KONSEP ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh HUSNUL KHULUQ NIM: 206011000047
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ABSTRAK Husnul Khuluq, NIM: 206011000047, Konsep Etika Belajar Siswa Menurut Al-Ghazali Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju akil baligh (kedewasaan), baik secara fisik, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diembannya sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai pemelihara (khalifah) pada alam semesta. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Sesuai dengan karakteristik masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka dalam penulisannya, penulis menggunakan Metode Riset kualitatif, yaitu menekankan analisanya pada data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis pemikiran Al-Ghazali tentang konsep etika belajar siswa. Maka dengan sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya. Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan konsep etika belajar menurut Al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap orang tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang terdiri atas ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa Al-Ghazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Konsep etika belajar menurut AlGhazali tersebut selalu relevan dengan perkembangan zaman dunia pendidikan, baik di Indonesia maupun di belahan dunia manapun. Dan karenanya konsep etika belajar siswa yang dikemukakan Al-Ghazali sangat urgent pengejawentahannya bagi kemajuan dunia pendidikan.
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahiim
Segala puja dan puji bagi Allah SWT sebagai pagar penjaga nikmat-Nya, zat yang Maha Menggenggam segala sesuatu yang ada dan tersembunyi di balik jagad semesta alam, zat yang Maha Meliputi segala sesuatu yang terfikir maupun yang tidak terfikir. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan bagi seluruh Umat Islam yang terlena maupun terjaga atas sunnahnya. Alhamdulillahirrabbil‘aalamiin,
penulis
mengucapkan rasa
syukur
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Karena tanpa rahmat pertolongan-Nya tidaklah mungkin penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Konsep Etika Belajar Siswa Menurut Al-Ghazali.” Penulis gunakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan yang ditempuh di Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Penulis tertarik mengangkat karya tulis ini karena berbekal dari pendidikan merupakan jembatan bagi anak yang akan menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan masyarakat kelak. Melalui sekolah inilah seorang anak kelak diharapkan menjadi orang dewasa sebagai seorang warga negara dan warga masyarakat yang baik dan produktif. Lebih dari itu, sebagai manusia, para siswa pun memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan sebaikbaiknya serta bersosialisasi dengan etika-etika dan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak. Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan bila tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : ii
1.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Drs. Sapiudin Shiddiq, M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama Islam, angkatan 2005. Serta Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengarahkan, mendidik, membimbing, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat untuk penulis.
4.
Prof. Dr. H. Moh. Ardani, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang tidak pernah menutup pintu keluasan waktunya untuk membimbing dan memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
5.
Ibunda penulis (Siti Choiriyah) dan Ayahanda penulis (alm. R. Ibnu Mukti) tercinta, atas tirakat suci, doa dan air mata tersebunyi bagi kehidupan penulis, terima kasih, semoga pintu Rahman dan Rahim-Nya selalu terbuka untuk pengorbananmu, Amin. Kakanda penulis (Kuni Masrochati dan Khotib AlUmam) dan Adinda penulis (Fathul Bari) atas semua persembahan dari surga ini. Seluruh keluarga; Kakek (almarhum) dan nenek (almarhum), serta keluarga besar, terima kasih atas doa yang terucap.
6.
Dr. Halimi, M.Ag yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral maupun material, penulis ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya.
7.
Abu Khaer, terima kasih atas support dan pengorbanannya. I’m so sorry, if I always disturb your actifity especially time of your sleep.!!
8.
Teman-teman seperjuangan, FORMAL (Forum Komunikasi Alumni dan Santri Lirboyo), teman-teman Watu Congol, sesepuh dan jama’ah Mushalla Al-Taqwa, teman-teman Majlis Ceria Al-Fikriyah, juga teman-teman yang lain tanpa mengurangi rasa hormat penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Hanya ucapan terima kasih yang selalu terurai yang bisa penulis sampaikan.
iii
9.
Seseorang yang memberikan inspirasi terbesar, Yoyo dan semua personel PADI, Armand Maulana dan Dewa Budjana, thank you for spirit. Temanteman Komunitas Anak Jalanan (ANJAL Community). Teman-teman Anak Kaki Lima Gunung (Anka 5G). Teman-teman Slanker Rawamangun. Temanteman HERS Radio. Teman-teman Milanisti Club dan komunitas lain yang penulis pernah numpang ngopi. I perfect your struggle.
10. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam Non-Reg angkatan 2006, I miss you full. 11. Staff Perpustakaan Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pelayanannya. 12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral maupun material, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Jakarta, 9 Desember 2010
Husnul Khuluq
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... ..i KATA PENGANTAR .................................................................................. .ii DAFTAR ISI ................................................................................................ .v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………...5 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………….6 E. Metode Penelitian ……………………………………………...9 F. Sumber Data Penulisan ………………………………………..10
BAB II
KAJIAN TEORI A. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM .............................................11 1. Pengertian Pendidikan Islam.................................................. 11 2. Dasar Pendidikan Islam ......................................................... 15 3. Tujuan Pendidikan Islam ....................................................... 19 4. Metode Pendidikan Islam ...................................................... 21 5. Ruang Lingkup Pendidikan Islam .......................................... 25 6. Tanggung Jawab Pendidikan Islam ........................................ 26 B. Konsep Etika .......................................................................... 27 1. Pengertian Etika .................................................................... 27 2. Ruang Lingkup Etika ............................................................. 29 3. Perbedaan Antara Etika dengan Akhlak ................................. 30 C. Konsep Belajar ....................................................................... 1. Pengertian ............................................................................. 34 2. Ciri-ciri Belajar ..................................................................... 35 D. Etika Belajar Siswa Menurut Tokoh Pendidikan Islam........... 37
iii
BAB III BIOGRAFI AL-GHAZALI 1. Sejarah Ringkas Al-Ghazali................................................... 42 2. Karya-karya Al-Ghazali......................................................... 46 3. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali................................ 47
BAB IV ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI A. Konsep Etika Belajar Siswa.......................................................... 50 1. Konsep Etika Belajar Siswa dengan Diri Sendiri.................... 50 2. Konsep Etika Belajar Siswa dengan Guru .............................. 54 3. Konsep Etika Belajar Siswa dalam Memilih pelajaran ........... 57 4. Konsep Etika Belajar Siswa dalam Memilih Teman............... 60 B. Relevansi Etika Belajar Siswa Al-Ghazali dalam Masyarakat Pendidikan Modern ........................................................................... 64
BAB V
PENUTUP Kesimpulan .................................................................................. 72 Saran ........................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 74
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju akil baligh (kedewasaan), baik secara fisik, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diembannya sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai pemelihara (khalifah) pada alam semesta. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Tujuan akhir pendidikan agama Islam adalah pencapaian tujuan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, yaitu serangkaian upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam membantu (membina) anak didik menjalankan fungsinya di muka bumi, baik pembinaan pada aspek material maupun spiritual. Dengan pencapaian tujuan tersebut, diharapkan anak didik akan mampu menjadi makhluk dwi dimensi yang integral dan utuh. 1 Dengan perkembangan dua dimensi tersebut diharapkan anak didik dapat bermanfaat
1
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 107
1
2
bagi kehidupannya dan kehidupan sosialnya. Dan bila hal ini terjadi, akan berimplikasi pada kebahagiannya di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, pendidikan idealnya merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas manusia. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak tujuan dari paedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatanikatan yang terdapat di luar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Pandangan paedagogisme tersebut memang mempunyai segi-segi positif yang sangat menghormati perkembangan anak, namun juga mempunyai berbagai kelemahan karena anak seakan-akan diisolasikan dari kehidupan bersama di dalam masyarakat. Paedagogisme melahirkan child centered education yang cenderung melupakan bahwa anak hidup di dalam suatu masyarakat tertentu dan mempunyai cita-cita hidup bersama yang tertentu pula. Dengan kata lain, child centered education telah melahirkan romantisme pendidikan yang berpusat kepada kepentingan anak (child needs). Hal ini akan memberikan reaksi terhadap pendidikan yang tidak melihat kepada hakikat anak sebagai makhluk manusia yang hidup di dalam dunianya sendiri sehingga perlu memperoleh perlakuan-perlakuan khusus di dalam proses mendewasakannya.2 Di sisi lain, pendidikan merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalankan roda kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai pematangan nilainilai kehidupan. Oleh karena itu, pemerintah melalui UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman 2
H.A.R. Tilaar, Ed., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 19-20
3
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .3 Dengan demikian, dalam usaha mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki, siswa tidak hanya memanfaatkan kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga mengoptimalkan kemampuan beretika dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan orang lain, terutama berinteraksi dengan guru. Oleh karena itu, peran orang tua dan guru agama di sekolah sangatlah penting agar akhlakul karimah tertanam dalam diri anak. Namun pada sekolah-sekolah menengah umum yang notabene pelajaran agama Islamnya memiliki persentasi yang amat kecil, kurang berperan dalam menciptakan situasi yang kondusif dan meningkatkan keyakinan dan amalan agama. Hal tersebut tersinyalir dengan adanya berbagai bentuk pelanggaran ajaran-ajaran Islam, misalnya berani menentang perintah sang guru, berperilaku tidak sopan, tawuran, aksi corat-coret, kurangnya kesadaran tentang kedisiplinan, dan sebagainya. Upaya untuk memperbaiki keadaan sebagaimana tersebut di atas, terkait erat dengan proses pembelajaran, di mana guru sebagai salah satu faktor yang ikut menunjang terwujudnya tujuan pendidikan secara optimal. Indikasi ke arah faktor penunjang tercapainya tujuan tersebut adalah dengan adanya interaksi yang baik antara guru dan siswa dan terjalinnya hubungan yang
saling
mempengaruhi
untuk
merealisasikan
rencana-rencana
pembelajaran yang telah digariskan sebelumnya dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan siswa secara optimal. Dalam konsep agama Islam, tujuan pendidikan ialah pembentukan akhlak. Hal ini sesuai dengan makna tersirat yang tercantum dalam Al-Qur’an:
3
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8-9
4
Dan sesungguhnya kamu (ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung/luhur. (Q.S. Al-Qolam: 68) Demikian juga dari hadits Nabi SAW:
Aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan budi pekerti.4 Terhadap dua dalil nash di atas, ”Hujjat al-Islam” Al-Ghazali mengatakan bahwa: “Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.”
5
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran ruhani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara. Sebagai kelanjutan logis dari metode didaktik-metodik dengan konsep pendidikan paedagogis. Di mana siswa (peserta didik) dipandang dan diperlakukan sebagai pihak yang sepenuhnya bergantung pada guru, maka tidak boleh tidak, guru adalah segalanya. Untuk itu, penghormatan dan beretika kepada guru menjadi amat penting diperlukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam sebuah skripsi dengan judul "Konsep Etika Belajar Siswa menurut AlGhazali".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini dibatasi hanya pada konsep etika belajar siswa yang sesuai dengan pendapat Al-Ghazali dan orang-orang yang terkait dengannya. Yang dimaksud etika
4 5
Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththo’, (Darul Hadits), Juz 2, h. 690 Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
5
belajar siswa di sini adalah etika siswa kepada guru baik di lingkungan kelas maupun di luar kelas (kehidupan sehari-hari). Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan pada hal sebagai berikut: 1. Pembahasan dibatasi hanya dalam tata-cara beretika yang bekenaan dengan situasi belajar dalam proses pendidikan. 2. Penulisan skripsi ini membahas etika siswa dalam belajar yang semestinya dilakukan dalam kerangka pendidikan universal berdasarkan pendapat AlGhazali yang terdapat dalam karya-karyanya, terkait dengan masalah pendidikan. Adapun masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah etika belajar siswa menurut Al-Ghazali? 2. Bagaimana mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran siswa seharihari?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dilaksanakannya penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui tata cara beretika belajar siswa yang baik menurut Al-Ghazali sehingga dapat dipahami, diteladani dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di antara tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Tujuan keagamaan, maksudnya beramal untuk kehidupan akhirat, yakni dari pengetahuan konsep etika belajar menurut Al-Ghazali yang dipaparkan dan sesuai dengan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan AlHadits, diharapkan agar pembaca, terutama bagi mereka yang berstatus siswa/mahasiswa dapat merealisasikannya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas sehingga berfungsi dalam proses belajar-mengajar, penerimaan materi ajar dan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupa riil, serta mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 2. Tujuan ilmiah, yang bersifat keduniawiaan, yakni bertujuan agar pembaca, terutama mereka yang berstatus siswa/mahasiswa dapat memahami makna
6
etika belajar yang sesuai dengan tuntunan agama, sehingga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi pendidikan tinggi Islam. 2. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Ghazali terhadap etika belajar siswa yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. 3. Memberikan sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang etika belajar yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta menambah khazanah kepustakaan dalam mengkaji dan memahami salah satu dari konsep pemikiran Al-Ghazali. 4. Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi para peserta didik dalam memilih teori dan tata cara belajar yang baik. 5. Sebagai salah satu bentuk karya ilmiah yang dapat dijadikan bahan referensi oleh para akademisi dalam pembuatan tugas karya ilmiahnya. Tujuan dan manfaat di atas, lebih menekankan kepada fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan sebaik-baiknya, serta bersosialisasi dengan etika dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
D. Tinjauan pustaka 1. Analisis teori Kegiatan belajar mengajar dikatakan sebagai suatu sistem intruksional yang didalamnya terdapat seperangkat komponen yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lain. Komponen-komponen tersebut meliputi tujuan, metode, bahan atau materi pelajaran, alat atau media dan evaluasi. Belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak
7
didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pendidikan agama Islam tujuan yang hendak dicapai ialah menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, pengamalan serta penghayatan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam
hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.6 Oleh karena itu, pendidikan di sekolah itu sebenarnya adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Dan kehidupan di sekolah adalah merupakan jembatan bagi anak yang akan menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan masyarakat kelak. Melalui sekolah inilah seorang anak kelak diharapkan menjadi orang dewasa sebagai seorang warga negara dan warga masyarakat yang baik dan produktif. 7 Hal di atas sebagaimana nasihat yang disampaikan Al-Ghazali kepada muridnya: Hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tanpa ilmu itu akan sia-sia. Dan ketahuilah bahwa semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka 8 jahannam. Jadi, antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan maksudnya. Dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara
6
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-3, h. 135 7 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1, h. 28 8 Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h. 104
8
ilmu dan amal yang nantinya dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Kerangka berfikir Keharmonisan antara ilmu dengan amal merupakan tuntutan ajaran Islam yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk perilaku atau aturan-aturan positif yang sesuai dalam proses belajar mengajar dengan tetap mengedepankan konsentrasi, bersopan-santun dan menciptakan suasana belajar-mengajar yang harmonis dengan tetap memperhatikaan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga dapat mencapai hasil belajar berupa penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap atau tingkah laku yang diinginkan, sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari sini, penulis mencoba mengkaji dan membahas konsep etika belajar yang baik, dalam hal ini mengacu kepada pemikiran Al-Ghazali. Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M) adalah seorang teolog muslim, faqih dan sufi abad pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam sejarah intelektual Islam yang memiliki pengaruh sekuat dan seberagam Abu Hamid Al-Ghazali.9 Beliau juga salah satu ulama yang mengupas masalah pendidikan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Apabila pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan tersebut dibandingkan dengan pendidikan modern di Indonesia, nampaknya masih ada relevansinya, karena masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilainilai
(agama)
dan
norma-norma
(susila)
pergaulan
dan
sosial
kemasyarakatan, bahkan dalam dunia pendidikan modern sekalipun, di Indonesia masih memperhatikan dan mengembangkan nilai dan norma tersebut.
9
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
9
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini bersifat Kualitatif. Riset kualitatif memproses pencarian gambaran data dari konteks kejadian secara langsung sebagai upaya melukiskan peristiwa sepersis kenyataannya, yang berarti membuat pelbagai kejadiannya seperti merekat dan melibatkan perspektif yang partisipatif di dalam pelbagai kejadian, serta menggunakan penginduksian dalam menjelaskan gambaran fenomena yang diamatinya. 10 Dengan demikian, pendekatan kualitatif menekankan analisanya pada data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis pemikiran Al-Ghazali tentang konsep etika belajar siswa. Maka dengan sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Sedangkan dipilihnya metode deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan.11 Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya. 2. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
10
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), ed. 1, h. 29-30 11 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234
10
a. Studi dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber informasi milik objek yang ditulis secara langsung tanpa perantara penulis lainnya. b. Studi kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan seperti teks book, jurnal ataupun artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini guna mendapatkan landasan teoritis. 3. Teknik analisis data Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis dekriptif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai obyek penelitian dengan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis.12 Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data secara sistimatis dan diformulasikan sedemikian rupa hingga diperoleh kesimpulan yang komprehensif.
F. Sumber data penulisan Untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber data yaitu: 1. Sumber Data Primer. Yang dimaksud data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek yang diteliti. 2. Sumber Data Sekunder Yang dimaksud data sekunder adalah data-data yang mendukung data primer, yaitu buku-buku atau sumber-sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.
12
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, h. 234
11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Secara bahasa, dalam bahasa Indonesia, kata ”pendidikan” berasal dari kata ”didik”. Kata didik dan mendidik berarti adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu pada cara mendidik. Selain kata pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata ”pengajaran” yang berasal dari kata ”ajar”. Sebagaimana terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ajar berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Sedangkan pengajaran berarti proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan.2 Masih dalam arti kebahasan, dijumpai pula kata tarbiyah dalam bahasa Arab, kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam untuk menerjemahkan kata “pendidikan” dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah, terdapat pula kata ta’lim yang berarti pengajaran. Abuddin Nata mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering menggunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata állama dan rabba yang banyak digunakan dalam Al1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi III, cet. Ke 4, h. 263 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 17
12
Qur’an. Jadi, konotasi kata tarbiyah mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik sekaligus mengandung arti mengajar (’allama).3 Sedangkan secara istilah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4 Sementara itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah: ”Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”5 Beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan, sebagai berikut: a. Menurut M. Arifin bahwa: “Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadiannya serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”6 b. SA. Branata, dkk, bahwa “Pendidikan ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk
membantu
kedewasaan.”
3
anak
dalam
perkembangannya
mencapai
7
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-
1, h. 5 4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 263 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 5 6 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke. 4, h. 14 7 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1, h. 6 5
13
c. Jalaluddin dan Abdullah Idi, bahwa ”Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Dengan demikian tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, karena tidak saja akan memberikan arah ke mana harus dituju, tetapi juga memberikan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.8 Berdasarkan pengertian pendidikan yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan pendidikan berarti usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat serta mewariskannya kepada generasi setelahnya untuk dikembangkan dalam kehidupan yang merupakan suiatu proses pendidikan untuk melestarikan hidupnya. Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil seseorang atau suatu kelompok manusia dapat hidup berkembangan sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtara dan bahagia menurut pandangan hidup mereka sendiri, karena pada dasarnya manusia secara individual memiliki naluri sosial (homo socius) sebagai makhluk yang
bermasyarakat,
saling
tolong
menolong
dalam
rangka
mengembangkan kehidupannya di segala bidang. 9 Islam secara bahasa berasal dari kata salama yang berarti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri, ketaatan dan kepatuhan. 10 Sedangkan Islam dalam pengertian yang lebih luas adalah agama yang identik dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
8
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-1, h. 119 9 Drs. Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet. Ke. 4, h. 2 10 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), Ed. 6, h. 49
14
SAW yang termaktub dalam Al-Quran dan yang dalam pelaksanaannya dicontohkan oleh Nabi Muhammad selama hidupnya. 11 Muhammad Daud Ali mengatakan bahwa Islam merupakan satu sistem akidah dan syariat serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang kini terkenal dengan istilah lingkungan hidup.12 Jadi, pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah suatu proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedomankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabarkan dalam sunnah Rasul dan bermula sejak Nabi Muhammad SAW menyampaikan ajaran tersebut kepada umatnya. Kesimpulan di atas secara garis besar memiliki kesamaan dengan pendapat Nur Uhbiyati yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “suatu sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi”. 13 Dengan demikian, makin jelaslah bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang materiil bukan Islamis, termasuk ruang lingkup pendidikan Islam juga, setidaknya menjadi penunjangnya. Pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan kehidupan manusia, baik itu di bidang ilmu pengetahuan maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan rohaniah, karena meluasnya tuntutan hidup manusia sendiri. Pendidikan adalah studi tentang sistem dan proses kependidikan yang bertujuan untuk mencapai suatu produk kependidikan yang dilaksanakan secara teoritis maupun praktis.
11
Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), cet. Ke. 7, h. 12 12 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam..., h. 51 13 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2, h. 13
15
Oleh karenanya, dari sisi teoritis, pendidikan Islam adalah merupakan konsep berfikir yang bersifat mendalam dan terperinci tentang masalah kependidikan yang bersumberkan pada ajaran Islam dari segala rumusan-rumusan tentang konsep dasar, pola, sistem, tujuan, metoda dan materi (substansi) kependidikan disusun menjadi ilmu yang bulat. Dengan demikian
terlihat
bagaimana
Islam
memandang
pada
masalah
kependidikan yang mungkin dapat teraplikasi melalui proses yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan pada umumnya yang tidak terbatas atau terbuka, sehingga akan nampak dalam teori pendidikan Islam terkandung nilai-nilai ilmiah paedagogis yang absah dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia ilmu pendidikan. 14 2. Dasar Pendidikan Islam Guna meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari sebuah masyarakat dan agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of culture serta memberi manfaat untuk manusia itu sendiri, maka diperlukan acuan pokok yang mendasarinya. Dasar pendidikan Islam secara garis besar ada 3 (tiga) yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah dan PerundangUndangan yang berlaku di Negara ini. a. Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia, Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap (hudan lin-nas) meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang universal. Keuniversalannya ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi dan sekaligus merupakan mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas. Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat manusia. Ia merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidikan pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), 14
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h. 16
16
maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensi tidak akan pernah mengalami perubahan. Kemungkinan perubahan hanya sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan pemaknaannya sesuai dengan konteks zaman, situasi, kondisi dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi operasional pendidikan Islam lebih lanjut.15 Penurunan Al-Qur’an yang dimulai dengan ayat-ayat yang mengandung konsep pendidikan dapat menunjukan bahwa tujuan AlQur’an yang terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal darah dalam rahim Ibu, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmulah yang maha pemurah, yang mengajarkan dengan Qalam, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq: 1-5).16 b. As-Sunnah Hadits merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan 15 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. Ke-1, h. 95-96 16 Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran DEPAG, 1995), h. 1079
17
dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, hadits qauliyat yaitu yang berisikan ucapan, pernyataan dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits fi’liyat yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan Nabi. Ketiga, hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi. Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi merupakan acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktifitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung dalam Al-Qur’an, namun muatan hukum yang terkandungbelum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis. Untuk itu diperlukan keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum dalam Al-Qur’an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur’an.17 Dalam dunia pendidikan, Rasulullah SAW, seperti dalam hadits, menyerukan untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam pendidikan dengan sabdanya: “Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban atas setiap muslim.”18 Mencermati hadits di atas menunjukan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan sangat penting untuk dijadikan sebagai bekal dalam memasuki dunia yang penuh dengan problematika kehidupan, bahkan untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan yang lebih kekal dan abadi, yaitu kehidupan akhirat.19 Rasulullah SAW adalah sosok pendidik yang agung dan pemilik metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik. 17
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 97-98 Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulum al-Din, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), Juz I, h. 9 19 Muhammad Atyhiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 5 18
18
Beliau dapat memperhatikan manusia sesuai dengan kebutuhan, karakteristik, dan kemampuan akalnya, terutama jika berbicara dengan anak-anak. Beliau sangat memahami kondisi naluriah setiap orang sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik material maupun spiritual. Beliau senantiasa mengajak setiap orang untuk mendekati Allah SWT dan syari’at-Nya sehingga terperiharalah fitrah manusia melalui pembinaan diri setahap demi setahap, penyatuan kecenderungan hati, dan pengarahan potensi menuju derajat yang lebih tinggi. c. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia 1) UUD 1945, pasal 29 Ayat 1, berbunyi: Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Ayat 2, berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya Pasal 29, UUD 1945 ini memberikan jaminan kepada warga negara RI untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama yang dipeluknya bahkan mengadakan kegiatan yang dapat menunjang bagi pelaksanaan ibadat. Dengan demikian, pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang diyakininya diizinkan dan di jamin oleh negara.
2) Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
19
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab 3. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam ditinjau dari segi historis memiliki dinamika seirama dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Contoh sederhana bahwa tujuan pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW berbeda jauh dengan tujuan pendidikan Islam pada masa modern sekarang ini. Perkembangan inilah yang menyebabkan tujuan pendidikan Islam secara khusus mengalami perkembangan dinamika seirama dengan perkembangan zaman, namun tanpa melepaskan diri pada nilai-nilai ilahiah dan tujuan umumnya, yaitu sebagai bagian dari suatu ibadat. Akibat dinamikanya ini, para ahli muslim mencoba untuk memberikan definisi khusus terhadap pendidikan Islam. Antara lain adalah Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang memberikan batasan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah membina kesadaran atas diri manusia itu sendiri dan atas sistem sosial yang Islami. Sikap dan rasa tanggung jawab pribadinya, sosialnya, juga terhadap alam ciptaan-Nya serta kesadarannya untuk mengembangkan dan mengelola alam ini bagi kepentingan kelangsungan hidup makhluk-Nya dan bagi kepentingan serta
20
kesejahteraan umat manusia. Dan yang penting lagi ialah terbinanya ma’rifat kepada Allah Pencipta alam semesta dengan beribadah kepadaNya dengan cara mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya.20 Dalam versi yang lain, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya bagi pembentukan aqidah/keimanan yang mendalam. Menumbuhkan dasar-dasar akhlak karimah melalui jalan agamis yang diturunkan untuk mendidik jiwa manusia serta menegakkan akhlak yang akan membangkitkan kepada perbuatan yang terpuji. Upaya ini sebagai perwujudan penyerahan diri kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.21 Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .22 Dari berbagai rumusan di atas, terdapat beberapa tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam adalah sebagai berikut: a. Tujuan umum, yakni tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran. b. Tujuan akhir, yaitu insan kamil yang mati dan akan menghadap Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. Dalam arti bahwa mati dalam keadaan muslim merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup yang pasti berisikan kegiatan pendidikan.
20
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 105 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 106 22 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan..., h. 8 21
21
c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan dan kepribadian.23 Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri individu anak didik melalui proses pendidikan.
4. Metode Pendidikan Islam Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “meta” yang berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.24 Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan. Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat berarti bahwa metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek dan sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula berarti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Demikianlah ilmu pendidikan Islam merangkum metodologi pendidikan Islam yang tugas dan fungsinya adalah memberikan cara 23
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 112 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-1, h. 91 24
22
sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu pendidikan tersebut. Ada beberapa metode dalam pendidikan Islam yang dikemukakan para ahli, di antaranya ialah: a. Metoda Mutual Education Yaitu suatu metoda mendidik secara berkelompok yang pernah dicontohkan oleh Nabi, misalnya dicontohkan Nabi sendiri dalam mengajarkan shalat dengan mendemonstrasikan cara-cara shalat yang baik. Nabi juga menganjurkan shalat secara berjamaah dengan pahala yang berlipat 27 kali. Dengan cara berkelompok inilah maka proses mengetahui dan memahami ilmu pengetahuan lebih efektif oleh karena satu sama lain dapat saling bertanya dan saling mengoreksi bila satu sama lain melakukan kesalahan. b. Metode Instruksional Yaitu metode yang bersifat mengajar tentang ciri-ciri orang yang beriman dan bersikap serta bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap dan bertingkah dalam kehidupan sehari-hari. c. Metode Bercerita Yaitu dengan cara mengisahkan peristiwa sejarah hidup manusia
masa
lampau
yang
menyangkut
ketaatannya
atau
kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Tuhan yang dibawakan oleh Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka. d. Metode Bimbingan dan Penyuluhan Metode ini tertuang dalam Al-Qur’an untuk membimbing dan menasehati manusia sehingga dapat memperoleh kehidupan batin yang tenang, sehat serta terbebas dari segala bentuk kesulitan hidup yang dihadapi atas dasar iman dan takwanya kepada Yang Maha Menjadikan.
23
e. Metode Pemberian Contoh dan Teladan Metode yang cukup besar dalam mendidik anak adalah metode pemberian contoh dan teladan. Allah telah menunjukkan bahwa contoh keteladanan dari kehidupan Nabi Muhammad adalah mengandung nilai paedagogis bagi manusia (para pengikutnya). f. Metode Diskusi Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam mendidik dan mengejar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah. Perintah Allah dalam hal ini adalah agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mauidzoh yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Suatu diskusi baru dapat berjalan dengan baik bila dilakukan dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup jelas, dengan pembicaraan yang berlangsung secara rasional tidak didasarkan atas luapan emosi dan lebih mementingkan pada kesimpulan rasional daripada kepentingan egoistis pribadi peserta. g. Metode Soal-Jawab Metode soal-jawab sering digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Nabi dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Bahkan para ahli pikir dan filosofpun banyak mempergunakan metode soal-jawab ini. Oleh karenanya, metode ini adalah yang paling tua dalam dunia pendidikan dan pengajaran di samping metode ceramah. Namun efektifitasnya lebih besardaripada metode-metode yang lain, karena dengan soal-jawab, pengertian dan pemahaman seseorang dapat lebih dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari h. Metode Pemberian Perumpamaan Mendidik
dengan
menggunakan
metode
pemberian
perumpamaan atau metode imtsal tentang kekuasaan Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang hak dan hal-hal yang bathil, misalnya
24
sebagai yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya sebagai berikut:
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (Q.S. Ar-Ra’d: 17)
i. Metode Motivasi Yaitu dorongan
cara
memberikan pelajaran dengan
(motivasi)
untuk
memperoleh
memberikan
kegembiraan
bila
mendapatkan sukses dalam kebaikan, sedangkan bila dalam keadaan tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk yang benar maka akan mendapat kesusahan. Metode ini juga disebut sebagai metode targhieb dan tarhieb (hadiah dan ancaman). Yang memberikan dorongan untuk selalu berbuat baik dalam hal-hal yang bersifat positif. j. Metode Taubat dan Ampunan Metode taubat dan ampunan yaitu cara membangkitkan jiwa dan rasa frustasi kepada kesegaran hidup dan optimisme dalam belajar seseorang
dengan
memberikan
kesempatan
bertaubat
dari
25
kesalahan/kekeliruan
yang telah lampau yang diikuti dengan
pengampunan atas dosa dan kesalahannya. Dengan cara demikian orang akan mengalami katarisasi (pembersihan batin) sehingga memungkinkan timbulnya sikap dan perasaan mampu untuk berbuat yang lebih baik diiringi dengan optimisme dan harapan-harapan hidup di masa depannya. Metode ini banyak dipergunakan dalam proses counseling yang diterapkan dalam client-centered.25
5. Ruang Lingkup Pendidikan Islam Nur Uhbiyati mengatakan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah Islamiah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.26 Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ruang lingkup materi pendidikan Islam meliputi kegamaan, kemasyarakatan, seni budaya dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian materi pendidikan Islam yang diberikan di sekolah berperan untuk pengembangan potensi kreatifitas peserta didik dan bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi. Berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, agama, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat bertolak belakang dengan ilmu pendidikan non-Islam. Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam
25 26
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h, 110-125 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h 16
26
menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi seharihari.
6. Tanggung Jawab Pendidkan Islam Secara umum, menurut Samsul Nizar, mengutip dari Hadari Nawawi, bahwa yang bertanggung jawab atas maju mundurnya pendidikan –termasuk pendidikan Islam- terdapat pada pundak keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Ketiganya harus mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana yang memberikan motivasi, fasilitas edukatif, wahana pengembangan potensi yang ada pada diri peserta didik dan mengarahkannya untuk mampu bernilai efektifefisien sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zamannya serta memberikan bimbingan dan perhatian yang serius terhadap kebutuhan moral-spiritual peserta didiknya. Bimbingan yang dimaksud meliputi pengembangan potensi anak didik, transformasi ilmu pengetahuan dan kecakapan lainnya serta membangkitkan motif-motif yang ada semaksimal mungkin.27 Di samping ketiga unsur di atas, menurut Samsul Nizar, ada satu lagi yang ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam, yaitu manusia itu sendiri, sebagai subyek dan obyek langsung pendidikan. Tanpa kesadaran dan tumbuhnya nilai tanggung jawab pada dirinya mustahil pendidikan Islam mampu memainkan peranannya secara maksimal. Untuk itu, di samping ketiga unsur di atas, diperlukan kesiapan dan tanggung jawab yang besar pada diri peserta didik sebagai hamba Allah yang siap melaksanakan amanat-Nya di muka bumi.28 Beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh unsur-unsur di atas dalam upayanya mengentarkan peserta didik muslim kepada tujuan ilahi yang agung, menjadikannya sebagai salah satu kekuatan penentu berhasil 27 28
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 124 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 125
27
atau tidaknya pendidikan Islam sebagai pioner pembangunan peradaban umat, terutama di era modern saat ini. Oleh karenanya, kesemua unsur tersebut harus mampu bersatu secara padu dan utuh, dengan tanpa melepaskan diri dari ruh akidah Islamiah.
Kesemua
ini
menurut
Islam,
akan
dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah kelak di akhirat, atas upaya dan tugasnya dalam mengantarkan peserta didik muslim ke arah tujuan pendidikan Islam secara maksimal.
B. Konsep Etika 1. Pengertian Etika a. Pengertian Etika menurut Bahasa Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin "ethicus", yang berarti kesusilaan atau moral. Maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan norma-norma social, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Di samping itu terdapat pendapat bahwa kata etika berasal dari bahasa Yunani, "ethos" artinya watak kesusilaan.29 Etika seringkali juga dikaitkan dengan moral. Hal ini dikarenakan kata moral selalu mengacu pada tindakan yang baik atau yang buruk yang dilakukan oleh manusia. Moral berasal dari bahasa Latin "mores", jamak dari "mos" yang berarti kebiasaan.30 Dalam bahasa Arab disebut "akhlak" artinya budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).31 Memperhatikan beberapa pengertian etimologi dari pendapat di atas menunjukkan bahwa etika sama artinya dengan moral atau akhlak,
29
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 23 30 Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), h. 26 31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 309
28
yang berarti adat kebiasaan, kesusilaan, budi pekerti, norma atau peraturan hidup. Dengan demikian secara garis besar, etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak Ada pendapat yang membedakan arti kata etika dan moral maupun akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Rosmaria Sjafariah Widjajanti sebagai berikut: "biasanya
orang
menggunakan
kata
morality
untuk
menunjukkan tingkah lakunya sendiri, sedangkan ethic menunjuk kepada penyelidikan tentang tingkah laku pada umumnya”.32 Dengan demikian, apabila akan membahas persoalan etika siswa dalam belajar maka berarti mengkaji nilai-nilai dan normanorma yang hendaknya dilakukan oleh siswa dalam bersikap dan bertingkah laku. b. Pengertian Etika menurut Istilah Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian tentang etika, antara lain sebagai berikut: Menurut Ahmad Amin etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.33 Hamzah Ya'qub menyatakan bahwa etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.34 Hasbullah Bakry menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang
32
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 25 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. ke-8, h. 3 34 Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), cet. ke-7, h. 12 33
29
baik dan mana yang buruk dengan melihat perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.35 Dari beberapa batasan pengertian tersebut di atas, tampak sekali, walaupun mengemukakan dalam bahasa yang berbeda, namun pada prinsipnya sama antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dengan meliputi berbagai aspek, yaitu tentang baik dan buruk, tentang apa dan bagaimana perbuatan dan tujuan manusia, mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dalam kehidupan manusia. 2. Ruang Lingkup Etika Lapangan penelitian etika memiliki cakupan yang sangat luas sehingga pembahasannya memerlukan pembagian. Oleh karena itu lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Etika deskriptif, yaitu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik, yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif ini hanya melukiskan tentang nilai dan tidak memberikan penilaian. b. Etika normatif, yaitu etika yang berkaitan ddengan penyelesaian ukuran-ukuran kesusilaan yang dianggap benar yang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Dalam arti bahwa etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian etika normatif tidak menggambarkan norma yang ada melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku atau anggapan moral yang ada di dalam masyarakat. c. Etika praktis, yaitu etika yang mengacu pada pengertian sehari-hari, yakni persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari35
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), cet. 5, h. 63
30
hari. Dengan kata lain bahwa etika praktis sama dengan etika terapan yang membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang kongkrit. d. Etika individual dan etika sosial. Etika individual adalah etika yang
bersangkutan dengan manusia
sebagai perseorangan saja. Sedangkan etika sosial adalah etika yang membicarakan hubungan antar perorangan dengan sekumpulan masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa etika individual berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar.36 3. Perbedaan Antara Etika dengan Akhlak Banyak orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan karena pandangan masingmasing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendirisendiri.37 Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan etika Islam yang lebih dikenal dengan akhlak. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran agama Islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus. 36 37
13
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 44-52 Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
31
Etika Islam (Akhlak) berbeda dengan teori etika menurut beberapa aliran filsafat. Perbedaan yang mencolok antara etika Islam dengan teoriteori etika dalam berbagai aliran filsafat terdapat dalam menentukan konsep nilai yang paling fundamental, yakni kebaikan. Dalam pandangan filsafat terdapat aliran-aliran etika yaitu, Pertama, hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesenangan sebagai kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Kedua, idealisme memandang bahwa cita-cita adalah sasaran yang harus dikejar dalam tindakan. Ketiga, naturalisme menilai baik dan tidak baiknya perbuatan seseorang ditilik dari adanya kesesuaian dengan naluri manusia, baik naluri lahir maupun batin
sebagai
titik
tolak
kebahagiaan.
Keempat
ultilitarianisme
berpedoman bahwa kebaikan dari suatu perbuatan dapat dilihat pada sumbangannya untuk kebahagiaan hidup manusia. Kelima, vitalisme memandang bahwa yang dinilai baik adalah orang kuat yang mampu melaksanakan keinginannya agar dirinya ditaati oleh orang lain. Keenam, perfectionisme dari Plato dan Aristoteles menetapkan kebaikan dalam kaitan dengan pengembangan berbagai kemampuan manusia. Kebahagiaan hanya bernilai jika kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik. Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan bersifat mutlak; berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. 38 Sedangkan M. Yatimin menambahkan satu aliran lagi, yakni aliran teologi, yang menyatakan bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia
didasarkan
atas
ajaran
Tuhan.
Segala
perbuatan
yang
diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang Tuhan itulah yang buruk.39
38 Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet. ke-2, h. 39-41 39 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 86-87
32
Untuk menghilangkan kesamaran antara etika Islam dengan etika filsafat, Hamzah Ya'qub mengemukakan karakteristik etika Islam, yakni sebagai berikut: a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah (Al-Qur'an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah). c. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat. d. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah manusia (manusiawi) maka Etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia. e. Etika Islam mengatur akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju keridlaanNya. Dengan melaksanakan Etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan mnyesatkan.40 Untuk lebih jelasnya, berikut perbedaan antara Etika Islam dengan etika Barat dalam tabel: NO
TINJAUAN
1.
SUMBER
2.
SIFAT
40
14
ETIKA ISLAM (AKHLAK) Wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadits, dengan kata lain akhlak berasal dari Allah Mutlak, absolut dan tidak dapat diubah. Namun di sisi lain akhlak menerima ajaran yang bersifat rasional, lokal
ETIKA BARAT Pendapat akal pikiran (rasio), produk rasio. Dengan kata lain etika barat berasal dari manusia. Terbatas dan dapat diubah. Mengingat sumber Etika Barat adalah akal pikiran yang dimiliki oleh manusia
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
33
3.
TUJUAN
4.
PERAN
dan kultural jika memang etika Barat itu sesuai dengan akhlak sehingga ajaran Islam itu dapat hadir dan diterima oleh seluruh lapisan sosial. Dengan demikian, hal itu menunjukkan bahwa Islam sangat toleran dan akomodatif terhadap berbagai produk pemikiran. Universal dan komprehensif, karena patokannya bukan pada pemikiran manusia yang berbeda-beda. Akhlak bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak memiliki peran terhadap etika Barat, moral dan susila yakni memberikan batas-batas umum dan universal agar apa yang dijabarkan dalam etika tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan tidak membawa manusia menjadi sesat.
yang berlainan/berbeda dan terbatas.
Sedangan etika Barat hanya bertujuan untuk kebahagiaan dunia. Peran etika Barat terhadap akhlak adalah mengabarkan dan mengoperasionalkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Al-Qur'an. Karena etika bersumber pada akal pikiran, dengan demikian diterimanya hasil pemikiran manusia oleh Islam menunjukkan bahwa etika diterima oleh akhlak Islam sebagai sarana untuk menjbarkan ajaran akhlak yang terdapat dalam wahyu.
Demikianlah Etika Islam yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini yakni akhlak atau perilaku serta atau aturan-aturan positif sesuai dengan ajaran Islam yang mesti dilakukan terutama oleh siswa dalam proses belajar mengajar.
34
C. Konsep Belajar 1. Pengertian Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah 1. berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; 2. berlatih; 3. berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.41 Sedangkan secara terminologi, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Secara umum, menurut Mardiyanto, belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di dalam diri seseorang yang mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan keterampilan dan sebagainya.42 Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah menyatakan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor.43 Dari uraian ini dapat dipahami bahwa belajar merupakan proses penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari proses pembelajaran serta perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, yang dimaksud dengan etika belajar adalah serangkaian upaya pembentukan perilaku yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup, terutama dalam proses belajar baik dalam proses penguasaan pengetahuan atau keterampilan serta tercapainya perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara baik. 41
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 17 Mardiyanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Bagi Pengembangan Strategi Pembelajaran, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), cet. I, h. 35 43 Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), ed. 2, h. 13 42
35
2
Ciri-ciri Belajar Mengingat bahwa hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar, yaitu: a. Perubahan yang terjadi secara sadar Hal ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan
itu
atau
sekurang-kurangnya
individu
merasakan
telahterjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari
bahwa
pengetahuannya
bertambah,
kecakapannya
bertambah, kebiasaannya bertambah. b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatau perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Misalnya, jika seorang anak belajar menulis maka ia akan mengalami perubahan dari tidak menulis menjadi dapat menulis . disamping itu, dengan kecakapan menulis yang telah dimilikinya ia dapat memperoleh kecakapan-kecakapan lain. Misalnya, dapat menulis surat, menyalin catatan-catatan, mengerjakan soal-soal dan sebagainya. c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, makin banyak usaha belajar yang dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya, perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar.
36
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, menangis dan sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar tidak akan hilang melainkan akan terus dimiliki dan bahkan makin berkembang bila terus dipergunakan atau dilatih. e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah Dalam hal ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. Misalnya seseorang yang belajar mengetik sebelumnya sudah menetapkan apa yang mungkin dapat dicapai dengan belajar mengetik atau tingkat kecakapan mana yang akan dicapainya. Dengan demikian, perbuatan belajar yang dilakukan senantiasa terarah pada tingkah laku yang telah ditetapkan. f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Misalnya, jika seorang anak telah belajar naik sepeda maka perubahan yang paling tampak adalah dalam keterampilan naik sepeda itu. Akan tetapi, ia telah mengalami perubahan-perubahan lainnya seperti pemahaman tentang cara kerja sepeda, pengetahuan tentang jenis-jenis sepeda, pengetahuan tentang alat-alat sepeda, cita-cita untuk memiliki sepeda yang lebih
37
bagus, kebiasaan membersihkan sepeda dan sebagainya. Jadi, aspek perubahan yang satu berhubungan erat dengan aspek lainnya.44
D. Etika Belajar Menurut Tokoh Pendidikan Islam Muhammad Yusuf Musa menyebutkan bahwa Ibnu Miskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq menguraikan pengartian moral atau akhlak adalah:
Suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan 45 tanpa pertimbangan.
Asal sikap mental itu adakalnya dari watak dan ada pula dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian sangatlah penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Karena pentingnya akan pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap etika mulia yang harus dibina dengan menekankan pada pembentukan jiwa terlebih dahulu yang mencakup daya dan kemampuan yang ada pada anak, yaitu daya berfikir, daya marah dan daya keinginan. Hal ini sesuai dengan analisis Muhammad Yusuf Musa terhadap pemikiran Ibnu Miskawaih yang menyatakan bahwa:
,
,
,
Jiwa memiliki tiga daya. Pertama adalah daya berfikir daya mengamati hakekat sesuatu, kedua adalah daya yang berkaitan dengan sifat marah,
44
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar..., h. 15-17 Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat alIghroqiyyah, (Kairo: al-Khoniji, 1963), Cet. ke. 3, h. 85 45
38
sifat berani dan sifat-sifat lainnya dan ketiga adalah daya keinginan yang akan menimbulkan kepuasan inderawi dan hal-hal lainnya.46 Dengan daya berfikir, siswa dilatih dengan baik terutama pada perkembangan akal serta sistematika berfikirnya sehingga pada akhirnya dapat menguasai segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat ukhrawi maupun yang bersifat duniawi sehingga menjadi dasar untuk berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Daya yang berkaitan dengan emosi atau marah, berani dan kendali diri diterapkan untuk meminimalisir serta mengarahkan daya marah dan sifat berani yang dimilikinya. Sedangkan dengan daya yang menimbulkan kepuasan inderawi, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian dan lain-lain. Dengan demikian Ibnu Miskawaih menerangkan adanya tiga pokok dasar dalam pembentukan kejiwaan seseorang. Pertama, daya berfikir. Daya berfikir harus dimiliki setiap siswa karena dengan daya tersebut ia akan berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua bentuk kesalahan dan kebodohan. Kedua, daya yang berkaitan dengan emosi dan sikap berani, dalam arti sikap berani yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang memiliki etika yang baik biasanya memiliki kecerdasan emosional dan sikap pemberani, karena dapat menunjang
dirinya untuk
mewujudkan sikap-sikap mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun dan memiliki perasaan kasih dan cinta. Ketiga, daya yang menimbulkan kepuasan inderawi, yaitu sifat dasar manusia yang menginginkan kebebasan beraktualsasi untuk meraih kepuasan-kepuasan tertentu. Orang yang memiliki daya tersebut dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik dan tidak rakus. Daya yang menimbulkan kepuasan tersebut merupakan suatu potensi yang diberikan Allah, dibawa oleh manusia sejak lahir yang menurut tabiatnya cenderung kepada kebaikan dan mendorong manusia untuk berbuat baik.
46
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat alIghroqiyyah..., h. 85
39
Orang yang memiliki etika baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes karena dapat melahirkaan sifat saling mencintai dan tolong-menolong. Etika yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan etika baik yang timbul sebagai tindak-tanduk manusia yang bersumber dari hati. Etika baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya sehingga suatu perbuatan yang terlihat merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa konsep etika belajar siswa menurut Ibnu Miskawaih terbagi menjadi tiga hal, yaitu: 1.
Daya berfikir, siswa dilatih dengan baik terutama pada perkembangan akal serta sistematika berfikirnya sehingga pada akhirnya dapat menguasai segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat ukhrawi maupun yang bersifat duniawi
2.
Daya yang berkaitan dengan emosi atau marah, berani dan kendali diri diterapkan untuk meminimalisir serta mengarahkan daya marah dan sifat berani yang dimilikinya menuju sikap dan perilaku yang positif
3.
Daya yang menimbulkan kepuasan inderawi, yaitu sifat dasar manusia yang menginginkan kebebasan beraktualsasi untuk meraih kepuasan-kepuasan tertentu. Orang yang memiliki daya tersebut dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik dan tidak rakus
Al-Farabi juga mengemukakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam upaya pembentukan etika bagi siswa sebagai berikut:
. ,
. ,
,
40
,
.
.
Al-Farabi mengawali kupasan tentang tata cara pembentukan etika dengan uraian-uraian yang hendaknya diketahui dan dipercayai oleh siswa. Al-Farabi berpendapat bahwa seorang siswa hendaknya memulai pengetahuannya tentang adanya zat (tuhan) yang menciptakan dan mengatur alam beserta isinya, sekaligus menjadi sebab wujudnya alam tersebut. Kedua, seorang siswa wajib mempercayai adanya wahyu. Hal ini mengingat bahwa manusia memiliki tingkatan akal dan kemampuan yang saling berbeda. Maka solusi yang memungkinkan adalah harus ada orang yang mampu untuk menerima wahyu dalam hatinya sehingga tidak ada orang lain yang dapat menandinginya agar ia bisa menyampaikan wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Dan bagi seorang siswa hendaknya ia mengikuti nabi yang membawa wahyu tersebut serta menjalankaan petunjuknya. Ketiga, seorang siswa hendaknya mengetahui bahwa ilmu yang bersifat primer wajib tertanam dalam tabiatnya namun harus disertai dengan niat.47 Dari uraian yang telah dikemukakan di atas terlihat jelas Al-Farabi memandang bahwa konsep etika belajar siswa ialah suatu upaya pendidikan agar siswa mengetahui dan meyakini akan adanya tuhan yang mencipta dan mengatur alam raya ini. Al-Farabi juga memberikan ruang yang cukup luas bagi siswa untuk mempelajari ilmu yang dibutuhkan bagi dirinya maupun lingkungannya dengan tetap memprioritaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Al-Farabi juga menekankan untuk bersifat inklusif dalam menerima ilmu pengetahuan dari manapun datangnya dan menolak sama sekali sikap fanatik terhadap seseorang ataupun kelompok tertentu. Sebab akidah Islam mengajarkan umatnya untuk mencari kebenaran tanpa harus membatasi diri dengan kelompok atau seseorang selain meneladani sikap Rasul dalam segenap tingkah lakunya. Di sinilah kelebihan teori Al-Farabi yang sangat menghargai arti perbedaan karena berbeda tidaklah identik dengan bertentangan.
47
Ahmad Syamsyuddin, Al-Farabi; Hayatuhu, Atsaruhu, Falsafatuhu, (Beirut, Dar alKutub al-Ilmiyah, 1990), Cet. ke. 1, h. 140
41
Al-Farabi juga menekankan bahwa etika belajar siswa hendaknya bersendi pada nilai ibadah, mengingat bahwa niat adalah unsur terpenting dalam aktifitas dan tindakan manusia. Itulah sebabnya Rasulullah senantiasa mengaitkan amal dengan niat karena niat adalah sikap batin yang memberikan nilai dan arti bagi aktifitas lahir. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa konsep etika belajar siswa menurut Al-Farabi terbagi menjadi tiga hal, yaitu: 1. Aspek keimanan. 2. Aspek keteladanan 3. Aspek pengetahuan Pandangan Al-Farabi tersebut apabila dilaksanakan sebaik-baiknya, maka akan terwujudlah norma-norma dan nilai yang positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses pendidikan dan pengajaran.
BAB III BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Sejarah Ringkas Al-Ghazali Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar imam besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam dan mendapatkan julukan (laqab) ”Zainuddin”.1 Dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang teolog muslim, faqih dan sufi abad pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam sejarah intelektual islam yang memiliki pengaruh sekuat dan seberagam Abu Hamid Al-Ghazali.2 Ayahnya adalah seorang fakir yang saleh. Bekerja hanya sebagai seorang pemintal benang wol. Bila ada waktu luang ia suka mengunjungi para ulama dan menuntut ilmu, seringkali mengabdikan dirinya untuk membantu Ulama, berbuat baik dan memberikan nafkah kepada Ulama. Dan apabila ia mendengar pembicaraan Ulama iapun menangis serta merendahkan diri dan berdoa kepada Allah swt agar dikaruniai anak dan menjadikannya sebagai anak yang berilmu agama dan pandai membimbing. Akan tetapi sebelum ia menyaksikan jawaban atas do’anya itu, beliau meninggal dunia ketika anak1
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997),
h. 9 2
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
42
43
anaknya (Muhammad Al-Ghazali dan adiknya Ahmad) masih kecil-kecil.3 Sebelum meninggal, beliau menyerahkan kedua anak itu kapada salah seorang sahabatnya. Kedua anak itu kemudian mendapat bimbingan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Bimbingan ini berlangsung sampai harta warisan ayahnya yang dititipkan kepada sahabatnya itu habis untuk biaya pendidkan dirinya dan saudaranya. Untuk melanjutkan pendidiknnya itu, sang guru yang sederhana ini menyarankan kepada Al-Ghazali dan saudaranya agar melanjutkaan pendidikannnya di sebuah sekolah di kotanya. Dan merekapun melanjutkan pelajarannya pada sekolah tersebut tanpa dipungut biaya. 4 Di madrasah tersebut Al-Ghazali belajar berbagai ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Kepada Yusuf An-Nassaj seorang sufi terkenal di masanya. Selain itu ia belajar pula kepada seorang faqih yang masih berada di kotanya yaitu Ahmad ibn Muhammad Ar-Razaqani. Terutama tentang yurisprudensi (fiqh) dan selanjutnya pergi ke Jurjan dan belajar kepada AbuNasr Al-Isma’ili.5 Setelah itu, Al-Ghazali pergi ke Nisapur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juawaini, Imam Al-Haramain (w. 478 H/1085 M). Dari beliau ini ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Mughriq).6 Setelah Al-Juwaini meninggal dunia tahun 478 H/ 1085 M, Al-Ghazali pergi ke kota Nishapur. Al-Ghazali mendatangi majlis menteri Nizham AlMulk. Majlis ini merupakan tempat pertemuan para ilmuan. Dalam majlis ini 3
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), cet. Ke-3, h. 18 4 Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bndung: Pustaaka, 1987), cet. Ke-1, h. 8 5 Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 148 6 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr. Z.S. Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 25
44
keunggulan Al-Ghazali tampak menonjol. Akhirnya pada tahun 488 H (1091 M) ia diangkat oelh Nizham al-Mulk sebagai guru besar di Perguruan AlNizhamiah di Baghdad. Di sini ia mendapat banyak murid. Di perguruan AlNizhamiah Al-Ghazali menjabat sebagai guru besar selama empat tahun.7 Dan pada tahun itu pula Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (ilmu tentang hukum, teologi dan ilmu filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, AlGhazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus; di sini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Dan pada periode itulah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya' 'Ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).8 Karena desakan penguasa Seljuk, Al-Ghazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Jabatan inipun ia terima tetapi hanya bertahan selama 2 tahun saja. Setelah itu ia pun kembali lagi ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Setelah mengabdikaan diri untuk ilmu pengetahuan, berkarya dan mengajar, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111M, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan saaudaranya, Ahmad Mujiduddin dalam usia 55 tahun di tempat kelahirannya. Beliau meninggalkan 3 orang anak perempuan dan seoraang anak laki-laki bernama
7 8
78-79
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof..., h. 9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, h.
45
Hamid yang telah meninggal dunia ketika masih kecil. Karena itulah beliau sering disebut dengan sebutan Abu Hamid. Ketenaran Al-Ghazali tidak terbatas hanya pada masanya saja, tetapi sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat pencinta ilmu. Ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama dan pemikir lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islam dan dianggap sebagai Pembaharu Abad V Hijriyah. Banyak ulama yang memuji serta menyanjungnya, di antaranya: 1. Imam al-Haramain, salah satu gurunya, mengatakan, ”Al-Ghazali adalah lautan ilmu yang luas.” 2. Imam Muhammad ibn Yahya, seorang murid Al-Ghazali berkata, ” AlGhazali adalah Imam Syafi’i yang kedua.” 3. Abu al-Hasan Abd al-Ghafir al-Farisi, salah seorang ulama yang hidup semasa dengannya mengatakan, ”Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan hujjah bagi seluruh umat Islam. Ia adalah imam dari semua tokoh agama. Mata manusia tidak pernah melihat orang yang setara dengannya dalam kefasihan lisan, kehebatan berbicara dan kepandaian ilmunya serta karakternya.” 4. Ibnu Najjar berkata, ” Al-Ghazali adalah imam bagi seluruh para fuqaha. Disepakati sebagai insan rabbani bagi umat Islam, mujtahid pada masanya serta kenyataanruang dan waktunya.” 5. Abu al-Abbas al-Mursi, seorang tokoh sufi mengatakan, ”Aku bersaksi bahwa Al-Ghazali telah mencapai derajat shiddiqin.”. 6. Ibn Katsir, pengarang kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, mengatakan, ” AlGhazali menguasai berbagai cabang ilmu secara baik. Ia memiliki karya tulis di berbagai bidang. Ia termasuk cendikiawan kaliber dunia dalam semua hal yang dibicarakannya. Ia telah menjadi tokoh pada masa muda, bahkan mengajar di al-Nadzamiyah dalam usia 34 tahun.”, 7. Ibn al-Imad al-Hambali dalam kitabnya Al-Syadzarat, mengatakan, ”AlImam Zainuddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid adalah salah seorang tokoh yang telah menyusun berbagai karangan, memiliki hafalan kuat,
46
kecerdasan luar biasa dan amat dalam ilmunya. Ringkasnya, seseorang tidak mungkin dapat menemukan orang yang sepadan dengannya.”.9 Ketenaran Al-Ghazali seolah menembus ruang dan waktu, bahkan hingga sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat, terutama para pencinta ilmu. Tidak heran kalau buah pikirannya menjadi bahan pendidikan dan penelitian di mana-mana, khususnya diperguruan-perguruan tinggi.
B. Karya-karya Al-Ghazali Al-Ghazali selain mahir berbicara juga amat produktif menulis. Karya tulisnya relative banyak, baik berupa buku atau risalah dalam berbagai bidang ilmu: tasawuf, teologi, filsafat, logika, fiqih dan lain-lain. Karya tulisnya yang paling terkenal luas adalah Ihya’ Ulumuddin, kitab yang mengupas – berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta dengan semangat tasawuf- masalah ilmu, akidah ibadat, muamalat, keajaiban hati, akhlak dan latihan jiwa. Dan di antara buku-bukunya adalah: 1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat 2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran para Filsuf), kitab ini dikarang sewaktu beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras. 3. Mi'yar Al-'Ilmi (Kriteria Ilmu-ilmu) 4. Ihya' Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), kitab ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara kota Damaskus, Yerusalem, Hijaz dan Thus yang berisikan paduan antara fiqh, tasawuf dan filsafat. 5. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan. 9
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali..., h. 10-12
47
6. Al-Ma'arif Al-'Aqliah (Pengetahuan yang rasional) 7. Misykat Al-Anwar (Lampu yang bersinar banyak), kitab ini berisikan pembahasan tentang akhlak dan tasawuf 8. Minhaj Al-'Abidin (Jalan Mengabdikan Diri kepada Tuhan). 9. Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad (Moderasi dalam Aqidah). 10. Ayyuha Al-Walad 11. Al-Mustashfa 12. Fatihat Al-Kitab 13. Iljam Al-'Awwam 'An Al-'Ilm Al-Kalam 14. Mizan Al-'Amal10 Adapun pemikiran pendidikan Al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Ayyuha Al-Walad dan Ihya’ ‘Ulum Al-Din. Dan buku Ihya ‘Ulumuddin menyebutkan bagaimana Al-Ghazali mendapatkan hakikat pengetahuan dalam pandangannya sebagai pemenuhan intelektual dan spiritualnya. selain itu pula buku tersebut tampaknya merupakan kerangka metodologis dari epistimologi ilmu pengetahuan dalam pandangan Al-Ghazali dan juga mengandung pesan-pesan moral dalam upaya melatih anak untuk mempunyai akhlak yang baik.
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali Pendidikan menurut Al-Ghazali ialah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.11 Jadi pendidikan itu adalah suatu proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Selanjutnya pemikiran Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan tertuang dalam kitabnya yang berjudul "Mizan al-‘Amal", yang menyatakan bahwa:
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam..., h. 78-79 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997, cet. 1, h. 86 11
48
Tujuan murid/siswa dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.12 Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran ruhani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dalam pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamentalis dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu Negara. Kemudian ia memberikan nasihat kepada muridnya:
.
,
,
:
,
Hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tanpa ilmu itu akan sia-sia dan ketahuilah bahwa sematamata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka jahannam.13 Jadi antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan maksudnya atau dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara ilmu dan amal. Al-Ghazali
melukiskan
tujuan
pendidikannya
sesuai
dengan
pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kemudian ia meletakkan metode ilmu yang menurut pendapatnya sesuai bagi tujuan dan sasaran pendidikan. Maka ia mengadakan pembagian ilmu-ilmu, diberikan nilainya dan diterangkan faedah-faedahnya bagi murid. Kemudian menyusun dan
mengaturnya
menurut
kepentingan
dan
manfaatnya.
Kemudian
diterangkan dasar-dasar yang harus dilalui guru sesuai dengan ilmu-ilmu itu pada waktu melaksanakan tugas mengajar dan mendidik supaya dapat melaksanakan tugas ini dengan jalan yang paling sempurna. Demikianlah Al12 13
104
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143 Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h.
49
Ghazali melukiskan metode mengajar secara umum dan dimaksudkan untuk membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.14 Dengan memperhatikan uraian Al-Ghazali di atas maka menjadi jelas bahwa sesungguhnya dia menghendaki tujuan pendidikan harus mendekati dua batas akhir, yaitu kesempurnaan manusia yang tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang berakhir pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Keutamaan dengan melalui ilmu membuat manusia itu bahagia di dunia dan pendekatan kepada Allah akan mengantarkan ia untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak. Dengan demikian pendapat Al-Ghazali dalam pendidikan pada umumnya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu tujuan-tujuan agama dan akhlak yang ditandai dengan watak religius dan moralitas yang tampak jelas pada sasaran-sasaran dan jalan-jalannya dengan tidak mengabaikan halhal yang bersifat keduniawiaan.
14
Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih bahasa oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1986.), h. 14
BAB IV ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI
Sebagai tokoh yang besar dalam agama, Al-Ghazali termasuk salah seorang terpenting dalam pemikiran agama (hujjat al-Islam). Al-Ghazali selain sebagai sufi dan filosof, beliau juga seorang yang ahli dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai konsep tentang pendidikan, yang salah satunya adalah konsep tentang etika belajar siswa. Konsep etika belajar siswa itu meliputi: A. Konsep Etika Belajar Siswa 1. Etika Belajar dengan Diri Sendiri
Etika dalam pandangan Al-Ghazali adalah:
Suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatanperbuatan secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran.1 Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan etika belajar siswa tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, 1
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t ), Juz 3, h. 56
50
51
namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motif dan tujuan melakukannya. Al-Ghazali mempergunakan istilah siswa dengan beberapa kata, seperti Al-Shobiy (anak), al-Muta’allim (pelajar), dan Tholibul ‘Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, siswa dapat diartikan orang yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan dalam arti luas. Kemudian, terkait dengan etika belajar siswa Al-Ghazali mengatakan bahwa:
Sesungguhnya tubuh itu bukannya sekaligus diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna, tetapi kesempurnaan inipun dapat diperoleh sedikit demi sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan, mendapatkan makanan dan lain-lain. Hal yang demikian ini tidak berbeda sedikitpun dengan halnya jiwa. Ia mula-mula serba kurang, namun begitu ia dapat menerima hal-hal yang akaan menyempurnakannya. Jalan untuk menyempurnakannya itu ialah dengan memberikan didikan budi pekerti luhur, akhlak yang mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.2 Berdasarkan pernyataan Al-Ghazali di atas, etika belajar siswa pada diri sendiri menurut Al-Ghazali bahwa unsur kehidupan ada dalam diri siswa dan dilengkapi dengan fitrah maka siswa itu mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan dalam dua aspek, yaitu: a. Aspek
fisik,
aspek
fisik yang
memiliki potensi-potensi dan
kemampuan-kemampuan tenaga fisik yang bila benar dan baik pengembangannya, maka akan menjadi kecakapan dan keterampilaan kerja untuk memanfaatkan karunia Allah di bumi dan di langit ini, 2
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn…, h. 59
52
sebagai sarana untuk beribadah kepada-Nya (pengabdian pada Yang Maha Pencipta). b. Aspek psikis yang mengandung potensi-potensi yang tidak terhitung jumlahnya,
yang
bila
benar
dan
baik
pendidikan
maupun
pengembangannya, maka akan terbentuklah manusia yang berfikir ilmiah, berkarya ilmiah dan bersikap ilmiah dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki, demikian pula akan terbentuklah manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian kuat dan bertakwa kepada Allah SWT (Tuhan Pencipta manusia beserta fitrahnya). Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan etika belajar siswa tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu, perbuatan lahir harus dilihat dari motif dan tujuan melakukannya. Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, peserta didik atau siswa merupakan orang yang menjalani pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu kesempurnaan unsur jasmaniyah dan ruhaniyah dengan mendekatkan diri pada Allah dan kebahagian di dunia dan di akhirat, maka jalan untuk mencapainya diperlukan belajar dan belajar itu juga termasuk ibadah, juga suatu keharusan bagi peserta didik untuk menjahui sifat-sifat dan hal-hal yang tercela. Dari pembahasan etika belajar siswa kepada diri sendiri menurut Al-Ghazali di atas, tujuan belajar menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah. Dan bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Ghazali bahwa:
,
,
53
Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya sedangkan untuk kepentingan akhirat adalah mendekatkan diri kepada Allah ’azza wajalla. Dan bukan untuk mencapai kedudukan yang tinggi, mendapatkan kemegahan dunia, sewenang-wenang terhadap kaum yang bodoh dan mengadakan perdebatan dengan ulama.3 Sehingga dengan demikian, salah satu yang sangat penting untuk lebih diutamakan dalam meningkatkan etika belajar siswa pada diri sendiri menurut Al-Ghazali adalah pentingnya penanaman dasar-dasar pendidikan akhlaq yang baik yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat yang dilakukan secara berangsur-angsur, serta adanya latihan-latihan dan pembiasaan sehingga berkembang menuju kesempurnaan. Dan dalam prosesnya harus dilakukan sebelum siswa dapat berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan yang buruk, dan mana yang salah dan benar. Selain hal tersebut dalam
konsep
pendidikan Al-Ghazali
menganjurkan agar pendidikan keimanan mengenai aqidah harus didisiplinkan siswa sejak dia masih dini supaya dia dapat menghafal, memahami, beri’tikad, mempercayai, kemudian membenarkan sehingga keimanan pada siswa akan hadir secara sedikit-demi sedikit hingga sempurna, kokoh dan menjadi fundamen dalam berbagai aspek kehidupannya dan bisa mempengaruhi segala perilakunya mulai pola pikir, pola sikap, pola bertindak, dan pandangan hidupnya. Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi misalnya menegaskan bahwa etika belajar siswa pada diri sendiri sejatinya merupakan ruh pendidikan Islam karena pendidikan Islam merupakan
3
Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
54
pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan akhlak yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna bagi para penuntut ilmu.4 Abdullah Nasih Ulwan juga menyatakan bahwa etika belajar siswa pada diri sendiri merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik, dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.5 Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam setiap program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan pelajaran telah disisipkan pendidikan moral, namun konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan dalam menjalankan sistem pendidikan moral. Dengan demikian, kajian tentang etika belajar siswa pada diri sendiri secara spesifik bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan konsep etika belajar siswa pada diri sendiri secara umum. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan etika belajar siswa pada diri sendiri menurut Al-Ghazali adalah terbentuknya moral dan jasmani yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Adapun tujuan akhir dari etika pada diri adalah mencapai kebahagiaan utama.
2. Etika Belajar dengan Guru Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayah al-Hidayah menjelaskan konsep etika belajar siswa terhadap guru sebagai berikut:
,
: ,
,
, ,
4 Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) h. 1 5 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) h. 169
55
, ,
, ,
,
,
Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya, sedikit bicara di hadapan gurunya, tidak membicarakan yang tidak ditanyakan gurunya dan tidak bertanya sebelum mohon izin terlebih dahulu, tidak mengatakan di hadapan gurunya: ”Si Anu bilang yang bertentangan dengan yang Anda (ustadz) bilang.”, tidak menunjukkan sikap seolah-olah bertentangan dengan pendapat gurunya karena merasa yang paling benar dibandingkan gurunya, tidak bertanya kepada teman sebangku ketika guru sedang menjelaskan, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan di hadapan gurunya bahkan ia harus duduk dengan tenang, diam dan sopan mirip di waktu shalat, tidak memperbanyak pertanyaan ketika gurunya sedang konsentrasi fikiran memecahkan suatu masalah ilmu, berdiri apabila gurunya sedang berdiri sebagai penghormatan, tidak mengikuti gurunya ketika meninggalkan majlis dengan pelbagai pertanyaan, tidak menghadang gurunya di tengah jalan dengan maksud bertanya tetapi menanti sampai gurunya berada di rumahnya, tidak menyakiti gurunya dengan dugaan buruk karena perbuatannya kelihatan secara dzohiri sebagai perbuatan tercela sebab gurunya tahu akan rahasia-rahasia yang tersembunyi sebagai hakikat perbuatannya itu.6 Dari uraian di atas, banyak cara yang dapat dilakukan seorang siswa dalam rangka beretika terhadap seorang guru ketika belajar menurut AlGhazali, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya
2. Sedikit bicara di hadapan gurunya 3. Tidak membicarakan yang tidak ditanyakan gurunya 4. Tidak bertanya sebelum mohon izin terlebih dahulu
6
79
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988 M), cet. I, h.
56
5. Tidak mengatakan di hadapan gurunya: ”si anu bilang
yang
bertentangan dengan yang anda (ustadz) bilang.”
6. Tidak menunjukkan sikap seolah-olah bertentangan dengan pendapat gurunya karena merasa yang paling benar dibandingkan gurunya
7. Tidak bertanya kepada teman sebangku ketika guru sedang menjelaskan, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan di hadapan gurunya bahkan ia harus duduk dengan tenang, diam dan sopan mirip di waktu shalat
8. Tidak memperbanyak pertanyaan ketika gurunya sedang konsentrasi fikiran memecahkan suatu masalah ilmu
9. Berdiri apabila gurunya sedang berdiri sebagai penghormatan 10.Tidak mengikuti gurunya ketika meninggalkan majlis dengan pelbagai pertanyaan
11.Tidak menghadang gurunya di tengah jalan dengan maksud bertanya tetapi menanti sampai gurunya berada di rumahnya
12.Tidak menyakiti gurunya dengan dugaan buruk karena perbuatannya kelihatan secara dzohiri sebagai perbuatan tercela sebab gurunya tahu akan rahasia-rahasia yang tersembunyi sebagai hakikat perbuatannya itu Etika belajar siswa menurut Imam Al-Ghazali dalam pernyataan di atas, menganggap guru sebagai orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi lebih baik. Sebagaimana wajib hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at agama. Oleh karena itu, seorang siswa wajib berbuat baik kepada guru dalam arti menghormati, memuliakan dengan ucapan dan perbuatan, sebagai balas jasa atas kebaikan yang diberikannya. Siswa berbuat baik dan berakhlak mulia atau bertingkah laku kepada guru dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
57
1. Memuliakan dan menghormati guru termasuk satu perintah agama. 2. Guru adalah orang yang sangat mulia. 3. Guru adalah orang yang sangat besar jasanya dalam memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan mental kepada siswa. 4. Dilihat dari segi usia, maka pada umumnya guru lebih tua dari pada muridnya, sedangkan orang muda wajib menghormati orang yang lebih tua. Peran guru dalam pandangan Al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya tanpa adanya pembimbing yang dapat membantu serta mengarahkan ke mana tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, dalam proses belajar siswa harus mendapat bimbingan yang ketat dari guru. Al-Ghazali dengan demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang semestinya digunakan dalam landasan etis kehidupan pembelajaran siswa. Alhasil, terlihat jelas dalam sistem pemikiran Al-Ghazali bahwa aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara terus-menerus oleh guru. Oleh karena itu, para murid harus mempercayakan kepada guru mengenai urusan-urusannya ibarat pasien yang harus tunduk kepada dokter. AlGhazali menjelaskan bahwa apapun yang disarankan oleh sang guru kepada murid, murid harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri. Meskipun benar karena pengalaman akan menampakkan detail-detail yang barangkali asing, sekalipun begitu akan sangat berguna.7
3. Etika Belajar dalam Memilih Pelajaran Pandangan Al-Ghazali tentang etika belajar siswa dalam memilih materi pelajaran dapat dilacak dari pendapatnya mengenai jalan untuk 7
Amin Abdullah, Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), h.82
58
mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk dapat beretika dengan baik dan mencapai tujuan etika tidak ada jalan lain bagi seorang siswa kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun dalam kitab “Ihya’ Ulum al-Din”, AlGhazali menyebutkan bahwa:
.
,
.
.
,
Ketahuilah.! Bahwasannya ilmu itu terbagi dua, yakniilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Ilmu mukasyafah adalah ilmu batin yang menjadi puncak dari semua pengetahuan. Kedua adalah ilmu mu’amalah yakni ilmu mengenai keadaan hati. a. Ilmu Mukasyafah Ilmu mukasyafah yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang membicarakannya hanya dengan rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan global.8
Ilmu
mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an yang tidak dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu manusia harus dicegah untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya mereka didorong untuk mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.9 b. Ilmu Muamalah Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat. Sedangkan bagian 8
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din…, Juz I, h. 31-32 S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), h. 100 9
59
batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji.10 Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah. Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah sebagai berikut: 1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti fiqh, sunnah dan tafsir. 2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama. 3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah. 4. Urutan keempat ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain sebagainya.11 Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral adalah amal. Menurut Al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya. Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap akal.12 Konsep etika belajar siswa dalam memilih pelajaran diperkuat oleh Hasyim Asy’ari ketika menjelaskan etika belajar penuntut ilmu hendaknya mendahulukan pelajaran yang wajib, yaitu: 1. Ilmu Tauhid tentang hal-hal yang berhubungan dengan dzat Tuhan (Hakikat Tuhan/ Tauhid).
10
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam…, h. 94 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990), hal. 28 12 Majid Fakhry, Etika dalam Islam (Ethical Theories In Islam), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta: 1995), h. 127 11
60
2. Ilmu tentang sifat-sifat wajib bagi Tuhan yang dua puluh dan sifatsifat mustahil-Nya. 3. Ilmu Fiqih yang membahas tata cara ibadah, seperti thaharah, shalat, dan puasa 4. Ilmu tentang sikap dan tingkah laku serta maqam-maqam (tingkat kedudukan) ibadah dan hal-hal yang memengaruhi jiwa manusia baik pengaruh negatif maupun positif. Emile Durkheim berbeda dengan konsep etika belajar siswa dalam memilih pelajaran sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dan Hasyim Asy’ari di atas. Gagasan Emile Durkheim tentang etika belajar siswa lebih difokuskan pada memilih materi pendidikan yang rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama di dalamnya. Etika belajar siswa bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama. Dalam hal ini etika didasarkan pada beberapa unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim. Unsur-unsur tersebut adalah semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi.13 4. Etika Belajar Siswa dalam memilih Teman Belajar Tidak kalah pentingnya seorang siswa dapat berakhlakul karimah dalam belajar dengan teman sebayanya di sekolah. Teman sebaya merupakan teman sepergaulan yang seumur dalam usianya. Dalam pergaulan seorang siswa dengan teman sebayanya sangat diperlukan adanya kerjasama, saling pengertian dan saling menghargai. Pergaulan yang dijalin dengan kerajasama yang baik dapat memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapi, karena sangat banyak masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh siswa itu sendiri tanpa adanya kerja sama dengan orang lain. 13
Majid Fakhry, Etika dalam Islam…, h.127
61
Untuk menciptakan kerja sama yang baik dalam pergaulan hendaknya janganlah seseorang merasa lebih baik dari yang lainnya walaupun terhadap diri sendiri. Kalau kerja sama itu terjalin baik dalam pergaulan tak ubahnya seperti suatu bangunan yang mana didalamnya semua unsur saling keterkaitan dan kuat menguatkan. Pergaulan
yang
ditopang
dengan
saling
pengertian
akan
menimbulkan kehidupan yang tenang dan tenteram. Dengan adanya saling pengertian maka akan terbina rasa saling kasih mengasihi dan tolong menolong, sehingga apabila yang satu merasa sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Pergaulan
yang
dilandasi
oleh
saling
menghargai
akan
menimbulkan rasa setia kawan yang akrab dan kerukunan yang mantap, serta tidak akan timbul rasa curiga mencurigai, rasa dendam, saling jelek menjelekkan,
cela
mencela,
sehingga
terhindar
percecokan
dan
perkelahian antar pelajar. Berdasarkan hal tersebut, Imam Al-Ghazali dalam Bidayah alHidayah menjelaskan konsep etika belajar siswa dalam memilih teman, yaitu:
.
,
,
. ,
.
.
:
, ,
Apabila engkau mencari teman untuk dijadikan rekan dalam belajar serta sahabat dalam masalah keagamaan dan keduniawiaan maka hendaklah menetapi lima kriteria: Pertama, memiliki akal cerdas, karena tidak ada nilai positif dalam memilih teman yang bodoh. Kedua, berakhlak terpuji, maka janganlah engkau mencari teman yang berperilaku buruk. Ketiga, baik, maka janganlah engkau berteman kepada orang yang fasik dan seringkali melakukan perbuatan maksiat.
62
Keempat, tidak tamak akan keduaniawiaan, karena hal itu merupakan racun yang mematikan. Kelima, jujur, maka janganlah engkau mencari teman yang sangat pendusta karena engkau pun akan tertipu olehnya.14 Etika belajar siswa terhadap teman dalam mempererat ukhuwah Islamiyah
sebagaimana
dijelaskan
oleh
Imam
Al-Ghazali
yang
berlandaskan tuntunan Nabi Muhammad, di ringkas oleh Ayuhan Asmara dalam beberapa point berikut: 1. I’tisham bi Hablillah (perpegang teguh pada tali Allah). Maksudnya, tanpa pertolongan Allah SWT mustahil ukhuwah dapat diwujudkan 2. Ta’lif al-Qulub (menyatukan hati), terhadap sesama muslim tidak pilih kasih 3. Sikap tasamuh (toleransi) yaitu tengang rasa, penuh maaf, dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain 4. Musyawarah, yakni tolong menolong mempersatukan segenap potensi umat untuk menegakan kebenaran 5. Ta’awun, yakni tolong menolong memepersatukan potensi umat untuk menegakkan kebenaran 6. Takaful al-Ijtima’, yakni rasa kebersamaan dan solidaritas sosial 7. Istiqomah, yakni teguh pendirian, berjalan di atas jalan yag benar, disiplin, dan bertangung jawab.15 Dikalangan dunia pendidikan Islam di Indonesia, contoh ukhuwah Islamiyah harus dibudayakan oleh semua komponen kependidikan, tidak hanya antar siswa, sehingga kehidupan kampus akan terasa sangat sejuk, damai, penuh persaudaraan. Bila ini terwujud maka amanah al-Qur’an dan as-sunnah menjadi realitas dan sudah pasti manfaat besar akan didapat kampus yang menerapkan ukhuwah Islmiyah sebagai potensi menuju citacita. 14
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah..., h. 80-82 Ayuhan Asmara, Merajut Islamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/index.php?detail=20100922143210, tanggal 10 Desember 2010 pukul 8.00 WIB. 15
Ukhuwah diakses pada
63
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika belajar siswa menurut Al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap orang tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang teridiri atas ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa AlGhazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
64
D. Relevansi Etika Belajar Siswa Al-Ghazali dalam Masyarakat Pendidikan Modern Ismail Razi Al-Faruqi mengatakan bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.16 Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Di berbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa di dalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor. Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan. Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran Al-Ghazali bagi
16
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 69
65
pengembangan dunia pendidika Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya. Dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu. Secara implisit, Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai sesama manusia. Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.17 Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk manusia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
17
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Nainggolan, Hadri Hasan, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 12
66
2. Materi pendidikan Islam Imam
Al-Ghazali
telah
mengklasifikasikan
meteri
(ilmu)
dan
menyusunnya sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa hal ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik. Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan beberapa polemic yang kemudian memunculkan upayaupaya untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan atu modernisasi Islam yang pada prinsipnya hendak membangun kembali semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progressif dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya tanpa harus mengabaikan sisi ketakwaan kepada Sang Pencipta.18 Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti Madrasah Aliyah meningkatkan lembaganya ke tingkat lebih tinggi yakni ke tingkat Internasional. Jadi relevansi pandangan Al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik, misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disayangkan bila materi ini di kemudian hari menjadi hilang di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah
18
68-74
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab…, h.
67
satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu. 3. Metode pendidikan Islam Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan, namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. 19 Pendidikan agama kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu, usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama bagi murid dijadikan pembimbing akal. Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan di atas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis siswa itu sendiri sebagai penggunaan metode pendidikan. Azyumardi Azra dalam pengantar karya ilmiah Armai Arif Reformulasi Pendidikan Islam, mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.20 Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.
19
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 75 20 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat: CRSD Press, 2007), h. x
68
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam AlGhazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan demikian kesan Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak di bidang ruhani dan perasaan jiwa. 2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan sosial bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insan kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan di akhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. 3. Materi pendidikan Islam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berasaskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak. Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu ‘ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum, mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual “merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam”. Memang sarjana Muslim tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah “pengabaian ilmu intelektual”. 21
21
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), h. 247
69
Mahdi Ghulsyani juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena “klasifikasi ini bisa menyebabkan miss-konsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam”.22 Demikian juga, Amin Abdullah mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf.23 Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali “seperti mayat di tangan orang yang memandikan” atau “ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah Syetan.” Al Ghazali mengungkapkannya dengan bahasa:
Guru sebagai sosok yang memberi manfa’at yang menyebar lebih agung daripada murid yang hanya membawa manfa’at kepada diri sendiri.24 Hal lain yang perlu dikritisi terhadap konsep pendidikan menurut Imam alGhazali berkenaan dengan etika Contextual Teaching Learning (CTL). Amin Abdullah mengungkapkan tentang perbedaan dan persamaan teori etika antara dua tokoh filosof besar Al-Ghazali dan Imanuel Kant serta konsukuensikonsekuensinya. Al-Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka, dapat diketahui bahwa Al-Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama. Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama mereka sama. Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut al-Falasifah ketika mengkritik metafisika dan berakhir dengan Ihya’-nya ketika membangun etika mistiknya, sedangkan Kant memulai dengan Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik metafisika spekulatif-dogmatik dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika 22
Mahdi Gulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur'an, (Bandung Mizan 1986), h. 44-45 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), h. 31 24 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiayah; 1989), h. 34 23
70
rasionalnya. Al-Ghazali dan Kant juga sepakat dalam menekankan keunggulan etika atas metafisika.25 Selain itu, ada juga perbedaan-perbedaan di antara mereka yang berasal dari pendekatan metodologis terhadap masalah. Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, sementara Kant memanfaatkan metode analitis. Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu rasional) adalah penting.26 Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmuilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya begitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan Tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan Kant, dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif.27 Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah etika jauh lebih menonjol. Jika Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, Al-Ghazali tidak dapat melihatnya dari perspektif serupa. Dari sudut pandang teologis Al-Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide normatif. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang baik dan buruk yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya
25 Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah (Bandung; Mizan: 2002), h. 120 26 Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 121 27 Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 122
71
moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat seluruh manusia rasional. 28 Etika
mistik
(religius)
Al-Ghazali
hanya
dimaksudkan
untuk
menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan sosial secara umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian hati dan hidup menyendiri. Sedangkan etika filosofis mencoba menemukan prinsip dasar yang tertanam dalam setiap budaya akan memiliki nilai dan manfaat yang besar untuk mereduksi potensi konflik sosial dan ketegangan internal dalam diri kita. Akhirnya penulis mengungkapkan bahwa untuk menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian memerlukan adanya kerja sama antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant.
28
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 123
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Etika belajar siswa menurut al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap orang tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang teridiri atas ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa al-Ghazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. B. Saran
1. Pendidikan agama Islam sebagai suatu sistem hendaklah diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat terdiri atas berbagai komponen yang saling menunjang, tidak dipisah-pisahkan. 2. Untuk memahami sistem pendidikan agama Islam yang baik dan benar hendaknya merujuk pada acuan nilai yang mendasarinya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah supaya terhindar dari kekeliruan.
72
73
3. Disamping penelaahan terhadap nilai acuan tersebut, diperlukan acuan lainnya seperti para pemikir pendidikan muslim. Oleh karena itu, pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan Islam hendaknya dapat dijadikan sandaran bagi pengembangan pendidikan baik pendidikan yang bersendikan agama maupun non agama. Bahkan Al-Ghazali tidak membedakan sama sekali ilmu-ilmu itu, karena baginya ilmu adalah alat untuk mencapai keridloan Allah. 4. Upaya
untuk
mengaktualisasikan
pemikiran
Al-Ghazali
mengenai
pendidikan hendaknya diambil dari rujukannya yang asli untuk menjaga orisinalitas pemikiran tersebut. 5. Pemikiran
Al-Ghazali
ini
hendaknya
dijadikan
rujukan
bagi
pengembangan ilmu pendidikan dimasa sekarang dan yang akan datang, terutama
pengembangan pendidikan bagi masyarakat Islam yang
berkualitas tidak pernah dapat mencapai ukuran berhasil. 6. Kepada para siswa, etika Al-Ghazali memang benar ditujukan untuk melatih jiwa dengan berlandaskan zuhud guna mencapai ridho Allah, akan tetapi, bukankah Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa kita harus hidup di dunia dengan sejahtera dan di akhirat pun kita harus hidup sejahtera. Jalan yang terbaik adalah, siswa harus mampu menjalankan etika belajar dengan syari’at agama tanpa harus melupakan realitas kebutuhan biologis manusia untuk hidup sejahtera di muka bumi ini.
74
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. ke-3 Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, Bandung: Mizan, 2002 _____, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995 Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 Al-Abrasyi, Muhammad Atyhiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Jogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996 _____, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami dan Johar Bahry Jakarta: Bulan Bintang, 1970 Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M, Cet. I _____, Bidayah al-Hidayah, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988 M, Cet. I _____, Ihya’ ’Ulum al-Din, Surabaya: al-Hidayah, t.t., Juz I _____, Mizan al-'Amal, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M, Cet. I Al-Nawawi, Yahya ibn Syaraf Al-Din, Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Surabaya: AlHidayah, t.t. Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ganimi, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaka, 1997, Cet. ke-2 Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, Cet. ke-8 Ardani, Moh., Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat: PT. Mitra Cahaya Utama, 2008 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press, 2007
75
Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. ke. 4 Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2007 Asmara,Ayuhan,MerajutUkhuwahIslamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/in dex.php?detail=20100922143210, diakses pada tanggal 10 Desember 2010 Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, Ed. 6 Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung : Mizan,1997 Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978, Cet. 5 Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran DEPAG, 1995 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Edisi III, Cet. ke 4 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, Jakarta: Departemen Agama RI, 2006 Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Ed. 2 Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992 Dunya, Sulaiman, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971, Cet. ke-3 Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2001 Fakhry, Majid, Etika dalam Islam (Ethical Theories In Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta: 1995 Gulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Bandung: Mizan 1986 Hussain, S. Waqar Ahmad, Sistem Pembangunan Masyarakat diterjemahkan Anas Mahyudin Bandung: Pustaka, 1983
Islam,
76
Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththo’, Darul Hadits, Juz 2 Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. ke. 4 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, Cet. ke-1 Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: AlAmin Press, 1997, Cet. 1 Mardiyanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Bagi Pengembangan Strategi Pembelajaran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009, Cet. I Musa, Muhammad Yusuf, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuhu bi alFalsafat al-Ighroqiyyah, Kairo: Al-Khoniji, 1963, Cet. Ke-3
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1 Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. ke-1 Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, Cet. I Qardhawi, Yusuf, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, Surabaya: Risalah Gusti, 1997 Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, Cet.1 Santana, Septiawan K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, Ed. 1 Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, Cet. ke-2 Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih bahasa oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1986
77
_____, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz , Jakarta: P3M,1990 _____, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr. Z.S. Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., Jakarta: Dea Press, 2000 Thobroni, Pendidikan yang Menghormati Guru dan Murid (Refleksi Maulid Nabi), http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/pendidikan-yang-menghormatiguru-dan-murid-refleksi-maulid-nabi/, diakses tanggal 11 Desember 2010 Tilaar, H.A.R., Ed., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999 Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. ke-2 Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990 Widjajanti, Rosmaria Sjafariah, Etika, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008 Ya'qub, Hamzah, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV. Diponegoro, 1996, Cet. ke-7 Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaaka, 1987, Cet. ke-1 Zainuddin, M., Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: UIN Malang Press, 2008