JURNAL STUDI GENDER & ANAK
GENDER DAN KONFLIK DALAM POLITIK INTERNASIONAL Nuriyeni K. Bintarsari *) *)
Penulis adalah Master of Arts (M.A.), dosen tetap Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNSOED, Purwokerto.
Abstract: Conflict in international politic is a study’s field related with Peace and Conflict Studies. Conflict Study became critical if we want to analyze many conflicts in many parts of the world nowadays, where million civilian, mainly women and children become victim of conflict violence. Woman Position at political domain, national or international become one study mainstream, but studies in this field (international conflict) still rare. This article want to review studies about conflict and peace, gender position in Politic/International (relation) studies, also offers Israel-Palestine conflict at the end of 2008 and beginning of 2009 as study’s focus example. Keywords: Conflict, international politic, gender position.
A. PENDAHULUAN Konflik merupakan sebuah kata yang menggambarkan pertikaian, perselisihan, maupun ketidaksepahaman antara dua orang atau lebih dan antara dua golongan atau lebih. Sebagian pakar menggambarkan konflik terjadi ketika dua pihak atau lebih percaya bahwa mereka memiliki ketidakselarasan tujuan atau suatu perjuangan untuk mendapat status, kekuasaan, dan sumber daya, yang tujuannya adalah untuk meniadakan saingan.1 Cara berpikir dan bertindak untuk meniadakan saingan atau rival yang berpotensi merebut, menghalangi niat seseorang atau satu golongan untuk mendapat apa yang mereka inginkan inilah yang seringkali menyebabkan konflik. Kehidupan sosial politik suatu masyarakat pasti akan mengalami konflik karena pergesekan antar-kepentingan yang ada seringkali tidak bisa dihindari. Hal yang perlu dihindari dalam berkonflik adalah adanya kekerasan, baik fisik maupun nonfisik karena konsekuensinya bersifat merusak atau destruktif. Konflik pada hakikatnya terbagi menjadi beberapa subkajian: konflik politik, konflik sosial budaya, konflik ekonomi, konflik struktural, dan beberapa konflik lain. Di dalam tulisan ini, penulis akan membahas kajian gender dan konflik kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah dunia, khususnya konflik yang melibatkan tindak kekerasan terstruktur terhadap perempuan. Tindak kekerasan tersebut meliputi pembersihan etnis (genocide/ethnic cleansing), perkosaan sistematik (systematic rapes), dan penculikan perempuan dan anak-anak untuk dijadikan pekerja seks bagi tentara-tentara yang sedang berperang, sebuah kasus yang terjadi di Rwanda selama perang sipil sepanjang tahun 1990-an. Sebuah studi kasus mengenai kemungkinan tindak pembersihan etnis, tempat yang menjadi target pembunuhan sekarang adalah warga sipil, perempuan, dan anak-anak yang baru terjadi di wilayah Gaza, yang melibatkan Israel dan Palestina. Sumber data dari berbagai lembaga resmi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional dan opini dari beberapa pakar politik internasional mengenai konflik akan menjadi rujukan dalam pembahasan artikel ini.
B. KONFLIK DALAM POLITIK INTERNASIONAL
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
Konflik politik adalah suatu konflik yang berkaitan dengan kebijakan politik, yang dibuat oleh penguasa politik dan jabatan politik yang diduduki oleh penguasa politik.2 Berbagai konflik yang diakibatkan karena perebutan suatu posisi dalam pemerintahan, baik berupa jabatan sebagai elit politik maupun yang bersifat birokratis. Demikian pula, apabila suatu konflik terjadi sebagai reaksi dari kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa politik, maka hal tersebut masuk dalam kajian konflik politik. Perebutan posisi kekuasaan untuk menjadi elite politik, baik sebagai anggota parlemen, presiden, perdana menteri, gubernur, dan lainnya yang mengakibatkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan merupakan konflik politik. Konflik politik yang menyangkut kebijakan politik, misalnya demonstrasi rakyat terhadap keputusan presiden (kepres) mengenai kenaikan harga BBM atau konflik menyangkut isu pemekaran satu propinsi. Pada tataran internasional, konflik antara satu negara dengan negara lain mewujud dalam bentuk perang, konflik pada meja perundingan, saling menyerang antarkepala pemerintahan lewat media massa, dan juga pemboikotan terhadap arus barang, jasa, dan manusia dari satu negara yang dianggap bermasalah untuk memasuki wilayah negara lain. Konflik, baik yang bersifat lokal maupun internasional, harus dapat dikendalikan. Konflik yang tidak terkendalikan akan mewujud dalam bentuk kekerasan. Definisi kekerasan3 yang dimaksud meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Definisi tersebut menerangkan mengenai kekerasan dalam bentuk yang paling luas, tidak hanya meliputi kekerasan fisik, namun juga berbagai hal nonfisik (mental, sosial, dan lingkungan) yang menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Di sini, kita bisa mengaitkan contoh beberapa pasal dalam UU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang pada prinsipnya melarang seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap salah satu anggota keluarganya yang berakibat ketidakmampuan si korban dalam meraih potensi kemanusiaannya secara penuh. Pada konflik yang berujung terhadap kekerasan atau perang di berbagai wilayah di dunia, seperangkat peraturan telah ditetapkan oleh lembaga internasional terbesar yang ada saat ini, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah mengatur agar dalam peperangan, tiap pihak yang berperang tidak boleh menyerang warga sipil atau yang dikenal dengan istilah Non-Combatans. Warga sipil ini terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak, yang tidak termasuk dalam prajurit atau pihak militer yang sedang memegang senjata untuk berperang. Seorang prajurit yang sedang tidak bertugas bisa dikategorikan sebagai non-kombatan, dan dia dilindungi oleh hukum internasional untuk tidak diserang. Pihak non-sipil (combatants) adalah pihak yang berperang mencakup pria dan wanita yang menjadi pasukan militer maupun pihak yang memegang senjata untuk berperang. Di dalam setiap peperangan atau konflik bersenjata, tidak dapat dihindari adanya warga sipil yang menjadi korban. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah apakah pada saat itu ada jaminan perlindungan dan pelayanan medis yang memadai bagi warga sipil yang terluka maupun membutuhkan perawatan. Pada konflik yang terjadi di wilayah Gaza, dimulai sejak tanggal 27 Desember 2008 lalu, warga sipil yang mengalami luka-luka berat maupun ringan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai dikarenakan adanya pemblokiran jalur masuk ke Gaza oleh pihak Israel. Truk-truk yang berisi bahan makanan maupun obat-obatan tidak diperbolehkan masuk ke wilayah konflik, menyebabkan kematian warga sipil Palestina yang terluka karena ledakan mortir maupun misil.4 Di saat kritis inilah, pentingnya campur tangan pihak internasional untuk membuat keadaan lebih kondusif, misalnya dengan memaksa kedua pihak untuk berdamai atau mengadakan gencatan senjata selama beberapa waktu, seperti yang dilakukan oleh ketua
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
PBB, Ban Ki Moon, yang mengadakan sidang dewan Keamanan PBB darurat untuk meredakan konflik kekerasan di wilayah Gaza. Dalam kondisi politik atau hubungan internasional yang bersifat anarkhis (self-help system), sebenarnya ada tiga pilihan bagi tiap negara bangsa untuk menjamin keamanannya. Ketiga cara tersebut adalah menciptakan pemerintahan dunia (world government/global governance), pembentukan aliansi militer, dan menggunakan konsep keamanan kolektif (collective security).5 Konsep pemerintahan dunia dianggap sulit terwujud karena prinsip kedaulatan (sovereignty) dari tiap negara membuatnya relatif otonom dan sulit terunifikasi dalam satu pemerintahan tunggal dunia. Pilihan kedua dan ketiga telah banyak dilakukan oleh berbagai negara, seperti NATO, ASEAN Security Community (ASC), Proliferation Security Initiative (PSI) yang digagas oleh Amerika Serikat (AS) setelah peristiwa 11 September 2001, untuk menghalangi aksi terorisme serta beberapa pakta pertahanan kolektif lainnya. PBB sebagai lembaga internasional yang dibentuk pasca Perang Dunia II, pada prinsipnya menggunakan tiga konsep yang saling melengkapi: Keamanan Kolektif, Diplomasi Preventif, dan Pertahanan Bersama.6 Prinsip keamanan kolektif membicarakan mengenai isu keamanan yang dilakukan oleh lebih dari dua negara secara bersama-sama, biasanya dilakukan oleh negara-negara dalam satu kawasan yang sama. Prinsip Diplomasi Preventif dari PBB mempunyai sifat mencegah konflik yang mungkin terjadi dengan mengadakan berbagai praktik diplomasi yang efektif dan bersahabat. Konsep Pertahanan Bersama berarti adanya kewaspadaan dari masyarakat internasional mengenai ancaman terhadap perdamaian dunia. Kondisi perempuan dan anak-anak di berbagai wilayah dunia yang menjadi korban konflik kekerasan tidak luput dari perhatian PBB dan para aktivis kemanusiaan internasional. PBB telah membentuk Komisi Kedudukan Wanita (Commission on the Status of Women) sejak 21 Juni 1946. Komisi ini berkedudukan langsung di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC).7 Komisi Perempuan dalam PBB ini mempunyai beberapa fungsi antara lain; melakukan tindak monitoring terhadap berbagai aktivitas yang merugikan atau membahayakan perempuan. Hal ini sesuai dengan mandatnya:8 “To prepare recommendations and reports to the Council on promoting women’s rights in political, economic, civil, social and educational fields. The Commission also makes recommendations to the Council on urgent problems requiring immediate attention in the field of women’s rights” (Mempersiapkan rekomendasi dan usulan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial mengenai hak-hak perempuan di bidang politik, ekonomi, kewarganegaraan, sosial, dan pendidikan. Komisi juga membuat rekomendasi mendesak kepada dewan mengenai hal-hal penting yang memerlukan penanganan segera menyangkut hak-hak kaum perempuan).
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa menyangkut hak-hak perempuan, telah ada satu kesepakatan internasional yang mengatur sehingga ada perlindungan terhadap perempuan di wilayah konflik untuk tidak menjadi target operasi militer. Pada wilayah-wilayah konflik, PBB biasanya bekerjasama dengan berbagai badan di bawah Komisi Perempuan untuk melakukan pengawasan, pendataan, dan bantuan terhadap korban warga sipil, khususnya perempuan dan anak-anak. Khusus mengenai konflik Israel-Palestina, PBB menugaskan satu badan khusus yang bertugas memberikan bantuan kemanusiaan di wilayah konflik Gaza dan membantu para pengungsi warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal, yaitu The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA). UNRWA bekerjasama dengan banyak pihak untuk mendistribusikan logistik, air bersih, dan juga obat-obatan di wilayah Gaza. Data mengenai korban sipil perempuan dan anak-anak juga didapat sebagian besar dari keterangan para dokter yang bertugas, dan dari LSM internasional yang Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
bertugas di wilayah Gaza.9 Sekitar 25 persen dari korban yang meninggal adalah perempuan dan anakanak, dan 45 persen dari mereka yang terluka berat dan ringan. Jumlah yang cukup besar, kalau kita mengingat bahwa argumen utama Israel menyerang Gaza adalah untuk menghukum militan Hamas, dan tentunya bukan menarget warga sipil. BBC dan al-Jazeera yang rutin menayangkan kondisi riil di wilayah Gaza mendokumentasikan bahwa rata-rata mereka yang meninggal dikarenakan keterlambatan penanganan medis dan kurangnya obat-obatan yang dibutuhkan, terutama setelah Israel tidak mau membuka akses ke jalur Gaza. PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi untuk memfasilitasi dialog dan perdamaian antara kedua pihak yang berkonflik. Tidak berlebihan bila dikatakan konflik Israel-Palestina mendapat perhatian paling besar dari Dewan Keamanan (DK) PBB dengan dikeluarkannya berbagai resolusi, yaitu Resolusi 242 (1967), 338 (1973), 1397 (2002), 1515 (2003) dan 1850 (208). Salah satu resolusi DK PBB terbaru menyangkut Israel-Palestina adalah Resolusi DK PBB 1860 (2009) dikeluarkan Januari 2009 yang lalu, berisi pengaturan penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah Gaza.10 Berikut ringkasan isi Resolusi 1860: “Gravely concerned by the deepening humanitarian crisis in the Gaza strip and the resulting heavy civilian casualties “since the refusal to extend the period of calm” between Israel and Hamas, the Security Council… stressed the urgency of and called for an “immediate, durable and fully respected ceasefire, leading to the full withdrawal of Israeli Forces from Gaza”. (Mempertimbangkan dengan sangat krisis kemanusiaan di jalur Gaza dan jatuhnya banyak korban warga sipil karena ‘penolakan perpanjangan masa damai’ antara Israel dan Hamas, maka Dewan Keamanan meminta dengan sangat adanya tindakan gencatan senjata yang diikuti penarikan seluruh pasukan Israel dari Gaza dengan segera).
Resolusi DK PBB merupakan salah satu instrumen penting dalam proses perdamaian dan peredaan konflik internasional, namun hal ini harus diikuti dengan itikad baik atau good will dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Negara sebagai salah satu aktor politik internasional tidak bisa diharapkan sepenuhnya untuk menaati instrumen internasional. Oleh karena itu, diperlukan aktor-aktor politik internasional lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), individu, pihak swasta, media massa, dan berbagai elemen lain yang bisa menjadi aktor penyeimbang dan menjadi kunci keberhasilan proses perdamaian internasional. Isu perempuan dalam studi keamanan/konflik yang termasuk dalam kajian gender akan dibahas dalam bahasan berikut.
C. STUDI GENDER DALAM POLITIK INTERNASIONAL Cara memandang politik internasional melalui lensa sensitif-gender (gender-sensitive lens) telah menjadi satu kajian yang mulai banyak dibahas oleh para ilmuwan sejak akhir 1980-an. Cara memandang politik internasional melalui lensa sensitif-gender berarti “enables us to ‘see’ how the world is shaped by gendered concepts, practices, and institutions” (Memungkinkan kita untuk ‘melihat’ dunia yang terkotak dalam konsep pemikiran, praktik, dan institusi yang bias gender).11 Pemikiran, praktik-praktik, dan pembentukan institusi yang sarat dengan nilai-nilai bias gender tidak terlepas dari pemikiran dominan yang ada dalam politik internasional, yaitu pendekatan realisme (Realism Approach). J. Ann Tickner12 menegaskan bahwa pendekatan realisme dalam memandang politik internasional membuat nilai maskulinitas (agresif, kompetitif, struktural, berorientasi pada akumulasi kekuasaan) lebih mengemuka dan merugikan perempuan. Tickner menjelaskan bahwa sudah lama para Feminis Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
mempertanyakan adagium yang menyatakan bahwa perang dilakukan untuk melindungi perempuan, anak-anak dan warga sipil lain yang dianggap lemah. Tickner13 lebih lanjut menjelaskan: “Challenging the myth that wars are fought to protect women, children, and others stereotypically viewed as ‘vulnerable’, feminists point to the high level of civilian casualties in contemporary wars.” (Berlawanan dengan mitos yang menjelaskan bahwa perang dilakukan untuk melindungi perempuan, anak-anak, dan pihak yang lemah, kaum feminis menunjukkan adanya angka kematian warga sipil yang tinggi pada perang-perang modern).
Paradigma realis yang bersifat top-down, militeristik. dan berorientasi struktural pada kepentingan elit politik dianggap tidak lagi relevan untuk menjawab permasalahan keamanan kontemporer. Tickner memformulasikan paradigma alternatif, yang pendekatan keamanan dilakukan dengan wacana bottomup, menganalisa akibat peperangan pada level terendah dari masyarakat untuk mendapatkan satu penyelesaian yang komprehensif. Pemikiran serupa muncul dari Cockburn dan Zarkov,14 mereka menganalisis dampak perang sipil yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tahun 1990an. Cockburn dan Zarkov membuat suatu peta di mana terjadi pemerkosaan sistematis terhadap perempuan sipil warga BosniaHerzegovina oleh tentara Bosnia-Serbia (sebelum Serbia Bosnia terpecah menjadi dua negara) sebagai salah satu strategi perang yaitu pembersihan etnis dan penurunan mental lawan. Perempuan menjadi target perang karena posisinya yang unik secara sosial budaya di masyarakat, yaitu sebagai representasi ibu dan pihak yang melahirkan generasi baru. Pada proses penyelesaian konflik dan proses perdamaian yang difasilitasi oleh NATO dan PBB (United Nations Protection Force/UNPROFOR), terlihat fakta bahwa peran perempuan sangat penting dalam proses rekonsiliasi dan pemulihan trauma para korban perang. Berdasar fakta-fakta di lapangan konflik tentang pentingnya analisa post-konflik yang sadar gender pada tahun 2000/2001, membuat PBB mengeluarkan kebijakan baru yaitu:15 “A commitment to addressing gender issues in the planning and implementation of international peacekeeping operations”. (Komitmen untuk memperhatikan isu-isu gender pada perencanaan dan pelaksanaan operasi perdamaian internasional).
Pernyataan tersebut merupakan sebuah pengakuan bagi perjuangan para aktivis gender di kancah internasional. Argumen yang diajukan adalah apabila gaya-gaya militer yang maskulin itu dibawa dan diterapkan pada perumusan dan pelaksanaan operasi perdamaian, maka yang terjadi hanyalah pengulangan kekerasan yang dilakukan anggota pasukan perdamaian, dan bisa berakibat pada eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan atau gadis-gadis lokal. Ilmuwan lain yang berpendapat mengenai kurangnya perhatian terhadap isu gender dalam politik internasional adalah Grant dan Newland. Grant dan Newland16 berpendapat bahwa seringkali kerangka pemikiran yang sadar gender dan masalah perempuan di wilayah konflik luput dari perhatian para pengkaji politik internasional karena dua hal. Pertama, hanya sedikit sekali perempuan yang menduduki jabatan sebagai pengambil kebijakan luar negeri (Foreign Policy maker) sehingga kebijakan yang dihasilkan bersifat bias. Kedua, selama ini pembahasan isu-isu gender dianggap tidak masuk kajian politik yang penting (high politics) karena isu gender dianggap kajian wilayah domestik, bukan publik. Logika Grant dan Newland yang pertama, di mana jumlah perempuan menjadi penentu kebijakan luar negeri merupakan hal yang substansial, mempunyai kelemahan tertentu. Beberapa perempuan yang menjadi penentu kebijakan luar negeri seperti Condolezza Rice (mantan menteri luar negeri AS), Tzipi Livni (politisi Israel), Hillary Clinton (senator dari AS), Madeleine Albright (mantan menteri luar negeri AS),
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
dianggap sebagai representasi perempuan dalam politik internasional, yang sayangnya tidak terlihat mengarusutamakan isu-isu gender dalam kebijakannya. Peristiwa konflik Gaza terbaru mulai Desember 2008 sampai Januari 2009 terjadi pada waktu Rice menjabat sebagai menlu pada pemerintahan George W. Bush Jr., Rice bahkan dianggap tidak tegas terhadap pihak Israel dan tidak bersimpati terhadap warga sipil Palestina yang menjadi korban, karena AS mengambil sikap abstain dalam proses voting penetapan Resolusi DK PBB 1860. Rice17 menyatakan alasan sikap abstain AS karena: “Gaza must never again be used as launching pad for rockets against Israeli citizens, because it is important to remember how this crisis began...some 18 months ago, Hamas had taken over the Gaza strip in a coup and since then, thousands of guns, rockets and mortars had been smuggled into territory..” (Gaza tidak boleh lagi digunakan sebagai basis pelontar berbagai roket ke arah warga Israel, karena penting untuk diingat bagaimana krisis ini bermula…yaitu sekitar 18 bulan lalu di mana Hamas mengambil alih wilayah Gaza dengan paksa dan menyelundupkan ribuan senjata, roket dan mortar ke wilayah tersebut..)
Rice menegaskan pula adanya ambiguitas komunitas internasional terhadap siapa yang bersalah karena menurut pandangan Rice, Israel mempunyai hak untuk membela diri terhadap tiap serangan yang membahayakan nyawa warganya. Disadari atau tidak, ketika figur-figur politisi perempuan di atas menjadi aktor politik internasional yang penting, mereka telah mengadopsi paradigma politik yang hierarkis, berorientasi pada kepentingan elit, struktural, dan pragmatis. Dari beberapa studi kasus yang ada, dan minimnya kajian yang membahas gender dalam politik internasional, membuat praktik-praktik kekerasan yang ditargetkan terhadap warga sipil perempuan dan anak-anak masih berpeluang tinggi dilakukan.
D. PENUTUP Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang harus kita hadapi dan kelola agar tidak mengarah pada kekerasan. Masih tingginya warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari konflik perang membuat sejumlah pemikir politik internasional mempertanyakan hakikat perang. Apakah perang memang ditujukan untuk melindungi mereka yang lemah atau justru hanya dapat dimenangkan dengan menyerang mereka yang lemah. Hal ini merupakan premis yang harus dicari kebenarannya. Mengaitkan gender dalam pembahasan politik internasional, terutama pada konteks konflik/perang mempunyai beberapa keuntungan. Salah satunya adalah dengan memberikan lensa alternatif dalam memandang politik, yaitu dengan lensa sensitif-gender. Dengan ini diharapkan akan muncul kebijakan-kebijakan politik yang lebih sadar gender, baik pada tingkat perumusan, penetapan dan pada tahap implementasi.
ENDNOTE 1 2
Loui Coser, The Functions of Social Conflict (New York: Free Press, 1965).
Maswadi, Rauf, Konsensus dan Konflik Politik (Jakarta: Dikti Depdiknas,
2000). 3
S.N. Kartikasari, S.N., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk
Bertindak (Jakarta: The British Council, 2000). 4
Data diambil dari http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/middle_east/7812286.htm
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori & Praktik (Yogyakarta: Graha
5
Ilmu, 2008),hal. 211.
Ibid., Ketiga prinsip PBB yaitu: collective security, preventive diplomacy, dan
6
collective defence, telah dialihbahasakan oleh penulis. 7
Diambil dari http://www.un.org/esa/commissions.html
8
http://www.un.org/esa/commissions.html
9
Diambil dari http://news.bbc.co.uk.
10 11
Diambil dari http://un/org/News/Press/docs/2009/sc9567.doc.htm
Sipke Peterson V. & Anne Sisson Runyan, Global Gender Issues (Boulder:
Westview Press, 1993). 12
Ann J. Ticcker, Gendering World Politics (New York: Columbia University Press,
2001). 13 14
Ibid., hal. 48.
Cynthia Coukburn & Dubravka Zarkov (Eds), The Postwar Moment: Militaries,
Masculinities and international Peacekeeping (London: Lawrence & Wishart Ltd). 15 16
Ibid., hal. 41.
Rebecca Grant & Kathleen Newland, Gender and International Relations
(Bloomington and Indianapolis: Indiana Unversity Press, 1991). 17
http://un.org/News/Press/docs/2009/sc9567.doc.htm
DAFTAR PUSTAKA Cockburn, Cynthia & Zarkov, Dubravka (Eds). 2002. The Postwar Moment: Militaries,
Masculinities and international Peacekeeping. London: Lawrence & Wishart Ltd.
Coser, Louis. 1965. The Functions of Social Conflict. New York: Free Press.
Grant, Rebecca. & Newland, Kathleen. 1991. Gender and International Relations. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
http://news.bbc.co.uk http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/middle_east/7812286.htm http://un.org/News/Press/docs/2009/sc9567.doc.htm http://un/org/News/Press/docs/2009/sc9567.doc.htm http://www.un.org/esa/commissions.html
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kartikasari, S.N. dkk. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The British Council.
Peterson, Spike V. & Runyan, Anne Sisson. 1993. Global Gender Issues. Westview Press: Boulder.
Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Dikti. Depdiknas.
Tickner, Ann J. 2001. Gendering World Politics. New York: Columbia University Press.
www.un.org/esa/commissions.html
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.41-51
ISSN: 1907-2791