BAB II ETIKA, ETIKA GURU DAN ETIKA SISWA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
A. Etika 1. Pengertian Etika Menurut Daryanto pengertian etika adalah sebagai berikut: “Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika merupakan ilmu atau konsep yang dimiliki oleh individu atau masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar dan buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari kontrol diri karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri.”1
Menurut Yatimin Abdullah pengertian etika adalah sebagai berikut: “Etika adalah nilai sosial dalam masyarakat. Nilai merupakan salah satu dari cabang-cabang filsafat. Manusia mengerti apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk.” Pengertian etika menurut Yatimin Abdullah tersebut dijelaskan dalam Alquran surat Al-Syams ayat 7-8 :
1
Daryanto, Standar Kompetensi Dan Penilaian Guru Profesional (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm. 38.
17
18
Artinya : “Demi jiwa (manusia) dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (dua jalan) yang buruk dan jalan yang baik (QS Al-Syams [91]: 7-8).”2 Sedangkan etika menurut Zinudin Ali sebagai berikut: “Etika berarti sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem nilai dalam masyarakat tertentu. Etika lebih banyak berkaitan dengan ilmu atau filsafat. Oleh karena itu, standar baik dan buruk adalah akal manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa etika adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai tindakan manusia yang menurut ukuran rasio dinyatakan dan diakui sebagai sesuatu yang benar. 2. Perbedaan Etika, Moral dan Akhlak Menurut Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid perbedaan etika, moral dan akhlak adalah sebagai berikut: “Etika, moral dan akhlak adalah tiga istilah yang memiliki kesamaan substansial jika dilihat secara normatif karena ketiganya menguatkan suatu pola tindakan yang dinilai „baik‟ dan „buruk‟, hanya pola yang digunakan didasarkan pada ide-ide yang berbeda. Etika dinilai menurut pandangan filsafat tentang munculnya tindakan dan tujuan rasional dari suatu tindakan. Akhlak adalah wujud dari keimanan atau 2
hlm. 4.
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
19
kekufuran manusia dalam bentuk tindakan, sedangkan moral merupakan bentuk tingkah laku yang diideologisasikan menurut pola hidup bermasyarakat dan bernegara yang rujukannya diambil, terutama dari sosial normatif suatu masyarakat, ideologi negara, agama, dan dapat pula diambil dari pandangan-pandangan filosofis manusia sebagai individu yang dihormati, pemimpin dan sesepuh masyarakat.”3
Sedangkan perbedaan etika, moral dan akhlak menurut Abuddin Nata sebagai berikut: “Perbedaan antara etika, moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-Qur‟an dan al-hadis.”4
B. Etika Guru 1. Pengertian Etika Guru Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan etika. Profesi suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama.
3
Beni Ahmad Saebani Dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 33. 4 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 97.
20
Etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu. Ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Guru adalah jabatan profesi, untuk itu seorang guru harus melaksanakan tugasnya secara profesional.5 Di dalam undang-undang guru dan dosen dijelaskan pengertian guru sebagai berikut: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing,
mengarahkan,
melatih,
menilai,
dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”6 Menurut Mulyasa pengertian guru adalah sebagai berikut: “Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya.”7 Menurut Abuddin Nata bahwa di dalam al-Qur‟an dan as-Sunah yang merupakan sumber utama ilmu pendidikan Islam, terdapat sejumlah istilah yang mengacu kepada pengertian pendidik. Istilah tersebut antara lain al-murabbi, al-muallim, al-muzakki, al-ulama, al-rasikhun fi al-„ilm, ahl-al-dzikr, al-muaddib, al-mursyid, al-ustadz, ulul al-bab, ulu al-nuha, al-faqih dan al muwaīd.8
5
Daryanto, op. cit., hlm. 42. Undang-Undang Guru Dan Dosen (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3. 7 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 37. 8 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 160. 6
21
Istilah al-murabbīdiartikan sebagai pendidik, istilah ini antara lain dijumpai dalam surat al-Isra‟ (17) ayat 24, yang artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” Selanjutnya istilah al-muallim diartikan sebagai pengajar, yakni memberi informasi tentang kebenaran dan ilmu pengetahuan. Istilah almuallim, antara lain dijumpai dalam surat al-Baqarah (2) ayat 151, yang artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kapadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”9 Istilah al-muzakki diartikan sebagai orang yang melakukan pembinaan mental karakter yang mulia, dengan cara membersihkan si anak dari pengaruh akhlak yang buruk, terampil dalam mengendalikan hawa nafsu. Istilah al-muzakki, antara lain dijumpai pada surat al-Baqarah (2) ayat 129, yang artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur‟an) dan hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” Istilah al-ulamā diartikan sebagai seseorang yang luas dan mendalami ilmu agama, memiliki karisma, akhlak mulia, dan kepribadian
9
Ibid., hlm. 160.
22
yang saleh. Istilah al-ulamā antara lain dijumpai pada surat at-Fathir (15) ayat 27-28, yang artinya: “Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang pekat. (27). Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha pengampun. (28)”10 Adapun istilah al-rasikhun fi al-‟ilm diartikan orang yang tidak hanya dapat memahami sesuatu yang bersifat empiris atau eksplisit, melainkan juga memahami makna, pesan ajaran, spirit, jiwa, kandungan, hakikat, substansi, inti dan esensi dari segala sesuatu. Istilah al-rasikhun fi al-‟ilm antaralain dijumpai pada surat Ali-Imran (3) ayat 7, yang artinya: “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur‟an) kepada kamu. Diantara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok isi al-Qur‟an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihah. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayatayat mutasyabihah untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwil melainkan Allah. „Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihah, semuanya itu dari sisi Tuhan kami‟. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” Selanjutnya istilah ahl-al-dzikr diartikan sebagai orang yang menguasai ilmu pengetahuan atau ahli penasihat, yaitu mereka yang pandai mengingatkan. Istilah ahl-al-dzikr antara lain dijumapai pada surat an-Nahl (16) ayat 43, yang artinya:
10
Ibid., hlm. 160-161.
23
“Kami tiada mengutus Engkau (ya Muhammad), melainkan beberapa lakilaki, yang Kami wahyukan kepada mereka. Sebab itu kamu tanyakanlah kepada orang-orang ahli kitab (Taurat dan Injil), jika kamu tidak tahu.”11 Adapun istilah ulul al-bab diartikan bukan hanya orang yang memiliki daya pikir dan daya nalar, melainkan juga daya zikir dan spiritual. Kedua daya ini digunakan secara optimal dan saling melengkapi sehingga menggambarkan keseimbangan antara kekuatan penguasaan ilmu pengetahuan (sains) dan penguasaan terhadap ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai spiritualitas, seperti keimanan, ketakwaan, ketulusan, kesabaran, ketawakalan, dan sebagainya. Istilah ulul al-bab antara lain dijumpai pada surat Ali Imran (3) ayat 190-191, yang artinya: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi dan pertikaian malam dan siang menjadi tanda (atas kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan waktu berbaring dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi, (sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia), Mahasuci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksaan neraka.” Selanjutnya istilah al-muaddib diartikan sebagai orang yang memiliki akhlak dan sopan santun, seorang yang terdidik dan berbudaya, sehingga ia memiliki hak moral dan daya dorong untuk memperbaiki masyarakat. Adapun istilah mursyid adalah orang yang selalu berdo‟a kepada Allah SWT, dan senantiasa melaksanakan dan memenuhi panggilan-Nya. Selain itu, ia juga senantiasa mengutamakan dan menjunjung moralitas dan 11
Ibid., hlm. 161-162.
24
patuh kepada Tuhan. Ia juga sebagai orang yang cerdas serta mampu memanfaatkan kecerdasannya itu untuk tujuan-tujuan yang mulia. Istilah mursyid dijumpai pada surat al-Baqarah (2) ayat 186, yang artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo‟a apabila ia berdo‟a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala) perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”12 Selanjutnya
istilah
al-muwa‟idz
diartikan
sebagai
pemberi
pelajaran yang bersifat nasihat spiritual kepada manusia, agar manusia tersebut tidak menyekutukan Tuhan. Istilah al-muwa‟idz dijumpai pada surat Luqman (3) ayat 13, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran
kepadanya:
hai
anakku,
janganlah
kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Adapun istilah al-faqih diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Istilah al-faqih ini dijumpai pada surat at-Taubah (9) ayat 122, yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”13 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru ialah tenaga profesional yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk 12
Ibid., hlm. 163. Ibid., hlm. 164.
13
25
menumbuhkan, membina, mengembangkan bakat, minat, kecerdasan, akhlak, moral, pengalaman, wawasan, dan keterampilan peserta didik. Seorang pendidik adalah orang yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas, memiliki keterampilan, pengalaman, kepribadian mulia, menjadi contoh dan model bagi muridnya, memiliki keahlian yang dapat diandalkan, serta menjadi penasihat. 2. Syarat-syarat Guru Seseorang bisa disebut sebagai guru jika orang tersebut memiliki persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan. Menurut Mubangid bahwa syarat untuk menjadi pendidik/guru sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyati adalah sebagai berikut: 1) Dia harus orang yang beragama, 2) Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama, 3) Dia tidak kalah dengan guru-guru sekolah umum lainnya dalam membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air, 4) Dia harus memiliki perasaan panggilan murni.14 Kemudian, syarat menjadi guru menurut Oemar Hamalik sebagai berikut: 1) Harus memiliki bakat sebagai guru, 2) Harus memiliki keahlian sebagai guru, 3) Memiliki kepribadian yang baik dan terintegrasi,
14
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 74.
26
4) Memiliki mental yang sehat, 5) Berbadan sehat, 6) Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, 7) Guru adalah manusia yang berjiwa pancasila, dan 8) Guru adalah seorang warga negara yang baik.15 Zakiyah Daradjat berpendapat bahwa syarat bagi seorang pendidik karena jabatannya sebagai guru sebagaimana dikutip oleh Novan Ardy Wiyani Dan Barnawi antara lain sebagai berikut:
1) Syarat kepribadian, maksudnya memiliki kepribadian yang terpadu sehingga dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat. Pengertian terpadu adalah segala unsur dalam pribadinya (pikiran, perasaan, dan tingkah laku) bekerja secara seimbang dan serasi, 2) Syarat profesional, maksudnya guru memiliki pengetahuan yang cukup memadai khususnya ilmu yang diajarkan, 3) Syarat teknis, maksudnya guru harus memiliki kemampuan memilih dan menggunakan metode mengajar yang tepat guna, artinya sesuai dengan tujuan materi, anak didik yang dihadapi, situasi, dan alat-alat yang tersedia.16 Dari syarat-syarat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidik/guru adalah orang dewasa yang harus berakhlak baik dan mempunyai kecakapan mendidik. Guru-guru harus bekerja sesuai dengan ilmu mendidik yang sebaik-baiknya dengan disertai ilmu pengetahuan 15
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 118. Novan Ardy Wiyani Dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 109. 16
27
yang cukup luas dalam bidangnya serta dilandasi dengan rasa berbakti yang tinggi. 3. Kode Etik Guru Kode etik adalah suatu bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum dinilai menyimpang dari kode etik.17 Menurut kode etik guru Indonesia (hasil kongres PGRI ke-XX tahun 2008) sebagaimana dikutip Rugaiyah dan Atiek Sismiati menjelaskan bahwa: “Kode etik guru Indonesia adalah norma dan asas yang diterima oleh guru-guru Indonesia, sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.”18 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kode etik guru adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap guru di dalam melaksanakan tugasnya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para guru tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi 17 18
hlm. 13.
Daryanto, op.cit., hlm. 38. Rugaiyah dan Atiek Sismiati, Profesi Kependidikan (Bogor: Ghaila Indonesia, 2013),
28
mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku dalam pergaulan seharihari di dalam masyarakat. Rugaiyah dan Atik Sismiati mengatakan bahwa guru indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya sesuai dengan profesinya, maka guru harus menjunjung tinggi kode etik sebagai berikut: 1) Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi. 2) Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi yang diajarkan. 3) Guru terus-menerus meningkatkan kompetensinya. 4) Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggung jawab atas konsekuensinya. 5) Guru menerima tugas-tugas ssebagai suatu bentuk tanggung jawab inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya. 6) Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
29
7) Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan profesionalnya. 8) Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggung jawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.19 4. Etika Guru dalam Pembelajaran Menurut al-Kanani sebagaimana dikutip oleh Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, syarat-syarat (kode etik) guru yang berhubungan dalam pembelajaran , yaitu: 1) Sebelum berangkat untuk mengajar, guru suci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan tujuan mengagungkan ilmu dan syariat, 2) Ketika keluar rumah, guru hendaknya berdo‟a untuk menguatkan niatnya dalam mengajar, 3) Hendaknya pada saat mengajar guru mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didiknya. Artinya, guru harus berusaha agar apa yang akan disampaikannya hendaknya dapat dinikmati dan dipahami oleh seluruh peserta didiknya dengan baik, 4) Sebelum mulai mengajar, guru hendaknya membaca sebagian dari ayat Al-Quran agar memperoleh berkah dalam mengajar kemudian membaca basmalah,
19
Ibid, hlm. 16.
30
5) Guru hendaknya mengajar bidang studi sesuai dengan bidangnya dan hendaknya selalu mengajarkan materi pelajarannya dengan Al-Quran, hadis, hasil ijtihad, dan hukum alam, 6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suara agar tidak terlalu keras hingga membisingkan ruangan, dan tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh peserta didiknya, 7) Hendaknya guru menjaga ketertiban kelas dengan mengarahkan pembahasan pada objek yang telah ditentukan. Artinya, dalam menyampaikan materi pelajaran seorang guru memerhatikan tata cara penyampaian yang baik (sistematis) sehingga apa yang disampaikan akan mudah dicerna oleh peserta didik, 8) Guru hendaknya menegur peserta didik yang tidak menjaga sopan santun di dalam kelas, 9) Guru hendaknya bersikap bijak dalam menyampaikan pelajaran dan menjawab pertanyaan. Jika ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak mengetahuinya, hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu, 10) Guru harus berusaha mempersatukan seluruh hati peserta didiknya, 11) Guru hendaknya menutuppembelajaran dengan doa dan salam.20 5. Etika Guru Terhadap Siswa Menurut Al-Kanani kode etik guru ditengah-tengah muridnya sebagaimana dikutip oleh Ramayulis sebagai berikut:
20
Novan Ardy Wiyani Dan Barnawi, op.cit., hlm. 112-113
31
1) Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara‟ menegakkan kebenaran, dan melenyapkan kebathilan serta memelihara kemaslahatan umat, 2) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar, 3) Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Artinya, seorang guru hendaknya menganggab bahwa muridnya itu adalah merupakan bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain), 4) Guru hendaknya memotivasi murid untuk mencari ilmu seluas mungkin, 5) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar muridnya memahami pelajaran. Artinya, seorang guru harus memahami kondisi murid-muridnya dan mengetahui tingkat kemampuannya dalam berbahasa, 6) Guru hendaklah melakukan evaluasi terhadap keiatan belajar mengajar yang
dilakukannya.
Hal
ini
dimaksudkan
agar
guru
selalu
memperhatikan tingkat pemahaman siswanya dan pertambahan keilmuan yang diperolehnya, 7) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. Hal ini pernah diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya, Artinya: “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan...” (Q.S Al-Nahl : 90).
32
8) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan ataupun hartanya, 9) Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya. Murid yang saleh akan menjadi “tabungan” bagi guru baik di dunia, maupun di akhirat.21
C. Etika Siswa 1. Pengertian Etika Siswa Etika siswa merupakan sebuah norma-norma yang seharusnya dilakukan oleh peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan. Etika membantu manusia untuk merumuskan atau menentukan sikap yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa dipertanggungjawabkan, baik dalam hubungannya dengan dirinya maupun orang lain. Etika perlu bagi manusia dalam memilih tindakan yang dilakukannya. Etika ini juga berlaku bagi manusia yang sedang menjalankan peran di dunia pendidikan atau ilmu pengetahuan.22 Sebagaimana halnya pendidik, peserta didikpun, untuk mencapai tujuan yang dicanangkan, ada beberapa sifat, tugas, tanggung jawab dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dan dilaksanakan.23
21
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 93-94. Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 20. 23 Haitami Salim dan Syamsul, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 178. 22
33
Menurut Hery Noer Aly peserta didik/ siswa sebagai berikut: “Peserta didik dalam pandangan Islam ialah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan.”24 Peserta didik dalam pendidikan Islam menurut Muhaimin dan Mujib sebagaimana dikutip Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan sebagai berikut: “Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan.”25 Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bab 1 pasal 1 ayat 4, sebagaimana dikutip Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan menjelaskan bahwa: “Yang dimaksud dengan peserta didik, yaitu anggota masyarakat
yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.”26 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peserta didik/siswa bukan hanya orang-orang yang belum dewasa dari segi usia, melainkan juga orang-orang yang dari segi usia sudah dewasa, yang sedang memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain.
24
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 113. Haitami Salim dan Syamsul, op.cit., hlm. 166. 26 Ibid, hlm. 166. 25
34
2. Etika Siswa Dalam Belajar Menurut KH. Hasyim Asyiari dalam kitabnya Adāb al-Ālim walMuta‟alim sebagaimana dikutip Bashori Muchsin dan Abdul Wahid menyebutkan bahwa etika pencari ilmu (pelajar) itu dapat dibagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1) Etika Pelajar (siswa) Terhadap Diri Sendiri a) Hendaknya membersihkan hatinya dari sifat-sifat yang tidak baik, dari hasud, iri, dengki, dari akidah (keyakinan) yang jelek. Hal ini diperlukan agar pelajar bisa menerima ilmu, menghafalkan, dan memahami makna-makna yang sulit dari materi pelajarannya, b) Memperbaiki niat dalam mencari ilmu, tujuan dan niat mencari ilmu semata-mata untuk mengharap ridho Allah SWT, dan untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh, menghidupkan perjuangan Islam, dengan ilmunya bertujuan untuk menyinari hati dan batinnyaserta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak bertujuan memperoleh harta duniawi, pangkat dan jabatan serta kedudukan untuk berbuat sombong kepada orang lain, c) Giat mencari ilmu ketika asih muda, tidak mensia-siakan umurnya, tidak tergoda dengan persoalan dan angan-anganyang menyebabkan tertundanya mencari ilmu, d) Menerima dengan ikhlas hal-hal yang berkaitan dengan biaya, pakaian dan kehidupan yang sederhana,
35
e) Membagi waktu-waktunya dengan sebaik-baiknya, karena sisa usia itu tidak ternilai harganya, f) Mengurangi porsi makan dan minum yang berlebihan agar badan tidak terasa berat untuk belajar dan ibadah, g) Hendaknya bersikap hati-hati, dan menjaga dari hal-hal yang haram baik pada makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain, tidak tergesa-gesa dalam semua persoalan, dan tidak mengambil tanggung jawab yang memberatkan diri sendiri, h) Tidak mengkonsumsi makanan yanng mengandung banyak lemak, manisan-manisan dan masam, dan menghindarkan diri dari hal-hal yang bisa melupakan keadaan, i) Mengurangi tidur, tidur yang normal itu 8 jam sehari semalam, menjaga kesehatan sesuai dengan norma-norma kesehatan, j) Menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak ada kaitannya dengan mencari ilmu, kalau ingin berteman maka pilihlah teman yang beragama, sholeh, taat, banyak kebaikannya sedikit kejelekannya, yang mau mengingatkan terhadap hala-hal yang tidak baik. 2) Etika Pelajar (siswa) Terhadap Pengajarnya (guru) a) Hendaknya mencari guru yang tepat untuk diteladani, dicontoh dan diambil nasihatnya, b) Hendaknya mempelajari suatu ilmu dari seorang guru atau mendiskusikan dengan guru,
36
c) Hendaknya mengikuti dan mematuhi guru dalam semua urusannya, tidak berselisih paham atau pendapat dengan gurunya, bagaikan seorang pasien terhadap dokternya. Menghormatinya, mencari ridlanya, dan beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memuliakan dan melayani guru, d) Hendaklah memandang guru dengan pandangan memuliakan dan menghormati, karena hal itu bisa menyebabkan kemanfaatan ilmu. Barang siapa yang memandang rendah guru atau dosennya maka tiada keberhasilan baginya, e) Hendaknya mengetahui hak-hak guru dan tidak lupa pada keutamaannya baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya, yakni memohonkan ampunan, memuliakan keluarga, kerabat dan keturunannya, f) Sabar terhadap perilaku-perilaku guru yang “aneh” pada umumnya, selalu berbaik sangka pada guru terhadap yang dilakukannya, g) Hendaklah tidak masuk pada majelis (kalangan) guru tanpa mendapat izinnya, h) Hendaknya dalam majelis guru, para pencari ilmu selalu tawadhu‟, sopan santun, merendahkan diri, dan penuh perhatian terhadap yang disampaikan oleh guru, i) Hendaknya bertuturkata yang baik, benar, halus, dan jujur. Tidak berkata-kata yang menyinggung perasaan guru,
37
j) Senantiasa memerhatikan hal-hal yang disampaikan oleh guru dalam setiap situasi dan kondisi‟ k) Tidak mendahului guru dalam berkata-kata, bersikap atau menjawab pertanyaan, l) Menyampaikan sesuatu apapun kepada guru atau mengambilnya dari guru selalu dilakukan dengan tangan kanan, lemah lembutdengan sikap sopan santun. 3) Etika Pelajar (siswa) Terhadap Pelajarannya a) Mendahulukan materi pelajaran yang wajib dipelajari, misalnya tentang ketauhidan kepada Allah SWT, kemudian belajar al-Quran dengan
terus-menerusmeningkatkan
pemahaman
terhadap
isi
kandungannya, serta belajar hadits-hadits Rasulullah SAW dan terus-menerus meningkatkan pengetahuan tentang hadits Rasulullah SAW, b) Tidak menyibukkan diri pada hal-hal yang diperdebatkan oleh para ulama, karena itu bisa membingungkan hati para pencari ilmu, c) Mendiskusikan materi-materi yang belum difahami kepada orangorang yang bisa meluruskan dan mengetahui kebenarannya. Kemudian diikuti dengan terus-menerus mempelajarinya, d) Selalu mencari majelis-majelis ilmu, pengajian, seminar, diskusi materi bersama orang-orang alim, e) Tidak malu menanyakan materi pelajaran yang belum difahami dalam situasi dan kondisi apapun,
38
f) Dalam berbagai kesempatan hendaknya sabar menunggu sesuai dengan gilirannya, disiplin dan tertib, g) Hendaknya selalu mencatat dan menulis pelajaran, kemanapun hendaknya membawa buku dan alat tulis untuk sewaktu-waktu perlu mencatat hal-hal yang dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya, h) Senantiasa bersahabat dan suka terhadap orang-orang yang samasama mencari ilmu di manapun dan kapanpun.27
27
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, op. cit., hlm. 27-30.