TATARAN AKSI PENGEMBANGAN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN KERING NUSA TENGGARA TIMUR Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, ABSTRAK Makalah ini bertujuan membahas tataran aksi pengembangan Sistem Usaha Agribisnis (SUA) di lahan kering. Makalah dikembangkan dari hasil pengkajian SUA yang dilakukan di desa Watumbaka Kecamatan Pandawai, Sumba Timur tahun 2005. Pengumpulan data dilakukan melalui survai terhadap 60 orang petani responden yang dipilih secara acak sederhana. Bahasan dilengkapi pula dari kajian data sekunder dari berbagai instansi. Melalui analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif serta dipertajam dengan analisis SWOT, hasil pengkajian menunjukkan kondisi sebagai berikut: (a) Pasar produk pertanian dari Wilayah Sumba Timur tidak terbatas di tingkat kabupaten Sumba Timur, saja tetapi juga terbuka sampai luar wilayah kabupaten sehingga hal itu dapat menjadi pendorong pengembangan agribisnis yang lebih besar, (b) Pengembangan agribisnis di lahan kering harus didukung intervensi inovasi teknologi yang memenuhi persyaratan yaitu memiliki keunggulan komparatif, komptabilitas dengan teknologi petani relatif baik, mudah dilakukan petani, bisa dicoba (triabilitas) dengan risiko minimal, dan bisa diamati oleh petani, (c) Untuk mempercepat adopsi inovasi diperlukan tidak hanya rekayasa kelembagaan sosial berupa dinamika kelompok tani akan tetapi juga diperlukan rekayasa kelembagaan ekonomi untuk memperlancar implementasi teknologi introduksi. (d) Salah satu alternatif kelembagaan ekonomi yang dapat dikembangkan di Sumba Timur adalah mendorong terbentuknya lembaga pelayanan jasa keuangan bagi petani dalam wujud penyediaan Skim Kredit Keuangan Mikro. Untuk menjamin keberhasilan di dalam penerapan Sistem Usaha Agribisnis di lapangan, upaya pemberian bimbingan dan pendampingan dari petugas masih tetap diperlukan. Kata Kunci: Lahan kering, Agribisnis, Tataran Aksi, Inovasi Teknologi, Rekayasa Social, Skim Kredit. PENDAHULUAN Di dalam mengartikan pertanian, biasanya cenderung selalu diidentikkan dengan proses budidaya atau agronomi saja, sehingga implementasi pembangunan pertanian sering diarahkan hanya pada upaya peningkatan produksi suatu komoditas. Pemahaman tersebut membawa akibat dipersepsikannya pembangunan pertanian yang seakan terlepas dari upaya pembangunan pertanian yang terpadu dengan sektor-sektor lainnya dan pembangunan wilayah/pedesaan. Kondisi demikian pada akhirnya dapat membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian itu sendiri, karena menjadikan pembangunan sektor pertanian berjalan sendiri tanpa dukungan dan koordinasi secara memadai dengan sektor lain. Secara empiris hal itu dapat diamati misalnya dari kebijakan pembangunan secara makro yang belum sepenuhnya berpihak pada sektor pertanian, sehingga kinerja pembangunan pertanian tidak berjalan dengan semestinya. Atas dasar pemikiran tersebut, paradigma baru pembangunan pertanian melalui pembangunan sistem agribisnis, eksistensinya sangat relevan. Dengan menerapkan paradigma tersebut, pembangunan pertanian akan berlangsung dengan memberikan tekanan pada tiga aspek, yaitu : (1) pendekatan pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan faktor produksi ke pendapatan, keuntungan, daya saing dan teknologi (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral akan tetapi juga terkait dengan lintas/inter-sektoral, yang juga ditentukan oleh agroindustri hulu dan lembaga jasa penunjang, dan (3) pembangunan pertanian tidak lagi parsial ke arah pengembangan komoditas, akan tetapi terkait dengan
pembangunan wilayah, khususnya pedesaan yang berkaitan erat dengan upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat pertanian (Departemen Pertanian, 2000). Permasalahannya adalah, (a) sejauhmanakah potensi sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya lahan (SDL) dapat mendukung pengembangan agribisnis di agroekosistem lahan kering? (b) faktor-faktor apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal dalam upaya mengimplementasikan agribisnis di agroekosistem lahan kering, dan (c) bagaimanakah langkah operasional yang strategis untuk mengimplementasikan konsep agribisnis di dalam tataran aksinya di lapangan. Untuk dapat menerapkan konsep agribisnis di lahan kering, diperlukan investigasi dan elaborasi terhadap permasalahan tersebut, sehingga konsep agribisnis di dalam tataran aksinya dapat berhasil. Sehubungan dengan permasalahan di atas, makalah bertujuan (a) mengidentifikasi potensi sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya lahan (SDL) yang dapat mendukung pengembangan agribisnis di agroekosistem lahan kering, (b) membahas faktor-faktor yang diduga menjadi kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal dalam upaya mengimplementasikan agribisnis di agroekosistem lahan kering, dan (c) menyusun langkah-langkah operasional yang strategis untuk dalam tataran aksi agribisnis di lapangan Hasil studi ini akan menjadi masukan berharga bagi aparat Pemerintah Daerah setempat dalam membuat kebijakan terkait dengan pengembangan agribisnis di lahan kering. KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODE STUDI Kerangka Pemikiran Secara umum agribisnis mencakup bidang-bidang usaha yang sangat luas yang pada prinsipnya dikelompokkan ke dalam lima komponen yaitu : (1) bidang usaha yang menyediakan dan menyalurkan sarana produksi, alat-alat dan mesin-mesin pertanian, (2) bidang usaha dalam produksi komoditas pertanian (komoditas primer yang belum mengalami proses pengolahan sama sekali), (3) bidang usaha industri pengolahan hasil pertanian (agro industri), (4) bidang usaha pemasaran hasil-hasil pertanian, dan (5) bidang usaha pelayanan seperti perbankan, angkutan, asuransi, atau penyimpanan. Sebagai bagian dari sistem agribisnis, dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam sub sistem produksi sangat penting mengingat keberhasilan dalam berproduksi akan sangat tergantung pada eksistensi kedua unsur itu. Pada Gambar 1. ditunjukkan bahwa titik tumpu sistem dan usaha agribisnis terletak pada pada komponen produksi komoditas pertanian.
Pemasaran
Pengolahan Jasa Lain (Perbankan, Penyimpanan, Asuransi, angkutan, dll)
Pelayanan Pemerintah : Penelitian, Penyuluhan, Pengaturan dan Kebijaksanaan Pertanian
Produksi komoditas Pertanian
Pengadaan dan Penyaluran Sarana Produksi, Alat dan Mesin Pertanian
Gambar 1. Keterkaitan Antar Sub-sistem dalam Agribisnis (Sudaryanto et al,1993) Jika ditelusuri lebih jauh, komponen produksi pertanian itu tidak lain didukung aktivitas sistem usahatani, yang keberhasilannya juga ditentukan kelembagaan penunjangnya seperti kelembagaan pelayanan jasa keuangan, penyedia sarana produksi pertanian (saprotan), dan jasa tenaga kerja. Kelembagaan yang juga besar perannya adalah kelembagaan pasar yang kondusif sehingga hasil usahatani dapat dipasarkan. Pada akhirnya tujuan dari semua aktivitas tersebut bertumpu pendapatan petani (Gambar 2).
Lingkungan Fisik Sistem Lingkungan
Usahatani
Pemasaran
Pendapatan Usahatani
Sosial Ekonomi
Lembaga
Lembaga
Jasa Keuangan
Penyedia Saprotan
Lembaga Jasa Tenaga Kerja
Lembaga Pemasaran
Gambar 2. Status Pengembangan SUT Di Lahan Kering dalam Agribisnis Kadar pendapatan petani akan sangat dipengaruhi selain faktor harga juga produktivitas usahatani. Dalam hal ini produktivitas usahatani terkait dengan masalah inovasi teknologi. Inovasi merupakan istilah yang telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang, baik industri,
pemasaran, jasa, termasuk pertanian. Secara sederhana, Adams (1988) menyatakan, an innovation is an idea or object perceived as new by an individual. Selanjutnya pakar-pakar lainnya seperti Van Den Ban dan Hawkins (1996), Simamora (2003), menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang relevan. Inovasi itu tidak selalu dihasilkan dari penelitian yang mutakhir. Pada tataran pemahaman yang lebih operasional, inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dapat berwujud teknologi, kelembagaan, dan kebijakan. Inovasi yang diintroduksikan harus dapat diadopsi agar petani memperoleh hasil lebihbaik. Adopsi inovasi itu sendiri merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers and Shoemaker, 1971 dan Soekartawi,1988) Adopsi akan berlangsung melalui beberapa tahapan, sebagaimana juga telah dijelaskan Mundy (2000) yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi), dan terakhir konfirmasi (confirmation). Agar inovasi tersebut dapat diadopsi petani, menurut Rogers dan Schoemaker (1971), dipersyaratkan untuk memenuhi 5 kriteria seperti yaitu (a) Inovasi teknologi harus memiliki keunggulan komparatif; (b) Memiliki komptabilitas dengan teknologi petani relatif baik, artinya harus sesuai dengan budaya/kebiasaan setempat; (c) Teknologi yang diintroduksikan harus mudah dilakukan petani; (d) Bisa dicoba (triabilitas) dengan risiko minimal, dan (5) Bisa diamati oleh petani, artinya perubahan yang yang terjadi akibat menerapkan teknologi itu dengan jelas dapat dibedakan dari teknologi sebelumnya. Di dalam prakteknya yang diperlukan petani bukan hanya inovasi teknologi saja, rekayasa kelembagaan juga sangat menentukan dan diperlukan eksistensinya. Oleh karena itu di dalam melakukan introduksi diperlakukan keseimbangan antara introduksi inovaswi teknologi dan kelembagaan. Data dan Sumber Data Makalah dikembangkan dari hasil studi Sistem dan Usaha Agribisnis (SUA) tahun 2005 yang dilakukan di Kabupaten Sumba Timur, dengan fokus di desa Watumbaka Kecamatan Pandawai. Pengumpulan data primer dilakukan selain menggunakan pendekatan survey terhadap 60 orang masyarakat tani yang terpilih sebagai responden, juga dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) yang melibatkan beberapa orang tokoh masyarakat. Jenis data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani, penguasaan aset, penggunaan teknologi usahatani, dll. Untuk memperkaya bahasan, dikemukakan juga data dan informasi sekunder dari beberapa instansi terkait yang diperoleh melalui penelusuran dokumentasi dan laporan kegiatan, antara lain kebijakan pembangunan pertanian, perkembangan produksi pertanian, informasi pasar, dan informasi lainnya yang relevan. Analisis Data Terhadap informasi kualitatif dilakukan analisis dekriptif kualitatif sedangkan terhadap data kuantitatif dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan statistik sederhana dengan parameter-parameter nilai rataan, maksimum, minimum, persentase. Untuk mempertajam analisis digunakan pendekatan SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity dan Threats) mengikuti caracara yang dilakukan (Fardiaz, 1999 dan Rangkuti, 1998). Analisis SWOT diawali dengan identifikasi faktor internal meliputi aspek kekuatan (stength) dan kelemahan (weaknesses) dan faktor eksternal berupa peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Masingmasing aspek dikuantifikasi (dinilai) dengan perhitungan bobot, peringkat (rating), dan skor, kemudian dieksplanasikan atau diberi komentar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Lahan dan Sumberdaya Manusia Letak Watumbaka yang menjadi lokasi studi di Kabupaten Sumba Timur berada di Pulau Sumba. Aksesibilitas desa ini di Kecamatan Pandawai Sumba Timur relatif baik, karena letak wilayahnya berada di pinggir jalan raya beraspal yang terhubung oleh jalan raya sepanjang + 17 km yang dapat ditempuh sekitar 20 menit dari ibu kota kabupaten Sumba Timur. Tingginya aksesibilitas wilayah tersebut juga didukung kondisi sarana dan prasarana transportasi yang relatif memadai dan kondusif sehingga semua jenis kendaraan roda dua maupun roda empat dapat masuk ke wilayah ini tanpa hambatan. Partisipasi kepemilikan lahan oleh responden di daerah studi di Sumba Timur terhadap kebun, tegalan/ladang, pekarangan rumah dan lainnya (tanah “mondu”) masing-masing adalah sebesar 50,47%, 34,33%, 10,45%, dan 4,48% dengan pemilikan berkisar antara 0.001 - 2,5 hektar. Menurut Utomo, dkk., (1993) lahan kering itu cukup potensial dalam memberikan kontribusi pembangunan pertanian terutama sebagai wilayah pertumbuhan baru dalam program ketahanan pangan. Hal yang menarik dari penguasaan lahan ini adalah adanya tanah “mondu” yakni lahan yang berada di bantaran sungai. Disamping produktivitasnya relatif tinggi, intensitas tanamnya juga cukup tinggi terutama untuk sayuran. Jika di lihat dari penyebarannya, penguasaan lahan di lokasi studi menunjukkan keragaan yang relatif merata dengan Indeks Gini sebesar 0,276. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa 40 % responden terendah menguasai sekitar 21,12 % luas lahan. Angka presentase tersebut relatif lebih tinggi dari ketetapan Bank Dunia yakni sebesar 17%, sehingga dapat dikategorikan relatif rendah (Emil Salim,1984) Tabel 1. Distribusi Luas Lahan Responden di Lokasi Studi Persentase Luas Lahan (%) No. Tingkat Luas Lahan Persentase Kumulatif 1. 20% terendah 7,73 7,73 2. 20% rendah 13,39 21,12 3. 20% sedang 19,91 41,02 4. 20% tinggi 20,05 61,07 5. 20% tertinggi 38,92 100 Sumber : Data Primer, 2005 (diolah) Di level kabupaten, total areal lahan kering yang potensial untuk dikembangkan mencapai lebih dari 500 ribu hektar, meliputi lahan tegalan/kebun, ladang/huma, lahan penggembalaan, lahan yang sementara tidak diusahakan dan hutan rakyat (Tabel 2).
Tabel 2. Luas Lahan Kering Menurut Penggunaan (Ha) Di Sumba Timur Dan Proporsinya Terhadap NTT Uraian a. Pekarangan (bangunan dan halaman) b. Lahan tegal/kebun
Sumba Timur
NTT
Persentase (%)
30730 40019
189543 460098
16,2 8,7
c. Ladang/huma d. Ladang penggembalaan/padang rumput e. Rawa yang tidak ditanami padi f. Tambak g. Empang/kolam lebat h. Lahan sementara tidak diusahakan I. Hutan rakyat j. Perkebunan negara/swasta k. Hutan negara l. Tanah kering lainnya
12588
321523
3,9
200649 345 218 233 139411 32844 40581 86265 86565
793533 4028 2929 1935 763852 369191 354514 585038 733064
25,3 8,6 7,4 12,0 18,3 8,9 11,5 14,7 11,8
Sumber : NTT dalam Angka 2003, diolah Dalam hal sumberdaya manusia yang eksistensinya direpresentasikan oleh responden, menunjukkan bahwa setiap anggota rumah tangga, memiliki anggota antara 1 - 5 orang meliputi istri dan anak-anak. Kisaran umurnya berada pada usia produktif yakni antara 15 – 55 th (Tabel 3). Tabel 3. Struktur Anggota Rumah Tangga Responden Menurut Kelompok Umur dan Kegiatan (dalampersentase) Uraian
Laki-laki Jiwa (%)
1. < 15 th - Bekerja 0,02 0,37 - Tidak bekerja 1,22 22,51 2. 15-55 th - Bekerja 1,55 28,59 - Tidak bekerja 0,24 4,43 3. > 55 th - Bekerja 0,07 1,29 - Tidak bekerja 0 0 Sumber : Data Primer, 2005 (diolah)
Perempuan Jiwa (%)
Jiwa
Jumlah (%)
0,04 0,84
0,74 15,49
0,06 2,06
1,11 38
1,18 0,2
21,77 3,69
2,73 0,44
50,36 8,12
0,04 0,02
0,74 0,37
0,11 0,02
2,03 0,02
Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis (SUA) di lahan kering di Sumba Timur dipengaruhi tidak saja oleh unsur kekuatan dan kelemahan internal, akan tetapi juga dipengaruhi unsur peluang dan ancaman eksternal. Hasil wawancara dengan petani dan pengamatan di lapangan teridentifikasi paling tidak terdapat 9 unsur internal. Dari unsur-unsur internal tersebut, 6 unsur di antaranya merupakan kekuatan dan sisanya menjadi kelemahan (Tabel 4). Tabel 4. Analisis Lingkungan Internal (ALI) Pengembangan SUA di Lahan Kering No 1. 2. 3. 4. 4. 5. 6. 7.
Faktor Internal Motivasi petani untuk berusahatani Pemilikan Lahan Kondisi lahan Keragaan Umur Responden Ketersediaan tenaga kerja keluarga Sifat gotong royong Jalinan kerjasama antar sesama Akses petani ke pasar
Keterangan
S
Relatif baik Relatif sempit Kurang subur Produktif Relatif cukup Kondusif Kondusif Relatif baik
v
W v v
v v v v v
8. 9.
Kemampuan menyerap teknologi Akses petani terhadap sumber modal
Rendah Rendah
v v
Dari sisi faktor eksternal yang diduga berpengaruh teridentifikasi sekitar 11 unsur, dimana 7 unsur diantaranya termasuk peluang dan sisanya menjadi ancaman (Tabel 5) Tabel 5. Analisis Lingkungan Eksternal (ALE) Pengembangan SUA di Lahan Kering No
Faktor Eksternal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kebijakan Pemda Komitment aparat Pemda Aksesibilitas wilayah Ketersediaan pasar input Permintaan pasar Keamanan lingkungan Cekaman lingkungan Outbreak hama Ketersediaan teknologi Karakteristik lahan kering Agroklimat
Keterangan
O
Mendukung Kondusif Relatif baik Baik Relatif baik Relatif baik Kurang kondusif Relatif tinggi Relatif tersedia Kurang kondusif Kurang kondusif
v v v v v v
T
v v v v v
Dari analisis lingkungan internal dan eksternal tersebut, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa peluang pengembangan SUA di lahan kering Sumba Timur memiliki perspektif pengembangan yang relatif baik, karena didukung banyak unsur kekuatan internal dan peluang eksternal. Langkah Operasional Pengembangan Agribisnis Adanya unsur-unsur yang menjadi kekuatan dan kelemahan petani di satu sisi dan adanya peluang serta ancaman di pihak lain, menuntut langkah operasional yang strategis dan mampu mengakomodasi kondisi tersebut. Langkah-langkah operasional yang diperlukan adalah: (a) introduksi inovasi teknologi, (b) rekayasa kelembagaan, (c) percepatan diseminasi inovasi, dan (d) pendampingan. ntroduksi Inovasi Teknologi Inovasi yang masih lemah dan diperlukan di lokasi lahan kering adalah: Pertama, terkait dengan diversifikasi usaha (multi enterprises). Kegiatan usahatani di lahan kering perlu diikuti kegiatan lain yang ekonomis sehingga jika petani gagal dalam usahatani, masih tetap survive karena masih ada sumber pendapatan dari usaha lainnya. Kedua, integrasi ternak dan tanaman. Pola ini terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani. Melalui pola integrasi, petani dapat menghemat biaya input karena hasil samping dari komoditas yang satu akan menjadi substitusi input bagi usaha komoditas lainnya. Rekayasa Kelembagaan Rekayasa kelembagaan yang diperlukan dalam mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di lahan kering dapat berupa dinamika kelompok tani dan kelembagaan pelayanan jasa keuangan desa. Keberadaan kedua kelembagaan tersebut akan mempercepat adopsi inovasi teknologi. Kelompok tani yang dinamis akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat tani dan pelayanan jasa keuangan desa menjadi solusi permodalan petani. Salah satu alternatif kelembagaan pelayanan jasa keuangan bagi petani dapat dikembangkan dalam wujud penyediaan Skim Kredit Keuangan Mikro. Usulan ini klasik, tetapi tetap perlu karena secara empiris kemampuan modal petani relatif lemah. Skim Kredit Keuangan Mikro bisa mengacu pada pola Grameen Bank sebagaimana telah diterapkan di Nanggung Bogor dan di Sumatera Selatan yang terbukti telah berhasil. Alternatif lainnya bisa juga ditempuh
melalui peningkatan peran kelembagaan kelompok usaha bersama (KUB) bermitra dengan lembaga keuangan formal di desa misalnya BRI-UD. Selain dua bentuk rekayasa kelembagaan tersebut, diperlukan juga upaya untuk mendorong tumbuhnya jaringan kerjasama/kemitraan usaha baik secara horizontal maupun vertikal. Percepatan diseminasi teknologi. Percepatan diseminasi akan sangat membantu di dalam mempercepat tingkat adopsi. Kegiatan ini bisa dilakukan melalui gelar teknologi, demplot, penyebaran informasi melalui media tercetak, terproyeksi dan media elektronik lainnya. Sebagai mediasi semua kegiatan diseminasi tersebut dapat dilakukan melalui eksistensi laboratorium agribisnis atau klinik teknologi. Semua materi inovasi dapat disediakan di laboratorium tersebut, sehingga memudahkan bagi petani yang memerlukan untuk memperolehnya. Pendampingan Untuk menjamin keberhasilan di dalam penerapan Sistem dan Usaha Agribisnis di lapangan, upaya pemberian bimbingan dan pendampingan dari petugas tetap diperlukan, sehingga penyampaian teknologi kepada petani tidak mengalami hambatan. KESIMPULAN DAN SARAN •
Pengembangan sistem dan usaha agribisnis di lahan kering harus didukung intervensi inovasi teknologi yang memenuhi persyaratan yaitu memiliki keunggulan komparatif, komptabilitas dengan teknologi petani relatif baik, mudah dilakukan petani, bisa dicoba (triabilitas) dengan risiko minimal, dan bisa diamati oleh petani,
•
Untuk mempercepat adopsi inovasi diperlukan tidak hanya rekayasa kelembagaan sosial berupa dinamika kelompok tani akan tetapi juga diperlukan rekayasa kelembagaan ekonomi untuk memperlancar implementasi teknologi introduksi.
•
Salah satu alternatif kelembagaan ekonomi yang dapat dikembangkan di Sumba Timur adalah mendorong terbentuknya lembaga pelayanan jasa keuangan bagi petani dalam wujud penyediaan Skim Kredit Keuangan Mikro.
•
Untuk menjamin keberhasilan di dalam penerapan Sistem Usaha Agribisnis di lapangan, upaya pemberian bimbingan dan pendampingan dari petugas masih tetap diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Adams, M.E. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries. First Edition. Longman Singapore Publisher Pte Ltd. Singapore BPS. 2003. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2003. Kerjasama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. BPS. 2003. Sumba Timur Dalam Angka 2003. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. BPS Sumba Timur NTT. BPS. 2003. Kecamatan Pandawai dalam Angka 2003. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur. Departemen Pertanian. 2000. Memposisikan Pertanian Sebagai Poros Penggerak Perekonomian Nasional. Penajaman Kebijakan dan Program Pembangunan.2000-2004. Emil Salim. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Inti I…Press. Jakarta. Fardiaz, D., Joerg Hartmann. 1999. Lokakarya partisipatif: Modul Analisis SWOT. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Mundy, Paul. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor Rangkuti, F., 1998. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Knsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Roger, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York Simamora, Bilson. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta Sudaryanto, T. dan E. Pasandaran. 1993. Agribisnis Dalam Perspektif : Konsepsi, Cakupan Analisis dan Rangkuman Hasil Pembahasan dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Utomo, M. 2000. Teknologi Olah Konservasi Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan Berwawasan Agribisnis. Seminar Nasional Olah Tanah Konservasi VII. 23-24 Agustus 2000. Samarinda. Van den ban, A.W. and Hawkins, H.S. 1996. Agricultural Extension. Second Edition. John Wiley & Son, Inc. New York