ANGELIKA NEUWIRTH DAN PEMBACAAN AL-QUR'AN PRE-CANONICAL BERBASIS SURAT DAN INTERTEKSTUALITAS Ulya Fikriyati1 Abstrak
Artikel ini merupakan kajian atas metode pembacaan Al-Qur'an precanonical berbasis surat yang ditawarkan oleh Angelika Neuwirth. Kajian ini menjadi penting karena beberapa alasan utama: pertama, Angelika Neuwirth merupakan salah satu sarjana Barat paling awal yang mengkaji Al-Qur'an dengan corak akademis-dialogis dan bukan polemis-ideologis. Sebuah kecenderungan baru yang mewarnai hampir seluruh kajian AlQur'an di Barat mulai akhir abad ke-20. Kedua, pembacaan Al-Qur'an pre-canonical menuntun pergeseran paradigma sarjana Barat tentang komposisi Al-Qur'an dari pandangan negatif menjadi positif. Ketiga, pembacaan tersebut memberikan warna baru dalam kajian Al-Qur'an yang dilakukan para sarjana Muslim. Ketiga alasan tersebut menimbulkan pertanyaan utama dari kajian ini, yaitu bagaimana metode analisis teks Al-Qur'an yang ditawarkan oleh Angelika Neuwirth dan apa relevansinya bagi perkembangan kajian Al-Qur'an selanjutnya. Hasil kajian ini dapat dipetakan menjadi: pertama, studi Al-Qur'an berbasis surat berawal dari kesadaran tentang koherensi komposisi Al-Qur'an. Pijakan yang dulunya dianggap sebagai salah satu bentuk kerancuan Al-Qur'an oleh sarjana Barat awal. Kedua, konsep Neuwirth tentang Al-Qur'an lahir dari pembedaannya terhadap pre-canonical Al-Qur'an dan post-canonical Muṣḥaf. Pembacaan terhadap pre-canonical Al-Qur'an dilakukan dengan menganalisa struktur mikro dari Al-Qur'an sebagai satuan unit yang utuh. Ketika menganalisa, Neuwirth menggunakan dua pendekatan sekaligus: sastra-sejarah. Pendekatan gabungan yang didaku sebagai salah satu pendekatan paling efektif untuk menganalisa Al-Qur'an yang memiliki sisi sangat kompleks.
Kata Kunci : Pre-canonical reading of the Qur’an, post-canonical muṣḥaf, analisis struktur mikro.
A. Pendahuluan
Al-Qur'an adalah poros umat Islam. Yang merupakan aturan,
1 Mahasiswi Program Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya
116
Ulya Fikriyati
undang-undang sekaligus petunjuk dan penuntun dalam hidup. Sejauh apapun umat Islam berjalan, mereka akan tetap kembali kepada AlQur'an. Meski huruf dan kata-katanya tidak dapat berbicara, namun Al-Qur'an dianggap dapat “berdialog” dengan kehidupan umat Islam. AlQur'an mampu ditafsirkan dan dijawantahkan dalam berbagai bentuk yang tidak selalu sama, bahkan tidak jarang saling berbeda. Realitas yang demikian unik inilah yang kemudian menarik banyak kalangan untuk mengkaji Al-Qur'an, meneliti rahasia-rahasianya dan juga mencermati semua hal yang berhubungan dengannya. Dimulai dengan penghafalan dan pencatatan ayat-ayatnya, pengumpulannya menjadi satu mushaf, sampai penulisan ribuan penjelasan dan penafsiran tentang makna dan isinya, atau pengembangan disiplin-disiplin ilmu bantu yang dirancang dapat mempermudah kajian terhadap Al-Qur'an itu sendiri. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa keunikan dan keajaiban Al-Qur'an telah menarik minat banyak kalangan untuk mengkajinya, bahkan dari kalangan intelektual Barat, yang sedianya tidak mengimani Al-Qur'an. Bagi mereka, Al-Qur'an tidak lain adalah hasil karya besar yang layak untuk dikaji, terlepas dari siapa yang “membuat” atau menciptakannya. Perbedaan titik awal inilah, yang pada tataran selanjutnya melahirkan perbedaan mendasar “perlakuan” antara intelektual Barat dan intelektual muslim terkait dengan kajian AlQur'an.2 Di Barat, khususnya periode awal, seringkali kajian Al-Qur'an yang dilakukan adalah untuk menguatkan hipotesis awal: bahwa AlQur'an adalah buatan manusia dan memiliki kekurangan-kekurangan hingga tidak patut diperlakukan luar biasa. Dalam sekian banyak kajian Al-Qur'an yang dilakukan Barat, hal di atas memang tidak terbantahkan. Namun, tentu saja, kesimpulan tersebut tidak bisa digunakan untuk memotret keseluruhan cara pandang Barat terhadap Al-Qur’an. Mengingat cara pandang Barat terhadap Al-Qur’an sangat beragam dan berubah-ubah. Keragaman cara pandang tersebut di antaranya terjadi lantaran relasi antara keduanya (Barat dan Islam) yang tidak selalu berseteru, tetapi sering kali juga bertemu.3 Sejarah relasi 2 Ah. Fawaid, Jejak Orientalis dalam Kajian al-Qur’an Kontemporer, (Pamekasan: STAIN Press, 2013), h. 6 3 Jerard F. Dirk, Abrahamic Faiths Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi, (Jakarta: Serambi, 2006), h. 313 Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
117
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
Barat dan Islam ini dipastikan berdampak pada cara pandang yang tidak tunggal terkait pandangan mereka terhadap Al-Qur’an. sampai pada tengah pertama abad ke-20, mayoritas sarjana Barat masih memandang miring Al-Qur'an. Pandangan miring tentang Al-Qur'an sangat beragam, namun dapat disederhanakan menjadi dua titik utama: berkaitan dengan struktur literal Al-Qur'an dan berkaitan dengan materi-materi yang dianggap berasal dari teks-teks lain. Kedua cara pandang tersebut menjadi sebuah kegelisahan akademis Angelika Neuwirth, yang kemudian menuntunnya untuk merumuskan solusi pembacaan yang lebih objektif terhadap Al-Qur'an. salah satu dari dua titik inilah yang akan penulis soroti dalam artikel ini dan dipetakan dalam bentuk rumusan masalah: 1. Bagaimana metode analisis teks Al-Qur'an pre canonical berbasis surat yang ditawarkan oleh Angelika Neuwirth? 2. Apa relevansinya bagi perkembangan kajian Al-Qur'an selanjutnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan pendekatan historis-filosofis dengan metode deskriptif-interpretatif. Pendekatan historis dengan metode deskriptif penulis gunakan untuk memaparkan dan menelusuri studi Al-Qur'an berbasis surat dalam sejarah kesarjanaan Muslim dan Barat. Pemaparan ini penting untuk memberikan gambaran tentang latar belakang munculnya kegelisahan akademis Angelika Neuwirth. Pendekatan filosofis dengan metode interpretatif penulis gunakan untuk menganalisa gagasan Neuwirth tentang Al-Qur'an dan bagaimana pembacaan Al-Qur'an yang ia tawarkan berdasarkan konsep tentang AlQur'an yang ia berikan. Pemaparan tentang konsep Al-Qur'an Neuwirth penting untuk dikemukakan karena menurutnya, “kegagalan” dalam pembacaan Al-Qur'an lebih sering disebabkan oleh terjebaknya seseorang dalam konsep makna Al-Qur'an itu sendiri, sebagai sebuah kitab yang terkodifikasikan, terbakukan dan mati, dan bukan Al-Qur'an sebagai sebuah korpus yang memiliki pertalian dengan masyarakat di mana ia diturunkan.4 Untuk mensistematiskan pembahasan, artikel ini dibagi 4 Angelika Neuwirth, Structure the Emergence of Community, dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwell Companion to the Qur’ān, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h. 140
118
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
menjadi tiga sub-judul yang masing-masing menopang pembahasan setelahnya.
B. Pembahasan 1. Kajian Al-Qur'an Berbasis Surat dalam Kesarjanaan Barat dan Muslim a. Komposisi Al-Qur'an dalam Kesarjanaan Barat
Al-Qur'an tidak diturunkan dalam sekali turun (jumlah wāḥidah), sebaliknya diturunkan secara bertahap dan berangsur-angsur. Suratsurat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah disebut dengan surat Makkiyyah. Sedangkan yang turun setelahnya dikenal sebagai surat Madaniyyah.5 Namun demikian, Al-Qur'an yang sampai ke tangan kita saat ini tidaklah disusun berdasarkan urutan turunnya. Al-Qur'an memiliki susunan lain, yang masih diperdebatkan apakah berdasarkan petunjuk Nabi (tauqīfī) atau berdasarkan ijtihad para sahabat (taufīqī).6 Bagi para sarjana Barat awal, susunan Al-Qur'an yang tidak kronologis tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah sebuah kitab yang acak dan tidak beraturan. Ayat-ayatnya tidak sistematis dan inheren, karena tidak mengacu pada satu aturan yang baku dan pembahasan temanya sering terlihat melompat-lompat. Di antara tokoh sarjana Barat yang menyatakan hal ini adalah Richard Bell: “... Secara keseluruhan, ada kesan bahwa kelompok surah yang bertanda sama, dikelompokkan bersama ketika Quran disusun dalam urutan yang sekarang. Pertimbangan mengenai panjangnya surah cenderung membenarkan ini. Sekilas melihat tabel akan tampak bahwa secara keseluruhan surah disusun dengan panjang yang makin berkurang, dan ini sepertinya menjadi asas untuk 5 Definisi ini merupakan definisi jumhūr ulamā’, dan dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di antara pendapat yang lain yang menyatakan bahwa, pertama: Makkiyah adalah surat-surat Al-Qur'an yang turun di kota Makkah, dan Madaniyah adalah yang turun di kota Madinah; kedua: Makkiyah adalah surat-surat yang ditujukan untuk penduduk Makkah, sedangkan Madaniyah adalah yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Lihat: Muḥammad ‘Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm alQur’ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), jld. 1, h. 112 6 Jalāluddīn al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004), jld. 1, h. 197 Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
119
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
pengurutan surah. Juga ternyata bahwa ada banyak penyimpangan dari urutan yang ketat ini...”7 Pendapat tentang ketidaksistematisan Al-Qur'an juga diungkapkan oleh Wansbrough. Ia menyoroti sisi pengulangan ayat-ayat Al-Qur'an yang ia anggap sebagai bentuk “kecerobohan” yang pada tingkat selanjutnya membuktikan bahwa Al-Qur'an merupakan pengembangan dari tradisi yang ada dalam rentang waktu yang panjang: “…ellipsis and repetition (in the Qur’ān) are such as to suggest not the carefully executed project of one or of many men, but rather the product of an organic development from originally independent traditions during a long period of transmission”.8 Namun, paradigma tentang ketidaksistematisan Al-Qur'an di kalangan sarjana Barat mulai bergeser pada tengah terakhir abad ke20. Pergeseran ini di antaranya diprakarsai oleh Angelika Neuwirth di Jerman.9 Dalam sebuah review buku Studien zur Komposition der Mekkanischen Suren karya Neuwirth, Andrew Rippin menyatakan bahwa karya tersebut merupakan pembelaan nyata terhadap Al-Qur'an dari penilaian-penilaian buruk yang menganggap beberapa bagian redaksi Al-Qur'an sebagai clumsy fashion.10 Terkait dengan pendapat para pendahulunya yang menganggap miring susunan Al-Qur'an, Neuwirth justru menegaskan bahwa anggapan tersebut sejatinya muncul karena hanya menitikberatkan pembacaan terhadap kodeks Al-Qur'an, dan mengesampingkan pembacaan per surat sebagai sebuah unit yang memiliki karakteristik unik. “The image of the Qu’an as reflecting as text still in progress and thus displaying a unique micro-structural diversity due to its evolution out 7 Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, (Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies [INIS], 1998), h. 55 8 John Wansbrough, Quranic Studies Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York, Prometheus Boks, 2004), h. 47 9 Stefan Wild, Preface, dalam The Qur’an as Text, (London: E. J. Brill, 1996), h. Ix, lihat juga Neal Robinson, Discovering the Qur’an A Contemporary Approach to Veiled Text, (London: SCM Press, 2003), h. 99 10 Andrew Rippin, Review of Studien zur Komposition der Mekkanischen Suren by Angelika Neuwirth, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, (London: Cambridge University Press, 1982), vol. 45, No. 1, h. 149
120
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
of an extended process of a liturgical communication, becomes blurred, being eclipsed by its macro-structural weight and the social importance of the henceforth normative corpus and its ideological implications for the construction of the community’s identity”.11 Oleh karena itu, Neuwirth menawarkan sebuah pembacaan precanonical atas Al-Qur'an berbasis pada struktur mikro Al-Qur'an, yaitu surat yang terdiri dari sekumpulan ayat. Karena surat adalah entitas dari komposisi paling kecil Al-Qur'an dan menjadi elemen esensial yang membentuk struktur literatur Al-Qur'an.12 Dengan demikian, pembacaan yang dihasilkan tidak hanya berhenti pada makna zahir saja, tetapi juga mengungkap apa yang tersirat dari sebuah surat.
b. Sarjana Muslim dan Komposisi Al-Qur'an
Pandangan sarjana Muslim tentang Al-Qur'an berangkat dari titik yang berbeda dengan sarjana Barat. Sarjana Barat berangkat dari keyakinan Al-Qur'an sebagai teks “bumi”, dan pandangan sarjana Muslim berangkat dari keyakinan Al-Qur'an sebagai teks “langit”. Pandangan pertama lebih cenderung mengantarkan pada kritik terhadap “kekurangan-kekurangan” Al-Qur'an, dan yang kedua lebih kepada pembelaan terhadap “kelebihan-kelebihan” Al-Qur'an. Hal ini dapat diperhatikan dalam mayoritas disiplin kajian Al-Qur'an dalam kesarjanaan Muslim. Keyakinan tentang ke-“luarbiasaan” Al-Qur'an dalam segala hal ini mengantarkan para sarjana Muslim untuk mencarikan “jawaban” dan “pembelaan” atas segala bentuk “tuduhan” yang dialamatkan kepada Al-Qur'an, di antaranya tentang komposisi Al-Qur'an. “Jawabanjawaban” atas “tuduhan” ketidaksistematisan komposisi Al-Qur'an ini pada perkembangannya memunculkan disiplin ilmu baru dalam ulūm al-Qur’ān yang dikenal dengan ‘ilm al-munāsabah, ‘ilm tartīb al-Qur’ān, ‘ilm al-rawābiṭ al-āyah atau Naẓm al-Qur’ān. Menurut Abū al-Ḥasan al-Shahrābānī, sebagaimana dikutip oleh al-Zarkashī, orang yang pertama kali mempopulerkan istilah ‘ilm almunāsabah adalah Syeikh Abū Bakr al-Nīsābūrī di Baghdad. Meski 11 Angelika Neuwirth, Form and Structure of the Qur’an, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.) Encyclopaedia of the Qur’ān, (Leiden: E. J. Brill, 2002), vol. 2, h. 246 12 Angelika Neuwirth, Structure and..., h. 142 Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
121
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
dianggap sebagai salah satu ilmu paling penting dalam tatanan ulūm al-Qur’ān, namun peminat kajian munāsabah tidaklah banyak karena kerumitannya. Di antara mufassir terdahulu yang sering membahas munāsabah adalah al-Rāzī:
"وقد قل اعتناء املفرسين بهذا انلوع دلقته وممن أكرث منه اإلمام فخر ادلين الرازي وقال يف تفسريه أكرث لطائف القرآن مودعة يف 13
الرتتيبات والروابط
Kendati pembahasan tentang koherensi ayat-ayat Al-Qur'an telah menjadi salah satu subjek kajian sarjana muslim, namun menurut Mustansir Mir, pembahasan mereka masih bersifat “linear-atomistic: with verse 1 of a sūra he links up verse 2, with which he links up verse 3, and so on untill the end of the sūra”.14 Tipologi ini masih mewarnai sebagian besar karya tafsir dalam kesarjanaan Muslim hingga abad ke-20 yang kemudian berkembang bukan hanya merujuk pada koherensi antar ayat, tapi juga menyimpulkan tema besar dari sebuah surat atau sekumpulan ayat dari surat panjang. Konsep ini dibangun dari tiga ide pokok: “First, the division of the Qur’anic material into so many sūrahs indicates that each sūrah has a distinct theme, otherwise the whole of the Qur’ān could have been made one sūrah. Second, the unequal length of the sūrahs implies that it is considerations of naẓm that determined the length of any sūrah. Third, the word “sūrah” means “awall enclosing a city”. Within a enclosing wall there can be only one city. Within a sūrah, likewise, there can be only one set of integrally related themes”.15
Pergeseran ini di antaranya dapat dicermati dari karya-karya tafsir yang ditulis oleh Ashraf ‘Alī Thanafī, Sayyid Quṭb, Muḥammad ‘Izzat 13 Muḥammad ibn ‘Abdullāh al-Zarkashī, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), jld. 1, h. 36 14 Mustansir Mir, The Sūra as A Unity A Twentieth Century Development in Qur’ān Exegesis dalam G. R. Hawting and Abdul Kader A Shareef (eds.), Approaches to the Qur’ān, (New York: Routledge, 1993), h. 212 15 Mustansir Mir, Coherence in the Qur’ān A Study of Iṣlāhī’s Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qur’ān, (Indianapolis: American Trust Publications, 1986), h. 37
122
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
Darwazah, Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’ī, Ḥamīd al-Dīn al-Faraḥī, alIṣlāḥī. Keenam mufassir tersebut menuliskan tafsir berdasarkan susunan Al-Qur'an post canonical dan mengkonstruk koherensi dan kohesi antar ayat atau antar sekelompok ayat dalam satu surat (sūrah as unity) dan antar surat dalam satu muṣḥaf Al-Qur'an secara keseluruhan (sūrahs as unity) dengan membangun sebuah tema sentral. Pada titik ini, disiplin ‘ilm al-munāsabah atau yang sejenis mengalami perkembangan dari sebatas linier-atomistic menjadi organic-holistic.16 Hubungan organic-holistic ini kemudian menjadi sebuah tren baru dalam “tafsīr mauḍū’ī” di kalangan kesarjanaan Muslim. Di antara mereka yang menerapkannya baru-baru ini adalah Salwa M. S. El-Awa dengan bukunya Textual Relations in the Qur’ān Relevance, Coherence and Structure,17 dan Nevin Reda El-Tahry dengan disertasinya yang berjudul Textual Integrity and Coherence in the Qur’an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara.18 Dengan demikian, kajian Al-Qur'an berbasis surat juga menemukan tempatnya di kalangan sarjana Muslim. Sebuah usaha untuk memberikan pembacaan “yang baru” terhadap AlQur'an.
16 Mustansir Mir, The Sūra.., h. 219 17 Dalam buku ini El-Awa membedah relevansi, koherensi dan struktur dari Surat Al-Aḥzāb dan al-Qiyāmah. Ia membagi masing-masing surat tersebut ke dalam satuan-satuan unit yang terdiri dari beberapa ayat yang memiliki tema besar dan struktur yang sama, untuk kemudian menarik relevansi antar tema dan struktur yang membangun surat secara utuh. Salwa M. S. El-Awa, Textual Relation in the Qur’ān Relevance, Coherence and Structure, (New York: Routledge, 2006) 18 Disertasi ini juga membahas tentang koherensi ayat-ayat Al-Qur'an dalam satu unit surat yang utuh. Hanya saja, difokuskan pada pengulangan kisah dan ujaran (utterence) yang ada dalam surat al-Baqarah untuk kemudian memetakan growth of theme dalam sebuah surat dengan memperhatikan perkembangan progresif dan elaborasi dari berbagai panel surat guna memperlihatkan “how these themes hold the sura together as unit. Lihat: Nevin Reda El-Tahry, Textual Integrity and Coherence in the Qur’an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara, Disertasi, (Toronto: University of Toronto, 2010) Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
123
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
2. Konsep Angelika Neuwirth tentang Al-Qur'an dan Studi Al-Qur'an a. Mengenal Angelika Neuwirth
Angelika Neuwirth lahir pada tahun 1943. Belajar bahasa Persia dan literatur di Tehran. Untuk bidang Semitik, Arab, Islam dan filologi, ia belajar di Göttingen dan Jerussalem. Setelah menyelesaikan program doktornya pada tahun 1972 di University of Göttingen dan postdoktoral di tahun 1977 di Munich. Setelah itu ia bergabung bersama tim research and tought di Amman Jordania sekaligus menjadi dosen tamu dari 1977–1983. Selain itu, Angelika juga diangkat sebagai profesor terbang di Munich, Cairo, dan Bamberg sebelum ia bergabung menjadi profesor tetap di Freie Universität Berlin, Jerman pada tahun 1991 pada disiplin Studi Arab. Sejak tahun 1994 hingga 1999 ia menjabat sebagai direktur Orient Institute di German Oriental Society di Beirut dan Istanbul.19 Pada tahun 2008 ia memperoleh gelar doktor kehormatan dari University of Bamberg. Tahun 2009 diangkat sebagai anggota Leopoldina, German National Academy of Science, dan pada 2011 ia terpilih untuk bergabung bersama American Academy of Arts and Sciences (USA). Fokus kajian Angelika Neuwirth adalah literatur Arab, baik klasik atau modern dan juga Al-Qur'an dari sudut pandang Late Antiquity. Saat ini, Neuwirth didaku sebagai ketua proyek Corpus Coranicum yang dimulai pada tahun 2005.20 Corpus Coranicum merupakan salah satu contoh bentuk kerjasama antara kesarjanaan Muslim dan Barat dalam kajian Al-Qur'an. Sebuah pergeseran baru dari tipologi studi Islam di Barat sebelumnya yang lebih banyak bersifat polemis-apologetis daripada akademis-dialogis.
b. Konsep Al-Qur'an; Qur’ān Versus Muṣḥaf
Setiap Nabi diberikan mukjizat yang selalu sesuai dengan keahlian kaumnya. Nabi Musa yang dikirim kepada orang-orang Mesir, dibekali dengan mukjizat mampu mengubah tongkat menjadi ular, dan 19 www.suhrkamp.de/fr_buecher/the_koran_as_a_text_from_late_antiquityangelika_neuwirth_71026.pdf, diakses pada 28 Oktober 2014 20 www.fu-berlin.de/en/presse/information/fup/2012/fup_12_146/ diakses pada 28 Oktober 2014
124
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
mengembalikan ular tersebut menjadi tongkat seperti sedia kala. Hal itu sesuai dengan keahlian orang-orang Mesir saat itu yang berkaitan dengan ilmu sihir. Untuk umat Nabi Isa yang ahli kedokteran, maka diberikan mukjizat yang melebihi kemampuan mereka, yaitu membangkitkan orang yang telah meninggal. Pada masa berikutnya, Nabi Muhammad datang kepada bangsa Arab yang memiliki keahlian di bidang sastra dan retorika. Maka ia dibekali dengan Al-Qur'an sebagai mukjizat—meski ada juga beberapa mukjizat fisikal yang menyertai Al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan tuturan yang tidak hanya terbatas pada komunikasi verbal antara pesan Allah dan para audiens saat itu. Tapi juga mencakup wacana, ujaran atas sebuah tuturan, dan juga komentar AlQur'an terkait pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an itu sendiri atau komentar atas pesan teks lain. Kesemua bentuk tersebut menunjukkan sisi extraordinary Al-Qur'an yang sesuai dengan kecenderungan era itu, yaitu era sastra dan penafsiran, dan bukan era ilmu sihir atau pun era sains. Predikat Al-Qur'an sebagai mukjizat yang luar biasa inilah kemudian mendorong banyak kalangan untuk melakukan pembacaan terhadapnya, tidak terkecuali para sarjana Barat. Namun demikian, pembacaan yang dilakukan terhadap Al-Qur'an tidak selalu muntijah, produktif. Dalam arti, pembacaan tersebut masih berkutat pada makna tekstual dan belum sampai pada makna out of box dari teks itu sendiri. Terkait dengan pembacaan model inilah Angelika Neuwirth menawarkan sebuah metode lain yang dimulai dari pembedaan antara terma Qur'ān, Muṣḥaf. Substansi pembacaan terhadap Al-Qur'an yang ada, melahirkan pemaknaan terkait dengan terma Qur’ān dan Muṣḥaf. Dalam tradisi keislaman, pembedaan antara Qur’ān dan Muṣḥaf sejatinya telah dikenal, akan tetapi kurang diejawantahkan dalam proses pembacaan Al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai sebuah kitab yang terbukukan menjadi sebuah fixed corpus setelah Rasulullah wafat adalah Muṣḥaf. Untuk memahaminya, “wajib” merujuk kepada tafsir-tafsir dan tradisi klasik yang dilegalkan sebagai sumber yang diakui keabsahannya. Sedangkan Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci yang hidup dalam bentuk komunikasi oral antara masyarakat Mekkah, Madinah dan Rasulullah adalah Qur’ān. Bersifat dinamis sebagai sebuah teks yang tumbuh dan memperhatikan perubahan kebutuhan masyarakat ketika ia diturunkan. Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
125
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
“The study of the Qur’ān as a post canonical, closed text... accessible only through the lens of traditional Islamic exegesis, is a legitimate task for elucidating the community’s understanding of the Qur’ān. It is an anachronistic approach, however, when it is applied—as it tacitly often is—to investigate the formation of the Qur’ānic massage, that is, the dynamics of its textual growth and diverse changes in orientation during the oral communication phase of the Qur’ān.21 Pembedaan konsep antara Qur’ān dan Muṣḥaf ini menjadi pijakan utama Neuwirth dalam menganalisa Al-Qur'an berbasis surat sebagai unit satuan yang utuh dan mandiri serta mengusung tema sentral, dan gaya retorika yang khas dan unik sebagai bentuk komunikasi dalam merespon late antiquity yang mengitarinya.
3. Metode Pembacaan Pre-Canonical Berbasis Surat dan Intertekstualitas
Pembacaan pre-canonical ini merupakan terapan dari konsep pemisahan makna Al-Qur'an sebagai Qur’ān dan sebagai muṣḥaf. Qur’ān yang turun dalam setiap satu kesatuan surat—pada sebagian besar surat Makkiyyah—atau sekelompok satuan ayat pada surat Madaniyyah. Sebagai sebuah unit mandiri yang turun dalam waktu tertentu, setiap surat memiliki ciri khas yang unik dalam struktur makro teks AlQur'an secara utuh. Bentuk koherensi antar ayat inilah yang kemudian membedakan “rasa” setiap surat dibanding surat lainnya. Memisahkan sebuah ayat dari kesatuannya dalam proses penafsiran sama artinya dengan menjauhkannya dari konteks yang melingkupinya. Konteks yang selalu memiliki setting historis berbeda sebagai proses pewahyuan kepada sekelompok masyarakat dengan keadaan yang unik. Membaca Al-Qur'an melalui struktur mikronya sesuai dengan urutan nuzūl juga dapat mengantarkan pembaca pada penginderaan pergeseran core point dari masing-masing surat yang merespon keadaan berbeda dalam waktu berbeda pula. Suras eventually ceased to be considered integral literary units conveying massages of their own and mirroring individual stages of a process 21 Angelika Neuwirth, Two Faces of the Qur’ān: Qur’ān and Muṣḥaf, dalam Oral Tradition, Vol. 25, Issue 1, Maret 2010, h. 142
126
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
of comunication. On the contrary, once all parts had become equal in rank, arbitrarily selected texts could be exracted from their sura context and used to explain other arbitrarily selected text. Passages thus became virtually de-contextualised, stripped of the tension that had characterised them within their original units. Genuine text-units lost their literary integrity and could be mistaken for mere repetitions of each other,22 the literary text stripped of the tension created by its history, turned into a canon, a sacred text exlucively, or—viewed from an orientalist perspective—into a heap of materials.23 Berbeda dengan memahami Al-Qur'an sebagai qur’ān, tuturan yang berbentuk komunikasi oral yang disampaikan kepada para pendengarnya, memahami Al-Qur'an sebagai muṣḥaf menggiring kita untuk berpikir bahwa Al-Qur'an adalah sebuah bundel kitab suci yang telah baku, tidak boleh diganti urutan surat-suratnya, dan juga beku, tidak memiliki makna selain apa yang ditunjukkannya secara tekstual,24 bahkan Membaca Al-Qur'an dengan hanya melihatnya sebagai sebuah bundel kanonikal inilah yang dimaksud dengan memandang Al-Qur'an sebagai sebuah struktur makro yang sama dari awal hingga akhir, dan mengesampingkan struktur mikro dari masing-masing surat yang membentuknya. Pembacaan model ini akan menghilangkan kesempatan untuk menemukan keunikan dari masing-masing struktur mikro yang membentuk struktur makro tersebut. Sebagai sebuah bentuk tuturan, Neuwirth menganalisa Al-Qur'an dalam struktur mikronya, yaitu setiap satuan surat. Mengisolasi sebuah ayat dari konteks surat secara menyeluruh akan mengakibatkan sebuah hasil pembacaan yang tidak adil terhadap struktur retorika surat tersebut. “...isolating individual verses from their context, however fails to do justice to the rhetorical structure of the surah with its purposeful crossreferences. Therefore, another scenario is equally worth considering.25 22 Angelika Newirth, Form and Structure..., vol. 2, h. 248 23 Neuwirth, Qur’an and History..., h. 11 24 Angelika Neuwirth, Negotiating Justice: A Pre-Canonical Reading of the Qur’anic Creation Accounts (Part I) dalam Journal of Qur’anic Studies, Edinburg University Press, Vol. 2, No. 1, 2000, h. 26 25 Angelika Neuwirth, The House of Abraham and the House of Amram: Genealogy, Patriarchal Authority, and Exegetical Professionalism dalam The Qur’ān in ConNur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
127
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
Karena meski membahas tentang satu objek yang sama, setiap surat telah dikonstruk untuk menanggapi keadaan yang berbeda. Sebagai contoh adalah pembahasan tentang Ibrahim dan keturunannya sebagai tokoh sentral dalam agama Yahudi, juga Maryam dan Isa sebagai tokoh dari agama Kristen yang ada pada surat-surat Makkiyyah dan surat-surat Madaniyyah. Target dari surat-surat Makkiyyah tentu berbeda dengan surat-surat Madaniyyah berikut konteks sosio-historis yang dihadapi, yang berimplikasi pada perbedaan retorika penyampaiannya. Hasilnya, pembacaan yang hanya dilandaskan pada pembacaan canonical akan terlihat kasar karena tumbuh secara tidak natural. Sebaliknya, dengan melakukan pembacaan berdasarkan struktur mikro akan mampu menumbuhkan pemahaman yang halus, harmonis dan lebih subur. Tehnik pembacaan pre-canonical Neuwirth dapat dirangkum dalam tiga langkah pokok: pertama, mencari kohesi dan koherensi antar ayat dalam satu surat untuk menentukan tema sentral yang paling dominan. Langkah pertama ini diterapkan dengan membagi satu surat ke dalam beberapa kelompok ayat berdasarkan stylistic and thematic considerations,26 yang menurut Neal Robinson bisa digunakan untuk mendeteksi changes in subject-matter and addressee27 sehingga bisa disimpulkan sebuah tema utama dari unit kecil tersebut. Kedua, menelusuri nucleus text dalam surat-surat yang telah turun sebelum atau pun sesudahnya, karena the inescapable observation that the text refers to itself dan dalam konteks pembacaan Al-Qur'an dikenal dengan Qur’anic self referentiality.28 Penelusuran ini penting dilakukan untuk mencermati growth of the text dan emergence of community dari sebuah teks yang seakan diulang-ulang. Melalui langkah kedua ini juga nantinya akan didapati bahwa setiap kisah yang mirip dan sekilas terlihat seperti diulang-ulang ternyata masing-masing memiliki penekanan yang berbeda dalam setiap surat. Dalam praktek penafsiran Al-Qur'an, langkah kedua ini telah sering dilakukan juga oleh para mufassir Muslim. Hanya text Historical and Literary Investigations into the Qur’ānic Milieu, (Leiden: Brill, 2010), h. 518 26 Angelika Neuwirth, Form and Structure..., h. 251 27 Neil Robinson, Discovering the Qur’an..., h. 99 28 Angelika Neuwirth, Negotiating Justice..., h. 27
128
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
saja, langkah mereka berhenti pada titik ini, dan menganggap bahwa tugas penafsiran tersebut telah selesai. Namun tidak demikian dengan Neuwirth, ia masih menawarkan satu langkah terakhir yang justru dihindari oleh kebanyakan sarjana Muslim. Langkah ketiga: mendudukkan struktur mikro Al-Qur'an yang sudah dianalisa pada langkah kedua bersama dengan teks-teks late antiquity yang mengitarinya. Termasuk di dalamnya sīra that provides a social and historical contxt for individual text units within the corpus.29 Sejatinya, inti dari tawaran pembacaan Neuwirth terhadap Al-Qur'an adalah langkah ketiga ini.30 Langkah yang dilakukan untuk membangun kembali historisitas teks sehingga dapat ditelusuri dengan cermat mengapa ayat tersebut turun, dan dalam konteks komunikasi seperti apa ia muncul. Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan, maka yang tersisa selanjutnya adalah menafsirkan unit mikro Al-Qur'an dengan intertekstualitas. Salah satu contoh untuk melihat hal tersebut adalah dengan mencermati pembacaan Neuwirth atas kisah Maryam dan Nabi Isa, yang di antaranya terdapat dalam QS. Maryam [19]: 16 – 40. Dalam surat tersebut disebutkan bagaimana Maryam mengasingkan diri untuk mengabdikan dirinya di rumah Allah. Meski perempuan, Maryam mendapat tempat istimewa di sisi Allah. Hal itu dibuktikan dengan pemberian berbagai makanan langsung dari sisi Allah, belum lagi seorang malaikat datang untuk menemuinya. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim, malaikat yang datang kepada Maryam juga mengabarkan bahwa ia akan dikaruniai seorang putra. Maryam yang tidak pernah disentuh oleh seorangpun terheran-heran, bagaimana mungkin ia bisa memiliki putra. Malaikat itupun menjelaskan kepadanya bahwa hal itu sangat mudah bagi Allah. Lalu hamillah Maryam. Dalam keadaan sakit karena akan melahirkan, Maryam bersandar pada pohon kurma sambil berharap ia mati sebelum merasakan semua rasa sakit itu. 29 Angelika Neuwirth, Qur’an and History—a Disputes Relationship Some Reflections on Qur’anic History and History in the Qur’an dalam Journal of Qur’anic Studies, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2003), vol. 5, No. 1, h. 1 30 Pembahasan tentang langkah ketiga ini memang tidak penulis singgung dalam artikel ini, karena membutuhkan pembahasan tersendiri. Namun demikian, penulis perkenalkan secara singkat sebagai informasi awal dalam pembacaan tawaran Angelika Neuwirth dalam pembacaan Al-Qur'an. Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
129
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
Malaikat datang untuk menghiburnya dan mengatakan agar Maryam menggoyangkan batang kurma di dekatnya, agar kurma-kurma masak berjatuhan. Setelah kelahiran putra Maryam, Malaikat memberikan ucapan selamat dan berpesan agar Maryam tidak menjawab apapun yang orang katakan padanya. Maryam berpuasa dengan tidak berbicara. Maryam kembali kepada kaumnya dengan menggendong bayi yang baru dilahirkannya. Melihat seorang perempuan memiliki anak tanpa ayah, kaumnya langsung mencemoohnya dengan “Wahai saudari Harun, ayahmu bukan seorang yang buruk, dan ibumu juga bukan seorang pezina”, bagaimana mungkin kau melakukan kehinaan itu? Dalam fragmen itulah Nabi Isa diceritakan memiliki mukjizat dapat berbicara meski masih dalam gendongan. Dalam surat Makkiyah ini, Al-Qur'an hanya menerangkan silsilah Maryam sebagai saudari dari Nabi Harun, tidak lebih. Al-Qur'an sama sekali tidak menyinggung apakah keluarga Imran termasuk ke dalam keluarga terpilih atau tidak. Hal ini karena teks-teks yang ada di Mekkah tidak memerlukan adanya keterangan lebih tentang hal itu. Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, umat Islam bertemu dengan kaum Yahudi yang begitu getol memusuhi Islam dan menganggap bahwa mereka lebih mulia dari seluruh umat manusia di dunia, termasuk di dalamnya umat Islam dan umat Kristen. Menanggapi hal tersebut, AlQur'an menggiring audiensnya untuk mengetahui pandangan Islam tentang pengakuan umat Yahudi sebagai umat terpilih. Pada titik ini, Al-Qur'an mulai menyinggung tentang adanya keluarga lain yang setara keutamaannya dengan kaum Yahudi, yaitu keluarga Imran yang menurunkan Isa, Nabi umat Nasrani. Sebagaimana yang dapat dilihat pada QS Āli ‘Imrān [3]: 33 – 62. Bagian kedua dari kesatuan surat Āli ‘Imrān ini membantah keyakinan Yahudi yang mengatakan bahwa keturunan Ibrahim, termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi adalah satu-satunya keluarga terbaik yang ada di dunia. Bantahan tersebut dimulai dengan memposisikan Āli ‘Imrān sejajar dengan Āli Ibrāhīm. Dimulai dengan penekanan: “inna Allāh iṣṭafā Ādam wa Nūḥ wa Āla Ibrāhīm wa Āla ‘Imrān ‘alā al-‘ālamīn. Dhurriyyatan ba’ḍuhā min ba’ḍ’ wa Allāh samī’ ‘alīm”. Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat. Sebagian merupakan keturunan sebagian yang lain. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 130
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
Penyetaraan ini tentunya berlawanan dengan hak istimewa yang diyakini oleh umat Yahudi hanya dimiliki oleh keturunan Ibrahim. Dengan kata lain, kekultusan figur Ibrahim yang dianggap tidak ada duanya oleh orang Yahudi Madinah dibantah oleh Al-Qur'an dengan memunculkan seorang figur baru, yaitu ‘Imrān dan keturunannya. “The Āl ‘Imrān thus empowered, can figure as genuine competitor to the Abrahamic tradition. Hence, the juxtaposition of both the established and the newly introduced tradition in v. 33, and their presentation as equals, is certaintly to be understood as a polemic against the priviledged position of the Abrahamic tradition that can hardly be ignored.31 Imrān adalah seorang figur yang hanya muncul dalam surat ke-3, dan menutupi garis keturunan seorang Nabi yang menjadi putranya, Harun. Pada garis keturunan Nabi Harun inilah muncul Nabi berikutnya, Isa. Setelah itu, Al-Qur'an kemudian mempertajam teksnya dengan memaparkan bagaimana Maryam, putri Imran mendapatkan perlakukan sama sebagaimana Allah memperlakukan Ibrahim. Di antara perlakuan tersebut adalah didatangi oleh seorang malaikat yang mengabarkan akan datangnya seorang putra. Ketika dalam surat Maryam kisah antara Zakaria dan Maryam dipisahkan, maka pada Surat Āli ‘Imrān, kisah keduanya digabungkan menjadi satu. Perlu diperhatikan, bahwa tokoh-tokoh utama yang diceritakan dalam bagian ini hingga sebelum munculnya figur Isa, seluruhnya adalah perempuan dan berhubungan dengan keperempuanan. Dimulai dari tokoh anonim yang disebut sebagai ibu Maryam. Ia digambarkan melalui proses yang identik dengan keperempuanan, seperti kehamilan fī baṭnī, melahirkan waḍa’tu, perempuan unthā. Ibu Maryam bersumpah untuk menghibahkan putrinya kepada rumah ibadah. Dalam ayat-ayat tersebut digambarkan bahwa ibu Maryam memiliki peran yang lebih terlihat dibanding dengan suaminya, Imran. Hal ini terlihat dari momen memberi nama kepada Maryam, yang dilanjutkan dengan keputusannya untuk memberikan Maryam kepada tempat ibadah guna mengabdi kepada Allah, bahkan hingga mendoakan Maryam serta seluruh keturunannya di masa datang agar terhindar dari kejahatan setan. Ketiga peran tersebut mencakup semua peran utama 31 Ibid., h. 508 Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
131
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
yang biasanya dimainkan oleh seorang laki-laki. Hal ini memberikan sebuah hasil pembacaan baru, bahwa selain Allah menyejajarkan keluarga Ibrahim dan keluarga Imran, Dia juga menyejajarkan perempuan dengan laki-laki. Bagaimana seorang perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. jika Allah lebih mengunggulkan laki-laki dari perempuan, seharusnya bayi yang dilahirkan oleh istri Imran diciptakan sebagai laki-laki. Padahal kenyataannya bayi tersebut adalah bayi perempuan, terlahir dari seorang ibu yang telah bernazar untuk menghibahkan bayi yang dikandungnya sebagai rabi. Selain itu, penghargaan Allah kepada perempuan juga terlihat dari realita tentang Maryam yang dianugerahi makanan dari langit. Sedangkan seorang laki-laki yang juga Nabi dan ada saat itu, Zakariya, tidak diberi anugerah yang sama. Pembelaan Al-Qur'an terhadap Maryam sebagai tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan. Sebaliknya, sebagai salah satu bentuk respon AlQur'an terhadap late antiquity Yahudi dan Yunani yang mendiskriminasi Maryam dan perempuan secara umum dengan menyatakan bahwa kejadian Maryam yang melahirkan anak tanpa ayah sebagai “a scandal in the eyes of the Jews and foolishness in the eyes of the Greeks”. Di sisi yang lain, pembelaan Al-Qur'an tersebut sesuai dengan teks Kristen Timur yang dikenal dengan Akathistos Hymnos, the Praise of the Virgin.32
C. Kesimpulan
Dari pembacaan Neuwirth tentang surat Maryam dan Āli ‘Imrān, dapat disimpulkan poin utama dari surat ke-3 bagian 1 (ayat 1-33) dan 2 (ayat 34-62) adalah merobohkan dominasi keturunan Ibrahim dan menaikkan keturunan lain, yaitu Imran, yang dalam prosesnya bukan diperankan oleh tokoh patriarkal, tapi justru oleh dua orang perempuan, dan seorang laki-laki (Zakaria) sebagai satu-satunya tokoh patriarkal yang dikisahkan tunduk di depan kearifan Maryam dan kedekatannya kepada Allah. Pembacaan model ini tentu tidak pernah kita dapati dalam tafsirtafsir klasik yang mayoritas hanya membahas tentang struktur atomistik Al-Qur'an, sintaksis, atau morfologis kata-kata dalam ayat. Ataupun kalau tidak, tafsir tersebut hanya membahas maksud tekstual dari ayat32 Ibid., h. 521
132
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
ayat yang ada. Hasil pembacaan seperti itu, memang wajar bahkan aksiomatik jika dilihat dari metode yang digunakan. Karena jarang sekali—untuk tidak mengatakan tidak ada—sebuah tafsir mengorek pengulangan kisah atau ayat lalu membandingkannya berdasarkan fase Mekkah dan Madinah untuk kemudian melihatnya dari perspektif teks-teks late antiquity yang mengitarinya. Menurut penulis, hal ini di antaranya didasari oleh jenis pembacaan post-canonical terhadap AlQur'an. Dengan kata lain, para mufassir Muslim lebih sering terpaku pada susunan muṣḥafī dari pada mempertimbangkan susunan qur’ānī. Maka, untuk “menghidupkan” kembali jiwa Al-Qur'an, efektifitas model pembacaan pre-canonical berbasis surat lebih dari sekadar layak untuk dipertimbangkan. Dari masa ke masa, Al-Qur'an telah ditafsirkan, dikomentari, dan dibaca dengan berbagai model pembacaan, metode dan pendekatan. Sayangnya, tidak semua orang bisa menghormati “usaha pembacaan” tersebut. Bahkan tidak jarang vonis “kafir” segera saja dilekatkan kepada individu-individu yang masih setengah jalan dalam proses pembacaan Al-Qur'an tersebut. Namun demikian, dinamika kajian Al-Qur'an akan terus berjalan bahkan berlari terus ke depan, tanpa ada yang bisa membendungnya.[]
DAFTAR PUSTAKA
Bucaille, Maurice, The Bible, the Qur’an and Science; the Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge, terj. A. D Pannel dan Maurice Bucaille, Indianapolis, T. p, 1979 Crone, Patricia and Cook, Michael, Hagarism the Making of the Islamic World, London, Cambridge University Press, 1977 Daniel A. Madigan SJ, “Foreward” dalam Gabriel Said Reynolds, The Qur’ān in Its Historical Context, New York, Routledge, 2008 Dirk, Jerard F., Abrahamic Faiths Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi, Jakarta, Serambi, 2006 El-Awa, Salwa M. S., Textual Relation in the Qur’ān Relevance, Coherence and Structure, New York, Routledge, 2006 El-Tahry, Nevin Reda, Textual Integrity and Coherence in the Qur’an: Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
133
Angelika Neuwirth dan Pembacaan Al-Qur'an Pre-Canonical Berbasis Surat .....
Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara, Disertasi, Toronto, University of Toronto, 2010 Fawaid, Ah., Jejak Orientalis dalam Kajian al-Qur’an Kontemporer, Pamekasan, STAIN Press, 2013 Mir, Mustansir, “The Sūra as A Unity A Twentieth Century Development in Qur’ān Exegesis” dalam G. R. Hawting and Abdul Kader A Shareef (eds.), Approaches to the Qur’ān, New York, Routledge, 1993 ------, Coherence in the Qur’ān A Study of Iṣlāhī’s Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qur’ān, Indianapolis, American Trust Publications, 1986 Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Beirut, Dār al-Fikr, 2000 Neuwirth, Angelika and Marx, Michael, Scientific Report Corpus Coranicum Exploring the Textual Beginnings of the Qur’an, disampaikan pada ESF SCH Exploratory Workshop, Seminar für Semitistik und Arabistik, di Freie Universität Berlin pada 6 – 9 November 2005 ------, “Form and Structure of the Qur’an”, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.) Encyclopaedia of the Qur’ān, Leiden, E. J. Brill, 2002 ------, “Negotiating Justice: A Pre-Canonical Reading of the Qur’anic Creation Accounts (Part I)” dalam Journal of Qur’anic Studies, Edinburg University Press, Vol. 2, No. 1, 2000 ------, “Qur’an and History—a Disputes Relationship Some Reflections on Qur’anic History and History in the Qur’an” dalam Journal of Qur’anic Studies, Edinburgh University Press, 2003, vol. 5, No. 1 ------, “The House of Abraham and the House of Amram: Genealogy, Patriarchal Authority, and Exegetical Professionalism” dalam Angelika Neuwirth, Nicolai Sinai, and Michael Marx, The Qur’ān in Context Historical and Literary Investigations into the Qur’ānic Milieu, Leiden, Brill, 2010 ------, “Two Faces of the Qur’ān: Qur’ān and Muṣḥaf”, dalam Oral Tradition, Vol. 25, Issue 1, Maret 2010 ------, “Two Views of History and Human Future: Qur’anic and Biblical Renderings of Divine Promise” dalam Journal of Qur’anic Studies, Edinburgh University Press, Vol. 10, No. 1, 2008 ------, Islam as A Culture of Knowledge (interview), en.qantara.de/ content/interview-with-angelika-neuwirth-islam-as-a-culture-of134
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
Ulya Fikriyati
knowledge, diakses pada 29 November 2014 ------, Locating the Qur’an in the Epistemic Space of Late Antiquity, disampaikan dalam Konferensi The Qur’ān and Late Antiquity, Ankara, Ankara Üniversitesi Ílahiyat Fakültesi Dergisi, 2013 ------, Structural, Linguistic and Literary Features, Cambridge, Cambridge University Press, 2007 ------, Structure and the Emergence of Community, dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwell Companion to the Qur’ān, Oxford, Blackwell Publishing, 2006 ------, The Koran as Text from Late Antiquity. www.suhrkamp.de/fr_ buecher/the_ koran_as_a_text_from_late_antiquity-angelika_ neuwirth_71026.pdf, diakses pada 28 Oktober 2014 Rippin, Andrew, “Review of Studien zur Komposition der Mekkanischen Suren by Angelika Neuwirth”, dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, London, Cambridge University Press, 1982 Said, Edward, Culture and Imperialism, New York: Vintage Book, 1993 Sinai, Nicolai, Neuwirth, Angelika, “Introduction” dalam Angelika Neuwirth, Nicolai Sinai, and Michael Marx, The Qur’ān in Context Historical and Literary Investigations into the Qur’ānic Milieu, Leiden, E. J. Brill, 2010 Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Kairo, Dār al-Ḥadīth, 2004 Wansbrough, John, Quranic Studies Sources and Methods of Scriptural Interpretation, New York, Prometheus Boks, 2004 Watt, Montgomery, Richard Bell: Pengantar Quran, Jakarta, Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies [INIS], 1998 Wild, Stefan, “Preface”, dalam The Qur’an as Text, London, E. J. Brill, 1996 www.fu-berlin.de/en/presse/information/fup/2012/fup_12_146/ diakses pada 28 Oktober 2014 Zarkashī, Muḥammad ibn ‘Abdullāh, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut, Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957 Zarqānī, Muḥammad ‘Abd al-Aẓīm, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003
Nur El-Islam, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2015
135