TELEVISI DAN KHALAYAK: MENGKRITISI DIALOG YANG DETERMINISTIK DAN MONOLOG (PERSPEKTIF FILSAFAT MEDIA) Robby H. Abror*
ABSTRAK Industri kebudayaan berhasil merampas kesadaran khalayak. Dengannya televisi menjadi fenomena kultural sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah khalayak di dalam rumah. Hiburan yang disuguhkannya dapat berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya yang kokoh, bahkan seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Berdasarkan angka rating, industri televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga mengabaikan kode etik jurnalistik. Dengan televisi, khalayak menjadi penonton pasif dan terasing. Adalah tugas filsafat mendorong khalayak untuk terus melawan sisi gelap televisi agar lebih terang dan bermoral.
Kata Kunci: televisi, khalayak, kultur
Pendahuluan Televisi secara etimologis berasal dari gabungan dua kata, yaitu ―jauh‖ (tele, Yunani) dan ―penglihatan‖ (visio, Latin). Televisi merupakan medium yang dapat dinikmati oleh khalayak (audience) dari jarak jauh, sebentuk perangkat elektronik untuk menerima dan mereproduksi citra dan suara dari gabungan sinyal audio dan video (Dictionary of Media Studies, 2006: 235). Kemunculannya dalam sejarah ditemukan melalui proses yang
*
Dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. e-mail:
[email protected]
109
panjang dari riset ilmiah para ahli dalam teknologi listrik, telegraf, fotograf dan gambar bergerak. Berdasarkan jenisnya saja, saat ini televisi layar datar telah diproduksi dalam bentuk LCD (liquid crystal display/penampil kristal cair), LED (light-emitting diode/diode pancaran cahaya) ataupun Plasma tv, dan dipastikan akan berkembang lebih canggih lagi dalam waktu tidak lama lagi. Pendek kata, televisi dapat disebut sebagai salah satu produk teknologi yang paling mengagumkan, baik ditilik dari aspek jenis, isi ataupun kajian terhadapnya yang berkembang secara signifikan. Atas dasar itulah, televisi menjadi sangat mempesona, sehingga begitu banyak orang merasa terhibur dengannya. Pelbagai program menjubeli layar kaca tanpa jeda dan merampas perhatian khalayak untuk menontonnya. ―Kotak ajaib‖ itu tampak begitu perkasa untuk menghibur siapa saja. Karenanya, ia menjelma menjadi semacam industri informasi dan hiburan. Tetapi televisi tidak saja menyuguhkan informasi, lebih dari itu ia dapat memproduksi kesenangan, kebencian dan kepanikan bagi khalayak dengan sentuhan konstruksi ataupun distorsi atas realitas dalam apa yang sering disebut sebagai ―industri hiburan‖ atau ―pabrik pencitraan‖. Ia menjadi ‗malaikat‘ yang menyelamatkan orang banyak untuk dapat merasa (ny)aman dalam keimanannya melalui literasi media, tetapi sebaliknya ia juga bisa menjadi ‗setan‘ yang menyesatkan karena merasakan kehampaan ruhani dan penggerusan daya kritis yang tercipta dalam arus berita yang tak lagi dapat terbendung. Arus deras informasi dan hiburan tersebut mau tidak mau dapat menyeret khalayak dalam pengasingan diri yang berlangsung terus-menerus, dalam situasi asing dimana kesadaran dilenyapkan dan kritisisme dengan demikian dikubur hidup-hidup. Di satu sisi, khalayak dipaksa menikmati televisi dalam keintimannya yang bodoh, palsu dan dangkal. Tetapi di sisi
110
lain, khalayak dapat merasakan kehadirannya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya, sehingga televisi seolah-olah telah menjadi barang yang wajib adanya bagi kebutuhan rumah tangga. Saya masih percaya jika ada orang yang mengatakan, bahwa belum lengkap rasanya bila tidak terdapat televisi di dalam rumah. Meskipun saat ini, tidak harus memiliki televisi dalam ujud yang sebenarnya, karena menonton televisi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon genggam ataupun komputer. Televisi benar-benar telah mengisi keseharian kita dengan serbuan hiburannya yang tiada henti. Sebagaimana digambarkan oleh Graeme Burton (2011: 2) bahwa televisi merupakan fenomena kultural sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah khalayak di dalam rumah. Televisi dapat berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya yang kokoh, bahkan seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Ketika mengurai penjelasannya dalam The Disappearence of Childhood, Neil Postman (2009: 150) menegaskan bahwa televisi berwatak bias terhadap citraan visual yang menantang. Menurutnya, tidak penting bahwa seorang pembaca berita televisi menangkap makna dari apa yang diberitakan, banyak dari mereka bahkan tidak bisa menampilkan mimik yang sesuai dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Yang penting adalah bahwa khalayak menyukai wajah-wajah mereka, para pembaca berita televisi hampir semuanya muda dan cantik. Bahkan ia mengkritisi pelbagai acara televisi yang tidak lain adalah sebuah pertunjukan, sebuah dunia rekayasa dan fantasi yang ditata secara hati-hati untuk menghasilkan suatu rangkaian efek khusus sehingga khalayak hanya bisa tertawa, menangis atau terpaku (Postman, 2009: 154). Apa yang dikritisi Postman benar adanya, berdasarkan angka rating, industri televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga
111
mengabaikan kode etik jurnalistik. Dalam wacana publik, televisi menjadi bahan kajian dan pembicaraan luas yang tak pernah tuntas, terutama jika sudah mengarah pada efek negatif yang ditimbulkannya. Kecaman berlimpah ditimpakan pada televisi, karena berdasarkan penelitian dan survei yang banyak dilakukan di seluruh dunia membuktikan bahwa televisi lebih banyak menimbulkan dampak negatifnya daripada positifnya. Meskipun kecaman banyak dilontarkan, hal itu tidak mengurangi aktivitas penyiaran televisi untuk terus menambah program-program variatif yang lebih menarik lagi untuk ditonton. Seperti sudah dimafhumi, bahwa aktivitas menonton adalah hak semua orang. Persoalannya adalah bagaimana proses dialog yang imbang dan kritis dapat dilakukan oleh khalayak terhadap televisi? Kalau begitu, televisi mau diapakan atau bagaimana seharusnya sikap khalayak terhadapnya? Teknologi yang Mengerti Anda Arus deras kecaman, kalau boleh dibilang kritik, terhadap televisi dapat diterima dengan akal sehat, setidaknya sampai batas tertentu dimana televisi telah kelewat batas dengan kemampuannya untuk menumpulkan dan memanipulasi kesadaran massa. Lepas dari itu, arus balik pembelaan yang setimpal terhadap televisi dapat memberikan wacana tanding yang berbeda. Logika atas televisi dikemukakan dengan gigih oleh Dominique Wolton (2007: 81) yang mengakui televisi sebagai ―kemenangan tanpa legitimasi‖. Baginya, televisi mempunyai kekuatan dan kelemahannya sekaligus. Kekuatan televisi terletak pada kepopulerannya, sedangkan kelemahannya terletak pada kenyataan bahwa dia tidak memiliki legitimasi di kalangan elite kultural.
112
Tak dapat disangkal bahwa semua orang tahu benda apa itu. Tidak berhenti sampai di situ, televisi telah mendorong nalar-nalar kritis untuk memberondongnya dengan perspektif dan tafsir yang menohok. Kajiankajian mutakhir memperbincangkan televisi dengan lebih ―sadis‖. Sebagian di antara para kritikus menyebut benda itu sebagai sampah, tidak penting, merusak generasi muda dan tempat bagi tumbuh dan suburnya selera kapitalis. Apa mau dikata, itulah kenyataan yang dihadirkan oleh televisi yang tengah dan terus menjamah hidup kita sehari-hari. Di balik kecaman dan kritik terhadapnya, televisi diam-diam masih dilirik dan dipergunjingkan di pelbagai forum ilmiah. Bahkan karenanya, lahir banyak karya popular dan berbobot sebagaimana memenuhi dapur wacana cultural studies. Dapat dikatakan bahwa televisi benar-benar hadir penuh kesenangan, sebab dia membantu jutaan orang di seluruh dunia untuk menikmati hidup ini, memperoleh hiburan yang mereka sukai dan memahami dunia dengan lebih baik. Wolton (2007: 82) bahkan tidak segan-segan menyindir para kritikus televisi dengan menegaskan bahwa keliru jika dikatakan bahwa penonton televisi menjadi korban dari apa yang ditontonnya, dan jika mereka menjadi korbannya itu karena mereka ingin menjadi korban. Intinya, jangan salahkan televisinya. Bahwa menonton itu bukan berarti secara paksa tunduk pada apa yang ditontonnya. Apa jadinya hidup kita tanpa televisi yang jelasjelas dapat dipergunakan untuk mengakses dunia dan memahaminya? Seseorang bebas mendapatkan informasi terkini tentang apa saja yang aktual untuk dibicarakan. Wolton memuji televisi sebagai sesuatu keberhasilan yang hebat, nyata dan menjadi tantangan bagi masyarakat terbuka. Meskipun ada yang mengeluhkan buruknya berbagai program televisi, toh dia tetap ditonton juga.
113
Sekedar menyebut salah satu contoh di antara acara televisi yang menarik adalah film anak-anak. Begitu sore tiba, anak-anak sudah siap di depan televisi untuk menyaksikan film yang sedang mereka tunggu-tunggu. Mereka tampak sangat menikmati saat menonton film kartun anak-anak yang berjudul Avatar the Legend of Aang. Pada faktanya, tak hanya anak-anak, tetapi orang dewasa pun juga terkagum-kagum dengan petualangan tokoh Aang. Menilik ceritanya, bahwa sebenarnya istilah ―avatar‖ itu berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Avatāra, yang berarti ―turun‖. Dalam mitologi Hindu, para dewa memanifestasikan dirinya dengan turun menjelma ke dunia untuk mengembalikan keseimbangan di muka bumi setelah mengalami zaman kejahatan, dan mereka disebut Sang Avatar. Aksara Cina yang muncul di atas kata ―Avatar‖ pada pembukaan cerita berarti ―Perantara Tuhan yang turun ke dunia fana‖. Avatar: The Legend of Aang (bahasa Indonesia: Avatar, pengendali angin terakhir; dikenal sebagai Avatar: The Last Airbender di Amerika Serikat dan beberapa negara) adalah sebuah serial animasi televisi Amerika yang ditayangkan oleh jaringan televisi Nickelodeon. Selain film itu, anak-anak juga akrab dengan film Spongebob Squarepants dan Dora the Explorer yang diputar berulang kali pada pagi dan sore hari. Menonton film anak-anak sekilas tampaknya cuma membuang-buang waktu saja, tetapi ada satu hal yang menarik bahwa film anak-anak kenyataannya juga menarik dan layak ditonton oleh orang dewasa. Ada makna tersendiri tatkala menikmati film ini. Tak perlu pemahaman yang cukup soal sejarahnya, siapapun dengan bebas dapat menarik kesimpulan kalau avatar memang layak untuk ditonton. Dalam konteks ini, avatar dapat mewakili salah satu model hiburan di televisi.
114
Bahkan dua filsuf Jerman terkemuka, Adorno dan Horkheimer juga menaruh perhatian khusus pada film kartun, misalnya ketika mereka mengkritisi Donald Bebek dalam hubungannya dengan kenikmatan dalam kekerasan di kehidupan nyata para khalayaknya yang sudah mulai terbiasa. Respon kritis duet filsuf mazhab Frankfurt tersebut tertuang dalam bukunya Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments
(Adorno dan
Horkheimer, 2002: 110). Di samping kenikmatan terhadap tayangan tersebut, harus diakui bahwa kemudian akan muncul persoalan baru, misalnya bagaimana bila seseorang telah kecanduan menonton pelbagai hiburan lainnya di televisi? Adakah cara terbaik yang dapat dilakukan agar khalayak yang terdampak tontonan televisi dapat bersikap kritis terhadap media yang satu ini? Barangkali memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Neil Postman (1985) bahwa televisi menjadi sarana ampuh yang dapat menghibur diri kita sampai mati. Setiap saat kita dapat menonton televisi dan menikmati segala macam programnya. Bahkan saat ini setiap orang dapat menonton televisi di manapun dia mau, di dalam mobil atau dari layar hand phone. Televisi siap menemani penonton setianya selama dua puluh empat jam penuh setiap hari. Kalau televisi begitu kuasa menutup lobang waktu senggang khalayak dengan berbagai programnya, maka tidak heran jika hegemoni televisi terhadap khalayak begitu nyata. Jika khalayak bersikap pasif, maka televisi secara bebas dapat membentuk lingkungan sosial dan intelektual khalayak dalam pola satu arah. Karenanya, agar tidak terjebak dalam ―teror‖ televisi yang tiada henti, Postman mencoba membedakan terlebih dahulu antara teknologi dengan
115
medium, setidaknya untuk memahami tentang apakah televisi itu. Ia mengibaratkan teknologi seperti otak, sedangkan medium itu adalah pikirannya. Teknologi hanyalah sebuah mesin. Medium adalah suatu lingkungan intelektual dan sosial yang diciptakan oleh mesin (Postman, 1985: 84-85). Jadi untuk menjawab apakah televisi itu, Postman lebih menitikberatkan pembicaraannya pada keyakinannya bahwa televisi sebagai teknologi bukan sebagai medium. Dengan
menempatkan
televisi
dalam
pengertian
teknologi,
memungkinkan khalayak untuk terhindar dari posisi terdampak televisi secara pasif dan mengambil posisi aktif untuk memberikan respon balik yang kritis pada setiap tayangannya. Jika pada posisi medium, perangkap aforisme McLuhan menjadi sulit untuk dilepaskan. Apa yang dipikirkan Postman merupakan tafsir kritis atas aforisme atau diktum determinisme teknologis Marshall McLuhan yang terkenal: the medium is the message (medium adalah pesan). Setiap medium, menurut Postman (1985: 10), seperti halnya bahasa, seharusnya memungkinkan adanya suatu model wacana yang unik denan menyediakan orientasi yang baru bagi pemikiran, ekspresi, dan sensibilitas. Hal ini dimaksudkan agar tidak rancu antara pesan dengan metafora. Sehingga, logis bagi Postman, the medium is the metaphor. Lebih keras daripada Postman, Raymond Williams menyindir rumusan McLuhan yang tidak lebih dari sebentuk formalisme yang sederhana. Menurutnya, karya McLuhan menempatkan medium televisi sebagai sesuatu yang mendeterminir: dari determinisme teknologis merembet kepada determinisme sosial dan budaya.
116
Uraian inilah yang menggarisbawahi prinsip utama Williams (1990: 1) untuk mengawali bukunya kata-kata: ―televisi telah mengubah dunia kita.‖ Bagi Williams, ada dua pandangan penting mengenai teknologi televisi. Yang pertama ialah pandangan determinisme teknologis yang mengatakan bahwa televisi dan berbagai teknologi baru telah menciptakan manusia modern beserta situasinya. Televisi adalah hasil temuan riset ilmiah dan teknik. Kekuatan televisi sebagai media berita, hiburan dan komunikasi sosial begitu besar sehingga mampu mengubah berbagai bentuk relasi sosial kita. Sedangkan yang kedua yaitu pandangan teknologi sebagai gejala yang televisi sebagai medium atau gejala-gejala dari suatu proses perubahan sosial yang berlangsung. Dengan kata lain, setiap teknologi adalah produk samping dari suatu proses sosial yang tidak ditentukan oleh teknologi tersebut (Williams, 1990: 3-5). Di luar kedua pandangan besar tersebut masih terbuka ruang yang luas untuk menghadirkan suatu bentuk penafsiran yang lain yang memungkinkan pandangan yang lebih terbuka dan objektif tentang teknologi televisi. Dampak Televisi: Pembodohan dan Pengasingan Setidaknya pandangan yang diwakili oleh Postman dan Williams di atas memberikan bekal bagi setiap aktivitas menonton dari khalayak untuk lebih kritis dan tidak menerima serta merta medium televisi yang deterministik. Karena di dalam medium ini banyak sekali hal-hal yang mendeterminir wacana publik dalam proses sosial dan budaya. Sekedar contoh, sebut saja dunia selebritas misalnya, semakin dikupas makin tak pernah tuntas, berita yang sepertinya tak pernah ada habishabisnya. Memang benar televisi benar-benar setia setiap saat menghibur
117
khalayak sampai mati. Suguhan tontonan yang dilakukan oleh para selebritas di televisi, baik dalam acara reality show, infotainment dan soap opera cukup menguras dan menyedot perhatian dan waktu khalayak. Kita semua sebagai khalayak, baik dalam pengertian aktif maupun pasif, membenci atau menggandrungi selebritas, mau atau tidak mau, pasti pernah terlintas dalam benak kita tentang nama-nama selebritas ternama. Secara tidak langsung kita telah mengkonsumsi berita dan hiburan yang mereka suguhkan di sepanjang hari dalam kehidupan kita. Kita telah menjadi konsumen berita infotainmen yang menghibur itu. Kegandrungan masyarakat pada dunia selebritas yang demikian besar, mengusik nalar sehat kita untuk mengungkapkan lebih dalam lagi tentang realitas yang sesungguhnya di balik ketenaran para selebritas tersebut. Salah satu sisi yang menarik dicermati dari para selebritas ialah seperti dipaparkan oleh Boorstin, bahwa mereka membangun kapasitasnya untuk ngetop, sebenarnya bukan dengan jalan pencapaian sesuatu yang hebat, melainkan dengan cara membedakan kepribadian mereka dari yang lain, yaitu dari para kompetitor mereka di arena publik (Graeme Turner, 2004: 5). Tindakan membedakan kepribadian dari yang lain tersebut dilakukan dengan memunculkan keunikan atau tingkah pola yang belum pernah dilakukan oleh selebritas manapun sebelumnya. Tingkah pola itu dapat disebut sebagai peran atau memerankan dirinya dengan membedakan diri dari orang lain. Dalam banyak hal, cara membedakan diri inilah yang membuat seseorang tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalihnya tidak lain karena tuntutan peran. Dengan demikian, seseorang bisa memainkan peran menjadi antagonis, protagonis, melankolis, banci, jagoan, dan sebagainya. Tergantung dari cara bagaimana kepribadian itu ―dibentuk‖. Jadilah para selebritas tersebut sebagai publik figur.
118
Kepribadian baru yang unik itulah yang melahirkan sosok ―fenomenal‖
di
dalam
pergunjingan
khalayak.
Seolah-olah
sudah
membudaya bahwa menu gossip sehari-hari yang mereka obrolkan bertemakan tentang selebritas. Karenanya, massa tak dapat membendung rasa ingin tahu mereka tentang sosok selebritas yang sudah menjadi publik figure, apalagi yang tengah santer digosipkan dalam infotainment. Oleh karenanya, begitu sebuah berita tentang seorang artis mencuat ke permukaan dan menjadi bahan gosip dalam acara infotainment, masyarakat sebagai khalayak akan setia menemani layar kaca sampai berita yang mereka dapatkan dinilai telah cukup, atau mungkin sekedar ingin tahu saja. Bahkan belum cukup rasanya kalau hanya menonton berita infotainment di televisi, sehingga mereka pun rela membelanjakan uang mereka untuk membeli majalah dan tabloid yang berkaitan dengan selebritas. Rasa keingintahuan, penasaran dan ketagihan inilah yang menciptakan situasi dan kondisi alam berpikir masyarakat kita, bahkan juga gaya hidup (life style) yang dikonstruksi oleh media televisi. Televisi menyuguhkan setidaknya ada tiga yang paling penting berdasarkan kategori program acara selebritas, yaitu: (1) infotainment; (2) reality show (termasuk juga talk show), dan (3) soap opera. Sekedar contoh, dalam infotainment ditayangkan beberapa tayangan gosip seperti: Insert TransTV, Silet, Ada Gosip, Celebriti Update, Espresso ANTV, Kasak Kusuk, Kassel TPI, Kroscek, Obsesi Global TV dan Silet. Sedangkan dalam Reality Show ada: Dangdut Mania, Indonesian Idol, KDI, Mamamia, Stardut, Super Soulmate dan Super Twin, dalam Talk Show ada: Belum cukup Gede, Ceriwis, Dorce Show, Empat Mata, Hitam Putih, dan Silat Lidah. Kemudian dalam Soap opera misalnya ada: Office Boy (OB) di RCTI dan Kejar Tayang di Trans TV.
119
Di channel Trans TV saja, acara gosip selebritas yang dinamai Insert ditayangkan sampai tiga kali dalam sehari dimulai hari Senin-Minggu, yaitu pada jam 06.30 (Insert Pagi), Insert Siang jam 11.00 (Insert Siang), dan jam 16.30 (Insert Sore). Ini berarti, seperti halnya waktu makan kita bisa diatur oleh televisi sedemikian pastinya. Menonton acara Insert menjadi hal biasa bagi keluarga, hal itu dapat diibaratkan seperti makan tiga kali dalam sehari. Demikian padat dan pesatnya perkembangan acara hiburan di televisi sehingga memasuki ruang dan waktu khalayak terlalu dalam. Televisi menghibur dengan berbagai tayangan, yang seperti kata Adorno dan Horkheimer membodohkan. Kesenangan yang ditawarkan media hanyalah berupa kebohongan-kebohongan semata, bahkan lebih dari itu, televisi mempunyai dampak pengasingan. Penting dipahami bahwa media televisi pada kenyataannya dapat mengasingkan diri khalayak dari kehidupan nyatanya dan memperlakukan semua penonton sama tanpa terkecuali (Keith Tester, 1994: 57). Dialog Media Televisi Selalu Monolog Apa yang diuraikan oleh Postman dan Williams sebenarnya menegaskan bahwa media televisi berimplikasi terhadap nilai moral dan khususnya budaya. Medium televisi yang deterministik membenarkan penciptaan dan perubahan nilai moral dan budaya dalam masyarakat. Jauh sebelum Postman dan Williams mengkritisi determinisme teknologis, Adorno dan Horkheimer telah lebih dulu menyamakan media dengan barbarianisasi kemanusiaan, nilai seni, sastra dan semua hal lain yang seharusnya punya makna penting. Menurut mereka, kesenangan yang ditawarkan televisi tidak lain hanyalah berupa kebodohan-kebodohan.
120
Rekan mereka yakni salah satu filsuf masyhur dari Mazhab Frankfurt, Herbert demikian
Marcuse itu
menyebutkan
pada
dasarnya
bahwa
kesenangan-kesenangan
yang
adalah
sebentuk
yang
penindasan
membahagiakan atau apa yang sering dikenal sebagai ‖desublimasi represif‖. Budaya industri membuat kita tidak bisa berimajinasi tentang adanya kemungkinan perbedaan kualitatif yang signifikan, misalnya bagaimana membedakan antara seorang selebritas dengan dirinya sendiri sebelum menggenggam ketenarannya. Bahwa beberapa hubungan sebab dan akibat serta aksi dan respon diasumsikan terdapat dalam hubungan antara televisi dan khalayak. Ketika membahas tentang media dalam bab The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, Adorno dan Horkheimer (2002: 128-136) menegaskan bahwa dialog media televisi betul-betul sebuah monolog pada pihak budaya industri. Setidaknya ada tiga persoalan penting yang mereka berdua rumuskan: pertama, bahwa budaya industri melihat dan menciptakan khalayak tunggal, kedua, khalayak monolitik yang tunggal dari budaya industri ini adalah massa yang pasif dan ketiga, bahwa massa khalayak tunggal masing-masing individu merasa asing dengan individu lainnya. Bagi mereka, media komunikasi modern punya dampak pengasingan, bukan sekedar paradoks intelektual. Media mengubah kita menjadi individu yang terasing. Media melakukan hal ini pada semua orang tanpa kecuali. Paradoks yang mereka sorot mempunyai dua komponen: pertama, paradoks itu berarti kita mengalami media itu seorang diri, dan kedua, ia berarti media memperlakukan kita seolah-olah kita semua sama. Media memiliki dampak menurunkan level semua individu, sehingga dari sudut pandang budaya industri, semua individu tersebut betul-betul sama dalam semua hal penting.
121
Proses penurunan level khalayak ini secara khusus dapat dicermati dengan sangat jelas dalam kasus pemujaan terhadap selebritas atau seorang bintang film. Tren hidup selebritas, sebut saja contoh seorang bintang film, memiliki mekanisme sosial yang sudah menyatu untuk menurunkan level semua orang yang menonjolkan diri dengan cara apapun. Televisi dapat mengisahkan kepada khalayak bahwa artis atau bintang film itu benar-benar cantik dan memiliki kemampuan untuk ―menghipnotis‖ lawan jenisnya. Artis atau bintang film sebagaimana dirasukkan oleh televisi telah menjadi contoh yang harus khalayak ikuti. Di sinilah letak proses penurunan level itu, bahwa jika selebritas itu tidak diikuti dengan baik sebagaimana gaya hidup dan penampilan yang dicontohkan olehnya, maka kita akan menjadi orang yang tidak menarik atau orang yang mempunyai penampilan seksual sangat jelek. Kuno, ketinggalan jaman dan tidak mengikuti tren (unfashionable). Dengan demikian, seperti kata Tester (1994: 60) bahwa semua khalayak direduksi sampai ke tingkat dimana kita menjadi sama seperti selebritas yang satu atau selebritas lainnya. Media menantang semua yang menonjolkan diri sebagai sesuatu yang berbeda darinya. Demi kepentingan media dalam membentuk dan mempertahankan kepasifan dan ketradisionalan khalayak, semua perbedaan sosial budaya, semua hubungan dan aktivitas yang spesifik dan semua aktivitas yang menjadikan kita seperti sekarang, menjadi sesuatu yang akan dimarjinalkan. Khalayak betul-betul dalam proses dibodohkan terus-menerus. Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa televisi terus berusaha membodohi kita dengan cara memaparkan kepada penontonnya agar senantiasa terjaga untuk terus berusaha memperbaiki diri dalam rangka menyerupai diri dengan tuntutan budaya industri. Karenanya, penonton tergiring kesadarannya ke arah antusiasme untuk mencari, mengoleksi dan
122
membaca pelbagai buku manual tentang perbaikan diri atau biografi selebritas untuk bisa mendapatkan tips agar menjadi orang yang sukses, atau kita menyesuaikan diri dengan membuat alasan yang dibolehkan kolom astrologi. Media televisi memperlakukan kita sebagai bagian dari massa, dan memaksa kita untuk bertindak dan berpenampilan seperti orang lain. Khalayak dikutuk untuk menubuhkan selebritas kesukaannya di dalam nalar-nalar dan kesadarannya. Di hadapan media televisi, kita selalu dalam ancaman pembodohan dan bayang-bayang kesenangan yang berlangsung terus menerus. Kita begitu lemah di hadapan budaya industri, akibatnya kita mengidolakan selebritas, khususnya ketika mereka muncul sebagai tokoh yang perkasa. Tetapi tentusaja para selebritas juga menjadi korban dari budaya industri. Dengan adanya media televisi, kita jadi lupa bagaimana berbicara satu sama lain. Media televisi telah mengubah massa khalayak menjadi sekumpulan individu yang terisolasi dan dengan demikian media memainkan peran dalam meninggalkan ikatan moral
yang
menghubungkan kita bersama. Media telah menghancurkan ikatan solidaritas sosial dan moral. Kemajuan membuat manusia ―terpisah-pisah‖. Khalayak itu penting sebenarnya karena proses dehumanisasi yang dilancarkan dan telah menimpa dirinya. Khalayak seharusnya menjadi teman dalam sebuah dialog. Bukannya dialog, media malahan tidak melakukan apa-apa selain monolog yang membuat individu tetap berada dalam keadaan khalayak terasing dari yang lain. Media mengasingkan individu dari yang lainnya dalam pengertian moral dan sosial sehingga membuat khalayak tak kuasa memberikan umpan balik (Tester, 1994: 63-65). Televisi telah melahirkan sebentuk hiburan yang menyebabkan kerusakan moral atas kebudayaan. Industri hiburan atau dalam apa yang sebut Adorno dan Horkheimer sebagai ―industri kebudayaan‖, telah
123
merampok kesadaran khalayak atau konsumen untuk dibius dalam programprogram yang penuh dengan omong kosong. Kekuataan posisi industri kebudayaan sangat menentukan seberapa besar kebutuhan konsumen. Bahkan lebih dari itu, sikap abai nalar kritis atas serbuan industri kebudayaan dapat melumpuhkan konsumen dan membuatnya terdisiplinkan secara tak sadarkan diri. Industri kebudayaan akan terus memberikan undangan terbuka kepada khalayak untuk mengikuti kesenangan-kesenangan yang ditawarkan. Dapat dibayangkan, khalayak lebih taat dan dapat mendengarkan dengan baik pesan-pesan industri kebudayaan daripada pesan-pesan teologis agamanya sendiri, lebih mau menyesuaikan diri dengan bujuk rayu televisi daripada nasehat orang tua atau gurunya, lebih merasa iba dengan program menghibur orang miskin yang cuma bersifat sementara itu daripada programprogram pengentasan kemiskinan yang lebih nyata dan berjangka panjang. Dengan fakta itu, perlawanan terhadap industri kebudayaan dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang sia-sia. Apalagi melihat di antara mereka yang terlibat langsung sebagai anggota komisi penyiaran pusat ataupun daerah yang semakin mahir memainkan teori-teori media dan komunikasinya untuk menjustifikasi pelbagai tayangan yang seharusnya dilarang atas dalih rating atau tingkat kepuasan konsumen, rasionalisasi hiburan ataupun pemenuhan kebutuhan publik. Inilah faktanya, bahwa industri kebudayaan benar-benar telah menyebarkan kepalsuan atau kebohongan yang menyenangkan dan diterima luas oleh banyak orang. Terkadang setiap kritikus televisi juga telah tumbuh di kepalanya kemauan untuk ditindas oleh televisi. Pada saatnya, kritik itu akan dibeli juga oleh media untuk diakunya sebagai bentuk akomodasi dan keterbukaan, meskipun pada gilirannya, proyek utama media tersebut adalah pengasingan dan pembodohan. Kesimpulan
124
Terjadinya pengasingan dan pembodohan ini adalah konsekuensi dari posisi televisi yang terlibat aktif menghibur khalayak. Dalam arti bahwa televisi dapat dengan leluasa memberikan inspirasi atau model mulai dari yang palign remeh temeh seperti menu sarapan terlezat sampai dengan gaya hidup selebritas yang menggoda untuk diikuti. Inilah sebentuk upaya sapaan atau respon televisi terhadap khalayak yang sebenarnya menipu. Industri hiburan, dengan demikian, akan selalu menipu khalayak dengan janjijanjinya secara abadi. Kesenangan yang diberikan media itu tidak lain adalah pengasingan tanpa batas. Yang perlu disadari justru adalah bahwa teks televisi sebenarnya bersifat dialogis dan selalu memprovokasi respon dari khalayaknya. Dialog teks televisi dapat dianggap serupa dengan ceramah atau kuliah akademis. Sehingga dalam anggapan demikian, khalayak dapat memberikan umpan balik kritis dalam perdebatan budaya yang secara tidak langsung ditawarkan oleh dialog media itu yang senantiasa mentransmisikan pesannya secara monolog. Industri kebudayaan akan selamanya dalam masa kejayaannya selama nalar-nalar kritis khalayak lelah melakukan tugasnya untuk terus melawan.
125
DAFTAR PUSTAKA Adorno, Theodor W. dan Max Horkheimer. Enlightenment: Philosophical Fragments. Stanford University Press
2002. Dialectic of Stanford, California:
Dictionary of Media Studies .London: A & C Black, 2006 Burton, Graeme. 2011. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian Televisi, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. New York: Penguin Books Postman, Neil. 2009. Selamatkan Anak-anak, terj. Sita Hidayah . Yogyakarta: Resist Book Tester, Keith. 1994. Media, Culture and Morality. London: Routledge Turner, Graeme. 2004. Understanding Celebrity.(London, Thousand Oaks, dan New Delhi: Sage Williams, Raymond. 1990. Television: Technology and Cultural Form (London: Routledge. Wolton, Dominique. 2007. Kritik atas Teori Komunikasi: Kajian dari Media Konvensional hingga era Internet, terj. Ninik R.S. Yogyakarta: Kreasi Wacana
126