TRANSFORMASI KEKUATAN –KEKUATAN POLITIK Suatu Studi Teori Kelompok dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia P. Anthonius Sitepu
Abstract The main object of this study to taken on the meaning of the social reality and also to understanding for political reality. There are numerous social theories; one of them is the political theory. In concerning this is an attempt to know the social theory in this matter the political system theory. It’s account for an effort to explain dynamic of the political life in a political system. From this perspective that political system can be elaborated point of view structural-functional. That two (political parties and military group) can be look at as political power to play role functions under the Indonesian political system based on politics configuration parliamentary democracy and guided democracy. Keywords: political system, political party, military group, democracy Pendahuluan Wacana tentang kekuatan-kekuatan politik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bertitik tolak dari analisis sistem politik (teori strukturfungsi) yang dikemukakan oleh Gabriel A. Almond, bahwa dalam sistem politik, terdapat struktur-truktur po1itik atau lembaga-lembaga politik yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu demi berjalannya proses politik. Bagaimanakah proses politik itu dapat berlangsung dengan baik, dapat dipahami jika kita melihatnya dari perspektif teoritis sistem politik suatu negara, yakni dengan cara melakukan pendekatan yang disebut sebagai "teori struktural fungsional". Teori ini bertitik tolak dari asumsi dasar, bahwa dalam sistem politik terdapat fungsi-fungsi yang harus ada demi keberlangsungan hidup sistem politik itu sendiri. Pendekatan teoritis ini memusatkan perhatian pada usaha-usaha menemukan beberapa fungsi politik yang ada dalam sistem politik. Selanjutnya telaah struktur politik apa yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi yang dimaksudkan dalam sistem politik itu adalah fungsi input dan fungsi
output. Studi ini memusatkan perhatian pada fungsi input yang terdapat di dalam struktur politik (infrastruktur politik) seperti misalnya partai politik, kelompok-kelompok kepentingan lainnya, dilihat sebagai kekuatan-kekuatan politik menjadi ukuran dalam sistem politik. Seperti partai-partai politik, kendati pun kehadirannya dalam wacana ilmu politik masih relatif muda, baru diperkenalkan pada abad 19 di negara-negara Eropa (Inggris, Perancis). Kehadiran partai politik itu penting sebagai bagian dari struktur politik. Struktur politik pada umumnya terkait erat dengan sistem politik. Dalam konteks ini, sistem politik dalam artian yang luas diibaratkan sebagai sebuah rumah yang menaungi berbagai lembaga dan menjalankan fungsi-fungsi politik dalam suatu negara. Dalam sistem politik itulah, sekali lagi penulis tekankan, ada struktur politik, yakni partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik lainnya seperti, lembaga eksekutif, legislatif. Dalam tataran teoritik, bahwa peranan partai-partai politik dalam sistem politik, menjadi faktor penting clan menentukan bagi berfungsinya sistem kepartaian yang ada.
P. Anthonius Sitepu adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU 163
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 163-171
Karakter sistem politik memberikan pengaruh terhadap kinerja sistem kepartaian. Artinya, ada semacam hubungan timbal balik antara keduanya. Kemudian di samping partai-partai politik sebagai kekuatan politik, dalam struktur politik adalah kelompok militer. Dengan menguatnya posisi kelompok militer terutama dalam sistem politik Indonesia dan peranan mereka mempengaruhi atmosfir kehidupan politik dan juga intensitasnya dalam soal-soal politik. Kehadiran mereka dalam ranah politik ini tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan kelompok militer. Memang serangkaian proses menunjukkan kadar keterlibatan mereka dan peranannya sebagai anasir kekuatan politik. Menurut Yahya A. Muhaimin (1982: 3-4), bahwa ada tiga alasan atau sebab militer secara aktif masuk ke arena politik dan berkembangnya peran militer dalam politik dalam kehidupan politik (sistem politik) yakni, (a) Rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan seperti itu, akan menyebabkan terbukanya kesempatan serta peluang yang cukup besar untuk menggunakan kekerasan di dalam sistem politik; (b) Rangkaian sebab yang bertalian dengan kemampuan, golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik dan bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan; (c) Rangkaian sebab yang berhubungan dengan "political perspectives" kelompok militer yang menonjol di antara perspektif mereka adalah yang berkaitan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat dan juga berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan sipil serta sistem politik secara keseluruhan. Dengan demikian, dua jenis kekuatan politik (partai politik dan militer) yang terdapat dalam struktur sistem politik, menjadi perhatian utama dalam studi ini, yakni konfigurasi politik sistem politik parlementer, sistem politik demokrasi terpimpin. Pengertian transformasi dalam studi ini dimaknai sebagai suatu pergeseran format atau bentuk di dalam situasi tertentu dalam konteks ini adalah sistem politik (Indonesia). Sehubungan dengan hal ini, Mariam Budiardjo (1988: 52) mengatakan bahwa yang diartikan dengan kekuatan-kekuatan politik adalah yang
164
bisa masuk dalam pengertian individual maupun dalam pengertian kelembagaan. Dalam pengertian yang bersifat individual adalah kekuatan-kekuatan politik yang tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Dan secara kelembagaan di sini kekuatan-kekuatan politik bisa berupa lembaga atau organisasi-organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik dalam sistem politik. Pada dasarnya, banyak aspek potensial tertransformasikannya menjadi kekuatan politik sebagaimana yang dikatakan oleh Bachtiar Effendy (2000: 197), yakni apakah kekuatan ini bersifat formal atau nonformal. Kekuatankekuatan ataupun kelompok-kelompok yang sejenis dengan itu. Kekuatan-kekuatan politik yang formal mengambil bentuk ke dalam partaipartai politik. Sementara yang diartikan dengan kekuatan-kekuatan politik yang bersifat nonformal, adalah merupakan bagian dari bangunan civil society. Dalam hal ini dapat dimasukkan (a) dunia usaha, (b) kelompok profesional dan kelas menengah (c) pemimpin agama, (d) kalangan cerdik pandai (intelektual), (e) lembaga-lembaga (pranata-pranata masyarakat), (f) media massa, dan lain-lainnya. Dalam konteks studi ini mencoba melihat masalah ini dari kerangka teori perbandingan politik. Dalam teori perbandingan sistem politik, dijumpai beberapa teori guna menganalisis dinamika kehidupan politik suatu negara. Di sana, ada teori sistem (system theory) adalah yang mengemukakan pemikiran bahwa untuk mengetahui, memahami, bagaimana dinamika kehidupan politik suatu negara, cukup dengan meneliti pranata-pranata sosial politik (lembagalembaga politik) yang formal seperti misalnya badan legislatif, eksekutif maupun judikatif. Maka dengan kajian seperti ini dapat diketahui lembaga-lembaga mana yang sangat berpengaruh dan menentukan dinamika kehidupan politik (sistem politik tertentu). Selanjutnya dalam teori yang kedua, yang disebut teori prilaku politik (behavior political theory) yang mengatakan, bahwa untuk mengetahui dinamika kehidupan politik suatu negara, tidak hanya dengan berdasarkan pada analisis lembaga-lembaga politik (institutionalism) formal. Karena dalam hal ini,
Sitepu, Transformasi Kekuatan...
sesungguhnya yang menentukan dinamika kehidupan politik suatu negara, tidak sematamata pada lembaga-lembaga politik formal akan tetapi juga berada dalam individu-individu yang bersangkutan. Dan teori elite (elite theory) merupakan bagian yang ketiga. Teori ini berdasarkan pandangannya kepada asumsi bahwa yang menentukan dinamika kehidupan politik suatu negara berada pada elit politik. Terakhir adalah teori kelompok (group theory). Dari perspektif teori ini mengasumsikan bahwa kelompok yang ada dalam masyarakat (negara) ikut dalam menentukan dinamika kehidupan politik suatu negara. Studi ini hendak mencoba mengkaji kekuatan-kekuatan politik dalam konfigurasi politik sistem politik Indonesia dengan berdasarkan pada teori kelompok. Teori kelompok ditempatkan sebagai perangkat analisis terhadap fenomena faktual bahwasanya terdapat korelasi antara aspek kekuatankekuatan politik, dengan aspek sistem politik. Dari titik ini sistem politik memberikan pengaruh (determinan) terhadap corak/format kekuatan-kekuatan politik tersebut. Oleh sebab itu, dengan pandangan teoritik barangkali dapat dikatakan secara spesifik bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter terhadap kekuatan-kekuatan politik pada suatu negara tertentu. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokrasi, maka karakter kekuatan politiknya bersifat populistik. Sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka akan menghasilkan kekuatan politik yang bersifat konservatif/elitis dan ortodoks. Konfigurasi politik demokratik dan konfigurasi politik otoriter adalah dua bentuk terminologi kiranya perlu mendapat penjelasan lebih jauh (elaborasi teoritik). Bahwa sejarah terminologi demokrasi dapat ditelusuri jauh ke belakang. Konsepsi ini ditumbuhkan untuk pertama kalinya dalam praktik negara Yunani dan Athena. Dalam hal mana makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dengan kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat
mengandung pengertian tiga hal yakni, (a) pemerintahan dari rakyat (government of the people), (b) pemerintahan oleh rakyat (government by people), (c) pemerintahan untuk rakyat (government for people). Dan sebaliknya dari istilah konfigurasi politik demokrasi adalah konfigurasi politik otoriter (totalisterisme) yang ditandai oleh dorongan negara untuk memaksakan persatuan dengan menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara mengolah kebijakan-kebijakan politik dan menjalankan kekuasaan dengan melalui suatu elit kekal. Di sini, dianut ideologi atau doktrin yang membenarkan konsentrasi yang mencakup pembatasan kekuasaan atas individu dan kelompok sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan yang terakhir. Monoisme totaliter/otoriter ditemukan pada ide bahwa pertentangan harus dilenyapkan dalam suatu masyarakat yang homogen dan seragam (Moh. Mahdud, M.D. 2001: 17 - 16). Konfigurasi politik menurut Moh. Mahdud, M.D. (2001: 24-25) diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan-kekuatan politik yang secara dikotomik dibagi atas dua konsep yang saling bertentangan (antogonistik) secara dimetrial yakni konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. (a) konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut serta secara aktif menentukan arab kebijakan umum. Partisipasi politik semacam itu ditentukan dengan berdasarkan azas mayoritas oleh wakilwakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Hubungan antara pemerintah dan wakil rakyat di dalam konfigurasi politik demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat dengan melalui wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik kepada pemerintah; (b) konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperanan secara aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi politik otoriter ditandai dengan elit kekuasaan yang terdorong untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal
165
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 163-171
dan dibalik itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Dalam pandangan yang lebih spesifik, bahwa untuk membangun kualifikasi apakah konfigurasi politik itu demokratis ataukah konfigurasi politik itu otoriter, sebagai indikator yang digunakan dalam studi ini adalah bekerjanya dua pilar utama demokrasi yakni, partai-partai politik dan kelompok militer. Konfigurasi Politik Demokrasi Parlementer Partai Politik dalam Parlemen Seiring dengan konfigurasi politik sistem po1itik demokrasi par1ementer, muncu1nya partisipasi politik rakyat terkait erat dengan proses dan pembuatan kebijakan negara. Dalam hal ini kebangkitan partai-partai po1itik bagi, bangsa Indonesia, temyata bahwa dalam kehidupan kepartaiannya, baru dapat dilacak kembali, secara samar-samar sampai pada tahun 1908-an. Dikatakan demikian karena organisasiorganisasi yang memberi kesan adalah partai politik, dalam kenyataannya bukanlah partai politik dalam pengertian modern sebagai organisasi yang tujuannya merebut kedudukan dalam negara di dalam persaingan melalui pemilihan umum (Daniel Dhakidae 1985: 190 191). Atau sangat boleh jadi partai politik adalah secara formal dapat dilihat pada saat sistem kepartaian didasarkan kepada Maklumat Pemerintah 3 November 1.945. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 itu, menyebutkan bahwa atas dasar usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada Pemerintah, agar memberikan kesempatan se1uas-1uasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Dalam Diktum Maklumat Pemerintah 3 November 1945 itu - yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, berbunyi sebagai berikut: a) Pemerintah menyukai timbulnya partaipartai politik karena dengan adanya partai-partai po1itik itu1ah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran/paham yang ada dalam masyarakat; b) Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelumnya diselenggarakan pemilihan umum bagi anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946.
166
Lebih lanjut menyusul Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tersebut, bertumbuh dan bertambahlah setiap kelompok mendirikan partai politik sampai Januari 1946 berjumlah 10 partai politik, di antaranya terdapat Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) didirikan 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945, Partai Rakyat Jelata (PRD) 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), 10 Nopember 1945, Partai Sosialis Indonesia (PSI) 11 Nopember 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) 20 November 1945, Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) 8 November 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI) 17 Desember 1945, Partai Nasional Indonesia (PNI) 1 Desember 1945. Meskipun demikian, jumlah partai-partai politik tidaklah sebanyak yang disebutkan di atas, akan tetapi sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc. T. Kahin (1952: 156-157) lebih dari itu. Hal ini dikarenakan munculnya partai-partai politik kecil yang pada masa pemerintahan militer Jepang dilumpuhkan. Selanjutnya, diikutsertakan dalam bagian pertumbuhan partai-partai politik, seiring dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Pengalaman dengan format sistem kepartaian banyak (multi party system) dan dengan sistem pemerintahan parlementer, dapat berarti diberikannya kesempatan yang luas kepada partai politik dan kekuatan-kekuatan politik lainnya untuk berkiprah di lembagalembaga politik seperti, legislatif ataupun di pemerintahan (kabinet). Seperti halnya dari hasil pemilihan umum 1955 ternyata telah memperjelas polarisasi antara partai-partai politik Islam dan partai politik Non-Islam. Kondisi seperti ini, menurut pandangan Adnan Buyung Nasution (1995: 32-4) memberikan pengaruh terhadap perimbangan kekuatan di Dewan Konstituante. Partai-partai politik terpecah ke dalam berbagai faksi terbagi atas tiga kelompok yang masing-masing mendukung ideologi tertentu pula. Di sana terdapat blok Pancasila, blok Islam dan blok SosialismeEkonomi. Faksi blok Pancasila terdiri dari 24 partai dengan total perolehan kursi sebanyak 283. Selanjutnya faksi blok Islam terdiri dari 8 partai dengan jumlah perolehan kursi sebanyak 230.
Sitepu, Transformasi Kekuatan...
Akhirnya faksi blok sosialis ekonomi terdiri dari 3 paartai dengan perolehan kursi sebanyak 10. Pemilihan Umum dan pembentukan Dewan Konstituante merupakan dua hal yang cukup penting dalam kaitannya dengan peranan partai-partai politik dalam konfigurasi politik sistem politik (Indonesia Parlementer). Pemilihan Umum I 1955 itu diselenggarakan untuk membentuk DPR (29 September 1955) dan untuk Dewan Konstituante (15 Desember 1955) di bawah Kabinet Burhanuddin Harahap. Dari jumlah penduduk 39 juta yang ikut memberikan suaranya, penduduk yang terdaftar sebanyak 87,65%. Partai politik sejumlah 34 partai politik yang mengambil bagian dalam Pemilu 1955, menghasilkan "4 besar partai politik" yakni, Partai Nasional Indonesia (PNI) 22,3% suara, Masyumi 20,9%, NU 18,4% dan Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,4%. Militer dalam Politik Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan studi ini, bagaimana peranan militer dalam politik secara ringkas, maka bagian ini persoalan itu dikembangkan ke dalam perspektif yang lebih luas, yakni dalam konfigurasi politik sistem politik demokrasi parlementer dalam mana lahirnya militer sebagai kekuatan politik yang sesungguhnya berasal dari kaburnya penempatan makna tentang peranan militer sebagai fungsi politik dan fungsi bersenjata dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan pemerintah kolonial Belanda. Karena perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu sendiri, bersifat politik sekaligus bermuatan nuansa militer (Syahdatul Kahfie 2002: 34 - 40). Konstalasi di atas hendak mengatakan bagaimanakah proses terbentuknya militer di Indonesia yang pada awalnya dibidani oleh partai-partai politik dengan menciptakan laskarlaskar perjuangan bersenjata yang mengabdi pada kepentingan dan ideologi partai seperti, misalnya Laskar Kapindo (PNI), Laskar Hisbullah (Golongan Islam), Barisan Pemuda Kristen (Devisi Panah) dari Parkindo, dan Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (BPSI). Selanjutnya laskar-laskar perjuangan ini menjadi bagian dari Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau Angkatan Perang Indonesia (APRI) dan kemudian menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kembali lagi,
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Syahdatul, Kahfie 2002: 40). Militer, sebagai kekuatan politik dalam wacana militer, dilihat sebagai fenomena politik yang menarik terutama di negara-negara Dunia Ketiga, seperti halnya Indonesia tampilnya kelompok militer dalam panggung politik, dianggap sebagai faktor dalam kaitannya dengan perubahan politik. Berawal. dari kekecewaan mereka kepada partai-partai politik. Sebab pada awalnya sistem politik Indonesia yang menganut sistem pemerintahan parIementer dalam mana peranan partai-partai politik yang dominan mengontrol kehidupan militer secara subjektif sebagaimana tercermin dalam pasang surutnya kabinet yang berbasis pada hubungan sipil militer. Hubungan sipil - militer yang didominasi oleh partai politik dalam kabinet yang kemudian disusul oleh munculnya kebijakan pemerintah yang hendak menempatkan kedudukan militer hanya sebagai alat kekuasaan atau bahkan sebagai alat kekuasaan politik dan kecenderungan sikap skeptis dalam melihat persoalan ini, untuk mempolitisir militer. Hal ini jelas terjadi pada saat Indonesia menganut sistem parlementer Barat, dinilai dengan masuknya Sjahrir, Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri, dalam mana kelompok militer diposisikan secara penuh di bawah kendali kabinet dan, menhankam senantiasa dipegang oleh partai politik (Hendri Supriyatmo 1994: 2829). Kontrol subjektif sipil terhadap militer adalah sesuatu yang mencampuri urusan internal militer secara lebih dalam. Perlakuan seperti itu membuat militer bersikap lain, terhadap partaipartai politik. Ketidaksenangan tersebut diwujudkan ke dalam bentuk perlawanan kelompok militer terhadap pemerintahan sipil sebagaimana tercermin dalam Peristiwa 17 Oktober Tahun 1952. Peristiwa 17 Oktober 1952, menurut A. H. Nasution, sebagai aksi yang ditujukan kepada Presiden Soekarno agar segera mengambil peranan politik penting bersama militer mengatasi keadaan. Aksi ini juga sebenarnya ditujukan kepada parlemen yang anggotaanggotanya tidak dipilih sebanyak 2/3 yang lebih mementingkan alasan kolabolator atau fungsi mereka hanya dengan perebutan kekuasaan untuk menjatuhkan kabinet. Selanjutnya Nasution mengemukakan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 itu lebih sebagai aksi "setengah kudeta”. Meskipun demikian, bahwa
167
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 163-171
peristiwa itu merupakan sebuah manuver politik. Dari titik ini militer berpotensi dan berpretensi untuk mengambil suatu peranan politik tertentu di dalam pengelolaan negara dan menghendaki sebuah posisi politik. Fenomena partisipasi politik militer dalam sistem politik tatkala bulan Maret 1957 dipermaklumkan berlakunya "keadaan darurat bahaya perang" dengan istilah Belanda disebut Staat van Oorlog en van Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Presiden Soekarno setelah mendapat tekanan-tekanan dari kelompok militer. Dengan mengusung agar diberlakukannya negara dalam keadaan darurat perang atau SOB yang belakangan diketahui berasal dari gagasan A.H. Nasution (mi1iter AD), te1ah memberikan kerangka bangunan dan landasan yang kuat bagi akses militer masuk ke dalam domain po1itik (kedudukan po1itik), meskipun tidak diartikan sebagai mencari posisi po1itik yang permanen sifatnya. Tapi kemudian ini lebih dapat diartikan sebagai pembuka ja1an baru. Perkembangan suasana po1itik yang dise1imuti o1eh ketidakstabi1an politik di1ihat sebagai akibat semakin kerasnya pertentangan antarpartai politik di parlemen dan di kabinetkabinet dan disertai juga dengan terjadinya pergolakan-pergolakan politik di daerah-daerah. Dengan kondisi semacam itu, seakan-akan mendorong Presiden Soekarno mengambil alih kekuasaan penuh. Indikasi ke arah itu jelas terlihat dalam pernyataannya 12 Februari 1957 di hadapan para pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh masyarakat, di Jakarta, mengemukakan gagasannya dikenal, sebagai Konsepsi Presiden. Isi ringkas dari gagasan itu rencana pembentukan Dewan Nasional dan Kabinet Gotong Royong. Bahwa katanya, sistem po1itik demokrasi Barat itu tidak 1agi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia maka harus diganti segera dengan sistem politik demokrasi terpimpin. Dalam me1aksanakan konsepsi sistem po1itik demokrasi terpimpin tersebut, diperlukan infrastruktur yakni berupa Kabinet GotongRoyong. Anggota-anggotanya terdiri dari semua partai politik dan organisasi-organisasi berdasarkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta dibentuknya Dewan Nasional yang diisi oleh partai-partai po1itik dan golongan-golongan fungsional. Golongan fungsional, dianggap sebagai antitesis partaipartai adalah militer sebagaimana dirumuskan dalam Dewan Nasional 26 Januari 1958 dan arti
168
pentingnya Dewan Nasiona1 terutama militer, untuk memperkuat posisi mereka sebagai kekuatan politik secara legal dan ini merupakan sekaligus wahana memasuki arena politik. Konfigurasi Politik Sistem Politik Demokrasi Terpimpin Peranan Partai Politik dalam Parlemen Gagasan sistem politik demokrasi terpimpin dan implementasinya, dapat dipandang sebagai kelanjutan dari konfigurasi politik sistem politik parlementer. Fokus perhatian dalam bagian ini ditujukan kepada peranan partai politik dan militer dalam konfigurasi politik sistem po1itik demokrasi terpimpin. Sementara pengertian kita mengenai konsep demokrasi terpimpin itu sendiri dimulai dari apa yang dikemukakan Soekarno merupakan suatu ide tentang kesatuan rakyat Indonesia yang lepas dari ideologi, aliran-aliran politik yang diilhami dan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman awal Soekarno dalam pol.itik praperang kemerdekaan sejak saat itu kemudian menjadi obsesinya. Konsepsi itu kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin pada dasarnya dibagi atas 2 bagian yakni, pembentukan sistem pemerintahan baru dalam Kabinet Gotong-Royong yang akan memasukan semua partai-partai politik yang diwakili di DPR. Dan lagi, pembentukan Dewan Nasional. Dewan Nasional terdiri dari anggota-anggotanya sebagai wakil-wakil golongan fungsional yang dipimpin oleh Soekarno sendiri (Daniel S. Lev 1966: 17). Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah menandai berlakunya demokrasi terpimpin yang sekaligus menyatakan berlakunya kembali UUD'45 sebagai pengganti UUDS'50 dan Dewan Konstituante (1959) dibubarkan karena dinilai tidak mampu merampungkan tugasnya dalam menetapkan dasar negara: apakah Pancasila ataukah Islam, seperti yang dikemukakan Ma'arif (1996: 3). Sehubungan dengan masalah itu, Deliar Noer (2000: 373375) mengemukakan bahwa dari rentangan waktu antara 1957-1965 merupakan masa pada saat peranan demokrasi baru saja mewarnai penurunan secara drastis tetapi hampir saja menjadi diktator. Sekurang-kurangnya, terutama, dengan diberlakukannya kembali ke UUD'45 pada tahun 1959 pada masa itu tercatat bangkit dan berkembangnya suatu pemerintahan
Sitepu, Transformasi Kekuatan...
otoriterlotokratis yang menum-paskan tanpa segan-segan sikap oposisi atau pandangan yang tidak menyetujuinya. Dalam konteks peranan dan kedudukan partai-partai politik, Presiden Soekarno mengecam keras keputusan pemerintah 3 November 1945 yang membuka arus pembentukan partai-partai politik. Oleh sebab itu Soekarno menginginkan agar partaipartai politik itu dikuburkan, alias dibubarkan saja. Di dalam sistem politik seperti itu, tidak lagi berlangsung proses politik di lembaga politik semisal parlemen, peranan lembagalembaga ini semakin merosot kalau bukan dikatakan lumpuh sama sekali. Proses politik berlangsung atas tiga kutub kekuatan politik yakni, Presiden Soekarno - Militer (AD) dan PKI. Semua ini menunjukkan di mana posisi yang diambil partai-partai politik pada saat itu dengan konsekuensi yang sangat berbeda. Yang dialami partai politik adalah penyederhanaan partai-partai politik, Presiden mengeluarkan berbagai kebijakan politik. Seperti penetapan Presiden No.7 tahun 1959, menghasilkan partai politik menjadi 10. Kemudian seiring dengan itu semakin tidak berdayanya partai-partai po1itik berimbas pula ke lembaga perwakilan rakyat (DPR yang mandul). DPR hasil bentukan Pemilu 1955 telah dibubarkan dan diganti dengan DPRGR berdasarkan Penpres No.4 tahun 1968 yang beranggotakan wakil-wakil golongan politik dan golongan fungsional sebanyak 280 orang, yakni dengan rincian dan komposisinya sebanyak 132 orang wakil-wakil golongan fungsional terdiri dari 15 orang, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara masing-masing: 7 orang wakil dan Kepolisian 5 dan PRI 30. Demikian juga halnya, di Kabinet Juanda, yang selama ini dianggap sebagai tempat berkiprahnya partai politik, sama dengan yang dialaminya di parlemen. Karena partai-partai politik yang di kabinet pun, tidak direkrut, berdasarkan hasil pemilihan umum akan tetapi dipilih secara individual. Meskipun di dalamnya terdapat beberapa partai-partai politik, semisal PNI, NU, Parkindo, PSII, Murba, dan PKI, di bawah sistem politik demokrasi terpimpin, telah mengalami pergeseran, terutama dalam hal sistem kepartaiannya (jumlah partai politik) dibandingkan dengan pada masa sistem politik parlementer. Partai-partai politik yang selama ini (parlementer) menjadi pusat dan berpengaruh besar dalam pembangunan bangsa dalam sektor
politik. Kini, dalam sistem politik demokrasi terpimpin, banyak di antara partai-partai politik kehilangan hak hidup dalam menentukan tujuan politiknya. Keberlangsungan hidup partai politik tidak lagi mencerminkan kemandirian, dalam hal ini dapat memberikan pengaruhnya terhadap keberlangsungan suatu kabinet tertentu. Kekuatan mereka telah bergeser ke tangan Presiden Soekarno. Hingga pada akhirnya, partai-partai politik tidak lagi menjadi sumber norma-norma politik yang saling bertentangan. Melainkan semuanya harus mengacu kepada norma-norma yang ada di Manifesto Politik. Militer dalam Politik Dalam sistem politik demokrasi terpimpin, di mana proses politik berjalan di antara tiga kutub yang menjelma menjadi pola hubungan kekuasaan (power relationships) Pola hubungan kekuasaan seperti itu, seolah-olah telah menyeret secara tidak langsung militer dalam kawasan politik. Memang pada akhirnya militer muncul sebagai kekuatan baru dalam konstelasi politik nasional terutama, dalam bidang pemerintahan di daerah dan di pusat. Dan mengingat akan sejarah permulaan revolusi bahwa peranan kelompok militer sedemikian penting, maka sudah selayaknyalah militer ini diberikan tempat dalam pengambilan keputusankeputusan politik atau minimal di parlemen. Peranan militer dalam politik, bermula dari didirikannya Dewan Nasional tanggal 6 Mei 1957 oleh Presiden Soekarno dan peran partaipartai politik dilumpuhkan. Undang-undang darurat diberlakukan. Tujuan utama Dewan Nasional adalah untuk membantu Kabinet Gotong-Royong dalam menjalankan programprogramnya. Akan tetapi dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan partai-partai politik. Keanggotaan dewan nasional disebut "golongan-golongan fungsional' yang dalam masyarakat nyatanya berasal dari pejabat-pejabat militer yang "diperlukan". Lebih jelasnya menurut Presiden Soekarno, "Merupakan cakupan terhadap person-person dari golongan-golongan berikut: buruh, petani, intelegensia, seniman, kaum wanita, orang-orang Kristen, Muslim, pengusaha nasional, personel Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara." Meskipun demikian, peranan militer dalam Dewan Nasional tidaklah dapat dikatakan menonjol. Hal ini disebabkan Presiden Soekarno
169
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 163-171
dan anggota-anggota sipil lainnya dirasakan masih kuat. Tapi di sisi lain, lagi hangathangatnya kampanye mengenai pembebasan Irian Barat. Ini merupakan momentum bagi pandangan militer, di mana A.H. Nasution (Ka. Star AD) memanfaatkan kesempatan ini membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dilihat dari komposisi anggotanya didominasi oleh kelompok militer yang berbeda dengan dewan nasional. Tetapi secara tidak langsung bahwa kehadiran badanbadan atau lembaga kerja sama sipil-militer dalam badan kerja sama (BKS). Pemuda Militer, badan kerja sama militer dianggap sebagai pendukung utama Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Soekarno melihat ini sebagai suatu perkembangan baru yang menantang kepentingan politiknya. Pada akhirnya dapat dipahami Presiden menunjukkan sikapnya yang nyata, sebagai jawaban atas pengaruh lawan-lawan politiknya. Sikap yang dimaksudkan itu adalah dengan dibentuknya Front Nasiona1 (FN), Desember 1959 sebagai pengganti FNPIB yang notabene dikuasai oleh militer. Presiden Soekarno melihat ini sebagai langkah A.H. Nasution menyingkirkan dia dalam rangka merintis gagasan dibentuknya Front Nasional. Dan ini tidak mungkin harus terjadi. Atas alasan itu, Soekarno berusaha sekuat tenaga melemahkan FNPIB. Dari sini barangkali dapat dipahami dan dimengerti, seberapa jauh potensi dan pretensi militer (AD) dalam kehidupan politik (konfigurasi politik demokrasi terpimpin). Kesimpulan Dalam konstruksi sistem politik parlementer paling menonjol adalah dinamika dan proses perpolitikan yang mengambil bentuk di dalam sistem kepartaian dan kehidupan kepartaian yang sangat intens. lntensitas seperti itu terjadi dalam Dewan Konstituante: perdebatan mengenai dasar negara. Pandangan ke arah itu terpolarisasi dari partai-partai politik yang memiliki basis ideologi, yang berbeda kalau bukan dikatakan antagonistik antarpartai politik ke dalam faksi-faksi Pancasila, faksi Nasional, dan faksi Sosialisme Ekonomi. Dari kekuatan politik militer tidak sejajar dengan intensitas partai politik akan tetapi sudah mulai kelihatan ke arah itu (kawasan politik) sistem politik.
170
Dalam konstelasi politik atau dalam konfigurasi politik demokrasi terpimpin, kekuatan politik seperti partai politik, intensitasnya menurun sebagai akibat kebijakan yang didominasi oleh Presiden Soekarno dan militer. Dan sebaliknya kelompok militer mulai merangsek masuk ke dalam kancah politik dengan berbagai alasan dan legitimasinya. Hal ini akan lebih jelas dalam pola hubungan tiga kutub kekuatan antara Presiden, militer (AD), dan PKI. Keberlangsungan hidup kekuatankekuatan politik (partai politik dan militer) dalam konfigurasi politik parlementer dan demokrasi terpimpin menunjukkan transformasi sebagai akibat terjadinya perubahan sistem politik (parlementer dan demokrasi terpimpin). Daftar Pustaka Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis Tentang Respon Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta. Crouch, Harold, 1986, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. Feith,
Herbert, 1968, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, New York: Cornell University Press, Thaca.
Kantaprawira, Rusadi, 1988, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung. Karin, George, Mc, Tuman, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Universitas Sebelas Maret Press, Solo. Lev, Daniel S., 1959, The Transition to Guided Democracy Indonesia Politics 1957 1959, Cornell University, Ithaca. Liddle, R., William, 1992, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, LP3ES, Jakarta. Muhaimin, Yahya, A., 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indoltesia 19451965, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sitepu, Transformasi Kekuatan...
Moh. Mahmud, M.D., 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta. Mas’oed, Mohtar, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 - 1971, LP3ES, Jakarta. Noer, Daliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 19451965, Mizan, Bandung, Nasution, Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi SosioLegal Atas Konstituante 1966 –1959, Grafiti, Purtaka.
Romli, Lili, 2002, Pergeseran KekuatanKekuatan Politik Pasca Orde Baru, Dalam; PROGRESIF, Vol. II, No.1 Oktober 02, (Political Science Forum, Jakarta, FISIP VI, 2002). Rocamora, J. Eliseo, 1991, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkitnya dan Runtuhnya PNI 1946-1865, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Sundhaussen, Ulf., Politik Militer Indonesia 1945 - 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, Jakarta.
171