1
TAN PANAMA.
Proofreader: A. Alimin Ilustrator: Tan Panama Desain sampul: DZKR Studio Tata letak: DZKR Studio
Cetakan pertama, Januari 2016
Hak cipta dilindungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Versi cetak hanya dapat dipesan secara online PO melalui: DZKR Studio Kontak: 083821331897 (SMS/WA) Format pemesanan: [Nama] – [Alamat] – [Jumlah Eksemplar] Versi e-book dapat diunduh di blog Monolog Tan Panama.
2
This book is dedicated to the real miracle in my life. Someone in my belly: ‘K’
3
Artists use lies to tell the truth. Yes, I created a lie. But because you believed it, you found something true about yourself. (Alan Moore, V for Vendetta)
In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act. (George Orwell)
4
“Brilliant!!! Tulisan ini mewakili jeritan para penganut ekosentris yang tertuang apik dalam kisah fiksi yang teramat nyata. Alurnya mengejutkan dan tak mudah ditebak. Membacanya seperti sejengkal berjarak dengan manis getir kemanusiaan. Lebih jauh, novel ini mengobati dahaga saya atas kebutuhan spiritual yang berkualitas.” Teguh Wibowo, Pengajar Muda VIII Indonesia Mengajar, Praktisi Pemberdayaan Masyarakat di Papua
“Penulis berani mengungkapkan hal yang tak terungkap. Menarik isu yang ada dan membuatnya menjadi menarik. Menjodohkan fakta, sains, dan fiksi menjadi rangkaian cerita “Tenggelam di Langit”. Tajam, setajam pedang di medan perang. Dalam, sedalam Palung Mariana di Filipina. Hati-hati tenggelam di dalamnya.” Saat Mubarrok, Assistant Lecturer and Junior Researcher of Oceanography Universitas Mulawarman, Pecinta Laut Indonesia.
“Buku ini membuka sudut pandang lain dalam memandang kehidupan seharihari. Pilihan kata-katanya pun romantis. Bacalah sembari menikmati secangkir teh atau senja.” Surya Dewi Wahyuningrum, karyawan swasta
5
“Ma syaa Allah, diksi yang begitu memikat, makna yang terhidang dari kalimat demi kalimat, alur cerita yang tak biasa, dan ujung cerita yang begitu sempurna. Barakallah fiik, shalihah. Semoga lahir tulisan-tulisan lainnya yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak.” Tuti Alawiyah, Humas @pedulijilbab, Inisiator @jakartasinergi, Owner @kedaiaw, Founder @berandabelajar
“Novelnya mencerdaskan, kaya akan kosakata baru yang Cinta temukan dari halaman ke halaman. Menggugah, dengan pengandaian yang lembut sampai tegas, namun tetap memiliki diksi kalimat yang indah.” Cinta Nungky Lestari, Blogger, Mahasiswi Universitas Indraprasta Jakarta
6
0. Prolog: Monolog Tanpa Nama | 9 1. Eksoskeleton | 13 2. Elegi Jasad Renik | 25 3. Metazoa | 39 4. 344 m/s | 57 5. Meng(alam)i, Berkas Satu | 71 6. Muson | 87 7. Fatamorgana | 95 8. Sumpah Sampah | 113 9. Meng(alam)i, Berkas Dua | 131 10. Tenggelam di Langit | 151 00. Epilog: Dialog Tanpa Nama | 165
7
8
9
10
A
ku bukan seseorang. Aku hanya pikiran yang memindahkan spasi. Mengendap datang di tengah malam, untuk kabur sebelum pagi.
Membersihkan debu pada celah-celah otak yang lapuk. Tempat pembuangan miliaran informasi berupa serpihan tak terkoneksi. Beberapa abu-abu, beberapa layu, beberapa abstrak, dan beberapa... telah berkerak. Aku tidak ingin kau menderita lebih lama, memasukkan lebih banyak sampah ke dalam kepala. Melelahkan, memberatkan. Jika diteruskan, kau akan terpikir untuk meletakkan otak di dalam kulkas. Untuk membuatnya beku, lantas menghancurkannya seperti es batu. Lupakan saja untuk memastikan bahwa aku ada. Anggap saja, angin menerobos jendelamu untuk mengirim cerita. Paket dari sebuah kota yang tengah merana. Cerita nyata tentang mereka yang nama aslinya terlupa demi ketentraman dunia.
11
Pada hitungan dua napas dari sekarang, berhenti menjarah ranah yang bukan urusanmu. Kepedulian bukan wajah dari luapan rasa ingin tahu. Setiap manusia berhak mengunci memori. Penyimpanan harta bernama rahasia. Bagi sebagian orang, itu bukti bahwa Tuhan menyayangi mereka. Menyembunyikan aib-aib bisu yang haram untuk bersuara. Sebut saja kotak pandora. Lebih baik diam, ketika kebaikan tidak mampu diterjemahkan. Karena alam tak berbahasa dengan aksara. Hati ke hati, satu perihal yang kini tersisa. Benar tidak? Manusia terlalu lama berpura-pura amnesia. Tugas besar menunggu dan dianggapnya hanya bualan orang-orang terdahulu. Kekhilafan tercipta untuk menguji, bukan membodohi diri sendiri. Sekerat nyawaku, terselip dalam palung kognisimu. Jika kau alpa, aku akan hilang tanpa mengucapkan sampai jumpa. Itu berarti sama dengan selamat tinggal. Aku akan beranjak keluar, menjadi angin yang pendiam. Tanpa bisikan, tanpa desiran, tanpa gerisik dedaunan. Aku ingin datang pada jiwa yang mengerti cara memilih kalimat tanya. Manusia-manusia yang berhak atas jawaban, di tengah peradaban yang selalu salah menyimpulkan. Apakah itu kamu? Aku harap begitu. ***
12
13
14
M
alam semakin tua dan membosankan. Tak ada pilihan hidangan selain dingin mencekam dan tanah lembab menghampar. Tak
lupa ditaburi gerimis turun perlahan di bawah lampu jalan. Magis godaan alam mungkin sudah usang. Semua orang lalu-lalang, bergegas tanpa menaruh perhatian. Mereka hanya sibuk berkejaran dengan bayang-bayang. Tunggu, lihat ke utara. Ternyata tidak semua. Seorang gadis duduk mengulum senyum di pojok taman. Dia memperhatikan setiap rintik yang menitik dengan tatapan berbinar. Mungkin baginya, gerimis itu menarik. Benarkah? Karena bagiku, matanya lah yang cantik. Coba kita lihat, apa yang tersimpan di sana hingga terlihat begitu memesona?
15
Cinta? Iya, tentu saja ada. Meringkuk manis di sudut kanan. Segaris dengan bintang polaris. Dibalutnya dengan rindu teramat pekat. Mengikat, nyaris mencekat. Lamat-lamat, menghimpun waktu untuk tertambat. Benar saja, aku sulit untuk bergerak. Terpaku menatapnya. Merasakan lumpuh menjalari seluruh tubuh. Menikmati teduh, senyaman aroma teh yang baru diseduh. Angin syahdu terembus ragu, menghimpun penasaran yang terus mengganggu. Gerisik daun, katak, dan derap hujan, sempurna menjadi lagu. Aku gemetar. Tidak, bukan karena kedinginan. Tapi karena sekilat gurat seketika berkelebat. Luka. Baru tiba di sana. Gerimis beringsut pindah ke matanya. Tidak, jangan menangis! Ah, terlambat. Dia membuat langit semakin luruh saja. Kupalingkan pandangan ke seberang jalan. Tak tega melihatnya tampak merana. Lagipula, jarak kami yang hanya dua hasta, tak memberiku kuasa untuk menawarinya pundak atau sekadar sapa. Nanti lagi saja aku nikmati kilau matanya. Itupun jika dia belum beranjak kemana-mana. “Sedang apa, Kevin? Aku bosan. Apa ada tontonan menarik?” Suara serak Ketang terdengar dari belakang. Seperti sebelumsebelumnya dan sebelumnya lagi, sahabatku ini tidak pernah rela melihatku sendirian. Mungkin memang itu gunanya teman, tapi terkadang aku juga butuh kesunyian. “Tidak ada. Hanya hujan, orang-orang berlarian, lampu jalan, dan... kamu lihat saja sendiri,” jawabku tanpa menoleh. Menatap lurus tanpa fokus. “Bagiku itu semua menarik,” ujar Ketang lugas. “Apanya yang menarik?”
16
“Mereka semua. Err... maksudku, orang-orang kota. Mereka tidak seperti penghuni kampung halamanku dulu,” jawab Ketang, bernada menyesal. Tatapannya nanar, tertunduk menatap trotoar. Aku berpikir sejenak. Ketang tidak seperti aku yang lahir, hidup, dan mungkin mati pun di taman kota. Ia menamatkan masa kecilnya di sebuah desa dengan perkebunan mencapai cakrawala. Ketang dan segenap keluarganya hidup untuk berkhidmat di kebun tomat. Menghabiskan waktu dalam rutinitas tak berkesudahan. Dimanjakan alam dengan makanan berkelimpahan. Hidup begitu mudah diprediksi, hingga takdir memberikan sedikit friksi. Pada suatu sore kelabu -tidak jingga seperti biasanya-, ia tengah mencari makan untuk ibunya yang sakit. Sampai suatu insiden membuatnya terjebak dalam mobil bak berisi lobak. Bisa ditebak, ia terbawa hingga ke kota. “Apakah soal penampilan? Aku pernah dengar tentang orangorang desa yang menutup kepala dengan anyaman bambu.” “Bukan hanya itu. Tidakkah kau merasa orang-orang di sini sangat rentan dan sering ketakutan?” tanya Ketang, memasang mimik serius. Aku tergelak. “Kenapa kau malah tertawa?” Intonasi Ketang terdengar sedikit tersinggung. “Kamu ingat ketika Kemi sakit beberapa hari lalu? Dia trauma karena ada laki-laki besar mengganggunya. Lalu, apa kamu lupa berapa banyak teman kita ditangkap dan dibawa pergi? Makhluk seberingas itu, mana mungkin merasa takut,” tuturku cepat. Terbayang adegan getir saat adikku, Kesya disergap saat bersembunyi di balik semak. Ketang tertegun, menghela napas.
17
“Kurasa mereka hanya lupa, bahwa kita juga bernyawa,” Ketang berkata lirih. Aku mendengus. “Itu pikiran bodoh.” “Kesombongan dapat menyelubungi akal dan... benar katamu. Itu membuat mereka bodoh. Tapi, aku tetap merasakan kerapuhan, juga ketakutan mereka,” Ketang berkata-kata tenang, menebarkan hawa bijaksana. “Baiklah Ketang Sang Guru, jelaskan padaku. Apa yang membuat makhluk sekejam itu merasa takut dan... rapuh? Ah, tidak mungkin. Manusia kota begitu kuat.” Aku tersendat di akhir kalimat. Teringat luka yang hinggap dalam tatapan Sang Pemilik Mata Cantik. Aku melirik ke utara, memastikan dia masih di sana. Mungkin, Ketang ada benarnya. Gadis itu juga satu di antara orang-orang kota. Namun, luka menjajah binar matanya hingga rapuh dan tanpa daya. Apa semua orang kota sesendu itu saat sendirian menatap hujan? Kata ibuku, hujan mampu membawa cinta, rindu, dan luka bersamaan. Merebak portal, masuk ke dunia perasaan. “Kevin, perhatikan pria berkemeja biru di seberang jalan,” seru Ketang tidak sabar. Sepertinya ia geram karena aku tampak kehilangan minat terhadap ucapannya. ‘Ayolah Ketang, jelaskan dengan singkat dan padat saja, agar aku bisa membenamkan diri dalam kubangan mata cantik itu lagi,’ kataku dalam hati. Dengan enggan mencari pria yang ia maksud. “Apakah pria itu tampak rapuh dan ketakutan? Bagiku ia tampak sangat percaya diri,” kataku skeptis. “Perhatikan yang ia lakukan.”
18
Aku menurut. Pria itu baru saja keluar dari sebuah rumah, lalu masuk ke mobil, dan menghilang di ujung jalan. Tidak ada yang aneh. “Lalu perhatikan perempuan berbaju hitam itu,” Ketang memberi komando lanjutan, merujuk ke arah halte. Perempuan itu baru saja turun dari bis kota. Setengah berlari, menghampiri dua perempuan lain, berbincang sebentar, kemudian masuk ke sebuah restoran. Di sana, mereka berbincang sembari menyantap hidangan. Itu juga tidak aneh. Kendati aku heran, mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, berhimpitan. Padahal taman kota begitu lengang, tentu mereka tidak perlu berdesakan. “Sudah tahu apa persamaannya?” tanya Ketang. “Mereka melakukan sesuatu yang sama-sama wajar.” Ketang mencibir. “Kau memang tidak peka. Lihat satu lagi, wanita yang menggandeng anak,” ujar Ketang gusar. Arah jam dua, terlihat seorang perempuan menggandeng anak laki-laki, keluar dari toko berhias bunga-bunga aneh mengitari bayi besar. Menjinjing empat atau lima kantong plastik dengan tangan kiri. Mencegat angkutan umum, kerepotan masuk, lalu hilang di ujung jalan seperti pria berkemeja biru. Tanpa komando, aku merekam kehadiran sebuah mobil dari arah berlawanan, parkir di pelataran toko yang sama. Sepasang, laki-laki dan perempuan muda keluar dari mobil, kemudian masuk ke toko itu sambil tertawa bahagia. Aku terpana. Bukan karena rona wajah mereka yang memerah seperti baru menikah. Bukan itu. Selintas, kurasa aku menangkap maksud Ketang. Hanya saja, aku tidak yakin tebakanku benar. “Nah, kau sudah mengerti kan?” tanya Ketang gembira melihat sirat kesadaran tersemat pada bahasa tubuhku. Tapi, aku menggeleng. 19
“Aku tidak yakin,” jawabku datar. Ketang mendengus kecewa. “Mereka melakukan hal yang sama, Kevin. Manusia-manusia kota itu. Mereka keluar dari mobil, masuk ke rumah. Keluar dari rumah, masuk ke mobil. Mereka keluar, masuk, keluar, dan masuk lagi.” Aku nyengir. Penjelasan itu terdengar rancu, tapi sepertinya aku paham arah racauan sahabatku ini. “Dari tingkah laku mereka, Kau ingat sesuatu?” tanya Ketang lagi. “Cang...kang,” aku menjawab ragu. Hampir terdengar seperti pertanyaan. Melirik gerombolan bekicot yang mengerumuni cocor bebek di pinggir kolam. “Tepat sekali. Cangkang. Eksoskeleton. Mereka membuat banyak rangka luar sebagai perlindungan. Sama seperti keong, bekicot, dan sebangsanya. Kau tahu kenapa?” “Tubuh mereka rapuh, atau... berlindung dari predator?” “Lebih tepatnya, jiwa mereka yang rapuh. Orang-orang kota berlindung dari predator pemangsa jiwa. Banyak hal tidak masuk akal membuat mereka ketakutan.” “Predator pemangsa jiwa? Apa itu?” tanyaku. Mulai terusik frasafrasa aneh Ketang. Sesaat, keheningan menyeruak. Ketang tampaknya sedang mengais sesuatu dari masa lalu. “Orang-orang desa sangat bersahabat dengan alam bebas. Anakanak begitu riang berada di luar cangkang. Main di kebun, naik sepeda, memanjat pohon.” “Mereka juga punya cangkang, eh, maksudku... rumah?” tanyaku tanpa peduli telah menyela cerita Ketang. Kata ‘desa’ tak pernah gagal membuatku penasaran. Aku pikir orang-orang desa hidup di gua-gua atau batang pohon besar.
20
“Tentu saja mereka punya. Tapi, tidak sebesar dan setebal rumah orang-orang kota. Mereka hanya berlindung ketika hujan, panas, atau membutuhkan tidur. Malah, banyak sekali anak-anak kecil tetap di luar ketika hujan. Berlarian bersama kesenangan.” “Tunggu, tunggu Ketang. Udara kota dipenuhi polutan pencekik tenggorokan. Aku mengerti alasan mereka tetap di dalam. Pindah dari satu cangkang ke cangkang lain. Rumah, mobil, bis, toko, restoran, atau apapun itu.” Selama ini yang aku pahami, seekor keong bergelung dalam cangkang untuk berlindung dari ancaman. Aku kira orang-orang juga sama. Eh, tapi... bukankah manusia ada di posisi tertinggi rantai makanan? Aku tidak pernah dengar tentang predator pemangsa jiwa. Aku harap Ketang menjelaskan istilah absurdnya. “Aku sudah bilang kan? Kesombongan. Memantik orang-orang berbuat kerusakan, namun merasa sekuat tenaga membangun peradaban. Pontang-panting berlindung dari monster, yang ternyata hanyalah cermin.” Kepalaku berdenyut. Berusaha memamah kata-kata Ketang. Lagilagi, aku dikerubuti pertanyaan. Seringkali aku heran, betapa desa dan kota menjadi jurang perspektif kami. Jika atmosfer desa mampu membuatku lebih bijaksana, kapan-kapan aku akan menyelinap dalam mobil pembawa sayuran yang setiap pagi terparkir di pinggir taman. Mengunjungi desa tempat Ketang ditempa semasa kecilnya. “Manusia selalu ingin memiliki, dan menggunakannya sebagai jati diri. Setiap kali berada di luar, akan merasa asing dan sendirian. Tidak berdaya dan tidak memiliki, itu hakikat makhluk yang kita pahami. Tapi orang-orang tidak ingin menerima. Mereka butuh prestise, identitas, dan pengakuan. Menghirup kuasa dan jumawa dengan eksoskeleton
21
yang luar biasa megah. Tempat berlindung bagi jiwa mereka yang luar biasa lemah.” “Itu penjelasan paling brilian tentang hal terbodoh yang pernah aku dengar. Jadi... mereka bersembunyi karena rasa takut terhadap ketidakberdayaan? Omong kosong. Bukankah mereka lebih berdaya jika di luar cangkang?” Ketang tertawa kecil, mengangguk. “Begitulah. Padahal, semakin mereka mengelak, kelemahan mereka semakin tampak. Manusia memilih untuk memiliki, daripada menjadi.” Giliran aku yang tertawa. Getir. Tak menyangka logika manusia kota begitu sulit dicerna. Lelah sekali jika harus lari dari wajah sendiri. Mengelabui kenyataan sama saja menabur garam di kolam agar terasa manis. Tragis. Tidak berkorelasi, menuju kontradiksi. Aku ingat sesuatu yang tertulis dalam hukum semesta. Manusia diberi daya mengemban tugas kosmik yang tak sanggup dipikul gunung, awan, bahkan lautan. Mengapa mereka malah terborgol oleh benda-benda? Berhala tipis yang melekat di tangan, juga telinga. Kupikir, cangkang pun hanyalah kekang hingga mereka berhenti berkembang. Mengorbankan kesadaran. Melepaskan ingatan. Krrsk! Aku dan Ketang tersentak. Terdengar suara tapak menggerus dedaunan. Seorang laki-laki muda berwajah pucat berjalan pelan dari arah selatan. Menghampiri Sang Pemilik Mata Cantik. Gerimis di sudut matanya sudah mengering. Mereka bercengkrama, cukup lama. Namun, tak bisa kutangkap makna meski hanya satu kata. Laki-laki inikah yang membuatnya merana?
22
Kupejamkan mata, lenyap dalam getar suara mereka. Tanpa perlu membaca raut wajah, aku menyerap cinta, rindu, dan luka pada intonasinya. Lebih jauh menyelam, kutemukan hal yang sama. Cinta, rindu, dan luka adalah satu hal serupa yang dirasakan dan disampaikan dengan cara berbeda. Sang Pemilik Mata Cantik hilang dibalik siluet laki-laki muda. Aku bergeser, mencuri celah untuk menelisik. Menggapai daun pandan yang lantas menjadi kutukan. Terlalu licin. Aku menggelutuk di tanah. Jatuh tepat di bawah tapak laki-laki muda saat beranjak. Aku menjerit. Tubuhku geming. “Kevin, awas!” Aku mendengar suara Ketang meneriakkan namaku. Selanjutnya, klise. Waktu berjalan lambat sekali. Sunyi menyelimuti setelah bunyi cangkang retak-mendekati-remuk, diikuti rasa sakit luar biasa pada entah-bagian-apa tubuhku. Apakah seharusnya aku memiliki cangkang setebal gedung milik manusia? Kurasa tidak perlu. Jiwaku terbebas dengan fakta bahwa aku tidak berdaya. Huh, manusia-manusia kota. Jangankan ingat telah menanggung titah Sang Penguasa, mereka juga amnesia menjadi bagian dari semesta. Aku tertawa hambar, mereguk kesadaran yang semakin pudar. Samar-samar kurasakan tubuhku melayang tinggi, diangkut dengan... sepertinya daun ketapang. Sepasang mata cantik mendekat, mengamati tubuhku dalam kondisi tidak beraturan. Dan lalu, aku terpejam tanpa perlu merasa kesal. ***
23
24
25
26
T
iga mawar merah terkulai di bawah cemara. Tanpa nama, baik pengirim maupun penerima. Hadir di sana setiap pagi, selepas
bulan purnama. Adik perempuanku menyambut riang gembira. Memboyongnya ke kamar, menggantikan tiga mawar yang telah menghitam. Hasil penculikan sebulan lalu dari bawah cemara yang sama. Ia sangat percaya, seorang pengagum rahasia mengirim mawarmawar itu untuknya. “Ren, memangnya kamu tidak tahu apa makna tiga mawar merah?” tanya adikku suatu ketika. Matanya yang besar melebar dan berbinar. Aku mengendikkan bahu. Bukan karena tidak tahu. Aku hanya tidak ingin melengkapi secangkir teh manis ini dengan kata-kata utopis. “Serius Ren, mawar merah artinya cinta. Tiga mawar artinya pengakuan. Di rumah ini, yang berpotensi mendapat pengakuan cinta, kurasa cuma aku.”
27
Aku tertawa. Menarik napas lega. Meski harus tahan mendengar khotbah hasil saduran majalah remaja, komedi pagi tak lucu ini menjadi indikasi bahwa satu malam terlewati tanpa masalah berarti. Aku berkemas, siap menghadap matahari. *** Menjadi anak pejabat adalah simpul impianku semasa kecil. Sang pejabat akan menghadiri banyak rapat. Istri pejabat sibuk menemui rakyat. Tinggal anaknya yang menikmati kemudahan tanpa memikul tugas berat. Itu yang kupikirkan dulu, sebelum Ayah dipercaya menjadi walikota. Menyisakan aku, yang mengendap penuh derita. Delapan tahun dikelilingi senyum imitasi. Kesetiaan berbasis materi. Eksistensi Reno sudah mati. Deretan trofi dan medali bagi mereka tak menunjukkan prestasi, melainkan jati diri anak walikota yang banting tulang membuktikan diri. Aku tak lebih dari anak pertama Wira Jayanto, walikota Karagan. Tampil sempurna disokong fasilitas bintang lima, dikata biasa. Sedikit cacat, siap-siap dimangsa media. Aku ingat pernah tertangkap basah merokok di belakang sekolah. Kenakalan remaja pada umumnya. Wajar? Memang. Bagi wartawan kota, itu menjadi lalapan segar. Disusul serakan sampah artikel parenting yang mencari-cari korelasi antara kesibukan orangtua dengan pemberontakan anak. Ada yang masuk akal, lebih banyak yang tidak. Yang jelas, aku berlaga sebagai primadona. Simbol remaja haus perhatian. Kurang kasih sayang. Salah pergaulan. Semacam itulah. Segala istilah yang merujuk pada hasil kegagalan pendidikan keluarga. Tentu saja bukan masalah besar. Ayah punya tentakel yang siap membungkam.
28
Lamunanku buyar, menyadari langit lamat-lamat semakin kelam. Kerumunan gagak berkuak. Meredam serak vokalis Navicula di radio kota. Sehelai bulu tersemat di kaca mobil. Aku bergidik, menurunkan kecepatan. Gagak tak pernah alpa mencium bahaya. Gelap. Langit hitam itu bergerak. Gagak-gagak terbang menuju pesisir utara. Teringat proyek penelan dana yang melibatkan jajaran mafia kota. Ayah tergabung di sana. Dikepung aksi mahasiswa yang tak henti bergema. Memaksa aku menelan imbas. Diwaspadai di kampus seolah aku adalah lipas. Dijauhi seakan aku berbau lindi. Tak apalah, tinggal revisi terakhir hingga sidang akhir. Aku harus tahan dengan gaung-gaung nyinyir. Oportunis, apatis, pragmatis, petis, kubis. Apalah julukanku dalam rapat-rapat para aktivis bau amis. Disangkanya Ayah dulu tak sama saja? Semasa mahasiswa, Ayah tak pernah absen berorasi saat aksi. Kurasa itu berguna, sebagai latihan memberi janji basi demi mendapat kursi. Hujan. Satu gagak terakhir nampak di ujung ranting, siap mengepak sayap. Aku mengikutinya, berbelok menuju utara. Lurus jauh, hingga tercium aroma laut. Kali ini, tanpa wangi membebaskan. Sesak. Perahu-perahu nelayan remuk bagai rongsokan. Tak mampu berlayar meski muson barat telah terlewat. Gerombolan alat berat menjajah garis pantai. Barisan tentara berjaga, mengintai. Masih tersisa jejak demonstrasi di sana-sini. Kertas-kertas putih berserakan. “STOP REKLAMASI. NELAYAN MATI OLEH PEJABAT TAK BERHATI” Ditorehkan tinta merah, nyaris serupa darah. Para wartawan berjajar bosan di trotoar. Lapar menunggu berita. Kalau dipikir-pikir, para aktivis itu ada benarnya. Proyek ini terlalu naif jika mengaku tak memihak penguasa, atau pengusaha. Tapi...
29
siapa peduli. Jika pengusaha semakin sejahtera, nantinya nelayannelayan itu bisa bekerja pada mereka. Aku tidak perlu ambil pusing. *** Gerimis malam hari tak berkompromi pada mahasiswa tingkat akhir. Kularutkan rasa kantukku pada secangkir kopi. Bau belerang memenuhi ruang. Jurnal-jurnal geothermal menumpuk di hadapan. Otakku terbakar, meradang. Dari pori kepala, mengepul asap putih layaknya panas bumi. Jika sudah begini, hanya satu tempat yang mampu membuatku waras. Taman kota, tiga ratus meter ke arah selatan. Kuterpa gerimis tanpa payung atau jas hujan. Seperti biasa, begitu lengang. Jauh berbeda dengan gym and resto di seberang jalan. Kuselonjorkan kaki, menguasai kursi kosong di tepi selokan. Kuamati derap kaki orang-orang. Ada yang aneh. Mereka tidak punya bayangan. Aku mengecek ke bawah, bayanganku masih di sana. Lega rasanya. Aku bertanya-tanya, apa salah mereka sampai bisa dikhianati bayangan sendiri. Tapi tidak, kurasa sebaliknya. Mereka yang lari. Lihat saja, tebakan kedua terbukti. Dari kejauhan, rombongan bayangan mengejar pemiliknya. Ada yang kelelahan, lalu terkapar. Kasihan, mereka menggelandang dan terabaikan. Meratapi orang-orang yang pergi tanpa peduli. Jangankan peduli, mereka pun tak mau memahami. Orang-orang tanpa bayangan sama seperti hantu gentayangan. Mati, baik jiwa maupun hati. Kupalingkan pandangan ke sekeliling taman, mencari teman satu spesies untuk diajak bicara. Di samping pohon alamanda, sepasang manusia sedang bertengkar. Besar kemungkinan, mereka pacaran, HTS-an, friendzone-an, brotherzone-an, neighborzone-an, atau zona-
30
zona tidak resmi lainnya. Pasangan yang sudah menikah akan bertengkar di rumah. Dan lagi... lupakan saja. Logika menyatakan sebaiknya aku menghindar. Pilihan jatuh pada seorang gadis yang duduk manis di pojok taman. Aku nyaris tidak melihatnya karena terhalang rimbun pandan. Aku berjalan pelan, sambil menimbang-nimbang adat kesopanan. Langkahku tersendat. Aroma mawar semerbak pekat ketika aku semakin mendekat. Bulu kudukku meremang. Apakah dia hantu? Segera kutepis pikiran bodoh itu. Mungkin hanya parfum. Lagipula, gadis ini memiliki bayangan utuh di sampingnya. Kurangkai kata-kata untuk menyapa. Sia-sia. Dia menoleh lebih dulu, menatapku waspada. “Kamu mau apa?” tanyanya tajam, membuatku gelagapan. “Eh, mau.. eh, bukan. Kamu sendirian?” “Tidak. Aku bersama bayangan,” jawabnya ketus. ‘Aku lihat itu, Nona. Itu membuatku yakin kau bukan hantu hingga berani menyapa,’ kataku dalam hati. Setidaknya hantu yang baik masih lebih seram dari manusia galak seperti dia. Aku mengatur napas, mencoba lebih ramah. Sebelum sempat berkata apa-apa, gadis itu bicara lagi. “Wajahmu tidak asing. Kita pernah bertemu?” tanyanya seraya mengamatiku dari ujung rambut hingga sepatu. Aku menggeleng. Mungkin, aku pernah muncul di koran sebagai anak pertama pada profil walikota. Mungkin juga dia membaca salah satu artikel skandal remajaku dulu. Tapi kuharap dia tidak ingat. “Apakah kamu artis atau semacamnya?”
31
“Sama sekali bukan. Aku pengunjung taman biasa yang butuh teman bicara agar sadar bahwa aku manusia.” Dia terdiam, menatapku heran. Lalu tersenyum. Manis juga. “Duduklah. Aku hafal wajahmu. Aku bisa menggambarkannya jika polisi bertanya.” “Maksudnya?” “Ya... kalau kamu macam-macam.” “Aku jamin tidak akan. Justru kamu lebih aman sekarang,” kataku, tersenyum semanis yang kumampu. Mengambil posisi satu meter darinya. Memastikan dia tidak merasa terancam. “Kenapa kamu duduk di taman malam-malam?” tanyaku. “Eh, maksudku... kamu suka taman di malam hari?” Aku meralat. “Aku ingin menemui Ayah tengah malam nanti,” jawabnya datar. Matanya yang cantik memandang percikan hujan. “Di sini?” “Bukan. Di rumah hijau, ujung jalan sana,” katanya. Aku tertegun, itu rumahku. “Rumah walikota?” Gadis itu mengangguk, tersenyum getir. Seingatku, tak ada laki-laki di rumah selain Ayah. Tukang kebun di rumahku hanya memiliki satu anak, balita. Skandal apa lagi ini? Apakah Ayah memiliki selingkuhan yang tidak aku kenal? Aku tersenyum geli pada kebodohanku sendiri. Jelas saja aku tidak kenal. Walaupun ada, mana mungkin Ayah memperkenalkan aku pada selingkuhannya. “Kamu anak walikota?” tanyaku penuh selidik. Dia hanya tertawa. Aku tidak bisa membaca maksudnya. Apakah berarti ‘tentu saja’ atau
32
malah ‘tidak mungkin’. Bisa saja gadis ini berbohong. Sebaiknya aku mengujinya untuk memastikan. “Kamu tinggal di sana?” “Tidak, hanya ayahku saja. Aku tinggal di rumah susun Karagan.” Dia tidak berbohong. Tentu saja aku tahu dia tidak tinggal di rumahku. Tapi, memalukan sekali jika Ayah menyimpan selingkuhan di rumah susun, bukan apartemen atau semacamnya. Apakah Ayah memanfaatkan absurditas itu agar orang-orang tidak curiga? Dia sangat mungkin menyamar jadi warga biasa. Wajah ayahku sepertinya cukup pasaran. “Kamu mahasiswa?” tanyanya, menghentikan seru prasangkaku yang semakin liar. “Iya, sekitar dua puluh hari lagi. Bulan depan sidang akhir.” “Penelitian tentang apa?” “Panas bumi di Pangalengan,” jawabku singkat. Sejujurnya, aku ingin pergi saja jika diminta menjelaskan tugas akhir yang hampir membuatku gila. “Geotermal? Bagus sekali. Agar dunia tak menggantungkan nasib pada batu bara dan minyak bumi,” katanya tanpa intonasi. “Jadi, kamu juga mahasiswa?” tanyaku, berusaha terdengar tidak meremehkan. Dia mengangguk. “Tingkat tiga.” “Jurusan apa?” “Planologi.”
33
Aku diam, terkejut. Himpunan Mahasiswa Planologi di kampusku bersuara paling lantang soal penghentian proyek reklamasi. Tapi, aku tidak pernah paham soal alasannya. “Apakah kamu termasuk demonstran pesisir utara?” tanyaku. Dia tertawa untuk kedua kali. Cantik. Aku berencana mengajukan pertanyaan bodoh lain, jika itu bisa membuatnya tertawa lagi. “Aku tidak suka ikut aksi. Aku menentang reklamasi lewat tulisan di koran-koran, media sosial, dan proyek alternatif bersama komunitas nelayan.” Dia tak memberi jeda padaku untuk meredam kagum. Kecantikan dan kecerdasan. Perpaduan sempurna. Aku bisa mengutuk takdir jika benar kami satu ayah. “Bisa dibilang, kita memiliki korelasi,” katanya serius. “Oh ya? Apa benang merah antara geotermal dan tata kota selain fakta bahwa kami berpotensi membuat kerusakan lingkungan?” Dia tersenyum. “Kita sama-sama ingin menggeser minyak bumi dan batu bara,” tuturnya. Aku hanya diam, tidak mengerti. “Mungkin memalukan, ini filosofi pribadi. Kamu tahu kan, minyak bumi dan batu bara terbentuk dari jasad renik serta makhluk yang telah mati ratusan tahun. Aku rasa, minyak bumi dan batu bara mirip dengan pemerintahan yang kejam. Mereka memegang tampuk kuasa, menumbalkan rakyat jelata. Lantas, bertaruh dengan nyawa-nyawa yang tersisa.” Aku terhenyak. Kilat kebencian menggeliat di runcing matanya. Terlihat jelas goresan luka. Teramat dalam. Apa hubunganmu dengan ayahku, Nona?
34
“Bukankah ayahmu walikota?” tanyaku, memuaskan rasa curiga. “Tentu saja bukan.” “Tadi kamu bilang, dia tinggal di rumah walikota.” “Iya, tapi dia bukan walikota,” katanya lirih. Aku kebingungan. “Lalu?” “Dia... bukan siapa-siapa,” Suaranya semakin lirih, dan aku makin kebingungan. Aku harus mencari kalimat tanya yang tepat untuk mendapat jawaban. “Apa yang dilakukan ayahmu di rumah walikota?” “Dia tidak melakukan apa-apa.” “Kenapa dia ada di rumah walikota?” “Dia tinggal di sana.” Gagal. Aku mengganti arah pertanyaan. “Kenapa kamu harus menemuinya di sana?” “Dia tidak bisa kemana-mana.” “Kenapa?” “Dia sudah tidak bernyawa.” Aku terdiam. Lelucon apa lagi ini. Sejak kapan Ayah menyimpan mayat di rumah? Apakah ada ruang pembantaian di bawah tanah? “Aku ingin berziarah,” katanya lagi. Aku masih tidak percaya. “Bagaimana ayahmu bisa, hmm... dikubur di rumah walikota?” tanyaku hati-hati. Seketika, ia tampak serapuh sayap kupu-kupu. “Sebelum ada rumah walikota, kami tinggal di sana,” katanya dengan nada kerinduan, atau sakit hati...entahlah. Aku tak tega, tapi
35
kecamuk pertanyaan menginginkan jawaban. Aku membiarkan dia melanjutkan. “Kami, warga kampung nelayan. Semua baik-baik saja hingga walikota baru menginginkan perubahan. Wira Jayanto. Rumah kami dianggap tidak layak huni dan kami harus pergi.” Rinai hampir jatuh dari sudut matanya. Ia menghela napas dalam. “Buldoser berdatangan di bawah mendung suatu sore. Seluruh warga berusaha melawan, tapi Ayah tidak. Dia pasrah, jika terdapat janji hidup yang lebih layak. Rumah kami menjadi rumah pertama yang dihancurkan,” Ia kembali menarik napas, lebih dalam. Aku masih diam. Ia meneruskan cerita. “Ketika kami sekeluarga menuju penampungan sementara, aku sadar bonekaku tertinggal. Aku merengek pada Ayah, meminta ia mengambilkan. Ayah berusaha bicara pada penjaga. Penjaga itu tak mendengar apa-apa. Aku tahu mereka bukan manusia. Akhirnya, Ayah nekat menerobos mereka, lalu... kamu bisa tebak selanjutnya. Ayah tergilas dan terkubur di sana. Tak ada saksi selain aku, Ibu, dan adikku yang masih kecil. Kami tidak punya kuasa untuk...” “Kenapa kalian tidak meminta warga lain untuk melawan?” “Semua orang sibuk mempertahankan miliknya saja.” “Kenapa tidak lapor polisi? Ada bukti jasad jika ditindaklanjuti.” “Percayalah, kami baru saja akan lapor polisi ketika dua orang tak dikenal mendatangi rumah kami. Mereka utusan Pak Wira. Menawari kami sejumlah uang yang besarnya melebihi pendapatan Ayah selama lima tahun. Aku diberi beasiswa hingga kuliah. Syaratnya satu, kami lupakan tragedi Ayah.”
36
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Demi reputasi, Ayah memenggal hak asasi. Dana kampanye raksasa perlahan tapi pasti mengubah niat Ayah. Aku masih ingat semangatnya mengabdi, lantas malah memberi nafkah serumpun pengusaha yang telah berinvestasi. Aku dibesarkan dengan hasil judi yang menjadikan manusia sebagai bahan taruhan. Tak sanggup merangkai kata, kubiarkan hening mengitari kami. “Hampir tengah malam. Tampaknya sudah sepi. Kamu mau ikut?” Aku mengangguk, beranjak dari duduk. Krrrk! Bunyi berderik, sesuatu mengganjal pijakan. Seekor keong mas remuk di bawah kakiku. Terbayang nasib sama menimpa perahu dan rumah nelayan di bawah kaki pasukan Ayah. Aku mematung, merutuki takdir garis keturunan para penghancur. Dengan cekatan, gadis di hadapanku mengambil daun ketapang. Diangkat dan diamatinya tubuh lumat itu. “Hmm, dia tidak bisa selamat,” katanya dengan nada menyesal. Ditutupnya jasad mungil itu dengan dua daun pandan. Aku mendadak lupa cara bicara. Terserap hawa berbeda. Tapi, bahkan aku tak tahu namanya. Dalam kelam dini hari, aku mengikutinya menuju pagar rumahku sendiri. Katanya, ia sengaja berpakaian serba hitam agar tidak terlihat satpam. Aku hanya sanggup tersenyum suram. Semerbak aroma mawar tercium kembali. Dari dalam tas kertas, dikeluarkannya tiga mawar merah. “Tiga melambangkan aku, Ibu, dan adikku yang berduka. Merah melambangkan darah pengorbanan Ayah.”
37
Gadis itu merapal doa-doa, menyusupkan tangan ke balik pagar. Tiga mawar merah terkulai di bawah cemara. Tanpa nama, baik pengirim maupun penerima. ***
38
39
40
S
ungai-sungai dan anggaran daerah kini mengalir ke muara yang sama. Pesisir utara menjadi sorotan Kota Karagan. Pundi-pundi
tak menyisakan receh untuk kampung wisata tua di perbatasan. Anakanak, ibu-bapak, kakek-nenek, meringkuk di sudut pembaringan. Sayu menatap pinggan, meratap kelaparan. Jantung ibu muda bernama Windi, tak berdetak lagi pagi ini. Kami digempur duka tanpa koma. Minggu lalu, dua bayi manis menemui ajal pasca dilahirkan. Mereka bahkan tak sempat diberi nama. Semua tak ingin menanggung beban lebih dalam. Kami sepakat menghapus mereka dari kenangan. Kampung kami bergelimang dilema. Ketika lolong kesakitan lebih menenangkan daripada senyap kematian. Raga-raga tergolek, sekuat tenaga menahan nyawa lebih lama. Lahan pemakaman tak cukup lapang. Kami terpaksa mengubur dua-tiga jasad berhimpitan dalam satu liang. 41
Sempat terpikir ide gila membawa seisi kampung berparade ke pusat kota. Mungkin akan lebih banyak yang percaya bahwa Pak Wira, walikota kebanggaan mereka tak lebih baik dari serangga. Aku tidak percaya perdukunan, tapi teori temanku menjadi satu penjelasan tersisa. Pak Wira membutuhkan tumbal, demi melancarkan proyek reklamasi yang dikaji dengan abal-abal. Sulit dipercaya, pemerintah begitu kukuh mengejar fatamorgana. Seolah tak cukup bengis merusak tata ruang air, kedangkalan pikir memaksa seluruh figuran tersingkir. Serasa masih di depan mata, para nelayan berarak pergi digiring senapan. Mereka dibawa lima koma delapan puluh tiga kilometer ke selatan, masuk ke penampungan, menunggu rumah susun siap disewakan. Pantai terbebas dari rumah lapuk nelayan. Sekte pengusaha keji sumringah menyemai ladang, berebut menanam modal. Grand design sudah terpampang. Ekosistem menggelepar, hamparan hayati kehilangan jati diri. Danau diciduk, lahan basah diuruk. Sungai bersiap meluap saat musim penghujan tiba. Di saat anak-anak lapar tersengat matahari, pemimpin kami lebih peduli perut buncit penguasa properti. “Kampung akan dijual,” ujar Pak Wangsa, pria tua berambut putih yang menghabiskan setengah masa hidupnya mengabdi di kampung wisata. Aku tidak ingin bereaksi. Ini bisa jadi kabar baik, tapi rasanya enggan berekspektasi. Wilayah kampung wisata bukan zona milik pemerintah kota. Lebih buruk dari itu, kami bermukim di atas tanah resmi Pak Wira. “Kenapa dijual?” “Sepertinya Pak Wira menyuntik investasi di proyek reklamasi.” “Siapa yang membeli?” “Serunai Group”
42
Aku menutup muka. Sampai sudah kami pada kata berpisah. Terbayang duet buldoser dan eskavator menjadikan kami puing di atas tanah. Menyambut kondomonium, apartemen, atau sejenis gedung sampah yang menjulang megah. Jika beruntung, kami bisa tercatat dalam buku sejarah. Teronggok dalam rak berdebu tebal, di pojok perpustakaan Karagan yang jarang dikunjungi orang. Tabu untuk diretas, kelewat tragis menjadi kisah. Katakanlah, terlahir keuntungan raksasa, serta banyak lapangan kerja utopia dari rahim perairan yang dirampas menjadi daratan. Untuk siapa? Lingkungan menanggung masalah, para penjajah puas mereguk untung berlimpah. Tidak, kami tidak boleh terjerat pasrah. “Neira? Wajahmu tampak seram,” tegur Pak Wangsa. Aku segera menata raut muka. “Kita harus melawan.” “Menolak untuk pergi? Lupakan saja, itu cari mati.” “Kita harus menemui induk semang mereka untuk negosiasi.” Pak Wangsa tertawa renyah, mengusap kepalaku pelan. Aku tersenyum, mempertahankan keyakinan. Pertemuan dengan anak Pak Wira tadi malam, membuatku berambisi meruntuhkan hegemoni mereka mereka di seantero kota. Huh, Reno Arka Jayanto, generasi pengeruk tanah selanjutnya. Jika dia benar-benar berpikir wajahnya tidak dikenali, kurasa dia polos sekali. Manusia-manusia polos seperti itu bisa disiasati. Aku harus menemuinya lagi. “Pak, kita bisa memanfaatkan anak walikota.” “Kamu kenal dia?” “Saya bertemu dia semalam!”
43
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya suara tak asing dari belakang. Aku dan Pak Wangsa serentak menoleh. Sosok pemuda berwajah pucat muncul seperti penampakan di siang bolong. Wajah familiar, lengkap dengan senyum menyebalkan yang membuatku mati-matian menahan perasaan. Tangan pemuda itu menyodorkan sebuah kartu. Tanda pengenal relawan kampung wisata. Tercantum foto dan namaku di sana. Dia jadi tidak sepolos yang kukira. “Saya mau mengembalikan ini. Terjatuh tadi malam.” Aku terpaku, melirik Pak Wangsa. Pria tua itu menatapku penuh selidik. Campuran pertanyaan, serta persiapan untuk membombardir godaan. Situasi ini sungguh meletupkan salah paham. “Ini tidak seperti yang Bapak pikirkan,” Aku segera menyergah, memutus kecurigaan. “Maaf kalau dianggap menguping. Waktu kecil, saya sering diajak Ayah kesini. Saya tidak ingin kampung ini tersingkir,” Reno menatap kami, dalam. “Saya kenal dengan project manager dari Serunai. Kalau kalian mau bertemu, saya bisa bantu.” Aku risih mengakui dia tak lagi terasa asing. Ada kejanggalan yang jauh dari realistis. Bukankah menggelikan, liukan takdir menari bagai alur drama televisi. Skenario ‘benda jatuh yang mempertemukan’ membuatku bergidik. Terlalu manis. Sial, aku hampir saja menganggap ini romantis. Apa-apaan sih? Coba dengar, raungan sembilu kembali menyayat langit. Lagi-lagi, denyut jantung kampung wisata bergemuruh melawan rasa sakit. Aku harus tetap memijak bumi untuk tersuruk dalam tragedi. Tak ada waktu untuk bicara hati. *** 44
Dan, di sinilah kami. Aku, Pak Wangsa, Reno, dan dua makhluk dari Serunai Group mengitari meja granit. Beradu kedalaman pandang dengan prasangka sebagai wasit. Kami menang bilangan, tapi minim kekuasaan. Berada di kandang mereka cukup membuat kami tertekan. Vas bunga keramik terlalu menarik untuk dilemparkan. Menuntaskan rasa kesal. Belum lagi, dinding putih gading di sisi kanan. Di sana, terpajang sebuah gambar besar kondomonium yang berdiri arogan menatap lautan. Terbaca jelas, gedung itu calon penghuni salah satu pulau reklamasi. Saksi bahwa janji kemaslahatan nelayan hanya bualan. “Jadi, bagaimana? Ada yang bisa kami bantu?” Satu makhluk Serunai Group memulai percakapan. Jelas terdengar, mereka ingin kami cepat pergi. Aku geming, tidak mendapat ilham soal adat berkomunikasi dengan pesut berdasi semacam ini. Pak Wangsa tidak menunjukkan gelagat akan menjawab. Reno berdehem. Baguslah. “Mohon maaf jika kami mengganggu di tengah kesibukan Bapak. Saya pikir, langsung saja. Kami ingin membicarakan tentang rencana pembangunan tanah kampung wisata.” Kedua makhluk dari Serunai Group berpandangan, menyeringai seram. Menyodorkan desain lanskap di layar smartphone yang tampak lebih smart dari pemiliknya. Menampilkan jajaran vila, kolam renang, dan berbagai elemen klise lain. Pandanganku memburam. “Infrastruktur existing dikemanakan?” tanyaku tidak sabar. “Dengan berat hati, hampir semua kami ratakan,” jawab salah satu makhluk dengan hati-hati.
45
Aku tersenyum sinis. Apa tidak salah dengar? Dia bilang berat hati? Berat hati gundulmu! Kalian cuma tahu cara menyemai ladang uang. Kalian pasti akan mengusir kami dengan riang. “Apakah kampung wisata kami tidak bisa dipertahankan?” “Dengan penghuni yang 80% tengah sekarat? Jangan bercanda.” Tanganku mengepal, geram meninju kursi. Terlintas rencana untuk berlatih memanah atau menyewa sniper. Sekuat tenaga aku mengendalikan diri, memilah kata-kata untuk dimuntahkan. Percuma. Aku muak dengan etika kesopanan ala pebisnis ini. “Jadi, kalian cuma mau uang?! Kami juga bisa menghasilkannya jika sarana prasarana direvitalisasi. Saya yakin, buang-buang duit jika kalian membangun ulang. Lebih hemat jika memperbaiki aset yang ada. Lagipula, kalian tega kematian terus mendekam di sana? Kalian punya hati? Oh, saya lupa. Hati kalian jauh lebih kecil dibandingkan rekening kalian!” Mendadak, rona wajah durjana dua makhluk itu membara seperti obor kilang minyak. Kepalaku tegak, bagai kobra siap tarung. Pak Wangsa waspada. Mungkin ia khawatir kami akan dihajar oleh dua algojo di depan pintu. Tidak akan sulit membopong wanita berbadan kecil dan pria tua kurus kering. Aku sadar, satu-satunya alasan kami masih hidup adalah karena membawa anak walikota Karagan. “Reno, Reno... bisa-bisanya kamu dukung gerakan sok pahlawan seperti ini.” Kalimat itu terlontar ringan dari mulut pesut berdasi merah. Menjalar dari telinga menuju lobus temporal, kudengar gemuruh genderang perang. Aku refleks berdiri, menghentak meja. Rahangku kaku seperti Moai yang terpahat dari batu.
46
Reno berdehem, berusaha menenangkan suasana. Gerakannya canggung, segera pamit. Ia menggiring kami menuju pintu keluar. Aku berbalik. “Mau apa lagi, Nei? Ini tidak akan ada ujungnya. Kamu tenangkan diri dulu.” Tanganku meraih gelas terdekat, menyiramkan isinya ke tuksedo mahal makhluk-makhluk itu. Hanya kena sedikit. Aku berharap, air putih dapat berubah menjadi NaOH atau air raksa. Tunggu, kenapa aku jadi jahat juga? *** “Nei, kalau nanti kampung ini dibakar bagaimana?” Kekhawatiran Pak Wangsa belum surut sejak tragedi aku khilaf kehilangan kendali. Bukan rahasia bahwa skenario bakar-membakar menjadi cara cepat mengusir hama dari suatu lahan. Menjadikan arus pendek atau ledakan tabung gas sebagai kambing hitam, demi relokasi tanpa kekerasan. Tidak ada yang patut dipersalahkan atas sebuah “kecelakaan”. Tak mendapat respons, Pak Wangsa kembali membungai tanah basah di hadapan kami. Sepasang ibu dan anak gugur, selepas adzan Shubuh tadi. Awal hari ini terlalu sendu untuk dilanjutkan dengan perlawanan. Aku memilih tak banyak bicara, apalagi mengutuk. Tak banyak tenaga yang bisa diandalkan. Dalam diam, aku menyodorkan sejilid kertas pada Pak Wangsa. Aku merancangnya semalaman. Satu bundel, sepuluh halaman berisi business plan kampung wisata. Dengan serius, Pak Wangsa menelusuri setiap detail, mengangguk-angguk. Memasang ekspresi tak menentu sekitar sepuluh menit, atau lebih dari itu. “Nei, ini brilian!” seru Pak Wangsa, wajahnya cerah. 47
“Saya tahu,” sahutku datar. “Kenapa, Nei? Saya serius, ini cerdas. Kita bisa mengajukan ini ke pemilik tanah. Entah Pak Wira atau Serunai Group, saya yakin mereka akan sepakat.” “Ya, silahkan Bapak ajukan. Saya tidak ikut.” Aku beringsut menjauh. Rasanya lelah sekali. Relawan kampung wisata hanya tinggal kami berdua. Satu orang lagi tak pernah kembali setelah mengatakan ada kesibukan di tempat lain. Yang lain sudah lama pergi. Wajar, bernapas saja menjadi terlalu menyakitkan di sini. Empat puluh enam penghuni yang tersisa berada di titik nadir nyawa mereka. Menunggu keajaiban untuk hadir di pergelaran hidup tanpa intaian malaikat maut. Pak Wangsa mengikutiku. “Ada apa, Nei?” “Saya tidak sanggup berhadapan dengan mereka, Pak.” Pak Wangsa memandangku simpati. “Apa karena... yang telah berlalu?” Angin meniup kerudungku, mengembus sampai ke kalbu. Aku paham. Maksud Pak Wangsa bukan adegan umbar emosi di kantor Serunai, melainkan garis masa yang lebih berjarak dari sekarang. Waktu-waktu yang terbenam dalam kelabu. Penyebab aku tak bisa menemui mereka tanpa perasaan ingin membunuh. Aku mendongak, mencari garis perak di tepi kumulonimbus. Masih ada, di sana. *** Berjalan gontai, perempuan muda berkerudung hitam menatap nanar taman kota di seberang jalan. Tiga mawar merah tergenggam di
48
tangannya. Tanpa ia sadari, tangkai bunga itu ikut memerah, berlumur darah. Genggamannya kelewat kuat, membuat duri menusuk terlalu dalam. Kesadarannya terlampau pudar. Di ujung mata, taman kota tidak pantas lagi menyandang nama. Tanah jingga serupa senja menimbun semak. Serumpun daun pandan berlumur pasir. Serbuk kuning bunga akasia menangisi dahan yang tergeletak mati, usai bertarung dengan gergaji. Gelombang suara frekuensi tinggi melingkupi atmosfer. Sketsa perempuan muda dan taman kota melebur. Menjadi lukisan abstrak dengan warna-warni maghrib yang mengabur. Kuakan gagak menarik jiwaku kembali. Dengan napas tersengal, aku meraba keberadaan otak, jantung, dan...rasa perih pada ujung jari. Aku meringis, mencengkram duri semakin erat. Gemetar bukan bahasa gentar. Sakit ini tak sebanding dengan kelu hati. Umur kota ini tidak akan lama lagi. Taman, lautan, bahkan permakaman digerogoti bangunan mewah, menyebar seperti wabah. Masih gontai, aku menyusuri jalan. “Darimana, Nei? Kamu tidak biasanya terlambat.” Aku terpekur menatap Pak Wangsa dan Reno. Belum juga masuk ke medan pertempuran, aku sudah kehilangan kekuatan. Lima meter dari tempat kami berdiri, gerbang rumah Pak Wira siap menyambut. Aku masih tak mengerti mengapa sudi datang kemari. Apalagi, fakta mengatakan bahwa Pak Wira membatalkan penjualan lahan. Reno membujuknya, entah dengan cara apa dan bagaimana. Reno memandang tanganku, cemas. Mungkin karena darah yang mengalir, atau ia mengenali selaput suram yang menjadikan wajahku muram. Percuma, Reno tak memiliki cukup daya untuk mengubahnya.
49
Berat, kuikuti langkah mereka berdua. Aku menunduk semakin dalam. Tak sanggup menahan kebencian, saat Pak Wira menunggu dengan senyuman di pintu utama. Tiga mawar merah telah kuletakkan di bawah cemara. “Selamat datang, Neira dan Pak Wangsa.” Aku merinding, serasa memasuki wahana waktu. Bagaimanapun, sepanjang hidup aku menganggap rumah ini sebagai nisan. Tempat nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian Ayah terukir tak kasat mata. Kakiku kesemutan. Wajah Ayah tidak berhenti berkelebatan. Apa lagi ini? Aku terpaku pada wujud pigura besar pada dinding ruang tamu. Bukan foto keluarga, pun lukisan indah seperti rumah orang kaya pada umumnya. Itu foto kampung nelayan sebelum penggusuran. Perahuperahu utuh dan lautan sampai ke cakrawala. Kumasuki sebuah ruang hampa. Foto itu memancarkan cahaya. Memproyeksikan seorang anak perempuan menjinjing keranjang rotan berisi ikan. Menuju rumah dengan latar kepakan camar. Langit memerah, sore yang menyenangkan. Memberi rasa aman yang hanya bisa dirasakan, sulit digambarkan. Tapi baginya, tak ada suaka terbaik di dunia selain pelukan ibunda. Ia ingin segera pulang. Seorang perempuan muda menyambut dua dari tiga orang yang dianggapnya sebagai semesta. Satu lagi tak beranjak dari gendongan. Bayi mungil cantik tertawa menyambut saudari dan sang ayah. Semua tampak begitu indah. Sampai akhirnya, buldoser berdatangan. Mengamuk, mencabikcabik langit mereka. Tidak ada lagi warna, atau sekadar cahaya. Gelap. Dingin. Runtuh.
50
Aku terseret ke dunia nyata. Pertanyaan demi pertanyaan tidak mau diam. Aku merasa ditertawakan oleh masa lalu dan hantu-hantu. Mengapa foto itu bertengger di sana? Apa tujuan yang Pak Wira pikirkan? Apakah ia ingin merasa sebagai pemenang? Mungkinkah demi kebanggaan? Udara begitu sesak, tempurung otak terasa panas. Sejak gegabah hanya akan menjadi masalah, aku terpaksa pasrah. Tidak ingin melewatkan momentum, terlebih menghancurkannya. Kali ini, aku merantai emosi pada cerukan tersembunyi. Aku mencoba berdiplomasi. Kusampaikan dengan gamblang segala kondisi kampung wisata dan harapan kami. Tentu saja, tanpa menatap Pak Wira. Menjaga percikan agar tak sampai membakar. Dialog berlangsung tanpa ofensif. Aku dan Pak Wangsa bertaruh pada setiap kata-kata kami. Berdoa untuk segera berakhir, tapi waktu justru mengamini teori dilatasi. Reno hanya sibuk makan, ongkangongkang kaki seperti di rumah sendiri. ‘Eh, benar juga sih. Ini memang rumahnya.’ “Maaf, saya memotong pembicaraan. Kamu... pernah kemari sebelumnya?” Pak Wira menatapku lekat, berusaha mengingat. Aku tersekat. Bukan saat yang tepat. Emosiku memberontak. Kuarahkan pembicaraan, kembali pada topik kampung wisata. “Jadi bagaimana menurut Bapak, apakah rencana kami bisa dijalankan?” Pak Wira terkejut pertanyaannya dimentahkan begitu saja. Aku memandang lurus ke meja. “Saya yakin kamu pernah ke rumah ini,” ujar Pak Wira, masih menginginkan jawaban. Penjelasan macam apa yang bisa kujabarkan? Haruskah aku mengaku sebagai anak dari sosok martir di bawah cemara? Atau anak yang ia suap untuk meredam dendam?
51
“Jika Bapak setuju dengan rencana kami, saya yakin kampung wisata akan kembali ramai pengunjung. Kawasan retensi air juga aman tanpa gangguan.” “Ya, ya, kamu tenang saja. Saya setuju. Bisa kamu jawab dulu dimana kita pernah bertemu?” “Baik. Baguslah, jika Bapak sudah setuju. Kami harus segera kembali, banyak yang harus dikerjakan,” Aku berdiri, diikuti Pak Wangsa. Reno bengong, mematung. “Ya, silahkan. Nanti asisten saya kirim dana yang kalian butuhkan. Saya tunggu kabar baiknya dalam... dua bulan?” “Dua setengah bulan,” jawabku mantap. Pak Wira mengangguk. “Kenapa?” “Sesuai rencana, dua bulan pemulihan keadaan. Lalu, dua minggu pelaksanaan agenda.” “Bukan... maksud saya, kenapa kamu tidak menjawab saya tadi?” “Bukankah barusan sudah saya jawab?” “Bukan pertanyaan itu. Maksud saya... ah, sudahlah. Selamat bekerja. Saya bangga ada warga kota yang peduli dan memberi solusi.” Aku tersenyum hambar. Tak menyangka Pak Wira setuju tanpa perdebatan berarti. Seperti ada ngengat beterbangan mengganggu mata, mengusik penglihatan. Menampilkan citra yang ganjil. Pak Wira terlihat seperti orang baik. Tidak, ini pasti sekadar ilusi optik. *** Tentram. Kampung wisata bernapas tenang dalam cahaya keemasan. Sudah lama damai tak singgah di sini. Vitamin, obatobatan, dan makanan tambahan siap dalam satu kotak besar bersama 52
peralatan penunjang. Penuh ketelatenan, Pak Wangsa menyuntik vaksin untuk dua yatim piatu, Bani dan Banu. Aku mengamati gerakgerik Pak Wangsa dengan ruap kekaguman. Pada jiwanya, tercium wangi kebijaksanaan. “Neira, tolong kau berikan makanan tambahan untuk Sinai dan anaknya. Mereka tampak sangat lapar,” ujar Pak Wangsa, tersenyum melihat Sinai bolak-balik di depan pintu. Aku menurut. Melangkah menuju Sinai, diiringi riuh rendah dari segala penjuru kampung wisata. Untuk sekian lama, aku direngkuh suasana yang dulu membuatku terpikat. “Kenapa kamu ingin bertahan di sini?” Kaget, jantungku tersentak. Aku nyaris berjingkat. Untuk kesekian kali, Reno muncul tanpa suara langkah mendahului. Cocok sekali mendapat peran di film horor, bermodal wajah pucatnya itu. “Boleh aku beri saran? Sebaiknya kamu memakai lonceng di kaki supaya tidak selalu mengagetkan orang,” ujarku kesal. Reno tersenyum jahil. Detik melambat pada pusaran tatapannya. Menelanku bulat-bulat seperti pasir hisap. ‘Jangan melawan,’ matanya bicara. Segera kualihkan pandangan pada Sinai dan anaknya yang begitu lahap menyantap daging. Ego masih belum rela mengibarkan bendera putih. Hatiku dibungkam kenyataan bahwa Reno adalah anak dari seseorang yang ikut andil dalam ironi kematian Ayah. Hubungan kami tak lebih dari siasat perang. “Nei, bisakah kamu tidak lari dari pertanyaan?” “Maksudnya?” “Saya cuma bertanya satu hal. Kenapa kamu bertahan di sini?”
53
Aku mengangkat alis. “Sederhana saja, karena kita semua sama. Satu kerajaan dan naungan,” tuturku. Reno mengedarkan pandangan, menatap penghuni kampung seluas jangkauan pandang. Sementara itu, aku menatapnya dengan mata terpejam dan hati penuh kecemasan. Reno mengangguk-angguk. Aku tidak berharap dia paham. “Oh iya, ini daftar sekolah yang setuju untuk ikut kontribusi.” Reno menyodorkan selembar kertas. Delapan sekolah dasar, lima PAUD, dan empat sekolah menengah. Lebih dari cukup untuk memicu keramaian kembali. Masih tanpa ekspresi, aku memandangi langit. Merasakan rintik sejuk turun menyegarkan harapan kami. Kenyataan yang terlalu indah memang sulit diterima sebagai realita. Tapi, aku harus siap menyambut mereka. *** Pagi sekali, kampung wisata menjelma cantik layaknya pengantin wanita. Penuh dekorasi bunga, pita, dan balon berbagai warna. Beberapa relawan lama mendapat panggilan spesial untuk melengkapi kemeriahan ini. Anak-anak, para guru, dan orangtua memenuhi lapangan rumput. Antusias berkeliling dan bermain bersama para penghuni kampung. Untuk sejenak ini, sekuat tenaga kuhalau hantaman godam dari masa lampau. Jika rencana ini berjalan baik, Pak Wira sepakat menyerahkan kampung wisata pada kami. “Bagaimana menurutmu?” tanya Pak Wangsa, menunjuk tujuh balon berbentuk huruf. Berwarna emas. Tingginya sekitar satu meter. M-E-T-A-Z-O-A. Terpajang rapi, semanis pagar ayu di gerbang utama.
54
“Satu kerajaan dan satu naungan. Itu kan maksud kamu?” Reno menyodorkan gelang anyaman bertuliskan kata yang sama. Aku tidak bisa menahan senyum. Tak kusangka ia paham. Aku menarik napas dalam. Berkas cahaya dari balik pepohonan menyirami kami. Sudah waktunya. Aku meraih pengeras suara dan menggiring tamu-tamu kami menuju aula. Presentasi sudah disiapkan. Ratusan buklet dibagikan, berisi data dan foto tiap-tiap penghuni kampung. Ditemani debar tak beraturan, aku berdiri di hadapan mereka yang duduk manis, siap mendengarkan. Lima belas menit pertama, berjalan lancar. Tak ada kendala yang menyurutkan gelombang harapan. Aku ingin mereka menyadari, bahwa setiap penduduk bumi memiliki hak yang sama untuk hidup layak dan sejahtera. Tanpa peduli asal muasal, setiap kita punya andil untuk menjaga keseimbangan. Membuat gangguan pada kehidupan makhluk lain, cukup bagi mereka yang tak paham esensi keberagaman. Lima belas menit selanjutnya, kubuka lembar utama. Lorong bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari misi penyelamatan. Setiap orang berhak memilih penghuni kampung sebagai asuhan. Kami menyebutnya “Sahabat Alam”. Dengan donasi setiap bulan, mereka akan mendapat simbol persahabatan Metazoa. Kami akan mengirim foto tumbuh kembang penghuni kampung secara rutin. Reno siap pasang badan menjadi fotografer tanpa bayaran. “Bagus sekali, Neira. Ini akan membuat orang-orang merasakan keterlibatan. Indah sekali jika setiap tempat bisa menerapkan ini,” respons salah satu perempuan setengah baya. Aku mengenalinya sebagai veteriner yang cukup sering datang ke kampung wisata. Aku terhenyak. Setelah presentasi aku akhiri, berderap langkah mereka menuju meja registrasi Sahabat Alam, berdampingan dengan
55
rumah-rumah penghuni kampung. Mata mereka berbinar, mencari konektivitas pada hati masing-masing untuk menentukan pilihan. “Ayah, lihat ini. Mereka sangat manis!” Sepasang anak kembar berambut kuncir kuda menggemaskan berlari riang, menghambur ke pelukan ayahnya. Mereka memperlihatkan foto Bani dan Banu yang berpose dengan senyum jenaka. “Ini simpanse yang kalian pilih? Lucu sekali ya.” “Tidak, jangan sebut simpanse. Mereka punya nama, Bani dan Banu. Mereka kembar, Ayah. Kami sudah bersahabat sekarang,” Mereka menunjukkan gelang persahabatan Metazoa dengan bangga. Di sekitar mereka, puluhan anak lain tersenyum-senyum senang. Melambaikan tangan pada sahabat baru di balik jeruji besi. Beberapa satwa tak berbahaya dibiarkan berkeliaran ditemani seorang pawang. Foto Sinai dan anaknya yang sedang mengaum mengundang tatapan kagum. Aku lebur. Kedekatan antara penghuni bumi selalu berhasil menghangatkan hati. Kepedulian, berhasil kami hidangkan dalam Metazoa. Sepadan. Tidak seharusnya kebun binatang memaksakan hewan sebagai objek hiburan bagi manusia-manusia yang memanggul keangkuhan. Tidak ada lagi jerapah mati karena menelan banyak sampah plastik akibat kelaparan. Tidak boleh ada pengurus kejam yang resah karena gaji belum terbayarkan. Hanya dengan indra yang bebas dari keserakahan, kami menyatu bersama napas kehidupan. Sedangkan aku masih bertanya-tanya, satu spesies yang saling menyakiti di luar sana, kapankah berhenti dan sadar untuk berbenah diri? *** 56
57
58
K
umandang adzan, lonceng gereja, dan doa-doa menjadi suara yang paling sunyi di sini. Orang-orang menolak pertolongan dan
bersikeras mengandalkan tenaganya sendiri. Mereka merindukan rumah, tapi melupakan jalan pulang. Udara yang lebih renggang dari biasa, memperlambat getar suara untuk sampai di telinga. Sedangkan hati, sulit dijangkau oleh sekadar bunyi. “Sebentar, Pak. Tanggung, tinggal sedikit.” “Duluan saja, Pak.” “Baju kotor begini ya tidak bisa ke masjid, Pak.” Aku hanya tersenyum. Tidak pernah bosan menerima penolakan ketika mengajak mereka ke masjid dan berhenti sejenak dari pekerjaan proyek. Khawatir, mungkin bukan istilah yang tepat. Takut, lebih mendekati.
59
Masalahnya, ini bukan perkara sederhana. Menguruk lautan menjadi daratan dan mengusik ekosistem di dalamnya. Rekayasa luar biasa, melawan hukum alam. Ada harga tinggi yang harus dibayar untuk kemaslahatan yang lebih besar. Demi semua itu, aku tidak sanggup berdiri tegak lebih lama. Aku takut memancing murka semesta. Hingga suatu momen, sekitar lima detik setiap kali peninjauan lokasi proyek, tubuhku terasa ringan. Pijakan kaki di urukan tanah itu penuh ketidakpastian. Merasa asing dengan diri sendiri, namun tidak bisa lari. Menyenangkan, sekaligus menyeramkan. Aku pikir, aku sudah hampir gila menanggung beban kota ini. “Pak Wira tidak perlu khawatir. Semua aman terkendali. Para engineer kami pasti sudah memperhitungkan segalanya,” Mereka mengumbar kata demi membuatku tenang, tapi menghasilkan kondisi berlawanan. Diksi ‘terkendali’, ‘pasti’, dan ‘segalanya’, membuatku merinding. Terdengar pongah dan jumawa. Rasanya, tidak pantas diucapkan manusia. Barangkali, akan jauh lebih baik jika perasaan ini hanya paranoid tanpa alasan. Sayang sekali tidak. Kelak, balasan atas kesombongan akan datang sebelum kami sempat menyesal. *** Raungan demonstran tak henti bergaung sejak pagi. Tidak bisa dibedakan antara nelayan sungguhan dan massa bayaran. Kepalaku berdenyut sebelum mereka menampakkan diri. Aku tidak sepenuhnya paham hal-hal yang mereka keluhkan. Percuma saja berdialog dengan egoisme. Aku memilih geming, dan mereka semakin bising. Tipikal, perut yang lapar membuat orang-orang mudah terbakar. Gesekan sedikit bisa berakibat fatal. Nasibku saja harus memimpin
60
sebuah kota yang penuh warga keras kepala. Mereka menuntut perbaikan, tapi garda depan dalam menentang perubahan. Sudah ratusan kali, lembaran dokumen AMDAL yang belum juga rampung itu kubaca ulang. Tidak ada yang bermasalah. Ratusan nelayan masih dapat melaut, mereka tidak perlu ribut. Pendapatan daerah meningkat, tentu saja berimbas pada kesejahteraan rakyat. Banjir yang menjadi peluru untuk menumbangkan pemerintahan akan teratasi, tidak ada bahan makanan bagi serikat pencari kesalahan. Ditambah instalasi untuk ketersediaan air bersih, apa lagi yang kurang? Lagipula, kami membangun rumah susun khusus nelayan di pulau buatan. Lebih bermartabat dibanding gubuk dengan sanitasi buruk yang dulu mereka huni. Tempat tinggal dengan seng berkarat dan dinding kayu lapuk di sepanjang teluk jelas tidak pantas disebut rumah. Demi harkat dan kehormatan sebagai manusia, anak-anak mereka harus mendapat tempat hidup yang lebih layak. “Maaf, Pak Wira. Apakah Bapak akan menemui mereka?” tanya seorang pria di ambang pintu yang kubiarkan terbuka. Ia mencoba tenang, namun kalah oleh kepanikan yang sulit disembunyikan. Aku memunggunginya, tetap geming. Menatap gamang keluar jendela, mengamati sungai manusia dan kemacetan lalu lintas yang menjadikannya penyebab. Dua orator berkoar, menggadang eksistensi sebagai pusat perhatian. Di barisan tengah hingga belakang, puluhan orang khusyuk menikmati nasi bungkus pemberian sponsor, yang cukup rendah hati untuk tidak menunjukkan diri. “Apa tuntutan mereka?” tanyaku, tanpa mengharap jawaban. “Seperti sebelumnya. Ganti rugi penurunan hasil tangkapan ikan, ganti rugi penggunaan lahan, pencabutan izin reklamasi, dan modal usaha untuk nelayan yang dipindah ke rumah susun.”
61
Aku tersenyum, mengrenyit. Mudah ditebak. Aku sudah hafal racauan mereka yang menyalahi logika. Maling teriak maling. Mereka seperti anak kecil yang menangis atas hilangnya permen yang tidak pernah mereka miliki. Pikirkan saja, lahan sepanjang pesisir utara jelas milik pemerintah daerah. Mereka gunakan secara ilegal, kami diamkan puluhan tahun tanpa urusan hukum. Atas nama kepentingan publik, kami rebut kembali dan mereka malah minta ganti rugi? Lantas perkara penurunan hasil tangkapan ikan, tentu saja cuma akal-akalan. Dari dulu, kualitas maupun kuantitas hasil laut tidak bisa diandalkan. Pemukiman kumuh nelayan penghasil limbah dan sampah membuat ikan-ikan mati dan kabur ketakutan. Atas kerusakan kronis yang mereka timbulkan, mereka menuding kami sebagai antagonis? Apalagi? Modal usaha dan pencabutan izin reklamasi? Sudahlah, lupakan saja. Mereka tidak akan paham jika kami jelaskan. Dalam labirin otak mereka hanya ada uang. Sementara, ini bukan soal hidup segelintir orang, melainkan untuk setiap jiwa di Kota Karagan. “Bubarkan saja mereka,” kataku seraya menghempaskan diri ke kursi. Mengalihkan perhatian dari kegaduhan yang semakin menjadi. Sepenuhnya menyadari, bentrokan tidak bisa dihindari. Lebih baik mereka segera enyah, karena kami tidak akan mengalah. Praang!!! Pecahan kaca jendela menghiasi lantai ruangan. Sebongkah batu menggelutuk di atas meja, berhenti tepat di bawah gelas kaca. Aku mematung. Beban di pundak terasa semakin berat, terpikul nyawa kota yang tengah sekarat. Tidak ada pikiran yang benar-benar jernih. Di setiap
62
sudut, hati rakyat perih merintih. Aku memaki, ditertawai jam dinding bisu yang tak pernah berniat menggelontorkan waktu. Pukul dua siang. Tujuh ribu dua ratus sekon terlewatkan sejak gelombang suara dari masjid-masjid memenuhi udara. Panggilan adzan tidak lagi ada artinya, seolah tak pernah menggema. Doa-doa hanya pengisi lemari. Senjata ampuh yang menjadi anak tiri. Mereka sama saja, barisan orang-orang yang merindukan rumah, tapi melupakan jalan pulangnya. *** Satu, dua, tiga. Aku menghitung amplop putih berlogo SG yang tergolek di ruang tamu. Kendati berwarna putih, ada horor dan teror yang terkandung di dalamnya. Serunai Group. Mereka tercipta sebagai kumpulan manusia tanpa kata putus asa. Negosiasi, rayuan, hingga akal bulus, kini beranjak menjadi ancaman serius. “Ayah, kenapa?” tanya anak sulungku. “Eh, Reno. Ayah pikir kamu di kampus. Tidak, tidak ada masalah.” “Ayah pikir Reno percaya dengan jawaban begitu?” Aku tercenung sejenak. Anakku jelas bukan lagi bocah yang bisa dibohongi. Aku tahu dia pandai menebak isi pikiran orang lain, bahkan hampir seahli ibunya. “Tenang saja, Ren. Bukan masalah besar.” Reno mengangkat bahu. “Baiklah.” Beberapa detik, kami berdua geming. “Sudah sholat, Ren?”, tanyaku memecah hening. Dia menggeleng. “Memang sudah adzan ya?” Aku tertawa. “Kalau Ayah tidak salah, kecepatan suara 344 meter per sekon, Ren. Masjid cuma berjarak 100 meter dari sini. Kamu bisa
63
dengar adzan kurang dari sedetik. Apa satu panggilan tidak cukup menggerakkan? Ada beda kerapatan udara... atau kerapatan hati?” Reno balas tertawa. “Apa kerapatan hati dan kerapatan udara juga yang membuat Ayah terlambat menyelamatkan rakyat ketika mereka meminta tolong?” Reno menunduk dalam, membubuhi lantai dengan tatapan kosong. Aku terhenyak, memahami arah pembicaraannya. Masa lalu tidak pernah pergi. Ia menjadi hal rapuh yang siap pecah oleh suara lonceng atau sekadar embusan napas. Meruahkan sakitnya untuk pertaruhan di setiap perasaan. “Ayah ingat kan dengan Neira? Aku sadar ekspresi Ayah berubah ketika Neira datang. Semudah itukah Ayah memberi harga pada nyawa orang lain?” Aku menggeleng pelan. ‘Tidak pernah semudah itu. Tidak pernah mudah. Tidak pernah, Ren,’ Jawabku tertahan di tenggorokan. Bibirku hanya terbuka tanpa suara. Reno beranjak pergi. “Ren...” Aku memanggilnya pelan. “Ya?” “Jangan...lupa sholat.” “Ya, sudah adzan,” jawab Reno penuh arti, berlalu menutup pintu. Suara langkah dan punggungnya yang menjauh menyerupai mata gadis itu. Mendatangkan hantu-hantu. Di genggamanku, satu amplop dari Serunai Group telah kehilangan bentuk. Remuk. Gemetar, aku memeriksa isinya. Hanya ada secarik kertas dan halhal suram tak kasat mata. Tanpa logo perusahaan. Tanpa salam pengantar. Tanpa kata-kata klise seperti surat resmi pada umumnya.
64
Di tengah lembaran berwarna putih itu hanya ada dua simbol yang ditulis dengan tinta merah. Segitiga dan sebuah tanda seru. ! Satu-satunya tempat bagi surat semacam itu hanyalah kotak sampah. Menjadi teman bagi segala bentuk material yang dihindari orang. Bisa karena tidak berguna, berbau busuk, atau penuh penyakit berbahaya. Makanan basi, misalnya. Aku sudah terlalu sering kalah, tapi kali ini bukan saatnya. Tanah berbentuk segitiga itu tidak akan kuserahkan pada mereka. Gadis itu sudah datang. Ia memijak tanah ini dengan membawa semerbak kenangan tentang seseorang yang hilang. Tanpa perlu banyak pertimbangan, akan kuserahkan segala yang kumiliki untuknya. Meski harus menantang pembunuh bayaran, aku siap mendongakkan kepala. Menegakkan badan demi membayar sederet dosa. ‘Reno, Ayah memang buta, tuli, dan pelupa. Suara rakyat begitu jauh terdengar dari telinga. Itulah alasan foto besar kampung nelayan terpajang di ruang tamu kita. Ayah perlu mengingat setiap nyawa yang menjadi martir bagi perbaikan kota. Perbaikan, Reno anakku... Bukan kekuasaan.’ Semua anggaran, tanda tangan, dan perizinan keluar dari ruang kerja walikota demi kebaikan banyak orang. Seluruh penggusuran dan pembangunan hanya kulakukan untuk peradaban yang lebih mapan. Siapa yang jahat? Siapa yang serakah? Kata mereka, sejumlah binatang mendiami kantor pemerintahan. Kenapa binatang-binatang itu duduk di sana? Kami tidak seketika ada. Kami mendapat kursi melalui jari-jari kelingking berlumur tinta hitam. Memilih sadar atau tidak, seumur hidup kami dipertaruhkan di tiang
65
gantungan. Menjalani hidup dalam tudingan, lantas mati disambut kobaran api. Bisakah kami menghindar? *** Delapan orang mabuk mengitari meja pualam. Mendendangkan syair berisi investasi dan janji-janji. Aku waras sendiri, karena itu hanya sedikit kata yang bisa aku mengerti. Telingaku malah terganggu oleh gelas-gelas kopi yang ikut menyanyikan lagu bunuh diri. Keberjalanan proyek reklamasi ini seperti mengejek setiap ekspektasi. Aku melontarkan pertanyaan pada hidangan yang sudah dingin. ‘Aku yang terlalu bodoh atau orang-orang ini yang terlalu lihai mempermainkan situasi?’ Hidangan itu diam. Aku tahu, ia juga tidak paham. Infrastruktur dan segala bangunan penunjang memang sesuai dengan rencana di atas kertas. Pusat rekreasi, pertokoan, rumah susun nelayan, fasilitas publik, semua lengkap. Tapi, sejak kapan setiap bangunan dan kegiatan ekonomi dipasangi label harga begitu tinggi? Rakyat miskin tidak akan mampu mencapai semua ini. Lima detik itu datang lagi. Kali ini, aku melayang lebih tinggi. Dan, lebih asing. Ditambah suara dentum besi bertemu besi yang melatari ucapan Reno. Ia mengulang-ulang kalimat yang sama, ‘Ayah terlambat menyelamatkan rakyat.’ Rakyat, rakyat yang mana? Ada berapa rakyat yang bisa selamat dan berapa yang semakin melarat? Apa masalahnya? Kebijakan yang gagal? Pemerintahan yang buruk? Peraturan salah sasaran? ‘Metazoa, Ayah,’ Suara Reno kembali terngiang. Metazoa? Apa maksudnya? “Bagaimana? Apakah Bapak setuju?”
66
Aku tersentak. Apa yang perlu disetujui? Aku mencoba menerka, tapi sia-sia. Bisa jadi, aku malah menjatuhkan wibawa sendiri jika salah bicara. “Coba kamu simpulkan dulu poin-poinnya,” perintahku pada sekretaris di seberang meja. Tapi, ternyata kekhawatiranku terlalu berlebihan. Inti pertemuan masih tak lepas dari lingkaran syair investasi dan janji-janji. Bagi hasil antara pemerintah daerah, pemodal, dan sangat sedikit manfaat untuk rakyat. “Kita sholat dulu. Sudah adzan setengah jam lalu.” Aku memutuskan untuk tidak memberi keputusan. Aku malu, merasa dikasihani oleh gelas-gelas kopi dan hidangan yang sudah dingin. Aku bukan hanya sering kalah, tapi juga kerap salah. Kota ini tak lebih dari belukar, tempat ular-ular menjadikannya surga. “Tapi kita harus segera memberi kepastian pada pemodal, Pak.” “Ini sudah waktu sholat,” sahutku dingin. Tampak dari jendela, peluh pekerja bangunan merayakan kehangatan. Mendekap harapan anak kecil dalam tubuh yang kelelahan. “Dua hari lagi...” “Cukup!” Aku membentak. Sebelum ada bantahan, aku berkata lagi. “Kita sudah terlalu lambat membela hak rakyat, apa kita juga mau terlambat dengan kewajiban akhirat? Kita tidak sanggup menanggung beban kota ini jika Tuhan tidak menolong kita lagi!” Aku segera keluar ruangan. Meninggalkan mereka sebelum mendengar bisik-bisik yang sungguh berisik. Untuk kesekian kali, aku melayang-layang di tanah urukan pulau buatan. Terik matahari tidak cukup panas untuk mencairkan otakku yang membeku. Terdengar sangat remaja dan bisa dibilang lemah, tapi aku merasa benar-benar sendirian. Barangkali juga, sungguh-sungguh kesepian.
67
“Pak Jajang, itu pekerjanya suruh ke masjid dulu,” kataku pada seorang pria besar berkumis tebal yang kukenali sebagai mandor. “Siap, Pak. Lima menit lagi.” “Ya sudah kalau begitu. Saya duluan.” Aku mempercepat langkah, meninggalkan lokasi yang sungguh membuat frustasi. Sebagai manusia lemah yang dilempari amanah, masjid menjadi suaka ketika aku merasa begitu rendah. Yang aku tahu, dunia ini mudah retas, dan manusia memiliki batas. Ketika banting tulang mengejar salah satunya, kita semakin sulit mengingat bahwa dunia dan akhirat punya hubungan sebab akibat. Sulit dilihat, tapi mengikat. Telingaku berdenging. Belum dua belas langkah aku menjauhi pagar pembatas, terdengar tiga suara ledakan, disusul hantaman benda keras yang bersahutan. Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan. Hawa dingin menusukku tepat di bawah sengat matahari. Aku sontak menoleh. Kerumunan manusia tidak terbendung. Tidak ada yang bisa kulihat dari jauh, tapi tidak juga berniat mendekat. Hanya melihat tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Aku menyeret langkah menuju masjid di seberang jalan. Tersungkur di sana. Pingsan. *** Bintang-bintang terlihat dekat. Matahari salah satunya. Siang dan malam berganti ketika kuputarbalikkan telapak tangan. Aku berada di atas awan, menyaksikan nyawa-nyawa berkejaran menuju langit. Ada burung-burung pendiam yang terbang tak beraturan. Aku mengenali tempat ini sebagai tempat kelahiran. Ada ibu, nenek, dan ibunya nenek tengah memandangiku dari kejauhan. Wajah 68
mereka terlihat sedih. Aku mencoba mendekat, tapi gagal. Aku pikir, aku melayang. Ternyata tidak. Kakiku berpijak. Aku menginjak batu persegi yang gemetaran. Seekor burung berparuh besar melintas. Kepakan sayapnya mengibaskan awan-awan yang mudah lepas. Tersingkap, di bawah batu persegi yang kupijak, ada tubuh remuk seorang laki-laki. Aku mundur, berbalik, dan terjerembap tanpa ada yang menangkap. Jatuh bebas. Jauh. Kunikmati setiap detik hingga terdengar suara tiga ledakan disusul benda keras yang bertubrukan. Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan. Bruk!! Aku mendarat tanpa rasa sakit dalam ruangan serba putih. Ada istri dan kedua anakku yang memandangi, penuh kecemasan. Mudah diidentifikasi, aku terbaring di rumah sakit. “Apa yang terjadi di proyek?” tanyaku panik. Suara-suara keras yang memekakkan telinga menjadi satu-satunya memori yang kuingat sebelum hilang kesadaran. “Ada ledakan pipa gas. Reno belum tahu pasti, tapi ada sekitar lima orang tewas di tempat. Tujuh orang dalam perawatan intensif.” Mataku terpejam, mengumpulkan tenaga. Aku harus segera pergi dari sini. Kuminta istriku memanggil dokter. Aku memaksa melepaskan selang infus. Dua jam kemudian, aku sudah di mobil dengan Reno dan dua ajudan. Menembus tirai langit yang luruh kemerahan. Kami memasuki
69
halaman proyek reklamasi dalam sambutan kamera dan pertanyaanpertanyaan klise dari wartawan yang tidak dapat aku dengar. Aku mencurigai kerapatan udara. Hanya ada hening dan lagi-lagi, telinga yang berdenging. Sore ini, sungai manusia bermuara di pantai utara. Dengan sendi tanpa tenaga, aku menapak di tengah ratusan orang yang membawa berbagai rasa. Banyak belasungkawa, lebih banyak yang penasaran saja. Matahari buru-buru terbenam. Memendam rahasia yang sudah lama diketahui bersama, dan dendam-dendam. Bersama hujan malam hari, doa-doa keluar dari lemari. Bising. Sekali lagi, aku melayang dan semakin merasa asing. ***
70
71
72
M
obil-mobil bercengkrama menggunakan bunyi klakson dan karbon monoksida. Di dalamnya, orang-orang menatap nanar
lampu lalu-lintas yang belum berganti warna. Mereka bergegas, tapi menghindar untuk tiba lebih awal. Pikiran mereka terpenjara pada akhir pekan dan perihal lain yang belum waktunya. Sementara di jok belakang, anak-anak berseragam kesulitan mengeja kebahagiaan. Nasib mereka ditentukan oleh kenaikan kelas dan hasil ujian nasional. Mereka membaca banyak hal, tapi tidak mempelajari apa-apa. Sinapsis otak mereka kebanjiran berita dari televisi dan linimasa. Tinggal menunggu waktu, hingga akhirnya terperangkap dalam tubuh manusia dewasa yang merindukan masa kecilnya. Kelak, akan banyak yang berhenti sebelum sampai. Lari di tempat dan memuja kata andai. Membeli barang-barang mahal tapi tidak
73
begitu berharga. Menjadi orangtua yang mencintai pekerjaan seperti anak-anak mereka mencintai permainan di layar telepon pintar. Duduk bersama, dan tidak banyak bicara. Meja makan mereka kesepian, ditemani piring-piring dan gelas-gelas bersih. Akhir pekan datang, waktu bagi pusat perbelanjaan. Mengosongkan sofa ruang keluarga dan memadati jalan-jalan. Jenis lain, sedikit berbeda. Ada para pengembara. Kantor mereka pantai, gunung, pohon-pohon tinggi, dan apa saja yang tampak bagus di dalam foto. Berlomba-lomba menceritakan tempat-tempat indah yang jarang terjamah. Menjauhi keramaian orang untuk menjadi pusat perhatian. Mengagumi alam, tapi sibuk mengurusi baterai dan mencari-cari aliran listrik. Tidak bisa hidup tanpa koneksi internet dan merutuki kartu memori yang sudah penuh. Mereka terus berjalan, tapi melupakan tujuan. Masih ada lagi, dia yang memang berbeda. Satu di antara tujuh dalam mobil biru yang melaju menuju selatan Kota Karagan. Sesuai permintaan yang bersangkutan, semua orang memanggilnya Jay. Berkulit coklat kemerahan, seperti madu hutan. Rambutnya menyerupai ombak di tengah lautan. Mata setajam elang itu selalu menatap penuh kepastian, tapi menyimpan bayang-bayang. Dua kali aku dipertemukan dengannya. Dalam pendakian Gunung Tanduran, dan sekarang, Gunung Parung. Kedua pendakian diadakan oleh tim penyelenggara yang sama. Sebuah perjalanan terbuka, wadah bagi orang-orang ramah mencari teman. Sebagian besar, setidaknya. Aku dan dia termasuk dalam sisanya. Kami tidak ramah, juga tidak menunjukkan gelagat ingin menjalin pertemanan.
74
Dalam dua kali perjalanan, aku tidak pernah melihatnya antusias dalam suatu percakapan. Dia cenderung menghindar. Saat ada waktu senggang, para peserta sibuk berkenalan, berfoto dengan teman baru, bernyanyi bersama, atau apa saja yang dilakukan orang normal. Setiap orang berupaya agar dianggap ada. Dia tidak. Dia justru memisahkan diri dan mengitari tempat lain. Sendirian. Sedangkan aku, meski berada di tengah keramaian, tapi memuja kesunyian. Tidak banyak bicara dan aktif menjadi pendengar. Aku merasa tidak perlu berusaha menjadi teman yang menyenangkan. Karena memang tidak begitu. Anggap aku tidak ada, maka aku baikbaik saja. “Kamu diam terus dari tadi. Pertama kali ikut open trip ya? Atau baru pertama kali naik gunung?” tanya seorang gadis berambut kuncir kuda. Aku mengenali wajahnya sebagai host acara petualangan di televisi. Dia pusat perhatian pada kumpulan manusia ini. Percaya diri, atraktif, dan suka bicara. Dia cahaya dan aku bayangan. “Sudah delapan kali. Ini gunung kelima,” Aku menjawab singkat, tersenyum seadanya. Ia tampak terkejut. “Serius? Kamu pasti tipe yang lebih mencintai alam daripada manusia ya,” Dia tertawa, orang lain juga. Semua orang mendengar pembicaraan kami. Aku tersenyum. Hambar. Berharap tidak ditanya lebih lanjut. Aku harus menghindari gadis itu agar tidak terkena lampu sorot terlalu lama. Aku lebih suka menjadi bayangan. Bagiku, alam tidak pernah menjadi tujuan. Tapi, aku tidak merasa perlu menjelaskan padanya. Orang-orang inilah yang menjadi alasan keberadaanku di sini. Spesies mereka adalah ambisiku. Manusiamanusia yang datang menjejak gunung dengan membawa gaya hidup perkotaan. Tangan mereka gawai dan mata mereka lensa kamera. Aku menjalani hidup dengan mengamati dan menulis kisah-kisahnya. 75
Katakanlah, aku manusia di luar peradaban. Aku bukan penghuni hiruk pikuk dunia nyata, maupun dunia maya. Aku fana bagi banyak orang. Namaku bukan kata kunci yang mudah dicari dengan mesin pencarian milik Larry Page. Buku-buku karyaku lebih dikenal daripada sebaris nama asliku. Di internet, tempat orang-orang medioker terlihat cantik, aku hanya sebuah siluet. Kalaupun ada yang kini mengusik wilayah kebisuanku adalah pemuda yang baru saja muncul kembali entah dari mana dan setelah melakukan apa. Kehadirannya bukan kabar baik bagi detak jantungku. Jay. Dia datang dan duduk di samping ketua rombongan. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang serius. “Kenapa sih dia dibiarkan pergi sendirian? Kalau sampai hilang bagaimana?” tanyaku pada salah satu panitia. “Siapa? Jay? Biar saja, dia tidak mungkin hilang.” “Kenapa tidak mungkin?” “Dia mengenal gunung ini seperti kita mengenal rumah sendiri,” jawabnya ringan. Aku terdiam, dirasuki banyak pertanyaan. *** Sore tadi, awan lembayung luruh. Kabut berselaput sepanjang malam. Gerimis masih saja turun malu-malu. Langit hitam. Bintangbintang bersembunyi, membuat patah hati para pendaki. Orang-orang kota ini tidak berhenti menyalahkan hujan yang biasa mereka jadikan persona dalam status media sosial. Aku tidak peduli. Aku tidak butuh bintang-bintang. Aku puas menatap cahaya api unggun pada iris mata Jay yang coklat tua. Aku bisa menghangatkan diri di sana. Di kedalaman mata itu, aku ingin menjadi penyelam atau... tenggelam. Karam dalam bayang-bayang. 76
“Eh, eh, itu siapa?” tanya gadis kuncir kuda menunjuk ke arahku. Wajahnya sedikit ketakutan, nadanya panik. Menyadari bukan aku yang ditunjuk, aku menoleh ke belakang. Hanya tampak kegelapan dan hawa yang lebih mencekam. Aku merinding. Orang-orang riuh. Ada yang sibuk menakut-nakuti, ketakutan, dan ada juga yang pura-pura ketakutan. Sudah kubilang, gadis itu memang pusat perhatian. “Tadi ada orang di balik pohon besar itu, melihat ke arah kita!” lanjutnya, nyaris terpekik. Aku melihat Jay dan ketua rombongan berpandangan penuh arti. Tepat ketika mereka berdiri, terdengar suara gemeresak seperti daundaun kering yang terinjak. Bayang hitam berkelebat cepat. Buru-buru mengejar, mereka menyerah karena tidak membawa penerangan. Hutan malam hari bisa menelan siapa saja yang berani menantang. Alih-alih ikut ribut membicarakan makhluk hitam itu, aku justru tertambat pada reaksi Jay. Sekilas, aku melihat kilat menyambar di tatapannya. Merobek selimut bayang-bayang di sana. Dia mengacak rambutnya dengan geram. Murka, bingung, duka? Dia mendadak seperti buku rahasia yang sulit aku baca. Ketua rombongan sigap meredam kegaduhan. Mungkin hanya anjing liar, katanya. Mungkin juga beruang, kataku. Mungkin anjing liar setinggi 6 kaki, kata yang lain. Gadis kuncir kuda yang menjadi saksi mata pertama hanya tertawa-tawa. Tanpa segaris raut trauma. Sementara itu, Jay tidak kembali dalam lingkar api unggun. Dia beranjak pergi dan aku patah hati. Dia mematung menghadap kabut. Siluet punggung dan rambut ikal itu terlihat sedih... dan begitu jauh. Dimana pikiran dan tatapan itu berlabuh? ***
77
Sarapan pagi kali ini tersaji bersama keluhan berkepanjangan. Tidak ada seorang pun yang membicarakan sosok misterius tadi malam. Langit menjadi kambing hitam karena terus menjatuhkan kesenduan. Katanya, foto-foto mereka jadi membosankan. Aku tidak setuju. Aku mengingat kelabu sebagai surga bagi teh manis dan roti lapis. Selimut terbaik adalah dingin milik pagi tanpa matahari. Ia bisa merendam kata-kata hingga memuai menjadi cerita. Melupakan tenggat waktu dan merasa cukup. Keberadaan Jay merupakan hal lebih. Dia mimpi yang menanti di persimpangan. Ada untuk dilewatkan, bukan sebagai tujuan. Sekadar hujan yang terjebak di bait sajak. Pelangi di tengah ngarai. Menawan, tapi tidak untuk di simpan. Aku, gelisah karena mudah menyerah. Tinggal dua pos lagi hingga puncak Gunung Parung. Besok kami pulang dalam dekap metropolitan. Tapi, buah tangan yang aku punya hanya lelah dan rasa penasaran. Kami berkemas, bersiap menuju pos selanjutnya. Jay tidak ada. Sudah dua jam berlalu sejak ia menghilang di balik semak. Dia bahkan sudah membawa keril birunya. Aku ragu dia berniat kembali. Kami berangkat lima menit lagi. “Tunggu dulu. Jay hilang,” kataku pelan. Berharap seseorang akan mendengar. Aku tahu, ‘hilang’ kata yang buruk untuk menjelaskan situasi. Faktanya, Jay tidak ada bersama kami. “Jay hilang?” Gadis kuncir kuda mengulang kata-kataku dengan nada bertanya. Aku lega. Jika dia yang bicara, semua orang pasti sadar. “Jay siapa? Ada ya yang namanya Jay?” lanjutnya. Aku mendengus “Tenang, Jay berangkat duluan. Nanti ketemu di pos empat,” ujar ketua rombongan. Memasang senyum terlatih yang menyamankan setiap orang. Aku tidak, ada cemas yang belum tuntas.
78
Bukan hanya karena Jay, melainkan juga karena pria bertopi yang mengamati kami sejak tadi. Ia berdiri ragu-ragu, menyaru di balik batang pohon gaharu. Aku yakin ia orang yang sama dengan semalam. Kendati curiga, aku memilih diam. Mungkin hanya warga setempat, pendaki, atau... psikopat? Aku menghapus segala kemungkinan. Siapapun dia, kurasa ada hubungannya dengan sikap Jay yang tidak biasa. Punggung yang sedih dan kilat di mata coklat tua. Aku bisa gila jika kembali ke Jakarta membawa itu semua. Meski aku juga sadar, kota besar begitu lihai membuatku lupa. Kami meneruskan perjalanan. Sosok itu tidak lagi ada di sana. *** Harapan melihat Jay di pos empat kandas. Ketua rombongan berbisik padaku, Jay lebih dulu menuju pos lima. Iya, dia berbisik. Hanya padaku. Mungkin, karena aku satu-satunya yang mengindahkan keberadaan dan ketiadaan Jay. Di padang peristirahatan ini, kami bertahan cukup lama. Pemuda berkacamata, berwajah pucat, yang aku lupa namanya, mendadak sesak napas. Dengan cekatan, panitia memberi pertolongan. Dibantu seorang pendaki lain yang kalau tidak salah, mahasiswa kedokteran. Aku diam saja, terpaku menatap mereka. Peserta lain juga. Tidak ada yang berani mendekat. Tidak ada yang bisa dilakukan selain bernapas dan melihat-lihat. Pasalnya, dalam kondisi ini, kerumunan orang malah bisa memperkeruh suasana. Apalagi, jika aku mengatakan bahwa ada orang aneh yang terus mengikuti kami. Maka lagi-lagi, aku harus bungkam. Pria bertopi hitam mengintai kami dari balik rerumputan tinggi. Persis seperti singa yang
79
mengincar mangsa. Namun, bisa juga sebaliknya. Anak beruang yang kehilangan induk juga seringkali bersembunyi, mengintip ketakutan. Kuhempaskan tubuh di atas daun-daun kering. Pria itu masih di sana. Diam-diam, aku balik mengawasinya. Daripada takut, aku justru merasa takjub. Pada sepasang mata itu tidak ada sorot bahaya. Ingin rasanya aku mendekat, mengajak bicara, menyelami pikirannya. Kalau perlu, aku bersedia menjadi teman untuk menontoni orang-orang. Aneh sekali. Tapi, aku patah hati ketika dia tahu-tahu pergi. Ada kesamaan yang tidak mudah dijelaskan antara pria itu dengan Jay. Sorot mata mereka hampir serupa. Kutebak, warnanya juga sama coklat tua. “Siap-siap. Kita berangkat lima belas menit lagi ya.” Seorang peserta bersorak. “Yuhuuu...! Tinggal satu pos terakhir menuju puncak!” Perhatianku teralihkan oleh sorak-sorai rombongan. Sejak awal, puncak Gunung Parung bukan pencapaianku. Begitu pula dengan puncak-puncak gunung lain, atau segara-segara yang tersembunyi di balik hutan. Pada setiap perjalanan, aku hanya memasuki persemayaman isi pikiran. Bertemu orang-orang baru. Memunguti celotehan mereka, untuk kubawa ke Jakarta. Menjadi pajangan dinding, pengisi buku harian, dan buku-buku baru yang dinantikan. Aku berkelana dengan menjadi latar belakang dan pelengkap jumlah orang. Tapi, kali ini agak berbeda. Aku bosan dan kelelahan. Pendakian ini menguras perasaan. Aku gagal selaras dengan alam, manusia, dan pikiranku sendiri. Jay memenuhi lini obsesiku. Satu-satunya penawar hanya mengingat mata coklat tua dan punggung itu lagi... dan lagi. 80
Pada ilalang yang menghampar di bawah jurang, aku melempar pandangan. Keril biru pada punggung yang sedih dan rambut ikal itu melintas. Menoleh padaku, tersenyum misterius. Tampak jelas sekali, tapi aku mengenalinya sebatas refleksi. Beberapa saat, lalu hilang. Tidak ada yang bisa kutitipi pertanyaaan. Aku harus menata pikiran sebelum benar-benar kesurupan. Satu per satu peserta pendakian aku amati. Meski kaki-kaki ini berjalan di antara batang-batang perdu, kami terhalang untuk mampu menjadi satu. Hari libur bagi kami menjadi kata kerja bagi pepohonan, burung-burung, dan semak belukar. Mereka menerima kehadiran orang-orang dan memulihkan diri setelah kami pulang. Kecintaan manusia pada alam, belum cukup untuk membuatnya bisa tinggal. Bagaimana tidak. Menziarahi hati, tapi mengunci pintu masuk ke dalam diri. Perihal ini, aku juga sama. Pada angin yang melagukan gerisik dedaunan, pada hewan-hewan kecil yang menghindar dari pijakan, pada hujan yang patuh menjatuhkan kehidupan, pada semua itu... aku tidak peduli. Tanganku memang tidak terikat pada benda-benda mahal produksi Amerika, tapi aku juga terlalu bebal untuk menyapa semesta. Aku, orang asing yang datang dari lingkup asing dan memasuki kehidupan asing lainnya. Benar sekali jika dikatakan bahwa keburukan orang lain, seringkali sebentuk cermin. Memantulkan noda wajah yang tidak bisa kita lihat sendiri. “Bagaimana perjalanannya? Kamu tidak tampak menikmati. Saya jadi merasa bersalah,” Ketua rombongan menjajariku, menawarkan senyum ramah yang tidak bisa kubalas sepadan. Aku memaksakan diri menarik ujung bibir. Menghasilkan seulas senyuman hambar. “Menyenangkan kok. Pesertanya seru, sepanjang
81
jalan pemandangannya bagus. Pendakiannya juga nyaman. Meski ada satu yang membuat penasaran.” “Oh ya? Penasaran apa?” “Peserta yang namanya Jay. Dia kenapa sih? Sering pergi sendiri, sekarang malah pergi duluan. Memangnya kalian tidak khawatir dia kesasar?” tanyaku. Rasa penasaran terhadap Jay sudah terlampau lapar untuk mendapat jawaban. Ketua rombongan tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, seraya menatap daun-daun gugur yang terpijak kaki kami. Senyumnya masih terpasang. “Dia bukan peserta open trip. Jay teman kampus saya. Gunung di sekitar Kota Karagan sudah seperti rumah bagi dia. Makanya kami ajak, sekalian jadi penasihat kalau ada masalah.” Aku mengangkat alis. “Dia kuncen gunung?” Ketua rombongan tertawa. “Bukan sih, tapi bisa dibilang begitu. Dia hafal seluk beluk labirin di gunung ini. Dia berkali-kali ke Gunung Parung sejak...” Kalimat itu terputus, menggangguku. “Sejak apa?” “Lebih baik kamu tanya Jay langsung. Saya merasa tidak berhak menceritakan.” Aku mengangguk. Pasrah. Untuk kesekian kalinya, dirasuki lebih banyak tanda tanya. *** Pos lima. Langit melumuri Lembah Swarga dengan warna merah kekuningan. Kabut turun lemah lembut, menyelubungi cerita tentang orang-orang hilang. Aku pernah baca di koran, lembah ini terkenal mistis. Tak kusangka juga romantis. Aku turut prihatin, tempat seindah
82
ini menjadi figuran swafoto wisatawan yang memperlihatkan wajah mereka hingga separuhnya. Keril biru tergeletak di depan tenda. Jay berdiri di tepi jurang. Melengkapi panorama dengan siluet yang membuatku refleks menahan napas. Raganya utuh berada di sana, tapi aku tahu pikirannya mengembara. Sungguh, ikut campur urusan orang bukanlah keahlianku. Tapi, manusia yang satu ini hampir membuatku gila. Padanya, aku ingin dianggap ada. Aku terpana pada setiap gerak-geriknya. Dia seperti kisah dengan akhir yang tidak mudah diterka. Dia seperti kotak hitam yang bisa berisi apa saja. Dia mengisap atensiku seperti pusaran angin terhadap bendabenda. Dia pusat gempa yang hening, sementara aku terguncang oleh hadirnya. Dia bagai bintang mati dengan gravitasi tak tertandingi. Kuhanyutkan diri dengan sukarela, sekalipun nantinya tak kudapati apa-apa. Ini senja terakhir untuk bisa berjarak dekat dengan Jay. Dekat yang kuartikan sebagai tiga meter, tidak pernah kurang. Pasca waktu dhuha di puncak Gunung Parung besok, Jay menjadi cerita yang tidak selesai. Aku akan kembali memeluk meja kerja. Terburu dan termakan oleh tanggal-tanggal yang sulit ditawar. Menuju tengah malam, suasana dihangatkan oleh orang-orang yang bersikeras agar tidak dilupakan. Tidak ada lagi keluhan meski bintang-bintang belum juga tampil. Mereka bernyanyi bersama dan mulai membuat acara. Setiap orang diminta bercerita tentang alasan mereka melakukan perjalanan. Jay beranjak dari duduk, menuju kegelapan. Aku juga beranjak, menujunya.
83
“Mau kemana?” tanyaku dengan suara tersendat. Debar jantung gagal kukendalikan. Mempersiapkan diri menerima pengabaian, atau yang lebih parah, pengusiran. Aku menunduk, canggung. “Selalu ada yang bisa jadi tujuan,” jawab Jay sembari terus melangkah. Suaranya terdengar sayup tertiup angin pegunungan. Bercampur deru yang menerpa tenda-tenda. Dingin. “Aku bosan dengan acaranya. Boleh aku ikut?” tanyaku hati-hati. Jay tidak menjawab. Langkahnya terhenti. Ia duduk di atas batu besar yang tak jauh dari tepi lembah. Hanya ada satu batu lagi, berjarak dua meter. Kami duduk bersisian, dan waktu terbingkai menjadi sebuah lukisan. Karya seni tentang dua manusia. Tidak cukup dekat. Memandang ke arah berbeda. Satu ke lembah gelap dan satu ke langit mendung. Keduanya nyaris hitam, keduanya suram. “Kenapa kamu ikut pendakian ini? Kamu tidak berbaur dengan yang lain,” tanya Jay. Dalam kegelapan aku tersenyum. Untuk saat ini, mendengarnya bicara saja sudah menjadi definisi bahagia. Sayang sekali, kegelapan menelan matanya yang coklat tua. “Aku lebih suka mengamati. Kau tahulah, mengisi kekosongan bangku penonton,” jawabku tanpa berharap dipahami. Aku melihat bayangan Jay mengangguk-angguk. Selanjutnya, keadaan berbalik dari ekspektasi. Dia menjadi pihak yang banyak bertanya. Aku ragu dia benar-benar ingin tahu. Kurasa, Jay hanya menghindar untuk diberi pertanyaan. “Aku harus pergi,” kata Jay tiba-tiba. Ia berdiri, bersiap-siap pergi. Kepalanya mengarah ke satu tujuan. Terbiasa dengan sedikit cahaya, mataku menangkap bentukbentuk janggal di antara pemandangan serba kelam. Aku menyadari 84
ada seseorang yang mengawasi kami. Bayang hitam yang sama dengan kemarin malam. Sosok yang mengikuti kami sepanjang perjalanan. “Kamu mau kemana Jay?” tanyaku. Merelakannya menjauh. Aku memaksakan diri untuk percaya dia benar-benar mengenal gunung ini seperti rumah sendiri. “Aku harus menyelesaikan pencarianku,” jawabnya. “Apa yang kamu cari?” “Sepasang sendok dan garpu,” jawab Jay sebelum menghilang di balik pepohonan. Menyisakan aku dengan satu pertanyaan. ‘Apa katanya barusan?’ ***
85
86
87
88
B
atu karang tempatnya biasa tafakur telah didiami seekor kurakura besar. Aku tahu dia enggan mengganggu, lantas memilih
pasir sebagai alas duduk. Memandangi lautan, seperti yang selalu dia lakukan sejak masih dalam gendongan. Tatapannya nanar, tapi berpendar seperti mercusuar. Dia tidak peduli, rok hitam lebar itu basah oleh sapuan ombak dan buih-buih keruh kecoklatan. Pantainya tidak pernah lagi sama. Ada pemandangan baru yang tidak ia suka. Tanah-tanah uruk didatangkan dari kota sebelah demi pulau baru di utara Karagan. Sejak itu, puluhan purnama terlewati tanpa perahu nelayan mengarungi gelombang. Aku ingat, mereka pergi sore itu ketika banyak tamu datang membawa keributan. Ada tangisan, teriakan marah, dan deru mesin raksasa. Rumah-rumah rata dengan tanah. Semua rasa tumpah di sana kecuali kebahagiaan.
89
Dia yang saat ini duduk di pasir adalah satu dari mereka yang menangis paling pilu. Itu juga yang ia lakukan setiap kali datang ke pantai ini tiga kali seminggu. Mengadukan keluh kesahnya pada Tuhan. Merapal doa untuk diterbangkan angin dan ditelan suara-suara alam. Aku bisa merasakan, dia amat kesepian. Dulu, dia tidak pernah sendirian. Dia bagian dari keluarga dengan dua anak manis dan ayah ibu yang penuh cinta. Sekarang, kulihat dia hanya membawa dua teman, bayangan dan bayang-bayang. Kebiasaannya sudah sangat aku hafal, dia datang selepas adzan Ashar. Dia akan menangis sekitar setengah jam, sambil merangkul dirinya sendiri di atas batu karang. Setelah itu, dia memainkan pasir seperti anak kecil. Membuat ceruk berisi air. Saat semakin pasang, ia turun untuk membelai pasir basah. Membaringkan diri dengan mata terpejam. Setelah beberapa lama, ia kembali duduk, diam. Seperti menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Kala lembayung senja mulai merambah pelupuk cakrawala, ia melangkah pergi. Meninggalkan janji yang tak sanggup ia ingkari. Dia akan selalu kembali ke sini. Tapi, kurasa hari ini istimewa. Berbeda dari biasa. Batu karang sudah ditempati kura-kura yang enggan pergi. Gadis itu mengalah, bersimpuh di atas pasir, menengadahkan tangan, tanpa tangisan. Membisikkan doa-doa sendu di bawah balutan rintik lembut yang jatuh dan menitik serupa embun di kerudungnya. Bisa jadi, ada kaitannya dengan keramaian di seberang sana. Sejak siang, orang-orang memadati pulau buatan yang belum dirampungkan. Dari kejauhan kulihat banyak wanita menangis dalam
90
pelukan. Doa-doa kematian sayup terdengar. Aku simpulkan, ada yang pergi dan ditinggalkan. Kuakan gagak membahasakan kisah tentang orang-orang yang tidak akan kembali ke rumah. Alam bicara tanpa pendengar, sesunyi kepakan camar. Ada yang salah, tapi bukan pada siapa, melainkan bagaimana. Kota ini dihuni orang-orang baik yang kebingungan. Berpegang pada kebenaran yang berbeda-beda. Mereka tidak berpikir lebih dalam karena kekurangan waktu luang. Menutup kemungkinan bahwa bisa jadi, kebenaran yang mereka perjuangkan telah usang. Aku tahu, kebenaran selalu berlaku pada setiap keadaan. Lantas, bagaimana jika mereka tidak pernah sepenuhnya benar? Pulau buatan bukan sebuah ide buruk. Di sana, dijajakan janji manis soal masa depan. Hanya saja, waktu yang akan datang tidak pernah mengandung kepastian. Akan sangat menyedihkan jika dalam detik-detik berjalan, ada yang harus menahan sakit untuk sebuah pertaruhan. Mereka saling berteriak, dan tak ada yang sudi mendengarkan. Semua memeluk mimpi dan keinginan siang hari untuk dibawa hingga peti mati. Berkejaran, saling mendahului untuk menjadi satu-satunya pemenang yang ambisinya terpenuhi. Kesabaran dan kasih yang terpasung membuat mereka terburu-buru, enggan menunggu. Pada kemilau lautan dan kepiting-kepiting kecil saja, mereka mampu bicara dengan prasangka. Seminggu lalu, seorang pria berwajah lelah datang. Ia duduk di altar pasir yang sama dan menyampaikan keluhan serupa. Mereka mengadu soal manusiamanusia lainnya.
91
Tidak salah, tapi gegabah. Perihal hati manusia adalah sebuah misteri besar. Tidak ada yang benar-benar paham. Hipokampus manusia mengkonsolidasi banyak memori yang kita sebut masa lalu. Hantu-hantu yang dibentuk oleh proses biokimia dan molekuler rumit. Melibatkan rangkaian peristiwa dan kejadian hingga membentuk buah pikiran. Menilai manusia lain merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa dilakukan tanpa menelusup ke dalam celah otaknya. Keterbatasan pengetahuan hanya mampu menghakimi, tanpa rasa empati. Persepsi yang menciptakan kebencian, tudingan, dan pertikaian tanpa jalan keluar. Pada akhirnya, kedamaian menjadi korban. Mengalah dan memaafkan menjadi barang mewah yang tidak mampu mereka rengkuh. Saling memahami hanya ilusi. Percaya diri adalah kayu lapuk yang hancur dimakan rayap. Terlalu lama memandang matahari bisa menghalau pandangan terhadap mereka yang hidup dalam bayangan. Bagai seorang pemabuk yang tak mendengar ginjalnya merengek minta dibawa ke rumah sakit. Keinginan selalu dibandrol dengan harga tinggi. Harapan sedikit lebih murah, tapi tidak meyakinkan. Tragedi tidak pernah ingkar janji. Kedukaan menanti, memeluk orang-orang yang belum mati. Menerima merupakan satu-satunya cara untuk bersiap. Berulang kali tanda-tanda menghampiri. Menjadi firasat dan bisik nurani yang ingin disapa. Kita tidak pernah dibiarkanNya sendiri. Dia, gadis yang sedang bersimpuh menghadap lautan, akhirnya menyadari itu. Sehelai bulu hitam jatuh di tangannya. Seekor gagak terbang rendah. Wajahnya seketika cerah seperti langit sore.
92
Kurasa dia sudah tahu, tidak ada yang benar-benar hilang. Rumah, ayah, dan masa kecilnya masih ada. Tidak ada yang terenggut dan merenggut, karena kepemilikan hanya sebatas fana. Permainan waktu. Begitu pula kehilangan. Lamat-lamat, langit menjatuhkan selimut ungu kemerahan. Rok hitam lebarnya sudah setengah basah ketika ia beringsut pergi. Butiran pasir menempel di sana, tidak ingin ditinggalkan. Tangannya yang kedinginan terpaksa menyingkirkan mereka. Dia ingin pulang tanpa membawa apa-apa selain ketenangan dan ingatan soal melepaskan. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Menoleh ke belakang, menatapku dalam. Kedua mata itu indah, seterang bintang penuntun arah. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku hanya diam, mengangguk pelan. Aku sudah mengatakan, ini hari istimewa. Seiring jejak kakinya hilang dihapus pelukan ombak, angin muson datang dari arah barat. Meniup layar perahu yang telah menjadi onggokan sampah pesisir. Mereka hanya diam, tertambat seperti nasib dan surat-surat di kantor pemerintahan. Aku masih menunggu, hingga gerimis menjadi hujan. Lautan menyambut malam yang sebentar lagi datang, mulai pasang. Aku turun perlahan dari batu karang. Berjalan lambat, memasuki celah batuan di balik rongsokan perahu nelayan. Kulewati satu malam, tanpa banyak keinginan. ***
93
94
95
96
‘Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?’
P
esan singkat berbau metaforis campur banyak melankolis itu sampai di telepon genggam seorang pria setengah baya. Ia
menunjukkannya padaku seraya bertanya, “Menurutmu, apa jawabannya?” Tak siap ditanya, aku mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin karena Tuhan ingin kita lebih menghargainya.” Dia hanya mengangguk-angguk dengan raut yang sulit ditebak. Tidak tampak setuju, apalagi menyangkal. Satu ekspresi ambigu yang mengagumkan. Dalam perdebatan kami, aku merasa kalah setiap kali ia mengalah. Aku meraih secangkir kopi hitam. Baru saja aku ingin memberi jawaban lain ketika pemilik kedai tiba-tiba panik, kalang kabut keluar.
97
Kecemasan mengisi gurat wajahnya. Belasan orang itu datang lagi. Kali ini, mereka bersama beberapa orang bersenjata api dan buldoser. Menciptakan atmosfer teror bagi pemilik bangunan di sepanjang tepi rel kereta api. Setiap orang mempertahankan segala hal yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Mereka berkerumun menantangi buldoser, bertengkar dengan petugas berseragam hijau. Ricuh. Kata menyerah tidak ada dalam kamus kedua kubu. Seorang pria setengah baya yang kukenal mengadang laju buldoser yang hendak menyerang kedai kopi. Terlambat, dia tertimbun bersama kayu lapuk dan seng-seng berkarat. Aku tersentak, tanganku tiba-tiba berada pada kemudi buldoser yang membunuhnya. Aku melepaskan genggaman, tapi benda ini menolak berhenti, membabi buta. Meratakan setiap bangunan bersama orang-orang yang menjadi penghalang. Setiap kali ada yang mati, darah melumuri tanganku semakin pekat. Pada akhirnya, tinggal aku sendirian. Dikelilingi tubuh-tubuh bergelimpangan. Aku memejamkan mata, ketakutan. Ketika tersadar, aku berada di tengah rel, berhadapan dengan kereta api yang melaju kencang. Satu...dua...tiga..., aku menghitung waktu hingga... Kurasakan sakit di sekujur tubuh. Terguling di atas lantai keramik. Buldoser, kereta api, dan tubuh-tubuh bergelimpangan menghilang. Mimpi yang sama lagi dalam dua hari, sejak peristiwa kelam di proyek reklamasi. “Astaghfirullah! Ayah, baik-baik saja?” tanya istriku panik. Aku mengangguk, mengusap punggung dan lengan yang terasa ngilu. Tersenyum pada perempuan lembut yang membantuku kembali ke tempat tidur. Kericuhan lenyap oleh hening yang menyeruak, tapi
98
aku merasa ada kesalahan. Sepanjang malam aku terpejam, namun tetap memeluk kesadaran. Mimpi itu bukan hanya sebentuk rekayasa alam bawah sadar, melainkan memori yang terpanggil kembali. Kedai kopi dan pria setengah baya, mereka bagian dari masa lampau yang tersimpan dalam. Penggusuran itu pernah terjadi lebih dari dua puluh tahun silam. Aku mengenali tempat dan wajah-wajah mereka. Dia sahabatku, pria setengah baya bijaksana. Aku memanggilnya Gau. Ia sosok yang saban Sabtu Minggu menemaniku minum kopi di tepi rel kereta api. Saat SMA, kami selalu bersama hingga terpisahkan oleh nasib yang berbeda. Aku melanjutkan kuliah hingga S2, sementara Gau membantu pekerjaan ayahnya sebagai nelayan di pantai utara. Sejak itu, kami hanya bertemu dua kali seminggu di kedai kopi. Pertemuan yang lantas diakhiri oleh tragedi bagi seluruh bangunan berisi ratusan penghuni. Memang, sudah menjadi tabiat mimpi buruk untuk menjadi menakutkan. Aku tidak pernah mengendalikan buldoser, dan Gau masih hidup saat itu terjadi. Bersama beberapa pria, Gau dibawa ke kantor polisi karena dianggap menghalangi dan melakukan provokasi. Dari kejauhan, aku memandanginya pergi tanpa ekspresi. Aku sudah lari bersembunyi ketika beberapa orang mulai saling memaki. Aku yang pengecut dan Gau yang pemberani. Sejak itu, aku tidak pernah melihatnya lagi. Seingatku, hanya sepucuk suratnya yang datang ke rumah. Dalam amplop jingga tanpa alamat pengirim. Surat berisi pesan-pesan untukku, sebagai walikota baru di Karagan. Aku tidak ingat isinya, tidak sempat membalasnya, dan tidak tahu surat itu tersimpan dimana.
99
Mengenang Gau, membuatku merasa tak layak menjadi manusia. Istriku menyibak tirai jendela. Sesak. Aku merasa dikhianati paruparu sendiri. Pagi yang seharusnya baik hati, kali ini begitu menyiksa. Sebuah pesan masuk, ratusan mahasiswa menanti di gerbang kantor pemerintah kota. Dengan langkah gontai, aku melaksanakan sholat yang terlambat. Bersiap tanpa semangat. Memaksakan diri menuju meja makan. Aku butuh tenaga, tapi roti lapis dengan selai berwarna merah ini malah membuatku mual, teringat mimpi semalam. Aku pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Melajukan mobil seorang diri, menuju ke selatan. Meninggalkan sopir yang kebingungan dan mobil dinas di garasi. Menjauhi jalur menuju kantor, aku berbelok masuk ke jalan kecil yang dikepung rimbunan pohon. Sejenak, kurasakan damai dari kicau burung dan berkas cahaya yang menelusup di celah-celah daun. Aku memperlambat kecepatan. Menghanyutkan diri dalam nuansa hangat yang membuatku lebih tenang. Tak bisa kubayangkan, betapa mudah aku mengizinkan orangorang memberangus ini semua dan menggantinya dengan temboktembok tebal. Kehidupan perkotaan meminta terlalu banyak tumbal. Tak lama berselang, kedamaian berakhir di ujung jalan. Aku memasuki kawasan permukiman. Bantaran sungai dan lahan-lahan marginal yang rawan penggusuran. Kurasakan sekali lagi paru-paruku gagal menguasai diri. Aku bernapas seperti orang tengah berlari. Kenangan dan kesadaran mengikatku dalam kumparan yang terasa begitu menjerat. Selama ini aku tidak paham alasan orang-orang, bertahan di permukiman kumuh yang bisa saja sampai membunuh. Melalui mimpi mengerikan itu, aku menyadari bahwa mereka memang tidak mampu
100
pergi. Mereka terikat pada hal-hal yang tidak mudah dimengerti oleh kelas menengah kota ini. Kebanyakan mereka menganggap masa depan hanya cerita pengantar tidur bagi anak-anak kecil. Rencana menjadi algoritma yang terlalu rumit. Mereka terjebak dalam jaring prioritas jangka pendek. Makanan untuk esok hari dan hiburan murah yang mudah dijangkau. Berpikir membutuhkan waktu lebih banyak, sementara istri mereka sudah rindu menggunakan dapur. Perkotaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, menolak mereka sejak di pintu gerbang. Jaminan sosial dan lapangan kerja menjadi dua fatamorgana yang menipu banyak orang. Kantorkantor pelayanan masyarakat diramaikan oleh para petugas yang suka mengeluh dan orang-orang malang yang tidak mengerti persoalan administrasi. ‘Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?’ Pesan singkat dan wajah Gau muncul sekelebatan. Juga sepasang mata penuh luka milik gadis bernama Neira. Aku termenung menatap jam tangan yang menunjukkan pukul delapan. Lantas berbelok ke kanan, melaju, semakin jauh dari kantor pemerintahan. *** Gapura itu bagai pintu masuk ke negeri dongeng. Dihiasi sulur rimbun dan bunga-bunga warna magenta. Tanaman pagar digunting rapi, dibentuk menyerupai barisan huruf yang terbaca M-E-T-A-Z-O-A. “Bisa ya, walikota pergi tanpa pengawalan?” tanya seorang gadis berkerudung hitam di depan gerbang. Aku tersenyum. Sama seperti sebelumnya, Neira menghindar ketika kami beradu pandang. Kurasa aku tahu alasannya, tapi tidak siap jika harus memastikan.
101
“Wajah saya pasaran, ditambah kacamata dan topi saja wartawan tidak akan sadar,” jawabku, bersikap seramah yang kumampu. Neira membuka pintu gerbang yang masih berlabel CLOSED. Aku tersenyum. Kumasuki pintu masuk dengan ayunan langkah ringan. Dan, terpana. Ternyata gerbang ini benar-benar menyimpan negeri dongeng di dalamnya. Dua orang penunggang kuda melintas, mengucapkan selamat pagi. Pak Wangsa melambaikan tangan ke arah kami. Seekor ular besar tergantung di lehernya. Semua orang melenggang tenang, sementara seekor singa jantan berjalan bebas di luar kandang. Berdampingan dengan pemuda yang tampak santai seperti tengah membawa anjing peliharaan untuk jalan-jalan. “Bagaimana kalian melakukan ini?” tanyaku penuh kekaguman. “Melakukan apa?” “Ini semua. Mereka terlihat sangat jinak.” “Kami tidak menggunakan kata ‘jinak’ di sini. Mereka bersahabat. Metazoa adalah persahabatan.” “Metazoa nama yang menarik. Kenapa memilih nama itu?” “Bapak tidak tahu? Itu nama usulan Reno. Metazoa bagi kami menjadi simbol bahwa manusia dan spesies lain di muka bumi ini memiliki kesamaan. Kita memiliki satu raja dalam satu kerajaan. Kita semua berhak mendapatkan perlakuan baik dan hidup harmonis tanpa saling menyakiti,” jawab Neira dengan kilau mata berpendaran. “Bagaimana dengan hewan liar? Eh... maksud saya yang tidak bersahabat. Predator misalnya,” tanyaku seraya menunjuk singa yang tengah bersandar santai di bawah pohon rindang.
102
“Mereka memang predator, tapi selama tidak kelaparan, semua aman. Mereka butuh rasa percaya untuk bisa bersahabat. Kami harus mampu dipercaya dan memberi mereka kepercayaan. Sulit memang, tapi itulah inti persahabatan kan?” Aku termenung. Gau pernah menyebut hal serupa dengan istilah solidaritas dan kesetaraan antar semua makhluk Tuhan. Gadis ini berbicara persis sepertinya. Sorot mata dan ketegasan mereka pun nyaris tidak berbeda. Bijaksana, lembut, sekaligus berbahaya. Bagai keanggunan singa yang membuat segan lingkungannya. Hilir mudik sinapsis otakku mencoba berkomunikasi. Kali ini paruparuku berhasil mengikat oksigen dengan sangat baik. Sintesa protein dalam tempurung kepalaku begitu intensif. Aku memahami satu hal yang berarti banyak. Metazoa. Persahabatan, solidaritas, kesetaraan, dan kepercayaan. Itu semua belum kami miliki di kota ini. Masyarakat tak lebih dari kelinci eksperimen program-program pemerintahan. Kebingungan, dan menjadi korban atas tendensi politik-ekonomi yang memihak pemodal besar. Ya, itu dia. Kami yang seharusnya menjadi pelayan bagi banyak orang, malah bertindak laiknya pengusaha yang terus berpikir soal pendapatan. Akhirnya, terjadi malapraktik dalam pembangunan Kota Karagan. Angka-angka besar dalam laporan tidak ada artinya jika banyak pihak yang dirugikan. Kami seperti memindahkan pundi-pundi uang dari kantung pengasong ke brankas baja para pengembang. Aku merutuk diri sendiri. Sejak awal, pertanyaannya yang salah. Menggiring kami pada jawaban-jawaban bodoh yang menyamar jadi solusi terbaik. Fatamorgana ada di mana-mana. Kami mengejarnya
103
tanpa tujuan pasti selain peningkatan grafik-grafik keuangan. Hanya demi janji-janji investasi, kami berkorban nyawa sebagai basa-basi. “Neira, sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan,” kataku hati-hati. “Ya, ada apa?” “Tentang... ayah kamu. Saya... minta maaf,” ujarku pelan. Saat ini aku yang tidak berani menatap matanya. Aku hanya menunduk, dalam. Memikirkan kata-kata selanjutnya. “Kamu boleh membenci saya. Pengecut sekali memang. Saya merasa dikejar-kejar dosa. Tapi percayalah, pemberian saya setelahnya bukan untuk membungkam kalian. Saya hanya ingin menebus...” “Sudah, Pak. Penjelasan itu sia-sia belaka. Semua sudah lewat,” jawab Neira dengan intonasi datar. Tidak mudah ditebak apa yang sesungguhnya ia pikirkan. “Saya hanya ingin bertanya satu hal.” “Ya, tanyakan saja.” “Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?” Aku tersentak. Desiran lembut angin dhuha malah membuat bulu kudukku meremang. Proyeksi Gau berdiri di hadapanku. Tersenyum dan bertanya, “Menurutmu, apa jawabannya?” Hanya beberapa detik hingga sosoknya menghilang dan kembali menjadi Neira. Kali ini, dia menatapku tajam. Lidahku kelu, namun kupaksakan untuk menjawab, “Karena...tidak nyata.” Tanpa diduga, Neira tertawa. Cerah. Awan di pelupuk matanya menyibak. Wajah paling tulus yang pernah dia tampakkan semenjak kami bertemu. Aku ikut tertawa, meski tidak tahu alasannya.
104
“Ayah saya juga menjawab hal yang sama. Sepertinya itu jawaban dari bapak-bapak ya,” katanya ringan. Dia menganggapnya lelucon, tapi bagiku seperti ledakan bom. Siapa ayahnya? “Neira, maafkan saya. Selama ini belum pernah berziarah ke makam ayah kamu. Boleh saya datang? Dimana?” tanyaku, berusaha tampak tenang. Neira seketika menarik senyumnya, kembali muram. “Bapak benar-benar tidak tahu?” Aku menggeleng bingung. “Petugas-petugas di lokasi kejadian, hanya mengatakan satu orang menjadi korban dalam penggusuran. Saya hanya terpikir untuk segera meminta maaf pada keluarganya, sebelum terjadi keributan besar dan memakan lebih banyak nyawa. Saya mengetahui wajah kamu lewat foto.” Neira diam saja, menunduk. Aku mengganti pertanyaan, “Hmm... kalau boleh tahu, siapa nama ayah kamu? Saya ingin meminta maaf secara terbuka sebelum mengakhiri semua urusan pemerintahan.” Usai mengatakan itu, ada batu besar yang terangkat dari dalam pikiranku. Keputusan besar untuk berhenti, akan segera menjadi konsumsi wartawan. Aku butuh melepaskan tangan dari kemudi sebelum terjadi lebih banyak kerusakan. “Adrian.” “Nama ayah kamu Adrian? Baiklah. Adrian saja?” “Adrian... Gautama. Semua orang memanggilnya Gau,” jawabnya lirih, tapi menghunus. Batu yang lebih besar seperti dihantamkan ke kepalaku. Pipiku panas. Ribuan semut menyerang sendi-sendi tulang. Kudengar alam kabir tertawa puas. Seolah belum cukup menjadi bulan-bulanan realita, Neira mengatakan hal yang lebih nelangsa. 105
“Ayah masih terkubur di halaman rumah Bapak. Orang-orang yang datang ke rumah mengatakan akan terjadi kericuhan kalau Ayah dikeluarkan dari sana.” Mendadak, bahasa dan aksara bertebaran keluar, tercecer tanpa bisa kurangkai. Diam oleh kekacauan pikiran menjadi satu-satunya pilihan yang kupunya. Aku beranjak dari duduk, ingin segera pulang. Mengorek halaman rumah, mencari Gau. “Satu saja permintaan kami. Apa Bapak bersedia memindahkan Ayah ke pemakaman?” tanya Neira getir. Aku remuk mendengar anak sahabatku memohonkan hal sendu seperti ini. Mimpi-mimpi itu tidak berbohong. Aku memegang pelatuk pada kematian sahabatku sendiri. Tanganku pekat oleh darah Gau dan orang-orang yang tersakiti. “Menurutmu, apa jawabannya?” tanya seseorang, menepuk pundakku dari belakang. Tubuhku tersentak dan berbalik. Sosok Gau menjadi satu visual terakhir yang kulihat sebelum cahaya indah dhuha menjadi sketsa hitam putih tidak beraturan. Gelap. *** Pukul dua dini hari waktu sempurna untuk bercengkrama dengan burung hantu, mengetuk pintu langit, dan menuai embun pagi. Juga menggali halaman rumah, mencari jasad orang mati. Mengendalikan suara agar tidak membangunkan tetangga. Menyuap petugas ronda agar tidak menyebar berita. Enam pasang mata sudah cukup banyak menjadi saksi. Muram, berkubang kegetiran. Sekalipun purnama hadir membawa penghiburan, isak tangis istri Gau terlalu sendu untuk diredam. Anak bungsuku tenggelam dalam pelukan ibunya. Aku dan Reno menggali tanah gembur di bawah
106
cemara. Membongkar dan menyelesaikan rahasia. Menopang pikiran kami yang terombang-ambing di tengah samudera. Gamang, tanpa pijakan. Hanyut, tanpa kepastian. Waktu memadat meminta kami bergerak cepat. Tidak sampai dua meter hingga ujung sekop menubruk sesuatu. Keras dan putih gading. Tangan kami melanjutkan pekerjaan tanpa alat bantu. Tulangku bergetaran. Tengkorak manusia tergolek di sana, terkubur bersama cerita. Mungkin juga segenggam dendam, dan hal-hal kelam yang butuh penebusan. Tidak pernah terlintas di sela-sela imajinasi terliarku sekalipun, momen ini akan berlangsung. Menemukan Gau di halaman rumah, berbentuk sebuah rangka. Aku ambruk, berlutut. Tak kuasa menahan gumpalan dosa. ‘Bukan saatnya larut dalam sesal dan rasa bersalah,’ hatiku berbisik. Kuhirup banyak udara, menegakkan kaki. Hanya untuk mendapat perlakuan layak, jasad Gau terlalu lama menghitung hari. Seusai sholat jenazah, kami menembus remang lampu jalan, menuju pemakaman. Menuntaskan semua yang tinggal peristiwa. Dalam keheningan, tanpa orang tambahan, selain satu petugas makam lanjut usia. Adrian Gautama, menambah panjang daftar orang-orang hilang pasca reformasi negara. Barisan sosok-sosok bijaksana dan mencintai keadilan, namun gugur tanpa peradilan. Aku diselamatkan oleh hukum yang enggan berjalan tanpa tumpukan uang dan pengacara mahal. Seumur hidup, aku tidak bisa lebih terpuruk. Doa-doa kematian Gau juga menjadi doa-doa kematianku. ***
107
Bingkisan itu tidak besar, tapi menakutkan. Meski semanis senja, warna merah bagiku tetaplah mimpi buruk. Sepasang sendok dan garpu dicat seolah berlumur darah. Hadiah dari para mahasiswa yang berdemonstrasi kemarin lusa. Aku menghadapinya dengan gentar, menggigiti kuku seperti anak kecil yang ketakutan. “Ayah, itu apa?” tanya Reno. Aku menyerahkan sepucuk surat yang sudah remuk kugenggam.
Dear Bapak Walikota yang Kami Cintai, Ini bingkisan dari kami, penderitaan rakyat yang Bapak nikmati . Bapak hancurkan, ratakan rumah kami seperti melahap makanan basi. Tak ada yang mampu kami daki dari barisan gedung-gedung tinggi. Sadarkah Bapak, seluruh sendok dan garpu yang Bapak miliki sudah berlumuran darah kami? Salam hangat, Rakyat Miskin yang Berkurang, karena Sudah Mati Reno tampak geram. Surat itu semakin remuk oleh remasan tangannya. Tidak puas, Reno menyobeknya menjadi potonganpotongan kecil, lalu ditabur di tempat sampah. “Reno sudah bicara sama Ibu. Percakapan kita sebelumnya soal Ayah Neira, Reno minta maaf... Selama ini Reno selalu salah paham.
108
Gara-gara omongan teman kampus yang selalu memojokkan Ayah. Sekarang Reno mengerti, maksud Ayah selalu baik.” Kendati lega oleh pengakuannya, aku menggeleng. “Tidak Ren, niat baik Ayah nyatanya tidak berhasil baik. Terlalu banyak yang menjadi korban kesombongan. Selama ini, Ayah menggunakan caracara brutal tanpa pertimbangan matang. Ayah gagal bersolidaritas pada Karagan.” Reno meraih sendok dan garpu di hadapanku. Siap melemparnya ke tempat sampah, menyusul sepucuk surat yang mendahului berada di sana. Aku menahan tangan Reno. “Jangan Ren, benda ini harus Ayah simpan. Ayah tidak ingin terus-terusan lupa.” Reno diam, menghela napas panjang. Menjadi anak dari walikota pesakitan bukanlah hal yang mudah. Anak bungsuku bahkan berusaha menyembunyikan status itu dari teman-temannya. Dalam berbagai peran, aku tidak bisa dibanggakan. “Ren, jaga Ibu dan adikmu. Ayah harus pergi.” “Ayah mau kemana?” Aku tidak menjawab, melangkah cepat keluar rumah. Memacu mobil menuju utara, diiringi paduan suara gagak memberi kabar akan tragedi di setiap persimpangan. Bersahutan bersama orkestra hujan yang hampir sepekan menguasai kantor berita di Karagan. Benar saja, jalan-jalan dilumpuhkan oleh sungai yang berpawai membawa bendera hitam. Mobil-mobil menggerungkan kegelisahan. Emperan toko menggigil kedinginan. Aku menjadi satu-satunya yang dilarang menjajakan keluhan. Secangkir teh dan selimut hangat menyusuri benak orang-orang dalam jas hujan. Sebagian, hanya berupa khayalan. Tidak ada pelukan ketika kepulangan hanya berupa kematian dan bukan rumah. Anak-
109
anak kelaparan memeluk lem yang terbungkus kain kumal. Makanan murah yang menawarkan surga, sambil mencuri sel-sel berharga di balik dada dan kepala mereka. Karagan, kota yang renta sebelum masanya. Kemarahan mampu menggerogoti usia secepat aliran sungai menyebrangi jalan-jalan raya. Aku musuh bersama bagi alam dan manusia. Langkahku murka, kehadiranku bencana. Hampir tiga jam kemudian, aku tiba di kantor untuk membuat mereka membenci hari Minggu. Menghapus kata berlibur dan menghitamkan tanggal merah. Jajaran paling krusial di Karagan aku kumpulkan. Panggilan rapat dadakan. Semua datang, mengamini kekuatan ancaman terkait gaji dan jabatan. Hari ini saja, kutanggalkan formalitas dan kutinggalkan di bagasi. Aku bicara tanpa pengantar, dan tidak berencana memberi penutupan selain ‘Laksanakan!’. Kusingkirkan meja rapat. Sebuah kaleng besar aku letakkan di tengah ruangan. Jadwal-jadwal penggusuran, surat izin pembangunan apartemen, berkas-berkas reklamasi, dan semua yang cuma janji kuletakkan di dalamnya. Belasan kepala yang masih berpikir soal rencana wisata kini hadir penuh. Ketika aku mulai menyiram bensin, kesadaran mereka utuh. Berkas-berkas beraroma investasi menjerit dalam kobaran api. Hal-hal ini menjadi perlu, sebelum kota kami yang berubah menjadi abu. Program-program pengendalian lingkungan dan pengembangan komunitas pinggiran kutitipkan, pada sekelompok orang yang siap bekerja tanpa sorotan. Semuanya telah disahkan, sebelum surat pengunduran diri kuserahkan pada wakil walikota. Dengan seizin Tuhan, Karagan akan baik-baik saja saat aku telah tiada.
110
Rumah, menjadi persinggahan selanjutnya. Kuhadapi mobilmobil yang masih cemas kehilangan kecepatan. Luapan sungai ini dampak pertama dari proyek reklamasi setengah jadi. Sedimentasi sungai bukan kabar baik bagi masa lalu Karagan yang berupa rawarawa. Lumpur merebut kembali habitat mereka yang pernah terampas puluhan tahun sebelumnya. Krisis energi tidak layak membayar konsekuensi pulau buatan. Bisa, tapi untuk siapa? Sama seperti real estate yang anti kemiskinan. Menguras air, listrik, dan ekosistem alami, sementara masyarakat di sekitarnya belum sanggup memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sulit disalahkan jika lantas, orang-orang bernasib buruk mencuri lahan dan menarik kabel listrik tidak karuan. Sederhananya, proyek raksasa ini akan sangat menguntungkan, bagi pejabat kota dan pemodal besar. Hanya saja, tak terjangkau oleh jari-jari yang saat ini gemetaran di bawah jembatan, dan menengadah meminta belas kasihan. Seperti mimpi-mimpi soal ujung pelangi. Jika abadi, maka ia tak akan pergi. Satu urusan lagi, hingga aku benar-benar berlepas diri. Tanganku kelewat kotor untuk merawat kota ini. Aku butuh ruang. Menjauhkan benih kerusakan yang bertahun-tahun kutebarkan. Mobil terparkir di garasi. Kupandangi rumah ini untuk terakhir kali. Dengan topi dan masker, aku menyembunyikan diri. Bersama tas abu-abu, berjalan lurus menuju barat daya. Menjadikan laut sebagai arah mata angin yang harus dijauhi. Kusimpan jalan pulang di dalam saku, berupa sepasang sendok dan garpu. *** 111
112
113
114
A
ku terus menebak-nebak isi kepala laki-laki itu sejak delapan panggilan tak terjawab terpampang di layar smartphone.
Panggilan kesembilan, berhasil kuangkat dan bukan kabar baik. Panggilan rapat dadakan, di tengah hari libur yang semestinya menyenangkan. Masalah terbesarnya, tidak sebatas pembatalan rencana tidur siang. Keluar rumah bukanlah ide cemerlang dalam kondisi hujan deras dan kemacetan menjalar di jalan-jalan utama Karagan. Butuh sekitar tiga jam untuk menjangkau ruang rapat. Usaha berlebihan yang mengorbankan selimut hangat dan pengurangan waktu bagi orangtua akhir pekan. Dari intonasi bicaranya, ada kondisi darurat yang butuh reaksi cepat. Bisa jadi terkait aliran sungai yang seketika menjajaki aspal atau hal-hal lain beranggaran besar. Tak disangka, ternyata lebih dari itu.
115
Belasan orang yang hadir hanya menatap tingkah lakunya tanpa berani menyela. Kami hampir menganggapnya gila. Mengadakan rapat dadakan, ketika hujan, banjir, dan kepadatan jalan tidak masuk akal. Lalu, kami disuguhi aksi teatrikal bakar-bakar berkas layaknya demonstran. Lebih dari itu, program-program yang dia perjuangkan sebelumnya, kini tinggal abu ringan yang berterbangan. “Apa yang dilakukan Pak Walikota barusan?” tanya Kepala Dinas Sosial padaku setelah Pak Wira pergi dengan dramatis. “Sudah jelas kan? Beliau membatalkan hampir semua program dan menyiapkan program baru,” jawabku datar, membayangkan halhal yang terjadi selanjutnya. “Iya, itu sudah jelas. Tapi, kenapa? Anda wakilnya, masa’ tidak diberitahu?” Aku menggeleng. “Entah. Apa yang terjadi, terjadilah.” Benar saja, terembus badai yang tidak bisa dicegah pasca banjir teratasi, televisi penuh berbagai spekulasi, dan ketidakwarasan Pak Wira. Angin kencang siap meluluhlantakkan kantor pemerintahan. Friksi besar itu terbungkus dalam amplop putih tanpa nama pengirim, tapi jelas ditujukan padaku. Salinan surat pengunduran diri Pak Wira, sekaligus titah tugas untukku, sebagai walikota Karagan penggantinya. Kurang dari 36 jam, kami dikerumuni banyak kejutan. Pengunduran diri ternyata hanya pemanasan. Halaman depan koran-koran yang dijajakan di lampu merah kini memampang berita mengejutkan. Dengan menggunakan istilah-istilah khas kantor berita masing-masing, semua mengabarkan soal lenyapnya Pak Wira dari peradaban. Poof! Tidak ada satu pun manusia yang dapat memberi kesaksian. Pak Wira masuk dalam daftar pencarian orang. Sulit dipercaya, tapi pihak 116
keluarga juga mengaku tak tahu, bahkan mereka yang melaporkan berita kehilangan itu ke polisi. Satu-satunya yang tersisa dari Pak Wira adalah surat-surat yang ia kirim ke seluruh kantor berita. Berisi permohonan maaf atas segala keputusan yang merugikan Karagan, atas orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan, serta program-program revolusioner yang akan segera dilaksanakan. Aku, yang kini memikul amanah sebagai pengganti, menjadi sasaran empuk para wartawan. Masalahnya, Pak Wira tidak pernah melakukan perundingan apapun. Semua serba mendadak, hingga kami merasa terjebak. Mau tidak mau, tim satuan tugas yang diam-diam dibentuk oleh Pak Wira, kami hadirkan untuk memberi penjelasan. Sekalipun ia masih hidup, aku seperti berhadapan dengan surat wasiat. Memasang telinga dengan khidmat dan bersedia melakukan segala maklumat. Kendati sikap Pak Wira dicap publik sebagai pengecut, hanya dia yang mampu kuhormati selama menjabat. Sosok idealis yang tegas, religius, dan bertanggungjawab. Meski mahasiswa-mahasiswa selalu berburuk sangka, aku tahu Pak Wira selalu berniat baik, jauh dari korupsi, dan tidak pernah mendahulukan urusan pribadi. Namun, para pengembang properti memang amat lihai bicara, seolah mereka sanggup mewujudkan semua impian besar tentang peradaban kota. Menggiring Pak Wira menuju jurang, yang lantas menelannya hidup-hidup dalam cercaan seantero Karagan. Kota yang bersih, tertata rapi, dan bebas permukiman kumuh, terdengar indah. Tapi, tak lebih dari hasrat kelas menengah. Reklamasi juga bagaikan surga bagi kaum hedonis yang haus rekreasi dan hamba teknologi. Golongan yang lantas menjadi basis pendukung Pak Wira lewat kampanye masif jejaring sosial. Gemerlap yang menutupi nasib 117
orang-orang pinggiran teraniaya. Gemerlap yang padam ketika Pak Wira tercerahkan, entah oleh apa. “Kehidupan perkotaan seharusnya belajar dari budaya tradisional yang menghargai fungsi alam. Bukannya malah mengeksploitasi sumber daya habis-habisan,” ujar seorang pemuda dari tim satuan tugas yang menyebut diri mereka Urban Pembaruan. Mereka datang membawa sebundel map berisi daftar gagasan untuk pengembangan kota Karagan. Bagiku, kepergian Pak Wira semakin jadi pertanyaan. Kalau saja dia memilih tetap tinggal dan melaksanakan rencana tim ini, tentu seluruh warga akan memberi hormat begitu dalam. Lagipula, media mudah sekali teralihkan dan memberi pemaafan. ”Hunian vertikal seperti rumah susun bukan habitat alami bagi warga yang terbiasa hidup di bantaran sungai, kolong jembatan, atau sekitar rel kereta api. Tinggal di hunian bersusun tinggi memerlukan disiplin khusus yang baru dimiliki kaum menengah atas. Banyak hal yang membuat orang-orang marginal tidak betah tinggal di rumah susun. Kemudian, dengan senang hati menjual hak mereka kepada orang lain yang menginginkannya. Bisa jadi karena ruang gerak yang terbatas, menutup kemungkinan ekspansi horizontal, dan jauh dari kotak nafkah mereka semula,” ujar seorang perempuan setengah baya pada presentasi kesekian setelah satu jam berjalan. “Lalu, apa solusinya? Bukankah rumah susun adalah konsekuensi dari kehidupan kota padat penduduk?” tanyaku, menurunkan ego layaknya mahasiswa di ruang kuliah. “Kami sepakat. Penggusuran dengan memindahkan mereka ke rumah susun memang membersihkan kota dari wilayah kumuh, tapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dan tidak meningkatkan kesejahteraan,” jawabnya lugas. 118
Perempuan itu berhenti sejenak, lantas melanjutkan, “Kita tidak bisa menyangkal bahwa langkah-langkah penertiban, penggusuran, dan pembongkaran hanya meraup dukungan dari warga kelas menengah dan menengah ke atas. Asalkan melihat kota yang bersih dan nyaman dipandang, sebagian besar mereka tidak berempati pada orang-orang pinggiran. Kembali ke jantung kemauan politik, apakah mau menyelesaikan masalah, atau sekadar ingin memenuhi hasrat megalomania semata.” Kata-kata serupa panah itu menusuk tepat pada harga diri hampir semua pejabat yang hadir. Kami berpandangan dengan raut wajah terkoyak. Menerima tim dengan dominasi kaum muda untuk memberi kami perkuliahan saja, sudah memerlukan kelapangan hati. Lebih lagi harus tercabik-cabik seperti ini. Baiklah, kurasa aku mengerti alasan Pak Wira pergi. “Seluruh warga Karagan harus membiasakan diri hidup di hunian vertikal, memang itu harga yang harus dibayar ketika memilih hidup di kota besar. Kita harus mengalah pada lahan dengan fungsi alam vital seperti resapan air, retensi, dan penyaring polusi. Namun, ide buruk jika harus dipaksakan kepada masyarakat strata bantaran sungai. Kualitas mental mereka harus lebih dulu ditingkatkan untuk dapat menghuni rumah susun,” lanjutnya. Seorang anggota tim lain menambahkan, “Pengembangan aspek psikologis dan pemberdayaan masyarakat sudah harus dimulai dari kolong jembatan, pinggir rel kereta api, tepian sungai, dan dimana saja mereka berada, tanpa penggusuran.” “Semua ini butuh kesabaran dan solidaritas antara pemerintah dan warga kota. Kami pikir sudah waktunya pemangku jabatan tidak lagi bersaing dan saling menjatuhkan. Harus dibangun kebersamaan
119
sosial agar rakyat tidak kebingungan. Karagan terlalu lama berkorban dalam dagelan kekuasaan,” sahut yang lainnya. “Baiklah. Apa program terdekat yang akan dieksekusi?” tanyaku sebelum wajah-wajah di ruangan ini semakin tidak karuan menahan marah dan malu yang bersingunggan. “Perbaikan kampung di bantaran Sungai Kaliran.” “Oke, laksanakan.” *** Anak laki-laki berkaos biru berlarian bahagia bersama kawankawannya. Sepintas, rupa mereka tampak sama. Berkulit coklat terlalu tua, rambut berantakan, kurus, terbungkus baju dengan level kusam yang tak jauh beda. Lahir, mengalir, dan bersenyawa dengan buangan kota. Beberapa meter di atas mereka, layang-layang kehilangan tuan bertaruh nasib terbawa angin. Jatuh dan menjadi rebutan, atau singgah di pohon tinggi menjadi sampah seorang diri. Sepanjang tiupan, ia berandai-andai memiliki pilihan. Ranting terjauh menggamit benang yang kusut. Kekecewaan memeluk anak-anak yang seketika menghentikan langkah. Tapi tidak bagi anak laki-laki berkaos biru. Kaki telanjang yang penuh bekas luka itu memanjat hingga mencapai lilitan layang-layang. Anak-anak bersorak, mengelu-elukan namanya. Namun, terlalu senang membuat kewaspadaannya hilang. Ia menginjak dahan lapuk yang dikerubuti semut. Pegangannya terlepas, lantas jatuh berdebum di tanah keras. Sayup terdengar gemeretak tulang, lalu hanya ada keheningan. Sejak itu, tidak ada yang pernah melihatnya berkeliaran. Dia dibawa ke tengah kota, menjadi anak angkat saudara sepupu ibunya. 120
Dia tidak lagi mampu berlari. Seumur hidup, kakinya bersahabat dengan plat platina buatan China. Gaya hidup perkotaan lantas mengusik arah perjalanan seorang anak pinggiran. Puluhan tahun berselang, kehidupannya berubah cemerlang. Dia dilantik sebagai wakil walikota Karagan. Dia, menjadi aku yang sekarang. Hidup bagai layang-layang, aku selalu mengasihi ketidakpastian. Semesta bekerja tanpa mengizinkanku berencana. Terkadang, sulit menjawab pertanyaan orang-orang yang menghendaki kejelasan. Nanti, biarlah menjadi nanti. Aku memiliki keterikatan pribadi dengan kalimat: ‘Apa yang terjadi, terjadilah.’ Anakku yang berumur enam tahun, bukan penerus filosofi antah berantah ini. Dia seperti istriku. Penuh perencanaan, waspada, dan mudah panik. Wajar saja begitu, frekuensi kami bertemu hanya dua banding tujuh. Lagipula, jalur hidupnya tak kenal gelombang. Dia tidak pernah dipermainkan arus deras, dan kaku bagai bebatuan. Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam. Setiap sungai memiliki jeram yang menukik tajam. Terjun bebas, menjadi lepas. Sesekali dia harus merasa kalah, pasrah pada takdir yang tumpah ruah. Tanpa meratapi rencana yang serupa buih-buih pecah. Demi sepercik hawa manusia, aku sering mengajaknya bekerja. Berkunjung ke tepi-tepi sungai, kolong-kolong jembatan layang, dan pasar-pasar berlalat hijau. Aku ingin dia lebih bijaksana dan tidak gegabah menilai keadaan. Aku berharap dia mengerti bahwa manusia tidak terlahir untuk memiliki, melainkan memahami. “Bapak, aku boleh main sama mereka? Ada kura-kura besaaaar,” ujar anakku riang. Lima orang anak menunggunya di bawah pohon pisang. Tidak seperti akhir pekan lalu, hari ini terlalu cerah untuk
121
dilewatkan di dalam rumah. Pagi-pagi sekali, aku membawanya ke Sungai Kaliran, sekaligus pertemuan dengan warga kampung untuk membahas program-program Urban Pembaruan. “Iya boleh. Hati-hati ya, di sana licin,” jawabku. “Pak, minta tolong awasi anak saya ya. Ada pertemuan sebentar di kantor RW,” kataku pada Pak Roy, sopir keluarga kami. Aku melangkah bersama empat orang dari Urban Pembaruan. Puluhan warga berkumpul, menyambut kami dengan senyuman lebar. Kabar gembira begitu mudah menyebar. Penggusuran dibatalkan, seisi kampung bernapas penuh kelegaan. “Kami berterimakasih banyak kepada Bapak Walikota yang baru. Kami sangat senang karena Bapak masih mengizinkan kami tinggal di sini. Apalagi, ditambah program-program membangun ekonomi dan pendidikan, kami bersyukur belum digusur walikota sebelumnya.” Merasa tidak pantas menerima penghargaan itu, aku cepat menggeleng. “Tidak, tidak. Ini program usulan dari Bapak Walikota sebelumnya. Tim beliau yang merancang, saya hanya melaksanakan yang sudah diwariskan saja.” Terdengar kasak-kusuk tidak percaya di setiap sudut. Aku tersenyum mafhum. Media telah mengidentikkan kepemimpinan Pak Wira dengan tindakan tegas. Di sisi lain, banyak orang menganggapnya brutal dan tidak berperasaan. Koran-koran dan televisi membangun kesimpulannya sendiri. Menggiring orang-orang berpikir timpang. “Beneran tah? Bapak Walikota sebelumnya kan selama ini suka membangun gedung-gedung tinggi, ngembangin teknologi, terus di puja-puji orang-orang kaya. Kami-kami ini disingkirkan, terus nasibnya ndak dipedulikan,” ujar seorang pria berlogat Jawa kental.
122
“Iya betul, mentang-mentang kami ini cuma orang miskin, tidak membantu kampanye lewat apa itu? Pesbuk? Jadinya kami tidak didengar. Kalau menolong kami kan, paling banter dapat ucapan terima kasih saja, sama nasi tumpeng,” sahut seorang perempuan tua dengan intonasi seperti sedang mengomeli cucunya. Ketua RW panik, buru-buru menenangkan warga yang semakin ramai membicarakan aib-aib walikota. Dua jam pertemuan, hampir setengahnya kugunakan untuk membersihkan pikiran-pikiran buruk tentang Pak Wira. Tuntas. Menjelang siang, semua orang kembali tersenyum tanpa kerusuhan. Kami semua, menuju pulang dengan tentram. *** Besok pagi, proyek reklamasi dihentikan. Memenuhi tuntutan luapan sungai yang pekan lalu berdemonstrasi di jalan-jalan. Positif, penyebabnya adalah arus balik akibat sedimentasi di bagian hilir dan rawa-rawa yang dirombak menjadi lahan parkir. Lagipula, biaya pemeliharaan dinding laut raksasa dan instalasi pengolahan air kelewat tinggi. Mengingat kasus gizi buruk dan anakanak kelaparan yang kerap kali bergulung di pelataran, rasanya tidak pantas anggaran daerah malah terkuras untuk memberi makan euforia peradaban. Kemajuan yang tidak seiring dengan kebaikan, hanya akan menciptakan kesenjangan dan konflik-konflik sosial berkepanjangan. Persetan dengan pemodal yang merajuk dan merasa dirugikan. Pulau setengah jadi akan dikelola pemerintah sebagai pusat perikanan. Para nelayan akan kembali memadati pesisir utara. Karagan bukan lagi etalase untuk diperjualbelikan kepada para pengembang yang haus tanah garapan.
123
Baru saja aku akan menenggelamkan diri dalam ketenangan, istriku memanggil-manggil dan melontarkan berbagai macam keluhan. Apa yang terjadi, terjadilah. “Pak, Rivan demam. Sudah dua kali muntah dan buang air besar. Pasti gara-gara main di sungai. Sudah tahu kotor begitu kok diizinkan. Jajanannya juga pasti tidak sehat. Tadi main di sungai makan apa?” cecarnya. Anakku terbaring lemas di tempat tidur, memeluk guling. Aku hanya termangu, tidak tahu harus menjawab apa. Melihat reaksiku yang tidak memuaskan kepanikkannya, istriku kembali bicara. “Kenapa juga sih tidak jadi digusur orang-orang di sana? Cuma bikin sungai kotor saja. Buang sampah tidak tahu aturan. Cuci piring, toilet, mandi, di satu tempat, bagaimana bisa sehat? Sudahlah Pak, digusur saja. Ini anak kita jadi korban kan.” Wajahku memerah, sedikit tersinggung. “Jangan bilang begitu seenaknya. Ibu ingat kan asal-usul Bapak?” “Iya, ingat. Tapi ini sudah kelima kalinya lho. Bapak boleh saja berempati, tapi jangan bawa-bawa anak kita dong. Hidup Rivan kan beda sama Bapak. Jangan dipaksakan.” “Bapak tidak memaksa. Ini kan risiko. Bapak hanya ingin Rivan lebih humanis.” “Humanis apanya? Bapak juga pasti masih kebiasaan kan buang sampah sembarangan. Nanti Rivan meniru, sama seperti mereka.” “Ibu kenapa ungkit-ungkit masa lalu? Sumpah mati Bapak tidak akan pernah lagi buang sampah di sungai!” “Sumpah mati? Hati-hati lho Pak, termakan omongan sendiri.” Hampir saja aku meledak marah kalau saja anakku tidak tiba-tiba berkata lirih, “Ibu... ini kan bukan salah Bapak. Rivan yang lupa cuci
124
tangan sebelum makan siang tadi. Bapak... rumah teman-teman Rivan jangan digusur. Nanti mereka bingung mau tinggal dimana.” Kami terdiam. Sebelum terjadi perdebatan lanjutan, aku segera menelepon dokter. Satu jam kemudian, Rivan sudah selesai diperiksa dan diberi resep obat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, katanya. Sepanjang malam, aku hanya bersandar di atas sofa. Menatap anakku yang tidur lelap dalam dekapan ibunya. Rasa bersalah memaksaku tetap terjaga. *** Tempat kelahiranku, Sungai Salapan masih bersaudara dengan Sungai Kaliran. Keduanya berada dalam satu Daerah Aliran Sungai Karagan. Berasal dari mata air Gunung Parung dan bermuara ke titik utama, pesisir utara. Perkataan istriku tidak sepenuhnya salah. Seperti kebanyakan orang-orang yang tinggal di bantaran sungai, keluargaku memiliki andil besar terhadap banjir di Karagan. Kami sering melempari sungai dengan kantong-kantong plastik berisi sampah. Semasa kecil, aku suka mengamati pergerakan buntelan yang terbawa arus hingga tersangkut di bar screen. Di jeruji berlumut itu, sampah-sampah bersarang. Bersaksi dan menjadi bukti ketidakpahaman orang-orang. Menunggu vonis hukuman alam. “Bukan cuma kami lho penyebab banjir. Dari jembatan itu, mobilmobil juga melempar sampah ke sungai. Orang kaya, berpendidikan seperti mereka juga buang sampah sembarangan kan. Kenapa kami saja sih yang disalahkan?” ujar seorang perempuan setengah baya saat acara penyuluhan sanitasi lingkungan. Riuh, seluruh warga Sungai Kaliran mendukung pernyataannya. “Betul itu! Padahal kalau banjir, kami yang terendam duluan.”
125
“Rakyat kecil mah memang selalu kebagian yang tidak enak saja!” celetuk warga lainnya. Jengah, aku diam-diam beringsut menjauh. Manusia memang terlahir dengan sejuta cadangan pembelaan. Mencari-cari jalan untuk menjauhkan diri dari sasaran tembak. Hingga akhirnya, menemukan kembali garis batas pengakuan, lantas memohon pengampunan. Segalanya berakhir pada permulaan. Dari kejauhan, aku melambai pada seorang pria tua. Ia menjadi sopir walikota selama lebih dari dua dekade. Membawa-bawa senja di runcing matanya, ia selalu bekerja sepenuh jiwa. Diikat oleh sejarah hidup yang kurang lebih sama, ia sudah kuanggap keluarga tanpa akta. Dengan merekatkan jempol dan telunjuk, aku memberi isyarat. Kode rahasia kami. Ia tersenyum mengerti, merogoh saku kemeja. Menyodorkan bungkusan putih berlogo merah. “Lagi banyak masalah ya, Pak?” tanyanya. Aku mengiyakan, seraya menyulut sebatang rokok dengan korek api yang ia sodorkan. Di bawah pohon akasia, kami bergumul dengan kepulan asap. Menjauh dari hiruk pikuk kumpulan warga di balai desa. Diamankan serumpun tebu, kehangatan menjalar di paru-paru yang tak tersentuh nikotin selama enam bulan. Asing, tapi menenangkan. Pelarian kecil dari kekang sorotan dan harga diri. Biasa kulakukan jika terlampau lelah menahan tekanan. Pria tua yang tidak banyak bicara ini bertindak sebagai kunci, sekaligus gemboknya. Partner in crime. Kalau sudah begini, kami serasa jadi remaja lagi. Sembari mengibas asap, aku merenungi botol air mineral yang terseret arus warna coklat muda. Entah sejauh apa perjalanan yang ditempuhnya hingga mencapai segmen aliran sungai Kaliran. Orang yang membuangnya mungkin tinggal berkilo-kilometer dari sini. Tapi
126
seperti aku, hutangnya tidak akan lunas sebelum alam menuntut balas. Cepat atau lambat. “Bapaaak!” seru seorang anak laki-laki berjaket merah dari seberang sungai. Rivan berlari menyeberangi jembatan bambu. Pak Roy ripuh mengikuti di belakangnya. Aku berjingkat, refleks melempar rokok yang telah dihisap setengah ke arah jeram. “Rivan, mau apa ke sini? Baru juga sembuh. Ibu kan melarang kamu ikut Bapak. Nanti kalau dimarahi bagaimana?” “Rivan sudah izin kok. Ibu bilang boleh. Asalkan Rivan tidak jajan dan langsung mandi setelah sampai di rumah.” Belum sempat aku menanggapi, Rivan panik dan bertanya, “Tadi Bapak merokok ya? Mana rokoknya? Mana?” “Eh, sudah tidak kok. Rokok yang mana?” “Iya, tadi Rivan lihat asap banyak. Iya kan, Pak Roy?” Pak Roy hanya mengendikkan bahu, mencari aman. Menutupi salah tingkah, aku mengajak Rivan ke lapangan mencari teman. Rivan merengek. “Bapak jujur dong, Bapak merokok kan? Mana rokoknya? Nanti Bapak bisa mati.” Seketika alisku terangkat. Ada desiran halus yang merayapi sendisendi tulang. “Rivan kok gitu? Iya, Bapak merokok. Tapi cuma sedikit kok. Setelah ini Bapak akan makan sayur yang banyak biar sehat.” Rivan tidak puas, masih sibuk bertanya dimana rokok yang tadi kuhisap. Aku hanya mengatakan, sudah tidak ada. Ia baru berhenti merajuk ketika hujan tiba-tiba deras, menyuruh kami bergegas. Kami berempat disambut di salah satu rumah warga yang memiliki warung tenda di halamannya.
127
Segelas belimbing kopi panas dan sepiring gorengan, tersaji bersama keramahan. Anak-anak kecil berebut menyalamiku dan berkenalan dengan Rivan. Aku menikmati setiap detik yang berlalu tanpa pikiran-pikiran rusuh. Jeda seperti inilah yang kubutuhkan untuk mengembalikan kewarasan. Sementara kami bersantai, pemilik warung berjibaku dengan genangan air yang memberatkan atap terpal. Gemuruh hujan selalu menawarkan banyak wajah. Obat kerinduan, penawar kegelisahan, atau sebaliknya, pembawa masalah besar. Percaya atau tidak, perlakuan alam bereaksi terhadap detail tingkah laku manusia. Semesta terkoneksi melalui cara-cara yang sulit dibayangkan. Belum lama aku menghela napas lega, terdengar gaduh teriakan. Mengabarkan situasi yang jauh dari menyenangkan. Sungai Kaliran meluap lagi. Tumpukan sampah menutup celah-celah jeruji bar screen. Air yang kebingungan mencari jalan pulang, lantas berkeliaran di permukiman. Aku terjerembap di lubang waktu, menuju masa lalu. Kulihat, ibuku panik menyelamatkan barang-barang. Adikku yang masih balita menangis dalam dekapan. Aku dan teman-teman melarikan diri dari penderitaan. Memilih bersenang-senang, berenang-renang. Kami tertawa bahagia saat tersangkut barang-barang hanyut. Sebelah sandal jepit, mainan rusak, bahkan jemuran tetangga. Menyaksikan kucing-kucing berenang. Tikus-tikus berpegang erat pada sebilah kayu mengambang. Dan jika beruntung, ada pula buaya dan ular sebagai bahan membuat keributan. Hidup sesederhana mengubah bencana menjadi bercanda.
128
“Alhamdulillah, hujan sudah reda,” ucap syukur seorang warga. Menarik kembali fokus pikiranku ke tepi sungai Kaliran. Meninggalkan nostalgia, terendapkan. Bagai menyibak tirai panggung, perlahan, gumpalan abu-abu berarak menjauh. Langit memberi kami kesempatan untuk berbenah. Mengingat hutang-hutang masa laluku yang belum tuntas, aku segera mengerahkan warga, menjajaki sungai, dan menyingkirkan gunungan sampah yang mengadang aliran air menuju muara. “Waah, Bapak Walikota yang baru ini baik ya. Mau bersih-bersih sama warga tanpa mengundang wartawan,” ujar Ketua RW disambut tawa orang-orang. Kekhawatiran menguap tanpa sisa. Damai berderap hadir di dalam ramai. Menentramkan, tapi tebersit rasa kehilangan. Sosok Rivan tidak lagi tampak duduk manis di pojok warung tenda. Rivan tidak ada di antara gerombolan anak-anak kampung Kaliran. Rivan tidak ada dimana-mana. Rasa takut menyergapku hingga sulit mengendalikan detak jantung. “Anak saya mana?” tanyaku pada Pak Roy. Ia mengedarkan pandangan dengan mata membelalak panik. Beberapa orang ikut celingukan. Aktivitas pengerukan sampah, beralih ke pencarian Rivan. Orang-orang berkeliling, berteriak-teriak memanggil namanya. Anak-anak kampung mengaku tak melihat Rivan lagi selepas hujan mulai reda. Seluruh tubuhku seperti tersengat listrik. Lemas, gemetar, tak bisa berhenti bergerak. Aku terpeleset lumpur. Terbenam setengah pada kolam sampah di bawah jeram. Pandanganku mengabur kala melihat jaket merah Rivan mengambang tanpa pemiliknya. Tak peduli bau menyengat dan
129
beling-beling menggoresi kulit. Aku mengaduk-aduk sampah laiknya orang kesetanan. “Ba...pak...” Tertuntun suara Rivan, kakiku melangkah tanpa kesadaran. Ujung mataku menangkap tangan Rivan yang menggenggam erat jeruji besi. Hatiku tidak lagi merasakan apa-apa. Terlalu banyak kecamuk yang menyiksa. Seperti gerakan mesin pengeruk, kusingkirkan sampah-sampah yang mengepung tubuhnya. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Aku memeluknya erat, menangis sesenggukan. “Bapak... Bapak tidak perlu menangis. Aku sudah menyelamatkan Bapak,” bisik anakku. “Apa... maksud Rivan?” tanyaku dengan sengguk dan sekat di tenggorokan. “Waktu bertengkar... sama Ibu, Bapak sumpah mati... tidak buang sampah... di sungai lagi kan... Sekarang Bapak sudah aman... tidak akan mati,” tutur Rivan lemah seraya membuka genggaman tangan. Di sana, tersimpan rokok basah yang sudah dihisap setengah. ***
130
131
132
D
ulu, langit bagiku tak pernah lebih dari langit-langit. Terbelenggu di lantai keramik yang tak kenal banyak sifat selain artifisial.
Lingkup rumah, kampus, dan kafetaria menelanku bulat-bulat bagai Segitiga Bermuda. Sebelum taman-taman kota menjadi apartemen dan cagar bagi orang-orang kaya, di sana satu-satunya alam yang kumiliki dalam kepala. Sampai di situ, aku tak menyangka satu peristiwa bisa mengubah segalanya. Ayahku pergi, tanpa meninggalkan sekerat jejak untuk diikuti. Meninggalkan seluruh harta benda, kecuali tiga baju dan sepasang sendok garpu bergagang merah. Meninggalkan aku bersama dua perempuan kesayangannya, adik dan ibuku. Sejak itu, tak ada hari kulewati tanpa mengumpulkan beragam informasi tentang Ayah. Semua rekan dan saudara telah kuhubungi,
133
tidak ada yang tahu keberadaannya. Mulai dari polisi hingga mafia jalanan kukerahkan demi menemukannya. Sama juga, tak ada hasil. Ibu mengatakan, sebaiknya aku menyerah. Ayah cuma butuh waktu. Ia akan kembali kala situasi telah terkendali. Sungguh, aku ingin percaya pada ketabahannya. Tapi, pelupuk mata Ibu tidak pandai berpura-pura. Ia memeluk penerimaan, namun digelayuti peperangan. Ia terlalu keras mengarungi kesepian demi harapan yang hampir tenggelam. Rumah kami begitu suram, tak pernah kekurangan bahagia yang dipaksakan. Senyum yang terlalu getir. Kehangatan yang terlalu panas. Pada dua foto wisuda yang terpajang di ruang keluarga, ada Ayah dengan pose serupa. Kami mengeditnya sendiri, menempelkan sosok Ayah di sana. Menyedihkan? Memang. Pathetic. Selama puluhan purnama, kami berputar-putar dalam labirin tanpa jalan keluar. Setelah semua kemungkinan, hanya satu jalur tersisa. Di ujung pandangan, terdapat lorong gelap yang kami yakini menyembunyikan banyak hal tidak terduga. Di sana, ada satu nama yang belum kami capai. Mandala Jayanto. Dia, adik kembar Ayah. Meski sering menampakkan diri dalam acara keluarga, tidak ada yang tahu nomor kontak dan alamatnya. Ia selalu berdalih bahwa kami tidak akan berkunjung sekalipun tahu tempat tinggalnya. Terlahir sebagai anak kembar, dia jelas individu yang terpisah dari Ayah. Tanpa embus keraguan, dia melawan arus keturunan Jayanto. Ia tinggalkan bangku kuliah dan hidup mengembara. Dari gunung ke gunung. Tak ada seorang Jayanto pun yang mampu memahami pilihan dan tingkah lakunya.
134
Jengah dengan nama Mandala, ia bersikeras dipanggil ‘Jay’. Menurutnya, Mandala terdengar terlalu ningrat. Tanpa memiliki tanda pengenal yang masih berlaku, ia mendeklarasikan nama barunya pada acara sunatan sepupuku beberapa tahun lalu. Aku masih ingat wajah Kakek yang merah padam dan langsung melangkah pulang. Di antara rumpun orang bertuksedo mahal yang menyematkan kehormatan, figurnya tampak seperti makhluk asing dengan setelan petualang. Tapi dalam pandanganku, dia berbeda dan tidak pernah membosankan. Banyak hal-hal baru yang ia ajarkan padaku. Salah satunya, sama dengan Neira, tentang Metazoa. “Ren, kamu yakin mau melakukan ini?” tanya adikku. “Harus yakin. Tinggal ini satu-satunya jalan yang belum dicoba.” “Memangnya kamu masih ingat wajah Om Jay? Sudah hampir sepuluh tahun tidak ketemu.” “Kamu lupa kalau dia kembaran Ayah? Tidak akan jauh bedalah.” “Kalau tidak ketemu juga, bagaimana?” “Sudah tiga tahun pencarian tanpa hasil, aku sih tidak masalah dengan tiga tahun lagi kalau ada hasilnya,” jawabku yakin. “Ini demi Neira ya?” “Demi kita semua,” sahutku seraya memanggul tas keril biru yang telah dipenuhi berbagai perlengkapan. Membawa restu Ibu, aku pergi tanpa pedoman apa-apa selain naluri semata. Aku yakin, Om Jay yang menyimpan kunci pencarian. Lorong gelap tanpa tanda pengenal. Di hari aku menemukannya, aku akan menemukan Ayah. *** Mobil biru sudah menunggu di depan gerbang. Aku memandang lurus ke puncak berkabut di selatan Karagan. Percakapan dengan
135
adikku telah berselang belasan bulan. Tak terhitung kali ini pendakian keberapa. Tujuh gunung di sekitar Karagan telah habis kujelajahi. Sosok yang kucari masih bersemayam serupa bayangan dalam pikiran. Tak ada kemajuan berarti hingga suatu momen dua bulan lalu. Di tengah hujan deras, aku menemukan gubuk reyot di kaki Gunung Parung dengan ukiran
pada pintunya. Aku pernah melihat huruf
yang mirip pada jam tangan, topi, dan buku catatan milik Om Jay. Harapanku pupus saat melangkah masuk. Di dalamnya, tidak ada tanda-tanda manusia. Tipikal gubuk-gubuk di film horor: berdebu, penuh sarang laba-laba, dilengkapi tikus besar hilir mudik. Aku sadar, makhluk sejenis Om Jay bisa berada di mana saja. Bukan tidak mungkin saat ini dia mendiami gua-gua laiknya pertapa. Lintasan kami bisa bersinggungan, kapanpun, tanpa ada pertemuan. Persis novel roman sebelum telepon genggam digunakan. Dua orang kekasih yang gagal bertemu hanya karena terhalang sebuah pilar. “Andre,” Seorang pemuda berkacamata, menyodorkan tangan. “Eh, hmm... Jay” jawabku gelagapan. Sapaannya membuat pikiranku kembali berpijak. Aku hampir lupa sedang berada dalam rombongan open trip yang diadakan Yovan, temanku yang sedang merintis usaha pemandu perjalanan. Dia tak pernah alpa mengajakku bergabung sebagai pembantu umum dan penunjuk jalan. Padahal, sudah berkali-kali kuperingatkan, aku bisa tiba-tiba menghilang. Tak ingin terikat dengan jadwal, apalagi mengurus orangorang. Tujuan langkah-langkahku tidak akan bisa ditawar. Untuk menghindar dari kerecokan, aku enggan memperkenalkan diri sebagai Reno. Wajah dan namaku terlalu viral pasca kepergian Ayah. Reno Arka Jayanto lahir baru. Tidak ada lagi pemuda berwajah 136
pucat, lemah, dan hedonis, anak mantan walikota. Aku memanjangkan rambut hingga sebahu, membiarkan kulit terbakar matahari, tidak peduli pada kumis dan janggut yang tumbuh tak beraturan. Mengaku bernama Jay pada setiap orang. Tidak ada yang tahu identitas asliku, kecuali Yovan. Meski kuakui, tidak buruk juga sih, berada di antara manusia. Mereka membantuku tetap waras. Sejenak mengistirahatkan otak dari tampuk awang-awang. Banyak suara yang bisa didengar. Lebih baik daripada terus berharap batu-batu mampu menjawab pertanyaan. Menyaksikan mereka, rasanya sama dengan menontoni linimasa yang tak pernah aku tengok entah sejak kapan. Pembicaraan tak pernah jauh dari lelucon baru di media sosial, dan sedikit persoalan negara. Mereka hanya memindahkan percakapan senada dari tengah kota ke hutan belantara. Setiap kali Ayah kembali melintas dalam pikiran, aku beringsut menjauh. Menjajaki dedaunan basah yang hampir tak pernah diinjak. Menelisik celah-celah tak terjamah. Bahaya dan ketakutan tercoret dari daftar pertimbangan. Berbekal pesan Neira, aku menggandeng erat prasangka baik pada alam beserta penghuninya. Sebutan kuncen gunung bagai sebulir embun di tengah gurun. Menguap tak ada arti. Berkali-kali, aku hanya tiba pada titik awal pencarian. Kekosongan, ketiadaan, kehampaan. Beranjak pergi dari kehilangan, menuju kehilangan berikutnya. Gubuk Om Jay teronggok layaknya artefak sunyi. Berasal dari masa-masa yang terlampau jauh untuk kembali. Malam tiba, detak detik di gunung Parung memuai panjang. Aku sering memilih tetap terjaga. Menunggu matahari menepati janji dan terbit lagi. Sekadar menyerakahi kesadaran. Tidur seperti membiarkan waktu dirampas kegelapan. 137
Ada kalanya, kurelakan lelah yang menang. Ayah datang, turun bersama kabut. Dengan gaya khasnya yang elegan, ia duduk di sampingku. Di tepi lembah, kami berbincang hingga pagi. Membangun dialog yang jarang terjadi sejak kesibukan memamah habis dunia kami. Terkadang, jeda kebisuan dan tarikan napas dalam sudah kuanggap saat-saat paling menyenangkan. Aku selalu memohon untuk tinggal lebih lama. Namun, mimpi buruk hadir ketika nila sudah di ufuk. Dingin menusuk, menguasai tengkuk. Aku terdampar di tanah gersang, terkepung kenyataan. Gamang. Untuk kesekian kalinya, Ayah kembali hilang. “Ren, bagaimana? Ada pertanda baru?” tanya Yovan. Aku menggeleng pelan, menatap api unggun. Merasuki perayaan ranting kering yang bebas lepas menjelma abu. Ingin rasanya aku menimbun rasa hangat itu dan menyimpannya di dalam saku. Eh, tunggu, sepertinya tidak bisa. Ruang saku sangat terbatas. Aku butuh wadah lebih besar untuk persediaan bagi semua orang. Satu keril mungkin cukup. Untuk Ibu, Ayah, Adikku dan Neira. Iya dia, Neira Gautama. Tiga mawar merah di bawah cemara. Metazoa. Kerangka. Gadis itu membawa terlalu banyak kisah untuk mampu kulewatkan begitu saja. Meninggalkan kesan terlampau dalam untuk sanggup kulupakan. Aku tidak paham logika rasa, tapi dia adalah perempuan yang ingin kujaga hingga kehidupan selanjutnya. Setelah senyuman Ibu dan wajah cerah adikku, ia masuk dalam sederet alasan pencarian Ayah. “Aku ingin lebih dulu bertemu Pak Wira, Ren,” kata Neira sore itu, selepas aku melamarnya. “Kenapa?” “Kata maaf di antara kami belum tuntas.” 138
“Maksudnya?” “Aku ingin memaafkan dan meminta maaf.” “Minta maaf untuk apa, Nei? Kamu tidak salah pada Ayah.” “Banyak, Ren. Atas semua buruk sangka dan kebencian menahun. Racun-racun itu telah menyakiti kami berdua. Aku belum sempat membicarakannya setelah pemakaman.” “Jadi kamu tidak akan menerimaku hingga Ayah kembali?” “Aku tidak bisa begitu saja masuk dalam keluarga yang kurutuki selama belasan tahun. Aku butuh restu dari Ayah kamu.” Hela napas panjang mencukupkan percakapan kami, serta tanda kepasrahanku pada keputusannya. Tak henti aku melempar kalimat tanya. Apakah Ayah pernah berniat pulang? Atau dia ingin selamanya hilang? Apakah kami harus menunggu? Atau benar perlukah sebuah pencarian? “Eh, eh, itu siapa?” Jeritan seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah pohon besar. Nyala api unggun yang baru kupandangi mengganggu penglihatan. Cepat, aku menatap Yovan. Aku yakin dia memikirkan hal yang sama. Tanpa pikir panjang, aku sigap berlari menuju pohon yang ia tunjuk. Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan kegelapan, mataku menangkap bayang hitam manusia. Baru saja aku akan mengikutinya, Yovan mencengkram tanganku. “Ren, tunggu dulu. Jangan sembarangan. Hutan belantara, gelap gulita, kamu mau apa?!” sergahnya. Aliran darahku berdesir hebat. Aku merasa berdiri di bibir jurang. Kakiku serasa menggantung. Tenggorokanku tersekat. Kalap. Aku lupa cara mengucap kata.
139
Setiap sel dalam tubuhku mengabarkan satu hal. Aku berada di ujung pencarian. *** Sarapan pagi ini tidak buruk. Yovan koki terbaik yang pernah dimiliki pecinta alam kampusku. Tapi, aku seperti sedang mengunyah karet. Peristiwa semalam menonaktifkan sensor lidahku. Menurunkan fungsi-fungsi organ dan syaraf secara simultan. “Van, tinggal dua pos kan? Saya pergi dulu ya. Sampai ketemu di pos terakhir.” “Mau kemana, Ren?” “Kemana saja angin membawa.” “Gila. Serius lah.” “Sudah jelas kan? Orang tadi malam pasti Om Jay atau Ayah.” “Yakin? Kalau beruang bagaimana?” “Pfft! Mana ada beruang sekurus itu. Lari pakai dua kaki pula.” “Kalau siluman?” Aku berdecak gusar. “Sudah ah. Mau siluman, setan, atau kasuari, asalkan bisa jadi petunjuk, bakal tetap saya kejar.” Sebelum Yovan sempat membalas, aku bergegas lenyap dari hadapannya. Menuju kediaman makhluk halimun semalam. Berdasarkan kalkulasi yang sering meleset, naluriku mengatakan ia mengarah ke Lembah Swarga. Di dataran itu, terhampar hutan pinus yang selalu berlumur kabut. Pernah sekali, aku masuk ke sana. Baru menjelajah setengah, aku menyerah. Tak mudah menentukan arah dalam pemandangan yang hampir serupa. Putih. Magis. Mistis.
140
Langkahku melambat. Untuk sampai ke batas lembah, ada dua cara umum. Jalur yang menukik curam beralaskan rumput, tampak berkilau oleh embun. Licin. Aku memilih cara kedua, setapak landai berbentuk zig-zag. Agak jauh, tapi berisiko minimal. Lagipula, aku butuh tenang sejenak untuk mampu menembus kabut. Baru beberapa meter mendekat, tubuhku terasa ringan. Sepi, tapi aku tidak sendirian. Beberapa ekor tupai menyusuri dahan-dahan, berkejaran. Hewan-hewan hitam kecil mirip kepiting berjalan miring di dinding lumut. Kaki seribu besar bergulung manis di tanaman perdu. Damai. Kusatukan jiwaku pada nyawa lembah, berusaha membuat mereka tetap nyaman. Memasuki area berkabut, aku merinding. Ada hawa lain selain dingin. Terlalu hening. Berkali-kali aku dikejutkan oleh bayangan yang menyembul dari sibakan kabut. Hanya sebatang dua batang pinus tua. Kakiku melangkah hati-hati, dengan otak terus bekerja mencari cara mengingat arah. Aku merogoh saku, mengambil sebatang kapur. Menoreh sebuah garis pada batang pinus terbesar yang kulihat di batas pandang. Baru juga setitik kecil pada pohon ketiga, tanganku bergetar. Tepat di atas telunjukku, terukir dua huruf yang amat kukenal.
,
sekerat jejak menuju Ayah. Absurd memang. Lupakan soal ketiadaan janji maupun jaminan. Aku butuh sesuatu untuk digantungi harapan. Dengan deru napas tak beraturan, debar jantung semakin enggan dikendalikan. Bola mataku liar, beredar, mencari tanda-tanda, dan isyarat lain yang bisa menampung pertanyaan. Aku berkeliling, menelisik setiap sisi batu-batuan, batang pohon, dan apa saja yang bisa memberi jawaban.
141
Ada. Tiga meter dari batang pohon tadi, terukir lambang Om Jay pada batu keabuan berselubung lumut, berbentuk mirip kerucut. Aku yakin ini penunjuk jalan untuk mencapai tempat tinggalnya. Gua, ruang bawah tanah, atau apapun itu. Sebatang kapur sudah lenyap dari genggaman. Dua huruf itu kini lebih penting daripada jalan pulang. Aku senang, namun ketakutan. Aku bahkan lupa menghitung jumlah lambang yang telah kutemukan. Serbuan kata tanya menghantui. Mana lagi tandanya? Menuju kemana? Sejauh apa? Apa dan siapa yang akan kutemui? Om Jay, Ayah, atau bukan keduanya? terakhir, terukir di dinding batu berundak. Cukup jauh dari ukiran sebelumnya. Dalam jarak enam meter, tak ada lagi ukiran huruf yang tersisa. Di sekelilingnya, tak terlihat naungan yang menjanjikan perlindungan. Kenapa? Perlahan, akal sehatku kembali utuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mata angin. Tak ada penunjuk arah. Aku menggerung kesal. Jalan pulang hanya ada di awang-awang. Lelah. Kuhempaskan badan tepat di bawah huruf bermasalah itu. Samar-samar terdengar suara reruntuhan. Tidak sampai dua detik, aku terperosok. Melesak ke sebuah ceruk yang tertutup bongkahan batu dan dedaunan kering. Sekuat mental, aku menahan teriakan. Ini bisa saja lubang ular, kelelawar, anjing hutan, atau penghuni belantara lainnya. Membuat keributan bukan ide bagus jika ingin tetap selamat. Tanpa suara, aku bergerak pelan. Gelap pekat. Kukerjapkan mata menyesuaikan intensitas cahaya. Segala kewaspadaan sirna. Mataku tertumbuk pada benda-benda lusuh yang bergeletakan di lantai gua. Terserak di samping ranting-ranting kering kehitaman, bekas terbakar.
142
Perasaanku begah, memandanginya takjub seolah menemukan timbunan harta. Ya, ya, ini memang harta karunku. Tas keril lusuh, ikat kepala, dan buku catatan berlabel
. Tidak salah lagi, ceruk ini suaka
bagi Mandala Jayanto. Seketika, aku jadi rindu berekspresi. Mengangkat tangan, salto, menari, atau berbagai gerakan lain yang menunjukkan kegembiraan. Namun, sendi, otot, dan tulangku kaku bagai patung pahatan kayu. Diam, geming, dengan bibir rapat terkunci. Hatiku berubah. Satu hal membuatku kembali resah. Tidak ada sendok dan garpu bergagang merah. *** Jam tangan menunjukkan pukul empat sore. Sudah berjam-jam aku hanya duduk bersila menggamit lutut. Menghadap pintu masuk, mereka-reka skenario yang mungkin terjadi. Dari rasa bahagia, hingga nyaris putus asa. Tak ada manusia yang muncul. Keril besar Om Jay kosong. Tidak kulihat ransel milik Ayah. Buku catatan kecil itu mungkin menyimpan informasi berharga, tapi aku tak berhak membukanya. Bekas api unggun, barang-barang Om Jay, daun-daun lebar yang bisa dijadikan piring, lalu sudah. Tidak ada lagi yang bisa dieksplorasi. Kalaupun ada hal lain, mungkin sedang dibawa pergi. Krrsk! Aku tersentak, menegakkan tulang belakang. Ceruk ini mendadak gelap. Cahaya dari pintu masuk terhalang sebentuk badan. “Siapa itu?!” tanyaku setengah berseru. Sosok itu terkejut, gerakannya panik. Ia menarik diri dari ceruk, dan berlari menjauh. Aku sontak mengejarnya.
143
Di antara kabut, tak banyak yang bisa kulihat. Biarlah. Aku masih bisa mendengar suara derap langkah. Dia cepat dan kuat. Napasku kepayahan menyainginya memanjat bebatuan dan melompati batang pinus tumbang. Hampir delapan puluh persen, ia adalah Om Jay. Aku tidak bisa membayangkan Ayah bisa melakukannya. Semakin lama, tidak ada lagi getar suara yang bisa kuikuti. Aku tersungkur di dataran rumput. Tak ada lagi selimut putih. Lembah Swarga berada jauh di bawah jurang. Aku tersuruk di tepi lembah, merengkuh batu besar untuk dijadikan tempat bersandar. Mengatur napas. Dalam hati, memarahi diri sendiri. Menatap cengang ke papan kayu bertuliskan POS LIMA. Sial, belum tentu aku bisa menemukan ceruk itu lagi. “Aaaaargh!” teriakku sepuasnya. Beberapa orang yang tengah mendirikan tenda memandangiku ragu-ragu. Aku menarik kasar ikat kepala, membebaskan rambut terurai berantakan. Aku mendengus. Melangkah gontai, menuju tempat pendirian tenda. Melempar tatapan nanar ke arah Lembah Swarga. Menunggu rombongan Yovan tiba, untuk membuatku merasa jadi manusia. Seribu delapan ratus tiga puluh tujuh detik. Kuhitung waktu yang berlalu, menatah jaringan otak yang tak karuan memproses kejadian. Terlalu banyak langkah gegabah yang kulakukan sepanjang hari. Aku mengacaukan benang pencarian yang hampir terajut sempurna. Tiga ratus lima puluh delapan detik kemudian, sekumpulan orang yang kunantikan sampai di pos lima. Bersorak sorai bagai rombongan sirkus orang-orang kota. Yovan tersenyum sumringah. “Gimana, Ren? Rusuh banget kayaknya,” tanyanya, memandangi sarang burung di kepalaku yang disinyalir adalah rambut. “Kacau, Van. Malas ngebahasnya,” jawabku datar.
144
Yovan mengangguk-angguk. Dia sangat tahu, aku tak bisa dipaksa untuk bercerita. “Istirahat sejenak lah, Ren. Ada yang khawatir tuh daritadi.” “Khawatir?” “Itu yang pakai baju hitam, rambut keriting. Tanya soal kamu terus,” ujar Yovan seraya menunjuk ke satu arah. Aku melihat ke belakang, mencari ciri-ciri yang disebutkan Yovan. Seorang gadis, menunduk salah tingkah saat kami beradu pandang. Aku seperti mengenal wajahnya yang tampak jauh lebih muda dariku. Tidak yakin juga, tapi kurasa kami pernah bertemu. “Dia kenal saya, Van?” Yovan mengendikkan bahu. “Entahlah,” katanya. Tidak ingin ambil pusing, kulepaskan pandangan ke cakrawala. Tapi, awan-awan senja berarak malu, menarik perhatian. Gumpalan itu bersemu nila, warna kesukaan Neira. Terwujud senyumannya, terulas di utara. *** Memasuki malam terakhir di Gunung Parung bagi rombongan Yovan, tapi tidak bagiku. Aku tidak rela pulang dengan kunci yang hampir tergenggam seujung jemari. Gua bawah tanah di perut Lembah Swarga harus kusambangi sekali lagi. Kalau perlu, aku siap menginap. Menunggu kedatangan siapa saja yang tinggal di sana. Resah dengan hangat api unggun yang terlalu ramah, aku beranjak menuju lembah. Menyapa kebekuan dan terpaan angin pegunungan. Pada deru mereka, aku biasa berkeluh kesah. Penghuni gunung tua yang penggerutu dan pemarah. Mampu memaksaku berpikir lebih keras, dan tidak bersikap lemah.
145
Sayup tergerus gempuran angin, kudengar suara kaki melangkah ragu-ragu. Cepat, aku menoleh. Gadis baju hitam mengekoriku. Siluet rambut ikal kecil-kecil itu membuatnya mudah dikenali. Aku membiarkannya duduk di batu yang tak jauh. Pikirku, dia canggung dan pendiam. Tidak akan terlalu mengganggu. Sesuai dugaan, kami menghabiskan bermenit-menit mengeram kebisuan. Dia seperti ingin bicara, tapi aku tidak mendengar satu suara pun terlontar. Aku memancingnya dengan pertanyaan, hanya dijawab singkat tanpa dialog lanjutan. Biarlah, mungkin dia kelelahan. Tidak berniat melanjutkan basa-basi, kubenamkan diri dalam suramnya pepohonan malam. Mengagumi bentuk-bentuk mencekam. Mereka berbaris rapi laiknya penjaga alam. Ada yang kerucut, tajam, bergumpal-gumpal, menyerupai kadal, hingga berbentuk orang. Eh, orang? Aku memicingkan mata, memastikan objek penglihatan. Di lereng landai beberapa meter ke barat, sosok hitam itu berdiri tegak. Tak ada pergerakan. Bukan pohon, bukan batuan. Dia bisa jadi Om Jay, atau... Ayah. Otakku berputar kencang, bangkit dari duduk. Berpamitan pada gadis muda sunyi yang masih geming di atas batu. Segera kusambar keril dari dalam tenda. Berkata pada Yovan, tidak perlu menunggu. Aku tidak akan ikut pulang ke Karagan. Kutarik napas begitu dalam. Kakiku bergerak tangkas melompati dahan-dahan mati, menyiapkan diri untuk adegan kejar-kejaran. Sekali lagi. Sekali lagi saja. Semoga. ***
146
Kecamuk pikiran riuh bergemuruh. Di ujung pandangan, celah batuan memancarkan seberkas sinar. Memecah hitam kegelapan dan pekat kabut malam. Lamat-lamat, kucoba mengenali sosok laki-laki di hadapan. Tapi, ia terus berjalan konstan. Aku mengamatinya sebatas punggung dan rambut ombak sebahu. Tanpa penerangan tambahan, ia membawa kami ke Lembah Swarga, kembali ke gua. Kali ini jauh berbeda, tanpa drama berlebihan. Dia tidak berlari, aku tidak mengejar. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya tanpa kepayahan. Kami bahkan tidak bicara apa-apa, dan aku tidak berupaya menjajarinya. Ritme langkahnya melambat di depan gua. Kami semakin dekat. Tersorot cahaya, ia berdiri tegap. Membentuk siluet setinggi Ayah... atau Om Jay. “Masuklah,” ujarnya. Aku menurut. Jika hanya suara, aku masih kesulitan menentukan identitasnya. Selain takdir dan pilihan hidup, Ayah dan Om Jay nyaris kembar identik. Laki-laki itu duduk bersandar pada dinding batu. Mendekati kobar api unggun, aku merinding. Bukan karena hawa panas yang tiba-tiba menyeruak, melainkan desiran rindu yang membanjiri aliran darah. Wajah itu, tatapan itu, bahasa tubuh itu. “Ayah...” Panggilan itu terucap begitu saja. Lidahku kaku, kelu. Terlalu banyak yang ingin tumpah. Setetes air mata jatuh ke tanah. “Apa kabar, Ren?” tanyanya datar. Roman wajahnya sulit dibaca. Aku tidak menjawab, sibuk menata tanda tanya. Tidak ada waktu untuk apa kabar atau sekadar sapa tanpa makna. Biar hening mengitari jarak di antara kami. Untuk saat ini, diam lebih mampu aku hargai. 147
Tetesan kedua menyusul bergulir di titik tanah yang sama. Aku mengamati wujudnya. Topi hitam lusuh, kemeja coklat pudar, celana penuh debu, dan sandal gunung. Matanya lelah, kumis dan janggut tercukur tak teratur, wajahnya tampak tua, tapi membara. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang kuingat. Otot-otot tanganku gatal ingin menghambur, memeluknya erat. “Ini bukan tempat kamu, Ren,” katanya. “Kenapa?” “Pulanglah, jaga ibu dan adikmu saja.” Alisku mengernyit, berdecak kesal. Aku sadar tidak seharusnya marah, tapi luka memicu emosiku buncah. “Bukankah harusnya Reno yang bilang begitu pada Ayah? Kenapa Ayah pergi meninggalkan kami? Meninggalkan tanggung jawab, meninggalkan Karagan, semuanya. Kenapa bukan Ayah yang menjaga mereka?” Laki-laki tua itu geming. “Ren...” bisiknya pelan. “Ayah kamu tidak bisa pulang.” Aku tertegun, menghela keraguan. ‘Apakah dia adalah Om Jay? Lalu, dimana Ayah berada?’ tanyaku dalam hati. Hanya ada satu cara untuk memastikan. “Saya Jay,” ujarnya sebelum aku sempat bertanya. “Om Jay? Dimana Ayah saya sekarang?” “Itu pertanyaan bagus, tapi tidak perlu kamu tanyakan.” “Maksudnya?” tanyaku kebingungan. Laki-laki itu beranjak perlahan. Mengambil sebatang kayu berlilit belacu kumal, menyulutnya menjadi obor. Dengan gerakan kepala, ia memintaku mengikutinya.
148
Untuk kesekian kali, tengkukku merinding. Ada yang tidak beres. Kami memasuki lorong gelap di belakang dinding. Batu besar sandaran Om Jay tadi seperti sekat antarruangan. Gua ini lebih luas dari yang kubayangkan. Tidak sampai sepuluh langkah, Om Jay berhenti. Ia tercenung menatap ke sebuah objek. Pandanganku terhalang. Aku memiringkan kepala, berusaha melihat dari balik punggungnya. Paru-paruku mendadak sesak. Sel-sel tubuh kembali berkabar soal ujung pencarian. Tanpa perlu penjelasan, persendianku hilang daya. Tidak ingin percaya. Tapi, mimpi bertabur bintang tidak pernah lebih baik dari kenyataan yang menyakitkan. Om Jay bergeser dari tempatnya berdiri. Aku mengerjap, lemas, tersuruk di hadapan segunduk tanah. Di atasnya, bertaburan bunga kamboja, serunai, dan beragam bunga hutan lainnya. Sebongkah batu pipih ditegakkan menjadi pusara. Dua kayu tipis tersandar. Dibentuk serupa huruf. Inisial. W dan J. Wira Jayanto? Lama, aku tidak ingat cara merangkai kata. Jiwaku terapungapung. Hampa. Tak ada air mata. Tak ada kesedihan. Tak ada amarah. Kosong. Hanya aku, pusara, dan firasat berkelebat. Aku berserah, menunduk, pasrah. Habis sudah kerusuhan. Cukup sudah perlawanan. Berakhir sudah medan perang. Ujung pencarianku tertambat pada nisan bisu yang enggan untuk berkisah. Perlahan dan tak mampu kujabarkan dengan rasio akal pikiran, kekosongan itu terisi oleh perasaan baru yang lama kukenal. Hangat dan nyaman. Mengalir tenang hingga penuh dan berkelimpahan. Aku tersenyum tipis. Mendengar bisikan lembut yang tak bisa diwakilkan oleh bahasa maupun aksara.
149
Bertahun-tahun, setelah jutaan langkah, goresan luka, tangisan rindu, sakit hati, kini terbayar sudah. Tuntas. Lunas. Hatiku terpuaskan oleh paham yang tak mudah dijelaskan. Aku menatap penuh kasih pada dua huruf dari kayu yang tergolek di batu pusara. Tanpa ketakutan, kekhawatiran, maupun keinginan. Bahkan, aku kini kehabisan pertanyaan. Tak kubutuhkan alasan, waktu, dan semua yang cuma batas dimensi. Aku turut bahagia, Ayah menemui cintanya sendiri. Setiap kita juga, nanti. Pasti. Ringan, aku berdiri. Berjalan tanpa beban. Masih mengulum senyum, aku kembali ke pelataran api unggun. Menyerap senyap, menghangatkan diri. Tidak dengan kobaran api, melainkan nurani. “Ayah pernah cerita soal Neira?” “Anak sahabatnya itu? Ya, dia cerita banyak. Gadis yang baik.” “Kami akan menikah, datanglah.” Wajah lelah laki-laki itu berubah cerah. “Serius kamu? Kapan?” “Belum ditentukan. Kami membutuhkan restu Ayah.” “Ayah kamu pasti merestui,” ujarnya dengan senyuman. Aku balas tersenyum, lebar. Laki-laki tua itu tertawa lega, cahaya matanya mengguratkan buncah bahagia. Aku juga. Suara tawa kami menggema, membahana mengisi gua. Dua jiwa yang lama terpasung, kini terbang bersamaan. Retas. Lepas. Bebas. ***
150
151
152
K
ematian hanya terdiri dari perkara tanggal yang ditentukan dan orang-orang yang ditinggalkan. Selebihnya, akan melulu soal
kehidupan. Baik sebelum, atau setelahnya. Saat ini, aku belum beruntung untuk tiba di batas dunia. Tapi, akan selalu ada cara untuk bunuh diri tanpa harus kehilangan nyawa. Salah satunya, dengan menerima kenyataan, baik yang manis maupun pahit. Salah satunya, dengan tenggelam di langit. Bagi laki-laki tua sepertiku, hal itulah yang terpenting. Tanpa perasaan berat, aku mengemasi barang-barang yang tidak banyak. Bersiap kembali ke gubuk di kaki Gunung Parung. Selepas Reno pergi, aku berjanji padanya untuk mudah dicari. Tanpa pelarian, tanpa persembunyian. Terbungkus plastik, setelan baju resmi masih terlipat begitu rapi. Reno memberikannya padaku kemarin malam. Setengah bercanda, ia berkata, “Datanglah dengan baju ini, agar tidak diusir satpam.” Aku
153
hanya tertawa, satpam bukan masalah besar dibanding sorot mata warga Karagan. Setelah ransel siap terpanggul, tersisa satu hal yang harus aku lakukan. Dengan penuh perasaan, aku meraih segenggam bunga dan sebotol air di pojok gua. Beringsut memasuki lorong, menuju makam yang teronggok sendirian. Sekalipun tanpa teman, ia tidak tampak kesepian. Aku berlutut, menaburkan bunga-bunga hutan dan menyiramnya dengan air pegunungan. Makam itu terlihat segar. Aku berdoa, jiwa yang pernah mendiaminya juga merasakan hal serupa. Aku meraih satu dari dua huruf kayu yang tersandar di pusara batu. Memandanginya cukup lama. Merapikan rahasia-rahasia yang tersimpan di guratannya. Kayu berbentuk huruf W itu kuputar seratus delapan puluh derajat. Lalu, kusandarkan kembali ke tempatnya. Kini, ia berada dalam posisi dan formasi yang benar. Membentuk
W
huruf
dan J. Mandala Jayanto, adik kembarku. Seseorang yang
menyelamatkanku, lima tahun lalu. Tanpa aba-aba, memoriku berputar. Bersinar, memproyeksikan rekaman-rekaman. Pagi itu, pertama kalinya aku menginjak tanah selatan Karagan. Selepas malam yang melelahkan, aku terbangun dengan gigi dan tulang-tulang bergemeretak. Meringkuk kedinginan di bangku panjang, tepat di depan plang berkarat bertuliskan Gunung Parung, Karagan Selatan, 2446 dpl. Betisku terasa ngilu, tanda mata dari belasan kilometer berjalan kaki tanpa berhenti. Aku meringis. Perih. Lambungku juga berisik minta diisi. Hanya ada sedikit pecahan uang di dalam saku. Berebut tempat dengan
154
sepasang sendok dan garpu. Kukuatkan tekad, mengesampingkan rasa lapar. Sebelum sampai tujuan, pantang menyentuh makanan. Diawali tarikan nafas, kulanjutkan perjalanan ke permukiman di kaki Gunung Parung. Aku sepenuhnya percaya pada hal-hal tak kasat mata. Tapi, langkah dan keputusan ini jauh di luar limit kesadaran biasa. Terhubung jalinan jiwa sejak dari dalam kandungan, kami saling menemukan dengan cara-cara yang tak mudah dimengerti orang. Berbekal isyarat alam, aku menuju Mandala. Kendati ragaku menguat, jiwaku tengah sekarat. Aku kehilangan keyakinan setelah Sungai Kaliran berduyun-duyun mengairi jalan. Aku butuh ruang untuk menjauhi media massa. Aku butuh oksigen lebih banyak untuk bisa bernapas lega. Aku butuh dia untuk kuajak bicara. Kenapa harus Mandala? Ini rahasia kami. Aku dan Mandala tidak benar-benar berlepas. Ikatan tanpa simbolisasi. Kami selalu mampu saling memahami. Ketika ia memutuskan pergi dari rumah, cuma aku yang tidak terkejut, bertanya-tanya, atau marah. Aku sudah tahu alasannya dari jauh hari. Ada tugas besar menantinya di lereng-lereng selatan Karagan. Kalau bukan karena larangan Mandala, hampir saja aku nekat ikut berkelana. Tapi, dia memintaku tinggal untuk menjaga Ibu, Bapak, serta Karagan. Dia sampaikan semuanya tanpa kata-kata. Di ujung pintu, dia menatapku tajam, dan aku menangkap maksudnya. Kami saling menganggukkan kepala. Begitu saja. Aku ragu jika menyimpulkannya dengan istilah telepati. Kami tidak benar-benar bicara melalui getaran hati. Sudah kukatakan, kami hanya saling memahami. Meski memang tak bisa kusangkal, itulah muara dari sebuah komunikasi. Mendengarkan dan memahami adalah dua sisi bangun ruang yang berbeda geometri.
155
Aku percaya, bahwa setiap kita terbentuk dari kisah dan orangorang yang pernah singgah. Maka bagiku, mengunjungi Mandala sama artinya dengan memasuki pusaran diri sendiri. Ziarah. Setelah hantuhantu masa lalu menghabisiku sekali hentak, aku menarik ingatan pada sejarah yang tertanggal sangat awal. Masa-masa sebelum mengeksekusi proyek reklamasi, sebelum menyakiti orang-orang pinggiran, bahkan sebelum mengenal Gau. Orang-orang sama sekali tidak tahu, Mandala berperan besar bagi jalan hidupku, bahkan kelangsungan Kota Karagan. Orang-orang membicarakan Mandala seolah mereka hakim dunia paling bijaksana. Wira Jayanto, pengharum nama keluarga. Mereka bilang, aku walikota kebanggaan. Sedangkan Mandala, tak lebih dari pembangkang tidak kenal aturan. Meskipun ia tak pernah mempersoalkan, aku merasa tak pantas mendapat penghargaan. Apalagi, setelah pelantikan walikota, Mandala tak pernah lagi menghadiri acara keluarga kami. Aku mencoba mencarinya, melalui dimensi lahir maupun batin. Sia-sia belaka. Tak ada pertanda apapun yang kuterima. Mandala hilang. Aku terpenggal separuh jiwa. Tak ayal, orang-orang ramai menyemai dugaan, berprasangka seenaknya. Ada yang berkata, Mandala diculik makhluk halus Gunung Tanduran, mati dimakan hewan buas, keracunan tanaman, kelaparan, dan berbagai spekulasi tak bermutu lainnya. Sementara aku meyakini, bahwa dia masih bernyawa. Terbukti. Di tengah malam, saat langit sedang indah-indahnya, aku terkulai kehabisan tenaga. Sekalipun belum kutemukan kediaman Mandala, nyatanya dia lebih dulu menemukanku. Sekejap, ia muncul dan membopongku ke gubuknya. Menyuguhkan air segar pegunungan dan setandan pisang yang diraihnya dari pohon di depan jendela. Setelah sewindu tidak bertemu, aku kembali merasa utuh. 156
“Kamu mau apa kemari? Ini bukan tempat kamu.” Aku mendesah pelan, menunduk. “Kamu benar. Aku tidak punya tempat lagi.” “Berhenti mendramatisir, Wira. Kondisinya tidak seburuk itu.” “Hah? Karagan terendam, orang-orang menderita, dan kamu bilang tidak seburuk itu? Kamu masih ingat kan alasan aku tetap di Karagan dan kamu di sini sendirian?” Mandala diam, matanya yang coklat tua mengarah ke perapian. Terbantu oleh panas kayu bakar yang perlahan menjelma arang, aku mengingat-ingat kapsul waktu bayangan yang pernah kami tanam. Harapan, janji, ikrar, dan semua yang gagal kulaksanakan. Itupun jika tidak ingin mengatakan, sudah hancur berantakan. “Lalu, aku harus apa? Kamu ingin aku marah dan ikut memaki kamu seperti orang-orang? Jika tidak mampu memperbaiki, kita cuma perlu berhenti,” ujar Mandala. Aku memandanginya kalut, memetakan ingatan. Kisah ini berasal dari garis waktu yang lebih jauh kebelakang. Masih berseragam putih abu-abu, saat itu kami mangkir pada jam pelajaran olahraga. Kenangan tentang kenakalan masa muda. Memanggul tas, dengan kemeja putih menjuntai keluar, kami menuju taman kota. Aku tidak ingat, Mandala atau aku yang memulai, di antara kerumunan anak TK, kami menggenggam ranting kering, dan menggambari sebidang pasir. Gunung, lautan, dan sungai, membelah sebuah kota. Di tepinya, aku menambahkan gedung-gedung megah dan orang-orang yang bahagia. Usia kami tujuh belas tahun. Dua pemuda tanggung yang penuh impian besar. Pada titik masa itulah, kami berkhayal, membangun
157
peradaban. Alam bawah sadar mengamininya sebagai perjanjian. Aku panglima utara dan Mandala panglima selatan. Kami tidak puas menjadi punggawa, namun tak pantas menyebut diri sebagai pangripta. Maka, kami memilih panglima. Aku mencintai perairan, mengambil mandat wilayah pesisir utara. Sementara Mandala menitahkan dirinya mengabdi di selatan, daerah pegunungan. Kami berdeklarasi sebagai sepasang makhluk kembar yang menjaga keseimbangan, serta kelangsungan alam Karagan. Masa bodoh perkara utopis dan delusional. Tiga tahun berselang, panggilan pertama menuntut pembuktian. Persis peristiwa pasca reklamasi setengah jadi, luapan Sungai Kaliran menggelamkan rumah-rumah dan menjadikan kota sewujud danau raksasa. Tertuding, lereng-lereng pegunungan selatan terjangkit krisis vegetasi. Pembukaan lahan hutan, terdesak kebutuhan manusia yang tak lekang mengais kepuasan. Tanpa akar pepohonan, air terlimpas. Berhempasan memenuhi sungai-sungai malang yang mendangkal. Tanah longsor menimbun lahan perkebunan yang sejak awal menantang alam. Tanggul-tanggul gagal bertahan. Aliran coklat tua bercampur bangkai tumbuhan, keluar dari kanal, merayapi permukiman. Kekhawatiranku terjadi. Alam mengamuk, hilang kesabaran atas tindakan orang-orang yang kelewatan. Mandala tak bisa tinggal diam atau sekadar menontoni keadaan. Tanpa banyak kata, ia meninggalkan rumah, kuliah, keluarga, dan seluruh kenyamanan pusat kota. Peluk pengabdian, baginya merupakan satu realita tersisa. Ia berkata padaku suatu ketika, “Aku ingin mati sebelum mati.” Mandala membunuh Mandala dan menghidupkan jiwa lain dalam dirinya. Dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang
158
bersamaan, katanya. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya. Lantas, Mandala memilih lereng-lereng pegunungan sebagai pusara raksasa yang menjadikan dualitas itu sirna. *** Nisan batu kali dihadapanku saat ini, tidak dapat mewakili kisah Mandala yang sejati. Jernih mata air, rorak-rorak, sengkedan, dan beragam tumbuhan sempadan lebih menggambarkan rangkaian cerita dan perjuangan Mandala membuktikan janji. Atas inisiasinya, pencari penghidupan di kaki gunung mau memahami makna harmonisasi. Selaras, diliputi alam bebas. Membawa semangat seorang panglima, Mandala bergerilya. Dari Gunung Tanduran di tepi barat hingga mencapai ujung timur Gunung Parung. Berbekal pengakuan sebagai mahasiswa dan retorika bukubuku perpustakaan, ia menyentuh hati setiap kepala desa. Meski setelahnya, tidak sekalipun ia datang ke kampus untuk mengisi absensi atau sekadar formalitas belaka. Lambat laun, ia berhasil. Tidak ada lagi pembukaan lahan tanpa perhitungan. Tidak ada lagi perkebunan yang digarap serampangan. Tidak ada lagi tanah-tanah gundul yang terabaikan. Belasan bulan selepas hijrah Mandala, musim hujan tak lagi memantik ancaman. Sendu, penuh ketenangan. Sungai mengalir tanpa hambatan, hingga berpulang ke pangku lautan. Kemarau datang, simpanan air di akuifer mencukupi kebutuhan warga Karagan. Dedaunan gugur menari-nari diiringi gitar tua musisi jalanan. Kota sejahtera, orang-orang bahagia. Di wajah mereka, aku melihat senyum Mandala. Sedangkan aku, kini hanya panglima utara yang tak tahu harus berbuat apa. Aku setuju dengan Mandala, berhenti bukan berarti tidak
159
peduli. Dengan penghentian proyek reklamasi, alam punya waktu memulihkan diri. Purifikasi. Lebih baik diam, daripada merusak pada setiap gerakan. Biarlah, semua mencaci tindakan pengecut Wira Jayanto yang seolah lari. “Aku tidak merasa perlu membuktikan apa dan pada siapa. Sejak awal, eksistensi kita memang tidak nyata,” tutur Mandala, saat kutanya perkara anggapan dan pandangan orang terhadapnya. Sungguh, aku rindu rampai aksara darinya yang jarang bersuara. Dia tahu benar, cara membuat orang lain bungkam. Bisu tercerahkan, atau bisu memamah kata yang sulit dicerna akal. Kezahiran bukanlah aturan Mandala memandang dunia. Rahasia, merupakan harta besar yang ia jaga. Tak kusangka, tersembunyi pula rasa sakit yang baginya haram menjadi keluhan. Dini hari, setelah ratusan kali aku menolak pulang, Mandala tumbang. Dengan wajah pucat pasi dan bibir kebiruan. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan. Sejak wartawan berdatangan untuk menarik wisatawan, gubuk di tengah permukiman sudah lama kami tinggalkan. Lembah berselimut kabut menjadi pilihan untuk hidup tanpa gangguan. Ketika tubuh Mandala menyentak, aku merasa tercerabut dari kesadaran. Panik, marah, kebingungan. Tubuh tak berdaya itu aku teriaki terus-terusan. Mulut Mandala bergetar. Membuka perlahan. Mencoba bicara dengan tenaga penghabisan. “Unsur intrinsik dari semua yang kasat mata, jauh... melebihi yang kita kira. Kamu tahu, Wira... Aku tidak akan hilang... Hanya menempuh perpindahan. Berubah dari suatu hal menjadi... hal-hal lain di luar nalar,” katanya lirih dengan suara parau dan nafas tersengal.
160
Kurekam untai kalimat Mandala sebagai hadiah terakhir sebelum ia “berpindah”. Raganya yang rapuh tergolek lemah, senyumnya merekah, mendingin seiring waktu. Bersamaan dengan hujan yang menderas, tuntas sudah semua tugas. Di Lembah Swarga, mata coklat tua itu tidak lagi terbuka. Terpejam selamanya. *** Serpih memori tentang Mandala berceceran pada setapak yang kutempuh menuju gubuk. Hijau rumput vetiver tumbuh merapat bagai benteng pertahanan serdadu perang. Tanaman itu digunakan Mandala untuk menahan partikel-partikel tanah, mengurangi dampak gerusan air limpasan. Begitu pula dengan rimbun kaliandra yang menguasai berbagai titik lahan perkebunan. Di antara batang-batang kopi yang berbanjar, galian rorak tampak terpelihara. Rutin bersama warga, aku dan Mandala membersihkan sedimen yang tertampung di sana. Sejauh penglihatan, sayur-sayuran siap panen menyegarkan pandangan. Pendangkalan sungai akibat longsor dan erosi lereng gunung, kini tinggal sejarah yang bergaung. Kubaca dari selembar koran lokal yang tertinggal di pos empat pendakian, walikota Karagan meraih penghargaan level internasional. Indeks kebahagiaan kota meningkat tajam. Aku, panglima gagal yang tidak akan lagi dibutuhkan. Memang, kebaikan bersama tidak bisa terbangun dengan ego satu atau segelintir orang. Tak ada yang salah mundur teratur demi kemenangan seluruh pasukan. Mempercayakan panji peperangan pada panglima lain yang lebih mampu memimpin Karagan. Tanpa paksaan, menyerahkan diri untuk dieksekusi tiang gantungan. Aku terkenang karena menyerah, tapi itu bukan masalah.
161
Orang-orang akan melupakanku dengan mudah. “Pak Jay!” Sapaan seorang pemuda terdengar dari arah matahari terbenam. Kaku, aku membalas lambaian tangannya. Memanggul cangkul, ia berlari ke arahku. Tiga tahun berlalu sejak Mandala bersemayam di alam barzakh. Dengan badan semakin kurus dan kulit menggelap, aku benar-benar tampak seperti dia. Wajar. Di sini, Wira Jayanto bukanlah siapa-siapa. “Darimana saja? Sehat? Hampir dua bulan tidak kelihatan. Tapi tenang, sayur-sayuran Pak Jay sudah saya urus seperti anak sendiri,” ujarnya riang seraya menyalamiku. “Alhamdulillah. Habis bertapa di dalam gua,” jawabku bercanda. Penuh semangat, pemuda itu mengajakku ke rumah kepala desa. Katanya, seluruh warga pasti ingin menyambut kemunculan seorang tokoh yang dirindukan. Meski terkesima, aku menolak. Bukan hanya karena mereka salah orang, tapi aku yakin Mandala akan melakukan hal yang sama. Pujian dan perhatian selalu membuatnya tidak nyaman. Setelah berpamitan, aku melanjutkan langkah. Fokus menatap pintu berukir
di ujung jalan. Termenung. Lenyap dua bulan dari
aktivitas rutin perkebunan tidak kulakukan tanpa alasan. Tapi, aku harus menyebutnya apa? Firasat, isyarat, atau pertanda dari semesta? Aku butuh jeda untuk memikirkan lagi perihal entitas Wira dan Mandala. Kupikir, ditopang ratusan manusia dan hamparan ekosistem yang telah mampu berbagi ruang, tiba saatnya bagi panglima selatan untuk menanggalkan baju besi yang telah usang. Aku menahan nafas. Di gubuk tua ini, cuma ada debu dan batas waktu. Penyebab hanya perantara suatu kehendak. Kekuatan yang menggerakkan aku menuju Mandala, serta langkah Reno mencari aku. 162
Daya yang amat kita kenal, namun terpendam. Nyatanya, lima tahun menghirup keheningan, belum cukup bagiku menggali substansi yang kucari-cari. Aku tidak ingin pergi, tapi kabut gunung membawa kabar lain. Kehadiran Reno menggugat sunyaruri yang kureka sendiri. Lebih baik dianggap mati, karena tak ada tempat bagi seorang pengkhianat. Seharusnya aku tahu, sauh untukku berlabuh tak pernah berada jauh. Tami, istriku. Reno dan Sita, anak-anakku. Merekalah tambatan bagi perahu tua yang lelah merambah samudera. Penyesalan kah ini? Bukan. Ini pengakuan atas salah yang mengharuskan aku kalah. Atas kalah yang menjadikan aku berserah. Mengeluarkan batu-batu yang membebani saku. Menampik gravitasi. Terbang. Melewatkan awanawan. Tenggelam, jauh di kedalaman lubang hitam. Bukan lautan. Aku bicara soal langitan. ***
163
164
165
166
K
aragan lebih cantik malam ini. Tersenyum manis dalam siraman gerimis bulan November. Sebaris janji kokoh berpilin, bersama
doa-doa dan restu semesta. Dua nama: Neira Gautama dan Reno Arka Jayanto tertera pada rangkaian bunga nila dan jingga. Acara besar terselenggara di taman kota yang sudah lama bertransformasi menjadi balai terbuka. Orang pertama: Haruskah kita membuat acara malam-malam, Ren? Orang kedua: Tidak ada keharusan, Nei. Ini keperluan. Orang pertama: Keperluan apa? Orang kedua: Menahan Ayah lebih lama di Karagan. Orang pertama: Kamu yakin dia bukan Pak Mandala? Orang kedua: Kamu pasti mengerti, naluri hati tidak bisa dibohongi. Orang pertama: Kenapa kamu tidak mendesaknya waktu itu? Orang kedua: Aku sudah puas mengetahui dia baik-baik saja. ***
167
Seorang laki-laki agak tua datang bersama anaknya yang hampir siap menjadi dewasa. Kehadiran mereka menarik sorot fokus kamera dan ratusan pasang mata. Dikerubuti orang-orang yang tak sabar ingin berjabat tangan. Selepas mengucap salam dan selamat untuk kedua mempelai, mereka menuju stan penyajian es krim. Orang ketiga: Rivan, mau es krim rasa apa? Orang keempat: Durian, pakai cone. Kalau Bapak mau apa? Orang ketiga: Bapak juga durian, pakai gelas plastik saja. Orang keempat: ... Orang ketiga: Kenapa kok wajahnya murung? Orang keempat: Tapi... Bapak janji ya. Orang ketiga: Janji apa? Orang keempat: Sampahnya tidak dibuang sembarangan lagi. Orang ketiga: ... *** Terdengar kasak-kusuk dari berbagai penjuru. Seorang laki-laki dengan kulit terbakar matahari melangkah ragu dari halaman, menuju pelaminan. Setelan resminya yang tampak baru terlihat kontras dengan sepasang sepatu lusuh yang ia kenakan. Suasana mendadak hening. Bisik-bisik pelan menguasai ruangan. Orang ketiga: Pak Wira? Sudah lama sekali tidak bertemu. Apa kabar? Orang kelima: Saya bukan Wira, Pak. Saya adik kembarnya, Mandala. Orang ketiga: Oh, maaf, maaf, saya salah orang. Pak Wira tidak hadir? Orang kelima: Wira...tidak bisa hadir. Orang ketiga: Ini kan pernikahan anaknya. Dia belum kembali?
168
Orang kelima: Dia... Orang ketiga: Kenapa? Orang kelima: ... tidak bisa hadir. *** Belukar di taman balai basah berkilauan, menyimpan kehidupan. Di balik rimbun pandan, sebuah percakapan tidak dapat terdengar. Mereka bukan bagian dari acara. Mereka dua penjaga yang tak terjangkau pandangan mata. Makhluk keenam: Ketang, kamu yakin dia orangnya? Makhluk ketujuh: Tidak juga. Wajahnya sih mirip. Tapi, warna kulit dan gaya rambutnya jauh beda. Makhluk keenam: Ya sudah. Makhluk ketujuh: Hah? Begitu saja? Kamu tidak ingin tahu? Makhluk keenam: Untuk apa? Makhluk ketujuh: Kamu tidak dendam dengan kematian Kevin? Makhluk keenam: Dendam? Tidak ada gunanya. Kevin kan tidak akan kembali. Memaafkan lebih cepat memulihkan hati. Makhluk ketujuh: Iya sih, kamu benar. Pemuda itu hanya perantara bagi ketetapan Tuhan. Lagipula, kakakmu tidak mati, hanya berpindah dan berubah menjadi hal lain yang tidak kita ketahui. *** Senyap acara menciptakan kecanggungan luar biasa. Sepasang kaki gemetaran di hadapan dua orang yang tengah bersemu merah muda, penuh kebahagiaan. Dia berhasil mengulas senyuman, tapi tangannya yang dingin tidak mampu menyembunyikan ketegangan.
169
Orang kelima: Selamat ya, Neira dan Reno. Kalau Wira ada di sini, pasti dia sangat bahagia. Orang pertama: Terima kasih, Pak Mandala. Orang kedua: Terima kasih, Om Jay. Kau tampak beda memakai baju itu. Sangat mirip dengan Ayah. Orang kelima: Benarkah? Haha, wajar saja. Kami kan kembar. Orang kedua: Iya, wajar saja kami tertipu dan sulit membedakan. Orang kelima: ... Orang kedua: Lupakan saja. Menginaplah meski hanya satu dua hari. Sita dan Ibu terlalu merindukanmu. *** Sepasang kaki lain berjalan kaku. Tepat di belakang pria tua yang segera menghilang dari tatapan orang-orang. Kaki itu milik seorang gadis, dengan gaun serba hitam dan rambut ikal tergerai bebas. Nyaris tak berkedip, ia mengamati wajah pria yang bersanding dengan kakak perempuannya. Orang pertama: Reina, aku tidak menyangka akhirnya kamu pulang juga ke Karagan. Orang kedelapan: ... Orang pertama: Ren, ini Reina. Adikku yang tinggal di Jakarta. Kalau bukan karena acara ini, dia pasti masih terkunci di meja kerja. Orang kedua: Sepertinya kami pernah bertemu. Iya kan? Orang kedelapan: Kamu... Jay kan? Orang kedua: Ah, aku ingat. Kamu pernah ikut rombongan Yovan di Gunung Parung kan? Orang kedelapan: Kak Neira, kenapa menikah sama Jay? Bukan Reno? 170
Orang kedua: Terdengar klise, tapi... dunia memang sempit ya. Orang kedelapan: ... *** Kursi-kursi sudah dibereskan. Gulungan karpet warna lembayung tersandar di pilar. Dua orang itu berhadapan dalam diam. Seorang pria tua berkulit gelap menatap dalam perempuan berwajah lelah dengan kerutan yang tersamar oleh riasan. Hati mereka sibuk memutuskan bahasa yang akan digunakan: kata-kata atau sekadar kilatan mata. Orang kesembilan: Wira... Orang kelima: ... Orang kesembilan: Kamu Wira, kan? Orang kelima: Aku Manda... Orang kesembilan: Jangan berkata bodoh. Kamu bisa berbohong pada siapa saja, tapi tidak padaku. Orang kelima: ... Orang kesembilan: Kamu sudah di sini, aku mohon jangan pergi lagi. Orang kelima: Maafkan aku, Tami... Orang kesembilan: ... Orang kelima: ... Orang kesembilan: Jika kamu pergi, apa aku boleh menunggu? Orang kelima: Menunggu akan lebih menyakitkan bagimu. Orang kesembilan: Tidak, Wira. Kamu tahu kan, aku selalu lebih suka menunggu. Orang kelima: Kenapa?
171
Orang kesembilan: Karena... dengan begitu, aku merasa kamu selalu menuju pulang, dan belum berlalu hilang. Orang kelima: ... Orang kesembilan: Jawab aku, apakah kamu akan pulang? Orang kelima: ... Orang kesembilan: ... Orang kelima: Aku sudah pulang. ***
172
Malam anggun menepi, bintang-bintang bersinar terang di ujung kerlingan para perempuan. Gerimis di bawah lampu jalan meluruhkan banyak pertanyaan. Dalam perjalanan menuju pulang, tidak ada yang pernah hilang. Semua hanya kembali... dari tempatnya datang. ***
173
174
Alhamdulillah. Masyaa Allah, laa quwwata ilaa billah... Terima kasih kepada keluarga bawaan takdir, orang-orang baik yang telah diutus untuk mengurus saya sejak kecil. Juga kepada suami yang rela istrinya sulit dilepaskan dari meja kerja. Dan, keluarga suami yang telah menerima saya apa adanya. Terima kasih pula untuk mereka yang mengajari dan percaya bahwa saya bisa menulis. Mereka, permulaan inspirasi hingga terlahir buku ini: Ibu Betti Alisjahbana, Mas Shafiq Pontoh, Mas Andrianto Soekarnen, Mas Imam Santoso, Mbak Sri Pujiyanti dan Mbak FDV Wulansari. Semoga bahagia dimanapun berada. Juga kepada sederet orang luar biasa yang telah meninggalkan jejak di halaman 5 dan 6. Komentar dan testimonium kalian begitu berarti. Tak lupa, kepada pembaca blog Monolog Tan Panama. Jika benar dalam buku ini terkandung kebaikan, terima kasih telah membantu meneruskan! Salam hangat,
175
176
I am not a person. I am a thought, a wandering mind. *** Hidup dan bernaung dalam otak seorang perempuan di pulau Jawa yang lahir pada 11 Rabiul Akhir 1414. Alumni Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung angkatan 2009. Bermata gelap, dengan kornea pemeluk rahasia. *** Blog: monologtanpanama.wordpress.com Kontak:
[email protected]
177
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rūm: 41)
178
179
180