BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah (alasan dan temuan/teori pendukung) Kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual, usaha untuk memperoleh aktivitas seksual, maupun komentar seksual yang tidak diinginkan yang diarahkan terhadap seseorang dengan paksaan. Hal ini dapat dilakukan oleh siapapun dengan tidak memandang hubungan relasinya dengan korban. Kekerasan seksual dapat terjadi dalam lingkungan apapun, mencakup rumah dan tempat kerja (WHO, 2002). Depresi dapat didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perasaan sedih, hilangnya minat atau rasa kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, terganggunya tidur dan nafsu makan, perasaan lelah dan konsentrasi yang rendah (WHO, 2015). Gangguan depresi dapat timbul tanpa stressor yang mendahului, meskipun demikian kejadian kehilangan seseorang yang dekat maupun kejadian stres dapat meningkatkan risiko depresi (Blazer, 2003). Gejala-gejala mengganggu yang kronis seperti rasa sakit, penyakit fisik maupun stres psikososial dapat pula berperan penting dalam munculnya gangguan depresif (Bruce, 2002). Kekerasan seksual dilaporkan terjadi di seluruh dunia. Namun, pada banyak negara penelitian mengenai masalah tersebut masih kurang. Data-data yang ada menunjukkan bahwa pada beberapa negara, hampir satu dari empat perempuan mengalami kekerasan seksual oleh pasangan intimnya, misalnya di 1
2
Nicaragua (Ellsberg, 1997) dan Indonesia (Hakimi et al., 2001). Sepertiga dari remaja perempuan melaporkan bahwa pengalaman seksual pertamanya dialami dengan paksa, contohnya di Afrika Selatan (Jewkes et al., 2001) dan Tanzania (Matasha et al., 1998). Kekerasan seksual memiliki dampak-dampak yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun mental seseorang. Selain mengakibatkan trauma fisik, ia berhubungan pula dengan peningkatan risiko terhadap berbagai permasalahan seksual maupun reproduktif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (WHO, 2002). Dampak kekerasan seksual terhadap kesehatan mental sama seriusnya dibanding dampaknya terhadap kesehatan fisik. Penyebab kematian korban akibat
kekerasan
seksual
mencakup
bunuh
diri,
infeksi
human
immunodeficiency virus (HIV) (Miller, 1999), pembunuhan oleh pelaku, maupun pembunuhan untuk menjaga “kehormatan” (Mercy et al., 1993). Kekerasan seksual juga mengakibatkan permasalahan pada lingkungan sosial korban, di mana ia dapat mengalami stigmatisasi dan pengucilan oleh keluarganya maupun anggota masyarakat (Mollica dan Son, 1989; Omaar dan de Waal, 1994). Kekerasan seksual telah ditemukan berkaitan dengan permasalahan mental dan perilaku pada orang dewasa dan remaja. Prevalensi gejala dan tanda gangguan psikiatrik adalah 33% pada perempuan dengan riwayat kekerasan seksual, 15% pada perempuan dengan riwayat kekerasan fisik oleh pasangan
3
intim dan 6% pada perempuan yang tidak mengalami kekerasan (Mullen et al., 1988). Sebuah penelitian pada remaja di Prancis juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara riwayat pemerkosaan dengan gangguan tidur, gejalagejala depresi, keluhan somatik, konsumsi rokok dan gangguan perilaku saat ini (Choquet et al., 1997). Pada kondisi-kondisi di mana tidak dilakukannya konseling trauma, efek psikologis yang negatif dapat menetap sampai setahun setelah kejadian berlalu, sementara trauma fisik yang diderita cenderung membaik selama periode tersebut (Calhoun dan Kimerling, 1994). Meskipun dilakukan konseling, masih dapat ditemukan 50% dari perempuan tersebut mengalami gejala-gejala gangguan stres (Foa et al., 1999; Tarrier et al., 1999). Adapun, perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada waktu kecil maupun dewasa memiliki risiko lebih untuk melakukan tindakan bunuh diri (Davidson et al., 1996; Felitti et al., 1998). Model kognitif-perilaku terhadap kondisi depresi menduga bahwa adanya kejadian negatif pada hidup dilengkapi dengan persepsi atau reaksi seseorang terhadap kejadian tersebut dapat mempengaruhi timbulnya gejalagejala depresi. Secara spesifik, model kerentanan kognitif – stres mengatakan bahwa, dalam suatu kejadian hidup yang negatif, individu dapat memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi jika ia cenderung memiliki pandangan negatif terhadap penyebab kejadian tersebut, tentang dirinya ataupun tentang konsekuensi di masa depan (Abramson et al., 2008).
4
Faktor-faktor risiko psikososial lain yang dapat mengakibatkan depresi mencakup dukungan sosial yang kurang memadai, rasa kesepian, rasa kehilangan dan kejadian hidup yang negatif (O'Hara, et al., 1984). Adapun, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan hidup dapat memberikan dampak berupa pandangan ataupun citra diri negatif (WHO, 2002). Kota Yogyakarta terhitung sebagai daerah dengan penduduk yang majemuk di Indonesia. Hal ini telah berlangsung sejak awal pertumbuhannya di abad ke-18, di mana terdapat berbagai etnis di Yogyakarta termasuk pribumi (Jawa), Cina, Arab, Bugis, dan Eropa. Masyarakat Yogyakarta saat ini semakin majemuk seiring dengan perkembangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Selain itu, banyak pula penduduk dari berbagai wilayah mendatangi Yogyakarta untuk bekerja dan bermukim (Juningsih, 2015). Penelitian ini akan dilakukan pada perempuan pekerja seksual karena tingginya risiko pada populasi tersebut untuk mengalami kekerasan, baik fisik maupun seksual. Beberapa penelitian kualitatif menemukan bahwa paparan terhadap kekerasan berhubungan dengan perilaku seksual berisiko, banyaknya jumlah pasangan dan partisipasi dalam transaksi seks (WHO, 2010). Secara umum kekerasan seksual selama ini jarang diteliti, khususnya mengenai hubungan antara jenis kekerasan seksual dengan tingkat depresi. Sedangkan, kasus kekerasan seksual cenderung sulit untuk ditemui akibat banyak perempuan yang tidak melaporkan kekerasan seksual pada polisi, karena rasa
5
malu, rasa takut akan disalahkan, tidak dipercayai atau takut diperlakukan dengan buruk. Adapun aspek kebaruan dari penelitian ini yaitu penelitian ini mencakup pengaruh jenis-jenis kekerasan seksual terhadap tingkat depresi, di mana hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menginformasikan tenaga kesehatan akan dampak jenis-jenis kekerasan seksual terhadap depresi, dan memberi stimulasi bagi para pembuat kebijakan untuk meningkatkan program pencegahan kekerasan seksual dan sarana rehabilitasi bagi para korbannya. B. Perumusan Masalah Adakah pengaruh kekerasan seksual terhadap tingkat depresi pada perempuan pekerja seksual? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis pengaruh kekerasan seksual terhadap tingkat depresi pada perempuan pekerja seksual di Indonesia demi meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak kekerasan seksual.
2. Tujuan Khusus a. Mengukur angka kejadian kekerasan seksual pada perempuan pekerja seksual di Kota Yogyakarta. b. Mengukur kejadian dan tingkat depresi pada perempuan pekerja seksual di Kota Yogyakarta. c. Menganalisis pengaruh tingkat kekerasan seksual terhadap tingkat depresi pada perempuan pekerja seksual di Kota Yogyakarta.
6
D.
Manfaat Penelitian 1. Aspek teoritis : Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan Ilmu Kesehatan Masyarakat pada khususnya mengenai hubungan antara kekerasan seksual dan depresi. 2. Aspek aplikatif : a. Bagi tenaga kesehatan : Membangun empati serta memperdalam pengetahuan mengenai kehidupan perempuan pekerja seksual demi menghilangkan stigma dan diskriminasi yang dapat memperburuk kualitas hidup perempuan pekerja seksual. b. Bagi masyarakat : Menyadari
dampak-dampak
kekerasan
seksual
terhadap
perempuan khususnya berupa depresi sebagai kajian dalam pembinaan oleh lembaga-lembaga masyarakat untuk membangun hubungan yang harmonis dalam berkeluarga dan masyarakat. c. Bagi pemerintah : Memberikan tambahan informasi mengenai angka kejadian kekerasan seksual dan tingkat depresi pada perempuan pekerja seksual khususnya
di
Yogyakarta
untuk
mendukung
program-program
pemerintahan yang berkaitan dengan perempuan pekerja seksual dan kekerasan seksual.