Jurnal Keuangan & Bisnis Volume 3 No. 1, Maret 2011
TELAAH PELANGGARAN TERHADAP ETIKA PROFESI AKUNTAN: METODE HERMENEUTIK Nasirwan (
[email protected]) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan ABSTRAK Artikel ini bertujuan menelaah pelanggaran terhadap etika profesi akuntan dengan metode hermeneutika. Metode hermeneutika digunakan untuk memahami makna yang disampaikan oleh teks etika profesi akuntan. Penulis menduga seringkali akuntan dan mahasiswa salah memahami makna etika profesi akuntan. Untuk itu sebaiknya metode hermeneutik digunakan antara lain dengan pola pikir penafsiran Habermas atau Derrida untuk membongkar etika profesi akuntan yang ada dilengkapi dengan adanya keseimbangan antara Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Kata kunci: pelanggaran etika profesi, hermeneutik, IQ, EQ dan SQ. mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Berdasarkan Teleology : Pertama, satu tindakan dianggap secara moral benar atau bisa diterima jika itu menghasilkan keinginan dari sebagian orang, yaitu kesenangan, pengetahuan, pertumbuhan karier, suatu kepentingan atau kegunaan diri. Kedua, menaksir nilai moral dari suatu tingkah laku dengan memperhatikan akibat-akibatnya (consequentialism). Ada dua Pendekatan Teleology : 1) Egoisme: tingkah laku bisa diterima atau benar dengan maksimalkan kepentingan diri anda, terkait dengan akibatakibat dan alternatif solusi yang dapat menyumbang; dan menambah manfaat kepada kepentingan diri sendiri. 2) Utilitarianism: tingkah laku dianggap benar jika dapat bermanfaat kepada kepentingan publik.
PENDAHULUAN Pengertian Etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan RI, 1995) adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Maryani & U.Ludigdo (2001) etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi. Kata etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat, kebiasaan yang baik. Perkembangan etika selanjutnya sesuai dengan kebiasaan manusia, berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, menggambarkan interaksi sosial manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma agama, norma moral dan norma sopan santun.
Etika yang kita bahas adalah khusus etika profesi akuntan yang yang telah digunakan selama ini. Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Pada profesi akuntan publik inilah masyarakat, kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia disingkat IAI 1998) profesi Akuntan Publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu jasa assurance, atestasi, dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa
Fungsi etika sebagai: 1) Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. 2) Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. 3) Orientasi etis ini diperlukan dalam
49
49 – 55
Jurnal Keuangan & Bisnis
profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure). IAI juga menjelaskan jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Maret
Indonesia untuk menegakkan integritas etika profesi, nampaknya dalam praktek sama seperti yang dikemukakan oleh Belkaoui, yaitu lebih memihak pada pemilik modal ketimbang menegakkan integritasnya. Masalah intergritas akuntan telah diatur oleh Standar Akuntansi keuangan yang dikeluarkan IAI. Penulis mengutip pidato Sudibyo (2001), bahwa pada prinsipnya perkerjaan audit adalah perkerjaan menentukan intergritas pengungkapan informasi dalam laporan keuangan, dan kewajiban untuk mengungkapkan informasi dalam laporan keuangan dengan penuh integritas adalah tanggungjawab direksi dari perusahaan yang sedang di audit. Berikutnya Sudibyo (2001) lebih menekankan bahwa integritas begitu sentral bagi profesi auditor independen karena mempertaruhkan integritasnya untuk memberikan kesaksian tentang integritas pihak lain.
Audit secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut auditor independen, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi yang lain dengan, tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut. Profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat keuangan memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi. Akan tetapi pada kenyataannya kode etik yang sudah di sepakati malah tidak patuhi seutuhnya, bahkan semakin banyak terjadi pelanggaran etika. Berdasarkan fenomena pelanggaran etika profesi tersebut timbul pertanyaan : apa yang salah terjadi pada profesi akuntan ini. Sebagai jawaban pertanyaan di atas adalah: Pertama mungkin teks etika profesinya yang salah, dalam artian bahwa etika profesi yang ada sekarang ini produk ideologi kapitalis. Hal ini terlihat dari pendapat Belkaoui, bahwa akuntansi dinilai menopang atau sebagai subsistem dari ideologi kapitasisme yang mengutamakan kepentingan pihak pemilik modal (Harahap, 1997). Kondisi akuntan
Perilaku auditor diluar pemahaman terhadap makna etika profesi akuntan. Perilaku menyimpang ini datang dari dalam diri manusia dan dorongan perilaku menyimpang datang dari lingkunga ekstenalnya. Perilaku menyimpang yang datang dalam diri adalah akibat penurunan keimanan seseorang auditor seperti kurang dekat dangan Tuhannya, kurang pemahaman agama, kurang pengendalian diri, dan telah meninggalkan budaya sosial dan budaya adat istiadat dan moralitas yang memang dulunya sudah dimiliki oleh nenek moyang kita. Perilaku menyimpang auditor yang dipengaruhi dari eksternal dirinya adalah budaya kapitalisme yang berkembang pada lingkungan yang juga tidak menegakkan integritas, dan persoalan agama dipinggirkan, budaya material yang melanda, budaya memisahkan agama dengan profesi kehidupan, dan lebih parah lagi budaya ingin hidup instan dan bebas yang melanda auditor. ATURAN ETIKA PROFESI AKUNTAN Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia yang sudah disepakati dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggungjawab profesionalnya. Demikian pula tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggungjawabnya dengan standar profesionalisme 50
2011
Nasirwan
tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik.
klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi: (1) Kredibilitas, masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi. (2) Profesionalisme, diperlukan individu agar dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi. (3) Kualitas Jasa, terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi. (4) Kepercayaan, pemakai jasa akuntan harus merasa yakin bahwa ada kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Upaya pembentukan kode etik, dewan etika, maupun sarana lain yang berkaitan dengan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat terhadap perilaku dan tindakan para profesional. Namun menjadi pertanyaan besar adalah, tentang keberadaan etika tersebut apakah sudah efektif untuk melindungi kepentingan masyarakat (Wilopo, 2010). Di sisi lain, kita dapat melihat fakta berbagai skandal korupsi, penyelahgunaan aset, kecurangan laporan diberbagai negara. TELISIK FENOMENA PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTAN
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (1998) tersebut terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Fenomena pelangaran terhadap etika profesi tampak dari terjadinya kecurangan demi kecurangan. Bukti kecurangan seperti disampaikan oleh Wilopo (2010) sebagai berikut : Perekayasaan Laba (Dechow 1995). Kejahatan oleh eksekutif US, misal: kolusi harga, manipulasi informasi, pencurian teknologi (Wilopo, 2010), Kasus Enron, World Com, Sunbeam, Xerox, dan lain – lain (Ribstein dalam Wilopo, 2010). Penipuan pajak di USA oleh Chevron dan Texaco kerjasama dengan pemerintah Indonesia (Gramllch dan Wheeler dalam Wilopo,2010). Kecurangan dalam likuidasi perbankan tahun 1997–1999 (Wilopo, 2010). Perekayasaan laba oleh perusahaan manufaktur yang go publik di Bursa Efek Jakarta (Wilopo, 2010). Perekayasaan laba oleh PT. Indofarma, Tbk tahun 2004, Kasus Bernard L. Madoff (mantan CEO NASDAG). Pembaca dapat melihat dan menyaksikan berbagai kasus-kasus yang hangat di perbincangkan di media televisi dan media masa bahkan sudah merupakan santapan makan berita masasyarakat tentang Kasus Bank Century, dan Kasus Pajak Gayus 26,7 Miliar dan bahkan ada yang lebih besar lagi penggelapan pajak di Surabaya sebesar 300 Milliar dan ada lagi isu yang lebih besar dari itu.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya. Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya. Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintah yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan
Bentuk kecurangan Akuntansi menurut The Chartered Institute of Management Accountants (CIMA), sebagaimana yang dikutip Wilopo (2010): Akuntansi agresif (Aggressive Accounting), Perekayasaan (manajemen) laba (Earning Management), Perataan laba (Income Smoothing), Pelaporan keuangan yang curang (Fraudulent Financial 51
49 – 55
Jurnal Keuangan & Bisnis
Reporting) Praktik-praktik akuntansi kreatif (Creative Accounting Practices), Pelaporan keuangan yang curang (Fraudulent Financial Reporting) menurut ACFE, 2007 Financial Fraudulent Financial Statement, Non Financial Fraudulent Financial Statement.
Maret
Seharusnya kurikulum perguruan tinggi umum dan akuntansi harus menerapkan kurikukum yang seimbang antara Intelectual Quotient (IQ), Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Dengan penerapan kurikulum yang seimbang antara Intelectual Quotient (IQ), Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) maka diharapkan terjadi perubahan yang positif untuk penegakkan etika pofesi akuntan di Indonesia. Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri (Agustian, 2001).
Sementara ada faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran etika : kebutuhan individu, tidak ada pedoman, perilaku dan kebiasaan individu yang terakumulasi dan tak dikoreksi, lingkungan yang tidak etis, dan perilaku dari komunitas. Berdasarkan uraian tentang pelanggaran terhadap etika profesi ini apa yang salah dinegeri ini. Apakah Kode Etik Akuntan yang kurang bagus, atau manusia yang sudah tidak bermoral lagi? atau dalam memahami makna teks Kode Etik Akuntan itu sendiri yang keliru dilakukan oleh para dosen akuntansi, mahasiswa dan akuntan Oleh karena itu, artikel ini berupaya memberikan metode hermeneutik untuk memahami “Makna Teks” dari Kode Etik Akuntan.
Untuk itu perguruan tinggi khususnya bidang akuntansi segera bangkit untuk meneliti dan mendalami kembali tentang etika profesi. Kepada para peneliti diharapkan dapat melakukan penelitian yang berhubungan pelanggaran profesi, sehingga hasilnya diharapkan dapat mengangkat akar permasalahan yang terjadi selama ini dan sekaligus dapat diatasi.
Sudibyo (2001) dalam pidatonya menegaskan bahwa pemahaman terhadap standar evidencial metter dicapuradukan dengan pemahaman eviden audit yang lain. Menurut Sudibyo (2001) memahaman yang keliru terhadap stantar evidencial metter sudah terjadi lama di negeri ini. Bahkan menurut beliau di Amerika sendiri juga terjadi kekeliruan memahami standar evidencial metter.
HERMENEUTIK Hermeneutik, merupakan metode yang sudah tua, dan muncul kembali, sebagai yang ilmu yang menarik dalam bidang filsafat (Sumaryono, 1999). Kata hermeneutik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti penafsiran atau interprestasi. Istilah tersebut dicetuskan oleh tokoh metologis Harmes seorang utusan dari lagit yang menyempaikan pesan Jupiter kepada munusia (Sumaryono, 1999). Sementara Mauliddin (2003) menyatakan bahwa nama Hermes diganti dengan Nabi Idris atau malaikat Jibril dan saya setuju dengan sebutan Hermes sebagai Malaikat Jibril. Hermes harus mampu menginterpretasikan, menafsirkan atau menyadur sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan pembaca. Oleh karena itu hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu yang tidak diketahui menjadi tahu atau dimengerti. Selanjutnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Tentunya bahasa tidak dapat disangkal lagi sangat penting keberadaanya dalam kehidupan manusia. Peranan hermeneutik cukup luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti bidang sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kesusastraan, maupun linguistik atau semua ilmu (Sumaryono, 1999).
Untuk mencari jawaban ini tentu kita yang bergerak pada pendidikan tinggi bidang akuntansi tidak tinggal diam terhadap masalah ini. Peranan perguruan tinggi sangat diharapkan untuk membentuk profesi yang ideal. Pendidikan tinggi di seluruh Indonesia, khususnya bidang akuntansi adalah tempat seorang untuk menempuh ilmu, sekaligus untuk memperoleh gelar profesi akuntan. Kebanyakan kurikulum yang diberikan hanya berorentasi pada ilmu pengetahuan rasional semata, yang sekarang kita kenal sekarang Intelectual Quotient (IQ), tetapi sangat kurang terhadap kurikulum terhadap nilai dengan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Dengan demikian jelas orentasi menganut faham idiologi kapitalisme, sehingga menurut pendapat penulis terjadi perilaku pelanggaran terhadap etika profesi akuntan yang tidak ada habisnya terjadi di negeri ini. 52
2011
Nasirwan
Penyataan di atas memang tidak dapat menjelaskan secara spesfifik apakah bisa metode hermeneutik diterapkan dibidang akuntansi. Namun dipertegas oleh Dilthey bahwa semua ilmu pengetahuan memerlukan hermeneutik, maka dari itu sangat mungkin diterapkan dibidang akuntansi. Hermeneutik mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsiasumsi metodologis dari aktivitas pemahaman. Hermeneutika adalah cara baru untuk ”bergaul” dengan bahasa (Sumaryon0, 1999). Penerapan pertama yang menerapkan Hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab cuci, serpeti Alquraan, Taurat, kitab Weda dan lainya. 1999).
seni”. Proses penafsiran dari praktek ke metode. Tokoh kedua Wilhelm Dilthey, tokoh hermeneutika romantis mengenalkan pergeseran lebih jauh yang berpengaruh kuat dan kemudian dijadikan sebagai landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam hal ini, penafsir boleh memulai konteks kultur, dan hitoris untuk memahami teks. Tokoh kedua Wilhelm Dilthey, berhasil menolak pandangan para-para hermeneut di abad 19. Tokoh yang ketiga Edmund Husserl, menemukan fenomologi. Berdasarkan sudut pandang fenomologi, penafsiran bukanlah dilakukan oleh pembaca/penafsir, melainkan sesuatu yang terjadi pada pembaca-penafsir. Mungkin kekeliruan ini membuat akuntansi gagal. Proses penafsiran dari teks dengan makna apa adanya. Tokoh keempat Martin Heidegger, yang dikenal dangan hermeneutik dialektis. Tokoh ini menambah proses penafsiran yang dilakukan oleh tokoh Edmund Husserl, yaitu bahwa penafsiran bukanlah oleh pembaca-penafsir, melainkan sesuatu yang terjadi pada pembaca-penafsir ditambah penafsir, dari teks ke penafsir kembali. Tokoh kelima Hans Georg Gadamer, yang dikenal dengan hermeneutik dialogis, yang memandang proses hemerneutik dari teori ke idieologi. Proses penafsiran dari teks ke bahasa dan kultur kemudian dari tradisi, kepentingan praktis ke teks kembali ditambah kontek historis. Keenam dari teori ke idiologi yang dikenal dengan hermeneutika kritis oleh tokoh Jurgen Habermas. Proses penafsiran Habermas dimulai penafsir dengan kritis yang menembus teks untuk mencari kebenaran. Terakhir dari teori ke idiologi yang dikenal dengan dekonstruksi oleh tokoh Jacques Derrida. Menurut Jacques Derrida, proses penafsirannya dimulai dari penafsir menembus teks menuju kekebenaran, tetapi terkadang dari teks ke penafsir kembali dengan mempertimbangan konteks kultur, dan historis, atau bisa langsung ke kebenaran teks.
Objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk bahasa, oleh karena itu terdapat kaitan erat antara hermeneutika dan bahasa. Gadamer dengan jelas menyatakan peran penting bahasa sebagai pusat untuk memahami dan pemahaman manusia ‘Gadamer places language at the core of understanding’. Kaidah yang harus dipahami dalam penafsiran atau pemaknaan : 1) untuk sampai pada pemahaman, dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi. 2) Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya ‘akibat ikutan’ dari partisipasi dan latar belakang penafsir. 3) Upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan (approximation) kepada makna sejati, dan 4) Walau ada wilayah perbedaan karena latar belakang penafsir, ada pula wilayah pemahaman bersama (shared understansing). Hermeneutika Intensionalisme versus Gadamerian sebuah kritikan terhadap hermeneutic. Intensionalisme memandang bahwa pada hakikatnya makna sudah ada karena dibawa oleh penyusun teks, sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir dan makna berada di belakang text (behind the text). Sementara hermeneutika gadamerian memandang bahwa makna harus dikonstruksi, direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteksnya, sehingga makna berada di depan teks (in front of the text) dan makna ditentukan penafsir dengan mempertimbangkan konteks.
ANALISIS PELANGGARAN ETIKA PROFESI DENGAN HERMENEUTIK Berdasarkan pembahasan tentang fenomena pelanggaran etika maka metode hermeneutik dapat digunakan untuk menjawab fenomena pelanggaran etika profesi akuntan dengan menggunakan pemikiran tokoh-tokoh hermeneutik dalam proses penafsiran dalam
Maulidin (2003) membahas beberapa tokoh hermeneutik sebagai berikut: tokoh pertama F.D.E. Schleiermacher (1768-1834) Pemikirannya adalah membedakan hermeneutika dalam pengertian “ilmu atau 53
49 – 55
Jurnal Keuangan & Bisnis
menggali dan menggaji kembali makna yang disampaikan oleh teks Etika Profesi Akuntan.
Maret
berminat dapat melakukan keluasan dalam mengali, mengkaji, mengkritisi dan membongkar serta membangun kembali sebuah konsep etika profesi akuntan yang baru.
Mungkin selama ini ada kesalahan dalam menafsirkan teks Etika Profesi Akuntan, baik oleh pihak akuntan, pebisnis, dosen dan mahasiswa. Atau mungkin kesalahan dari teks, karena saya menduga teks yang dibuat ada unsur kepentingan pihak-pihak terkait. Hal ini sangat berbeda dengan menafsiran Alkitab, yang kebenaran dibuat oleh Maha Pencipta alam semesta ini. Pihak lembaga perguruan tinggi perlu meninjau ulang penafsiran terhadap Etika Profesi Akuntan, dan meninjau ulang kadar pemahamannya, sampai pada aplikasinya. Kalau memang teks yang salah diperbaiki dan kalau memang makna yang difahami yang dangkal juga diperbaiki. Untuk menafsirkan makna pesan yang dibawa teks etika profesi mungkin dapat digunakan pikiran Habermas, yang dikenal kritis. Langkah yang dilakukan Habermas, penafsir dapat memahami teks etika dengan menembus ke dalam teks artinya tidak sekedar memahami makna yang camtum dalam teks, tetapi mencari dan menelusuri sampai kedalam sehingga diperoleh makna kebenaran teks yang sesungguhnya. Pola pikir penafsiran Habermas ini dapat digunakan untuk memahami konteks etika profesi akuntan yang ada.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas tentang maraknya fenomena pelanggaran terhadap Etika Profesi Akuntan di tanah air akhir-akhir ini, artikel ini mengunakan metode Hermeneutik dalam menganalisa makna dari teks etika profesi akuntan yang berlaku selama ini. Berdasarkan berbagai pola pikir tokoh penafsir dari metode hermeneutik dapat kita gunakan untuk memahami teks etika profesi dalam penyampaian makna kebenaran yang dimaksud oleh etika profesi akuntan. Penulis menyarankan, bahwa dalam menafsirkan konteks teks etika profesi akuntan lebih baik menggunakan hermeneutika pola pikir penafsiran dari Habermas atau Derrida karena dapat membongkar teks etika profesi akuntan untuk upaya membangun atau merekonstruksi kembali etika profesi akuntan yang baru. Konsep etika profesi akuntan yang baru ini harus memasukan adanya keseimbangan antara nilai-nilai Intelectual Quotient (IQ), Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Pola penafsiran Dagamer juga dapat digunakan untuk memahami teks etika profesi. Karena Dagamer tidak hanya memahami teks tetapi juga memahami tanggapan bahasa dan kultur, juga mempertimbangan kepentingan tradisi dan praktis etika profesi akuntan, serta Dagamer juga melihat kontek historisnya.
DAFTAR PUSTAKA Agustiaan, Ary Ginanjar. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emossi dan Spiritual. Jakarta, Penerbit Arga, Departemen Pendidikan Republik Indonesia. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pola pikir penafsir yang paling radikal Derrida juga dapat digunakan dalam memahami teks dan diluar teks yaitu konteks hitoris, dan kultural. Pola penafsiran Derrida ini mungkin dapat membongkar etika profesi yang sekarang ini, atau dapat memasukan nilainilai moral dan spritual kedalam teks. Kalau kita ingin membongkar etika profesi akuntan, saya pikir sangat cocok mengunakan pola pikir penafsiran Derrida ini, karena ia tidak terfokus pada masalah teks semata tetapi mempertimbangan hitoris dan kultur masalalu dan konteks kekiniannya.
Ikatan Akuntan Indonesia. (1998). Kode Etik Akuntan Indonesia, Prosiding Kongres VIII IAI, Maryani, T. Dan U. Ludigdo. (2001). Survei Atas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap dan Etis Akuntan. Jurnal Tema. Vol II, No. 1. Maret. Mauliddin. (2003). Sketsa Hermeneutika, Jurnal Gerbang. Vol V Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Edisi Revisi . Penerbit Kanesius.
Menurut pikiran penulis kedua pola pikir penafsiran Habermas dan Derrida cukup tepat untuk memelakukan penafsiran tentang teks dan diluar teks terhadap etika profesi akuntan yang ada sekarang ini. Para peneliti yang
Wilopo, R. (2010). Etika Profesi: Telaah pada Profesi Akuntan, Kasus-Kasus 54
2011
Nasirwan
Kecurangan. Disampaikan Kuliah Tamu Program Doktor Ilmu Manajemen Pascasarjana Fakultas Ekonomi. Unversitas Brawijaya, Tanggal 21 April. Sudibyo, Bambang. (2001). Telaah Epistemologis Standar Evidencial Matter serta Implikasinya Pada Kualitas Audit dan Intergritas Pelaporan Keuangan di Indonesia. Harahap, Sofyan. S. (1997). Akuntansi Islam. Jakarta, Bumi Aksara.
55