TELAAH KASUS ETIKA MENURUT PRINSIP CORE-VALUE TUTORIAL A
THE MAN WHO DID NOT WANT HIS LEG AMPUTATED Physician: This was a 64-year-old man who had had a stroke which had affected his mental condition, though his awareness was good. He also suffered from diabetes mellitus and hypertension. One day gangrene was found on his leg with sepsis, high fever, and it was a progressive gangrene. I advised him and his family to have an amputation. The family agreed, but the patient did not. The family followed my reasoning, that is, I did not want the patient to die merely because of gangrene and diabetes. Then I suggested to the family that if the patient falls into a coma, I would have the right to undertake a professional intervention to save his life without having to obtain his approval. Once the patient went into coma, I asked the family to sign the informed consent for the amputation. The amputation was finally done.
When the patient became conscious, he was delighted because he felt that he had recovered. He was able to sit and became quite happy and felt that he still had his two legs. When he became completely conscious, and was about to descend from the bed and walk, he realized that he had been amputated. He was shocked. He flew into an extraordinary rage and threatened that he would prosecute me and his family. He was a former lawyer. He was aware of his rights and he had not permitted that his leg be amputated. The dilemma here was: first, we had to fulfil the principle of autonomy, and, second, we had to save a life. There were two aspects that quite contradicted each other. An extraordinary process of negotiation after the operation followed, and as the patient showed spiteful hatred against me, I had to delegate the care to others for the time being. When the negotiation was over, we finally came to terms. The patient survived and had the opportunity to witness a marriage in his family .
SEORANG LELAKI YANG TIDAK INGIN KAKINYA DIAMPUTASI Dokter umum: Ada seorang lelaki berusia 64 tahun yang telah terkena stroke yang telah mepegaruhi kondisi metalnya, meskipun kesadarannya masih baik. Dia juga menderita diabetes mellitus dan hipertensi. Suatu hari, ditemukan kematian jaringan tbuh d bagian kakinya dengan sepsis, demam tinggi, dan ada kematian jaringan yang semakin berkembang. Saya menyarankan dia dan keluarganya untuk melakukan amputasi. Keluarganya setuju, tetapi pasien tidak. Keluarganya mengerti alasan saya, yaitu, saya tidak ingin pasien meninggal begitu saja karena kematian jaringan dan diabetes. Kemudian saya menyarankan kepada keluarganya jika pasien mengalami koma, saya akan melakukan penanganan untuk menyelamatkan hidupnya tanpa mendapat persetujuan pasien. Ketika pasien mengalami koma, saya meminta keluarganya untuk menandatangani izin yang telah diinformasikan terkait amputasi. Amputasi akhirnya telah dilakukan.
Ketika pasien sadar, dia senang karena dia merasa bahwa dia telah pulih kembali. Dia dapat duduk dan cukup senang dan merasa bahwa dia masih memiliki dua kaki. Ketika dia sadar sepenuhnya, dan turuh dari kasur dan berjalan, dia menyadari bahwa dia telah diamputasi. Dia terkejut. Dia marah besar dan mengancam bahwa dia akan menuntut dokter dan keluarganya sendiri. Dia adalah seorang mantan pengacara. Dia sadar akan haknya dan dia tidak mengizinkan kakinya untuk diamputasi. Dilema yang terjadi disini: pertama, kita harus memenuhi prinsip otonomi, dan yang kedua, kita harus menyelamatkan sebuah kehidupan. Ada dua aspek yang cukup saling bertentangan. Sebuah proses negosiasi yang luar biasa setelah operasi diikuti, dan sebaga pasien menunjukkan kebencian dengki terhadap saya, saya harus menyerahkan perawatan pada orang lain untuk saat ini. Ketika negosiasi selesai, kami akhirnya datang untuk berdamai. Pasien selamat dan memiliki kesempatan untuk menyaksikan pernikahan di keluarganya.
TELAAH KASUS MENURUT PRINSIP CORE-VALUE 1.
Codes of professional conduct a. Sumpah Dokter 1. Sumpah dokter poin ke-7, yaitu: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” 2. Sumpah dokter poin ke-8, yaitu: “Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien” Karena disebutkan bahwa dokter tidak ingin pasien meninggal begitu saja karena kematian jaringan dan diabetes.
b. Kode Etik Kedokteran Indonesia a. Dokter telah melangar pasal 5, yang berbunyi: “Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperolah persetujuan pasien.” b. Pasal 7c, yang berbunyi: “Seorang dokter harus menghormati hakhak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.”
Walaupun keluarga dari pasien setuju, tapi persetujuan dari pasien sendiri sangatlah penting. Disebutkan bahwa kemudian dokter menyarankan kepada keluarganya jika pasien mengalami koma, dokter akan melakukan penanganan untuk menyelamatkan hidupnya tanpa mendapat persetujuan pasien.
REGULATION Regulation 1. Undang-undang Praktik Kedokteran 2. Undang-undang Kesehatan
HAK OTONOMI PASIEN Sesuai dengan Pasal 45 UU No. 29 2004 hal 21 no 5.
Setiap tindakan kedokteran dan kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Tidak sesuai dengan Pasal 45 UU No. 29 2004 no 1.
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
ETHICAL Hak Otonomi pasien. Saat pasien masih sadar, pasien tidak ingin di amputasi.
Dokter tidak mengambil tindakan. Setelah pasien kehilangan kesadaran, dokter meminta
inform concern kepada keluarga, dan telah disetujui oleh keluarga. Sehingga tidak ada etik yang dilanggar
VALUE Pasien meyakini bahwa dia berhak untuk menerima atau menolak keputusan dokter untuk mengamputasi kakinya.
KESIMPULAN Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa dokter tidak bersalah. Hal itu dikarenakan tindakan dokter untuk mengamputasi kaki pasien sudah dalam waktu yang tepat. Karena saat itu, pasien sudah kehilangan kesadarannya atau dalam kondisi emergency yang membuat dokter berhak melakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dan dokter melakukan tindakan tersebut atas seizin keluarga pasien.
TERIMA KASIH