Tanpa Operasi, Batu Ginjal Dapat Dimusnahkan dengan ESWL UNAIR NEWS – Pasien batu ginjal tidak perlu lagi membayangkan ngerinya berbaring di meja operasi. Karena dalam kategori kasus yang cukup ringan, metode pengangkatan batu ginjal tidak lagi harus melalui tindakan pembedahan, melainkan dengan cara menembakkan gelombang kejut tepat pada sasaran batu. Metode terbaru memusnahkan batu ginjal ini bernama Extra Corpored Shock Wave Lithotripsi (ESWL). ESWL merupakan salah satu bentuk terapi penghancur batu ginjal yang terbilang efektif dan invasif minimal. Karena tanpa harus operasi, batu ginjal dapat dihancurkan dengan gelombang kejut (Shock wave) berupa gelombang suara yang dihasilkan oleh alat tersebut. Terapi ESWL sudah tersedia di sejumlah rumah sakit besar di Indonesia, termasuk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Prof.Dr. Soetojo, dr., SpU(K) adalah salah satu dokter ahli Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo yang biasa mengoperasikan alat ESWL ini untuk menangani para pasiennya. Dalam prosesnya, pasien terapi ESWL tidak perlu dibius, hanya cukup diberi obat penangkal nyeri. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Sementara dari ruangan yang terpisah, sang operator yang tak lain adalah dokter urologi mengoperasikan alat tersebut. “Begitu diketahui lokasi batu ginjal, mengoperasikan ESWL yang berada di luar ruangan sistematis alat ini akan bergerak menyasar posisi batu. Setelah terapi, pasien tidak perlu bisa langsung pulang,” jelasnya.
dokter akan terapi. Secara sesuai dengan rawat inap dan
Meski tampaknya sederhana, pasien terapi ESWL tetap harus melalui tahap kualifikasi hingga pasien dinyatakan siap
menjalani ESWL. Soetojo menekankan, ESWL hanya mampu menghancurkan batu ginjal berukuran 0,5 cm ke bawah. Selain itu, harus di pastikan pula kondisi pasien. Kondisi saluran di bawah batu ginjal harus lancar agar pada saat batu tersebut hancur, dapat langsung larut dan keluar bersama urine. “Harus dipastikan ukuran batu tidak terlalu besar, tidak ada penyempitan saluran di ureter, serta tidak terjadi obsorsi atau pembuntuan saluran akibat batu lain. Sehingga diharapkan sekali tembak bisa langsung hancur, ” ungkapnya. Sementara untuk batu berukuran lebih dari 0,5 cm, Guru Besar Ilmu Urologi FK UNAIR ini menyarankan agar sebaiknya dilakukan operasi. Kalaupun harus melalui terapi ESWL, maka perlu dilakukan terapi berulangkali. Dengan mempertimbangkan aspek jenis ,tekstur, ukuran serta letak batu ginjal yang akan dihancurkan. Pada umumnya, ESWL digunakan bila batu diperkirakan dapat dipecah dalam 1-2 kali sesi penembakan. Menurutnya, efek mikrojet yang ditimbulkan pasca terapi ESWL tidak menimbulkan resiko atau komplikasi yang parah. “Pasien tidak perlu takut dengan dampak yang terjadi pasca terapi. Tidak akan menimbulkan tepis iris maupun keloid, adapun efeknya akan pulih dalam beberapa minggu, ” ungkapnya. Meskipun telah diterapi, pasien disarankan untuk tetap menjalani kontrol secara rutin untuk memastikan apakah batubatu tersebut benar-benar sudah hilang sepenuhnya atau masih ada yang tersisa. Jika masih tersisa maka perlu dilakukan terapi ulang. “Jika diketahui terdapat bagian batu yang hancur namun tidak bisa keluar bersama urin dan menyebabkan terjadinya penyumbatan di saluran ureter, maka perlu segera dilakukan Operasi Ureterorenoscopy (URS),” ungkapnya. Biaya terapi ESWL ini relatif lebih ringan dibanding harus
dengan operasi. Biaya terapi ESWL diperkirakan di bawah sepuluh juta sekali terapi, sementara biaya operasi berkisar belasan hingga puluhan juta Rupiah sekali operasi. Menurutnya, penyakit batu ginjal memerlukan perhatian khusus. Tidak saja untuk penderita, tapi diperlukan pula kewaspadaan dari masyarakat. Soetojo menduga perubahan gaya hidup dan pola makan, seperti kurang minum, kurang olahraga, terlalu lama duduk, menjadi faktor pemicu terbesar meningkatnya kasus batu ginjal di Indonesia. Seperti halnya penyakit menahun lainnya, adanya gumpalan batu pada ginjal seringkali tidak menimbulkan gejala khas. “Nyeri, serta pegal linu di sekitar pinggang disertai berkemih kemerahan atau keluarnya batu atau butiran pasir bersama urin merupakan keluhan yang banyak dijumpai, namun sayangnya seringkali tidak dikenali. Dan umumnya penyakit ini lebih menyerang kaum pria daripada wanita,” ungkapnya. Seperti halnya orang bijak yang mengatakan, lebih baik mencegah ketimbang mengobati. Soetojo pun berpesan, agar masyarakat senantiasa menjaga pola hidup ke arah yang lebih sehat. Jangan lupa berolah raga, perbanyak aktivitas gerak walaupun di kantor seharian, dan perbanyak minum air putih. Tampaknya sederhana, namun dampak nya akan sangat luar biasa bagi kesehatan. Mampukah kita konsisten melakukannya? Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
MINDUR, Inovasi Mie Kering
yang Tinggi Antioksidan UNAIR NEWS – Indonesia sebagai negara maritim tentu memiliki garis pantai dengan hutan mangroove yang luas. Sayangnya masyarakat sekitar mangrooove.
belum
banyak
memanfaatkan
tumbuhan
Salah satu dari jenis mangroove tersebut yaitu Bruguiera gymnorrhiza atau yang lebih dikenal sebagai buah lindur. Padahal seluruh bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan termasuk buahnya yang mengandung karbohidrat yang lebih tinggi dari beras dan jagung. Berawal dari latar belakang tersebut, salah satu tim PKM-K dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga beranggotakan Winda Kusuma Dewi, Paskalia Nike Fortuna Sihura, Shabrina Fauzia Prayoga, dan Wahyu Dwi Katmono, membuat suatu inovasi mie berbahan dasar tepung buah lindur yang bernama MINDUR (Mie Lindur). “Inovasi ini sebagai sumber alternatif karbohidrat,” tegas Winda selaku salah satu anggota. Produk inovasi mie kering MINDUR ini telah lolos bantuan dana pengembangan dari Dirjen Dikti, Kemenristekdikti RI tahun 2016 dalam kaegori Program Kraetivitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K). Winda juga menjelaskan bahwa MINDUR bukanlah sekedar mie biasa. “Tidak seperti mie pada umumnya yang dijual dipasaran, MINDUR diolah tanpa bahan pengawet yang berbahaya. Selain tinngi karbohidrat, MINDUR juga mengandung anti oksidan yang bermanfaat untuk menangkal radikal bebas, mencegah penuaan dini, melawan sel kanker dan mencegah kerusakan sel tubuh,” jelasnya. Mengenai varian Winda mengatakan bahwa MINDUR terdiri dari beberapa varian rasa yakni original, balado, pedas manis dan ayam bawang. MINDUR juga dapat dimakan secara langsung, maupun
dapat diolah sesuai selera konsumen. Hingga saat ini, mindur sudah dipasarkan di sekitar wilayah Banyuwangi. Salah satunya dalam event bergengsi di Banyuwangi yaitu Agro Expo Banyuwangi. “Kalu soal harga, produk MINDUR dijual dengan harga terjangkau. Rp. 5.000,- per kemasan 100gr. Jadi sangat terjangkau,” terang Winda. Di akhir penjelasannya Winda juga menyatakan bahwa produk ini tidak hanya dijual secara offline, mindur juga dapat dipesan secara online. “MINDUR dapat dipesan melalui Instagram dengan akun @mie_lindur dan line dengan akun @eam3990s,” pungkasnya. (*) Editor: Nuri Hermawan
Inovasi Burger Ikan Gabus sebagai Pengganti Daging UNAIR NEWS – Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang sangat pesat, membuat orang semakin mudah dalam melakukan segala aktivitas. Selain itu, banyak juga hal yang berubah akibat kemajuan teknologi. Salah satunya pola makan dan gaya hidup manusia. Saat ini bisa dilihat maraknya makanan cepat saji yang sebagian memiliki beberapa dampak buruk pada kesehatan. Namun bagi Maryam Jamilah dan tim, tidak semua makanan cepat saji tidak memiliki nilai kesehatan. “Misalnya burger, di dalam burger terdapat roti, sayursayuran, daging, keju, dan mayonis. Burger ini kan juga
makanan cepat saji dan di dalamnya banyak sekali kandungan nutrisinya,” terang Maryam selaku ketua tim PKM-K. Maryam juga menambahkan bahwa dalam burger, terdapat beberapa kandungan seperti roti yang mengandung karbohidrat, sayuran yang berperan sebagai vitamin dan mineral. Selain itu juga ada daging sapi yang kaya akan protein hewani yang berguna untuk membangun jaringan pada tubuh. “Zat besi juga terkandung melimpah pada daging, sehingga pembentukan sel darah merah akan lebih optimal. Pada intinya burger ini kaya akan zat gizi,” tegasnya. Mengetahui kandungan gizi yang bagus dan stabilitas harga daging yang terus naik, hasilnya konsumen penikmat burger dipaksa harus mengeluarkan uang yang lebih bila ingin menikmati burger. Oleh karena itu, Maryam bersama Fedora Ivena Thom, Fanti Septia Nabilla, Annisa Nurul, dan Shulkhiatus Syafa’ah, berinovasi membuat burger dengan menggunakan daging ikan gabus sebagai ganti daging sapi. “Selain harga ikan gabus lebih murah, kandungan zat gizinya tidak kalah hebat dengan daging sapi,” imbuhnya. Meski diganti dengan ikan gabus, burger ikan gabus tetap ada roti, sayuran, dan keju, serta dikemas dalam kemasan menarik, dan yang penting harganya terjangkau dengan zat gizi yang lebih dari burger daging.
DIANTRE pembeli saat ditawarkan dalam suatu bazar outdoor. (Foto: Dok PKMK) “Bedanya, untuk burger ikan gabus tidak tinggi lemak dan kandungan protein terutama albuminnya tinggi, hal itu baik untuk pembentukan dan pertumbuhan otot, baik untuk penyembuhan luka, dan mudah dicerna jadi sehat untuk pencernaan,” papar Maryam. Di akhir, Maryam juga mengatakan bahwa burger yang ia tawarkan bersama tim adalah burger yang original tanpa ada keju. “Karena keju termasuk makanan tinggi kalori dan burger kami ada porsi burger kecil yang tentu saja kandungan zat gizinya pas tidak berlebihan,” pungkasnya. Editor: Nuri Hermawan
Gagas Progesteron Paper Strip
Demi Swasembada Daging UNAIR NEWS – Produk daging sapi lokal tercatat belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Hingga saat ini, kebutuhan akan sumber protein hewani tersebut masih didukung oleh produk impor. Tentu saja, kondisi ini cukup memprihatinkan. Terlebih secara faktual, sumber daya alam nusantara sejatinya sanggup untuk memberi suasana maupun nutrisi yang baik untuk pengembangbiakkan sapi. Di sisi lain, fenomena tersebut membangkitkan semangat anak bangsa untuk bercita-cita menjadi produsen sapi unggul. Baik secara kulitas, maupun secara kuantitas. Indonesia harus bisa menjadi produsen sapi yang mampu menjadi penyedia kebutuhan nasional. Bahkan, menjadi pengekspor daging sapi. Dengan demikian, harga sapi di dalam negeri tidak lagi mahal, dan ketersediannya pun tidak lagi langka. Bertolak dari kondisi dan semangat di atas, Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh., melakukan sejumlah penelitian. Harapannya, penelitian itu menjadi penopang atau pendukung cita-cita swasembada daging sapi. Setelah melalui banyak telaah akademik, dia sampai pada satu perspektif. Yakni, salah satu cara agar Indonesia bisa sukses menjadi produsen daging yang unggul adalah pengetahuan tentang kebuntingan sapi sejak dini. Maksudnya, semakin cepat sapi diketahui bunting atau tidak, semakin baik bagi upaya pengembangbiakkan sapi tersebut. Umumnya, mayoritas peternak sapi di Indonesia masih memiliki pola pikir konvensional. Setelah sapi dikawinkan, baik melalui perkawinan alami ataupun ensiminasi buatan, mereka akan menunggu berbulan-bulan untuk mengetahui kepastian kondisi kebuntingan melalui kasat mata fisik betina. Bahkan, ada yang menunggu hingga sembilan bulan sepuluh hari! Karena, masa kehamilan sapi memang di rentang itu, sama seperti manusia. Kalau selama sembilan sepuluh hari tidak melahirkan, berarti
perkawinan yang dulu itu gagal. Lantas, baru dikawinkan lagi. “Tapi ini kan membuang waktu. Coba kalau sejak sedini mungkin sudah diketahui betina itu hamil atau tidak, tindakan lanjutan bisa segera diambil. Tidak usah menunggu sampai sembilan bulan” papar dia. Berawal dari pemahaman itu, Komang mulai berpikir cara mengetahui kebuntingan sejak dini. Dia pun terinspirasi dengan adanya paperstrip tes kehamilan pada manusia. Bersama rekannya dari Fakultas Kedokteran, dia melakukan penelitian panjang tentang pembuatan paperstrip tes kebuntingan khusus bagi sapi. Yang kemudian dikenal dengan sebutan: Progesteron Paperstrip. Tentu saja, dari segi teknis ada sejumlah perbedaan dengan paperstrip yang dikhususkan bagi manusia. Paperstrip pada manusia, dicelupkan pada urine. Nah, pada sapi perah, paperstrip diceupkan pada air susu. Sedangkan pada sapi pedaging, dicelupkan pada darah yang diambil dari ekor atau leher. “Pengetesan pada sapi dilaksanakan setelah 21 hari dari momen perkawinan,” kata dia. Bila diketahui sapi belum hamil, perkawinan bisa segera dilaksanakan ulang. Tidak perlu menunggu sampai berbulanbulan. Sedangkan jika sapi tersebut ternyata memang hamil, nutrisi yang diberikan pada betina tersebut harus terus mendapat perhatian. Dengan demikian, janinnya kuat dan sehat sampai masa melahirkan. Salah satu problem nasional dari pola pengembangbiakkan sapi adalah pola pikir yang masih tradisional. Yang tidak memperkenankan teknologi menyentuh upaya peternakan. Atau bisa jadi, terdapat kebuntuan atau ketidakmerataan informasi dan teknologi. Maka itu, perlu peran aktif pemerintah untuk memecahkan persoalan ini. Bila pemerintah serius ingin menyelesaikn persoalan ketersediaan daging sapi, eksekutif wajib melakukan pemerataan teknologi di bidang peternakan sapi. Lantas, memberikan
informasi tentang manfaat dan peranannya dalam kesuksesan beternak. Paling tidak, penggunaan teknologi sederhana yang digagas Komang, dengan tujuan mengetahui kondisi kebuntingan sapi sejak dini. Sebab, ada banyak manfaat turunan yang diperoleh bila peternak sukses mengaplikasikan ide tersebut di lapangan. Yang jelas, pekerjaan yang mereka lakukan bakal lebih efektif dan efisien. Sentuhan modernisasi merupakan suatu keniscayaan, bila bangsa ini ingin memiliki industri daging sapi semaju Australia, Selandia Baru, atau negara Eropa lainnya. Sejauh ini, problem terlampau lamanya selang kelahiran dan kecilnya peluang kebutingan adalah persoalan fundamental para peternak. Terlebih, bagi mereka yang selama ini melaksanakan kerjanya secara tradisional. Bangsa Indonesia pasti ingin mandiri di segala bidang. termasuk, di ranah peternakan. Di era erba canggih seperti sekarang ini, penggunaan teknologi sudah tidak dapat diabaikan. Semua pihak mesti sadar akan hal ini. sementara pemerintah, harus giat untuk menerapkan optimalisasi teknologi di segala lini kehidupan masyarakat. Khususnya, di aspek-aspek yang menyangkut dengan pergerakan roda ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan sosial. “Sebagai akademisi, saya siap melakukan riset aplikatif. Salah satu yang sudah saya hasilkan, inovasi Progesteron Paper Strip ini,” papar Komang. (*)
Mahasiswa UNAIR Teliti Daun
Putri Malu sebagai Obat Anti Bakteri UNAIR NEWS – Luka mudah sekali terkontaminasi oleh kuman. Salah satunya adalah Staphylococcus auerus, yaitu kuman atau bakteri yang normal ada di kulit dan hidung manusia. Bahayanya apabila bakteri ini masuk ke tubuh melalui luka terbuka dan menyebabkan infeksi pada daya tahan tubuh yang lemah. Berangkat dari masalah ini, lima mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Safira Rahma (2015), Nur Moya Isyroqiyyah (2015), Safira Nur Ainiyah (2015), Nur Sophia Matin (2015), dan Salsabila Zahra Prasetya (2016) mengadakan penelitian terhadap hewan coba untuk mengatasi pertumbuhan bakteri MRSA menggunakan ekstrak daun putri malu. Seperti yang kita tau bahwa daun putri malu hanya menjadi semak belukar dan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Penelitian ini dituangkan dalam proposal pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) dengan judul “Studi in Vivo Ekstrak Daun Putri Malu (Mimosa pudica L.) sebagai Bahan Alternatif Antibakteri pada Kasus Infeksi Luka Terbuka Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)”. “Pengembangan ide proposal ini dilaksanakan di Departemen Mikro biologi Klinik Fakultas Kedokteran UNAIR. Proposal penelitian ini mendapatkan dana hibah dalam program PKM tahun 2017 setelah lolos dalam penilaian oleh Kemenristekdikti,” jelas Safira. Safira juga mengatakan bahwa persiapan sebelum percobaan selain pembelian alat dan bahan, juga penting untuk lulus dari sidang dari Komisi Laik Etik hewan coba. Penelitian ini dilakukan pada mencit yang diberi luka dan ditambahkan bakteri MRSA. Setelah mencit terinfeksi, diberikan perlakuan dengan
pemberian perawatan luka setiap hari berupa salep clindamycin atau ekstrak daun putrid malu pada kadar tetentu. Daun putri malu mengandung senyawa aktif polifenol yang sensitif dan efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan MRSA sedangkan clindamycin merupakan anti biotik yang mampu menghambat pertumbuhan MRSA. “Pemilihan jenis salep yang kami gunakan sebagai control dengan menguji kepekaan antibiotik clindamycin dahulu untuk membuktikan apakah benar clindamycin masih dapat menghambat MRSA atau tidak, karena bias jadi bakteri bermutasi menjadi resisten terhadap antibiotic dan clindamycin tidak dapat digunakan sebagai antibiotic MRSA,” imbuh Safira selaku ketua kelompok PKM PE. Setelah percobaan, Safira menuturkan perlunya dilakukan uji mikro biologi dan uji histopatologi. selanjutnya, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat mengubah paradigma di masyarakat tentang daun putri malu sebagai tanaman semak belukar menjadi tanaman obat solusi alternatif untuk menghambat bakteri MRSA yang menjadi penyebab infeksi luka terbuka di rumah sakit dengan harga yang murah dan mudah didapatkan serta nantinya dapat digunakan oleh masyarakat setelah dilakukan penelitian pada manusia. “Selain itu hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi untuk penelitian dan pengembangan obat antimikroba dari putri malu selanjutnya,” pungkasnya.
Editor: Nuri Hermawan
Mahasiswa FPK UNAIR Produksi Hand Sanitizer Non Alkohol UNAIR NEWS – Kelompok yang terdiri dari 4 Mahasiswa yang berasal dari Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga berhasil memproduksi hand sanitizer non alkohol yang berasal dari limbah perikanan. Hand sanitizer yang dinamai CLUZER (Chitosan Limbah Kulit Udang Hand Sanitizer) merupakan karya PKM-K Albet Surya Kembara (Budidaya Perairan 2016) selaku ketua kelompok, bersama 3 orang kreatif lainnya yakni Aditya Dwi Saputra (Budidaya Perairan 2016), Vivy Hanum Melati ( Budidaya Perairan 2016), dan Selvi Debi Savia Fitri (Budidaya Perairan 2015). Hand sanitizer non alkohol karya Albet dan tim ini mempunyai fungsi sebagai antiseptik. Selain itu, keunggulan hand sanitizer ini dibandingkan yang ada dipasaran yaitu bersifat non alkohol, lebih efektif membunuh bakteri, serta harganya terjangkau. “Produk kami lebih efektif membunuh bakteri yang ada di tangan dibandingkan produk yang ada dipasaran,” kata Albet. Albet juga menuturkan bahwa latar belakang dibuatnya inovasi ini didasarkan pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Dalam survei tersebut tercatat meningkatnya kematian balita di Provinsi Riau yang disebabkan oleh bakteri patogen yang penyebarannya melalui tangan. “Dari hal itu perlu adanya inovasi hand sanitizer yang mengandung senyawa antibakteri yang salah satunya dapat diperoleh dari Chitosan yang berasal dari limbah kulit udang. Dimana pada saat ini hand sanitizer yang ada dipasaran merupakan hand sanitizer yang berbahan alkohol, padahal alkohol sendiri tidak baik bagi kulit kita,” terangnya.
Mengenai pengemasan, Albet menjelaskan bahwa CLUZER sendiri dikemas dengan botol berukuran 60ml yang praktis dan mudah untuk dibawa kemana-mana karena ukurannya yang tidak begitu besar. “Sehingga dengan kemasan praktis tersebut dapat meningkatkan penjualan dari produk itu tersebut,” papar Albet. Di akhir, Albet yakin bahwa CLUZER sangat berpotensial untuk dijual dipasaran karena harga yang murah yaitu Rp.8.000 untuk satu botol berukuran 60ml. “Menurut pelanggan kami sendiri CLUZER sangat praktis dan aroma lemon yang begitu segar sehingga tidak perlu lagi untuk mencuci tangan lagi karena Efisiennya CLUZER,” pungkasnya.
Editor: Nuri Hermawan
Mahasiswa UNAIR Hasilkan Inovasi Terapi Pengantar Tidur Bagi Penderita Insomnia UNAIR NEWS – Insomnia menjadi penyebab manusia mengalami gangguan dalam kualitas hidup. Hampir semua orang di dunia pernah mengalami insomnia. Sekitar 30% orang dewasa mengalami insomnia dan 10% diantaranya mengalami insomnia dengan derajat berat sehingga berdampak terhadap kualitas hidup mereka. Beberapa penanganan insomnia yang telah dilakukan yaitu menggunakan alat penutup mata yang membantu mengatur cahaya untuk tidur, ada juga beberapa penderita menggunakan
aromaterapi untuk menciptakan ketenangan, selain itu penggunaan obat tidur juga menjadi solusi yang sering dijumpai. Dari informasi tersebut, memotivasi kelompok PKM Karsa Cipta Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang diketuai oleh Anneke Widi Prastiwi (Angkatan 2013) untuk menciptakan gagasan inovatif yang berguna sebagai pengantar tidur penderita insomnia ringan. Program berdanakan hibah DIKTI ini oleh kelompok diberi nama Blindfold eye with vibration and aromatherapy. “Keunggulan alat ini yaitu dilihat dari sisi bentuk yang ringan dan portable, selain itu alat tersebut dilengkapi dengan aromaterapi lavender yang berfungsi meningkatkan gelombang alfa dan keadaan ini diasosiasikan dengan keadaan relaksasi,” jelas Anneke Bersama empat anggota lainnya yakni Nusrotud Diana, Aprilia Permata Sari, Wahyu Dwi Septinengtias, dan Risniawati, Anneke menciptakan aromaterapi lavender yang dapat membantu mengobati insomnia, mengurangi sakit kepala, dan menyembuhkan stres. “Selain aromaterapi lavender, alat ini dilengkapi dengan vibrasi yang memberikan pijat dengan tujuan memberikan relaksasi bagi pengguna,” imbuhnya. Untuk cara penggunaannya, Anneke menjelaskan bahwa caranya sangatlah mudah dan bisa dilakukan oleh semua kalangan. “Cukup dengan menggunakan blindfold eye selama 20 menit dengan posisi tidur terlentang penderita insomnia sudah bisa merasakan relaksasi terapi dari alat ini,” pungkasnya. Editor: Nuri Hermawan
Atasi Gangguan Kelancaran Pencernaan dengan Kapsul Daun Pepaya UNAIR NEWS – Kesadaran akan pentingnya kesehatan semakin meningkat seiring dengan majunya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat untuk menempuh usaha agar tubuhnya tetap sehat. Berbagai hal mulai dilakukan masyarakat, mulai dari rutin berolahraga hingga mengkonsumsi produk herbal ketimbang suplemen berbahan kimia yang memiliki efek samping. Melihat kondisi tersebut, lima mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga yakni Sinta Nabilah Mulyawati (2016), Azizi Pridasari (2016), Rizki Nur Azizah (2016), Jihan Salsabila (2016), dan Himaya (2015) memiliki gagasan untuk membuat suplemen herbal lewat Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) yang berjudul “KAYA (Si Kapsul Daun Pepaya) sebagai Upaya Mempromosikan Suplemen Herbal Modern”. Sinta selaku ketua tim mengatakan bahwa daun pepaya memiliki berbagai zat yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan. Enzim Papain dalam daun papaya menurut sinta dapat membantu pencernaan protein. “Kandungan vitamin A, C dan E dapat membantu meregenerasi sel darah putih dan trombosit sehingga baik untuk sistem imun,” terangnya. Selain itu, kandungan lain di daun pepaya yakni terdapat senyawa karpain yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Bagi Sinta terobosan yang diciptakan dengan tim merupakan terobosan yang dapat mengenalkan kepada masyarakat.
“Salah satu cara mengonsumsi suplemen herbal yang berbahan dasar daun. Jika umumnya masyarakat mengonsumsi dengan cara merebus daunnya, maka daun pepaya di produk ini dikemas dalam bentuk kapsul tanpa mengurangi khasiat yang terkandung di dalamnya agar masyarakat lebih mudah untuk mengonsumsinya,” jelas Sinta. Sinta juga menegaskan bahwa suplemen “KAYA” ini merupakan salah satu upaya tindakan preventif agar masyarakat terhindar dari penyakit-penyakit tertentu. Banyaknya penyakit yang mulai menyerang masyarakat dari segala lapisan dan tidak memandang usia menjadikan masyarakat harus pandai-pandai untuk menjaga kesehatan. “Seiring dengan berkembangnya teknologi, banyak
suplemen
herbal tradisional yang dikemas dalam bentuk instan seperti serbuk yang hanya perlu diseduh atau berupa kapsul seperti produk KAYA,” imbuhnya. Untuk kemasan, Sinta mengatakan bahwa terdapat tiga puluh kapsul yang dapat dikonsumsi dua kali perhari pada setiap satu botol kemasan. Suplemen daun pepaya ini juga bisa didapat dengan harga Rp 30.000. “Dengan harga yang terjangkau, berbagai manfaat kesehatan telah didapat, sehingaa tubuh akan tetap sehat. Produk ini dapat dipesan lewat LINE dengan id @azizipridas atau Instagram dengan id @kaya_product,” pungkasnya.
Editor: Nuri Hermawan
Ubah Tempe Menjes Lebih Punya Nilai Ekonomi UNAIR NEWS – Tempe menjes bagi sebagian orang dianggap sebagai makanan kuno dan ndeso. Namun ditangan lima orang mahasiswa D3 Perpajakan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga ini, tempe menjes disulap menjadi camilan khas kekinian. Kelompok PKM Kewirausahaan (PKM-K) yang terdiri dari Rr. Wibsa Adelia Augie, Beka Ratu, Eryl Hayattul Umma, Anggi Nur’aini Ikawati, dan Reviandy Ardiyanto ini membuat varian jajanan populer risoles yang dikombinasikan dengan isian tempe menjes. “Tempe menjes sebenarnya makanan yang berasal dari fermentasi ampas tahu. Belum banyak yang mengetahui manfaat dari tempe menjes, padahal tempe menjes mengandung protein sebanyak 4% dan serat kasar 30.4%. Serat kasar inilah yang bermanfaat untuk melancarkan pencernaan dan mencegah sembelit,” terang Anggi salah satu anggota tim. Menambahkan pernyataan Anggi, ketua tim Adelia Augie mengungkapkan bahwa ide membuat risoles menjes berawal dari kurangnya diversifikasi dari produk risoles yang membuat penggemar kuliner mulai mencari varian yang baru. Alasan tempe menjes dipilih sebagai pilihan untuk menjadi varian baru risoles adalah nilai gizi dan harganya yang murah. “Hal ini sangat potensial untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi,” jelas Adelia. Risoles menjes produknya dan tim yang diberi nama “Rolljess” ini memiliki pangsa pasar yang luas. Karena harga yang terjangkau, 1 pack “Rolljess” yang berisi dua biji risoles dijual dengan harga Rp. 6000,-. Selain itu didukung dengan kemasan yang modern, risoles menjes mampu menarik minat konsumen.
“Jangkauan produk kami sudah merata di Jawa Timur. Kemarin ada konsumen yang memesan dari Banyuwangi, Madura, Surabaya, Lamongan, Tuban, Sidoarjo, Pasuruan. Bahkan ada yang dari Nusa Tenggara Timur,”tuturnya Untuk promosi, Adelia menjelaskan bahwa “Rolljess” dipromosikan menggunakan media sosial seperti Instagram dan Line. “Memang produk risoles dipasaran sudah banyak, namun yang menggunakan isian tempe menjes belum ada. Kami yakin program kewirausahaan risoles menjes ini akan mampu menjadi suatu usaha yang terjamin keberlangsungannya,” pungkasnya. Editor: Nuri Hermawan
Memanfaatkan Bahan Pangan Liar untuk Atasi Kerawanan Pangan UNAIR NEWS – Pada bulan Juni tahun 2016 lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index atau GFSI). Dalam indeks tersebut diperlihatkan posisi negara-negara di dunia berdasarkan kebijakan pangan yang diterapkan di 113 negara di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-71, setelah sebelumnya menempati posisi ke-76 pada tahun 2014 dan 2015. Ada tiga aspek utama yang digunakan dalam penilaian GFSI yaitu keterjangkauan, ketersediaan, serta kualitas dan keamanan. Pada poin keterjangkauan, Indonesia mendapat naik dari 46,8 ke 50,3. Pada poin ketersediaan meningkat dari 51,2 ke 54,1.
Sementara pada aspek kualitas dan keamanan naik dari 41,9 ke 42. Nilai indeks yang meningkat itu membuat kebijakan pangan Indonesia masuk dalam “biggest changes” menurut EIU. Meski berbagai kebijakan pangan telah diterapkan pemerintah, tak berarti Indonesia lepas dari prediksi rawan pangan. Tahun 2015 lalu, sebanyak 15 persen dari 398 kabupaten di Indonesia dinilai rentan akan kerawanan pangan menurut World Food Programme. Ahli gizi pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Dr. Ir. Annis Catur Adi, M.Si., berpendapat bahwa masalah ketahanan pangan bisa diatasi. Salah satunya, adalah dengan memanfaatkan bahan pangan berupa tanaman liar dan hewan. “Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pangan liar merupakan sumber vitamin, mineral dan zat gizi lain yang penting, yang dapat melengkapi makanan pokok kelompok rawan gizi, seperti anak-anak dan orang tua,” tutur Annis. Bukan tanpa alasan pernyataan Organisasi Pangan Dunia diamini oleh Annis. Sebab, bahan pangan liar bisa dengan mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Pernyataan Annis itu didasarkan pada hasil riset yang ia lakukan bersama timnya pada tahun 2014. Annis mengambil data tersebut di wilayah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Di Kecamatan Blega, Bangkalan, Annis setidaknya menemukan 37 jenis bahan pangan dari tanaman liar. Rinciannya adalah 16 spesies pada kelompok sayur-sayuran, 14 pada kelompok buahbuahan, dan 7 pada kelompok umbi-umbian. Pada kelompok sayur-sayuran, di antaranya ada sayuran kecipir, blunthas, daun katuk, bayam alas, bletah, blincong, dan sembukan. Pada kelompok buah-buahan, di antaranya ada rambusa, mundu, kelapa, sirsak, bengkuang, dan sanek. Sedangkan, pada kelompok umbi-umbian, di antaranya ada gadung, sobeg, talas, obih, jarud, kaburan, dan larbe.
Keuntungannya, masyarakat tak perlu khawatir dengan ketersediaan bahan pangan dari tanaman liar ini. Memang, tak semua jenis tanaman liar selalu tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa spesies tanaman yang selalu tumbuh sepanjang tahun, ada yang hanya tergantung musim kemarau dan hujan. Namun, masa tumbuhnya tanaman liar tersebut saling melengkapi. Sehingga, masyarakat bisa terus mencukupi kebutuhan dapurnya selama waktu. Contohnya, pada kelompok sayur-sayuran. Tanaman bayam alas, kondur, sembukan, dan rakarah, tidak tumbuh pada musim kemarau. Tetapi, ada tumbuhan kecipir, klandingan, blunthas, daun katuk, dan merongkih yang tumbuh sepanjang tahun. Berbeda
lagi
dengan
kelompok
buah-buahan.
Buah
kenitu,
mengkudu, sirsak, bengkuang, tidak akan bisa diharapkan tumbuh pada musim hujan. Namun, masyarakat masih bisa mengkonsumsi buah srikaya, kedundung, rambusa, dan pisang pada musim hujan. “Kami
membuat
kalender
musiman
tanaman
pangan
liar.
Harapannya, masyarakat bisa memiliki alternatif dan memanfaatkan tanaman pangan liar sehingga tidak khawatir kehabisan karena selama ini, mereka hanya bergantung pada bahan-bahan makanan yang dijual,” tutur Annis. “Kami ingin mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa ada banyak bahan pangan yang ada di sekitar kita yang bisa dimanfaatkan tanpa harus membeli,” tutur penulis penelitian berjudul “Underutilized Food Plants in Food Insecure Area of Bangkalan District and the Potential Role of Local Religious Leader for Promoting the Consumption” itu. Potensi Bahan pangan dari tanaman liar ini memiliki kandungan gizi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, daun, tunas, buah, umbi dari ketiga kelompok sayur-sayuran itu mengandung zat gizi atau bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Pada jenis umbi-umbian liar, masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai makanan pelengkap pokok yang menyumbang zat-zat makro, terutama potensi sumber energi dan karbohidrat yang cukup besar setelah beras. Annis mengakui, kandungan gizi pangan liar belum banyak yang terdokumentasikan. Oleh karena itu, melalui penelitian yang ia lakukan selama dua tahun ini, ia melakukan eksplorasi informasi dengan melibatkan masyarakat setempat, dinas terkait, dan kelompok tani. Setelah dokumentasi kandungan gizi terkumpul, pihaknya memilah mana pangan liar yang ‘layak’ untuk lebih diangkat dan dikenalkan kepada masyarakat. Sebelum itu, ia juga membuat olahan-olahan dari tanaman liar sesuai selera masyarakat. Misalnya, membuat mi berbumbu dan kue kering berbahan daun kelor. Tujuannya, tak lain untuk membuat masyarakat tertarik memanfaatkan bahan pangan liar di kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2015, Annis dan mahasiswanya melakukan survei ke beberapa sekolah dasar untuk menguji makanan yang telah ia olah. Hasilnya, anak-anak sekolah dasar menyukai rasa dari makanan yang mereka buat seperti mi remas dan makanan ringan dari daun kelor. “Kami pilih mana yang lebih potensial dari unsur gizinya, bioaktifnya dan kemudahan pengolahan, dan mana yang berpotensi untuk dibudidayakan secara massal. Dari umbi, contohnya suweg dan kentang hitam. Dari daun-daunan ada kelor. Perbedaan umbi kentang hitam dan suweg dengan pangan berbeda antara kentang hitam dan kentang biasa, namun dari sisi bioaktif kentang hitam lebih tinggi,” imbuh Annis. Saat ini, Annis dan timnya berupaya merealisasikan impiannya untuk menjadikan bahan pangan liar sebagai bahan pangan utama, khususnya di daerah rawan pangan. Demi mematangkan tujuan tersebut, ia sedang menyiapkan bukti-bukti ilmiah untuk didiseminasikan kepada pemerintah setempat. Manfaatnya, untuk
mempercepat perbaikan gizi di daerah rawan pangan, termasuk wilayah Madura. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Rio F. Rachman