al-Hayah. Beirut: Dar al-Jail. Casram, Casram. “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 2 (2016): 187–198. Tim Redaksi. 2001. Ensiklopedia Islam untuk Pelajar 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve . Hadi, Syamsul. t.th. Gus Dur KH. Abdurahman Wahid Guru Bangsa, Bapak Pluralisme. Jombang: Jahra Book. Harian Republika, 8 Februari 2013. Riyadi, Hendar. “Koeksistensi Damai Dalam Masyarakat Muslim Modernis.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016): 18–33. Rahmat, Jalaluddin, profile IJABI 2000-2007. Rohidin. 2015. Konstruksi Baru Kebebasan Beragama. Yogyakarta: FH UII Press. Santoso, Thamas. 2002. Kekerasan Tanpa Agama. Jakarta: Pustaka Utan Kayu. Suryana, Yaya. 2015. Pendidikan Multikultural, Suatu Upaya Penguatan Jati diri Bangsa, Konsep-Prinsif Implementasi. Bandung: Pustaka Setia. Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.