KPK
KOMISI PEMBERANT ASAN KORUPSI
REPUBLIK INDONESIA
" Untuk Keadilan "
Pendapat / Tanggapan Penlmhlt UmlUll
Terhadap Keberatan (Eksepsi)
Tim Penasehat Hllkllm
n.lam PerkaraAtas Nama Terdak.wa
Jr. Eddie Widiono Snwondho, MSc.
"
,~
.J~
Septeniber 2011
" UNTUK KEADILAN "
Pendapat I Tanggapan Penuntut Umum Terhadap Keberatan (Eksepsi)
Tim Penasehat Hukum Terdakwa Dalam Perkara A.n. Terdakwa
Ir. EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSc.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim; Yang Terhonnat Sdr. Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum;
Terima kasih kami sampaikan kepada Majelis Hakim yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pendapat I tanggapan atas keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum pada persidangan terdahulu. Perlu kami tegaskan bahwa ketentuan tentang materi pokok keberatan (eksepsi) telah diatur secara limitatif di dalam pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu :
"Dalam hal Terdakwa atau Penasihat Hukufl! mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak benvenang mengadili perkaranva atau dakwaan tidak dapat diterima atau 81.!1!1 dakwaan harus dibatalkan. maka seteltIlr diberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya, Hakim mempertimbangkan keberatan terse but untuk selanjutnya mengambil keputusan ". Dari ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa materi pokok keberatan (eksepsi) telah ditentukan hanya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu tentang: a. kewenangan Pengadilan dalam mengadili perkara ;
b. dakwaan tidak dapat diterima ; c. surat dakwaan harus dibatalkan. Dengan mempedomani ketentuan tersebut maka apabila di dalam Nota Keberatan berisikan hal-hal lain diluar dari 3 (tiga) hal sebagaimana tersebut diatas maka kami Penuntut Umum tidak perlu menanggapinya dan selayaknya menolak atau mengenyampingkan keberatan (eksepsi) yang seperti itu.
Pendapat/ban/ahan Penuntul Umum dalam Perkara lr EDDIE WIDlONO SUWONDHO, MSC.
2 Selanjutnya, terlebih dahulu kami perlu menyampaikan bantahan atas pemyataan Tim Penasihat Hukum halaman 6 Nota Keberatan yang menyatakan "suatu fakta tak terbantahkan bahwa eksepsi atau keberatan dari Penasihat hukum dalam perkara dihadapan pengadilan tindak pidana korupsi selalu ditolak oleh pengadilan. Penolakan karen a eksepsi sudah masuk dalam pokok perkara atau karena adanya argumen lain, .... ". Pemyataan tersebut adalah berlebihan dan menyesatkan karena secara tendensius Tim Penasihat Hulrum beranggapan apabila pengajuan keberatan yang tidak berdasar ditolak oleh Majelis Hakim seolah-olah telah berpihak kepada Penuntut Umum. Adalah hak terdakwa baik langsung atau melalui Tim Penasihat Hukum untuk membela diri dengan cara mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan Penuntut Umum. Namun seyogyanya dalam pengajuan keberatan (eksepsi) tersebut Terdakwa atau Tim Penasihat Hukum memahami dengan benar alasan-alasan yang diperkenankan dalam pasal156 ayat (1) KUHAP diatas. Bahwa apabila dalam Nota Keberatan tersebut Tim Penasihat Hukum secara premature menyampaikan hal-hal yang menyangkut materi pokok perkara maka hal ini menunjukkanbahwa Tim Penasihat Hukum tidak memahami tugasnya dalam memberikan advokasi terkait dengan hak-hak Terdakwa untuk menyampaikan Nota Keberatan. Demikian pula halnya jika Nota Keberatan yang diajukan hanya berisi hal-hal yang sifatnya membangun opini bahwa Terdakwa tidak bersalah sebelum perkara pokoknya diperiksa menunjukkan bahwa Tim Penasihat Hukum tidak memahami ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut dan seolah-olah Tim Penasihat Hukum ingin mendahului kewenangan Majelis Hakim dalam
memutus perkara aquo. Nota Keberatan yang menyangkut materi pokok perkara dan pernyataan-pernyataan yang bersifat opini adalah di luar materi eksepsi yang diperkenankan dalam KUHAP dan sudah seharusnya ditolak atau dikesampingkan. Terlepas dari perbedaan pandangan antara Tim Penasihat Hulrum dengan Penuntut Umum, hendaklah kita dapat menempatkan diri sesuai dengan tugas dan kewenangan masing masing sekaligus menghargai kedudukan Majelis Hakim Yang Mulia yang oleh undang undang diberi kewenangan untuk menilai perbedaan-perbedaan tersebut untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam putusannya.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim; Yang Terhormat Sdr. Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum;
Merujuk pada sistematikan Nota Keberatan yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum pada persidangan perkara aquo maka dapat simpulkan bahwa uraian pada bagian I Pendapatlbtmtahan Penuntut Umum dalam Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
3 Pendahuluan tidak perIu kami tanggapi karena hanya merupakan pengantar dari Nota Keberatan aquo sedangkan pada Bab II dan III akan kami tanggapi sepanjang masih dalam lingkup materi keberatan (eksepsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut diatas. Adapun materi keberatan yang dimuat dalam Bab II yaitu tentang "Dakwaan Tidak Dapat Diterima" dengan alasan sebagai berikut:
1. Penuntut Umum melanggar Undang-Undang Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 9 sid 11 pada pokoknya mengemukakan: Bahwa dalam surat perintah penahanan Penuntut Umum sebagaimana termuat dalam Sprint Han-38/24/07/2011 tanggal 21 Juli 2011 digunakan istilah terdakwa bukan tersangka padahal sesuai ketentuan KUHAP penyebutan oleh Undang-Undang beralih dari sebutan tersangka menjadi terdakwa, ketika proses perkara sudah sampai pada penentuan persidangan sebagaimana dinyatakan dalam pasal145 ayat (1) KUHAP. Bahwa penggunaan istilah terdakwa dalam SURAT PERINTAH PENAHANAN tersebut adalah melanggar ketentuan undang-undang sehingga surat dakwaan cacat hukum dan dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima.
2. Surat Perjanjian Kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI antara PT PLN Disjaya dengan PT Netway adalah perjanjian yang sah. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 11 sid 14 pada pokoknya mengemukakan: Bahwa tindakan terdakwa memberikan kuasa kepada Fahmi Mochtar harus dilihat dalam kedudukan administrative terdakwa sebagai Direktur Utama PT. PLN (Persero) sebagaimana diminta oleh Fahmi Mochtar sebagai OM PT PLN Disjaya dan Tangerang. Meskipun sebenarnya ada atau tidak ada Surat Kuasa penandatanganan petjanjian antara PT PLN Disjaya dan PT Netway Utama tidak akan terhalang. Dalam arti keberadaan Surat Kuasa tersebut bukanlah sesuatu yang menentukan tetjadinya penandatanganan petjanjian. Bahwa keberadaan petjanjian kerjasama outsourcing Roll Out CIS RISI antara PLN Disjaya dengan PT Netway Utama Nomor: PLN Disjaya 122.PJ/0611D.IV/2004 dan Nomor: PT Netway Utama Nomor: 800INetIPJRlIV/2004 inilah sebenarnya yang menjadi pemicu atau trigger adanya perkara ini.
Pendapatlbantahan Penuntut Umum dalam Perlcara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC.
4 Oleh karena dalam Surat Dakwaan tidak ada dikatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum atau tidak sab, karena dibuat secara melawan hukum atau karena dibuat dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Maka perjanjian tersebut adalah perjanjian yang sah dan Il1;engikat PLN Disjaya dengan PT Netway Utama maka Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut sepatutnya dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Perbuatan orang lain seolah-olah perbuatan terdakwa Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 14 sid 21 pada pokoknya mengemukakan: Bahwa fakta-fakta yang dinyatakan dalam Surat Dakwaan menunjukkan besamya peran dari Sunggu Anwar Aritonang (Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PT PLN (Persero), mulai dari saat perundingan awal hingga negosiasi ulang menjelang penanda tanganan kontrak oleh Fahmi Mochtar. Dengan tidak dijadikannya Sunggu Anwar Aritonang sebagai salah seorang tersangka yang bersama-sama dengan Ir. Eddie Widiono Suwondho MSc, Margo Santoso dan Fahmi Mochtar maka telah terjadi manipulasi berupa pengurangan terdakwa dalam kasus ini. Penyusunan dakwaan yang didasarkan pada fakta-fakta yang diroanipulasi sebagaimana dimaksud mengakibatkan dakwaan tidak dapat diterima.
4.
Pelanggaran azas legalitas Penasehat Hukum dalam nota keberatannya 'halaman 21 sId
24 pada pokoknya
mengemukakan: Bahwa dalam Laporan Kejadian Tindak Pidana korupsi Nomor : LKTPK 24IKPKl12/2009 tanggal 28 Desember 2009 memang dinyatakan adanya kerugian
Negara sebesar Rp 45 Milyar, tetapi secara pasti dapat dikatakan, bahwa penghitungan kerugian Negara tersebut tidak dilakukan sesuai dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi No. 0031PUU-IV/2006 tanggal25 Juti 2006. Bahwa pada saat diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik 10/01/1112010 tanggal 23 Februari 2010 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor:
Sprin.Dik-14/01IIIII201O tanggal 11 Maret 2010 yang antara berisi "Dalam pelaksanaan penyidikan dibantu oleh Tim Auditor", kerugian Negara belum dihitung oleh Ahli karena penghitungan kerugian Negara baru selesai pada tanggal16 Februari 2011 sesuai dengan Surat Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Nomor : SR-176/D6/02/20 11. Artinya ketika Eddie Widiono Suwondho Pendapatlbantahan Penuntut Umum dalam Perkara I,. EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC.
5 ditetapkan sebagai tersangka belum ada kerugian Negara yang dihitung berdasarkan penghitungan yang dilakukan Ahli. Dengan demikian saat penetapan Eddie Widiono Suwondho sebagai tersangka belum ada perbuatan pidana yang dilakukan. Dalam Surat Dakwaan juga dinyatakan bahwa terdakwa menerima pemberian uang berdasarkan business Plan 2005·2007 PT Netway Utama.Pernyataan tersebut hanya berdasarkan asumsi dan tidak akurat karena mengandung ketidak benaran. Bahwa oleh karena itu dakwaan telah melanggar asas legalitas sehingga dakwaan tersebrlt hams dinyatakan tidak dapat diterima.
5. Surat dakwaan disusun sebagai perbuatan berlanjut tetapi pasal 64 tidak dicantumkan dalam surat dakwaan. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 24 sid 31 pada pokoknya mengemukakan: Bahwa dari fakta-fakta yang ada terdapat rangkaian cerita yang digambarkan diatas secara jelas dan terang benderang menunjukan adanya perbuatan berlanjut dalam surat dakwaan namun tidak adanya penyebutan pasal 64 KUHAP sehingga surat dakwaan telah disusun dengan tidak cermat. Surat dakwaan yang meletakkan terdakwa dalam posisi sentral pemberi perintah dan penanggung jawab mengabaikan pembagian tugas antar
dire~i
S;?,.,I"... • Sef\Olin ~
sesuai ketentuan
RUPS dan sifat tanggungjawab kolegial dari Direksi (s0aQiri2 dan bersama-sama). Penyusunan surat dakwaan yang menyatakan bahwa semua tindakan Margo Santoso dan Fahmi Mochtar
berda~kaA peri~~
dari Terdakwa tetapi pada saat yang
bersamaan kedua orang tersebut dinyatakan sebagai orang yang bersama-sama
mel~an\erbuatan pidana menunjukkan adanya ambigu dan ketidakterangan dalam surat dakwaan yang disusun Penuntut Umum.
6. Dakwaan primair bukan merupakan peraturan perundang.undangan. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 31 sid 38
pada pokoknya
mengemukakan: Bahwa baik secara teoritis maupun Yuridis, dapat disimpulkan Anggaran Dasar PT. PLN (Persero) Tahun 1998 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 12 Mei 1998 Nomor 38; Surat Keputusan (SK) Direksi PT. PLN (persero) Nomor :
038.Kl920/DIRJI998 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di PT. PLN (Persero); SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 138.KlOlO/DIRJ2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Outsourcing Pelayanan Pelanggan; SK Direksi PT. PLN (Persero) Pendapat/lxmtoltan PDlWltut U _ do/am Pe,.kara I,. EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
6
Nomor : No. 118.KlOIOIDIRI2004 tentang Penataan Outsourcing Di Lingkungan PT. PLN (Persero); dan SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : IOO.KlOIOIDIRI2004
tentang Pengadaan BaranglJasa di PT. PLN (Persero) jo SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 200.KlOIOIDIRI2004 tentang Penjelasan Pedoman Pengadaan BaranglJasa di Lingkungan PT. PLN (persero),
yang dijadikan dasar dakwaan
''primair'' oleh Penuntut Umum bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
7. Keuangan PT PLN (persero) sebagai BUMN bukan merupakan keuangan negara. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 38 sId 42
pada pokoknya
mengemukakan: Bahwa pendapat Penuntut Umum keuangan PT PLN (Persero) merupakan bagian dari keuangan negara adalah hal yang keliru dan tidak dapat dibenarkan baik secara teoritis maupun yuridis. Sebab secara Yuridis menurut UU perseroan terbatas (PT) bagi BUMN berlaku ketentuan PT.Hal ini sejalan dengan Fatwa Mahkamah A,rmg menyatakan asset BUMN bukanlah asset negara tetapi asset dari badan h~ itu sendiri.
8. Penghitungan kerugian negara tidak dllakukan pihak yang berwenang Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 42 sid 49
pada pokoknya
mengemukakan: Bahwa menurut ketentuan UU No.IS tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pasaJ. 13 dan UU No.IS tahun 2006 pasal 8 ayat (3) disebutkan, Badan yang berwenang melaporkan adanya indikasi kerugian negaraldaerah dan/atau unsur pidana lainnya adalah BPK, jadi bukan BPKP
Bahwa oleh karena penghitungan keuangan negara tidak dilakukan oleh lembaga yang berwenang, maka hasil penghitungannya tidak layak dipergunakan sebagai dasar dakwaan sebingga dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
9. Laporan hasil penghitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana kompil "a'am pelllactaall outlouremg roD out eUltome. IIlformattoll l)'Item ..Il.... induk sis tern informasi (CIS-RISI) pada PT PLN (persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang tahun 2004 - 2006 sangat bertentangan dengan laporan keuangan dan konsolidasi PT Perusahaan Iistrik negara (persero) No.20.B/Auditama V/GAlOS/2006 tanggal31 Mei 2006 oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
7
Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 49 sid 51 pada pokoknya mengemukakan: -
Bahwa yang harus dijadikan dasar untuk menentukan adanya kerugian negara adalah hasH audit BPI<., bukan audit BPKP. Dalam laporan keuangan dan konsolidasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) No.20.B/Auditama V/GAl05/2006 tanggal 31 Mei 2006 oleh Badan Pemeriksan Keuangan Republik Indonesia, BPK tidak pemah berpendapat adanya kerugian negara dalam pelaksanaan pekerjaan roll out customer information service system rencana induk sistem informasi pada PLN Disjaya, BPK berpendapat bahwa pelaksanaan pekerjaan tersebut belum optimal dan lebih bayar sebesar Rp.530,96 M (hal 48-49). BPK juga tidak pernah berpendapat perlunya dilakukan audit investigasi terhadap pelaksanaan pekeIjaan dimaksud karena memang tidak diketemukan adanya kerugian negara. Bahwa secara jelas dan tegas, laporan BPKP tentang proyek roll out CIS RISI yang menyatakan terdapat adanya kelebihan bayar Rp.46.189.037.336,59.- sehingga menimbulkan kerugian negara sejumlah dimaksud adalah sangat bertentangan dengan laporan BPK. Dakwaan yang menggunakan dasar penghitungan yang dibuat BPKP, yang notabene tidak memiliki kewenangan untuk menghitung adanya kerugian negara, yang bertentangan dengan laporan resmi BPK adalah dakwaan yang tidak sah dan karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima.
10. Unsur penyertaan (deelneming) yang tidakjelas. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya- halaman 51 sid 59 pada pokoknya mengemukakan: -
Bahwa dalam surat dakwaan yang didakwakan oleh Penuntut Umum tidak jelas kedudukan Ir Eddie Widiono Suwondho, Msc, Margo Santoso dan Fahmi Mochtar, "sebagai orang yang melakukan perbuatan" dan sekaligus, "menyuruh melakukan perbuatan" atau "turut serta melakukan" sebagaimana dimaksud oleh pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP. Sehingga tidak ada perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Margo Santoso dan Fahmi Mochtar.
11. Pemeriksaan saksi yang tidak berhubungan dengan perkara ini Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 59 sid 62 pada pokoknya mengemukakan: -
Bahwa adanya keterangan saksi an. Lindasari Hendayani dan an. Murtaqi Syamsudin dimana keterangan kedua saksi tersebut secara pasti tidak ada kaitannya dengan
PendapatlbQlltahQII Penuntut Umum daJam Pe,.lcara I,. EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
8
perkara yang didakwakan kepada terdakwa. Keterangan kedua saksi ini tidak termasuk dalam keterangan saksi yang dimaksud oleh pasal 1 ayat (26) dan ayat (27). Meskipun keterangan - keterangan kedua saksi ini mengenai hal yang ia dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi, tetapi apa yang didengar dan dial ami oleh kedua saksi ini tidak ada hubungannya dengan perkara terdakwa. Dengan demikian sepatutnya kalau disimpulkan bahwa dakwaan terhadap terdakwa ini adalah dakwaan yang tidak dapat diterima. Bahwa oleh karena materi keberatan dalam Bab II ini adalah mengenai "Dakwaan Tidak Dapat Diterima" maka sebelum kami menguraikan pendapat I tanggapan atas keberatan beserta alasan-alasan yang dimuat dalam Nota Keberatan tersebut diatas, terlebih dahulu perlu kami uraikan tentang apa yang dimaksud dengan "Dakwaan Tidak Dapat Diterima". Bahwa "dakwaan tidak dapat diterima" adalah salah satu alasan keberatan sebagaimana ditentukan dalam pasal156 ayat (1) KUHAP. Namun demikian KUHAP tidak memberi penjelasan lebih lanajut tentang apa yang dimaksud dengan "dakwaan tidak dapat diterima" dan bilamana pengajuan suatu keberatan dengan alasan yang demikian itu dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim. Oleh karena KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang hal tersebut maka perlu dicari penjelasannya dati sumber hukum lain diantaranya melalui doktrin yang telah dianut dan diakui dalam praktek peradilan. Bahwa terkait dengan hal tersebut, PAF. Lamintang dalam bukunya "KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan llmu Pengetahuan Hukum Pidana", halaman 358-360, memberi penjelasan sebagai benkut: " ..... eksepsi yang mengatakan "dakwaan tidak dapat diterima" sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan pasal 156 ayat (1) KUHAP itu, dapat dikemukakan oleh Terdakwa atau oleh Penasihat Hukumnya apabi/a dakwaan yang telah dibuat oleh Penuntut Umum itu ada hubungannya dengan ketidakwenangan dari Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Tidak berwenangnya Penuntut Umum melakukan penuntutan terhadap terdakwa seperti dimaksudkan di atas itu, dapat berkenaan antara lain : a.
tidak adanya pengaduan dari orang yang berwenang mengadu menurut undang undang mengenai terjadi suatu delik aduan seperti yang antara lain telah diatur dalam pasal-pasaZ : 284 ayat (2), 287 ayat (2), 293 ayat (2), 319, 320 ayat (2), 321 ayat (3), 332 ayat (2), 335 ayat (2), 367 ayat (2) dan 369 ayat (2) KUHP ,.
PendapatlbD/1tahD/1 Penuntul Umum da/am Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC.
9
b. tidak sahnya pengaduan yang telah dipakai sebagai dasar oleh Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan terhadap Terdakwa, karena bertentangan dengan ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam pasal-pasal : 72, 73 dan 74 KUHP;
c. tidak sahnya penuntutan dan Penuntut Umum, karena pengaduan yang dipakai sebagai dasar untuk melakukan penuntutan telah dicabut kembali oleh pengadu sesuai dengan haknya yang diatur dalam pasal 75 KUHP :
d. tidak sahnya penuntutan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa karena adanya dasar-dasar yang meniadakan penuntutan, antara lain seperti yang diatur dalam : 1.
Bab kesatu KUHP, yakni dalam pasal 2 - pasal 5 dan pasal 7 - pasal 9 KUHP, yang mengatur masalah ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana Indonesia;
2.
Bab kelima KUHP, yakni dalam pasa/ 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit dan pencetak tidak dapat dituntut apabi/a pada barang cetakan yang bersangkutan dicantumkan nama dan alamatnya serta pelaku atau orang yang telah menyuruh mencetak diketahui atau diberitahukan setelah mendapat teguran tentang kelalaiannya ;
3.
Bab kedelapan KUHP, yakni dalam pasal 82 KUHP yang mengatur batalnya hak untuk melakukan penuntutan, karena adanya penyelesaian di luaT proses peradilan (afdoening buiten process); dalam pasal 76 KUHP yang mengatur asas nebis in idem, dengan menentukan bahwa tidak seorang pun dapat dituntut untuk kedua kalinya, apabila perbuatannya telah mendapat putusan dari hakim Indonesia yang telah. mempunyai kekuatan hukum yang tetap; pasal 77 KUHP yang menentukan bahwa hak untuk melakukan penuntutan ;menjadi hapus karena meninggalnya terdakwa dan pasal 78 KUHP yang menentukan, bahwa hak untuk melakukan penuntutan itu gugur karena kedaluwarsa atau karena lewat waktu.
Dengan memperhatikan doktrin tersebut di atas, maka kami berpendapat bahwa keberatan yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum dengan alasan "dakwaan tidak dapat diterima" sebagaimana dikemukakan pada Bab II Nota Keberatannya tersebut menWljtik:kan bahwa Tim Penasihat Hukum tidak memahami dengan benar tentang materi pengajuan keberatan yang diatur dalam pasall56 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, Tim Penasihat Hukum tampaknya tidak dapat memilah hal-hal mana saja yang dapat dijadikan alasan pengajuan keberatan sehingga terkesan bahwa Tim Penasihat Hukum bempaya Wltuk menarik materi pokok perkara sebagai materi pengajuan keberatan. Tentunya pengajuan keberatan yang demikian itu hamslah ditolak atau dikesampingkan karena tidak memenuhi alasan yuridis Pendapatlbantahan Pmuntut Umum dalam Perklua Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
10
sehingga pada prinsipnya tidak perlu kami tanggapi lebih Ianjut. Namun demikian, kami perlu menyampaikan bantahan terhadap : 1. Keberatan tentang "Penuntut Umum melanggar Undang-Undang".
-
Bahwa pencantuman kata terdakwa dalam Surat Perintah
e:l
p:~u tidaklah dapat
diartikan sebagai perbuatan melanggar undang-undang mengingat KUHAP tidak memberikan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis mengenai format Surat Perintah Penahanan dimaksud. Bahwa format Surat Perintah Penahanan merupakan Tata Laksana Administrasi Pelimpahan· Perkara ke Pengadilan yang merupakan bagian dari tugas pokok Kejaksaan dalam bidang penuntutan sehingga dalam pelaksanaannya mempedomani Keputusan
Jaksa
Agung
Republik
Indonesia
(Kepja)
Jal£sa·
A~g ~
No.5181A1JAl1112001 tanggal 01 Nopember 2001 tentang perubahan Kepja No.Kep 132/JAl1111994 tanggal 07 Nopember 1994 yang sampai hari ini masih berlaku di
seluruh Indonesia (vide: halaman 238 dan 239 tentang Format SURAT PERINTAH i
PENAHANANIPENGALIHAN
JENIS
PENAHANAN
(TINGKAT
PENUNTUTAN».
Bahwa di dalam Kepja tersebut juga dicantumkan tabel petunjuk I cara pengisian
Format Surat Perintah Penahanan (vide: halaman 240) yang mana salah satu dasar
hukum pengisian format Surat Perintah Penahanan tersebut adalah pasal 21 KUHAP,
yang menyebutkan:
Ayat (1): Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa ....... dst. Ayat (2): Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dengan menyebutkan alasan penahanan ...... dst. Bahwa apabila bunyi pasal 21 KUHAP khususnya ayat (2) tersebut dipahami dengan seksama maka dapat dimengerti bahwa "dalam proses penyidikan penyidik
berwenang melakukan tindakan penahanan terhadap tersangka sedangkan dalam proses penuntutan penuntut umum berwenang melakukan tindakan penahanan terhadap terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan". Dengan demikian, setelah penyidik melimpahkan tersangka berikut berkas perkara dan barang bukti kepada Penuntut Umum maka proses penanganan perkara memasuki tahap penuntutan. Dalam proses penunutan ini, sesuai dengan bunyi pasal 21 ayat (2) PendapatlbantahQll Penuntut U1IIIU7I dalam Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC
11 KUHAP tersebut berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan. Oleh karena itu pencantuman kata "terdakwa" dalam surat perintah penahanan yang diberikan oleh Penuntut Umum KPK sudah. tepat l
dan tidak melanggar ketentuan undang-undang, sehingga tidak benar tuduhan Tim Penasihat Hukum yang menyatakan bahwa Penuntut Umum pada KPK melakukan perbuatan melanggar undang-undang karena mencantumkan kata "terdakwa" dalam Surat Perintah Penahanan yang berpedoman pada Kepja tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana tersebut. 2.
Keberatan tentang "Surat Perjanjian Kerjasama Outsourcing Roll Ot.t CIS RISI antara PT PLN Disjaya dengan PT Netway adalah perjanjian yang sah". Bahwa surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum adalah didasarkan pada keterangan 123 orang saksi yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi, keterangan ahli, surat-surat dan barang-barang bukti yang telah disita oleh penyidik, yang merupakan hasil penyidikan sebagaimana tercantum dalam berkas perkara Nomor: BP-23/7/2011 tanggal19 Juli 2011. Dari hasil penyidikan ditemukan bukti-bukti yang kuat tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa terkait perbuatan terdakwa dalam pengadaan Outsourcing Roll Out CIS - RISI (Customer Information System - Rencana Induk Sistem Informasi) di PT PLN (Persero) Disjaya dan Tangerang yang sumber dananya
berasal dari Pos Pengolahan Data dan Teknologi Informasi pada Anggaran PLN (APLN) Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2006 termasuk bukti adanya Surat Perjanjian Kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI antara PT PLN Disjaya dengan PTNetway. Bahwa berdasarkan hasil penyidikan diperoleh kesimpulan bahwa penandatangan surat perjanjian tersebut adalah terkait dengan rangkaian perbuatan terdakwa dalam mewujudkan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepadanya adanya sehingga penandatangan surat perjanjian yang dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah secara perdata tidaklah serta merta menghilangkan pertanggung jawaban terdakwa secara pidana. Oleh karena pembuktian aspek pidana atas perbuatan terdakwa yang didakwakan tersebut termasuk materi pokok perkara, sehingga keberatan yang demikian haruslah dikesampingkan atau ditolak. Sebagai bahan pertimbangan dibawah ini akan disampaikan Yurispudensi yang menegaskan bahwa sekalipun seandainya berdasarkan penilaian Hakim perbuatan terdakwa merupakan masalah perdata, bukan berarti serta merta menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan pidana terdakwa, sebagaimana pertimbangan Putusan Pendapatlbantahan Penll1ltut Umum dalam Perkma Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
12 MA No. lK/Kr/1957 tanggal 8-5-1957 (vide: Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetakan Kedua, Mahkamah Agung RI , 1993. Hal. 57), yang menyatakan:
"Walaupun dalam suatu perkara terdapat dasar-dasar untuk memajukan gugatan terhadap terdakwa yang OOpat merupakan perkara perdata, akan tetapi ini tidak berarti bahwa penuntut kasasi tidak dapat dituntut karena ia melakukan suatu tindak pidana; dengan demikian perbuatan-perbuatan yang dilakukan dapat merupakan baik perkara piOOna maupun perkara perdata tersendiri ". 3.
Keberatan tentang "Perbuatan orang lain seolah-olah perbuatan terdakwa". Bahwa adanya fakta tentang perbuatan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa dan orang lain tersebut belum ditetapkan sebagai tersangka tidak berarti perkara atas nama terdakwa aquo tidak dapat diperiksa di persidangan karena dalam Yurisprudensi MARl tanggal22 Nopember 1969 No.7 K/Kr/1969 dalam perkara atas nama 1. Robinson Pinem, 2. OJ. Oamanik, 3. Pangulu
Siahaan menegaskan bahwa "keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa dalam
perkara in; pelaku utamanya tiOOk diadili tidak dapat diterima karena untuk memeriksa perkara terdakwa pengadilan tidak perlu menunggu diajukannya terlebih dahulu pelaku Utama dalam perkara itu ", Bahkan dalam perkembangan proses persidangan perkara aquo apabila ditemukan peran-peran pihak lainnya maka tidak menutup kemungkinan ditetapkannya tersangka barn. 01eh karena itu pernyataan Tim Penasihat Hukum tentang terjadi manipulasi berupa pengurangan terdakwa dan wpang pilih dalam menentukan tersangka adalah pemyataan tendensius yang menyesatkan. Oengan demikian, keberatan tentang tidak ditetapkannya orang lain dalam kaitan dengan peranan mewujudkan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan ruang lingkup eksepsi dan harus dikesampingkan. 4.
Keberatan tentang "Pelanggaran azas legalitas". Bahwa pernyataan Tim Penasihat Hukum tentang penetapan Eddie Widiono Suwondho sebagai tersangka belum ada kerugian Negara yang dihitung berdasarkan penghitungan yang dilakukan Ahli sehingga dianggap melanggar asas legalitas adalah menunjukkan bahwa Tim Penasihat Hukum tidak
memaham~ dengan
benar
pengertian asas legalitas itu sendiri. -
Asas
legalitas
lazim
disebut dengan terminologi
"principle
of legality",
"legaliteitbeginsel", "non-retroaktif', "de la legalite" atau "ex post facto laws". Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pendapatlbantahan Penuntut Umum dalam Perkara lr EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC
13 Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: "Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selaro dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendabuluinya". P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, ''Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pi dana menurut undang-undang yang telah diadakan Iebih dulu".
Mill: Harnzah
menterjemahkan dengan terminologi, "Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendabuluinya". Dari terjemaban terminologi tersebut dapat dipabami babwa " pefumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporls delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada
pada saat delik terjadi atau disebut juga asas "nonretroaktir', yang melarang pembedakuan surut suatu undang-undang pidana dan sanksi pi dana (nonretroactive application ofcriminal laws and criminal sanctions) n.
Berdasarkan uraian tentang pengertian asas legalitas diatas dihubungkan dengan surat dakwaan penuntut umum maka dapat disimpulkan bahwa penetapan terdakwa sebagai tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-l0/01/III2010 tanggal 23 Februari 2010 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-14/01lTIII201O tanggalll Maret 2010 tidak melanggar asas legalitas, karena : • Undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan dengan bukti permulaan yang cukup. • Bahwa dengan bukti permulaan yang cukup tersebut penyidik meyakini adanya perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa terkait pengadaan Outsourcing Roll Out CIS - RISI (Customer Information System - Rencana Induk Sistem Informasi) di PT PLN (Persero) Disjaya dan Tangerang yang sumber
dananya berasal dari Pos Pengolaban Data dan Teknologi Informasi pada Anggaran PLN (APLN) Tabun 2004 sampai dengan Tabun 2006 sehingga penyidik menetapkan terdakwa sebagai tersangka dengan sangkaan melanggar ketentuan pasal 2 ayat (I) UU Nomor 31 Tabun 1999 jo UU Nomor 20 Tabun 2001. • Babwa ketentuan pi dana yang dijadikan dasar penetapan terdakwa sebagai tersangka tersebut sudab ada sebelum tindak pidana korupsi yang disangkakan itu terjadi. Babwa Tim Penasihat Hukum telab keliru memabami makna asas legalitas dan terkesan berupaya mengaburkan substansi surat dakwaan dengan cara mengkaitkan mekanisme penetapan tersangka dengan pembuktian unsur kerugian negara yang salah Pendapatlbantahan Perllllttut Umum dafam Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC
14
satu alat buktinya adalah surat berupa Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Ahli dari BPKP. Bahkan kekeliruan itu semakin nyata ketika Tim Penasihat Hukum mengutip pertimbangan dalam alinea pertama halaman 72 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003IPUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 kemudian memberikan kesimpulan bahwa seolah-olah penetapan tersangka belum dapat dilakukan jika haSil penghitungan kerugian negara belum dituangkan dalam suatu laporan. Kesimpulan yang demikian adalah menyesatkan karena tidak demikian maksud dari pertimbangan putusan MK tersebut. • Bahwa pertimbangan dalam putusan MK sebagaimana tercantum pada halaman 70 sampai dengan 73 adalah menyangkut kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (l) bahwa dengan penambahan kata "dapat" tersebut menjadikan tindak pi dana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) a quo menjadi rumusan de1ik formil sehingga apakah dengan pengertian tersebut, frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara", yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak periu dibuktikan atau harns dibuktikan. Menurut pendapat MK sebagaimana dalam pertimbangan putusan aquo "unsur kerugian negara harns dibuktikan dan harns dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harns ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pid~ seb~gaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata "dapat" dalam Pasal 2· ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik
ole~
aparat penegak
hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma"; . Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa pertimbangan putusan MK tidak mengkaitkan adanya suatu keharusan bahwa untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka harus terlebih dahulu adanya penyampaian Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Ahli kepada penyidik. - Bahwa dalam penetapan terdakwa sebagai tersangka, secara substantif penyidik telah meyakini adanya unsur kerugian negara karena sejak awal Ahli dari BPKP yang dimintakan bantuannya telah melakukan proses penghitungan kerugian negara sehingga persoalan penyampaian laporan tersebut hanyalah persoalan teknis dan untuk mendukung alat bukti berupa surat yang akan digunakan dalam proses pembuktian di persidangan. Tim Penasihat Hukum telah mengakui adanya pencantuman kerugian PendapatlbQfltahQfl PenWltllt Umum dalam Perwa 17 EDDIE WID/ONO SUWONDHO. MSC.
15 negara sebesar Rp 45 Milyar dalam Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi yang mana pencantuman jumlah kerugian negara bukanlah hasil rekaan penyidik melainkan hasil pekerjaan audit yang dilakukan oleh AhU. Oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum mengenai hal ini adalah keberatan yang mengada-ada dan sudah seharusnya dikesampingkan dan tidak perlu dipertimoangkan oleh Majelis Hakim. Bahwa Tim Penasihat Hukum dalam bagian keberatan ini juga mempersoalkan tentang isi Surat Dakwaan yang menyatakan bahwa terdakwa menerima pemberian uang berdasarkan business Plan 2005-2007 PT Netway Utama adalah hanya berdasarkan asumsi dan tidak akurat karena mengandung ketidak benaran. Bahwa oleh karena itu dakwaan telah melanggar asas legalitas sehingga dakwaan tersebut hams dinyatakan tidak dapat diterima. Keberatan yang demikian ini adalah menyangkut penilaian terhadap fakta yang tentunya perlu dibuktikan di persidangan. Oleh karena itu tidak benar jika uraian fakta tentang penerimaan uang oleh terdakwa dianggap sebagai melanggar asas legalitas. 5.
Keberatan tentang "Surat dakwaan disusun sebagai perbuatan berlanjut tetapi pasal 64 tidak dicantumkan dalam surat dakwaan". Bahwa sesuai Jurisprodensi MA No.156 KlKrl1963 tanggal 28 April 1964,
soal
perbuatan lanjutan atau voortgezette handeling itu hanyalah mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoematig) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan. Berdasarkan yurisprudensi
tersebut_~apat,
ditarik kesimpulan bahwa pencantuman
pasal 64 KUHP dalam surat dakwaan bukan merupakan alasan pengajuan keberatan (eksepsi) melainkan termasuk lingkup penilaian fakta dalam proses pembuktian terkait dengan pemberatan dalam penjatuhan
hukuma;\~leh karena itu keberatan tersebut
harnslah dikesampingkan. 6.
Keberatan tentang "Dakwaan primair bukan merupakan peraturan perundang undangan". Bahwa sesuai dengan Pasal 56 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa "Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupatilwalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, hams dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini".
Pendapatlbantahan Penuntut Umum daJam Perkara Ir EDDIE WID/ONO SUWONDHO, MSC.
16 -
Bahwa ketentuan pengadaan barang dan jasa di PT. PLN dalam bentuk SK Direksi .PT. PLN tidaklah berdiri sendiri akan tetapi peraturan tersebut lahir sebagai tunman dari UU, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, sebagaimana tercantwn di dalam konsideran SK Direksi tersebut, yang mana pengaturan SK Direksi tersebut dimaksud sebagai petunjuk teknis dalam pengadaan barang dan jasa di PT. PLN (Persero).
Bahwa pasal3 UU No.19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, "Terhadap BUMN berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya." -
Bahwa dengan demikian, Anggaran Dasar PT. PLN (Persero) Tahun 1998 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 12 Mei 1998 Nomor 38; Surat Keputusan (SK) Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 038.KJ9201DIRI1998 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di PT. PLN (Persero); SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 138.KJOI01DIRI2002
tentang Pedoman Pelaksanaan
Outsourcing Pelayanan
Pelanggan; SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor: No. 118.KJOI0IDIRI2004 tentang Penataan Outsourcing Di Lingkungan PT. PLN (Persero); dan SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 1OO.KJO 1OIDIRI2004 tentang Pengadaan Barang/Jasa di PT. PLN (Persero) jo SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 200.KJOIOIDIRI2004 tentang Penjelasan Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT. PLN (Persero) adalah termasuk dalam katagori peraturan perundang-undangan. Dengan demikian keberatan tentang hal ini haruslah dikesampingkan. 7. Keberatan tentang "Keuangan PT PLN (Persero) sebagai BUMN bukan merupakan keuangan Negara", kami tanggapi sebagai berikut: -
Bahwa keberatan tersebut adalah materi pokok perkara dan bukan termasuk dalam ruang lingkup materi yang dapat diajukan sebagai keberatan (eksepsi) sebagaimana yang diatur dalam Pasal156 (I) KUHAP dan seharusnya dikesampingkan. Bahwa namun demikian kami perlu tegaskan bahwa pendapat Tim Penasihat Hukum yang menyatakan keuangan PLN bukan keuangan Negara adalah pendapat yang keliru. Sebab di dalam penjelasan atas UU Tipikor dengan tegas dinyatakan bahwa "keuangan negara yang dimaksud dalam UU Tipikor adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNIBUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyewakan modal negara, atau
Pendaput/bantahan Penuntut Umum dalam Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
17 perusahaan yang menyertalean modal pihale ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara"; Bahwa penjelasan tersebut sejalan pula dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2003 Pasall angka 1 yang memberikan pengertian keuangan Negara adalah semua hale dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelalesanaan hale dan kewajiban tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 ditegaskan bahwa Keuangan Negara meliputi kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihale lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hale-hale lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah. Bahwa kekuasaan atas pengelolaan keuangan Negara digunakan untuk mencapai tujuan bemegara, sehingga setiap tahun disusun APBN dan APBD. Salah satu penggunaan dana APBN/APBD adalah dalam bentuk penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas tainnya, yang digolongkan sebagai Kekayaan Negara yang dipisahkan. Bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN). Artinya bahwa secara langsung maupun tidak langsung, dapat dikatakan bahwa dalam operasionalnya, BUMN tetapi menggunalean APBN. Malesud dan tujuan pendician BUMN adalah untuk menyelenggaralean kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyale. 8. Keberatan tentang "Penghitungan kerugian negara tidak dilakukan pihak yang berwenang" dan 9. Tentang "pemyataan Laporan hasil penghitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan outsourcing roll out customer information system rencana induk sistem informasi (CIS-RISI) pada PT PLN (persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang tahun 2004 - 2006 sangat bertentangan dengan laporan keuangan dan konsolldasi PT Perusahaan Iistrlk negara (persero) No.20.B/Auditama V/GAlOS/2006 tanggal31 Mel 2006 oleh Badan Pemeriksa Keuangan".
Pendapat/bantahan Pelluntut Umum dalam PerluJra Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC
18 Bahwa keberatan tentang kewenangan Ahli BPKP dalam menghitung kerugian keuangan Negara (Point 8) dan ada tidaknya kerugian keuangan Negara (point 9) diatas bukan merupakan materi eksepsi melainkan tennasuk penilaian fakta yang akan dibuktikan di persidangan. 10. Keberatan tentang "Unsur penyertaan (deeJneJDing) yang tidakjelas". Bahwa dalam rumusan unsur Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP, diatur tiga
bentuR: penyertaan
yaitu sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan. Dalam Surat Dakwaan baik rumusan unsur delik pada Dakwaan Primair maupun pada Dakwaan
SUbSi~ir,
Penuntut Umum telah menguraikan dengan jelas kualitas penyertaan
tersebut yaitu ~ Terdakwa baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan atau turut serta melakukan dengan Saksi Margo Santoso, Fahmi Mochtar dan Gani Abdul Gani, dan uraian faktanya telah dikonstruksikan secara cennat, jelas dan lengkap baik dalam dakwaan primair maupun subsidiair. Bahwa untuk mengetahui kualitas Terdakwa dalam penyertaan tersebut apakah sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan tentulah harus dibuktikan dalam persidangan. Dengan demikian keberatan tentang hal ini bukan merupakan lingkup materi eksepsi melainkan sudah memasuki materi pokok perkara yang akan dibuktikan dalam persidangan selanjutnya. 11. Keberatan tentang "Pemeriksaan saksi yang tidak berhubungan dengan perkara ini". Bahwa Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Pennasalahan dan penerapan KUHAP hal. 274, menjelaskan, "~~at hukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang
bebas tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya.
Tergantung pada penilaian Hakim untuk
menganggapnya sempurna atau tidak Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat "menerima
II
atau
"menyingkirkannya ". Lain halnya jika Undang-Undang sendiri telah menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mementukan. Jika seandainya Undang-Undang menentukan demikian, Hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, Hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan, tidak lagi berwenang untuk menilainya secara bebas."
i
Bahwa keberatan mengenai adanya keterangan duC:d'ari 123 orang saksi dalam berkas perkara yang menurut pendapat Tim Penasihat Hukum tidak reI evan dengan Pendapat/bantahan Penlllltlit Umum dalam Perlalra Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
19 pembuktian perbuatan terdakwa bukan merupakan lingkup eksepsi melainkan i
termasuk kewenangan hakim dalam melakukan penilaian terhadap keterangan saksi saksi apabila dihadirkan untuk memberikan keterangan di persidangan. Penuntut Umum tidak terikat untuk menghadirkan keseluruhan saksi yang dicantumkan dalam berkas perkara tersebut dalam proses pembuktian. Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk menghadirkan sebagian saksi jika telah yakin bahwa dakwaan yang diajukan telah dapat dibuktikan. Penilaian terhadap kualitas saksi dan kepentingan untuk menghadirkannya di persidangan sebagai alat bukti saksi bukan merupakan 1ingkup eksepsi. Berdasarkan uraian diatas, maka kami berpendapat bahwa keberatan yang diajukan o1eh Penasihat Hukum terdakwa sebagaimana diuraikan dalam Bab II tersebut adalah tidak beralasan sehingga sudah seharusnya dinyatakan ditolak atau dikesampingkan. Bahwa selanjutnya dalam Bab III Nota Keberatan Tim Penasihat Hukum telah mengajukan materi keberatan tentang "Surat Dakwaan Harus Dibatalkan", dengan alasan sebagai berikut: 1. Surat dakwaan tidak jelas
Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 62 sid 65
pada pokoknya
mengemukakan sebagai berikut : Perumusan surat dakwaan yang disusun o1eh Penuntut Umum secara subsidiairitas tersebut tidak tepat karena
perbua~
yang didakwakan terhadap terdakwa adalah
perbuatan yang berbeda dan masing-masing berdiri sendiri yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum disatu pihak sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Tipikor dan perbuatan yang bersifat menyalahgunakan wewenang dilain pihak sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Tipikor, oleh karena itu lebih tepat dakwaan kepada terdakwa disusun secara a1ternatif. Dengan demikian surat dakwaan yang disusun secara subsidiairitas tersebut adalah tidak je1as sehingga harus dibatalkan. 2. Dakwaan disusun tidak cermat menyebutkan waktu (tempus delicti) tindak pidana
itu dilakukan. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 65 sid 66
pOOa pokoknya
mengemukakan sebagai berikut : Bahwa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak cermat menyebutkan waktu tempus delicti tindak pidana itu dilakukan hal ini terlihat dalam dakwaan subsidiair halam 14 baris ke-13 sid 14, "....pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan h1lll11PQllbrmUlllrm P.IIU1llJlt u_ dlll_ P.,.wlll,. EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MaC.
20
lagi antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2006 atau setidak tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2000 sampai dengan tahun 2006.. " Sementara dalam dakwaan Subsidiair halaman 15 alenia terakhir, " ... terdakwa selaku
Direktur Pemasaran dan Distribusi (Dirsar) PT PLNyang menjabat sejak tahun 1998 telah mengetahui bahwa PT PLN Disjaya dan Tangerang telah bekerjasama dengan Politeknik ITB Bandung sejak tahun 1994.... dts' Sehingga dari rumusan waktu (tempus delicti) tindak pidana itu dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan terbukti sangat tidak cennat karena disatu sisi menyebutkan antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2000 sampai.. .." sejak tahun 1998 telah mengetahui..." sehingga dengan demikian dakwaan tidak jelas dan lengkap menyebutkan waktu (tempus delicti) tindak pidana dilakukan. 3.
Fakta dakwaan disusun secara manipulatif. Penasehat Hukum dalam nota keberatannya halaman 66 sid 102
pada pokoknya
mengemukakan bahwa surat dakwaan Penuntut Umum disusun secara manipulatif, bukan hanya sekedar bennaksud menghilangkan peran orang tertentu seperti Sunggu Anwar Aritonang tetapi juga dilakukan dengan memanipulasi fakta dalam uraian perbuatan yang dilakukan terdakwa dimana uraian fakta tidak jelas sumbernya, hanya berasumsi dan didasari pada kebohongan, dengan demikian dakwaan yang disusun secara manipulatif mengakibatkan dakwaan dibatalkan. Berdasarkan uraian materi keberatan beserta alasan-alasan yang dimuat dalam Bab III Nota Keberatan tersebut diatas maka sebelum kami menguraikan pendapat I tanggapan atas keberatan beserta alasan-alasan yang dimuat dalam Bah III Nota Keberatan tersebut, terlebih dahulu perlu kami uraikan tentang pengertian "Surat Dakwaan harus dibatalkan" scrbagaimana dimaksud dalam Pasal143 ayat (3) KUHAP. Berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan bahwa surat dakwaan yang tidal<: memenuhl ketentuan salah satu unsur syarat-syarat materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dimana dakwaan tidak terang dan tidak cermat merumusk~
unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan maka surat dakwaan yang demikian
adalah harus dibatalkan. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya betjudul
i' Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP" jilid II, cetakan ke-III, Penerbit Pustakan Kartini, halaman 663-664 pada intinya menyatakan, bahwa "mengenai alasan keberatan surat
dakwaan batal, bukan dakwaannya yang dinyatakan tidak dapat diterima, akan tetapi yang harus dibatalkan adalah surat dakwaan, yaitu dimana surat dakwaan tidak memenuhi Pendaparlbantahan Penuntut Umum dalQll) Perlcara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
21 syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal143 ayat (2) hurufa KUHAP dan syarat materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal143 ayat (2) hurufb KUHAP. "
Berdasarkan pengertian "Surat Dakwaan harus dibatalkan" maka karni berpendapat bahwa surat dakwaan penuntut umum telah memenuhi syarat formil sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP dan syarat materiil sebagaimana dif~ud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, sehingga cukup beralasan untuk dijadikan dasar oleh Majelis dalarn memeriksa, mengadili dan memutus perkara aquo. Narnun demikian karni akan memberikan pendapat / tanggapan terhadap materi keberatan pada Bab III dalam Nota Keberatan yaitu : 1.
Keberatan tentang "Surat dakwaan tidak jelas" Bahwa perumusan bentuk surat dakwaan secara subsidiairitas sudah tepat dan tidak tepat jika dirumuskan dalam bentuk dakwaan altematif. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah dakwaan altematif ditunjukkan dengan perbedaan uraian fakta yang dilakukan oleh Terdakwa dalam perbuatan yang didakwakan satu dengan lainnya, yang ditandai dengan penyebutan dakwaan ke-satu, ke-dua, dan seterusnya, dan dalam pembuktiannya hakim boleh memilih salah satunya. Sedangkan dakwaan subsidaritas ditunjukkan dengan uraian fakta yang sarna yang dilakukan oleh Terdakwa dalam perbuatan yang didakwakan satu dengan lainnya, yang ditandai dengan penyebutan dakwaan primer, subsider, lebih subsider, dan seterusnya, akan tetapi Penuntut Umum merasa tidak yakin kualifikasi mana (pasal yang mana) yang akan terbukti di depan persidangan sehingga dalam penyusooan surat dakwaan berdasarkan tingkatanlgradasi berat ringannya ancaman pidana pada masing-masing tindak pidana. Oleh karena itu hakim dalarn pembuktiannya hams membuktikan dakwaan primer terlebih dahulu, yang apabila tidak terbukti, maka dakwaan subsiderlah yang harus dibuktikan, demikian seterusnya Bahwa seandainya prinsip penyusunan bentuk dakwaan tersebut dihmggar oleh penuntut umum maka hal itu bukanlah termasuk melanggar pasal 143 ayat (2) KUHAP dan mengkualifikasi surat dakwaan " kabur" (obscur libel). Sebab, berdasarkan azas pasal 4 ayat (2) UU No.14 tahun 1970: PerOOilan sederhana, cepat dan biaya ringan (asas ini pOOa saat sekarang dianut secara luas disemua negara dengan rumusannya: informal procedure and can be put in motion quickJy) pelanggaran atau kekeliruan dimaksud dapat dianggap sebagai kesalahan pengetikan (clerical error) atau kesalahan prosedur (Procedural error) yang dapat diluruskan
dengan jalan Hakim dalam persidangan mengubah susunan surat dakwaan sesuai dengan prinsip yang digariskan atau dapat dilakukan dengan cara mencatat dalarn PendapatlbantGhan Penuntut Umum da/am Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
22 Berlta Acara serta menjelaskan dalam pertimbangan. (vide: M Yahya Harahap dalam bukunya pembahasan pennasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan penuntutan edisi 2 hal. 448) Bahwa dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa Penuntut Umwn dengan kewenangannya mempunyai kebebasan merumuskan sendiri bagaimana bentuk dari surat dakwaan dengan berpedoman pada hasil pemeriksaan penyidikan. Dengan demikian tidak benar jika bentuk Surat Dakwaan yang disusun secara subsidaritas dalam perkara aquo dijadikan alasan bahwa dakwaan tidak jelas dan surat dakwaan harus dibatalkan. Oleh karenanya alasan tersebut hams dikesampingkan. 2. Keberatan tentang "Dakwaan disusun tidak cermat menyebutkan waktu (tempus delicti) tindak pidana itu dilakukan". Bahwa pencantuman waktu (tempus delicti) tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan dengan menyebutkan "antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2000 sampai.. .... sudah cennat. Hal ini telah ditegaskan dalam putusan Hoge Raad tanggal 18 Juni 1928 menyatakan, " penyebutan (penulisan) dalam surat dakwaan, bahwa mereka terdakwa telah melakukan perbuatan tersebut kira-kira tahun 1920 sid 1926 adalah cukup dalam menyatakan waktu.
JI
Bahwa pencantuman kalimat "terdakwa sejak tahun 1998 telah mengetahui bahwa PT PLN Disjaya dan Tangerang telah bekerjasama dengan Politeknik Bandung sejak tahun 1994" dalam konstruksi feit
~lahmenunjukkan
adanya pengetah'\lan terdakwa
tentang waktu sesuatu peristiwa bukan waktu terdakwa melakukan tindak pidana, sehingga tidaklah dapat dijadikan alasan bahwa dakwaan tidak jelas dan lengkap menyebutkan waktu (tempus delicti) tindak pidana dilakukan. Dengan demikian keberatan yang demikian tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan dakwaan tidak cermat dan surat dakwaan harus dibatalkan, sehingga alasan tersebut harus dikesampingkan. 3. Keberatan tentang "Fakta dakwaan disusun secara manipulatif" sebagaimana diuraikan pada item 1 sId 35". Bahwa setelah kami mencennati keseluruhan materi keberatan I eksepsi yang diuraikan pada halaman 66 sid 102 yang terdiri dari 35 item maka kami berpendapat bahwa Tim Penasihat Hukum secara prematur telah melakukan penilai fakta tanpa melalui proses pembuktian Tim Penasihat Hukum dan dengan mengambil alih kewenangan hakim telah mengadili sendiri fakta yang terdapat dalam surat dakwaan Pendapatlbantahan Petllllltut Umum dalam Perk4ra Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSC.
23 sebagai fakta yang disusun secara manipulatif, tidak jelas sumbernya, hanya berasumsi serta didasari pada kebohongan. Bahwa oleh karena materi keberatan yang demikian merupakan penilaian fakta yang harus dibuktikan di persidangan maka kami berpendapat alasan-alasan yang dikemukakan tersebut tidak berdasar dan harus ditolak.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim; Yang Terhormat Sdr. Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum;
Berdasarkan seluruh uraian pendapat I tanggapan yang telah kami kemukakan diatas maka kami mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini untuk: 1. Menolak seluruh keberatan (eksepsi) yang diajukan Tim Penasihat Hukum T erdakwa; 2. Menyatakan surat dakwaan Nomor : Dak-19/24/0812011 tanggal 03 Agustus 2011 telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil Wltuk dijadikan sebagai dasar memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. EDDIE WIDIONO SUWONDHO, MSc ; 3. Menetapkan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan.
Demikian pendapat I tanggapan atas materi keberatan (eksepsi) Tim Penasehat Hukum Terdakwa kami bacakan dan ajukan di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini Rabu tanggal 7 September 2011.
PENUNTUT UMUM PADA KPK
~.~/ MUHIBUDDIN, SH., MH.
AFNI
C~A,
Pendapatlbantahan Penuntut Umum da/am Perkara Ir EDDIE WIDIONO SUWONDHO. MSC.
SH., MH.