Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
POTENSI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR (Suitability of Land Potential for Ruminant Development in East Nusa Tenggara) SUMANTO dan E. JUARINI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Land carrying capacity index, its suitability and botanical composition of its vegetation are the most important factors in supporting the ruminant development at a given area. A study on suitability of land potential for livestock development was conducted in 2002, in East Nusa Tenggara (ENT) using an holistic approach including survey on technical and socio-economical supporting the livestock especially the ruminant development in ENT. The technical data on land used, land classification and agroclimatic data were collected and analysed to produce the livestock mapping in ENT. Socio-economic data were collected by interviewing related key persons and farmers selected from district or subdistrict main source of livestock production in ENT. Results showed that with 1,700,069 hectares of grazing area, 55% of 4.7 milllion hectares total land in ENT is quite prosphorous and 47.8% of those total area is low land. Analisys on the ecologyc land suitability for cattle, goat and sheep showed that of 2,707,657 hectares land suitable for cattle, goat and sheep, 108,903 hectares is highly suitable (S1), 825,903 hectares is moderately suitable (S2) and 1,173,100 hectares is marginally suitable (S3). The highly suitable (S1) land is not distributed evently in all district in ENT, that is why some districts do not have S1. There are two patterns of land used in ENT to be recommended for ruminant development. Firstly, spatial diversification of land, this is for the ruminant development in the rice field, dry land farming and plantation. Secondly spatial extencification, this is for cattle development in the forest and savanna/steppe areas. Base on the potency of the land carrying capacity for ruminant development, another 2,395,384 AU of livestock can be raised in East Nusa Tenggara in addition to the recent population (471,971 AU). Key words: Suitable land, livestock development, carrying capacity ABSTRAK Kesesuaian lahan bagi ternak merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan meningkatkan produktifitas ternak, terutama pada ternak ruminansia. Ini berarti bahwa tidak semua kondisi lahan dipermukaan bumi ini akan sesuai bagi kehidupan ternak ruminansia, termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur dimana saat ini masih merupakan salah satu sumber sapi potong dengan populasi yang tinggi. Melalui pendekatan perpaduan kondisi agroklimat dan penggunaan lahannya serta produktivitas tanaman pangan dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan dan arah pengembangan lahan bagi ternak ruminansia dapat ditentukan. Pelaksanaan kegiatan ini disamping terfokus pengumpulan dan pengolahan data peta dasar (kelerengan, jenis tanah, tinggi tempat dan panjang kemarau) juga melaksanakan survei untuk verifikasi data peta dan memperoleh informasi sentra-sentra usaha peternakan melalui wawancara dan pengamatan langsung lapangan. Informasi daya dukung pakan hijauan disajikan dengan nilai Indeks Daya Dukung (IDD) adalah memperlihatkan status masing-masing daerah (kecamatan) terhadap kemampuan penambahan populasi ternak ruminansia saat ini. Luas wilayah Nusa Tenggara Timur sekitar 4,7 juta ha dengan kondisi fisik lahan 47,8% berupa dataran rendah dan 55% jenis tanah subur. Lahan padang rumput/penggembalaan masih luas (1.700.069 ha). Hasil analisis luas kesesuaian fisik lahan untuk kelompok sapi potong (termasuk kambing/domba) hanya seluas 2.707.657 ha (S1 = 108.903 ha, S2 = 825.903 ha dan S3 = 1.173.100 ha). Rekomendasi sebagai arahan kesesuaian ekologis lahan meliputi dua pola. Pertama, pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan kehutanan dan alang-alang. Hasil rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak di NTT adalah: a). Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di
123
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
lahan tegalan, sawah dan perkebunan, sedangkan arahan, b). Pola ekstensifikasi ternak yang sama banyak terdapat di lahan hutan dan alang-alang. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sekurang-kurangnya sebanyak 2.395.384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471.971 ST. Kata kunci: Kesesuaian lahan, pengembangan ternak ruminansia, daya tampung
PENDAHULUAN Pada masa lalu penggunaan lahan merupakan hasil keputusan masing-masing individu atau kelompok kecil yang terpisah. Dalam perkembangan kemajuan iptek dan pembangunan terutama dalam kaitannya dengan tekanan penduduk, perencanaan penggunaan lahan merupakan suatu keharusan, tanpa kecuali untuk semua kegiatan. Prioritas pembangunan peternakan di wilayah Indonesia di masa yang akan datang cenderung berada di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur, termasuk Nusa Tenggara Timur. Pertimbangan utama adalah masih tersedianya lahan yang luas dan kepadatan penduduk yang masih sedikit. Untuk menunjang perbaikan dalam penyebaran dan pengembangan ternak, salah satu unsur yang penting adalah penyiapan informasi, yang berkenaan dengan kondisi lahannya. Dalam derap pembangunan di semua sektor yang semakin laju, termasuk sub sektor peternakan dituntut langkah-langkah kegiatan yang strategis yang ditunjang dengan pengelolaan dan sistem yang kondusif. Analisis Potensi Wilayah Peternakan yang berupa visualisasi evaluasi potensi untuk pengembangan ternak merupakan salah satu langkah untuk penyediaan informasi dasar yang penting bagi perencanaan yang konsepsional dan berwawasan masa depan. Disamping itu data tentang kesesuaian ekologis dan rekomendasi lahan bagi ternak (terutama ternak ruminansia) belum tersedia, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Dalam kasus-kasus tertentu perkembangan dalam pengembangan peternakan masih menghadapi ketidakpastian usaha baik secara teknis, ekonomis maupun hukum dan dalam penetapan lokasi pengembangan ternak ruminansia masih menggunakan metode “feling” saja. Oleh karena itu, analisis potensi wilayah ini salah satu tujuannya adalah menyiapkan informasi berupa potensi ternak dan dan potensi sumberdaya alamnya,
124
diantaranya berupa kesesuaian lahan yang secara ekologis menunjang pengembangan peternakan (terutama ternak ruminansia) dalam rangka untuk meningkatkan pemanfaatan lahan di daerah. MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilakukan melalui persiapan yang dimulai bulan Juli 2003, kegiatan meliputi pengumpulan data sekunder peta-peta dasar (kesuburan lahan, kemiringan, ketinggian, panjang kemarau, administrasi tingkat kecamatan) untuk penyusunan peta kesesuaian lahan dan arahan pengembangan lahan untuk ternak dan statistik pertanian (penduduk, luas lahan, produksi pertanian, luas padang pengembalaan, populasi ternak ruminansia) untuk menghitung daya dukung pakan alami, kemudian kegiatan survai data primer pada bulan Oktober 2003 untuk melihat lokasi-lokasi perkembangan peternakan serta verifikasi peta-peta yang didapat dan dilanjutkan analisis data/peta sampai akhir Desember 2003. Kebutuhan pakan secara minimum hewan (terrnak) pemakan hijauan pakan untuk satu satuan ternak (satu ST) dihitung menurut THAHAR et al. (1991) dan THAHAR dan MAHYUDIN (1993). Untuk melihat kondisi lahan yang ada, lokasi-lokasi survei sebagai sampel pengamatan ditentukan dengan kriteria berikut: 1). Mempunyai basis unggulan komoditas ternak propinsi dan kebupaten/kodya; 2). Komoditas terkait mempunyai pola pengolahan spesifik yang mempunyai prospek dapat dikembangkan; 3) Lokasi spesifik (agroekosistem dominan); dan 4) Pertimbangan Dinas setempat. Penyusunan peta kesesuaian ekologis lahan untuk ternak (analisis dari peta dasar ketinggian, kemiringan, kesuburan lahan dan panjang kemarau- sumber BPN NTT (1994), mengikuti metoda evaluasi yang dikembangkan oleh ASHARI et al. (1996). Peta arahan pengembangan menurut kesesuaian
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ekologisnya didasarkan pada perpaduan antara peta kesesuaian ekologis dan peta penggunaan lahan saat in. Arahan pengembangan lahan untuk ternak terbagi dua, yaitu: 1. Wilayah diversifikasi Ds − Diversifikasi lahan (kawasan) sawah Dp − Diversifikasi kawasan perkebunan Dt − Diversifikasi kawasan tegalan/lahan kering 2. Wilayah ektensifikasi Wilayah yang secara ekologis sesuai untuk ternak, tetapi belum diperuntukkan bagi kegiatan komoditas tertentu, yaitu dilambangkan: Ehp − E. hutan produksi Ea − E. alang-alang, semak-belukar, dll. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik wilayah Luas wilayah Luas wilayah NTT terdiri dari daratan 47.349,90 km2 dan perairan 200.000 km2. Dari seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Kupang merupakan wilayah terluas yaitu 7178.26 km2, kemudian Kabupaten Manggarai dengan luas 7136 km2 dan disusul dengan Kabupaten Sumba Timur 7000.50 km2, sedangkan Kabupaten Sikka merupakan kabupaten terkecil dengan luas 1731.92 km2, sedangkan Kodya Kupang hanya 160,34 km2 (BPS, 2001). Tinggi tempat Propinsi Nusa Tenggara Timur sebagian besar wilayahnya terdiri dari pegunungan dan berbukit-bukit, dengan ketinggian antara 100– 1000 m di atas permukaan laut berkisar 73,13%, sisanya hanya sebagian kecil saja yang di bawah 100 m dan di atas 1000 m dari permukaan laut. Kelerengan lahan Kemiringan dan kelerengan tanahnya sebagian besar berada di antara 15–40%
(38,07% dari luas wilayah) dan >40% (35,46%). Keadaan permukaan tanahnya gundul dan kritis, sehingga terjadi erosi yang terus-menerus, hal ini mengakibatkan banyak aliran sungai yang membentuk ekosistem DAS yang berorientasi hanya pada satu daratan yang berbeda-beda untuk tiap pulau. Jenis tanah Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa kawasan yang merupakan rawan bencana, khususnya di bagian utara. Bencana alam tersebut berupa gempa bumi, letusan gunung api, gerakan tanah, erosi tanah dan kekeringan, namun demikian wilayah ini banyak terdapat berbagai macam deposit baik mineral maupun sumber-sumber energi lain. Luas wilayah yang subur sebanyak 55,6 %. Pola curah hujan Propinsi Nusa Tenggara Timur termasuk wilayah beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin Muson, dengan musim hujan pendek dan tidak merata. Curah hujan tertinggi terdapat di Kabupaten Ngada (4127 mm ) dengan rata-rata hari hujan 118 hari per tahun, mempunyai suhu udara minimum rata-rata 24–32 C. Penggunaan lahan Total luas lahan di NTT sebagian besar merupakan lahan kering (4.584.123 ha) dan hanya 150.867 ha yang merupakan lahan basah atau berupa sawah yang tersebar di 13 kabupaten dan 1 Kotamadya. Secara keseluruhan total lahan yang digunakan untuk pertanian sebanyak 1.266.422 ha (26,75%) dari seluruh daratan Nusa Tenggara Timur. Jenis penggunaan lahan yang dominan adalah untuk tegalan (gabungan dari tanah ladang/huma dan kebun) mencapai 16,16% dari seluruh luas daratan NTT, sedangkan untuk perkebunan rakyat 6,95% sawah tadah hujan 1,54%, sawah irigasi (2 kali tanam) 0,91%, sawah sementara tidak diusahakan 0,74% dan kolam/tebat/ tambak/rawa 0,36% dipergunakan untuk kegiatan pertanian (BPS, 2000). Penggunaan lahan basah tahun 2001 telah menyusut menjadi 145.811 ha. Penyusutan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya alih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan hunian atau
125
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
lahan perkebunan atau yang lainnya yang dianggap lebih menguntungkan yang kadangkadang tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Fenomena tersebut tampaknya sudah menjadi kecenderungan umum hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Sedangkan lahan kering yang tidak diusahakan untuk pertanian adalah padang rumput, lahan untuk tempat tinggal, jalan, lapangan olah raga, dan peruntukan yang lain. Penduduk Jumlah, kepadatan penduduk dan pendidikan. Berbeda dengan di Pulau Jawa jumlah penduduknya sudah mencapai rataan lebih dari 1.000 jiwa per km2 (1021 jiwa). Jumlah penduduk di propinsi ini masih dikategorikan jarang penduduk, karena ratarata masih dibawah 100 jiwa per km2 pada tahun 2002, namun di kota Kupang sudah mencapai lebih dari 1000 jiwa per km2 pada tahun 2000. Data menunjukkan bahwa di hampir semua kabupaten jumlah dan kepadatan penduduk menurun kecuali Kabupaten Sumba Barat dan Belu. Hal ini terjadi karena adanya migrasi penduduk ke daerah lain atau ke wilayah pemekaran, karena ternyata jumlah penduduk secara keseluruhan di Propinsi Nusa Tenggara Timur meningkat dari tahun ke tahun yakni bertambah 80.258 jiwa dari tahun 2000 ke tahun 2001 dan 102.302 jiwa dari tahun 2001 ke tahun 2002. Jumlah penduduk yang berpendidikan hanya sekolah dasar adalah 30,73% dan tidak tamat atau belum tamat Sekolah Dasar bahkan jumlah persentasenya lebih besar yaitu 47,17% serta hanya sebagian kecil yang tamat perguruan tinggi (1,87%). Produksi hasil pertanian Tanaman pangan. Jenis tanaman yang banyak terdapat di wilayah NTT adalah padi, jagung, ubikayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedele. Kondisi produksi tanaman pangan dari masing-masing kabupaten dapat memberikan dukungan potensi pakan hijauan ternak, terutama dalam hal produk limbahnya. Kabupaten Manggarai merupakan penghasil padi sawah paling tinggi (144.076 ton) disusul oleh Kabupaten Kupang (55.456 ton) sementara Sumba Barat merupakan penghasil padi lading paling tinggi (21.985 ton) disusul
126
oleh Kabupaten Manggarai (16.552 ton). Sementara Kabupaten TTS merupakan penghasil jagung paling besar (135.596 ton) disusul Kabupaten Belu (81.659 ton). Untuk ubi kayu seperti halnya jagung Kabupaten TTS merupakan penghasil paling tinggi (148.373 ton) disusul Kabupaten Manggarai (122.704 ton) dan Kabupaten Sumba Barat (110.487 ton). Perkebunan. Tanaman perkebunan seperti kelapa dan kopi merupakan tanaman andalan di Propinsi Nusa Tenggara Timur, namun beberapa tanaman perkebunan lain seperti coklat dan jambu mede tumbuh cukup baik dan tersebar secara hampir merata di seluruh Kabupaten terutama di pulau Flores. Masih luasnya lahan untuk perkebunan, maka akan menjadi potensi yang baik untuk sumber pakan hijauan alami. Peternakan. Meskipun populasi mengalami penurunan selama dua tahun terakhir, sumbangan subsektor peternakan untuk PDRB sektor pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Timur masih termasuk tinggi setelah tanaman pangan, walaupun secara umum aktifitasnya hanya merupakan usaha sambilan. Dikatakan usaha sambilan karena sebagian besar petani di NTT umumnya tidak secara khusus memelihara ternak. Cara pemeliharaan ternak masih tradisional yaitu dengan cara melepas ternak di padang penggembalaan dan mengandangkannya pada malam hari, hanya sebagian kecil saja yang menempatkan ternaknya terus menerus di kandang. sapi potong masih tetap merupakan komoditas ternak unggulan di NTT meskipun populasinya cenderung menurun karena adanya pengurasan ternak melalui pengeluaran ternak yang terus menerus dari NTT. Populasi sapi potong tertinggi terkonsentrasi terutama di Kabupaten Kupang (3.475 ekor), diikuti oleh Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU dan Belu, sementara di Kabupaten Lembata, Alor dan Flores Timur yang merupakan Kabupaten-kabupaten pemekaran hanya sekitar 1100 sampai 1400 ekor saja. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan pemerintahan Daerah yang baru sehingga baru mulai dirintis atau karena alasan ekosistemnya yang kurang menunjang karena topografi yang kurang sesuai dan terlebih terutama dalam pengadaan air yang masih merupakan kendala utama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Berbeda dengan sapi potong yang lebih toleran terhadap daerah yang lebih kering, untuk ternak kerbau paling tinggi populasinya terdapat di Kabupaten Manggarai (32.097 ekor) yang memiliki hamparan sawah paling luas, diikuti Kabupaten Sumba Timur (31.053 ekor) dan Sumba Barat (30.273 ekor). Sesuai dengan kondisi social penduduk di NTT yang mayoritas non muslim maka ternak babi merupakan sumber daging yang utama yang berasal dari ternak kecil yaitu mencapai 953.457 ekor disusul ternak kambing (398.560 ekor). Sedangkan domba hanya ditemui di Kabupaten Kupang dalam jumlah yang cukup besar (45.662 ekor). Sedangkan untuk ayam ras baik petelur maupun pedaging hanya ditemui di Kotamadya Kupang. Daya dukung pakan hijauan Daya dukung pakan alami merupakan kemampuan penyediaan pakan ternak (hijauan) dari suatu wilayah administratif. Hijauan pakan dihitung berdasarkan hijauan rumput alami maupun limbah pertanian. Suatu wilayah dikatakan mampu apabila pakan ternak yang disediakan oleh wilayah tersebut lebih besar
dari kebutuhan ternak yang hidup di wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan penggunaan lahan, produksi tanaman pangan, populasi ternak ruminansia yang tersedia di Propinsi Nusa Tenggara Timur maka indeks daya dukung pakan dan kemampuan wilayah untuk menampung ternak ruminansia dapat ditentukan. Potensi daya dukung hijauan alami dan kapasitas penambahan ternak ruminant di masing-masing kabupaten di NTT dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel di atas memperlihatkan bahwa secara keseluruhan untuk wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (tidak termasuk kodya dan kotip) masih mempunyai potensi untuk penambahan ternak ruminansia sebanyak 2.395.384 ST dan secara perhitungan ketersediaan pakan masih melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Kabupaten dengan nilai IDD dan kemampuan wilayah rendah (IDD<2) menunjukan bahwa persediaan pakan sangat terbatas. Pada daerah ini pengembangan ternak ruminansia tidak direkomendasikan. Populasi yang ada hanya terbatas pada usaha sampingan. Pengembangannya sangat tergantung pada berbagai pertimbangan peternak sendiri diantaranya kondisi sarana/ prasarana angkutan atau jalan dan tujuan dari pemeliharaan ternak tersebut.
Tabel 1. Nilai IDD, kemampuan wilayah dan kapasitas penambahan ternak ruminansia di Propinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten/ Kotamadya
IDD
Total persediaan Total kebutuhan Kemampuan pakan pakan wilayah (ST) (Bkc ton/ha) (Bkc ton/ha)
Populasi ruminansia (ST)
Kapasitas penambahan (ST)
Sumba Barat
15,1
862.493
57.258
378.272
50.226
328.046
Sumba Timur
14,1
1.212.157
86.166
531.648
75.584
456.064
Kupang
8,0
823.418
103.254
361.148
90.574
270.574
TTS
10,7
618.947
57.882
271.468
50.774
220.694
TTU
8,7
495.867
57.054
217.486
50.047
167.438
Belu
5,7
332.185
58.689
145.695
51.481
94.214
Alor
116,6
347.861
2.983
152.571
2.616
149.954
Flores Timur
32,3
127.376
3.942
55.867
3.458
52.409
Sikka
20,1
288.283
14.340
126.440
12.579
113.861
Ende
24,8
205.150
8.281
89.978
7.264
82.714
Ngada
8,2
360.368
44.016
158.056
38.611
119.445
Manggarai
19,5
863.477
44.183
378.718
38.757
339.960
Total
12,2
6.537.582
538.048
2.867.355
471.971
2.395.384
127
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Timur mencapai 4.742.515 ha, yang terdiri dari S1=105.471 ha, S2=2.770.815 ha dan S3=1.866.229 ha. Ini berarti bahwa potensi kesesuaian lahan untuk ternak rumunansia dengan kondisi sangat baik hanya seluas 105.471 ha. Luas wilayah pengembangan ternak sapi potong. Distribusi luas wilayah pengembangan kelompok ternak sapi potong di masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa luas rekomendasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat pada lahan dengan arah Ekstensifikasi hutan: 1.134.863 ha, alang-alang: 1.221.468 ha, kemudian pada lahan tegalan sebanyak 268.478 ha, pada lahan sawah: 38.697 ha dan pada lahan perkebunan: 25.430 ha dengan pola diversifikasi/keterpaduan.
Luas kesesuaian ekologis lahan dan arah pengembangan untuk ternak ruminansia Luas kesesuaian ekologis lahan. Distribusi sebaran luas kesesuaian ekologis lahan untuk ternak tersebut di masing-masing kabupaten di Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada Tabel 2. Dalam tulisan ini ditampilkan luas wilayah kesesuaian ekologis untuk kelompok ternak sapi potong multiguna (termasuk kambing kacang, domba dan babi). Dengan menggabungkan peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan, maka arah pengembangan lahan untuk ternak ruminansia dapat ditentukan, khususnya untuk sapi kelompok sapi potong. Dari Tabel 2 memberi petunjuk bahwa luas kesesuaian ekologis lahan untuk kelompok sapi potong di seluruh wilayah Nusa Tenggara
Tabel 2. Luas (ha) kesesuaian lahan untuk kelompok sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten Kupang
Luas kesesuaian lahan (ha) S1
S2
S3
Ns
38.457
2.184.000
289.779
194.387
Alor
0
11.949
57.823
196.692
Belu
21.561
36.592
129.904
56.501
Ende
0
23.801
5.466
177.394
Flores Timor
0
52.634
65.099
49.256
Manggarai
0
28.559
285.830
399.251
Sikka
0
31.078
142.113
0
Ngada
4.658
68.827
95.127
135.176
0
0
49.286
67.353
TTS
6.248
32.274
128.584
227.594
TTU
0
32.033
146.775
88.162
31.287
111.145
213.576
49.139
Lembata
Sumba Barat Sumba Timur Total S1 = sangat sesuai S2 = sesuai S3 = sesuai marginal Ns = tidak sesuai
128
3.260
157.923
256.867
282.000
105.471
2.770.815
1.866.229
1.922.905
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 3. Luas (ha) wilayah rekomendasi untuk ternak sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Timur Luas wilayah (ha) untuk rekomendasi ternak kelompok sapi potong
Kabupaten Kupang Alor Belu Ende Flores Timor
Ds
Dt
Dp
Eh
Ea
4.628 0 4.026 846
25.287 3.692 19.328 2.137
0 0 0 1.175
333.384 68.057 77.768 15.251
183.336 5.440 67.913 12.882
0
5.795
3.206
91.536
17.196
11.011
64.190
0
114.428
124.760
Sikka
0
36.664
7.061
36.269
13.499
Ngada
95.004
Manggarai
4.167
1.333
13.988
54.119
Lembata
0
1.930
0
24.976
22.380
TTS
0
39.092
0
73.040
54.975
TTU
6.824
0
0
77.241
94.743
Sumba Barat
7.195
58.249
0
97.529
193.036
Sumba Timur Total
0 38.697
10.781 268.478
0 25.430
71.265 1.134.863
336.004 1.221.468
Ds : Diversifikasi sawah Dt : Diversifikasi tegalan Dp : Diversifikasi perkebuanan Eh : Ekstensifikasi hutan Ea : Ekstensifikasi alang-alang/semak belukar
KESIMPULAN 1.
Luas wilayah Nusa Tenggara Timur sekitar 4,7 juta ha dengan kondisi fisik lahan: 47,8% berupa dataran rendah, 21% tingkat kemiringan tanah datar dan 55% jenis tanah subur. Lahan padang rumput/ penggembalaan masih luas (1.700.069) ha.
2.
Potensi luas kesesuaian fisik lahan untuk ternak ruminansia (khusus kelompok sapi potong) adalah seluas 2.707.657 ha (S1=108.903 ha, S2= 825.903 ha dan S3=1.173.100 ha). Kesesuaian lahan S1 tidak terjadi di semua kabupaten.
3.
Rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak di NTT adalah: Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di lahan tegalan, sawah dan perkebunan, sedangkan arahan pola ekstensifikasi ternak yang sama banyak terdapat di lahan hutan dan alangalang.
4.
Potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sekurang-kurangnya sebanyak 2.395.384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471.971 ST. DAFTAR PUSTAKA
ASHARI, E. JUARINI, SUMANTO, B. WIBOWO, SURATMAN dan K. DIWYANTO. 1996. Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. I. Pengatar Pemahaman. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. THAHAR, A. and P. MAHYUDIN. 1993. Feed Resource. In: Draught Animal System and Management: An Indonesian study. TELENI, E., R.S.F. CAMPBELL and D. HOFFMAN (Eds.). ACIAR. Canberra. hlm. 41−50. THAHAR, A., SANTOSO, SUMANTO, HASTOMO dan HARYONO. 1991. Daya Dukung Pakan Karang Agung Ulu Sungai Lilin, Sumatera Selatan. Makalah Kerja No.3 Proyek Ternak Kerja Balai Penelitian Ternak, ciawi, Bogor
129