TEKS DAN INTERTEKSTUALITAS Oleh : Dra. Indiyah Prana Amertawengrum, M.Hum.
PENDAHULUAN Di dalam penelitian sastra, teks merupakan sesuatu yang sentral, meskipun pengarang adalah orang yang paling penting dalam menghasilkan karya, dan pembaca sebagai pemberi makna terhadap teks yang dihadapi atau yang dituju oleh teks. Melalui teks yang tertuang dalam bentuk karya, pengarang berkomunikasi dengan pembaca. Sebagai sesuatu yang sentral dalam karya sastra, adakah keterkaitan antara teks yang satu dengan teks lainnya, mengingat bahwa pengarang sebagai pencipta karya sastra tidak berangkat dari suatu kekosongan budaya? Dalam proses penciptaan suatu karya, seorang pengarang tidak terlepas dari keterlibatannya dengan teks-teks lain yang telah ada sebelumnya dan yang mengelilinginya. Hal itu menunjukkan adanya pengaruh teks-teks lain yang masuk ke dalam teks sastra yang dihasilkannya. Dengan demikian, tidak ada teks asli yang menjadi milik seorang pengarang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Barthes (Eagleton, 1983 : 137) bahwa semua teks sastra terjalin dari teks sastra yang lainnya, bukan dalam makna biasa bahwa teks ini memperlihatkan unsurunsur pengaruh, tetapi dalam maksud yang lebih radikal, yaitu setiap perkataan, frasa atau bagian ialah penciptaan kembali karya-karya lain yang mendahului atau mengelilinginya. Tidak ada ‘keaslian’ dalam karya sastra, tidak ada sesuatu yang disebut karya sastra ‘pertama’: semua sastra adalah intertekstual. Oleh karena itu, sebuah karya tidak mempunyai batas-batas yang jelas. Suatu karya selalu melimpah ke dalam karya-karya
yang berkelompok di sekelilingnya; menghasilkan beratus perspektif yang mengecil hingga ke titik lenyap. Karya itu tidak dapat ditutup, diberi sifat pasti dengan merujuk kepada pengarang. Berdasarkaan uraian tersebut, tulisan ini akan membicarakan tentang teks dan intertekstualitas. Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman pembicaraan, maka akan dikemukakan contoh relasi interekstual yang terdapat dalam karya sastra.
PENGERTIAN TEKS Menurut Barthes (1981: 32), teks adalah permukaan fenomena karya sastra. Teks adalah katakata yang membentuk karya dan yang disusun dengan cara sedemikian rupa untuk membelokkan arti yang tetap dan seunik mungkin. Karena teks merupakan tenunan yang dijalin, teks sebagai jaringan, yang secara konstitutif berhubungan dengan tulisan, maka teks mempuyai fungsi menjaga tetapnya dan permanennya inskripsi yang ditulis agar ingatan terbantu. Selain itu, teks mempunyai aspek legalitas karena memiliki sifat yang tetap, tidak terhapus. Teks merupakan senjata melawan waktu, kelalaian, dan penipuan ujaran. Teks secara historis berhubungan dengan institusi: hukum, agama (gereja), kesusasteraan, dan pendidikan. Teks juga merupakan satu objek moral, yang ditulis sejauh partisipasi dalam kontrak sosial. Teks menandai bahasa dengan satu atribut yang tidak dapat ditaksir, yang tidak menunjukkan dalam esensinya: keamanan. Hal itu dikarenakan bahwa pada dasarnya bahasa itu bergerak, demikian juga semantik.
Dra. Indiyah Prana Amertawengrum, M.Hum : adalah ....................
Magistra No. 73 Th. XXII September 2010 ISSN 0215-9511
1
Teks dan Intertekstualitas....
Teks bukan merupakan objek yang tetap, melainkan dinamis. Karena dinamis, teks baru hidup
Kehadiran suatu teks dalam teks yang dibaca akan memberikan suatu warna tertentu kepada teks.
di dalam interaksi dan berada di tengah-tengah interaksi tersebut. Pengarang bukan lagi penentu makna dan kebenaran. Teks itu produk tulisan yang performatif dan menghasilkan sesuatu, aktifitas
Ada beberapa pertanyaan yang dapat muncul. (a) Apakah fungsi teks ‘asing’ itu dalam teks itu yang menyebabkan teks asing dimasukkan? (b) Bagaimana
pembaca memperbanyak dirinya sendiri tanpa batas. Teks membuat celah pada tanda sehingga muncul berbagai-bagai arti. Oleh karena teks bukan objek yang stabil, maka kata teks tidak menjadi suatu pokok yang padat dalam metabahasa.
seorang penulis memperlakukan teks itu? Sebagai jawaban, yang pasti teks asing itu akan dapat menolong untuk memahami teks itu, sehingga ia mesti dianggap memiliki hubungan struktural dengan unsur-unsur lain dalam teks. Sementara itu, sebagai jawaban (b), yaitu penulis itu mengekalkan sebagaimana adanya, mengubahnya pada tempattempat tertentu, atau merombak, menentangnya.
PENGERTIAN INTERTEKSTUAL Intertekstual adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain sering mendasari teks yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas yang diilhami oleh ide-ide M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan , dan sebagainya. Selanjutnya, dalam semiotik, istilah intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain tersebut. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain (Hartoko & B.Rahmanto, 1986:67). Sebelumnya, Kristeva telah mengemukakan tentang intertekstualitas. Kristeva menyatakan (dalam Junus, 1985:87-89) bahwa intertekstualitas adalah hakekat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain. Dengan kata lain, intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada teks lain.
2
Kedua hal tersebut (a dan b) jelas berhubungan dengan suatu penerimaan, resepsi, yaitu bagaimana seseorang memperlakukan suatu teks, yang selanjutnya dapat pula memberi makna. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari segi tertentu, prinsip intertekstualitas dapat pula dikaitkan dengan resepsi sastra. Seringkali dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi sekaligus merupakan resepsi. Menurut Miller (1985:19-20), sebagai suatu istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi suatu kemajemukan konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan dalam berbagai macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam istilah teoretis dan disebarkan dalam strategi metodologi. Bagaimanapun, untuk tetap memakai bentuk tunggal untuk menandainya, meskipun hal itu tidak menyatukan konsep, merupakan variasi bentuk yang menyenangkan, apa yang disebut Wittgenstein dengan ‘pertalian keluarga’. Dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa salah satu gagasan tentang interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa ciri-ciri umum, tetapi ditemukan dalam seluruh
Magistra No. 73 Th. XXII September 2010 ISSN 0215-9511
Teks dan Intertekstualitas....
gagasan kata. Secara singkat, tidak ada keistimewaan unsur pokok, memuaskan bagi seluruhnya, yang
sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan
mengijinkan kita untuk mendefinisikan istilah tersebut.
adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
Interteks, menurut Barthes, bukan suatu istilah ‘innocent’. Ia mengartikan bahwa suatu tuntutan bagi interteks yang meniadakan sifat secara ideologi adalah sungguh-sungguh penipuan. Sebagai suatu yang secara ideologi meliputi konsep, interteks melanjutkan guna memperoleh arti baru sebagaimana berbagai kritik mencari untuk mendefinisikan atau memperhaluskannya. Bahkan, di sini interteks mengambil bagian dari suatu paradoks. Interteks berkembang sebagai suatu konsep adalah hasil dari gagasan yang spesifik tentang teks, dicoba dikembangkan oleh Barthes dan Kristeva, yang akan membantu dalam perumusan gagasan tentang tekstual. Sebagaimana dikemukakan oleh Riffatere (via Miller, 1985:10) bahwasanya ide tentang tekstual tidak dapat dipisahkan dan ditemukan pada intertekstualitas.
TEKS DAN INTERTEKSTUALITAS Teks merupakan suatu bangunan intertekstualitas, yang dapat dipahami hanya dalam batasan-batasan teks-teks lainnya yang mendahuluinya, dan teks hanya melanjutkan, melengkapi, mengubah, ataupun mengalihkannya.
mendahuluinya (Teeuw, 1984: 145-146). Intertekstualitas memiliki fokus ganda. Pada satu pihak, interteks menarik perhatian kita pada kepentingan teks-teks terdahulu, termasuk penolakan terhadap otonomi teks, dan bahwa sebuah karya hanya memiliki makna jika hal-ha tertentu telah lebih dahulu ditulis. Di pihak lain, intertekstualitas membimbing kita untuk mengetahui teks-teks pertama untuk menolong mengartikan sebuah kode dengan kemungkinan variasi arti yang berbeda-beda. Dengan demikian, intertekstualitas menjadi sebuah nama untuk menyebut karya interelasi terhadap teks terdahulu, daripada menunjukkan keterlibatannya dalam wilayah diskursif kebudayaan: kaitan antara teks dengan variasi-variasi bahasa atau makna-makna praktis budaya dan kaitannya dengan teks tertentu yang dipandang memungkinkan kode-kode kebudayaan. Studi interteksualitas bukanlah investigasi asal dan pengaruh sebagaimana dalam tradisional. Jaringannya lebih luas dengan memasukkan praktek diskursif yang anonim. Kode yang orisinal telah hilang, sehingga membuat kemungkinan pemaknaan praktis terhadap teks terakhir (Culler, 1981:103).
sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa
Barthes mengingatkan bahwa dari perspektif intertekstualitas, ‘jumlah-jumlah yang telah membuat sebuah teks adalah anonim, tak dapat dilacak, dan akhirnya tidak selalu dapat dibaca; fungsinya ini
penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka. Dalam arti, bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model tes yang
adalah sesuatu yang sukar- sebagai ‘siap baca’. Kristeva juga mendefinisikan intertekstualitas sebagai kesimpulan pengetahuan yang membuat teks memiliki makna: ketika pembaca berpikir mengenai sebuah teks
Menurut prinsip interteksualitas, setiap teks
Magistra No. 73 Th. XXII September 2010 ISSN 0215-9511
3
Teks dan Intertekstualitas....
sebagai teks yang bebas dari teks-teks yang lain yang diserap dan ditransformasikan, ;pada tempat arti
Teks menyajikan sejumlah unsur yang diangkat dari repertoire, yang membangun schematized
sebagai intersubjektif itulah tempatnya intertekstualitas’ (Culler, 1981:103-104).
aspects, dan yang dalam konkretisasi pembaca dikaitkan dengan gudang pengalamannya untuk menentukan makna karya sastra yang dibacanya. Oleh
Prinsip intertekstualitas diterapkan di Indonesia pertama kali oleh Teeuw. Di dalam penerapan tersebut Teeuw membuktikan bahwa dalam sastra Indonesia modern prinsip-prinsip interteks dapat diterapkan dengan baik. Adapun yang dibandingkan oleh Teeuw adalah sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dengan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar. Prinsip yang digunakan Teeuw adalah prinsip yang dikemukakan oleh Riffatere (Teeuw, 1983:6668). Gejala intertekstualitas dalam karya sastra lama banyak pula ditemukan dan telah sejak awal mendapat perhatian, meskipun belum banyak dibicarakan secara tuntas. Gejala itu bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1893, Juynboll menyatakan bahwa sumber dari semua cerita yang termasuk dalam siklus Pandawa ialah Mahabharata yang juga menjadi sumber kakawin Arjunawiwaha dan Arjunawijaya. (Sarijono, 1991: 162). Antara teks sastra yang satu dengan teks sastra yang lain sering mempunyai hubungan. Sifat hubungan tersebut hanya dapat diketahui lewat pembacaan. Jawaban atau tanggapan yang diberikan teks sastra yang mucul kemudian dapat bersifat menyetujui, menentang, atau memberikan alternatif lain. Dalam kaitannya dengan pembaca, di dalam teks sastra terdapat tempat kosong, yang menjadi tempat pembaca berpartisipasi dalam proses komunikasi. Kondisi teks yang demikian membuat teks mampu muncul dalam pembacaan yang beraneka ragam, yang memberi corak karya sastra dalam
karena itu, dalam tindak pembacaan, yang sentral adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Prinsip intertekstualitas digunakan untuk memberi makna berbagai cara yang terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasankiasan atau dengan asimilasi dari karya tersebut, dari suatu teks yang lebih awal oleh teks yang lebih muda atau hanya dengan partisipasi dalam sebuah perbendaharaan umum dari kode-kode kesusasteraan dan konvensi (Abrams, 1981: 200). Oleh karena itu, dengan adanya intertekstualitas dapat dicari relasi antara dua karya sastra. Dua buah karya sastra dalam kesusastraan Melayu, yakni Hikayat Mahsyud Hak dan Cerita Bapak Belalang memiliki beberapa persamaan Persamaan ini penting guna menentukan relasi interteks kedua cerita tersebut. Dalam cerita Bapak Belalang, terdapat bermacam permasalahan, antara lain teka -teki guna menentukan ujung kayu dan menentukan jenis kelamin itik yang baru menetas. Pada bagian akhir cerita, Bapak Belalang diuji kepintarannya oleh raja, yang dapat diselesaikan oleh Bapak Belalang dengan memuaskan meskipun karena faktor kebetulan. Dalam teks Hikayat Mahsyud Hak, pengujian terhadap Mahsyud Hak terutama terletak pada teka-teki. Teka-teki yang terdapat dalam cerita Bapak Belalang muncul kembali dalam Hikayat Mahsyud Hak, yakni teka-teki penentuan ujung sebuah tongkat kayu. Mahsyud Hak dapat menyelesaikan teka-teki tersebut berdasarkan kecerdasannya.
struktur yang dinamis.
4
Magistra No. 73 Th. XXII September 2010 ISSN 0215-9511
Teks dan Intertekstualitas....
Uraian di atas menunjukkan bahwa Hikayat Mahsyud Hak memiliki hubungan intertekstual dengan Cerita Bapak Belalang. Munculnya teka-teki yang terdapat dalam Cerita Bapak Belalang pada Hikayat Mahsyud Hak menimbulkan dugaan bahwa Cerita Bapak Belalang muncul terlebih dahulu daripada Hikayat Mahsyud Hak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teks mengenai cara pemecahan teka-teki yang terdapat dalam Hikayat Mahsyud Hak merupakan koreksi terhadap teks Cerita Bapak Belalang. Uraian tersebut hanya merupakan salah satu contoh mengenai adanya hubungan antara teks yang satu dengan teks-teks lainnya.
PENUTUP Munculnya teks-teks lain dalam suatu karya sastra memberikan warna dan corak tersendiri bagi teks yang terdapat dalam karya tersebut. Teks yang muncul kemudian merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan sebagainya dari teks yang mendahuluinya. Oleh karena itu, pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan teks-teks yang mendahuluinya, dan hal itu merupakan prinsip intertekstualitas. Hal itu menunjukkan bahwa akan senantiasa ada keterkaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston. Barthes, Roland. 1981. “Theory of The Text” dalam Untying The Text: A Post-Structuralist Reader by Robert Young (Ed). Boston, London and Henley: Routledge & Kegan Paul. Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. London and Henley: Routledge & Kegan Paul. Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. Hartoko, Dick dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Jusuf, Jumsari dkk. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Miller, Owen. 1985. “Intertextual Identity’ dalam Identity of The Literary Text. Ed. By Mario J. Valdes and Owen Miller. London: University of Toronto Press. Sardjono, Partini. 1991. “Prinsip Intertekstualitas dan Penerapannya pada Karya Sastra Indonesia Baru (Modern) dan Lama (Kuna)” dalam Ilmu-Ilmu Humaniora. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Magistra No. 73 Th. XXII September 2010 ISSN 0215-9511
5