Diagnosis dan tata laksana spondilitis TB pada anak Damianus Journal of Medicine; Vol.10 No.3 Oktober 2011: hlm. 177–186.
LAPORAN KASUS
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA SPONDILITIS TB PADA ANAK Edward Surjono*
ABSTRACT *
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440.
Introduction: Spondylitis TB in children are very complex. This condition affects their lives. The complication also include the patients’ social life. It is important to diagnose this condition early. Earlier diagnosis will determine the success of the therapy. Case: An 11 years old boy came due to the chief complaint cannot walk since 8 months prior to consult. The patient had a growing mass in lumbar region. Patient also had a positive contact with tuberculosis patient. Conclusion: In this case, the diagnosis was delayed and already have a complex social impact. This case report showed the diagnosis and management of spondylitis TB in children. Key words: diagnosis, management, spondylitis TB
ABSTRAK Latar belakang: TB Spondilitis pada anak-anak sangatlah kompleks. Kondisi ini berdampak pada kehidupan mereka. Komplikasi TB spondilitis pada anakanak juga mencakup kehidupan sosial pasien. Penting untuk mendiagnosis kondisi ini lebih awal. Diagnosis yang lebih dini akan menentukan keberhasilan terapi. Kasus: Seorang anak laki berusia 11 tahun datang dengan keluhan tidak bisa berjalan sejak 8 bulan yang lalu. Pasien memiliki massa di daerah lumbal yang semakin membesar. Pasien juga memiliki kontak dengan penderita tuberkulosis. Kesimpulan: Dalam kasus ini, diagnosis dilakukan terlambat dan membawa dampak sosial yang kompleks. Sajian kasus ini menampilkan diagnosis dan tata laksana Spondilitis TB pada anak. Kata kunci: diagnosis, manajemen, TB spondilitis
PENDAHULUAN Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal juga sebagai Pott's disease merupakan manifestasi TB skeletal yang paling sering ditemukan. Angka kejadian spondilitis TB adalah 40-50% dari seluruh kasus TB skeletal. Progresifitas spondilitis TB biasanya lambat dan keluhan utamanya berupa nyeri punggung yang tidak spesifik. Hal ini mengakibatkan diagnosis lebih sulit ditegakkan dibandingkan infeksi piogenik yang cenderung bersifat akut. Sebelum diagnosis ditegakkan kerusakan tulang vertebra dan diskus intervertebralis biasanya sudah luas. Kerusakan tulang vertebra yang luas dan diikuti oleh fraktur akan menyebabkan deformitas tulang belakang.
Kasus ini dibahas dengan maksud untuk untuk mempertajam analisa kita dalam melakukan diagnosis spondilitis TB, dan tata laksana komprehensif dalam menghadapi kasus spondilitis TB dalam tahap lanjut. KASUS Satu tahun lalu pasien terjatuh karena didorong oleh temannya dengan posisi punggung menghantam tanah. Pasien mengeluh nyeri di daerah punggung, namun tidak terdapat bengkak. Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa, tidak ada keluhan kesemutan atau kelemahan anggota gerak. Pasien terdapat demam dengan suhu yang tidak tinggi terutama malam hari disertai batuk yang timbul kadang-kadang. Demam
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
177
DAMIANUS Journal of Medicine
hilang dengan pemberian parasetamol. Pasien banyak berkeringat pada malam hari, terlihat lesu dan nafsu makan berkurang. Saat itu orangtua pasien membawa pasien ke tukang urut namun keluhan tetap ada. Dua minggu kemudian pasien masih merasa nyeri punggung. Saat itu, kaki pasien mulai terasa lemas. Pasien sulit tidur dengan badan yang tampak semakin kurus namun ibu pasien tidak pernah menimbang berat badan pasien. Orangtua memeriksakan pasien ke dokter umum dan disarankan untuk dilakukan foto Rontgen punggung. Foto rontgen tidak dilakukan karena keterbatasan biaya. Orang tua kembali membawa pasien ke tukang urut. Sembilan bulan sebelum dirawat timbul benjolan di punggung pasien. Menurut ibu pasien, benjolan sebesar bakso, sewarna dengan kulit, dan tidak terasa nyeri kecuali bila ditekan dengan keras. Benjolan tersebut semakin lama semakin besar sebesar bola tenis. Saat itu pasien merasa semakin lemas untuk berjalan sehingga harus berjalan dengan lambat. Pasien terkadang jatuh ketika berjalan dan tidak dapat bangun sendiri karena lemas. Keluhan nyeri punggung masih ada dan disertai dengan keluhan kesemutan pada kaki yang hilang timbul. Semakin lama kedua tungkai bawah pasien semakin lemas dan tidak dapat digerakkan. Pasien juga tidak dapat merasakan nyeri pada kaki dan tidak dapat mengontrol buang air kecil (BAK). Buang air besar hanya dapat dikontrol kadang-kadang. Orangtua membawa pasien ke tukang urut dan pengobatan alternatif beberapa kali dan mendapat jamujamuan namun tidak ada perbaikan. Saat itu pasien sesekali mengalami demam yang tidak tinggi disertai keringat malam. Nafsu makan pasien menurun dan badan pasien tampak semakin kurus. Delapan bulan sebelum dirawat pasien tidak dapat berjalan karena tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Pasien juga tidak dapat duduk karena kedua tungkai lemas, tidak dapat merasakan nyeri dan raba disertai rasa sakit di bagian punggung. Pasien juga tidak dapat menahan BAK dan BAB. Kondisi pasien yang semakin lemas menyebabkan orangtua akhirnya membawa pasien berobat ke RS T dan dikatakan menderita tuberkulosis tulang namun tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium dan foto Rontgen. Pasien diberikan dua macam obat puyer yang membuat air seni pasien berwarna merah dan kemudian pasien dipulangkan. Pasien dirawat di rumah dan tidak pernah kontrol kembali ke RS T karena alasan biaya. Pengobatan juga dihentikan oleh orangtua karena merasa tidak ada perbaikan. Selama perawatan di rumah orangtua mem-
178
bawa pasien ke pengobatan alternatif beberapa kali dan mendapat jamu-jamuan namun tetap tidak ada perbaikan. Dua bulan sebelum dirawat pasien tampak semakin lemas dan tidak dapat duduk karena kedua tungkai lemas, tidak dapat merasakan nyeri dan raba dengan nyeri di bagian punggung. Pasien tidak dapat menahan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Orangtua masih membawa pasien berobat ke pengobatan alternatif, namun karena kondisi pasien semakin lemas maka orangtua akhirnya membawa pasien berobat ke rumah sakit. Pasien tidak pernah menjalani pengobatan untuk tuberkulosis. Riwayat atopi dan keganasan disangkal. Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal. Terdapat riwayat batuk-batuk lama dan batuk darah pada nenek pasien yang tinggal bersama pasien sejak pasien lahir. Nenek pasien meninggal saat pasien berusia 9 tahun dan tidak pernah berobat. Keluhan batukbatuk lama pada anggota keluarga lain disangkal. Riwayat kontak dengan penderita TB paru di lingkungan tempat tinggal pasien tidak diketahui. Riwayat kehamilan dan kelahiran dalam batas normalImunisasi dasar dan ulangan kesan tidak lengkap. BCG scarr pada pasien positif di lengan kanan. Pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien kesan tidak jauh berbeda dari teman-temannya. Perkembangan tampak sesuai dengan rekan-rekan seusianya. Pasien sudah dapat membaca dan menulis usia 6 tahun. Sejak tidak dapat berjalan, pasien berhenti sekolah. Sebelum berhenti sekolah, pasien duduk di kelas VI sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang namun selalu naik kelas. Riwayat asupan makanan kurang baik secara kuantitas maupun kualitas Ringkasan pemeriksaan fisis dan perawatan Selama perawatan didapatkan nyeri punggung dan kesulitan makan dan minum. Buang air kecil tidak dapat dikendalikan sedangkan buang air besar kadang bisa ditahan kadang tidak. Tidak ada keluhan sakit kepala, muntah, demam, batuk, dan pilek. Asupan nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan fisis pasien kompos mentis, GCS 15, tidak tampak sesak maupun pucat. Berat badan 16 kg (P3 CDC-NCHS 2000), tinggi badan tidak dapat diukur. Lingkar lengan atas (LLA) 15 cm, dengan panjang rentang tangan (arm span) 122 cm (P3). Lingkar lengan atas menurut usia 73,1% dan tinggi berdasarkan panjang rentang tangan adalah 7 tahun. Status gizi dan antropometris kesan gizi buruk. Tinggi ayah 158
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Diagnosis dan tata laksana spondilitis TB pada anak
cm dan tinggi ibu 153 cm, perkiraan rentang tinggi akhir anak sesuai dengan potensi genetiknya adalah 154 cm sampai dengan 170 cm. Tanda vital dalam batas normal. Pasien tidak pernah demam. Pada kepala tidak didapatkan deformitas, rambut hitam tipis, tidak mudah dicabut. Wajah tidak tampak paresis nervus kranialis. Konjungtiva mata tidak pucat, sklera tidak ikterik, dengan pupil bulat isokor, diameter 3 mm, rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+, gerak bola mata baik ke segala arah. Pada telinga, hidung, dan tenggorokan tidak tampak kelainan. Tidak teraba kelenjar getah bening dan kaku kuduk pada leher. Dada tampak simetris saat statis maupun dinamis disertai dengan iga gambang. Suara napas vesikuler di kedua lapang paru dan tidak terdengar ronki maupun mengi. Jantung dan abdomen dalam batas normal. Tidak teraba kelenjar getah bening inguinal. Tidak tampak rambut aksila maupun rambut pubis. Genitalia eksterna tampak normal, belum sirkumsisi. Volume testis masing-masing 4 ml, kesan status pubertas A1P1G1. Punggung terdapat gibbus pada vertebra torakal (+ 6 ruas). Terdapat ulkus bergaung di daerah lumbal 3-4, diameter 3 cm dengan dasar jaringan subkutan disertai pus, dan dikelilingi jaringan nekrotik. Refleks fisiologis normal pada ekstremitas atas, kekuatan motorik 5555/5555, dan kemampuan sensorik baik. Refleks fisiologis meningkat pada ekstremitas bawah, terdapat refleks patologis Babinski, klonus, dan spastisitas di kedua tungkai. Kekuatan motorik 1111/ 1111, didapatkan kesan hipestesia mulai torakal 12 ke bawah. Pada regio spina iliaca anterior superior (SIAS) sinistra tampak ulkus bergaung, ukuran 2x2 cm dalam proses penyembuhan dengan dasar jaringan subkutan disertai pus. Jaringan nekrotik tampak di sekitarnya melingkari ulkus. Pemeriksaan penunjang pada saat awal perawatan didapatkan kesan anemia, trombositosis, dan laju endap darah meningkat (tabel 1). Pada bilasan lambung tidak ditemukan kuman basil tahan asam (BTA). Pemeriksaan tes Mantoux menunjukkan hasil positif dengan diameter indurasi 17 mm. Foto polos torakolumbal menunjukkan adanya skoliosis vertebra torakalis dan kifosis torakalis. Selain itu tampak destruksi korpus vertebra setinggi torakal 5 sampai 8 dengan penyempitan diskus diantaranya. Tampak massa paravertebra mulai setinggi Th 3 - Th 10. Jantung kesan tidak membesar dan tampak infiltrat halus di kedua lapangan paru
dengan kedua hilus tampak suram. Kesan foto polos torakolumbal anteroposterior (AP) dan lateral adalah spondilitis TB dan TB paru. Pasien didiagnosis sebagai paraparesis inferior tipe upper motor neuron (UMN) ec pondilitis TB, anemia ec penyakit kronis dd/ ec defisiensi Fe, gizi buruk marasmik, perawakan pendek, ulkus dekubitus SIAS kiri dan regio lumbal 3. Pada ulkus dilakukan pulasan gram (pus) dengan hasil kokus gram (+) sedang. Lumbal pungsi dilakukan dengan hasil cairan menetes, jernih, sel 2/3; NaCl 581 mg%, Cl 352 mg%, glukosa 49 mg%, protein 94 mg%, nonne (-), dan pandy (-). Pewarnaan BTA menunjukkan hasil negatif. Hasil biakan LCS positif Staphylococcus epidermidis, dengan kesan kontaminan. Pasien mulai diberikan diet F 100 8 x 250 ml dengan mineral mix. Setelah perawatan hari ke-8 pasien sudah mau makan dan diberikan makanan lunak 100 kal serta F100 5 x 250 ml. Pasien dikonsulkan ke Departemen Bedah saraf yang merencanakan untuk melakukan laminektomi, dekompresi, dan fiksasi, serta menyarankan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) torakal dengan kontras. Pemeriksaan MRI menunjukkan spondilitis tuberkulosis (TB) vertebra torakalis dengan tanda gibus ec destruksi berat Th 5-6-7 dengan lesi tulang fokal abnormal pada Th 8,10 dan L1. Terdapat pre dan paravertebral abses serta epidural infiltrat sepanjang Th 23 sampai dengan Th 9-10 yang menekan >50% medula spinalis pada Th 4-8. Intrameduler tidak mencurigakan SOL/tumor. Pasien mendapat obat anti tuberkulosis berupa isoniazid (INH) 1x300 mg per oral, rifampisin 1x200 mg per oral, pirazinamid 2x250 mg per oral, etambutol 2x150 mg per oral, prednison 3x10 mg per oral dan diet makan biasa 1500 kkal. Bagian Bedah Ortopedi merencanakan tindakan debridemen untuk evakuasi abses. Konsultasi ke Departemen Rehabilitasi medik juga dilakukan untuk melatih kemampuan buang air besar dan buang air kecil. Diagnosis kerja awal masuk untuk dirawat adalah (1) paraparesis inferior tipe UMN ec tsk spondilitis TB; (2) anemia ec penyakit kronis dd/ec defisiensi Fe; (3) gizi buruk marasmik; dan (4) ulkus dekubitus SIAS kiri dan regio lumbal. DISKUSI Seorang anak Laki-laki berusia 11 tahun datang dengan keluhan tidak bisa berjalan sejak 8 bulan sebelum masuk rumah sakit. Anamnesis memunjukkan adanya kemungkinan riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, demam lama yang tidak tinggi, dan berat badan yang cenderung turun. Pada pemeriksaan fisis didapatkan paraparesis inferior, refleks fisiologis yang meningkat,
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
179
DAMIANUS Journal of Medicine
Tabel 1. Hasil pemeriksaan penunjang Jenis Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap (DPL) Hb (g/dL) Ht (vol%) Leukosit (/µL) Trombosit (/µL) Hitung jenis (%) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (g/dL) LED (mm/jam ) Serum iron (Fe) (ug/dL) TIBC (ug/dL) Saturasi transferin (%) Feritin (ng/mL) Urinalisa Lengkap Berat jenis PH Nitrit/protein/glukosa Keton/urobilinogen/bilirubin Darah/epitel/silinder/kristal Leukosit Eritrosit Bakteri Kimia Darah SGOT/SGPT (U/L) Ureum/kreatinin (mg/dL) Glukosa darah sewaktu (GDS) Elektrolit Na/K/Cl (mEq/L)
Jenis Pemeriksaan 4/2/2010 4/3/2010 8,8 10,1 29 33 10.200 11.000 720.000 357.000 -/-/5/71/23/1 -/2/2/80/15/1 66 69,9 20 21,3 30 30,6 117 23 (28 – 112) 273 (228-428) 8 (15-45) 93,8 (30-400) 1.010 7 -/-/-/-/-/-/-/1-2/lpb 0-1/lpb 25/10 6/0,2 68 mg/dL 132/3,92/ 97,7
Rontgen torakolumbal AP/Lat ( 4/2/2010) Tampak skoliosis vertebra torakalis dan kifosis torakalis. Tampak destruksi korpus vertebra Th 5,6,7,8 dengan penyempitan diskus intervertebralis di antaranya. Tampak massa paravertebra mulai setinggi Th 3 sampai dengan Th 10. Jantung kesan tidak membesar, aorta dan mediastinum superior tak dapat dinilai karena tertutup massa paravertebra. Trakea di tengah, kedua hilus suram. Tampak infiltrat halus di kedua lapangan paru. Kesan:
• Spondilitis • TB paru
TB dengan massa paravertebral
MRI (17/2/2010) Destruksi berat korpus vertebra Th 5-6-7 dengan paravertebral infiltrat luas masuk ke dalam kanalis vertebralis, post kontras paravertebral dan epidural infiltrat sepanjang Th 4-8 dan epidural infiltrat Th 2-3 s/d Th 9-10 menunjukkan rim enhancement pada infiltrat di sekitar korpus Th 4 s/d 8 sesuai abses pre dan paravertebral disertai epidural infiltrat tebal sepanjang Th2-3 s/d Th9-10 dengan kompresi berat medula spinalis level th4-8. Ruang diskus intervertebralis sempit/hilang diantara Th5-6-7. Kesan: Spondylitis TBC vertebra torakalis dengan tanda tanda gibbus e.c destruksi berat Th5-6-7. Lesi tulang fokal abnormal juga tampak di Th 8, 10 dan L1. Pre dan paravertebral abses serta epiduralinfiltrat sepanjang Th 2-3 s/d Th 9-10 menekan > 50% medula spinalis pada level Th 4-8. Tidak tampak skoliosis / listesis. Tidak tampak spondylosis, tidak tampak HNP. Intrameduller tidak mencurigakan s.o.l/tumor.
180
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Diagnosis dan tata laksana spondilitis TB pada anak
refleks patologis Babinski positif, klonus, spastis, hipertonus dan hipestesia mulai Th 12 ke bawah. Pada punggung didapatkan gibbus pada vertebra torakalis meliputi 6 ruas yang disertai nyeri. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis tersebut ditegakkan diagnosis kerja paraparesis inferior tipe UMN ec spondilitis TB dd/tumor dan massa regio punggung. Pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil tes Mantoux positif dan LED yang meningkat. Foto polos torakolumbal menunjukkan adanya TB paru dan spondilitis TB. Berdasarkan temuan tersebut, ditegakkan diagnosis spondilitis TB, dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI, yang hasilnya sesuai dengan spondilitis torakalis. Paraparesis adalah kelemahan kedua tungkai yang dapat parsial atau komplit. Kelemahan kedua tungkai tanpa keterlibatan kedua lengan, menandakan adanya kelainan di medula spinalis atau susunan saraf perifer. Paraparesis spinal akan menunjukkan gejala spastisitas, peningkatan refleks tendon, hipertonus dan kehilangan fungsi sensorik pada tingkat dermatom tertentu sesuai lesi yang terkena. Anamnesis dan manifestasi klinis kasus ini sesuai dengan paraparesis spinal.1 Paraparesis spinal dapat disebabkan oleh malformasi kongenital, familial spastic paraplegia, infeksi, lupus myelopathy, kelainan metabolik, myelitis transversa, trauma, atau tumor. Bila tidak ada riwayat trauma, paraparesis yang akut atau progresif cepat umumnya disebabkan juga oleh kompresi medula spinalis dan myelitis. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan utama untuk memberikan gambaran medula spinalis dengan baik. Bila dicurigai adanya keterlibatan kolumna vertebra maka computed tomography (CT scan) dan pencitraan tulang dengan radioisotop lebih dipilih terutama bila dicurigai adanya osteomielitis.1 Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat keluhan kelemahan tungkai yang semakin lama semakin berat hingga pasien tidak dapat berjalan. Keluhan nyeri dan timbulnya benjolan di punggung bagian atas menunjukkan kemungkinan terjadinya kompresi pada medula spinalis. Pada awalnya dipikirkan adanya kompresi tumor pada medula spinalis mengingat benjolan pada punggung pasien yang semakin cepat membesar dan tidak diperkirakan sebagai gibbus. Walau demikian kecurigaan ke arah TBC belum dapat disingkirkan, mengingat pasien memiliki berat badan yang cenderung turun dan fatigue, serta adanya kemungkinan riwayat kontak dengan penderita TBC. Untuk memastikan penyebab paraparesis pada kasus ini dilakukan pemeriksaan foto
vertebra servikotorakal dan MRI. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya fraktur kompresi vertebra torakal 4-8 yang menekan medula spinalis, abses paravertebra, dan spondilitis TB vertebra torakal 2-10. Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal juga sebagai Pott's disease merupakan manifestasi TB skeletal yang paling sering ditemukan.2,3 Kelainan pada spinal ini dapat menyebabkan defisit neurologis permanen dan deformitas yang berat.2 Spondilitis TB lebih sering dijumpai pada orang dewasa, namun demikian, di negara berkembang dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, kelainan ini juga sering ditemukan pada anak.4,5 Keterlibatan tulang dan jaringan lunak akibat infeksi TB meliputi 10% keseluruhan kasus TB ekstrapulmonal atau 1-2% dari total kasus infeksi TB. Angka kejadian spondilitis TB adalah 40-50% dari seluruh kasus TB skeletal.2 Progresivitas spondilitis TB biasanya lambat dan keluhan utamanya berupa nyeri punggung yang tidak spesifik. Hal ini mengakibatkan diagnosis lebih sulit ditegakkan dibandingkan infeksi piogenik yang cenderung bersifat akut. Sebelum diagnosis ditegakkan kerusakan tulang vertebra dan diskus intervertebralis biasanya sudah luas. Kerusakan tulang vertebra yang luas dan diikuti oleh fraktur akan menyebabkan deformitas tulang belakang. Defisit neurologis umumnya terjadi pada infeksi yang mengenai vertebra torakal dan servikal, bila tidak ditangani defisit neurologis akan berkembang menjadi paraparesis yang komplit.6 Infeksi primer spondilitis TB biasanya berasal dari extraspinal, terutama dari paru.2,4 Menurut Toppare et al,7 gambaran klasik spondilitis TB adalah destruksi dua ruas vertebra dan diskus intervertebra yang disertai abses paravertebra dan/atau abses psoas. Infeksi TB biasanya melibatkan vertebra torakal dan vertebra lumbal bagian atas, elemen posterior biasanya jarang terlibat.8 Fokus infeksi primer biasanya pada daerah metafisis vertebra yang diikuti destruksi vertebra di bawahnya. Kerusakan tulang ini baru dapat dideteksi secara radiologis setelah 2-5 bulan kemudian.4 Destruksi tulang yang progresif mengakibatkan vertebra menjadi bengkok dan terjadi kifosis. Kifosis timbul bila kerusakan berada di daerah spinal anterior dan lebih sering akibat lesi yang terjadi di daerah torakal daripada daerah lumbal. Kanalis spinalis dapat menyempit akibat adanya abses, jaringan granulasi, ataupun invasi duramater, sehingga terjadi kompresi terhadap medulla spinalis dan menimbulkan defisit neurologis.2 Abses dingin timbul jika infeksi meluas ke ligamentum dan jaringan lunak di sekitarnya. Keberadaan abses paravertebral menunjukkan suatu infeksi aktif. Abses pada daerah lumbal dapat meluas ke bawah menembus pem-
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
181
DAMIANUS Journal of Medicine
bungkus M. psoas menuju trigonum femoralis, dan menetap dalam waktu lama tanpa ada tanda dan gejala yang jelas.2,4 Pada anak, rute utama penyebaran infeksi pada TB skeletal adalah melalui pembuluh darah yang berasal dari fokus primer. Lokasi infeksi primer sendiri seringkali tidak jelas.9 Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas, sehingga umumnya didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Gejala dan tanda pada TB tulang bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus, yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya.10 Gibbus merupakan tanda yang sering dijumpai pada kasus spondilitis TB pada anak dan remaja.11 Selain itu terdapat gejala konstitusional seperti demam dan berkeringat malam hari, anoreksia, berat badan turun, malaise, dan kelelahan. Gejala konstitusional ini biasanya timbul sebelum ada keluhan di daerah tulang belakang. Paraplegia (Pott's paraplegia) adalah komplikasi TB spinal yang paling serius, dengan angka kejadian sekitar 30% dari keseluruhan kasus TB spinal.3 Paraplegia terjadi akibat kompresi mekanik pada medulla spinalis yang bisa timbul segera (awitan dini) pada infeksi fase aktif, ataupun bertahun-tahun kemudian (awitan lambat) tanpa didahului tanda dan gejala reaktivasi penyakit.3 Pada kasus ini, keluhan telah dialami sejak 8 bulan yang lalu dan semakin lama bertambah berat hingga pasien tidak dapat berjalan. Selain keluhan nyeri dan kelemahan tungkai, juga didapatkan gejala konstitusional antara lain demam lama tidak tinggi terutama pada malam hari, berat badan cenderung turun, dan lemah. Pada pasien juga terdapat manifestasi klinis yang khas berupa deformitas tulang belakang dan gibbus, sehingga kecurigaan terhadap infeksi TB seharusnya telah dipikirkan. Pada pasien juga telah terjadi defisit neurologis akibat penyempitan kanalis spinalis yang disebabkan oleh adanya abses, jaringan granulasi, ataupun invasi duramater, sehingga terjadi kompresi terhadap medulla spinalis. Diagnosis TB pada anak sulit ditegakkan karena sedikitnya kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum) untuk menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis. Alasan tersebut menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan
182
tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB, merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.12 Sebuah penelitian prospektif mendapatkan akurasi diagnosis TB yang baik pada anak 3 tahun yang tidak terinfeksi HIV, berdasarkan adanya keluhan batuk yang persisten 2 minggu, penurunan berat badan atau gagal tumbuh dalam 3 bulan terakhir, dan lemas. Pada anak 3 tahun menunjukkan sensitivitas 82,3%, spesifisitas 90,2%, dan nilai duga positif 90,1%.13 (level of evidence 2b). Dalam kasus ini hanya didapatkan keluhan penurunan berat badan dan lemas sedangkan keluhan batuk persisten disangkal. Pemeriksaan laboratorium penunjang pada spondilitis TB biasanya memperlihatkan karakteristik berupa gambaran anemia, trombositosis, dan peningkatan LED. Sebagaimana dilaporkan oleh Baynes dalam Muzaffar et al,14 bahwa derajat trombositosis secara signifikan berhubungan dengan derajat inflamasi yang dinilai dengan LED dan konsentrasi C-reactive protein (CRP), selain itu trombositosis juga berkaitan erat dengan peningkatan LED. Pemeriksaan LED cukup sensitif dalam menilai respons inflamasi. Nilai LED dan CRP akan meningkat secara signifikan pada keadaan infeksi, inflamasi, atau keduanya, namun demikian pemeriksaan CRP lebih baik daripada LED.14 Pada pasien ini, gambaran laboratoris sesuai dengan apa yang disampaikan sebelumnya, yaitu terdapat anemia (Hb 8,8 g/dL), trombositosis (trombosit 720.000), dan peningkatan LED (117 mm/jam). Pemeriksaan penunjang lainnya untuk membantu menegakkan diagnosis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara yang umum digunakan adalah uji tuberkulin yaitu dengan cara menyuntikkan tuberkulin (komponen kuman TB yang mempunyai sifat antigenik kuat) secara intrakutan. Pada individu yang telah terinfeksi TB maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif. Pada kasus ini, didapatkan indurasi 17 mm sehingga disimpulkan hasil uji tuberkulin positif.13 Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendeteksi respon imun tubuh terhadap kuman M.tuberculosis adalah interferon gamma release assay (IGRA), namun pemeriksaan ini belum tersedia di Indonesia. Pemeriksaan untuk menemukan kuman dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase chain reaction (PCR).12 Pemeriksaan radiologi yang terdiri dari foto toraks pada pasien TB tidak khas. Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, konsolidasi segmental atau
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Diagnosis dan tata laksana spondilitis TB pada anak
lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltat, kavitas, atelektasis, efusi pleura, dan tuberkuloma. Pemeriksaan penunjang lainnya yang memiliki nilai diagnostik tinggi adalah pemeriksaan histopatologi anatomi.12 Dalam kasus ini, selain uji tuberkulin, dilakukan pula pemeriksaan bilasan lambung untuk mencari basil tahan asam (BTA) dan kultur bilasan lambung untuk mencari kuman M.Tuberculosis. Meskipun hasil bilasan lambung dan kultur negatif, namun pada pemeriksaan foto toraks dan uji tuberkulin pada pasien menunjukkan adanya kelainan yang mengarah pada TB. Pemeriksaan lainnya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis spondilitis TB adalah pemeriksaan foto vertebra servikotorakal dan MRI servikotorakal. Foto vertebra pada fase awal normal, seiring berkembangnya penyakit akan terlihat penyempitan ruang diskus dan reaksi periosteal lokal atau sklerosis reaktif menjadi lebih jelas.15 Selain itu, pada foto polos juga dapat dijumpai gambaran destruksi lisis bagian anterior korpus vertebra, ruas anterior yang membaji, kolaps pada korpus vertebra, sklerosis reaktif pada proses lisis yang progresif, pelebaran garis psoas dengan atau tanpa kalsifikasi.1 Selain gambaran tersebut, bisa juga dijumpai kerusakan diskus intervertebra, kerusakan korpus vertebra dalam berbagai tingkatan, gambaran abses yang ditandai dengan bayangan fusiformis paravertebra, serta lesi tulang yang terjadi pada lebih dari satu ruas vertebra.2 Pada foto torakolumbal pasien didapatkan gambaran destruksi korpus vertebra dengan penyempitan diskus intervertebralis yang sesuai dengan spondilitis TB. Pemeriksaan CT-scan memberikan hasil yang lebih saksama mengenai gambaran tulang dengan lesi lisis yang tidak teratur, kolaps pada diskus, dan lingkar tulang, selain itu resolusi kontras rendah mampu menilai jaringan lunak dengan lebih baik, khususnya pada daerah epidural dan paraspinal. Pemeriksaan CT-scan juga dapat mendeteksi lesi dini dan lebih efektif menilai bentuk serta kalsifikasi dari suatu abses jaringan lunak. Kalsifikasi pada abses, hampir merupakan tanda patognomonik TB spinal, meskipun tidak selalu ada.16,17 Meski demikian, Bajwa18 menyatakan bahwa pemeriksaan MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik dalam mendiagnosis dan penentuan terapi TB spinal. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui 1) lokasi lesi, 2)pembengkakan/abses jaringan lunak paravertebra, 3) jumlah vertebra yang terlibat, 4) sudut kifosis, 5) ukuran kanalis vertebralis, 6) derajat kompresi medulla spinalis, dan 7) tingkat kerusakan tulang/fraktur kompresi. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan dalam pemantauan untuk menilai keberhasilan terapi.18
Pada pasien ini hasil pemeriksaan MRI memberi kesan gibbus setinggi Th 2-3 sampai Th 9-10 dengan destruksi total korpus vertebra torakal 5-6-7 dan kompresi berat medula spinalis level Th 4-8. Temuan ini disimpulkan sebagai spondilitis torakalis Th 2-3 sampai Th 9-10. Walaupun data pemeriksaan penunjang sudah sugestif dengan spondilitis TB pembuktian dengan menemukan kuman M.Tuberkulosis tetap harus dilakukan dengan pemeriksaan langsung dari cairan abses untuk menemukan BTA dan kultur cairan abses. Hal ini rencananya akan dilakukan setelah tindakan drainase dan debridemen abses oleh dokter Bedah Saraf. Tata laksana spondilitis TB spesifik untuk tiap individu dan tergantung pada klinis pasien. Kemoterapi dengan OAT merupakan terapi baku emas (gold standard) dan harus dimulai sejak awal terdiagnosis. Pasien dalam fase awal penyakit, tidak ada defisit neurologis, dan sedikit atau tidak ada kifosis (akibat destruksi tulang vertebra) dapat diterapi dengan kombinasi 4 macam obat anti tuberkulosis. Rifampisin dan isoniazid diberikan selama 12 bulan dan pirazinamid serta etambutol diberikan selama 2 bulan pertama. Kotil et al.19 melaporkan pasien spondilitis TB daerah lumbar dan toraks tanpa defisit neurologis dan kifosis yang hanya mendapat OAT, menunjukkan hasil pengobatan yang baik (level of evidence 2b). Apabila ditemukan kelainan neurologis maka tindakan bedah harus segera dilakukan secara elektif.20 Nussbaum et al21 dalam suatu studi retrospektif menyimpulkan bahwa pasien dengan TB spinal harus menjalani minimal 12 bulan terapi OAT, jika terdapat defisit neurologis berupa kelumpuhan, neuritis perifer, maka harus segera dilakukan bedah dekompresi, sedangkan jika tidak terdapat defisit neurologis, maka tindakan bedah secara elektif.20 Tindakan laminektomi dan debridement cukup adekuat jika terdapat jaringan granulomatosa intraspinal yang tidak disertai destruksi tulang yang signifikan.21 Pada kasus di mana telah terjadi kifosis, debridemen yang agresif merupakan suatu indikasi untuk mencegah instabilitas dan progresivitas penyakit.21,22 Indikasi tindakan bedah umumnya adalah adanya defisit neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons terhadap OAT.8 Pada kasus ini pasien mendapat terapi OAT yaitu rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol, yang rencananya akan diberikan selama 2 bulan (fase intensif), dilanjutkan dengan pemberian rifampicin dan INH selama 10 bulan. Pemberian steroid bukan merupakan suatu indikasi pada pasien ini. Menurut Cunha,23 terapi steroid dapat bermanfaat pada pasien dengan TB paru yang disertai kavitas yang luas, meningitis tuberkulosis maupun TB milier. Selain itu
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
183
DAMIANUS Journal of Medicine
terapi steroid juga bermanfaat pada pasien dengan TB endobronkial, TB primer dengan efusi pleura masif, atau pasien dengan hipoksemia berat.23 Lama pemberian obat anti tuberkulosis untuk spondilitis TB pada beberapa literatur menunjukkan lama pemberian yang berbeda-beda. Sebuah telaah literatur penelitian pengobatan spondilitis TB dengan OAT selama 6 bulan dan 9 bulan menunjukkan pemberian terapi selama 6 bulan cukup memadai.24 (level of evidence 2a) Penelitian lain mendapatkan bahwa pemberian OAT selama 6 bulan untuk spondilitis TB tidak adekuat.25 (level of evidence 2b) Toppare et al.7 dalam penelitiannya menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara pemberian OAT intermittent dengan pemberian OAT seperti biasa (level of evidence 3b). Di Indonesia, pedoman nasional tuberkulosis anak merekomendasikan pemberian OAT selama 12 bulan. Pada pasien saat pemeriksaan darah tepi ditemukan anemia hipokrom mikrositik dengan kadar besi menurun, TIBC normal dan feritin normal. Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi defisiensi besi dan infeksi atau penyakit inflamasi yang menyebabkan terperangkapnya besi di dalam sel-sel imun (makrofag), gangguan metabolisme besi, serta penurunan produksi eritropoeitin. Pada pasien dengan inflamasi kronik seringkali sulit untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia yang disebabkan inflamasi kronik. Kadar feritin dapat normal semu pada inflamasi kronik, walaupun sebenarnya terjadi deplesi besi.26,27 Kemungkinan penyebab anemia pada pasien ini adalah multifaktorial, yaitu defisiensi besi dan inflamasi kronik. Preparat besi pada gizi buruk tidak diberikan pada fase stabilisasi atau transisi karena dapat menyebabkan stres oksidatif dan memacu pertumbuhan bakteri. Suplementasi besi mulai diberikan pada fase rehabilitasi atau saat pasien dipulangkan. Diagnosis gizi buruk dan perawakan pendek pada pasien ditegakkan atas dasar klinis (wasting) dan status antropometri. Penyebab malnutrisi pada pasien adalah kombinasi kurangnya asupan nutrisi yang telah berlangsung lama dan infeksi TB. Status gizi pasien membaik, ditandai dengan peningkatan berat badan, pada saat awal perawatan BB 16 kg dan BB saat ini 17,2 kg. Meskipun demikian kenaikan berat badan yang dicapai oleh pasien belum sesuai target yaitu 50 mg/kg/minggu sesuai pedoman WHO untuk gizi buruk. Hal ini disebabkan karena penyakit dasar pasien yang belum teratasi yaitu belum dilakukannya debridemen dan drainase abses paravertebra pada pasien karena keterbatasan dana. Pemantauan berat badan, tinggi badan, dan lingkar
184
lengan atas perlu dilakukan secara berkala untuk mengetahui respons terapi. Tata laksana gizi buruk meliputi 10 langkah tata laksana menurut WHO. Pada awal perawatan, pasien mendapatkan F100 6x200 ml. Pada minggu ke-2, karena toleransi pasien baik, maka kalori diet ditingkatkan menjadi F100 8x250ml diberikan melalui selang NGT. Pada minggu selanjutnya, karena intake sudah baik dan pasien sudah mulai mau intake per oral maka diet diubah menjadi ML 1000 kal dan F100 5x250 ml. Pada pasien gizi buruk didapatkan defisiensi mikronutrien akibat kurangnya asupan, adanya malabsorpsi dan gangguan metabolisme. Suplementasi mikronutrien pada pasien diberikan berdasarkan pedoman tata laksana gizi buruk WHO, yaitu vitamin A, asam folat dan mineral mix yang mengandung magnesium, seng, dan kuprum dan selenium. Adanya perawakan pendek menunjukkan bahwa malnutrisi yang dialami bersifat kronik. Adanya perawakan pendek menunjukkan bahwa malnutrisi yang dialami bersifat kronik. Dalam menangani kasus TB pada anak, hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan kepatuhan berobat untuk menghindari resistensi kuman M.Tuberkulosis dan pencarian kasus TB dewasa yang menjadi sumber penularan. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal untuk mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Pencarian kasus TB baru di daerah dengan insidens TB yang tinggi, sumber utama penularan mungkin bukan anggota keluarga tapi orang di luar keluarga tersebut. Pada kasus ini, orang tua dan saudara pasien telah melakukan pemeriksaan dan hasilnya negatif. Hal ini mengindikasikan perlunya pencarian kasus dalam ruang yang lebih luas. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan memiliki kontak erat dengan anak tersebut. Bila dihubungkan dengan kalender terjadinya penyakit TB di berbagai organ menurut Wallgreen, TB tulang terjadi dalam waktu 3 tahun sejak infeksi TB. Hal ini mengindikasikan kemungkinan pasien kontak dengan penderita TB saat berusia kurang lebih 9 tahun. Pada kasus ini sumber penularan yang mungkin adalah nenek pasien yang sudah meninggal saat pasien berusia 9 tahun dengan riwayat adanya batuk-batuk lama dan berdarah. Ketiga kakak pasien yang berisiko tinggi tertular harus diperiksa uji tuberkulin. Apabila ketiga kakak pasien belum terinfeksi, maka harus diberikan profilaksis INH dengan dosis 510 mg/kgBB/hari, selama 6 bulan.28,29
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
Diagnosis dan tata laksana spondilitis TB pada anak
Status imunisasi yang tidak lengkap juga harus mendapat perhatian karena pasien tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakitpenyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada kasus ini, pasien direncanakan untuk catch up imunisasi berupa vaksinasi hepatitis B, dT, polio, hepatitis A, varisela dan MMR. Vaksin DTaP tidak diindasikan pada anak usia 7 tahun hal ini dilakukan untuk mencegah efek samping komponen pertusis yang lebih berat pada usia tersebut. Vaksin dT diberikan dengan interval 4 minggu antara dosis 1 dan 2, interval 6 bulan antara dosis 2 dan 3, dan interval 6 bulan antara dosis 3 dan 4. Vaksin hepatitis B diberikan dengan interval 4 minggu antara dosis 1 dan 2 dan antara 8 minggu antara dosis 2 dan 3. Vaksin MMR diberikan dengan interval 4 minggu antara dosis 1 dan 2. Vaksin polio oral tidak perlu diberikan 4 dosis bila dosis ketiga diberikan pada usia 4 tahun.30 Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan tulang. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah berat dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.20 Kepatuhan terhadap terapi dan resistensi obat merupakan faktor tambahan yang secara signifikan mempengaruhi prognosis setiap individu. Prognosis pasien dengan spondilitis TB pada sebuah penelitian oleh Park et al31 mendapatkan bahwa prognosis akan lebih baik pada usia muda dan tindakan bedah radikal. Lokasi lesi vertebra, lamanya pemberian obat, atau keparahan penyakit tidak menunjukkan luaran yang berbeda bermakna secara statistik. Penelitian lain melaporkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien yang dioperasi dibandingkan yang hanya mendapat obat anti tuberkulosis saja.32
kan dengan jelas. Penjelasan mengenai pentingnya keteraturan dan kepatuhan minum obat sebaiknya diberitahukan baik kepada pasien maupun orangtua. Orangtua harus mengetahui bahwa masalah yang dihadapi pasien saat ini adalah infeksi TB di paru dan di tulang belakang, masalah nutrisi, dan anemia. Semua masalah ini harus diterapi secara simultan. Bila pasien telah menjalani operasi dan rawat jalan, orangtua harus mengerti pemantauan yang harus dilakukan. Orangtua harus diedukasi untuk melengkapi status imunisasi pasien dan ketiga kakaknya, dan yang tidak kalah penting adalah mencari sumber penularan TB di lingkungan pasien. Pada kasus ini orangtua pasien dapat menerima kondisi pasien, namun agak kesulitan dalam memahami perjalanan penyakit, sumber penularan, komplikasi, terapi yang harus dijalani, serta prognosis penyakit. KESIMPULAN Spondilitis TB merupakan masalah yang kompleks pada anak. Permasalahan ini tidak hanya meliputi lingkup medis, namun juga memberikan dampak sosial bagi anak dan keluarganya. Kondisi ini dapat dicegah bila klinisi mampu memahami dan melakukan diagnosis dini. Keberhasilan dalam tatalaksana Spondilitis TB sangat tergantung cepatnya diagnosis ditegakkan. Hal ini juga mencegah terjadinya komplikasi lain yang lebih luas, seperti yang terdapat dalam kasus ini. Terapi Spondilitis TB meliputi terapi farmakologi, rehabilitasi medis, dan pembedahan. Perlu adanya kerjasama antar departemen yang terlibat agar penanganann kasus menjadi komprehensif. DAFTAR PUSTAKA
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah ad bonam karena terapi OAT segera diberikan segera setelah diagnosis kerja ditegakkan. Prognosis quo ad functionam malam dan quo ad sanactionam dubia ad malam. Kedua hal ini ditentukan oleh respons terhadap terapi OAT dan keberhasilan terapi bedah. Prognosis ad fungsionam malam karena defisit neurologis yang terjadi sudah cukup berat dan sudah berlangsung lama. Kerusakan vertebra pada pasien yang tidak diikuti dengan tindakan debridemen dan laminektomi dekompresi serta vertebra karena keterbatasan biaya menyebabkan prognosis yang kurang baik pada kasus ini. Pada pasien diperlukan pemantauan klinis dan pemeriksaan penunjang MRI lanjutan untuk menentukan prognosis ini.
1.
Fenichel GM. Paraplegia and quadriplegia. Dalam: Fenichel GM. Clinical pediatric neurology a sign and symptom approach, edisi ke 5. Philadelphia: Elsevier; 2005: p.255-71.
2.
Hidalgo JA. Pott disease (tuberculous spondylitis). Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/226141. Diakses pada tanggal 21 Desember 2009.
3.
Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res. 2004;120:316-53.
4.
Kotevoglu N, Tasbasi I. Diagnosing tuberculous spondylitis: patients with back pain referred to a rheumatology outpatient department. Rheumatol Int. 2004;24:9-13.
5.
Khalilzadeh S, Zahirifard S, Velayati AA. Tuberculosis of the spine in children. Tanaffos. 2002;1(3):45-9.
Komunikasi dan edukasi kepada orangtua pasien mengenai penyakit, terapi dan prognosis harus disampai-
6.
McLain RF, Isada C. Spinal tuberculosis deserves a place on the radar screen. Cleveland Clin J Med. 2004;71:537-49.
Vol. 10, No.3, Oktober 2011
185
DAMIANUS Journal of Medicine
7.
Toppare MF, Gocroen A, Kiper N, Gogus T. Tuberculous spondylitis and intermittent chemotherapy in childhood. J Trop Pediatr. 1993;39: 255-7.
8.
Turgut M. Spinal tuberculosis (Pott's disease): its clinical presentation, surgical management, and outcome. A survey study on 694 patients.Neurosurg Rev. 2001;24:8-13.
9.
Teo HEL, Peh W CG. Skeletal tuberculosis in children. Pediatr Radiol. 2004; 34: 853-60.
10. Tuberkulosis dalam keadaan khusus. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.h. 47-67. 11. Odey FA, Umoh UU, Meremikwu MM, Udosen AM. Potts disease in children and adolescents in Calabar, Nigeria . The Int J Infect Dis. 2007;6(1):1-6. 12. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C. Diagnosis. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.23-45.
21. Nussbaum ES, Rockswold GL, Bergman TA, Erickson DL, Seljeskog EL. Spinal tuberculosis: a diagnostic and management challenge. J neurosurg. 1995; 83:243-7. 22. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics (SICOT). 2008;32:127-33. 23. Cunha BA. Pulmonary tuberculosis and steroids. Chest. 1995;107;1486-7. 24. Loenhouf-Rooyackers van JH, Verbeek ALM, Jutte PC. Chemotherapeutic reatment for spinal tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2002;6:259-65. 25. Ramachandran S, Clifton IJ, Collyns TA, Watson JP, Pearson SB. The treatment of spinal tuberculosis: a retrospective study. Int J Tuberc Lung Dis. 2005;9:541-4. 26. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352:1011-23.
13. Marais BJ, Gie RP, Hesseling AC, Schaaf HS, Lombard C, Enarson DA, et al. A refined symptombased approach to diagnose pulmonary tuberculosis in children. Pediatrics. 2006;118:e1350-60.
27. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: BP IDAI; 2005.p. 30-43.
14. Muzaffar TMS, Shaifuzain AR, Imran Y, Haslina MN. Hematological changes in tuberculous spondylitis patients at the Hospital Universiti Sains Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;39(4):686-9.
28. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C. Tata laksana. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.47-66.
15. Burrill J, W illiams CJ, Bain G, Londer G, Hine AL, Misra RR. Tuberculosis: a radiologic review. Radigraphics. 2007;27:1255-73.
29. Ahmed T, Sobhan F, Ahmed AMS, Banu S, Mahmood AM, Hyder KA. Childhood tuberculosis: a review of epidemiology, diagnosis and management. Infect Dis J Pak. 2008;17:53-60.
16. Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J neurosurg spine. 2005;2:145-50. 17. Buxi TBS, Sud S, Vohra R. CT and MRI in the diagnosis of tuberculosis. Indian J Pediatr. 2002;69:96572. 18. Bajwa GR. Evaluation of the role of MRI in spinal tuberculosis: a study of 60 cases. Pak J Med Sci. 2009;25:944-7. 19. Kotil K, Alan MS, Bilge T. Medical management of pott diseasein the thoracic and lumbar spine: a prospective clinical study. J Neurosurg Spine. 2007;6:222-8. 20. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C. Tuberkulosis dengan keadaan khusus. Dalam: Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita C, ed. Pedoman nasional tuberkulosis anak, edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2007.p.67-94.
186
30. Advisory Committee on immunization, American academy of Pediatrics, American academy of Family Physicians. The recommended immunization schedule for persons aged 0-18 years. Diunduh dari: http:// www.cdc.gov. Diakses pada tanggal 14 Juni 2009. 31. Park DW, Sohn JW, Kim EH, Cho DI, Lee JH, Kim KT, et al. Outcome and management of spinal tuerculosis according to the severity of disease: a retrospective study of 137 ault patients at korean teaching hospitals. Spine. 2007;32: p.130-5. 32. Enam SA, Shah AA. Treatment of spinal tuberculosis: role of surgical intervention. Pak J Neurol Sci. 2006;1:145-51.
Vol. 10, No.3, Oktober 2011