Telah dimuat dalam Jurnal Kajian Sosial Interdisipliner Bina Darma, Volume XXIV No. 71, Mei 2006
SUMBANGAN PRINSIP-PRINSIP ETIK GLOBAL DALAM KRISIS KEMANUSIAAN MASYARAKAT MODERN Oleh Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si ℜ Abstract Normlessness. Anomie. Is this how modernity look like? Or is there any ‘positive’ thing that able to represent the nowadays era? Undeniable, that modern era (together with technology development as a tool) has made time and space smaller. Everything is available easily and quickly. Practical, fast, pragmatism, and satisfaction have become a slogan to modern human being. Therefore value and ethic that have humanism nuances become secluded. The problem is, human being is alienated from others, environment, even to himself. There is no time to ponder, to reflect. In order to find life meaning that is more essential, for people himself as for others. Religion as an entity that is full with sacred rules and moral doctrine, has not proven good enough to drive people to be a better person. What is happening is that religion destroys human interaction. Therefore, new offer emerges, that is a new global consensus that based on humanity spirit and equality. That offer needs to be accepted immediately. Keywords Modernization, humanity crisis, global ethic
0. Pendahuluan “bagaikan mercusuar yang memandu para pelaut menuju pantai, ‘pembangunan’
berdiri sebagai idea yang mengarahkan bangsa-bangsa yang baru saja merdeka untuk menempuh perjalanan sejarah pasca perang. Entah itu negara-negara demokratis maupun diktator, negara-negara Selatan memaklumkan ‘pembangunan’ sebagai aspirasi utama, setelah mereka dibebaskan dari penjajahan. Empat dekade kemudian, baik pemerintah maupun warga negara masih tetap mengarahkan mata mereka kepada mercusuar itu yang semakin jauh: setiap usaha dan tumbal dibenarkan untuk mencapai tujuan itu, akan tetapi mercusuar ini keeps on receding the dark” 1
Ironis! Kata ini sangat tepat untuk melukiskan kenyataan yang sedang kita alami saat ini. Kita hidup dalam alam dan semangat yang sangat menjunjung tinggi dan mengagungkan kemajuan. Setiap jengkal wilayah Bumi dalam hitungan waktu yang singkat dapat segera di
ℜ
Adalah staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga St. Sunardi, Keselamatan Kapitalisme Kekerasan:Kesaksian atas Paradoks-paradoks (Yogyakarta:LkiS,1996) hal. 74-75
1
jelajahi, Bumi terasa kian sempit. Belum lagi perkembangan dan kemajuan teknologi yang senatiasa mencengangkan kesadaran kita. Namun di sisi lain, kita juga diperhadapkan dengan wajah lain dari perkembangan ini, yaitu krisis kemanusiaan. Renggangnya ikatan sosial dalam keluarga dan masyarakat, tindak kekerasan yang kian marak dalam berbagai bentuk (termasuk yang mengatasnamakan kemajuan dan modernisasi), krisis ekologi, dan berbagai
bentuk
krisis
lainnya,
telah
mencerminkan
tiadanya
penghargaan terhadap manusia dan alam. Kemajuan demi kemajuan diraih oleh manusia. Segala daya dan upaya (dengan ‘bahan bakar’ need of achievement yang tinggi) yang ditunjang dengan kemajuan teknologi, telah menghasilkan begitu banyak penemuan-penemuan baru yang dapat digunakan untuk mempermudah manusia menjalani kehidupannya. Atas nama pembangunan, modernisasi (dengan teknologi sebagai tool-nya) mendapat tempat yang sentral dalam kehidupan umat manusia. Seakan tiada lelah, manusia berlomba untuk menjadi yang terbaik dengan menciptakan dan menghasilkan sesuatu yang baru dan jauh lebih unggul. Proyek modernisasi telah menjadi jiwa kolektif manusia saat ini. Atas
nama
modernisasi
dan
pembangunan,
manusia
semakin
mengukuhkan predikatnya sebagai homo homini lupus. Saling sikut dan menyingkirkan sesama adalah hal yang biasa. Human cost tidak mendapat prioritas untuk dipertimbangkan. Dunia moden dengan segala kisah suksesnya, agaknya kurang memberi bekal kepada manusia sehingga banyak orang yang gagap dan tersesat di tengah kemajuan dan kemodernannya. Manusia menjadi mahluk yang lebih praktis dan pragmatis. Sikap ini menunjuk pada tindakan
yang
serba
mempertimbangkan
nilai
kegunaan,
tanpa
mempertimbangkan benar atau salah dari tindakan itu. Selain itu,
manusia lebih hedonis, dalam arti keserakahan dan ambisi menjadi utama dan mengabaikan kepentingan sesama 2 . Jika demikian halnya, apa yang patut dibanggakan dengan kehidupan modern saat ini, ketika pencerahan akal budi dan kehormatan terabaikan? Masih bisakah humanisme menjadi sandaran moral manusia modern,
manakala
krisis
kemanusiaan
bermekaran
dan
menjadi
panorama keseharian hidup? Patokan logika dan empiris apa lagi yang patut menjadi acuan, ketika manusia kehilangan makna hidup dan rentan terserang penyakit kehidupan? Masih adakah pijakan moral-etis yang dapat digunakan manusia untuk membangun empati kolektif dengan sesama dalam masyarakat plural, ketika agama dan nilai-nilainya justru sering digunakan untuk memberangus mereka yang dianggap beda?
I. Pemberontakan Manusia: Modernisasi Krisis monumental yang menjadi pintu masuk manusia menuju peradaban modern terjadi pada abad V, yang ditandai dengan semangat pencerahan. Suatu masa yang memungkinkan manusia untuk melakukan demitologisasi terhadap realitas sekaligus membawa umat manusia ke dalamnya. Pencerahan membuat manusia mampu menjelajah realitas secara bebas dengan menggunakan cara tidak pernah diimpikan sebelumnya 3 . Modernisasi merupakan wujud pemberontakan manusia atas penguasaan alam. Sekaligus pemberontakan terhadap otoritas dan kontrol agama. Sepere aude! Hendaklah anda berani berfikir sendiri! Semboyan ini bergema keras diabad delapan belas, yang dalam sejarah Barat dikenal sebagai jaman aufklarung, jaman ketika manusia gandrung dengan akal budinya. Aufklarung berarti pencerahan yang diberikan oleh jaman itu 2
Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999) hal. 35-36 Hikmat Budiman, Pembunuhan yang Selalu Gagal:Modernisme dan Krisi Rasionalitas Mneurut Daniel Bell (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997) hal. 21
3
karena manusia mencari cahaya dalam akal budinya 4 . Namun perlu diperhatikan pendapat Horkheimer, bahwa aufklarung tidak dapat dilihat dalam penggalan abad delapan belas, namun pada umumnya telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu ketika manusia mencoba mencari pengertian rasional pertama seperti yang dirintis olef filsuf-filsuf Yunani dari Yonia 5 . Semangat pencerahan ini semakin terlihat sebagai peristiwa bercerainya agama dengan filsafat 6 . Padahal pada abad 17, filsafat rasionalisme pernah berdamai dengan agama, sebab agama tidak dipandang sebagai kompetitor di bidang kebenaran oleh filsafat, malah filsafat membantu agama untuk mencari dasar rasional bagi kebenaran agama 7 . Jadi, baik agama maupun filsafat sama-sama mengandaikan adanya realitas terakhir yang sama dan obyektif. Namun pengandaian yang sama itu justru akar dari perselisihan antar mereka. Sebab pengandaian tersebut didasarkan pada otoritas yang berbeda, agama berdasarkan wahyu atau lumen supra naturale, sedangkan filsafat bertolak dari akal budi atau lumen naturale 8 . Semangat pencerahan teraktualisasikan secara sosial politik- yang didahului dengan penemuan mesiu, kompas, dan teknik cetak 9 - dengan meletusnya
revolusi
Perancis
sebagai
satuan
simbolik
yang
mengindikasikan pararelitas antara rasio (reason) dan kebebasan (freedom), yakni ketika tatanan politik dan sosial menjadi subyek bagi kritik rasional 10 . Peristiwa itu tidak semata-mata momentum historis yang menandakan pemakzulan kekuasaan Raja yang berkolusi dengan Gereja oleh gegap gempita semangat pencerahan, tetapi merupakan anugerah 4
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional:Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt (Jakarta:Gramedia,1983) hal. 68 5 Sindhunata 1983:97 6 Budiman 1997:27 7 Sindhunata 1983:100 8 Sindhunata 1983:100 9 Hari Hamashera, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern Barat (Jakarta:Gramedia,1986) hal. 3 10 Budiman 1997:30
Tuhan yang akan menciptakan satu bentuk baru dari kemanusiaan. Kemanusiaan sebagai kredo pembebasan manusia modern dianggap termanifestasikan dalam revolusi yang bersemboyankan liberte, egalite, freternite ou la mort, yang merupakan refleksi dari itikad yang kian menguat untuk menjadikan rasio sebagai puncak hirarki pemikiran manusia 11 . Dengan demikian kita melihat yang membedakan era modern dengan era-era sebelumnya adalah adanya kepercayaan atas akal budi yang memungkinkan manusia mendewasakan diri. Dengan kata lain, rasionalitas merupakan identitas manusia modern, sehingga modernitas tidak lain dari proses rasionalitas yang diberlakukan dalam aras kemasyarakatan dan menjadi manusia modern berarti memisahkan diri sekaligus menolak irasionalitas (bahkan hal-hal yang dikategorikan nonrasionalitas) 12 .
Sedangkan
pada
aras
operasional,
modernisasi
merupakan pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke caracara modern yang tertampung dalam pengertian revolusi industri 13 . Atau dalam tinjauan historis modernisasi merupakan satu jenis perubahan sosial sejak abad kedelapan belas, berupa kemajuan ekonomi dan politik dalam beberapa masyarakat perintis, disusul oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat-masyarakat pengikut 14 . Dalam pikiran para cendikiawan, modernisasi setidaknya memiliki 2 segi yang khas. Pertama, adanya asumsi bahwa modernisasi tidak hanya berbeda tetapi juga lebih unggul daripada segala sesuatu yang mendahuluinya. Kedua, adalah banyaknya orang yang beranggapan
11
Budiman 1997:31 Budiman 1997:36 13 J.W. Schrool, Modernisasi:Pengantar SosiologiPembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, terjemahan (Jakarta:Gramedia,1991) hal. 1 14 Beling dan Toten, Modernisasi:Masalah Model Pembangunan, terjemahan (Jakarta:Rajawali,1985) hal. 4 12
bahwa mereka mengetahui secara autoritatif tentang segala beluk modernisasi 15 . Dalam Wilayah sosiologi, konsep modernisasi dapat ditelusuri dalam pemikiran August Comte tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Pertama, tahap agama. Dalam tahap ni gagasan keagamaan digunakan untuk menerangkan semua peristiwa dan fenomena. Kedua, tahap metafisika. Ketika peristiwa dan fenomena tidak lagi dilihat sebagai intervensi langsung dari Yang Maha Kuasa, melainkan oleh alam itu sendiri, meskipun belum ada
bukti empirisnya. Ketiga, tahap
positivisme. Dalam tahap ini peristiwa dan fenomena diterangkan oleh akal budi berdasarkan suatu metode penelitian yang dapat diuji 16 . Ketiga konsep yang disampaikan Comte di atas diikuti dengan rancang bagian sosial, yaitu sikap teologis (tahap agama) mendominasi periode sejarah manusia sampai abad pertengahan, tahap metafisis pada abad keenam belas sampai kedelapan belas yang mengakibatkan ambruknya
sistem
monarki,
menghasilkan
kekuatan
militer
dan
munculnya gagasan-gagasan politis sekunder seperti hak kodrati, kedaulatan rakyat, dan properti. Tahap ilmiah (positivisme) bersifat industrial 17 dan elitis, yang dikontrol tidak oleh imam-imam atau tentara, melainkan oleh para bankir dan teknokrat. Tahap ini akan menyaksikan berakhirnya kelas dan pembagian-pembagian ekonomis, pemapanan kehidupan kota, perencanaan menyeluruh atas kegiatan ekonomi, dan 15
Peter L. Berger, Brigitte Berger, Hansfried Kellner, Pikiran Kembara:Modernisasi dan Kesadaran Manusia, terjemahan (Yogyakarta:Kanisius,1992) hal. 11 16 K.J. Veeger, Realitas Sosial:Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta:Gramedia,1993) hal. 20-22 17 Ciri masyarakat industrial yang dikemukakan oleh Raymond Aron dalam Veeger 1993:26-27 adalah pertama, industri merupakan rasionalisasi proses kerja. Kedua, penemuan-penemuan di bidang ilmu alam yang diterapkan dalam proses-proses kerja. Ketiga, berkembangnya industri mengakibatkan konsentrasi kamu buruh di dekat pabrik dan tambang serta urbanisasi. Keempat, konsentrasi kaum buruh itu mengakibatkan antagonisme (pertentangan) entah masih terpendam atau sudah terbuka antara dua kelas sosial, yaitu kaum proletar dan kaum bermodal. Kelima, rasionalisasi metode kerja tadi membawa rejeki besar bagi sebagian kecil manusia, tetapi kemiskinan yang mencemaskan bagi banyak orang lain. Keenam, muncul liberalisme di bidang ekonomi dengan slogannya laissez faire, laissez aller (biarlah orang berbuat sendiri, biarlah orang mencari jalan sendiri).
akan menandai puncak prestasi moral manusia dalam perkembangan penuh altruisme dan cinta. 18 Namun yang perlu dikritisi di sini adalah janganlah kita memandang ciri-ciri yang sudah dilalui oleh masyarakat di atas sebagai langkah mutlak bagi modernisasi 19 .
II.
Krisis Yang Berkepanjangan Selama dua abad terakhir atau lebih, kaum kuat adalah bangsabangsa yang maju dalam dalam teknologi di Barat. Sebagaimana mereka memaksakan kuasa militer, politik dan ekonomi terhadap sebagian besar dunia, merekapun memaksakan “kata-kata” mereka. Merekalah yang memberikan nama kepada liyan dalam jenis pembaptisan yang negatif. Siapakah liyan itu? Ketika Barat masih berpandangan Kristen, liyan adalah “kaum kafir”, kemudian mereka menjadi “kaum beradab” atau lebih optimistik “kurang beradab”, sebagaimana kekuasaan imperial Barat dimengerti sebagai tugas penyebar “peradaban”. Dan sesudah muncul PBB, mereka yang lain itu memberi nama seperti “ negara berkembang” atau “negara tidak berkembang” 20 . Sehingga modernisasi bisa dijelaskan sebagai sikap mental yang mengsubordinatkan yang tradisional di bawah yang baru. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak data empirik yang tersaji di depan mata kita mengenai hasil modernisasi yang bernilai positif. Pekerjaan yang biasanya dilakukan dalam jangka waktu yang lama, kini dengan bantuan teknologi dapat diselesaikan dalam hitungan detik (sekaligus dalam jumlah yang banyak dan mutu yang tetap baik). Dulu, jarak dan waktu merupakan kendala bagi manusia untuk
18
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial:Sketsa, Penilaian, Perbandingan, terjemahan (Yogyakarta:Kanisius,1994) hal. 166 19 Beling dan Totten 1985:8 20 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia:Etika Politik dan Perubahan Sosial, terjemahan (Jakarta:LP3ES,1982)hal.7
berinteraksi dan berkomunikasi, namun kini hal itu dapat dipecahkan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi. Kemajuan yang pesat tersebut, perlu disadari telah menyilaukan mata kita, karena bersamaan dengan itu manusia sesungguhnya tengah meradang kesakitan. Anthony Giddens, menyebutkan bahwa modernisasi telah
menampilkan
fenomena
bermata
ganda,
yaitu
satu
sisi
menentramkan, sisi lain menggelisahkan. Karakter tersebut ditangkap oleh Giddens dalam istilah “runaway world” dunia yang berlari atau dunia yang “mrucut” 21 . Sebagai contoh konkrit, kita telah kehilangan kesempatan untuk mengenal tetangga di seberang jalan sambil setiap hari mengunyah secara cermat informasi tentang pelbagai peristiwa di seberang negeri. Apa sesungguhnya yang terjadi jika seorang anak SD di sebuah dusun terpencil di Jawa Tengah, misalnya, lebih hafal nama-nama pemain tim kesebelasan yang bertanding dalam liga sepakbola Inggris daripada Kepala Desa-nya sendiri? Atau apa pula yang terjadi pada sebuah pagi yang hiruk pikuk, sekerumunan pejalan kaki yang lewat di jalan Malioboro, Yogyakarta, memergoki sepasang muda-mudi yang sedang bercumbu di dalam sebuah mobil dengan keadaan tanpa busana? Apa pula sesungguhnya yang tengah berlangsung ketika para aktivis politik yang demikian vokal, pada malam-malamnya kerap membunuh waktu di “kedai-kedai” malam, diskotik atau berkaraoke atau hilir mudik dalam mobil pribadi merek BMW? Segenap tingkah laku kita adalah duplikasi kesekian kali dari tayangan-tayangan acara televisi setiap harinya. 22 Koentjaraningrat, mencatat beberapa bahaya
dari kemakmuran
dan demokrasi yang ekstrim (sebagai side effect modernisasi) yaitu: 1. Individualisme ekstrim serta isolasi individu 21 22
B. Hari Juliawan, Dunia yang Berlari, dalam BASIS No. 01-02 Tahun ke -49, Januari-Pebruari 2000 Budiman 1997:3
2. Keretakan prinsip-prinsip kekeluargaan 3. Hilangnya nilai-nilai hidup rohaniah yang mempertinggi mutu hidup 4. Penggunaan kelebihan harta dan waktu luang yang tidak wajar 5. Polusi dan pencemaran lingkungan hidup. 23 Senada dengan itu Peter L. Berger melukiskan manusia modern mengalami anomie, yaitu suatu keadaan ketika manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang dan arti kehidupan di dunia ini. 24 Kita mendengung-dengungkan keluhuran nilai-nilai ketimuran seperti keramahan, halus budi, gotong royong, dan berkepribadian Bangsa yang kokoh. Tetapi, pada saat yang bersamaan bermunculan wajah buruk rupa dalam bentuk kekerasan dan kebrutalan dalam berbagai bentuk di lingkungan keluarga dan masyarakat. 25 Pelaku tidak lagi ragu-ragu menjalankan aksinya di tempat terbuka, praktek pengadilan jalanan yang marak, perkosaan warga etnis tertentu sampai pada anak-anak di bawah umur, perkelahian pelajar dan mahasiswa, pemakaian obat-obatan terlarang, pornografi via internet, prostitusi, perselingkuhan, bunuh diri, pemalsuan uang, ekploitasi sumber kekayaan alam, konflik bernuansa SARA, ancaman perang dan senjata biokimia dan sebagainya. Para
Sosiolog
melihat
gejala
ini
dalam
skala
kehidupan
masyarakat, yang menggambarkan kemunduran (regresi), sebagai suatu kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur
perilaku
manusia
dalam
kehidupan
masyarakat.
Pertama,
berlangsung pada level pribadi, termasuk yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan 23
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta:Gramedia,1993) hal. 84 Haedar Nashir 1999:3 25 Nashir 1999:5 24
peran. Kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan perilaku (yang oleh Durkheim disebut sebagai normlessnes). Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan budaya atau “cultural lag”. 26 Dalam kritiknya terhadap peradaban manusia, Karl Marx menyebutkan akibat yang ditimbulkan yaitu: manusia teralienasi (termarjinalisasi) dari pekerjaannya, dirinya sendiri dan orang lain yang pada akhirnya teralienasi dari alam atau dunianya. 27 Bagi Herbert Marcuse, masyarakat industri modern adalah masyarakat yang berdimensi satu, yang artinya segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme). Masyarakat ini bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada satu tujuan itu berarti menegasikan dan menindas dimensi-dimensi lan yang berseberangan dengan sistem tersebut. Berkembangnya situasi ini dimungkinkan karena teknologi modern (sebagai tools ) dapat menciptakan kemakmuran yang serba rasional serta dapat memuaskan hasrat dan kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Kondisi ini, pada akhirnya memperhadapkan manusia pada pilihan usang, apakah memperlambat gerak arus modernisasi atau memberikan diri menjadikan saksi bagi kehancuran jagad raya. III. Prinsip Etik Global: Solusi yang Utopis? Demikian akar permasalahan dan sumber prahara kehidupan manusia modern, yang berawal dari pendewaan rasio dan materi dalam paham humanisme-antroplogis dengan bangunan alam pikiran naturalisme yang menolak kehadiran alam pikiran keagamaan dan hal-hal yang 26
Nashir 1999:4 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta:Gramedia,1999) hal. 95-99 27
supranatural
telah
dianggap
sebagai
pembelenggu
kebebasan
dan
kemerdekaan manusia. Permasalahan semakin berkembang ketika manusia berupaya untuk kembali ke fitrahnya sebagai mahluk religius, sontak terkejut setelah melihat torehan jejak sejarah yang ditinggalkan agama dalam perkembangan peradaban manusia, juga menghasilkan krisis kemanusiaan yang sangat hebat ledakannya. Atas nama Tuhan, para penganut agama dapat saling serang dan bahkan saling bunuh, pemaksaan untuk menganut agama tertentu, saling mengklaim kebenaran ajaran agama, dan sebagainya. Dan dalam perkembangan peradaban manusia, konflik yang bernuansa agama telah menjadi tontonan teatrikal utama yang senantiasa tayang dalam ruang dan waktu kesadaran manusia. Dalam situasi seperti ini, pantaslah bagi seorang Hans Kung menyatakan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama. Lantas, bagaimana harusnya manusia modern bersikap? Dengan berpatokan pada sebuah prinsip kuno, what you do not wish to yourself, do not do to others or what you wish done to yourself, do to others 28 , muncul 4 petunjuk yang cakupannya sangat luas bagi perilaku manusia, yaitu: 1. Komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada kehidupan. Dalam hal ini manusia diajak untuk merenungkan kembali petunjuk yang mengatakan bahwa semua orang mempunyai hak untuk hidup, selamat dan mengembangkan kepribadiannya secara bebas sejauh mereka tidak merugikan hak-hak orang lain 2. Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Kita harus memanfaatkan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani
28
Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher, A Global Ethic:The Declaration of the Parliament of the World’s Religious (New York:Continuan,1993) hal. 22
kemanusiaan dan bukan untuk menyalahgunakan dalam perang yang tidak benar 3. Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus. Kita tidak boleh mencampuradukkan kebebasan dengan kesewenang-wenangan atau pluralisme dengan ketakpedulian terhadap kebenaran 4. Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan.
Hubungan
antara
laki-laki
dan
perempuan
seharusnya tidak bersifat patronasi atau ekploitasi, tapi dengan cinta, kerjasama, dan saling mempercayai. 29 Namun, persoalan historis menunjukkan Bumi tidak bisa diubah menjadi lebih baik jika kita tidak melakukan transformasi kesadaran terhadap individu maupun kehidupan publik. Sejauh ini, transformasi terdapat dalam wilayah seperti perang dan perdamaian, ekonomi dan ekologi,
yang
dalam
dekade
terakhir
terjadi
beberapa
perubahan
fundamental. Transformasi ini juga harus berlangsung dalam wilayah etik dan nilai-nilai. Setiap individu mempunyai martabat yang intrinsik dan hak yang tidak boleh diganggu gugat, sekaligus memiliki kewajiban yang tidak bisa dilepaskan dari yang dilakukan dan tidak dilakukan. Semua keputusan dan perbuatan, bahkan kelalaian dan kegagalan mempunyai konsekuensi. 30 Yang kita perlukan sekarang adalah ‘universal guide’ untuk mengarahkan manusia agar dapat menjadikan sesama dan Bumi sebagai sahabat yang saling mendukung. Kita memerlukan etik BUKAN etika. Dalam etik termaktub sikap moral manusia yang mendasar, sedangkan etika menunjuk pada teori sikap, nilai, dan norma moral secara filosofis atau teologis. 31 Prinsip-prinsip dalam etik global mengajak kita (tanpa ada pembeda) untuk secara bersama-sama menjawab tantangan kemanusiaan ini. 29
Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher, Etik Global, Terjemahan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999) hal. 2137 30 Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher 1999:39-40 31 Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher 1999:75-75
Kita harus bergerak bersama dengan didasari pemikiran bahwa setiap manusia berhak untk diperlakukan secara manusiawi, dengan tidak memandang perbedaan-perbedaan seperti agama, suku bangsa, warna kulit atau dasar apapun. Dengan etik global, kita maksudkan sebuah konsensus fundamental tentang nilai yang mengikat, standar yang tidak bisa diganggu gugat sekaligus personal. Tanpa konsensus etik fundamental semacam itu, cepat atau lambat setiap komunitas manusia akan terancam oleh ‘chaos’ serta penindasan dan manusia kian menderita. 32 IV. Kesimpulan Krisis kemanusiaan masyarakat modern yang terjadi sampai sekarang semakin melegitimasi kenyataan bahwa agama sebagai hasil konstruksi masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai moral yang adiluhung, belum mampu berperan secara optimal. Agama hanya dijadikan sebagai instrumen untuk membedakan manusia berdaarkan kepercayaannya. Agama lebih banyak digunakan sebagai palu hakim yang menjatuhkan vonis untuk mengeksekusi kebenaran orang lain sebagai sesat atau bidat. Untuk mencari jalan keluar dari persoalan ini, terasa kian sulit ketika ‘life world’ masyarakat global saat ini tidak dengan segera didefenisikan. Life world adalah dunia kehidupan atau penghayatan yang dialami oleh umat manusia sehari-hari. Jurgen Habermas mengungkapkan bahwa life world masyarakat global telah ter-reduksi sedemikian rupa dalam proses rasionalisasi yang mengedepankan rasionalitas-bertujuan. Out-put-nya adalah terciptanya bentuk masyarakat teknologis (dalam istilah Erich Fromm dikenal dengan sebutan otomaton) atau masyarakat satu dimensi ( istilah Herbert Marcuse). Dalam masyarakat seperti ini, kritik tidak berfungsi dan mengakibatkan struktur serta pola pikir masyarakat menjadi tumpul. Tidak
32
Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher 1999:16
berfungsinya dimensi kritik ini dikarenakan fokus masyarakat hanya tertuju pada satu mainstream yaitu materialisme. 33 Kondisi-kondisi
seperti
ini,
menuntut
dengan
segra
direalisasikannya prinsip-prinsip yang terkandung dalam etik global dengan nilai-nilai
kemanusiaan
sebagai
mainstream-nya.
Sudah
sepatutnya
digencarkan gerakan yang berskala internasional 34 dalam mendukung penerapan prinsip-prinsip etik global ini. Juga perlu dimasukkannya prinsip ini sebagai dasar pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat publik. Transformasi nilai-nilai ini ke dalam kesadaran manusia modern sudah tidak bisa ditawar lagi pelaksanaannya. (Namun, apakah harapan ini tidak sekedar upaya penciptaan mitos baru oleh manusia rasional yang pada akhirnya akan bermuara pada krisis yang baru?)
“Kesempatan setiap manusia untuk mendayagunakan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan dirinya; untuk memberikan peluang bagi dirinya mengatasi egocenteredness-nya dengan saling bergandengan tangan dengan sesamanya melakukan tugas penyejahteraan masyarakat; dan untuk mempersembahkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh setiap manusia agar semakin penuh keberadaannya” (EF Schumacher)
33
Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher 1999:hal vi-vii seperti yang dilakukan oleh World Social Forum(WSF) sebagai bentuk dari Global Civil Society dengan slogan terkenalnya another world is possible! Di Indonesia, WSF ala Indonesia bernama Gerakan Sosial Baru:Indonesia Yang Lain (GSB). Pada tanggal 20-24 Juli 2005 GSB telah menyelenggarakan temu-karya-budaya 400 utusan dari berbagai organisasi rakyat dan aktivis LSM dari sebagian besar seluruh Indonesia.
34
KEPUSTAKAAN Budiman, Hikmat., Pembunuhan yang Selalu Gagal:Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997 Beling dan Toten., Modernisasi:Masalah Model Pembangunan. Terjemahan Jakarta:Rajawali,1985 Berger, Peter L; Brigitte Kembara:Modernisasi dan Yogyakarta:Kanisius,1992
Berger dan Kesadaran
Hansfried Kellner, Pikiran Manusia. Terjemahan,
Berger, Peter L., Piramida Kurban Manusia:Etika Politik dan Perubahan Sosial. Terjemahan, Jakarta:LP3ES,1982 Campbell,Tom., Tujuh Teori Sosial:Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Terjemahan, Yogyakarta:Kanisius,1994 Hamashera, Hari., Tokoh-Tokoh Filsafat Modern Barat. Jakarta:Gramedia,1986 Juliawan, B. Hari., Dunia yang Berlari, dalam BASIS No. 01-02 Tahun ke -49, Januari-Pebruari 2000 Koentjaraningrat,
Kebudayaan,
Mentalitas
dan
Pembangunan.
Jakarta:Gramedia,1993
Kung, Hans dan Karl-Josef Kuscher., A Global Ethic:The Declaration of the Parliament of the World’s Religious. New York:Continuan,1993 Kung, Hans dan Karl-Josef Kuscher., Etik Global. Terjemahan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999 Nashir, Haedar., Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999 Schrool,J.W., Modernisasi:Pengantar SosiologiPembangunan Negara-Negara sedang Berkembang. Terjemahan, Jakarta:Gramedia,1991
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional:Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta:Gramedia,1983 Sunardi, St., Keselamatan Kapitalisme Kekerasan:Kesaksian atas Paradoks-Paradoks. Yogyakarta:LkiS,1996 Suseno, Franz Magnis., Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:Gramedia,1999 Veeger,K.J., Realitas Sosial:Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta:Gramedia,1993