232
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
ORIGINAL ARTICLE
Kebutaan Akibat Kelainan Mitokondria: Gejala, Diagnosis, dan TataLaksana Suportif Ratna Sitompul Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Email :
[email protected]
ABSTRACT Mitochondria is an important organelle in the cell acting as its powerhouse. Damage in the mitochondria leads to cell death thus it is crucial to organs utilizing plenty of energy such as the eyes. Mitochondrial disease in the eye can be primary or secondary. Primary mitochondrial diseases of the eye include dominant optic atrophy, leber hereditary optic neuropathy, chronic progressive external ophthalmoplegia, and retinitis pigmentosa. Secondary mitochondrial eye diseases include diabetic retinopathy, age-macular degeneration and glaucoma. Mitochondrial damage can also trigger growth of ocular neoplasm (retinoblastoma and uveal melanoma) are also part of mitochondrial eye diseases. However, it is still a challenge to diagnose mitochondrial eye diseases. Methods that can be used are genetic sequencing, radiological examinations to look for other syndromic signs, as well as biochemistry and histochemistry assays. Definitive therapy for mitochondrial eye diseases are still under research and to date the management is supportive in the form of food supplementation. Keywords: primary mitochondrial diseases, secondary mitochondrial disease, mtDNA.ROS, ocular tumour
M
Mitokondria adalah organel yang berfungsi menghasilkan energi, menjaga integritas sel, regulasi kalsium, biosintesis steroid, metabolisme nukleotida, dan inisiasi proses apoptosis. 1 Jumlah mitokondria pada setiap jaringan berbeda tergantung pada kebutuhan energi sel tersebut. Organ yang memiliki kebutuhan energi yang besar antara lain adalah jantung, otak, hati dan mata. Mitokondria umumnya berbentuk silider memanjang, terdiri atas 2 lapis membran yaitu membran dalam dan membran luar yang menyebabkan terbentuknya dua ruang terpisah. Pada membran dan ruang ini terjadi difusi ion dan substrat yang cepat, pertukaran elektron yang menghasilkan
energi untuk memindahkan proton sehingga terbentuk gradien proton yang digunakan sel untuk mengubah ADP menjadi ATP. Proses fosforilasi oksidatif ini selain menghasilkan energi juga menghasilkan molekul tidak stabil yang disebut radikal bebas. Radikal bebas mudah bereaksi dengan protein, lipid dan DNA yang mengakibatkan berbagai kerusakan sel. Dibandingkan dengan DNA inti, mt DNA 10 kali lebih rentan terhadap paparan radikal bebas sehingga mudah terjadi gangguan fungsi respirasi mitokondria, penumpukan molekul makro, meningkatkan mutasi mtDNA, mengganggu kemampuan memperbaiki diri, serta mengakibatkan kematian sel.
Kebutaan akibat kelainan mitokondria : gejala, diagnosis, dan tata laksana suportif
Kerusakan di mitokondria dapat menurunkan produksi energi dan kematian sel.2,3 Di mata kerusakan mitokondria dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan.3 Penyakit mitokondria dibagi dua yaitu penyakit mitokondria primer dan mitokondria sekunder.4 Penyakit mitokondria primer disebabkan oleh kegagalan fungsi mitokondria secara langsung di dalam mtDNA atau DNA nukleus (nDNA). Penyakit mitokondria sekunder disebabkan oleh faktor lingkungan dengan/tanpa gangguan genetik lain.3,5 Ragged-red fibers (RRF) di otot akibat abnormalitas mitokondria merupakan gambaran khas sehingga digunakan sebagai alat diagnostik.6 Penyakit mitokondria primer di mata adalah dominant optic atrophy (DOA), leber hereditary optic neuropathy (LHON), chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO), dan retinopati pigmentosa. Penyakit mitokondria sekunder terjadi pada retinopati diabetik, age-related macular degeneration (AMD) dan glaukoma. Penyakit mata lain terkait mitokondria adalah neoplasma okular seperti retinoblastoma dan melanoma uvea. 7 Penyakit mitokondria yang memberikan manifestasi neuro-oftalmik adalah bilateral optik neuropati, oftalmoplegia, atrofi optik, sindrom kearn-sayre dan retro-chiasmal visual loss. Penyakit tersebut dapat terjadi bersama kelainan neurologi atau gejala sistemik lain.8
Dominant Optic Atrophy Dominant optic atrophy (DOA) adalah penyakit genetik yang mengenai sel ganglion retina dan lapisan saraf retina. Penyebabnya adalah mutasi gen OPA1 (3q28-q29) yang mengkode protein dinamin GTPase di membran dalam mitokondria. Protein GTPase banyak terdapat di sel ganglion retina, bagian dalam telinga dan otak.3,9 Gejala khas DOA adalah kehilangan visus yang lambat, simetris, tanpa nyeri di
233
kedua mata. DOA terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan gejala klinis kehilangan visus pada usia 4-6 tahun. Pada funduskopi, tampak cupping diskus optikus. Pemeriksaan MRI menunjukkan kehilangan jaringan yang bermakna dan nervus optikus menipis. Tomografi dan elektrofisiologi visual dapat digunakan untuk mengeksklusi kelainan di retina dan memastikan disfungsi nervus optikus. Tata laksana spesifik DOA hingga saat ini belum ditemukan.8
Bilateral optic neuropati LHON adalah penyakit mitokondria primer berupa mutasi titik mtDNA yang bermanifestasi sebagai neuropati optik bilateral. Terjadinya LHON diduga akibat proses fosforilasi oksidatif abnormal dan pembentukan ATP yang kurang adekuat sehingga merusak lapisan sel ganglion retina namun tidak mengganggu pigmen epitel dan fotoreseptor. Mutasi G11778A dapat menurunkan ekspresi OPA1 sehingga struktur mitokondria terfragmentasi, potensial membran menghilang, dan kerusakan struktur krista mitokondria di nervus optikus. Hal tersebut dapat menyebabkan visus menghilang di satu mata tanpa rasa nyeri, subakut dan terletak sentral. Mata kedua dapat mengalami gangguan serupa dalam 6-8 minggu.8,10 Gejala LHON diawali dengan skotoma cecocentral, kemudian menjadi defek sentral yang lebih luas. Sering terjadi diskromatopsia yang berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan. Pada fase akut dapat terjadi penurunan tajam penglihatan, pada pemeriksaan funduskopi terlihat hiperemis diskus optikus, telangiektasia peripapiler, pembuluh darah berliku-liku dan edema diskus optikus. Hiperemis diskus, telangiektasia peripapiler dan pseudoedema dapat membaik. Enam minggu setelah penurunan tajam penglihatan, diskus optikus dapat menjadi pucat, disertai cupping. Visual evoked potentials (VEP) dan elektroretinogram (ERG) dapat
234
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
menunjukkan degenerasi serat nervus optikus. Magnetic resonance imaging (MRI) mata pada pasien LHON menunjukkan gambaran normal.10
Chronic Progressive Ophthalmoplegia
External
Chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO) adalah penyakit mitokondria yang mengenai otot ekstraokular; dapat menimbulkan ptosis dan diplopia. Tajam penglihatan biasanya tidak terganggu namun dapat terjadi atrofi papil optik dan gangguan retina.3 Gejala klinis lainnya adalah strabismus, ptosis, dan oftalmoplegia eksternal progresif. CPEO juga dapat menimbulkan gangguan gastrointestinal (60%), migren (40%), defek konduksi kardium (5%), dan retinopati pigmentosa (2,5%).3 Diagnosis CPEO ditetapkan berdasarkan biopsi sel otot rangka terutama otot ekstra-okular dengan gambaran histologi berupa RRF dan ditemukan delesi mtDNA.3
Sindrom Kearns-Sayre Sindrom kearns-sayre (SKK) adalah penyakit mitokondria yang memiliki manifestasi berupa oftalmoplegia eksternal progresif, retinopati pigmentosa dengan defek konduksi kardium, abnormalitas otot, disfagia, dan gangguan neurologis. SKK biasanya timbul sebelum usia 20 tahun dan berhubungan dengan delesi heteroplasmik pada mtDNA.11,12 Manifestasi klinis SKK berhubungan dengan mutasi titik mtDNA karena mutasi itu menginduksi stres oksidatif yang merusak sel epitel pigmen retina (EPR) dan memberikan gambaran retinopati dengan bentuk salt and pepper. 8
Kehilangan Penglihatan akibat Jaras Retrokiasma Penyakit mitokondria dapat mengakibatkan pasien kehilangan penglihatan karena terganggunya jaras visual retrokiasma yang biasanya disebabkan oleh sindrom MELAS. Gejala klinisnya berupa episode seperti stroke di regio parieto-oksipital, nyeri kepala berulang, mendadak, muntah, kejang fokal dan umum, hemianopsia atau cortical blindness tanpa neuropati optik atau retinopati pigmentosa. Pada pemeriksaan oftalmoskop dan refleks pupil tidak dijumpai gangguan.8
Penyakit Mitokondria Sekunder di Mata Mata sangat rentan terhadap kerusakan mitokondria karena merupakan organ yang memerlukan banyak energi. Mitokondria adalah organel pembentuk stres oksidatif dan radikal bebas sehingga merupakan mediator apoptosis selular. Kerusakan mitokondria yang disebabkan oleh stres oksidatif merupakan faktor utama gangguan mata yang berhubungan dengan umur seperti retinopati diabetes, AMD dan glaukoma.3 1. Retinopati Diabetik Patogenesis RD berhubungan dengan kondisi hiperglikemia, advanced glycation end products (AGEs), protein kinase C (PKC), stres oksidatif, dan respons inflamasi dengan hiperglikemia sebagai penyebab utama komplikasi DM.16 Secara langsung, gangguan insulin mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang mengakibatkan RD. Secara tidak langsung, hiperglikemia meningkatkan stres oksidatif dan atau produk advanced glycation/lipoxidation. Masuknya glukosa dalam jumlah besar melalui jaras aldose reduktase atau poliol dapat meningkatkan produksi AGEs, biosintesis heksosamin, aktivasi
Kebutaan akibat kelainan mitokondria : gejala, diagnosis, dan tata laksana suportif
diasil gliserol/PKC, dan membentuk ROS di mitokondria. Hasil akhir kondisi hiperglikemi adalah apoptosis sel EPR, membran basal kapiler menebal, rasio luas perisit dan penampang lintang kapiler menurun, jumlah kapiler aseluler meningkat, aktivitas superoksida mangan dismutase (SMD) dan katalase menurun.16-18 Akumulasi glukosa dalam jumlah banyak menyebabkan akumulasi AGEs dalam waktu singkat. AGEs yang terbentuk berikatan dengan reseptor AGEs (RAGE) yang banyak dijumpai di sel retina pasien DM. Regulasi AGE di retina yang meningkat dapat membentuk prooksidan dan aktivasi jaras sinyal pro-inflamasi.16-18 AGEs dapat meningkatkan proses cross-linking protein sehingga pembuluh darah menjadi kaku, struktur dan fungsi vaskular berubah serta terganggunya interaksi vaskular dengan reseptor AGEs. Interaksi AGEs dan RAGE mengaktivasi NADPH oksidase sehingga terjadi transduksi jaras sinyal yang mengaktivasi nuclear factor-kB (NF-kB) dan menimbulkan respons inflamasi, neurodegenerasi, disfungsi mikrovaskular, dan kerusakan retina.6-18 Pada hiperglikemi, ROS menghambat enzim glikolitik GADPH sehingga timbul sintesis DAG. Peningkatan DAG mengaktivasi isoform PKC (β1/2) yang mengubah permeabilitas endotel, hemodinamik retina, ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) di retina, dan leukostasis. Ekspresi isoform PKC meningkatkan produksi ROS dan stres oksidatif.16,18 Peningkatan kadar ROS di retina dapat memutuskan rantai DNA dan mengaktivasi poli-ADP ribosa polimerase (PARP) sehingga aktivitas gliseraldehid fosfat dehidrogenase (GADPH) terhambat dan terjadi akumulasi metabolit yang mengaktivasi AGE, PKC β2, poliol, dan heksosamin sehingga merusak sel retina. Aktivasi
235
metaloproteinase (MMP-2) menyebabkan disfungsi mitokondria, mengaktifkan apoptosis dan kematian sel endotel retina.18,19 2. Age-related Macular Degeneration Age-related macular degeneration (AMD) adalah penyakit kronik progresif penyebab utama kebutaan di dunia.20 Faktor risiko AMD adalah usia, ras kaukasia, merokok, obesitas, konsumsi lemak, alkohol, hipertensi, pajanan sinar matahari, penyakit kardiovaskular, serta polimorfisme gen terutama gen complement factor H (CFH) yang berhubungan dengan imunitas bawaan, C2, C3 dan ARMS2/HRTA1. Makula tidak memiliki sel pigmen yang berfungsi sebagai pelindung sehingga sel ganglion di retina rentan terhadap kerusakan akibat panjang gelombang rendah (400-760nm). Disfungsi mitokondria lebih sering terjadi di retina karena penyusunan ulang dan delesi mtDNA lebih banyak di retina dibandingkan dalam darah.21-24 Pada AMD terjadi disrupsi homeostasis sistem imun mata sehingga mengaktifkan kaskade inflamasi dan imunologi serta kerusakan sel retina. Sel imun di retina yang teraktivasi berlebih, persisten dan konstan mengakibatkan degenerasi retina dan aktivasi sistem komplemen memicu aktivitas sitolitik di retina.24 Mekanisme tersebut menyebabkan pembentukan drusen, perubahan pigmen, atrofi geografik dan atau neovaskularisasi koroid pada AMD tahap lanjut. Drusen merupakan metabolit retina di bawah EPR dan membran bruch yang dapat menghalangi transpor komponen nutrisi dan metabolit. Dalam drusen, terdapat protein plasma, apolipoprotein E, kolesterol, polisakarida, glikoprotein dan amiloid plasma P yang berperan dalam inaktivasi komplemen dan pembentukan membrane attach complex (MAC). Drusen meningkatkan proses
236
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
inflamasi lokal serta degenerasi fotoreseptor dan EPR.25 AMD dibagi dua yaitu dry AMD dan wet atau neovascular AMD (NVAMD). Pada tahap awal dry AMD, timbul drusen berbentuk fokal putih kekuningan di antara EPR dan membran bruch, karakteristik hard atau soft, berukuran kecil (<63μm), sedang (63 hingga <125 μm) atau besar (≥125μm). Hard drusen berbentuk bulat, berwarna kuning keputihan, <63μm, tidak berhubungan dengan usia, neovaskularisasi dan biasanya pada populasi berusia >30 tahun. Soft drusen berbatas tidak jelas, tidak berdiri sendiri, berukuran >63μm, berhubungan dengan usia dan lebih berisiko neovaskularisasi. Gejala lain dry AMD adalah atrofi geografik, serta hipopigmentasi atau depigmentasi karena perubahan EPR.26 NVAMD memberikan gejala utama neovaskularisasi di makula. Neovaskularisasi dapat menyebabkan kerusakan permanen penglihatan sentral karena fibrovaskular atau bekas atrofi makular. Diagnosis AMD dapat ditetapkan secara klinis atau dengan fundus autofluorescence (FAF), optical coherence tomography (OCT), fluorescein angiography (FA) dan indocyanine green angiography (ICG).26 3. Glaukoma Glaukoma merupakan penyakit optik neuropati progresif yang ditandai dengan defek lapang pandang dan atrofi nervus optikus akibat peningkatan tekanan introkular.27,28 Glaukoma dibagi dua yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Glaukoma sudut terbuka terjadi ketika aliran aqueous humor bebas masuk ke trabecular meshwork, sedangkan glaukoma sudut tertutup timbul ketika aliran aqueous humor tidak dapat mencapai trabecular meshwork akibat
obstruksi.27 Kedua jenis glaukoma tersebut digolongkan lagi menjadi glaukoma primer atau sekunder berdasarkan faktor pemicu. Glaukoma sekunder berasal dari proses patologis lain seperti vaskulopati, keganasan dan trauma.29 Faktor risiko glaukoma sudut terbuka adalah peningkatan tekanan intraokular, usia tua, cup-to-disc ratio (CDR) dan penipisan kornea sentral. Usia tua, jenis kelamin perempuan, etnis Asia dan hiperopia berisiko mengalami glaukoma sudut tertutup yang lebih besar.29 Patogenesis glaukoma adalah peningkatan tekanan intraokular dan iskemia jaringan. Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan kompresi akson sel nervus optikus di lamina kribosa sehingga transpor neurotropin ke sel ganglion retina terganggu dan terjadi apoptosis. Peningkatan tekanan intra okular adalah pemicu kerusakan mtDNA, mengganggu fungsi mitokondria sehingga semakin meningkatkan produksi radikal bebas. Keadaan ini akan mengganggu fungsi enzim repair di mitokondria dan semakin meningkatkan kerusakan ireversibel dan mutasi mtDNA yang menyebabkan kerusakan sel ganglion retina walaupun tekanan intra okular telah normal kembali.31 Trabecular meshwork berperan penting dalam pengeluaran aqueous humor sehingga mempengaruhi tekanan intraokular. Di segmen posterior, radikal bebas dapat merusak sel ganglion retina dan nervus optikus sehingga terjadi kaskade glaukoma.31 Proses kaskade glaukoma melibatkan peran nitrat oksida (NO), endotelin, matriks ekstraseluler, metaloproteinase, dan faktor lainnya. Ketika tekanan intraokular meningkat, NOS2 akan teraktivasi dan produksi NO meningkat, mengakibatkan ketidakseimbangan vasodilator (NO) dan vasokonstriktor (endotelin). NO
Kebutaan akibat kelainan mitokondria : gejala, diagnosis, dan tata laksana suportif
berinteraksi dengan oksigen, besi dan atau tembaga sehingga mengubah struktur dan mobilitas trabecular meshwork. Endotelin (ET) berperan dalam regulasi tekanan intraokular dan mobilitas trabecular meshwork. ET-1 dapat menginduksi kontraksi trabecular meshwork sehingga resistensi meningkat dan mengganggu pengeluaran aqueous humor. ET-1 meningkatkan kadar kalsium intraselular, vasokonstriksi, dan atau vasospasme sehingga terjadi gangguan autoregulasi mirkosirkulasi retina yang menimbulkan iskemia jaringan.31 Pada glaukoma, terjadi perubahan jaringan trabecular meshwork yang menyerupai proses aterosklerosis. Deposisi matriks juga berperan dalam penyumbatan aliran aqueous humor.31 Matriks metaloproteinase (MMP), berfungsi pada proses degradasi matriks ekstraselular sehingga berperan pada perombakan jaringan. Sel akan mensekresikan MMP yang berperan sebagai proenzim dan inhibitor jaringan yang berfungsi menurunkan kerja MMP. Pada aqueous humor terdapat peningkatan kadar MMP, terutama MMP-1 dan MMP-3 oleh sel inflamasi dan trabekular. Akibatnya, terjadi perubahan kadar substrat MMP seperti kolagen, elastin, fibronektin, gelatin, tenascin dan laminin. Inhibisi aktivitas MMP dapat meningkatkan tekanan intraokular karena perubahan kadar matriks ekstraseluler.31 Pada glaukoma, brain-derived neutrotrophic factor (BDNF) berperan penting dalam kelangsungan hidup sel ganglion retina. Di sisi lain, terdapat sel glia yang merusak neuron dan kematian sel ganglion retina melalui pelepasan sitokin, ROS atau NO. Pelepasan mediator dapat menginduksi apoptosis. Glutamat berperan sebagai neutrotransmiter eksitatorik dalam proses konduksi sinyal antar neuron.
237
Kadar tinggi glutamat dapat menginduksi kematian neuron.32 Pada glaukoma sudut terbuka jarang timbul gejala dan biasanya terdeteksi pada pemeriksaan mata rutin sedangkan pasien glaukoma sudut tertutup selalu datang dengan penurunan tajam penglihatan, nyeri, eritema konjungtiva dan edema kornea. Peningkatan tekanan intraokular, penurunan lapang pandang hingga penglihatan terowongan juga dapat dijumpai. Pasien dapat menjadi buta meskipun waktu yang diperlukan sekitar 25 tahun. Diagnosis glaukoma dapat ditegakkan dengan menemukan kerusakan saraf pada pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan lapang pandang dan peningkatan tekanan intraokular.32
Neoplasma Okular Neoplasma okular jarang ditemukan tetapi angka kematian dan morbiditasnya tinggi. Gangguan fungsi mitokondria dapat menyebabkan mutasi mtDNA berperan memicu proliferasi sel yang tidak terkontrol sehingga terjadi pertumbuhan sel tumor.33 Dua kanker mata yang paling banyak dipelajari adalah retinoblastoma dan melanoma uvea.3 1. Retinoblastoma Retinoblastoma merupakan neoplasma okular yang paling sering terjadi pada usia 1-2 tahun; insidensnya 1 dari 14.000 hingga 18.000 kelahiran hidup.33 Terdapat dua jenis retinoblastoma yaitu retinoblastoma bilateral atau multifokal dan unilateral atau unifokal. Retinoblastoma bilateral merupakan 25% dari seluruh kasus, karakteristiknya berupa mutasi germinal gen Rb1 yang diturunkan (25%) atau mutasi germinal (75%). Retinoblastoma unilateral merupakan 75% dari seluruh retinoblastoma dan sebagian besar nonherediter (90%).34
238
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
Retinoblastoma tipe herediter (40% kasus) biasanya bersifat multifokal, bilateral dan terjadi pada usia muda. Terdapat mutasi germinal yang diturunkan (hit pertama) dan ketika mutasi kedua (hit kedua) pada saat retina berkembang dapat timbul retinoblastoma. Bentuk retinoblastoma nonherediter (60% kasus) biasanya unilateral, unifokal, muncul pada usia lebih tua dan terdapat dua mutasi berbeda pada alel dari gen retinoblastoma. Gangguan terjadi di sel somatik retina yang sedang berkembang.35 Gen Rb1 merupakan tumor suppressor gene (TSG) pada manusia yang pertama kali teridentifikasi; terletak di kromosom 13q14 dan berperan penting pada regulasi proses replikasi seluler. Laju siklus sel yang tidak terhenti menyebabkan 35 pembentukan tumor. Selain itu pRB (retinoblastoma protein) berperan langsung menyebabkan apoptosis melalui jalur apoptosis di mitokondria. Gejala klinis yang paling sering adalah leukokoria atau pupil berwarna putih (56%) diikuti strabismus, mata merah, nyeri dan hilangnya tajam penglihatan. Terdapat tiga gambaran tumor yaitu tumor dengan pola endofitik (tumor tumbuh ke dalam rongga vitreus), eksofitik (tumor tumbuh ke arah rongga subretina, biasanya menyebabkan ablasio retina) dan diffuse infiltrating tumor (retina terlibat secara difus sehingga menebal). Gejala lain yang bersifat atipik adalah pseudohipopion, hifema spontan, perdarahan vitreus, ftisis bulbi dan selulitis. Pada tahap lebih lanjut, terjadi proptosis sekunder karena ekstensi ke nervus optikus atau orbita dan metastasis sistemik.36 Untuk menegakkan diagnosis diperlukan evaluasi klinis dan ultrasonografi menggunakan B-scan. Funduskopi bilateral merupakan pemeriksaan paling penting karena
dapat mendiagnosis 90% kasus. Pelu dilakukan pengukuran tekanan intraokular dan pemeriksaan segmen anterior untuk mengetahui neovaskularisasi, pseudohipopion, hifema dan tanda inflamasi lainnya. CT scan dan MRI dapat diandalkan terutama pada kasus dengan manifestasi klinis atipik dan kecurigaan ekstensi tumor ekstraokular atau intrakranial. 36 2. Melanoma Uvea Melanoma uvea adalah kanker agresif dengan prognosis buruk; mencakup 3,7% kasus melanoma.3 Insidensnya lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (rasio 1,29).37 Melanoma uvea dapat mengenai seluruh traktus uvea. Subtipe melanoma uvea adalah melanoma koroid, iris dan badan siliar. Melanoma koroid merupakan melanoma uvea yang paling sering (insidens 86,3%). Bersama melanoma badan siliar, melanoma koroid disebut melanoma uvea posterior dengan gejala klinis lebih ringan dibandingkan melanoma iris atau melanoma uvea anterior. Melanoma iris lebih sering mengenai usia di bawah 20 tahun (insidens 21%) dari seluruh melanoma uvea pada kelompok usia tersebut.37 Faktor risiko melanoma uvea adalah riwayat kongenital okular, melanositosis okulodermal dan nevus uvea. Warna mata, kulit putih dan pajanan sinar matahari juga meningkatkan risiko melanoma uvea.43 Patogenesis melanoma uvea berhubungan dengan melanosit di uvea. Sel melanosit adalah sel yang berasal dari sel krista neuralis pluripoten, bermigrasi keluar dari krista dan menetap di epidermis, dermis dan uvea. Molekul yang berperan dalam perkembangan melanosit di uvea adalah endotelin-3 (ET3) dan hepatocyte growth factor (HGF).38 Mutasi gen GNAQ atau GNA11 dapat mengaktivasi jaras mitogenactivated protein kinase (MAPK) yang
Kebutaan akibat kelainan mitokondria : gejala, diagnosis, dan tata laksana suportif
merupakan analog mutasi BRAF pada melanoma kutan. Mutasi germinal gen yang berperan dalam mengkode BRCA1-associated protein 1 (BAP1) di kromosom 3p21 juga berperan dalam progresivitas, ukuran tumor yang lebih besar dan keterlibatan badan siliar pada 5% pasien melanoma uvea.39 Gejala klinis melanoma uvea bergantung pada ukuran dan lokasi tumor mulai dari asimtomatik hingga penurunan tajam penglihatan. Keluhan paling sering adalah penglihatan buram, gangguan lapang pandang, fotopsia, iritasi, nyeri mata, metamorfopsia, floaters, dan mata merah. Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan ablasio retinae sekunder, tajam penglihatan menghilang atau ruptur membran bruch.37 Melanoma koroid dapat terlihat seperti massa subretina berbentuk kubah atau jamur. Melanoma badan siliar dapat mengubah letak lensa sehingga terjadi gangguan refraksi, akomodasi, katarak dan peningkatan tekanan intraokular. Sebelum simptomatik, melanoma badan siliar dapat terlihat saat pupil mengalami dilatasi sempurna dengan gambaran seperti kubah atau lesi yang menetap. Melanoma iris dicurigai ketika terlihat titik pigmen yang baru di iris.37 Diagnosis melanoma uvea ditetapkan melalui pemeriksaan oftalmologi yaitu slit lamp, oftalmoskopi indirek, USG, fluoresen angiografi, dan optical coherence tomography. Dengan pemeriksaan tersebut, diagnosis melanoma uvea dapat ditetapkan dengan akurat (hingga 99%).37 Pemeriksaan sitogenetik (DNA atau RNA) dapat memberikan prognosis. Monosomi di kromosom 3 menunjukkan prognosis buruk dan risiko metastasis pada 50% pasien dalam waktu 3 tahun. Mutasi dan diameter tumor yang besar dapat memperkirakan harapan hidup pasien.
239
Profil ekspresi gen (GEP) dapat memperkirakan angka harapan hidup: melanoma tingkat rendah (kelas 1) memiliki 95% angka harapan hidup dibandingkan melanoma tingkat tinggi (kelas 2) dengan angka harapan hidup 31% dalam waktu 8 tahun.40
Diagnosis Penyakit Mitokondria Diagnosis penyakit mitokondria sulit ditegakkan karena sulit untuk mengamati genotip, fenotip atau manifestasi klinis. Sebagai contoh, mutasi pada mtNA dapat menimbulkan berbagai gejala seperti CPEO, sindrom MELAS dan maternal inherited diabetes and deafness (MIDD). Sebaliknya, sindrom tertentu dapat memiliki berbagai etiologi berbeda seperti sindrom leigh yang dapat disebabkan mutasi pada mtDNA dan nDNA.41 Penyakit mitokondria yang terjadi pada masa anak-anak biasanya parah dan disebabkan oleh mutasi nDNA atau mtDNA. Gejala penyakit mitokondria pada anak dapat tidak spesifik seperti hipotonia, kelemahan umum, gagal tumbuh, disotonomia, mudah lelah, intoleransi terhadap olah raga, muntah, kejang dan ensefalopati. Jika sistem saraf pusat terlibat dapat terjadi spastisitas anggota gerak dan hipotonia. Untuk membedakan hipomielinasi dan leukodistrofi akibat mutasi pada NDUFS1, DARS2 dan ISCA2 dapat digunakan MRI. Terdapat defek genetik berupa kista atau tubulopati proksimal, dan glomerulosklerosis fokal segmental. Disfungsi mitokondria dapat menimbulkan kardiomiopati hipertrofi terutama pada mutasi AARS2 atau MTO1. Mutasi pada SURF1 dan FBXL4 dapat mengakibatkan hipertrikosis sebagai bagian sindrom leigh dan dismorfik di wajah. Sindrom leigh biasanya muncul pada usia 3 bulan-2 tahun kehidupan dan berhubungan dengan mutasi pada 75 gen berbeda.41 Pada orang dewasa penyakit mitokondria melibatkan berbagai sistem
240
misalnya LHON, sindrom MELAS, sindrom kearns-sayre, epilepsi mioklonik dan neurogenic muscle weakness, ataxia dan retinitis pigmentosa (NARP), CPEO, mutasi OPA1 (atrofi optik, ataksia dan tuli) dan MFN2 (charcot-marie-tooth 41 neuropathy tipe 2A). Dalam membuat diagnosis mitokondria perlu diperhatikan gejala hingga gambaran genetik yang berbeda. Sebagai contoh, pasien kardiomiopati dan katarak dapat berhubungan dengan mutasi AGK (sindrom sengers). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah usia pasien, konsanguinitas dan mutasi genetik yang sering terjadi di daerah tertentu. Untuk mengetahui mutasi genetik perlu pemeriksaan laboratorium seperti nextgeneration sequencing. Imunofluoresen, analisis biokimia dan histokimia dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit mitokondria. Setelah diagnosis ditetapkan, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan pada saudara atau kerabat terdekat untuk deteksi dini, menggunakan spesimen dari mulut, urin dan darah.41 Untuk mendukung diagnosis penyakit mitokondria dapat dilakukan pemeriksaan biomarker untuk mengetahui metabolit intermediat dan enzim spesifik yang berperan dalam metabolisme glukosa secara anaerobik sehingga terjadi gangguan fosforilasi oksidatif. Biomarker yang dapat dipakai adalah laktat, piruvat, kreatin kinase, alanin, timidin dan deoksiuridin, asilkarnitin dan asam organik. Biomarker konvensional tidak spesifik, bahkan sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. Meskipun demikian pemeriksaan tersebut dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis sindrom tertentu, contohnya pengukuran kadar timidin dan deoksiuridin plasma untk mengetahui sindrom 41 MNGIE.
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
Tata Laksana Penyakit Mitokondria Tata laksana pada anak terutama pada tingkat keparahan tinggi, hanya bersifat suportif dan sebagai tata laksana awal komplikasi. Pada penyakit yang menyerang remaja dan orang dewasa, perlu penatalaksanaan klinis untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tujuan tata laksana penyakit mitokondria adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan memberikan suplemen makanan, intervensi pada organ spesifik dan terapi dengan target tertentu. 41 Suplemen yang dapat diberikan adalah antioksidan (vitamin C dan E); vitamin B2 yang dapat memodulasi transfer elektron mitokondria; L-arginine dan L-citrulline sebagai prekursor asam nitrat; L-carnitine yang berhubungan dengan asam lemak, dan vitamin B3 yang berperan dalam biogenesis mitokondria.41 Akumulasi zat toksik sering terjadi pada penyakit mitokondria yang disebabkan hambatan jalur metabolisme tertentu. Nasetilsistein dan metronidazol dapat menurunkan kadar hidrogen sulfida pada ensefalopati etilmalonik, penyakit mitokondria karena mutasi ETHE1 dan diturunkan secara autosom resesif. ETHE1 adalah sulfur dioksigenase yang dapat mendetoksifikasi hidrogen sulfida sehingga tidak terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. N-asetilsistein dan metronidazol dapat meningkatkan angka harapan hidup tikus yang tidak memiliki ETHE1 dan mengurangin gejala ensefalopati etilmalonik seperti diare kronik dan mikrovaskulopati difus. Terapi sulih enzim memberikan hasil cukup memuaskan. Transplantasi sumsum tulang allogenik juga berhasil untuk mengembalikan fungsi timidin fosforilase serta menurunkan kadar timidin dan deoksiuridin dalam darah penderita sindrom MNGIE. Penyakit metabolik yang disebabkan defisiensi enzim dan homeostasis dapat dipulihkan dengan pemberian enzim seperti suplementasi CoQ pada defisiensi primer
Kebutaan akibat kelainan mitokondria : gejala, diagnosis, dan tata laksana suportif
enzim tersebut. Vitamin B2 dapat memperbaiki gejala klinis pasien dengan defek NADH dehidrogenase flavoprotein 1, apoptosis-inducing factor 1, mitochondrial, acyl-CoA dehydrogenase family member 9, mitochondrial dan subunit suksinat 41 dehidrogenase flavoprotein.
12.
13.
14.
KESIMPULAN Mitokondria merupakan organel yang penting dalam kelangsungan hidup sebuah sel. Di mata, kerusakan mitokondria dapat bermanifestasi dalam berbagai penyakit termasuk memicu keganasan. Sampai saat ini penyakit mitokondria masih sulit didiagnosis dan tata laksana penyakit mitokondria di mata masih bersifat suportif. Perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai diagnosis dan tata laksana penyakit mata akibat kelainan mitokondria. Referensi 1. Scitable. Mitochondria. nature education. [diakses 12 Juli 2016]. Diunduh dari: http://www.nature.com/scitable/topicpage/mitochondri a-14053590. 2. United Mitochondrial Disease Foundation. What is mitochondrial disease? Diunduh dari: http://www.umdf.org/2016. 3. Schrier SA, Falk MJ. Mitochondrial disorders and the eye. Curr Opin Ophthalmol. 2011;22(5):325-31. 4. Pavlakis SG, Hirano M. Mitochondrial diseases: a clinical and molecular history. Pediatric Neurology. 2016. doi. 10.1016/j.pediatrneurol.2016.05.014. 5. Filler K, Lyon D, Bennett J, McCain N, Elswick R, Lukkahatai N, et al. Association of mitochondrial dysfunction and fatigue: a review of the literature. BBA Clinical. 2014;1:12-23. 6. Pavlakis SG, Hirano M. Mitochondrial diseases: a clinical and molecular history. Pediatric Neurology. 2016. doi. 10.1016/j.pediatrneurol.2016.05.014. 7. Niyazov DM, Kahler SG, Frye RE. Primary mitochondrial disease and secondary mitochondrial dysfunction: importance of distinction for diagnosis and treatment. Mol Syndromol. 2016. 8. Mathebula SD. Ocular manifestations of mitochondrial disease. S Afr Optom. 2012;71(1):4650. 9. Man PYU, Votruba M, Moore AT, Chinnery PF. Treatment strategies for inherited optic neuropathies: past, present and future. Eye. 2014;28:521-37. 10. Meyerson C, Stavern GV, McClelland C. Leber hereditary optic neuropathy: current perspectives. Clinical Ophthalmology. 2015;9:1165-76. 11. Kabunga P, Lau AK, Phan K, Puranik R, Liang C, Davis RL, Sue CM, Sy RW. Systematic review of
15.
16.
17.
18. 19. 20.
21.
22.
23. 24.
25.
26.
27.
241
cardiac electrical disease in Kearns-Sayre syndrome and mitochondrial cytopathy. International Journal of Cardiology. 2015;181:303-10. Laloi-Michelin M, Virally M, Jardel C, Meas T, Ingster-Moati I, Lombès A, et al. Kearns Sayre syndrome: an unusual form of mitochondrial diabetes. Diabetes Metab. 2006;32:182-6. Cai X, McGinnis JF. Diabetic retinopathy: animal models, therapies, and perspectives. J Diabetes Res. 2016. doi. 10.1155/2016/3789217. Ting DSW, Cheung GCM, Wong TY. Diabetic retinopathy: global prevalence, major risk factors, screening practices and public health challenges: a review. Clinical and Experimental Ophthalmology. 2016;44:260-77. Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. Epidemiology of diabetic retinopathy, diabetic macular edema and related vision loss. Eye and Vision. 2015. doi. 10.1186/s40662-015-0026-2. Wan TT, Li XF, Sun YM, Li YB, Su Y. Recent advances in understanding the biochemical and molecular mechanism of diabetic retinopathy. Biomedicine & Pharmacotherapy. 2015;74:145-7. Stitt AW, Curtis TM, Chen M, Medina RJ, McKay GJ, Jenkins A, et al. The progress in understanding and treatment of diabetic retinopathy. Progress in retinal and eye research. 2016;51:156-86. Tarr JM, Kaul K, Chopra M, Kohner EM, Chibber R. Pathophysiology of diabetic retinopathy. ISRN Ophthalmology. 2013. doi. 10.1155/2013/343560 Hendrick AM, Gibson MV, Kulshreshtha A. Diabetic retinopathy. Prim Care Clin Office Pract. 2015;42:451-64. Yang S, Zhao J, Sun X. Resistance to anti-VEGF therapy in neovascular age-related macular degeneration: a comprehensive review. Drug design, development and therapy. 2016;10:1857-67. Ardeljan D, Chan CC. Aging is not a disease: distinguishing age-related macular degeneration from aging. Progress in retinal and eye research, 2013;37:68-89. Balasubramanian S, Kumar KK, Baird PN. The role of proteases and inflammatory molecules in triggering neovascular age-related macular degeneration: basic science to clinical relevance. Translational Research. 2014;164:179-92. Jarrett SG, Boulton ME. Consequences of oxidative stress in age-related macular degeneration. Molecular Aspects of Medicine. 2012;33:399-417. Buschini E, Piras A, Nuzzi R. Age related macular degeneration and drusen: Neuroinflammation in the retina. Progress in Neurobiology. 2011;95:14-25. Mischalska-Malecka K, Kabiesz A, Nowak M, Spiewak D. Age related macular degenerationchallenge for future: Pathogenesis and new perspectives for the treatment. European Geriatric Medicine. 2015;6:69-75. Nunes RP, Rosenfeld PJ, Filho CAAG, Yehoshua Z, Martidis A, Tennant MTS. Age-related macular degeneration. Dalam: Yanoff M, Duker JS, editor. Ophthalmology. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014.p.580-99. Saeedi OJ, Ramulu P, Friedman DS. Epidemiology of glaucoma. Dalam: Yanoff M, Duker JS, editors. Ophthalmology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2014.p.1001-6.
242
28. Tham YC, Li X, Wong TY, Quigley HA, Aung T, Cheng CY. Global prevalence of glaucoma and projections of glaucoma burden through 2040. Ophthalmology. 2014;121:2081-90. 29. Mantravadi AV, Vadhar N. Glaucoma. Prim Care Clin Office Pract. 2015. doi. 10.1016/j.pop.2015.05.008. 30. Sacca SC, Gandolfi S, Bagnis A, Manni G, Damonte G, Traverso CE, et al. From DNA damage to functional changes of the trabecular meshwork in aging and glaucoma. Ageing Research Reviews. 2016;29:26-41. 31. Sacca SC, Izzotti A. Oxidative stress and glaucoma: injury in the anterior segment of the eye. Progress in Brain Research. 2008;173:385-407. 32. Jacob DS. Open-angle glaucoma: epidemiology, clinical presentation and diagnosis. UpToDate. 22 Januari 2016. Diunduh dari: http://www.uptodate.com/diagnosis? 33. Chatterjee A, Mambo E, Sidransky D. Mitochondrial DNA mutations in human cancer. Oncogene. 2006;25:4663-74. 34. Rodriguez-Galindo C, Orbach DB, Vanderveen D. Retinoblastoma. Pediatr Clin N Am. 2015;62:201-23.
Ophthalmol Ina 2016;42(3):232-242
35. Mendoza PR, Grossniklaus HE. The biology of retinoblastoma. Progress in molecular biology and translational science. 2015;134:503-16. 36. Pandey AN. Retinoblastoma: an overview. Saudi journal of ophthalmology. 2014;28:310-5. 37. Jovanovic P, Mihajlovic M, Djordjevic-Jocic J, Vlajkovic S, Cekic S, Vladisav S. Ocular melanoma: an overview of the current status. Int J Clin Exp Pathol. 2013;6(7):1230-44. 38. Woodman SE. Metastatic uveal melanoma: biology and emerging treatments. Cancer J. 2012;18(2):14852. 39. Vidwans SJ, Flaherty KT, Fisher DE, Tenenbaum JM, Travers MD, Shrager J. A melanoma molecular disease model. Plos One. 2011;6(3):e18257. 40. Shields CL, Manalac J, Das C, Ferguson K, Shields JA. Choroidal melanoma: clinical features, classification, and top 10 pseudomelanomas. Curr Opin Ophthalmol. 2014;25:177-85. 41. Gorman GS, Chinnery PF, DiMauro S, Hirano M, Koga Y, McFarland R, et al. Mitochondrial diseases. Nature Reviews. 2016;2:1-22. doi. 10.1038/nrdp.2016.80