DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK DIREKTOR UN PROGRAM ENVIRONMENTAL CONSERVATION
MATA KULIAH KEBIJAKAN PUBLIK GLOBAL
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UPN “VETERAN” YOGYAKARTA 2007
PENGANTAR Hutan
merupakan
salah
satu
lingkungan
ekologi
yang
perlu
dilindungi.Dalam perkembangannya kualitas dan keutuhan ekosistem yang hidup didalamnya mengalami penurunan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi yang terdiri dari tim ahli yang bergerak dalam bidang lingkungan khususnya kehutanan mencatat dalam kurun waktu 6 (enam ) tahun terakhir yaitu pada tahun 2000 sampai dengan 2006 telah terjadi kerusakan hutan secara ekstrem yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan, kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia 80% disebabkan oleh manusia dalam pengelolaan sumber daya hutan dan 20% sisanya merupakan faktor alam. Tingginya tingkat pembukaan lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh para pengusaha perkebunan maupun para pengelola HPH dan penebangan kayu secara ilegal telah membawa dampak buruk bagi keseimbangan lingkungan. Salah satunya khasus kebakaran hutan yang terjadi tiap tahunnya di Indonesia menuai keprihatinan masyarakat internasional karena dampak yang disebabkan bersifat global. Ada kecemasan bahwa kalau kebakaran dan kerusakan hutan di Indonesia tidak ditangani maka kebakaran yan sama akan berulang baik di Indonesia maupun di Negara-negarayang memiliki hutan tropis lainnya. Meskipun berbagai upaya dari pemerintah telah dilakukan, namun kebakaran terus terjadi. Masih berlangsungnya kebakaran tersebut disebabkan karena luasnya hutan yang terbakar sementara kapasitas pemerintah Indonesia terbatas. Sementara itu tidak ada upaya regional dalam kerangka ASEAN. Negara-negara Asean menolak untuk ikut mengatasi kebakaran karena mereka menganggap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah dalam negeri. Padahal kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di Indonesia sempat dirasakan oleh beberapa negara Asean. Dalam pelataran tersebut di atas, keseimbangan lingkungan khususnya kelestarian hutan harus diperhatikan dalam pengelolannya dan menjadi tanggung jawab internasional. Karena dampak penurunan kualitas hutan akibat kerusakan
sistem ekologisnya yang disebabkan kesalahan pengelolaan sumber daya hutan tidak hanya dirasakan pada tingkat lokal saja, melainkan sampai ke tingkat global. Dalam mencapai tujuan dan menjawab tantangan dari pembangunan yang berkesinambungan berbasis kelestarian lingkungan. Maka kami selaku Kelompok Kerja Lingkungan Internasional, telah merumuskan berbagai rekomendasi kebijakan, dan memberikan berbagai alternatif kegiatan yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan, menyatukan kepedulian lingkungan dan keadilan sosial. Ditujukan untuk Direktur UN Environmental Program dalam mencegah kerusakan lingkungan, khususnya kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran. Semoga rekomendasi ini dapat memberikan kontribusi besar terhadap implementasi dari sasaran agenda 21 dalam penanganan lingkungan secara global.
Stockholm, Januari 2007 Eriex Yohanes Prasetyo Chairman Of International Working Group On Forestry Commision
INTERNATIONAL WORKING GROUP ON FORESTRY SECTOR ARE : A. CHAIRMAN
: Eriex Yohanes P.
( 151020242 )
B. SECRETARY
: Felisya H. J
( 151030177 )
Rika Wisudawati
( 151040133 )
C. GOVERNMENT : Indro Dwi Haryono
( 151030223 )
Erma Safitri
( 151030021 )
Saad Mohamad Alkatiri
( 151030239 )
Nobertus Melky Y. P.
( 151030126 )
D. NGO’s AND THE LOCAL PEOPLES : Irma Herawati
( 151040038 )
Stephanus Yusup Tri Effendi
( 151040137 )
Dyah Ayu Kusumaningtyas
( 151040142 )
Aryo Rahardi Tyo
( 151040205 )
Sri Mujiyati
( 151040171 )
E. BUSINESSMAN : Retno Dwi S.
( 151040329 )
Prima Ady
( 151030093 )
F. ENVIRONMENT OBSERVER TEAM : Felisya H. J.
( 151030177 )
Rika Wisudawati
(151040133 )
Eriex Yohanes Prasetyo
( 151020242 )
Kadek
( 151030297 )
Walterius Babo
( 151030236 )
Bregas Pamuji
( 151030058 )
Winda E.U.
( 151030158 )
G. ASEAN : Ika Damayanti F. N.
( 151030059 )
Sherly M. Doko
( 151030147 )
I. LATAR BELAKANG PEMBUATAN KEBIJAKAN Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di negeri ini, terutama pada musim kemarau. Setiap saat pula kita mencari siapa biang keladi pembakar hutan-hutan tersebut. Ketika disibukkan mencari pelaku, hujan pun datang dan pencarian masalah pun lalu reda. Sesungguhnya kita bisa belajar dari seringnya terjadi kebakaran hutan di Indonesia. Data yang dikeluarkan Ditjen Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tahun 1999 mencapai 44.090 hektare, tahun 2001 seluas 14.329,5 hektare, tahun 2002 seluas 35.496,73 hektare dan tahun 2003 seluas 3.545,45 hektare. • 56% dari total titik api bulan Juli terjadi pada lahan gambut. Pada 2004, 2005 dan periode Januari – Juni 2006, 49%, 75% dan 66% dari titik api terjadi pada lahan gambut. Lahan gambut tropis memainkan peranan global yang krusial dalam penyimpanan karbon dan perbaikan iklim. 13% dari seluruh tanah gambut Asia Tenggara ada di Riau. Sayangnya, kebakaran hutan dan lahan cukup parah di lahan gambut Riau setiap tahunnya. Emisi karbondioksida dari lahan gambut di Asia Tenggara yang diakibatkan oleh praktek manajemen tidak berkesinambungan (drainase gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan HTI, pertanian, penebangan tidak berkesinambungan, kebakaran hutan dan lahan) adalah salah satu sumber terbesar tunggal dari emisi gas rumah kaca secara global, sepadan dengan 10% rata-rata emisi bahan bakar fosil global lebih dari 10 tahun lalu. Karena itu, kebakaran pada lahan gambut Riau berandil secara signifikan bagi pemanasan global dan perlu dihentikan. .• Titik api pada Juli terdeteksi di dalam kawasan lindung: Suaka Satwa Liar Rimba Baling, Suaka Satwa Liar Giam Siak Kecil, Taman Nasional Tesso Nilo. Kawasan-kawasan ini sangat perlu dilindungi dari kebakaran. • Blok hutan Tesso Nilo perlu secara resmi diatur dan dilindungi secara mendesak demi konservasi gajah Sumatra yang langka. Titik-titik api terkonsentrasi di dua kawasan perambahan tidak sah dan berskala besar, Toro (12 titik api), dan Bukit Kesuma (19), di dalam dua konsesi HPH yang ada serta
Bagan Limau (18 titik api) di dalam Taman Nasional. Pembakaran terbuka dipicu oleh para perambah dalam upaya membersihkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Di antara delapan blok hutan yang tersisa di Riau, blok Senepis, Libo dan Tesso Nilo yang parah terkena kebakaran bulan Juli. Blok hutan Senepis adalah salah satu dari habitat tersisa terakhir bagi Harimau Sumatra yang terancam punah. Tidak ada banyak masyarakat dan persoalan perambahan di area, namun banyak titik api muncul di dalam konsesi Hutan Tanaman Industri di mana pembabatan hutan alam tengah terjadi. Selama Juli 2006, 32 titik api ditemukan di dalam dua konsesi HTI. Blok hutan Libo adalah habitat tersisa yang penting bagi Gajah Sumatra yang terancam punah. Ada 332 titik api bulan Juli di atas area 390.000 ha (1 titik api per 1.200 ha). Libo ditutupi oleh banyak Penebangan Pilihan, konsesi HTI dan Perkebunan Kelapa Sawit, terkadang tumpang tindih dengan satu sama lainnya. HPH liar atau pembabatan hutan oleh perusahaan-perusahaan telah merusak blok hutan ini dengan sangat cepat, diikuti dengan perambahan lewat cara babat-danbakar menggunakan akses jalan yang dibangun perusahaan atau pembalak liar. Konflik-konflik antara manusia dan gajah terus meningkat, manusia dan gajah sama-sama menderita. • 59% dari total titik api bulan Juli terjadi di luar konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) atau konsesi Perkebunan Kelapa Sawit. Pada 2004, 2005 dan Januari – Juni 2006, 50%, 43% dan 27% terjadi di kawasan-kawasan tersebut. Ada tiga kawasan dimana titik api terkonsentrasi di luar konsesi HTI atau kelapa sawit: Kubu, Mahato dan Ujung Batu. Kawasan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir: ada sedikit titik api hingga Juni tahun ini, bagaimanapun, tiba-tiba 321 titik api menutupi lebih dari 80.000 hektare kawasan rawa gambut di bulan Juli, sepadan dengan 1 titik api per 250 ha. Antara 2002 dan 2005, pembalakan liar berskala besar terjadi di bekas konsesi HPH di kawasan yang terlantar ini. Konsesi HPH perusahaan telah habis dan Menhut mengambil lagi izin itu. Menurut citra satelit Landsat, tidak hanya pohon-pohon besar yang ditebang secara selektif, namun juga pohon-pohon lebih kecil yang
pantas untuk produksi bubur kertas yang dibabat, mengakibatkan, pembabatan hutan habis di kawasan itu. Kawasan Mahato, Kabupaten Rokan Hulu: Enam puluh tiga titik api menutupi satu kawasan 12.000 ha, atau sepadan 1 titik api per 190 ha. Kawasan ini, yang dulunya Hutan Lindung dari hutan dataran rendah, telah berubah total menjadi perkebunan kelapa sawit oleh PT. Torganda selama dua tahun, 2002-2004. Survei 2005 oleh tim kajian Wasteland menemukan konflik antara Dinas Kehutanan Riau, perusahaan kelapa sawit dan masyarakat. Ujung Batu, Kabupaten Rokan Hulu: 105 titik api menutupi 40.000 ha, 1 titik api 381 ha. Kawasan ini merupakan perkebunan sawit yang berprospek bagus yang menarik masyarakat untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Kawasan tersisa ini memiliki lereng yang curam dan sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung. Di dalam kawasan, masyarakat menebang, membersihkan, membakar dan menggarap kawasan untuk perkebunan kelapa sawit. • 24% dari total titik api bulan Juli terjadi di dalam konsesi Hutan Tanam Industri. Pada 2004, 2005 dan Januari – Juni 2006, 28%, 36% dan 39% terjadi di dalam. 26% kebakaran bulan Juli ditemukan di dalam konsesi asosiasi APP, 17% di dalam konsesi asosiasi APRIL, dan 57% di dalam konsesi yang terkait dengan APP atau APRIL. Daftar 20 teratas konsesi dengan lebih banyak titik api pada Juli 2006 menunjukkan bahwa konsesi yang sama memiliki banyak titik api pada 2004, 2005 dan Januari – Juni 2006 juga. Bekas konsesi PT. Chandra Dirgantara (37.792 ha), dengan izin yang belum diketahui, antara Suaka Satwa Liar Kerumutan dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh mengandung kawasan hutan alam yang penting, termasuk di dalam koridor berpotensi satwa liar di Lanskap Konservasi Tesso Nilo Bukit Tigapuluh. Bagaimanapun, konsesi ini memiliki jumlah terbesar titik api bulan Juli (59) di antara konsesi HTI di Riau. Untuk konsesi ini, diduga berasosiasi dengan APRIL. • 19% total titik api pada Juli terjadi di dalam konsesi Perkebunan Kelapa Sawit. Pada 2004, 2005 dan Januari – Juni 2006, 23%, 23% dan 40% terjadi di dalamnya.
Kebakaran tiap tahun terjadi berulangkali di musim kering yang
kebanyakan pada lahan gambut milik sejumlah perusahaan seperti PT. Citra
Sumber Sejahtera (APRIL), PT. Mitra Hutani Jaya (APP), PT Ekadura Indonesia (Astra group), PT Multy Gambut Industry (Banggaya Plan SDN BHD Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Wilmar group) dan PT Murini Samsam (Wilmar group). Daftar 20 teratas konsesi dengan lebih banyak titik api pada Juli 2006 menunjukkan konsesi yang sama yang memiliki banyak titik api pada 2004 and 2005. Mengingat luasnya wilayah kebakaran hutan yang menjadi paru-paru dunia maka perlu kiranya dibuat suatu kebijakan yang dapat dijadikan acuan untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan yang telah terjadi.
II. AKAR MASALAH / SEBAB KEBAKARAN HUTAN •
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh alam
1. Gejala alam skala global : Kondisi alam yang tidak mendukung, misalnya, bencana alam, musim kemarau panjang yang membuat areal kehutanan menjadi begitu panas. kebakaran diperparah dengan adanya musim kemarau ekstrem yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim EL Nino, memberikan kondisi yang ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 2. Lahan gambut dapat menjadi bahan bakar yang relatif melimpah sebab, kekeringan telah menyebabkan air tanah menurun di rawa-rawa air tanah yang besar di pedalaman. Lantas, lapisan gambut terpapar dan mengering. Pohon yang kebanyakan memiliki perakaran dangkal mengering dan tumbang. Baik gambut kering maupun kayu mati akhirnya merupakan bahan bakar yang efektif bagi penyebaran api pada permukaan dan di atas tanah. Api yang berkobar pada gambut dan batu bara di hutan rawa gambut akhirnya menyebar ke daerah-daerah hutan lainnya.
•
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia
1. Alih fungsi hutan / pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian, pemukiman, transmigrasi, dll dengan menggunakan api yang tidak terkendali. Ini merupakan penyebab utama dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Terutama karena kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya hutan bagi kehidupan. 2. Kompleksitas jaring kemiskinan, persoalan pembangunan dan tata kepemerintahan. Faktor tata laksana pemerintah yang kurang serasi serta potensi penyebab konflik ditengah masyarakat adalah ketidak adilan dalam alokasi hasil SDA yang dibagikan penduduk asli setempat, pendatang dan pabrik yang melakukan investasi di wilayah tersebut. Tidak jarang dilaporkan bahwa reaksi masyarakat terhadap ketidakadilan itu adalah melakukan pembakaran dengan sengaja dalam upaya mencapai hak mereka. 3. Illegal logging yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggung jawab merupakan salah satu penyebab kebakaran hutan. Karena sisa-sisa penebangan hutan tersebut dapat menjadi salah satu bahan bakar potensial yang memperpanjang usia kebakaran hutan yang terjadi. 4. Titik api yang menyebar ke daerah yang sulit dijangkau manusia membuat penanganan kebakaran hutan menjadi lambat dan menyebar ke wilayah yang belum terbakar. 5. Sistem pengelolaan hutan yang belum menyentuh akar permasalahan ekologi, social dan ekonomi yang terjadi di kawasan hutan itu sendiri dan hal ini yang kurang dicermati oleh pihak masyarakat, pemerintah, ataupun lembaga internasional yang konsern terhadap kehutanan Indonesia.
III. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN A. Dampak Lingkungan Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan terhadap ekologi dan lingkungan adalah sbb. 1. Hilangnya sejumlah spesies Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar, karena api telah mengepung dari segala penjuru. Berdasarkan data dari ProFauna yang berkantor pusat di Malang, Jawa Timur, hewan-hewan endemic yang terkena dampak akibat kebakaran hutan di Kalimantan antara lain Orang Utan Kalimantan (Pongo pygmaeus),
Owa
Kalimantan
(Hylobates
sp),
Lutung
Merah
Kalimantan (Presbytis rubicund) dan berbagai jenis burung yang habitatnya di hutan tropis Kalimantan. Sedangkan untuk yang di Sumatera, beberapa hewan endemic seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatraensis), Owa Sumatera (Hylobates sp) dan berbagai jenis burung asli hutan Sumatera, juga terkena dampaknya. Kebakaran yang melanda Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP) di Kalimantan Tengah beberapa waktu yang lalu, setidaknya 3.000 Orang Utan yang menghuni kawasan tersebut terancam. Data yang ada menunjukkan bahwa kawasan TNTP juga dihuni Bekantan (Nasalis larvatus), Owa-owa (Hylobates agalis albirbaris), dan Beruang Madu (Helarcatos malayanos). Selain itu juga terdapat setidaknya 38 jenis Mamalia termasuk sembilan jenis Primata, 16 jenis Reptilia, dan 218 jenis Burung.
2. Ancaman erosi Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan atau pun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah – akibat terbakar- sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor. 3. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida, maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar, fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang di udara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat diserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalau pun tidak, maka hutan akan menjadi padang ilalang yang akan membutukan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula. 4. Penurunan kualitas air Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk ke dalam sungaisungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung atau pun di hulu sungai.
5. Terganggunya ekosistem terumbu karang Hal ini lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan forosintesa. 6. Sedimentasi di aliran sungai Tebalnya Lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosi yang terus menerus. 7. Deforestasi dan degradasi hutan Dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan antara lain terjadinya penurunan jumlah hutan yang signifikan di dunia. 8. Menipisnya lapisan ozon Kebanyakan hutan yang terbakar adalah hutan di lahan gambut yang mempunyai kontribusi yang besar dalam pengurangan emisi karbon. Kebakaran lahan gambut dalam jumlah yang besar ini mengakibatkan peningkatan jumlah emisi karbon yang selanjutnya akan berdampak pada penipisan lapisan ozon. B. DAMPAK EKONOMI Terdapat beberapa dampak ekonomi dari kebakaran hutan termasuk asap yang dihasilkannya, antara lain : 1. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dalam hutan maupun di lingkungan sekitar hutan itu sendiri Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu
aktivitasnya
yang
secara
otomatis
juga
ikut
mempengaruhi
penghasilannya. Setelah kebakaran usai pun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut, seperti rotan, karet, dsb. 2. Terganggunya aktivitas dan penurunan produktivitas Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk beradas di luar ruangan. Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker, tetapi sinar matahari di pagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorang pun berkurang karena harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan
sinar terangnya.
Ketebalan asap juga memaksa orang menggungakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Hal tersebut di atas mengakibatkan berkurangnya pemasukan yang diterima oleh individu. 3. Menurunnya devisa negara Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara. 4. Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkupi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk
berada di tempat yang dipenuhi asap. Hal ini akan mengakibatkan pendapatan di bisnis pariwisata akan menurun. C. DAMPAK SOSIAL Dampak sosial yang diakibatkan dari kebakaran areal hutan adalah sbb : 1. Terganggunya kesehatan Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan). Gejala bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. 2. Peningkatan jumlah Hama Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya. Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar.
D. DAMPAK TERHADAP HUBUNGAN ANTAR NEGARA
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.
IV. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN PEMERINTAH DAN NGO’s Untuk menangani masalah kebakaran hutan di Indonesia berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya adalah : 1. Penambahan personil keamanan hutan, dengan penambahan personil yang memadai diharapkan dapat meminimalisir kebakaran hutan 2. Undang-undang No 41 tahun 1999 Tentang kehutanan. 3. Undang-undang No 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2003 Tentang Perusahaan umum kehutanan negara (perum perhutani).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1998 tentang Penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NGO’s, diantaranya : 1. NGo sudah memberikan surat terbuka kepada pemerintah melalui salah satu surat kabar harian berskala nasional. 2. Kami juga telah memberikan penyuluhan kepada masyarakat adat dan
masyarakat sekitar wilayah konservasi mengenai pentingnya menjaga hutan dan bahayanya melakukan pembukaan lahan dengan menggunakan api. 3. NGo telah melakukan penyelidikan-penyelidikan mengenai kecurangankecurangan yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang telah diberikan konsensi oleh pemerintah. 4. Mengajukan surat pengaduan ke kepolisian dan melaporkan pihak-pihak yang telah melakukan illegal loging. Dari upaya – upaya penyelamatan hutan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,hambatan – hambatan yang muncul antara lain adalah: 1.
hutan yang begitu luas, sementara jumlah personil pengamanan hutan yang sangat terbatas dengan sarana dan prasarana yang serba ke kurangan.
2. Anggaran yang sangat minim untuk pemeliharaan dan pemeliharaan hutan. 3. banyak pengusaha dan masyarakat lebih memilih cara membakar area hutan untuk membuka lahan baru ketimbang cara lain yang legal 4. kurangnya kesadaran
masyarakat tentang arti penting hutan sebagai
penyimbang ekosistem. 5. sering terjadi kebakaran hutan di wilayah-wilayah yang sulit di jangkau oleh petugas penyelamat hutan.
V. USULAN KEBIJAKAN UMUM DARI KELOMPOK KERJA •
Pencabutan izin pengolahan hutan bagi pengusaha yang terbukti melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Dengan adanya pencabutan ijin pengelolan hutan bagi pengusahapengusaha diharapkan dapat meminimalisir kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kebakakran hutan.
•
Menetapkan peraturan tentang kriteria penebangan pohon dimana hanya pohon-pohon besar yang telah berumur puluhan tahun dan setiap satu pohon yang ditebang diwajibkan mengganti dengan melakukan
penanaman bibit minimal 10 bibit pohon. Hal ini sebagai upaya regenerasi hutan demi kelestarian hutan. •
Memperketat syarat-syarat pemberian izin HPH bagi pengusaha yang melakukan usaha pengelolaan hutan. Memperketat syarat-syarat ijin HPH merupakan suatu bentuk preventif penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan hutan.
•
Menetapkan Tarif pajak yang tinggi bagi pengusaha yang melakukan usaha pengelolaan hutan. Upaya pemberian tarif pajak yang tinggi merupakan salah satu sumber devisa bagi pemerintah. Adanya tarif pajak yang tinggi yang diberikan kepada pengusaha oleh pemerintah dimaksudkan untuk membatasi jumlah perusahaan yang akan mengelola sumber daya hutan.
•
Membentuk tim independen untuk investigasi lapangan dan menindak tegas perusahaan pelaku (antara lain dengan pencabutan ijin, pemberian sanksi dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kebakaran hutan sesuai dengan undang-undang dan melakukan penegakan hukum yang sejati. Adanya pembentukan tim independent diharapkan dapat menjadi referensi silang untuk mengevaluasi berbagai dampak positif maupun negatif dalam pengelolaan sumber daya hutan.
•
Menghentikan pemberian insensif kebijakan dan finansial yang merusak hutan alam dengan mencabut seluruh ijin pemanfaatan kayu (IPK). Dengan menghentikan insentif kebijakan dan finasial kepada pengusaha yang terbukti melakukan pembakaran hutan diharapkan pengusaha lebih bertanggung jawab atas lahan yang terbakar.
•
Moratorium/jeda penebangan hutan untuk menyelamatkan generasi yang akan datang. Kebijakkan pemerintah mengenai moratorium atau jeda penebangan merupakan langkah preventif untuk menjaga keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
•
Peningkatan tekanan internasional dan penguatan kapasitas lembaga pemerintah untuk menegakan hukum zero burning yang ada bagi
perusahaan. Penyediaan insentif untuk tidak melakukan pembakaran. •
Klarifikasi kepemilikan lahan – masyarakat, negara, dan industri - untuk mendorong pengelolaan lahan basah yang lestari. Dengan adanya klarifikasi kepemilikan lahan yaitu masyarakat adat, negara dan industri diharapkan pengelolaan hutan yang bekesinambugan dapat terwujud.
•
Pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat sehingga mengurangi penggunaan api. Pengembangan kemitraan yang setara antara pemerintah / perusahaan dan masyarakat dalam pembangunan lahan basah. Pengalihan pertanian tanaman setahun menjadi perkebunan/agroforestry (dalam kemitraan dengan perusahaan)untuk meningkatkan taraf hidup dan menghindari pembakaran tahunan. Pemilihan tanaman keras yang cocok.
•
Mengusulkan pada anggota-anggota ASEAN untuk menjadikan masalah kebakaran hutan sebagai masalah bersama anggota ASEAN. Mengingat kebakaran hutan mempunyai dampak negatif dan bersifat transboundary maka diperlukan adanya kerjasama tingkat regional dalam upaya menjaga kelestarian hutan khususnya akibat kebakaran hutan.
•
Inisiatif kebijakan yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan kebakaran perlu memperhitungkan biaya maupun manfaat yang terkait dengan penggunaan api, dan juga distribusinya.
•
Penilaian ekonomi terhadap berbagai kebijakan yang ditujukan untuk menangani masalah deforestasi dan degradasi hutan atau pencemaran kabut asap, harus memperhatikan penyebab dan dampak yang berbeda.
•
Berbagai insentif yang dihadapi para pemegang HPH untuk menginvestasikan dana pencegahan dan penanggulangan kebakaran perlu dipahami.
•
Masalah pencemaran kabut asap memang perlu diatasi, tetapi masalah kebakaran yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan juga perlu ditangani karena juga dapat menimbulkan kerugian yang signifikan.
•
Penelitian dan pengkajian kebijakan di masa datang harus ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman tentang kerusakan fungsi hutan sebagai akibat kebakaran, supaya dapat mengestimasi berbagai kisaran potensi kerugian yang timbul karena pencemaran kabut asap. •
Indikator ekonomi dan juga lingkungan perlu diperhitungkan dalam pengembangan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk menekan dampak kebakaran dan pencemaran kabut asap.
•
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang lebih baik, diperlukan penelitian untuk menilai arela hutan berakses rendah (menggunakan parameter konservatif mengenai akses manusia), arela hutan primer dan hutan sekunder yang kondisi lingkungannya berpotensi signifikan meningkatkan resiko kebakaran.
•
Diperlukan adanya suatu kajian untuk menjelaskan kontribusi relatif dari berbagai kegiatan terhadap pencemaran kabut asap.
•
Pengelolaan dan akhirnya regenerasi atau restorasi lahan gambut diperlukan untuk mencegah pencemaran udara yang signifikan.
•
Kesenjangan pengetahuan pada tingkat tertentu pembuat kebijakan (kabupaten dan propinsi), perlu diisi untuk mengembangkan respon kebijakan yang tepat.
•
Adanya tindakan penghukuman yang jelas, misalnya perusahaan yang memanfaatkan kebakaran secara illegal harus dituntut, dan jika ternyata bersalah denda yang dikenakan harus cukup berat sehingga dapat menjerakan perusahaan lain.
•
Mengingat kontribusi lahan gambut dalam emisi karbon, perlu dipertimbangkan apakah konservasi lahan gambut harus dimasukkan dalam periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto.
•
Masyarakat adat harus diberikan pengarahan dan penyuluhan mengenai bahaya kebakaran hutan dan alternatif teknologi tentang cara pembukaan lahan tanpa api. Karena selama ini masyarakat adat selalu menggunakan api dalam setiap usahanya untuk membuka hutan yang akan digunakan sebagai lahan pertanian dimana hal ini semakin memperparahkebakaran hutan di Indonesia.
•
Masyarakat adat berhak mendapatkan insentif dan kompensasi berupa layanan kesehatan, pendidikan, infrastuktur dan lapangan pekerjaan akibat pembakaran hutan yang terbukti dilakukan secara sengaja sesuai dengan peratuan perundangan yang berlaku. Karena dengan kebakaran hutan tersebut wilayah masyarakat adat semakin mengecil, disamping itu lapangan pekerjaan masyarakat adat yang sebagian besar adalah mengelola hasil-hasil hutan juga turut berkurang makamerupakan hal yang wajar jika masyarakat mendapatkan kompensasi dan insetif tersebut.
•
Pembuatan perjanjian antara pengusaha, pemerintah dan masyarakat adat untuk setiap pembukaan lahan, sebagai bukti tertulis. Sehingga ketika terjadi pelanggaran terdapat kejelasan mengenai apa yang dilanggar dan siapa saja yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut.
•
Masalah kebakaran hutan harus dipandang sebagai persoalan global, sehingga dampak yang diakibatkan menjadi tanggung jawab seluruh anggota ASEAN.
•
Lebih mengefektifkan peran ASEAN dalam menghadapi permasalahanpermasalahan di tingkat regional melalui LITBANG dan peningkatan anggaran dana terhadap upaya penanggulangan kebakaran hutan, serta memberikan sanksi berupa denda kepada negara yang terbukti melakukan pelanggaran.
•
Bekerjasama dengan elemen-elemen terkait untuk menyelenggarakan pendidikan dan sosialisasi usaha penmanfaatan hutan dengan prinsip kelestarian hutan kepada seluruh pihak-pihak yang bersangkutan dalam usaha menjaga hutan. Sehingga usaha pemanfaatan hutan, pencegahan kebakaran hutan dan penanggulangan kebakaran hutan menjadi tanggung jawab bersama.
•
Bekerjasama dengan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk upaya pencegahan kebakaran hutan. Karena dengan adanya koordinasi dalam menyediakan fasilitas
pencegahan kebakaran hutan diharapkan dapat eminimlisir dampak dari kebakaran hutan. •
Pemberian sarana early warning system sebagai upaya penanggulangan kebakaran hutan. Dengan demikian kebakaran hutan tersebut dapat langsung dipadamkan tanpa sempat menjalar ke wilayah lain.
•
HPH yang terbukti membakar hutan secara land cleaning yang bukan wilayah konsesinya maka diwajibkan untuk membangun kembali ¾ hutan yang terbakar. Sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran. Dan membuat pengusaha lain yang ininmelakukan pelanggaran tersebut berpikir dua kali sebelu melakukan tindak pelanggaran.
DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK DIREKTOR UN PROGRAM ENVIRONMENTAL CONSERVATION ” MENJAGA KELESTARIAN HUTAN DARI KERUSAKAN UNTUK MENJAGA DEGRADASI LINGKUNGAN SECARA GLOBAL“ Tujuan : Meningkatkan Kesadaran dan Tanggung Jawab Terhadap Kerusakan Lingkungan Rekomendasi tingkat Internasional :
•
Menyusun pedoman aspek-aspek penting mengenai kelestarian lingkungan khususnya hutan sebagai tanggung jawab internasional dengan membuat kebijakan secara internasional guna mencegah kerusakan hutan tanpa menghilangkan kedaulatan suatu negara.
•
Melindungi kelestarian hutan secara global dengan membentuk cagarcagar untuk diaplikasikan ditingkat regional dan nasional.
Rekomendasi tingkat regional : •
Mengadopsi
kebijakan
kerusakan hutan •
internasional
dalam
pencegahan
ditinggkat regional.
Membentuk cagar-cagar hutan ditingkat regional untuk melindungi kerusakan hutan dan sebagai aplikasi dari tingkat internasional.
Rekomendasi tingkat Nasional : •
Mengadopsi berbagai kebijakan baik dari tingkat internasional maupun tingkat regional dan diimplementasikan dalam kebijakan nasional disesuaikan dengan karakter dan kondisi budaya lokal yang ada.
•
Membentuk kawasan cagar di tingkat nasional sebagai satu kesatuan cagar-cagar lain baik ditingkat regional dan internasional.
” MEMANFAATKAN HUTAN LESTARI SEBAGAI MODEL PENGELOLAAN LAHAN DAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN UNTUK KEPENTINGAN GLOBAL “
Tujuan 1 : Meningkatkan Dukungan dan Keterlibatan Masyarakat Lokal. Rekomendasi tingkat Internasional : •
Menyusun pedoman aspek-aspek penting mengenai pengelolaan hutan lestari, termasuk penyelesaian konflik, ketentuan bagi keuntungan lokal, dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab pengelolaan.
Rekomendasi tingkat Regional : •
Mengindentifikasikan dan menelaah faktor-faktor yang menyebabkan degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak lestari di tingkat regional.
•
Survei kepedulian berbagai pemangku kepentingan dan melibatkan mereka secara penuh dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan lestari di tingkat regional.
Rekomendasi tingkat Nasional : •
Survei kepedulian berbagai pemangku kepentingan dan melibatkan mereka secara penuh dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan lestari.
•
Mengembangkan insentif bagi konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, dan mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal apabila kegiatan-kegiatan yang ada terbatas atau dilarang di dalam zona cagar hutan.
Tujuan 2 : Menjamin Adanya Keselarasan dan Interaksi Antar Elemen Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Secara Lestari. Rekomendasi untuk tingkat Internasional :
•
Menyusun program-program untuk melindungi kelestarian hutan dengan cara mengamkapanyekan dampak negatif atas kerusakan hutan. Mempromosikan arti penting kelestarian hutan untuk keseimbangan dan kelangsungan hidup.
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Memasukkan kelestarian hutan ke dalam rencana untuk mengimplementasikan sasaran-sasaran pemanfaatan berkelanjutan dari Agenda 21 dan konvensi-konvensi kelestarian lingkungan hidup.
•
Membuat dan mengeluarkan kebijakan dalam perencanaan yang efektif dan membentuk lembaga-lembaga yang berwenang untuk melaksanakan mekanisme yang berlaku.
•
Mengindentifikasikan dan menelaah faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hutan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak lestari.
•
Mengevaluasi produk-produk alami dan jasa lingkungan kemudian memanfaatkan evaluasi tersebut untuk mempromosikan penghasilan yang berwawasan lingkungan dan secara ekonomi berkesinambungan bagi masyarakat lokal.
•
Menjamin bahwa keuntungan yang diperoleh dan pemanfaatan sumber daya hutan dibagi dengan adil dan merata kepada para pemangku kepentingan, misalnya perolehan dari karcis masuk, penjualan produkproduk alam atau kerajinan tangan, pemanfaatan teknik konstruksi dan tenaga kerja lokal, dan pengembangan kegiatan-kegiatan yang berwawasan lestari ( terutama kehutanan )
•
Membentuk jaringan konsultasi lokal yang terdiri dari para pemangku
kepentingan bidang ekonomi dan sosial, termasuk seluruh pihak yang memiliki kepentingan (misalnya kelompok bisnis, pertanian, kehutanan, perburuan, penyedia air, pariwisata, rekreasi, penelitian). Tujuan 3 : Mengintegrasikan Cagar Hutan Dalam Rencana Pembangunan Regional. Rekomendasi untuk tingkat Regional : •
Menyelenggarakan forum-forum pertemuan dan mengembangkan lokasilokasi percontohan untuk mengamati masalah-masalah sosial-ekonomi dan lingkungan yang terdapat di daerah dan bagi pemanfaatan keanekaragaman hayati yang penting bagi daerah tersebut secara lestari.
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Memasukkan cagar hutan lestari ke dalam kebijakan pembangunan daerah dan ke dalam proyek perencanaan tataguna lahan.
•
Memacu sektor-sektor yang berperan dalam pemanfaatan lahan yang berdekatan dengan kawasan cagar hutan lestari untuk mengadopsi kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.
“ MEMANFAATKAN CAGAR HUTAN LESTARI UNTUK PENELITIAN, PEMANTAUAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN “ Tujuan 1 : Meningkatkan Pengetahuan Tentang Interaksi Antara Manusia dan Lingkungan Hutan Lestari. Rekomendasi untuk tingkat Internasional :
•
Memanfaatkan Jaringan Cagar Hutan Dunia untuk melakukan penelitian komparatif tentang lingkungan dan sosial-ekonomi, termasuk penelitian jangka panjang yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menyelesaikannya.
•
Memanfaatkan Jaringan Cagar Hutan Dunia untuk program penelitian internasional yang berkaitan dengan topik-topik seperti keanekaragaman hayati, desertifikasi, siklus air, ethnobiologi, dan perubahan global.
•
Memanfaatkan Jaringan Cagar Hutan Dunia untuk program kerjasama penelitian pada tingkat regional dan internasional, seperti yang terdapat di wilayah belahan bumi selatan, Asia Timur dan Amerika Latin.
•
Mendorong pengembangan sarana yang inovatif, penelitian antar disiplin ilmu untuk cagar hutan lestari, termasuk sistem-sistem model yang fleksibel untuk mengintegrasikan data sosial, ekonomi dan ekologi.
•
Mengembangkan pusat informasi untuk sarana penelitian dan metodologi bagi cagar hutan lestari.
•
Mendorong adanya interaksi antara Jaringan Cagar Hutan Dunia dan berbagai jaringan penelitian dan pendidikan lainnya, dan memfasilitasi pemanfaatan cagar hutan lestari untuk proyek-proyek kerjasama di bidang penelitian antara universitas dan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian, pada sektor swasta maupun publik, dan organisasi non pemerintah maupun pada tingkat pernerintah.
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Mengintegrasikan cagar hutan lestari dengan program penelitian ilmiah nasional dan regional, dan menghubungkan kegiatan-kegiatan penelitian tersebut ke dalam kebijakan nasional dan regional tentang konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi untuk tingkat masing-masing cagar : •
Memanfaatkan cagar hutan lestari untuk penelitian dasar dan terapan, terutama proyek-proyek yang mempunyai fokus tentang masalah-rnasalah lokal, proyek-proyek antar disiplin ilmu yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial, dan proyek-proyek yang melibatkan rehabilitasi ekosistem yang mengalami kerusakan, konservasi tanah serta pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam.
•
Mengembangkan sistem pengolahan data untuk kepentingan penelitian dan pemantauan dalam pengelolaan cagar hutan lestari.
Tujuan 2 : Meningkatkan Kegiatan Pemantauan. Rekomendasi untuk tingkat Internasional : •
Memanfaatkan Jaringan Cagar Hutan Dunia di tingkat internasional, regional, nasional dan lokal, sebagai prioritas jangka panjang pemantauan kawasan untuk program-program internasional yang memfokuskan pada topik-topik seperti sistem observasi ekosistem daratan, perubahan global, keanekaragaman hayati, dan kelestarian hutan.
•
Mendorong pemakaian protokol-protokol baku untuk meta-data mengenai deskripsi flora dan fauna, untuk memfasilitasi pertukaran informasi, aksesibilitas dan pemanfaatan informasi ilmiah yang dihasilkan dari cagar hutan lestari.
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Mendorong partisipasi cagar hutan lestari dalam program nasional mengenai pemantauan ekologi dan lingkungan serta pengembangan hubungan antara cagar hutan lestari dan lokasi pemantauan dan jaringan
lainnya. Rekomendasi untuk tingkat masing-masing cagar : •
Memanfaatkan cagar untuk melakukan inventarisasi fauna dan flora, mengumpulkan data ekologi dan sosial-ekonomi, melakukan observasi meteorologi dan hidrologi, mengkaji dampak polusi, dan sebagainya, untuk kepentingan ilmiah dan sebagai dasar pengelolaan kawasan.
•
Memanfaatkan cagar sebagai tempat eksperimen untuk pengembangan dan pengujian berbagai metode dan pendekatan untuk evaluasi dan pemantauan keanekaragaman hayati, pelestarian dan kualitas kehidupan mahluknya.
•
Memanfaatkan cagar untuk mengembangkan indikator pelestarian (dalam arti ekologi, ekonomi, sosial dan institusional) untuk berbagai kegiatan produktif.
•
Mengembangkan sistem pengolahan data untuk pemanfaatan hasil penelitian dan pemantauan dalam pengelolaan cagar hutan lestari.
Tujuan 3 : Meningkatkan Pendidikan, Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat. Rekomendasi untuk tingkat Internasional : •
Memfasilitasi tukar menukar pengalaman dan informasi antar cagar hutan lestari, yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan tenaga sukarela dan masyarakat dalam pengelolaan cagar hutan lestari .
•
Mempromosikan pengembangan system komunikasi untuk menyebarkan informasi mengenai cagar hutan lestari dan pengalaman di lapangan.
Rekomendasi untuk tingkat regional •
Mendorong partisipasi cagar hutan lestari dalam berbagai jaringan dan program internasional, untuk mempromosikan keterkaitan antara pendidikan dan kesadaran masyaraka dalam tingkat regional
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Memasukkan informasi mengenai konservasi dan pemanfaatan lestari, yang diterapkan pada cagar hutan lestari dalam program-program sekolah dan buku panduan mengajar, serta melalui berbagai media.
•
Mendorong partisipasi masyarakat lokal, murid-murid sekolah dan pemangku kepentingan lain dalam berbagai program pendidikan dan pelatihan dan dalam kegiatan- kegiatan penelitian dan pemantauan dalam cagar hutan lestari.
•
Membangun pusat informasi pengunjung mengenai cagar hutan lestari, kepentingannya bagi konservasi dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati, dampak sosial-budayanya, dan program-program pendidikan dan sumber dayanya.
•
Mempromosikan pusat-pusat pendidikan ekologi dalam setiap cagar hutan lestari sebagai sarana untuk pendidikan murid-murid sekolah dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Tujuan 4 : Meningkatkan Kegiatan Pelatihan Untuk Para Pakar Dan Manajer. Rekomendasi untuk tingkat Internasional : •
Memanfaatkan Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia untuk mendukung dan mendorong peluang-peluang pelatihan dan program internasional.
Rekomendasi untuk tingkat Regional : •
Memanfaatkan cagar hutan lestari untuk pelatihan lapangan dan kegiatankegiatan seminar nasional, regional dan lokal.
Rekomendasi untuk tingkat Nasional : •
Menentukan pelatihan yang dibutuhkan oleh para manajer cagar hutan lestari dalam abad ke 21 dan mengembangkan model program pelatihan untuk topik-topik tertentu seperti bagaimana merencanakan dan menerapkan program inventarisasi dan pemantauan di cagar hutan lestari, bagaimana menganalisa dan menelaah kondisi sosial-budaya, bagaimana menyelesaikan konflik, dan bagaimana mengelola bersama sumber daya di dalam suatu ekosistem. Dalam implementasi lokal / tingkat Daerah :
•
Mendorong penyelenggaraan pelatihan dan peluang kerja yang sesuai untuk masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan lain supaya dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam program-program inventarisasi, pemantauan dan penelitian di cagar hutan lestari.
•
Mendorong program-program pelatihan untuk masyarakat lokal dan unsurunsur lokal lainnya (seperti pengambil keputusan, tokoh masyarakat, dan mereka yang bekerja di bidang produksi, alih teknologi, dan program pengembangan masyarakat) sehingga dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan pemantauan cagar hutan lestari.
“ MENERAPKAN KONSEP CAGAR HUTAN LESTARI “ Tujuan 1 : Mengintegrasikan Fungsi Cagar Hutan Lestari. Rekomendasi untuk tingkat Internasional : •
Mengidentifikasi dan mempublikasikan contoh (dari model atau contoh
ilustratif) cagar hutan lestari, yang pengalarnan-pengalamannya dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain, di tingkat nasional, regional dan internasional. Rekomendasi untuk tingkat Regional : •
Memberikan arahan/saran dalam elaborasi dan tinjauan periodik mengenai strategi dan rencana kerja nasional pengelolaan cagar hutan lestari.
•
Mengkoordinasi pembentukan forum-forum dan mekanisme pertukaran informasi bagi para manajer cagar hutan lestari.
•
Menyiapkan dan menyebarkan informasi tentang bagaimana mengembangkan rencana-rencana pengelolaan atau kebijakan untuk cagar hutan lestari.
Rekomendasi untuk tingkat nasional : •
Menjamin bahwa setiap cagar hutan lestari memiliki kebijakan pengelolaan atau perencanaan yang efektif dan otoritas yang sesuai atau mekanisme untuk melaksanakannya.
•
Mendorong inisiatif sektor swasta untuk membangun dan memelihara kegiatan-kegiatan yang selaras dengan lingkungan dan kondisi sosial di zona-zona yang sesuai di cagar hutan lestari dan sekitarnya sehingga menstimulus pembangunan masyarakat.
•
Mengembangkan dan secara periodic meninjau strategi dan rencana kerja nasional untuk cagar hutan lestari; strategi ini harus berusaha mencari nilai tambah cagar hutan lestari yang dikaitkan clengan kebijaksanaan nasional lainnya untuk bidang konservasi.
•
Membentuk forum-forum dan mekanisme pertukaran informasi lainnya
untuk para manajer cagar hutan lestari. •
Menyiapkan pedoman mengenai masalah-masalah pengelolaan di cagar hutan lestari, termasuk metode untuk menjamin partisipasi masyarakat lokal, studi kasus dari berbagai macam pengelolaan, dan teknik penyelesaian konflik.
Dalam implementasi lokal / tingkat Daerah : •
Mengidentifikasi dan memetakan berbagai zona cagar hutan lestari dan menentukan statusnya tersebut.
•
Mempersiapkan, melaksanakan dan memantau rencana pengelolaan secara menyeluruh atau kebijakan yang mencakup semua zona-zona di cagar hutan lestari.
•
Menentukan dan menetapkan mekanisme kelembagaan untuk mengelola, mengkoordinasi dan mengintegrasikan berbagai program kegiatan cagar.
•
Menjamin bahwa masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan cagar hutan lestari.
•
Mendorong inisiatif sektor swasta untuk membangun dan memelihara kegiatan yang sesuai dengan pelestarian lingkungan dan kondisi sosial di cagar dan sekitarnya.
Tujuan 2 : Memantapkan Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia. Rekomendasi untuk tingkat Internasional : •
Memfasilitasi penyediaan sumber daya yang memadai untuk implementasi Kerangka Hukum Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia.
•
Memfasilitasi kegiatan mengenai tinjauan periodik oleh setlap negara atas
cagar Hutan Lestarinya, sebagaimana yang diharuskan oleh Kerangka Hukum Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia, dan membantu negara-negara tersebut dalam upaya membuat cagar hutan lestari mereka berfungsi. •
Mendukung fungsi Badan Penasehat untuk Cagar Hutan Lestari dan mempertimbangkan sepenuhnya serta memanfaatkan sepenuhnya rekomendasi dan pengarahan mereka.
Rekomendasi tingkat Regional : •
Memimpin pengembangan komunikasi antar cagar hutan lestari, dengan memperhatikan kemampuan komunikasi dan teknik mereka, dan memperkuat jaringan regional atau tematik yang telah ada dan direncanakan.
•
Mengembangkan hubungan dan kemitraan yang kreatif dengan jaringan lain atau kawasan yang dikelola dengan konsep yang serupa, dan dengan organisasi kepemerintahan dan non-pemerintah internasional dengan tujuan yang selaras dengan cagar hutan lestari.
•
Mempromosikan dan memfasilitasi kerjasama antar cagar hutan lestari dan mendorong cagar lintas batas.
•
Meningkatkan peranan cagar hutan lestari dengan menyebarkanluaskan bahan-bahan informasi, mengembangkan kebijakan komunikasi, dan mengedepankan peran mereka sebagai anggota Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia.
•
Sedapat mungkin, mengupayakan pemasukan cagar hutan lstari ke dalam proyek-proyek yang didanai oleh organisasi bilateral atau multilateral.
•
Membuat standar dan metodologi untuk mengumpulkan dan menukar berbagai data dan membantu aplikasinya melalui Jaringan Caga Hutan
Lestari. Rekomendasi untuk tingat Nasional : •
Memobilisasi dana dan sektor swasta dari para pengusaha, LSM dan yayasan untuk kepentingan cagar hutan lestari.
•
Memfasilitasi penyediaan sumber daya yang memadai untuk implementasi Kerangka Hukum Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia.
•
Mengembangkan mekanisme di tingkat nasional untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan cagar hutan lestari dan mempertimbangkan sepenuhnya dan memanfaatkan rekomendasi dan petunjuknya.
•
Menyusun suatu evaluasi status dan pengelolaan setiap cagar hutan lestari dari suatu negara, sebagaimana yang ditentukan dalam Kerangka Hukum, dan menyediakan sumber daya yang sesuai untuk mengatasi berbagai kekurangan.
•
Mengembangkan hubungan dan kemitraan yang kreatif dengan jaringan lain atau kawasan yang dikelola dengan serupa dan dengan organisasiorganisasi pemerintah dan non-pemerintah internasional dengan tujuan yang sama dengan cagar hutan lestari.
•
Mencari peluang-peluang untuk mendukung kerjasama antara cagar hutan lestari dan membangun cagar hutan lestari lintas batas, bila memadai.
•
Meningkatkan peran lebih cagar hutan lestari dengan menyebarkanluaskan bahan-bahan informasi, mengembangkan kebijakan komunikasi, dan mengedepankan peran mereka sebagai anggota Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia.
•
Memasukan cagar hutan lestari dalam proposal-proposal untuk
mendapatkan dana dari mekanisme sumber pendanaan internasional dan bilateral, termasuk dari Global Environment Facility. •
Memobilisasi dana dari sektor swasta, para pengusaha, LSM dan yayasan untuk kepentingan cagar hutan lestari.
Rekomendasi untuk tingkat masing-masing cagar : •
Meningkatkan peranan cagar hutan lestari dengan menyebarluaskan bahan-bahan informasi, mengembangkan kebijakan komunikasi, dan mengedepankan peran mereka sebagai anggota Jaringan Cagar Hutan Lestari Dunia.
•
Memobilisasi dana dari sektor swasta dari para pengusaha, LSM dan yayasan untuk kepentingan cagar hutan lestari.