TATA LAKSANA KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK Retno Sawitri1, Andriani2 1,2
Instalasi Forensik dan Pelayanan Jenazah, Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta, Indonesia. Abstrak Kekerasan terhadap anak (KtA) adalah suatu tindak pidana yang terselubung karena kebanyakan dari kasus tersebut tidak kelihatan dan tidak dilaporkan. Pelaku kekerasan biasanya adalah orang terdekat dari korban (anak) sehingga sulit untuk memantau apa yang terjadi di rumah, lembagalembaga dan sekolah. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak tiap tahun terus meningkat. Di beberapa Rumah Sakit di Indonesia, khususnya di Jakarta, telah memiliki Pusat Pelayanan untuk korban kekerasan terhadap anak dan perempuan serta memiliki fasilitas untuk melindungi korban-korban kekerasan tersebut. Bagi tenaga kesehatan yang menemukan kasus yang diduga korban kekerasan terhadap anak, maka wajib untuk melaporkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian agar diharapkan dapat mengurangi angka kejadian kasus korban KtA.
Kata kunci: Kekerasan terhadap Anak (KtA), Tatalaksana, Forensik Abstract Child abuse is a hidden crime because most of the cases are unseen and not reported. The offenders are usually from the inner cirlcle of the victims, making it difficult to monitor what happened at home, institutions and schools. The number of cases of child abuse continues to rise every year. In several hospitals in Indonesia, especially Jakarta, has service center for victims to protect them from repetitive violence. For health workers who discovered casese suspected a victim of child abuse, they must report the case to the police worker in order to reduce the incidence.
Key words: Child Abuse, Support Management, Forensic PENDAHULUAN Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindak pidana yang terselubung karena kebanyakan dari kasus tersebut tidak kelihatan dan tidak dilaporkan. Pelaku kekerasan biasanya adalah orang terdekat dari korban (anak) sehingga sulit untuk memantau apa yang terjadi di rumah, lembaga-lembaga dan sekolah. Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di Negara berkembang, juga terjadi di Negara berkembang seperti Amerika Serikat, Australia dan lain-lain. Di dalam laporan WHO tahun 2006, diperkirakan bahwa kekerasan terhadap anak hingga mengakibatkan kematian memiliki angka kejadian lebih tinggi dua kali pada Negara dengan pendapatan rendah (2,58/100.000) dibandingkan di Negara dengan pendapatan tinggi (1,21/100.000).1
Koresponden: Retno Sawitri, Instalasi Forensik dan Pelayanan Jenazah, RSUP Fatmawati, Jakarta,Indonesia. Email:
[email protected]
Dari data statistik di Amerika serikat pada tahun 2013 ditemukan sebanyak 679.000 anak adalah korban kekerasan dan penelantaran, 1520 anak meninggal, dan sebanyak 9 % mengalami kekerasan seksual.2 Pada tahun 2014, berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention ditemukan sebanyak 702.000 korban kekerasan dan penelanaran, dan dilaporkan sebanyak 27% korban masih berusia di bawah 3 tahun.3 Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia sejak tahun 2007 hingga tahun 2013 terus mengalami peningkatan. Kekerasan terhadap anak sudah terjadi sejak lama dan saat ini menjadi masalah global. Untuk memcahkan masalah tersebut, membutuhkan pemahaman tentang kejadian tersebut, sebab dan konsekuensinya. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai pencegahan tindak kekerasan terhadap anak Fatmawati Hospital Journal
dan peran serta dari masyarakat, dan tenaga kesehatan agar dapat melaporkan apabila menemukan kasus tindak kekerasan terhadap anak sehingga dapat memutus rantai tindak kekerasan tersebut dan menekan angka kejadian kekerasan terhadap anak.
Data Kasus Kekerasan terhadap Anak 4000 3000 2000 1000 0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Data Kasus Kekerasan terhadap Anak
Diagram 1. Data jumlah kasus Kekerasan terhadap Anak (data KPAI) KEKERASAN TERHADAP ANAK Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.4 Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak asasi manusia yang termuat di dalam UUD 1945, Konvensi Hak Anak dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asai tersebut sesuai kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Negara dan pemerintah juga turut bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.4 Perlindungan anak sendiri sudah tercantum di dalam UUD 1945, Konvensi Hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 200 November 1989 serta di UU No. 35 tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.4,5 Anak juga berhak mendapatkan perlindungan khusus untuk melindungi dalam situasi khusus, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan korban perlakuan salah dan penelantaran. Bagi anak yang berhadapan/yang menjadi korban tindak pidana juga mendapatkan perlindungan khusus yang diatur di dalam pasal 64 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.4,5 Pengertian terhadap kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk tindakan/perlakuan yang menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan cedera/kerugian nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak.6 Kekerasan terhadap Anak meliputi : a. Kekerasan Fisik pada anak merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata atau potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orang tua atau orang dalam hubungan posisi tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Anak korban kekerasan terhadap anak (KtA) berupa kekerasan fisik dapat diduga dengan ditemukannya luka atau cedera pada tubuh anak yang ciri, letak dan sifatnya bukan akibat suatu kecelakaan. b. Kekerasan psikis pada anak merupakan suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan Fatmawati Hospital Journal
kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan tersebut dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau penolakan. Pada anak korban yang diduga mengalami kekerasan psikis dapat ditemukan adanya perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya perkembangan fungsi fisik, mental dan sosial. c. Kekerasan seksual merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Hal tersebut dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan adanya pelecehan seksual atau bentuk kekerasan lainnya. Penelantaran anak merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya. Penelantaran tersebut dapat berupa kegagalan memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, serta keadaan hidup yang aman dan layak. Hal tersebut dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau tanda penelantaran. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Data Informasi dan Pengaduan 2014, data tersebut dibagi berdasarkan jenis kekerasan seperti yang tertera pada diagram berikut.
DATA KEKERASAN TERHADAP ANAK 800 600 400 200 0 2011
2012
Kekerasan Fisik
2013
2014
Kekerasan Psikis
Kekerasan Seksual
Diagram 2. Data Kekerasan terhadap Anak (Sumber : Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia) UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK (UPPA) RSUP FATMAWATI RSUP Fatmawati telah memiliki suatu unit dalam pelayanannya terhadap korbankorban kekerasan terhadap anak dan perempuan yang bernama Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA). Unit tersebut berada di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Petugas yang bekerja di UPPA merupakan tim yang terdiri atas Dokter Spesialis Forensik, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan, Dokter Spesialis Anak, Perawat, dan Psikolog. UPPA RSUP Fatmawati juga melakukan koordinasi dengan jejaring yang juga melayani korban kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kepolisian Resort Jakarta Selatan dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Selain itu, UPPA RSUP Fatmawati menjadi pusat rujukan terhadap pelayanan korban-korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di PUSKESMAS dan Fasilitas Kesehatan di wilayah Jakarta Selatan dan sekitarnya. Pelayanan di UPPA menjamin privasi terhadap korban kekerasan dari sorotan publik maupun media massa, serta disediakan fasilitas bermain untuk anakanak (boneka, puzzle, dan alat gambar) dengan tujuan supaya dapat mudah Fatmawati Hospital Journal
berkomunikasi dan menggali data dari anak.6
Dari pelayanan yang dilakukan di RSUP Fatmawati, didapatkan data kasus korban kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak tahun 2012 hingga tahun 2015 sebagai berikut :
Data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 100
Gambar 1. Ruang Tunggu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak RSUP Fatmawati
50 0 2012
2013
Kekerasan Fisik
2014
2015
Kekerasan Psikis
Kekerasan Seksual
Gambar 2. Ruang Anamnesa UPPA RSUP Fatmawati Pelayanan di UPPA memiliki pemeriksaan sebagai berikut :
alur
Gambar 3. Alur Pelayanan UPPA RSUP Fatmawati
Diagram 3. Data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di UPPA RSUP Fatmawati
ALUR PELAPORAN KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia yang apabila dibiarkan dapat memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan kesehatan serta mengancam kualitas hidup dan masa depannya. Sebagai tenaga kesehatan wajib ikut bertanggung jawab terhadap upaya penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, tenaga kesehatan sering menjadi tangan pertama yang menerima korban kekerasan terhadap anak dan memiliki potensi untuk mencegah atau memperkecil dampak negatif terhadap kesehatan anak, baik fisik maupun mental, serta aspek hukum dan sosial, sehingga pelayanan yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar korban KtA dapat memperoleh pelayanan secara komprehensif, maka tenaga kesehatan di bawah tanggung jawab pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan memiliki kewajiban melapor Dugaan kasus Kekerasan terhadap Anak. Pemberi layanan kesehatan yang Fatmawati Hospital Journal
dalam melakukan pelayanannya menemukan adanya dugaan kekerasan terhadap anak, maka wajib memberitahukan kepada orang tua dan/atau pendamping anak tersebut, disertai anjuran untuk melaporkan dugaan kekerasan terhadap anak tersebut kepada kepolisian. Anjuran-anjurannya paling sedikit berisi : Dampak yang merugikan kesehatan anak Dampak sosial terhadap anak, dan Tindakan sanksi hukum yang memberi efek jera bagi pelaku. Apabila orang tua atau pendamping anak korban KtA menolak dilakukan pelaporan, tenaga kesehatan memberikan informasi kepada kepolisian sesegera mungkin yang dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berkedudukan hanya sebagai pemberi informasi bukan sebagai saksi pelapor dan berhak mendapatkan perlindungan hukum. Pemberian informasi anak yang diduga sebagai korban KtA paling sedikit berisi : Umur dan jenis kelamin korban Nama dan alamat pemberi pelayanan kesehatan, dan/atau Waktu pemeriksaan kesehatan. Perlu diperhatikan beberapa ciri-ciri korban kekerasan yaitu : 1. Anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran. 2. Anak korban dugaan kekerasan fisik memiliki ciri luka atau cedera pada tubuh anak yang bukan akibat suatu kecelakaan yang memiliki bentuk dan pola tertentu yang khas, misalnya tramline hematome, luka bakar khas seperti luka akibat sundutan rokok, memar berbentuk telapak tangan dan lain-lain. 3. Anak korban kekerasan psikis dapat diketahui melalui wawancara langsung kepada korban (autoanamnesis) atau wawancara dengan orang tua/pendamping (aloanamnesis) tentang adanya riwayat kekerasan psikis, adanya perubahan ekspresi wajah, sikap dan
perilaku anak sebelum kejadian seperti anak takut berpisah dari orang tua, menyendiri, tidak mau bergaul, mengompol, mimpi buruk, dan lainlain 4. Anak korban dugaan kekerasan seksual dapat diketahui melalui identifikasi kasus anak yang datang dengan keluhan nyeri atau pendarahan pada saat buang air kecil atau buang air besar; riwayat penyakit infeksi menular seksual atau adanya infeksi berulang (rekuren) pada kemaluan; adanya tanda-tanda kehamilan pada remaja, ditemukan cairan mani pada semen di sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian; gangguan pengendalian buang air besar dan buang air kecil; adanya robekan atau bercak darah pada pakaian dalam anak, adanya cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur, adanya tanda-tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk kekerasan seksual lainnya. 5. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya kegagalan tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar penyakit organik yang sesuai; luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati; tidak memperoleh imunisasi dasar; ditemukannya anak dengan tandatanda kulit kotor, rambut kotor, gimbal, tidak terawat dan berkutu; gigi tidak bersih, bau; keadaan umum lemah, letargik dan lelah berkepanjangan. Adapun tata cara pemeriksaan terhadap korban kekerasan terhadap anak meliputi langkah-langkah sebagai berikut : 1. Melakukan persetujuan/penolakan untuk dilakukan pemeriksaan medis (informed consent/informed refusal) untuk menjelaskan kepada anak maupun orang tua tentang maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan. 2. Anamnesis baik autoanamnesis maupun alloanamnesis dan bila perlu menggunakan alat bantu seperti Fatmawati Hospital Journal
boneka, alat tulis dan alat gambar. Anamnesa terhadap anak yang diduga sebagai korban dan pengantar sebaiknya dilakukan terpisah. Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan temuan medis. 3. Pemeriksaan fisik memeriksa keadaan umum meliputi kesadaran dan tanda vital, memperhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai dengan urutan peristiwa kekerasan yang dialami. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya memar/jejas pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, bokong dan genital; perlukaan multipel dengan berbagai tingkat penyembuhan, memiliki gambaran atau pola luka sesuai jari tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan gigi orang dewasa; patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah tulang baru dan lama yang ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi; luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada angan, kaki atau bokong akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas, dan bentuknya sesuai dengan benda panas yang digunakan; cedera pada kepala seperti hematoma subkutan atau subdural, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut, baik yang baru atau berulang; dislokasi sendi bahu atau pinggul. Pada kasus kekerasan seksual, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda perlawanan seperti pakaian yang robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma, serta diperiksa adanya tanda-tanda persetubuhan serta perlu diperiksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum. 4. Pemeriksaan status mental perlu dilakukan karena dampak dari kekerasan dapat menimbulkan distres
serta gejala-gejala paska trauma. Gejala yang muncul antara lain ketakutan, siaga berlebihan (mudah kaget, curiga), panik dan berduka (perasaan sedih terus menerus). 5. Pemeriksaan penunjang dapat meliputi pemeriksan Rontgen dan USG, pemeriksaan laboratorium darah dan urin rutin. Pada kasus kekerasan seksual dapat ditambah pemeriksaan penapisan (screening) penyakit menular seksual, test kehamilan, pemeriksaan mikroskopis sperma serta pemeriksaan toksikologi. Pada kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan rujukan yang berupa : 1. Rujukan medis : dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Rumah Sakit Umum Pusat atau Rumah Sakit Bhayangkara 2. Rujukan non medis dilakukan untuk memperoleh bantuan pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Penanganan rujukan non medis di rumah sakit dilakukan melalui pelayanan terpadu atau one stop service atau Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau Pusat Krisis Terpadu. PENUTUP Dengan adanya peraturan mengenai wajib lapor bagi tenaga kesehatan yang menangani kasus diduga kekerasan terhadap anak maka diharapkan angka kejadian kekerasan terhadap anak dapat berkurang. Selain itu, tersedianya fasilitas kesehatan dan fasilitas lain (rumah aman, P2TP2A, RPSA, LKSA) bagi korban kekerasan terhadap anak juga diharapkan dapat membantu menangani masalah dan melindungi para korban kekerasan tersebut.
Fatmawati Hospital Journal
DAFTAR PUSTAKA 1. Child Deaths from Abuse and Neglect. Australian Institute of Family Studies. Mei 2016 (diunduh 24 Juni 2016). Tersedia dari : https://aifs.gov.au/cfca/publications /child-deaths-abuse-and-neglect 2. U.S Department of Health and Human Services : Administration for Children & Families. Child Maltreatment 2013. http://www.acf.hhs.gov/programs/c b/resource/child-maltreatment2013 3. Child Abuse and Neglect Prevention. Injury Prevention & Control : Division of Violence Prevention. (diunduh 24 Juni 2016). Tersedia dari : http://www.cdc.gov/violenceprevent ion/childmaltreatment/ 4. Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 5. Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan dan Rujukan Kasus Kekerasan dan Penelantaran Anak. 6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak.
Fatmawati Hospital Journal