Tanda Terima Dari Mbak Diah Tangan Pak Kurnia terlipat erat. Ia seperti sedang berdoa. Tapi sudut bibirnya yang terkatup menyulut kebawah, duduknya juga menyender hampir tenggelam ke dalam kursi, dan matanya menatap tajam ke arah bawah meja dengan kerutan dalam di dahinya. Sekian detik lamanya ia tetap dengan sikap seperti itu. Inilah yang membuat Mbak Diah yang sejak tadi berdiri saja di hadapan meja Pak Kurnia merasa kikuk. Ia memang tidak diminta untuk duduk.
“Duduk.” Tiba-tiba Pak Kurnia mengulurkan tangan kanannya menuntun arah bagi Mbak Diah untuk duduk. Mbak Diah semakin merasa tidak enak hati. Dia merasa semua baik-baik saja dan mestinya tidak ada yang salah. Kemudian, di hadapannya terdengar suara hela nafas Pak Kurnia. Ah, bos ini mau bilang apa sih? Aku tegang banget rasanya. “Suami masuk ICU lagi, Mbak Diah?” Suara Pak Kurnia akhirnya keluar juga dengan sangat tenang. Tapi sikap awalnya yang terlihat terlalu serius, masih belum membuat Mbak Diah menurunkan rasa tegangnya. Jadi, ia hanya mengangguk saja sambil tersenyum yang dipaksakan. Pak Kurnia terlihat menunggu sepatah dua patah kata dari Mbak Diah. “Iya, Pak Kur. Kemarin lusa pas saya lagi jalan pulang ditelpon suster kalau suami saya drop lagi tensinya. Rendah banget. Sempat koma tapi kemudian sudah baikan.”
2
“Koma?” Pak Kur mengulangi kata itu dari Mbak Diah. “Iya. Saking dropnya, begitu. Sempat kejang.” Pak Kurnia menarik nafas lagi. Kali ini pandangannya terarah ke langit-langit ruangan. Sebelah tangannya sudah turun ke sandaran kursi. “Yah.. saya turut prihatin.” Pak Kurnia berhenti lagi berbicara, dari raut wajahnya sulit tertebak apakah dia sedang betul-betul prihatin pada keadaan kesehatan Mbak Diah atau karena ada sesuatu yang membuat Pak Kurnia khusus memanggilnya berbicara. Lalu, baru beberapa saat kemudian Pak Kurnia melanjutkan lagi, “Kemarin itu ada kegaduhan, Mbak Diah. Susi harus ketik ulang kontrak padahal klien kita sudah duduk di ruang meeting.” “Hah..” Suara kaget Mbak Diah sayup-sayup terdengar. Dia kaget dan merasa tidak percaya Pak Kurnia menginformasikan soal ini kepadanya. “Saya.. sa... saya sudah sms Susi dan Mbak Erni soal kontrak. Saya taruh di laci kabinet samping kanan saya. Saya juga sudah kasih tahu kuncinya ditaruh dimana. Ini.. ini.. sms yang saya kirim, Pak Kur.” Wajah Mbak Diah memang terlihat pucat pasi dan tubuhnya terlihat gemetar ketika dengan terburu-buru ia mengeluarkan telpon selularnya dari sakunya dan 3
dengan secepat-cepatnya mencari data sms keluar disitu. Suaranya juga terdengar terengah-engah. Terlihat jelas getaran tangannya ketika menyerahkan telpon selular itu agar dibaca Pak Kurnia. Melihat Mbak Diah terlihat emosional, Pak Kurnia merasa enggan menerima telpon seluler itu untuk dibacanya. Tapi toh kemudian ia menerimanya juga. Ia tidak tega juga melihat Mbak Diah terlihat seemosional itu. Pertama-tama ia melihat tanggal dan jam pengiriman. Ia juga memeriksa tujuan sms kepada siapa saja. Status sms apakah terkirim atau tidak juga ia turut periksa. Lalu teks sms memang betul menyatakan informasi tentang dokumen kontrak yang disimpan didalam laci kabinet yang tadi Mbak Diah sebutkan itu. “Tapi, Mbak Diah.” Pak Kurnia mengembalikan telpon seluler itu kembali pada Mbak Diah, “Mbak Diah kan mengerti kalau situasinya mau penandatanganan kontrak, kenapa tidak telpon saja? Ke saya saja, Mbak. Kenapa harus sms ke Susi? Sms ke Erni okelah. Tapi sms ke Susi, Mbak Diah.... Cukup memberikan resiko penghambatan kelancaran business.” “Terpaksa Susi dikasih warning kemarin.”
4
Seperti disambar petir Mbak Diah tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar katakata lanjutan Pak Kurnia. Wajahnya nampak pucat pasi. “Saya saja yang di warning, Pak Kur. Dia kan sudah bantu saya.” Suara Mbak Diah semakin terdengar tergetar. Seperti menahan tangis. “Ada typo, Mbak, yang dilihat dua kali. Satu oleh Pak Dwi, lalu, satu lagi oleh klien. Jadi kita dua kali print ulang baru tanda tangan. Klien sudah tidak bisa basa basi lagi. Langsung ngomel disitu. Malu sekali rasanya. Untungnya tanda tangan tetap jalan.” Pak Kurnia mulai stabil dengan tekanan suaranya. Ia kemudian menegakkan posisi duduknya dan dadanya mendekati pinggiran meja. “Nanti HRD akan panggil Mbak Diah juga soal ini. Tunjukkan saja smsnya. Tapi lain kali telpon, ya?” Pak Kurnia menganggukan kepala untuk memberi tanda bahwa ia sudah ingin mengakhiri pembicaraan tersebut. Mba Diah mengerti maksudnya. “Baik, Pak Kur.” Ia menganggukkan kepala juga untuk memberi tanda permisi beranjak dari kursinya. “Tapi saya minta maaf banget. Saya tidak bermaksud mengacaukan business perusahaan. Saya terima kalau saya harus dapat sangsi SP, Pak.” 5
Pak Kurnia hanya menatap dalam-dalam mata Mbak Diah. Baru kemudian ia menganggukkan kepala. Tapi tidak ada kata-kata lagi yang diucapkannya. Mbak Diah berjalan terhuyung-huyung ke mejanya. Dia merasa lelah dan terpukul atas informasi pengulangan pengetikan kontrak itu. Rasanya ia telah menulis instruksi dengan jelas dimana kontrak itu ditaruh. Kuncinya disimpan dimana juga jelas. Kenapa kok harus diketik ulang? Di ujung matanya ia merasakan basahnya tetesan air mata. “Mbak Diah.” Susi ternyata sudah berdiri disampingnya. Mbak Diah kembali terkejut. “Eh, Susi. Pagi.” “Pagi juga, Mbak. Terima kasih untuk surat peringatan yang saya terima untuk usaha bantuan yang saya berikan untuk pekerjaan yang jadi tanggung jawab Mbak ditengah-tengah tumpukan pekerjaan saya yang segunung kemarin. Terima kasih karena kerjaan saya yang segunung itu biking saya pulang malam terus sudah hampir sebulan dan harus terima surat kayak beginian setelah membantu Mbak. Terima kasih banyak dan Mbak nggak perlu minta maaf apapun ke saya.” Susi tidak menunggu Mbak Diah menyatakan pembelaan dirinya. Ia berlalu begitu saja. Wajahnya 6
cemberut dan walaupun nada suaranya datar, namun amarahnya tidak tersembunyi dari perawakannya yang kecil mungil itu. Padahal.. Mbak Diah sudah memegang telpon selulernya hendak menunjukkan smsnya itu pada Susi. Ah.. sangsi sudah turun. Mau berdebat juga sudah percuma. Lagi pula kontrak sudah ditanda tangani klien. Tapi Mbak Diah merasa terpukul karena informasi Pak Kurnia tadi, lalu Susi yang tiba-tiba datang marah-marah itu, dan... kondisi kesehatan suami yang naik turun. Belum lagi anak-anak jadi kurang perhatian... “Mbak Diah. Hai, Mbak Diah... Mbak... “Suara Merry yang duduk di partisi sebelah memanggilmanggil namanya menyadarkan Mbak Diah dari lamunannya. “Dicariin oleh Bu Dewi HRD.” Mbak Diah terkesiap. Harusnya dia tadi langsung saja ke kantor HRD karena memang Pak Kurnia sudah beri tahu barusan. Tanpa memberi jawaban, Mbak Diah segera beranjak pergi. Tubuhnya yang besar dan gemuk terlihat tergopoh-gopoh ketika ia beranjak dari kursinya dan berjalan pergi. Sepertinya tadi ada suara nafas tersengal-sengal ketika Mbak Diah berjalan melewati meja kerja Merry.
7
Merry merasa prihatin mendengar kabar berita tentang suami Mbak Diah yang katanya sih jatuh di kamar mandi hampir tiga minggu lalu. Sempat masuk ICU, terus kondisinya stabil dan masuk kamar perawatan biasa. Tapi, eh, kok, kemarin itu ia dapat kabar kalau suaminya masuk ICU lagi. Setahu Merry, kehidupan pribadi Mbak Diah itu biasa-biasa saja. Selama hampir empat tahun bekerja disini dan duduk dekat dengan meja kerjanya, Merry mengenal Mbak Diah sebagai seorang pegawai senior yang tenang, bicara seperlunya, tekun, dan tidak pernah datang terlambat. Kehidupan pribadi ataupun kepribadian Mbak Diah bukanlah perhatian orang banyak. Hanya badannya saja yang gemuk dan besar. Katanya sih dulu ketika masih awal kerja disini, Mbak Diah itu termasuk imut dan langsing. “Kenapa toh Susi harus di SP, Wi?” Mbak Diah langsung menyergah Bu Dewi dengan pertanyaan yang sejak tadi mengganggu isi hatinya. Bu Dewi tersenyum melihat Mbak Diah. Mereka sama-sama sudah menjadi karyawan lama. Ketika perusahaan masih kecil dan jumlah karyawan sedikit, Mbak Diah dan Bu Dewi sama-sama mengelola urusan kerja administrasi. Semua bidang kerja jadi tanggung jawab mereka bersama. Sekian lama waktu berlalu, Bu Dewi mendapat kepercayaan mengurus ijin-ijin tenaga kerja dan karyawan asing. Lalu sekarang dia memegang jabatan Manager HRD. 8
Sementara Mbak Diah sendiri adalah karyawan yang santai dan merasa cukup dengan yang ada padanya, sehingga bekerja sekaligus mengurus keluarga adalah pencapaian yang sudah teramat sangat lumayan tinggi untuknya. “Dia kedapatan pakai set hand’s free oleh Mas Kur, Yah.” Bu Dewi menyebut Pak Kurnia itu dengan sebutan Mas Kur. Mungkin karena Pak Kurnia itu lebih muda usianya dibanding mereka. “Kapan? Pas ketik kontrak itu?” “Itu loh, setelah dua kali ketemu typo. Mas Kur merasa malu. Terus dia cepat-cepat keluar ruang meeting. Mungkin Susi nggak menyangka kalau Mas Kur itu ternyata sudah ada di depan pintu ruang meeting, pas Susi sedang bisik-bisik bicara sama orang. Jadi, Mas Kur langsung minta handphonenya, eh, ketahuan kalau dia lagi aktif chat. Sudah Tiga puluh dua menit, Yah... gimana Mas Kur nggak kesal lihat Susi bukannya fokus mengetik, ini kok malah sambil berantem sama pacar di handphone.” “Oh..” Susi itu memang karyawan muda belia. Mbak Diah bingung harus menjawab apa lagi. Ia merasa semua informasi yang diterimanya beserta dengan situasi keluarganya telah membuat kepalanya seperti terisi penuh dengan segala sesuatu yang membuatnya merasa terlalu penuh. Terlalu banyak.
9
Nafasnya kembali terengah-engah.
10