Pelabuhan KAMIS pekan lalu selepas pulang kuliah aku langsung ke pelabuhan masih dengan atribut lengkap anak kampusan. Paman dan istrinya akan tiba dari Kalimantan sekitar jam dua siang. Tujuan mereka ke sebuah kota di Kalimantan itu adalah menikahkan anak perempuannya yang dapat suami orang Dayak. Sebenarnya mereka berencana naik kapal terbang, tapi karena lambat membooking, tiket pun ludes sehingga terpaksa mereka pakai kapal laut. Jadwal pesawat dari sana kesini hanya tiga kali seminggu. Selasa, Rabu, Kamis. Maklumlah kotanya tidak tergolong besar. Jarang penumpang. Hanya satu perusahaan pesawat yang mengudara. Mahal benar pula tiketnya. Padahal tepat hari minggu besoknya, anak mereka yang lain akan menikah. Tapi akad dan resepsinya tidak diadakan di luar kota meskipun calon istrinya asli Tulung Agung. Calon besannya yang datang ke sini, Surabaya. Tahun ini memang musim nikah bagi keluarga kami. Terhitung lima sepupu dan satu paman yang menikah tahun ini. Di perjalanan menuju dermaga aku sempat diserapahi sopir angkot karena terlalu ceroboh saat memotong jalan untuk putar balik. “Goblok!!!” ujarnya lantang. Beberapa pengendara lain yang kulihat di sekitarku tak peduli dengan kejadian sepele itu namun beberapa yang lain tertawa ringan terkesan mengejek. Aku pun demikian. Menertawakan kesembronoanku dan kenaikpitaman sang sopir. Tiket masuk ke area pelabuhan tiga ribu rupiah bagi satu orang termasuk sepeda motor. Kalau naik kendaraan roda empat hitungannya per-orang tiga ribu lima ratus. Sehabis memarkir kendaraan aku langsung ke gerbang sebelah timur. Setelah turun dari kapal, biasanya para penumpang keluar lewat pintu itu. Aku berniat untuk langsung nyelonong masuk agar bisa menyambut pamanku tepat saat mereka baru turun dari kapal.
Jadi aku bisa ikut mengangkatkan barang bawaan mereka. Meski mereka biasa memakai jasa porter, siapa tahu ada beberapa tas ringan yang mereka tenteng yang memungkinkan untuk kuambilalih membawakan. Tapi langkahku tertahan saat seorang anak pamanku memanggilku.. “Roy!!” teriaknya. menghampirinya.
Satu
kata
itu
cukup
membuatku
“Kau bawa mobil?” tanya Bang Toha setelah aku tepat di hadapannya. “Enggak Bang. Aku pulang kuliah langsung ke sini. Mobilnya dipakai kakak. Memangnya Abang nggak bawa?” aku balik tanya. “Mobilnya dipakai Sandi, jemput calon mertuanya. Tapi gampanglah, nanti kalau sepeda motor kita nggak cukup biar mereka naik taksi aja. Dari awal niatku juga begitu” ucapnya santai seraya menyodorkan harian lokal kepadaku. Namun aku sedang malas membaca sehingga koran itu hanya ku pegang lalu aku pun duduk di samping Bang Toha, tidak di bangku, hanya di logam menjulur yang merupakan pagar rendah yang membatasi antara selokan dan halaman pelabuhan. Pelabuhan begitu ramai. Tak jauh beda dengan terminal, bandara, atau stasiun. Pedagang koran dan asongan yang menjajakan barangnya. Calo-calo tiket yang agresif. Sopirsopir taksi gelap dan terang yang berjaga-jaga di sekitarku menanti penumpang kapal yang baru keluar, lalu menawarkan harga dan tempat tujuan. Sekelompok SPG alias Sales Promotion Girl yang tersebar berkeliaran berpakaian seragam menawarkan produk minuman botol kaca kecil penambah stamina. Ada juga kelompok yang lain menawarkan permen mint. Dua kelompok itu sempat menawarkan barangnya kepadaku. Tapi kutolak. Seorang berwajah sedikit garang disampingku juga mereka tawari. Dia menyempatkan diri menggoda SPG-SPG itu. Sesekali mencari kesempatan mencolek-colek bagian tubuh wanita tersebut. Begitulah memang resiko pekerjaan mereka. Kalau ada pekerjaan
lain yang lebih layak, aku yakin mereka tidak akan memilih pekerjaan seperti itu. Ketidakteraturan tata letak dan sarana ketertiban di pelabuhan juga tidak jauh beda dengan terminal. Sampah masih bergelimpangan. Kesadaran hidup bersih masih kurang. Bahkan saat itu aku melihat seorang berseragam yang seharusnya menjadi contoh bagi yang lain membuang puntung rokok dihadapannya seraya menginjak ampasnya yang masih menyala, padahal tak sampai tiga langkah di kanannya keranjang sampah bertengger gagah nampaknya baru diganti. Beberapa meter disampingku seseorang malah membuang bungkus rokok ke selokan pelabuhan. Repot memang. Bila banjir salahkan pemerintah. Badan sendiri sengaja menyumbat saluran air. “Roy, itu Ramon” Bang Toha memecah keterpakuanku. “Kayaknya dia bawa mobil nih Bang”. “Harusnya sih begitu, dia tak bilang mau ke sini. Kalau tahu begitu kan aku bisa menumpang”. Masih satu meter di hadapan kami, Ramon sudah mulai kecapan “Gila! Diparkiran tadi seru. Dua orang berkelahi seperti di film Jackie Chan. Sampai naik-naik ke mobil segala. Melompatlompat. Kayaknya gara-gara enak dilihat, orang-orang jadi bengong lantas lupa kalo harus melerai”. “Siapa mas?” tanya seseorang di samping Bang Toha yang ternyata turut menikmati sekelumit cerita Ramon. “Nggak tahu. Tapi yang satu sih pake rompi tukang parkir”. “Paling-paling rebutan lahan” orang itu menanggapi. ”Mungkin juga sih. Tapi nggak tahu lah”. “Hei, kamu bawa mobil?” Bang Toha mengalihkan pembicaraan. “Iya Bang, tadi kan kejadiannya saat aku markir mobil”.
“Sandi sudah pulang?”. “Belum. Nanti sore katanya Bang” Bang Toha hanya mengangguk. “Sekarang harga-harga naik semua. Kencing aja dua ribu” keluh Ramon yang mengaku baru buang air selepas memarkir mobil dan menyaksikan perkelahian tadi. “Makanya Mon, kalo sedekah jangan dua ribu. Jangan samakan harga ke toilet dengan harga ke surga” sambutku. “Benar juga tuh Roy” Ramon menyetujui pendapatku. “Akhirnya tadi yang bertarung gimana Mon?”. “Yah dipisahin orang-orang juga sih Roy. Kebetulan pas ada polisi. Dibawa deh dua-duanya”. Bang Toha melepas pandang ke arlojinya. “Sudah jam setengah tiga. Nggak biasanya molor begini” “Abang tadi sudah tanya informasi kepastian kedatangannya?” tanyaku. “Sudah. Katanya ya jam dua” “Kita masuk aja deh. Kita nunggu di sana aja” “Emang boleh Roy?” Ramon heran “Ya Boleh” “Tapi itu ada tulisan bahwa batas penjemput cuma sampai di depan sini kan” “Itu kan cuma tulisan Mon. Formalitas peraturan” “Yang benar Roy?” “Kamu nggak pernah jemput ke sini?” “Nggak tuh”
“Pantas nggak tahu” “Ayo” ajak Bang Toha. Kami pun masuk lewat pintu itu untuk mendekatkan diri ke pemarkiran kapal. Seperti biasa, para petugas tidak berusaha menghalangi kami. Tulisan di depan cuma tulisan. Bukan peraturan. Atau mungkin aturan lama yang sudah tidak dipakai tapi sampai sekarang tulisannya belum sempat dienyahkan. Kami mendekati bibir dermaga. Banyak kapal mengambang berhenti atau berjalan di air sekitar kami. Entah kemana tujuannya. “Sepertinya itu kapalnya, Bang” Ramon menunjuk ke sebuah kapal motor besar yang terlihat di kejauhan sekitar seratus meter menghampiri tepi pelabuhan. “Benar. Itu kapalnya” “Kita nunggu di sana aja Bang” aku mengajak mereka menunggu di tempat teduh. Mereka setuju. Porter-porter dan petugas pelabuhan menyambut kedatangan kapal itu. Mereka mendorong sebuah tangga berundak raksasa guna menghubungkan pintu keluar kapal dengan dasar dermaga. Jarak lima puluh meter ABK melempar seutas tali berpemberat ke dermaga. Tali itu tersambung dengan tali yang lebih besar. Tali berukuran kecil tadi hanya berfungsi untuk memudahkan yang besar mencapai dermaga, maka diikatkanlah tampar itu ke paku bumi yang tertancap di sana. Terparkirlah kapal. Para porter berdesak-rebut ke atas kapal. Menjemput penumpang yang butuh jasa mereka. “Porter-porter dulu berbeda dengan sekarang. Dulu mereka banyak dicari. Sekarang mereka yang mencari. Dulu para penumpang malas mengangkat barang sendiri. Tentu karena uang mereka masih dan banyak ada untuk membayar porter. Tapi sekarang, baik penumpang atau porter sama-sama sukar mengais uang. Jangankan membayar porter, bisa mudik bertemu keluarga
saja sudah syukur” Bang Toha berucap. Kami percaya dengan ucapannya. Sejak kecil ia yang paling sering berlayar. Ke rumah kakek yang di Kalimantan atau ke kampung nenek yang di Sumatra. “Itu mereka Bang” “Lambaikan tanganmu Mon” pintaku “Heii!!” Ramon melambai. Paman dan Bibiku tersenyum. Tak ada barang bawaan tertenteng di tangan atau bahu mereka. Mereka menggunakan jasa porter. Kalau mampu membayar memang lebih baik begitu, bagi-bagi rejeki, demikian salah satu filosofi mereka yang pernah kudengar. Kami lalu bergantian bersalaman dengan kedua orang tua kami. “Ayahmu nggak ikut Roy?” “Nggak Om. Sibuk katanya” “Wah dia itu bagaimana. Janjinya mau jemput” Pamanku sedikit berkeluh. “Tapi ngomongnya kan sambil bercanda Mas” sahut Bibiku. “Iya sih. Eh, kalian bawa mobilkan?” “Iya pa” “Baguslah” “Sampai di sini aja pak porter. Biar mereka yang bawa ke mobil” Bibiku meminta kedua porter yang mengangkut barang bawaan mereka untuk menyerahkan semua bawaannya pada kami. “Nggak jadi sampai mobil bu?” “Sudah di sini aja. Anak segini banyak apa gunanya” “Oh iya Bu. Terima kasih” Kami bertiga mengambil alih pembawaan barang. Berbagi serata mungkin. Tidak ada yang
paling berat karena barangnya memang sedikit. Hanya empat tas berukuran sedang. Laluy terlihat porter tadi kembali merangsek naik ke kapal. Mencari pelanggan lain. “Porternya diberi berapa Ma?” tanya Ramon “Standar sih lima puluh ribu berdua. Aku sih mau beri lebih, tapi kata papa mu nggak mendidik” “Tapi benar kan, kalau memberi terlalu banyak nantinya mereka selalu mengharap banyak dari penumpang. Padahal nggak semua penumpang bisa memberi banyak” sambut Paman. “Benar itu Pa. Papa memang pintar. Jenius. Aku senang punya papa kayak gini” “Aslinya niatmu mengejek aku, Mon” Paman melengos “Nggak Pa, aku serius” ujar Ramon yang sering benar bercanda dengan ayahnya
sambil tertawa ringan.
“Ah sialan kamu” Tidak terasa kami sudah berada di depan mobil. Aku dan Bang Toha kembali berpamitan dengan para calon pengguna mobil tersebut, kami tak bisa satu kendaraan sebab kami membawa sepeda motor masing-masing. Mereka semua berpesan agar kami berhati-hati di jalan. Sebenarnya tanpa dipesani pun kami tetap akan hati-hati. Tapi tak apalah, itu kan salah satu tanda mereka peduli pada kami.–
Sepatu Part I UNAIR NEWS – “Buk, aku mau beli sepatu. Yang lama sudah rusak” “Yasudah, itu ambil uangnya di bawah koran dalem lemari”
Dini mengikuti petunjuk ibuknya, namun urung. Dia
kembali.
“Buk,ndak cukup” “Lha kok bisa ndak cukup. Wong biasanya segitu bisa dapet dua pasang sepatu” “Aku mau yang kayak temenku” Waktu itu Dini berjanjian akan kerja kelompok. Teman – teman sekelompoknya sepakat akan mengerjakan di ruang belajar lesehan. Untuk masuk ke ruang itu, harus melepas alas kaki dan meletakkan di rak besar luar ruangan itu. Dia sempat ragu meletakkan sepatunya sederet dengan teman – temannya. Di sana berjejer sepatu – sepatu bermerek mahal. Sepatu Dini hanya flatshoes tipis yang akan mengelupas setelah dipakai tiga bulan. Akhirnya Dini meletakkan sepatunya jauh dari deretan sepatu teman sekelompoknya. Sayangnya, di deretan lain Dini menemukan merek sepatu yang juga tergolong mahal. Apa hanya dia yang memakai sepatu murah ke kampus? “Sepatu kayak apa to nduk?” Dini diam. Dia sadar keterbatasannya. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Sementara ayahnya seorang guru honorer. Dia beruntung bisa kuliah dengan bantuan beasiswa. Pendapatan kedua orangtuanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari. Terkadang mungkin ditambahi dari beasiswa Dini. Rasa – rasanya Dini tak pernah menikmati uang beasiswanya. Dia menyerahkan sepenuhnya uang itu pada ibuk. Ibuk lebih berhak mengaturnya. Dini tak masalah. Tapi untuk urusan sepatu ini, Dini menjadi sedikit pusing. “Yasudah Buk, aku belinya kapan – kapan aja.” “Loh kok gak jadi to?” Ibuk hanya bisa tersenyum atas tingkah Dini. Dalam hati sebenarnya ibuk merasa bersalah. Ibuk merasa kecewa tidak bisa memberikan yang anaknya inginkan. Ibuk benar – benar
sedih, sayangnya dia hanya bisa diam. Keadaaan tidak kompromi padanya. Semua orangtua selalu ingin mewujudkan keinginan anaknya. Bukan semata – mata untuk balas budi di kemudian hari. Lebih dari itu, orangtua selalu ingin melihat anaknya bahagia. Namun ibuk tidak mampu.
bersambung
Penulis: Tsurayya Maknun Mahasiswa Psikologi
Tentang Kebuntuan Itu II UNAIR NEWS – “Kenapa kau memandangiku begitu”. Muka lonjong ini ganti aneh, ia menatapku seperti seorang psikolog. Entah apa yang ia tulis, tapi ia ulangi tingkahnya hingga beberapa kali. Memandangiku sejenak menulis, dan kuhitung lebih dari lima kali hingga rentetan bait tulisan penuh mengumpulkan sari pati isi ke dalam kertasnya itu. “Bagaimana ?” “Tak ada order lagi.” “Sudahlah, jawabannya akan kita tunggu kapanpun, semua tak ada yang akan mau merendah” “Aku keluar dulu” tiba-tiba ada teriakan itu terdengar, salah seorang dari kami itu terlihat mulai tak sabaran. Yang lain bertanya. “Untuk apa ?” “Waktu sudah mendesak, kita dikejar tempo. Kalau rapat resmi
esok hari tidak menghasilkan keputusan. Ini sama saja gagal” ucapnya dengan ekspresi kelelahan. “Lebih baik gagal”, si lonjong yang sibuk tadi kini ikut menambah kebuntuan. “Tanggungjawab kita bukan untuk gagal atau bersepakat, kita harus memilih integritas dari pada menuruti order-order yang beresiko tadi” “Apa kita akan mengambil resiko ?” Lonjong berseru tegas. “Iya, lebih baik disalahkan atau kita bubar. Itu lebih mulia”. Intonasi terbata-bata “I-N-T-E-G-R-IT-A-S” “Tidak mungkin kita mengambil keputusan yang bermasalah. Mungkin tentang integritas tapi itu bermasalah dan juga menimbulkan permasalahan” Jam 12.30. Waktu mulai larut, penghuni kafe juga makin sepi. Malam mulai terasa dingin, sepoi deburan titik-titik halus dari embun AC membasahi dinding kaca depan kafe. Ku kenakkan jaketku untuk menghalau kantuk. “Sampai pagi-pun kita tidak akan sepakat.” “Adakah besok, seorang ksatria yang berjiwa baja untuk mensudahi segalanya” “Jangan berharap. Dirimu saja masih kolot dan keras, bagai karang yang kesepian di terpa deburan ombak, bukan makin mengalah, justru malah memecah-mecah partikel kokoh deburan air yang digerakkan oleh energi gelombang tersebut” Karena memang tidak ada kesempatan untuk menyepakati sebuah keputusan yang berarti. Malam sepanjang-panjangnya di ulurulur oleh perdebatan yang melahap dari detik demi detik waktu, dari es teh sampai kopi pengulur kantuk, dari suguhan potato hingga makanan ringan yang sama sekali tidak mengenyangkan isi perut.
Ujian untuk memutuskan, diputuskan, dan untuk menjadikan musyawarah mufakat sebagai konsensus penting, atau untuk mensudahi gelap mata kita tentang voting yang meluap-meluap hingga menimbulkan hasil kembar. “Serahkan saja semua kepada yang kita percayai punya otoritas”. Karena kita tidak percaya pada kekuatan diri sendiri, kepada kemurnian objektivitas nilai tentang ukuran kebaikan dan penciri keunggulan yang harus diberat sebelahi. Tidak salah golongan atau keputusan itu, tapi salah pada rumus kejujuran yang kita belakangi. Nurani sejati tak akan pernah berbohong. (*) Penulis: Sukartono (Alumni Matematika Universitas Airlangga) bersambung
Tentang Kebuntuan Itu I UNAIR NEWS – Obrolan ini nyaris saja berakhir. “Akhiri sajalah, percuma”, takdir tidak diubah dengan kata-kata, melainkan harus menggunakan tindakan. Si empunya kursi itu mulai berdiri. “Kursiku sudah terasa panas”, tas yang ada di atas meja ia kenakan. Yang lain dengan mata awas mengawasi pergeraknnya. Ia sudah tidak betah, dan akan bergegas pergi. Tiba-tiba lelaki yang duduk di seberang tatapannya bersuara menahan, “Tunggu”. “Tak usah terburu-buru”, sambil melirik jamnya, dengan sedikit membersihkan debu yang mengotori kaca arloji itu, lelaki tadi mencoba membujuk. “Ini masih sore.” Ia sepertinya hanya menggertak pergi.
Ia tertegun berdiri, belum berbalik membelakangi kawankawannya. Raut wajahnya makin kusut, kerutan di kepalanya hampir-hampir membalikkan usianya yang masih muda. Bibirnya menyatu dalam tanda tanya antara cemberut dan tersenyum sinis. Dengan pelupuk mata yang hampir kosong, sesekali ia tolehkan kesan bahwa dirinya sedang menunggu. Ia pandang satu persatu mereka yang tanpa gairah. Semua serempak menjadi makin lesu. Isi kepala yang jejal dan berat, sudah melunturkan segalanya. Ia hembuskan nafas panjang penuh kesabaran. “Duduklah kembali” lelaki tadi menghampirinya, kedua pundaknya di pegang lelaki itu, “Ayolah” kata lelaki itu sambil berjalan mengarahkannya untuk duduk kembali ke kursinya. Ia tak melawan dan pasrah kembali ke tempatnya, bisalah kalau dianggap ia sedang menahan kecewa. Di minggu ini, mungkin kebuntuan itu akan terpupus ketika semua sudah mulai putus asa.Tak ada yang berani untuk melawan. Kini ia melirik kearah depan lurus. Ia mulai sumeleh, digapailah kopi sisa yang tersaji di hadapannya. “Itu tinggal ampas” ungkapku dalam hati. Mungkin getir, rasa pahit dan gelap kopi yang ia minum adalah isyarat bahwa saat ini yang sedang berlangsung adalah suguhansuguhan yang pahit berampas. Suguhan tanpa pilihan lain kecuali warna gelap, kecuali rasa perasaan yang sebenarnya tidak benar-benar akan mengobati kehausan itu sendiri. “Siapa yang mau berkorban ?” “Tidak ada” “Apa kita takut ?” “Kita benar-benar takut pada diri masing-masing” “Ini masih tidak jelas”
Pada pembicaraan tersebut, ia malah terdiam saja, mendengarkan sambil bersandar di dinding yang membatasi antara ruang luar dan bilik lain dalam kafe itu. Ia pejamkan matanya sambil mengayun-ayunkan kepalanya secara ritmis namun lembut, sesekali ia menjedukkan bagian belakang kepalanya ke dinding yang terbuat dari asbes itu, dengan wajah terpejam yang mendongak ke atas. Tangannya yang ada di meja juga ia ketukketukkan penanda bahwa sebenarnya ia tidak sedang tidur. Dengan berat, ia keluarkan suaranya lagi, kali ini agak serak. Ia mendehem. “Jangan pernah merasa yakin pada kepasrahan. Kehebataan kata-kata dan mantra-mantra gagasan hanya bisa kita puji kalau terbukti. Tapi kalau terus kita abaikan maka selamanya kita tidak pernah tahu, apakah gagasan ini tepat atau salah.” Diantara mereka menyela. “Lantas apa yang harus kita ambil, semua buntu.” Lelaki yang tadi menolak pasrah. “Selamanya kita tidak akan pernah tahu jika kita selalu memilih kalah. Kita harus bisa mengambil keputusan.” Lagi. “Jangan kau anggap dengan lari dari masalah semua selesai. Belajarlah mengambil keputusan.” “Iya. Tidak mungkin kita melimpahkan sesuatu keputusan dengan asumsi bahwa kedaulatan kita saat ini adalah harga murah, meski segalanya memang kita niati untuk sepakat tentang ketidaksepakatan” Seorang yang ada di sampingku, yang dari awal memilih mendengar saja, kini saatnya ia bicara. Si muka lonjong ini mungkin punya alternatif.Mulailah ia membuka-buka tas dan mengeluarkan sebatang pensil. Kertas yang ada di depanku di raihnya. “Apa yang kau tulis itu” lirih tanyaku padanya, berharap yang lain masih fokus.
“Nggak” jawabnya. bersambung….
Opera Meja Kerja UNAIR NEWS – Derit pintu tetangga memecah hening. Sialan. Tidurku terganggu. Siapa pula manusia yang tak tahu aturan itu? Tikus-tikus berlarian di loteng menambah gemuruh kesenyapan malam. Suara berkeletak-keletuk dari rumah sebelah menyumbang kemeriahan. Pasti itu Si Penulis amatiran yang bermimpi jadi jutawan. Sayang, dia tak pernah membaca. Kerjanya hanya mengeluh sana-sini bila tulisannya ditolak penerbit. Dasar pemalas besar. Bagaimana ia bisa menulis dengan baik kalau tidak pernah membaca? Tuanku sedang pergi entah kemana. Kapan akan kembali aku tak tahu. Hanya satu dua nyamuk yang masih berkeliaran. Mereka menemaniku dalam koor yang begitu sumbang. Sudahlah, bangsa nyamuk datang untuk mengurangi jumlah manusia. Khususnya manusia-manusia yang merasa berguna, tapi nyatanya hanya menjadi beban dunia. Lihatlah apa yang terjadi diluar sana! Kudengar langkahlangkah berat dan terseret di depan rumah. Pasti itu si Kuncung, tetangga depan rumah. Aku yakin pula, yang membuka pintu tadi adalah emaknya. Oh, maafkan kelancanganku menyebutmu sial, Mak Edah. Si Kuncung adalah pekerja harian di proyek pembangunan sebuah mall. Kata tuan, mall itu digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di kota ini. Aku tidak bisa membayangkan seberapa
besar gedung itu. “Ya Allah, kamu jam segini baru pulang. Bau apa ini? Kamu minum lagi?” Mak Edah, berdiri di ambang pintu mengelus dada. “He, nggak usah ikut campur. Sana minggir!” Kuncung mendorong Mak Edah hingga terjengkang. Keterlaluan si Kuncung. Ah, aku harus menolong Mak Edah. Tapi bagaimana caranya. Aku tidak bisa menolongnya. Ya Tuhan, tolonglah. Aku merasa sangat berdosa karena tidak bisa menolong wanita tua itu. Ibu si Kuncung yang begitu baik dan sabar. Kuwalat kau Kuncung! Maaf karena sumpah serapahku. Aku tak tega melihat Mak Edah. Tapi aku bisa apa? Ya Tuhan, untuk sekali ini saja, aku ingin berlari menolongnya. Tangisku pecah juga pada akhirnya. Aku tak sadar berapa lama aku menangis hingga tak sadarkan diri.Yang aku ingat, begitu terbangun sinar matahari sudah memenuhi ruang kerja Tuanku. Rumah besar dua lantai ini kembali menelan riuhnya kejadian semalam. Tergantikan suara ribut yang lain. Tuanku yang bermata sendu sudah datang. Ah, apa tuanku semalam tidak tidur? Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menggantung dibawah matanya. “Kemana kamu semalam, Pak?” Tuan yang satunya bertanya dengan garang. Ah, selalu ingin menutup telinga disaat demikian. “Banyak rekan seangkatan kuliah yang berkunjung ke kota tadi malam. Kami ngopi dan diskusi di pos ronda.” “Diskusi apa? Kerja jadi camat aja sok diskusi.” “Kita membahas masalah rakyat.” “Masalah rakyat? Omong kosong!” Tuankuberlalu tanpa meladen omelan bininya yang terus berkumandang. Ingin sekali aku berteriak. Hentikan
pertengkaran kalian. Asal kalian tahu, semalam tetangga depan rumah teraniaya, apa kalian tak peduli? Tuanku berdua itu sama saja. Sama tidak warasnya. Yang satu menjadi camat karena modal ludah tajam yang menyembur kemanamana. Berdiri di barisan paling depan dan berteriak lantang mengenai kesejahteraan rakyat. Namun, apa tindakan nyatanya? Sebelum pemilu ia bersabda, “Aku akan sejahterakan seluruh rakyat. Amanah rakyat akan aku perjuangkan”. Selepas pemilu ia lupa diri. Barang rumah tangga habis dilalap monster koarkoar, kampanye gelap. Jadilah diri rugi menanggung hutang. Balik modal jadi tujuan, amanah rakyat terabaikan. Tak beda jauh memang dua tuan itu. Apa kata Tuan satunya dulu, menjadi pengayom wanita? Bah, wanita-wanita daerah ini masih saja menjadi buruh di negerinya sendiri. Aku kembali sedih teringat tetangga depan rumah. Betapa para pemakai seragam menelantarkan keduanya. Tuan satunya melempar selembar kertas pada suaminya. Pasti tagihan hutang. Belanjanya banyak tak keruan tiap hari. Tuanku menggebrak meja. Menggeser tangan besarnya ke kanan dan kiri. Tuhan, tangan penguasa. Beku merambat ke arahku. Ragaku berdentum pada dingin yang menggigit. Aku menggelepar mengikuti arus landai.Sekian detik. Ah, Tuhan Maha Adil. Aku terpejam sesaat setelah teriakan Tuan satunya. “Bapak! Ya Tuhan! Tolong! Noni! Bapakmu pingsan terpeleset tinta.” (*)
Piramida Warna Part III UNAIR NEWS – Dari seorang teman. Katanya tadi malam ada sebuah kecelakaan, korbannya salah satunya adalah adik kos kita dulu. Memang segalanya tidak bisa diprediksi. Waktu memutar tanpa perlu seorangpun mampu mengaturnya. Katamu : “Senatiasalah dalam kewaspadaan penuh, dimanapun juga dan dalam situasi apapun juga”. Kemudian kau abadikan nasihat biimplikasimu “Tiada jaminan dalam kewaspadaan dan akan lebih tidak terjamin jika tidak waspada” Di konteks cerita yang lain, mungkin aku juga perlu memberimu kabar yang bertolak belakang dari cerita di awal. Kali ini kabar itu datangnya dari salah seorang anak binaan kita dulu, Ardi namanya. Petikan pesannya bunyinya begini “Orang miskin boleh kuliah, Kak !” itu isi pesan pertamanya. Penasaran, kubalas tanya : “Siapa orangnya ?” Emoticon balasannya, menandakan dia sedang senang sekali. Dan dilanjutkan “Alhamdulillah lolos Bidikmisi di SNMPTN kak.” Ia girang gemilang dan katanya kali pertama yang dikabari adalah aku. “Terimakasih doa dan motivasinya selama ini kak. Salam untuk yang lainnya. Aku kagen !” Memang kebahagiaan terbelah di beberapa kesempatan dengan kabar lainnya yang mungkin tidak pula membahagiakan. Kalau kamu ingat, salah seorang teman kita dulu punya nasib yang agak mirip dengan Ardi. Sama-sama dalam ekonomi sederhana, dan akhirnya kuliah lewat beasiswa pula. Kau tahu sendirikan betapa tentangan keluarga sempat merintanginya.
Ia sangat sulit meyakinkan ayahnya, dan Ibunyapun tak sanggup membujuk ayahnya yang keras itu. Dengan serba ketiadaan kita patungan menampungnya sementara hingga beasiswanya turun. Hanya tekad kuat dan kerja keraslah akhirnya dia kita akui sebagai orang yang sukses melawan hal tersulit yang merintanginya. Bahkan keberuntungan memperjuangkan beasiswa itu juga harus disertai haru biru, tangis dan bentakan dengan orang tua pula. Bapaknya yang dulu sangat kaku itu, akhirnya justru kini cukup akrab denganku. Mungkin merasa telah banyak bersalah, menariknarik diriku sebagai provokator agar anaknya kuliah. Dan kalau sedang pulang, aku seolah diperlakukannya seperti anak sendiri ketika mampir di rumahnya. Kata Bapakku : “Orang tua itu yang diinginkan anaknya hidup enak, meski jauh dari rumah, yang penting punya jaminan hidup. Hati kita sudah senang.” Sangat sederhana kadang, dana lam pikiran orang tua itu tidak bisa dipahami secara sempit. Bapak teman kita itu toh menunjukkan bahwa dirinya ternyata salah perhitungan. Watak, memang watak, kaku dan keras adalah cara mendidik. “Aku tak pernah sakit hati pada siapapun juga. Toh tiada untung bermusuhan itu” menampungnya.
ujar teman kita dulu di saat awal kita
Provokasipun tidak mempan membuat dia berpaling dari Bapaknya. “Bapakku memang begitu, sudah kuhafal sejak dulu. Aku besar karenanya, aku tak pernah merasa dia menjatuhkanku, sekalipun.” Bakti teman kita itu pada orang tuanya tak bisa diragukan. Dan ini adalah penggalan pengait, bahwa janji persahabatan kita juga tak akan pudar oleh berbagai kondisi apapun. Pertahanan utama itu memang rasa yakin tentang komitmen saling menjaga
dalam kebaikan. Penulis: Sukartono
Piramida Warna Part II UNAIR NEWS – Telah lama aku menunggu suratmu. Menunggu ceritamu dari tempat barumu. Sampai hari terjauh ini, berapa banyak teman barumu ? Apakah mereka ada yang sok sepertiku ? Atau kau juga merasakan hari yang sebaliknya, menjengkelkan dan penuh dengan kebosanan. Jika kita masih bisa bercakap-cakap, kupaksakan ini adalah kelanjutan dari Piramida Warna, sebongkah fiksi persahabatan dua kawan yang tak harus dipisahkan oleh ruang waktu yang tetap akan didesak dalam lakon-lokonnya yang tak boleh terputus. Kau ingat gang sempit itu. “Hei.. kita kesasar. Kemana ini ?” ujarmu dulu. Buta arah, tak ada peta, berat bertanya, dan motor kita pacu berputar tanpa panduan yang pasti. “Kemana ini ?” tanyamu lagi. Hanya menggelengkan saja, keyakinankupun penuh buntu. Dan dipercabangan jalan kita bersilang suara hendak kemana. “Firasatku, kesana !” kau menunjuk jalan ke arah Mall besar. “Kayaknya kesana deh.” Sepertinya memang ketersesatan ini membuat kita menghabiskan banyak waktu dalam perasaan cemas-cemas acuh. Dan terus kini,
sebab putus asanya, kupersilahkan kamu sebagai pengemudinya. “Kayakke aku pernah kenal tempat ini deh” ujarmu di depan. “Kemana ?” “Sebentar..” Kita menepi, dan kuputuskan untuk tanya kepada seorang penjual pinggir jalan. Walhasil sedikit kecewa, ternyata kita kesasar begitu jauh, pedagang itu hanya bisa mengarahkan sepanjang jalan yang diingatnya saja. Laju kendaraan terus kau jalankan, dan rambu-rambu jalan yang minim membawa ketersesatan ini kian panjang. “Kata Ibu tadi, dari lampu merah belok ke kanan. Kog ini belok kekanan mentok gang buntu ya ?” sambil tepok jidat. Baiklah, aku bolehkan tersenyum susah. Akhirnya ku telepon salah seorang teman untuk menjemput kita. Sebelumnya, lagi aku turun bertanya alamat tempat kita kesasar. “Tuuttt…tuuttt…tuuutt” Bunyi deringnya terengar lagu nyaring, namun tidak diangkat lama. Oh, sungguh takdir. Sepertinya temanku ini sedang tidak bersama ponselnya. “Gimana ?” “Es..degan saja, dulu.” Di pinggir jalan, kita tenangkan hati sejenak. Dan kebetulan saja, seperti jodoh saja, ketika mbayar dan bertanya arah pulang. Ada seorang pembeli yang nimbrung percakapan. “Kemana mas ?” “Ke Maskumambang Pak.” “Oh..saya juga mau ke arah yang sama. Tak barengi saja kalau
kesasar.” Syukurlah, kita terselamatkan juga. Dan endingnya kamu kapok jika bepergian cuman berdua saja. Takut kesasar lagi. Agak geli memang mengingatnya, tapi jauh disana, kau pasti punya cerita baru yang lebih indah kau ceritakan dalam suratmu. Dalam sebuah pesan pendek kutulis “..kutunggu ceritamu” . Penulis: Sukarto
Kampung Pengemis (Part 2) untuk membaca Part 1, silakan klik Kampung Pengemis (Part 1) Sabtu itu, hari sudah sore. Aku dan temanku itu telah berada di dermaga penyeberangan kotanya. Aku yang menggendong ransel di punggung bersiap menyeberang ke kampung pengemis di pulau pengemis. Dia kembali menyarankan dan membujuk agar aku mengurungkan niatku. Dia takut aku ketularan jadi pengemis. Tentu saja aku menolak. Dia mahasiswa yang aneh, ucapku padanya. Di jaman sekarang masih percaya dengan mitos kutukan macam itu. Dia pun mengalah dan menyerah membujukku. Dia lalu bertanya kapan aku kembali, agar bisa dijemputnya. Kubilang besok, hari minggu siang aku sudah di dermaga. Dia mengiyakan. Tak lama menanti, kapal penyeberangan tiba. Aku dan dia bersalaman. Aku naik ke kapal dan mulai meninggalkan dermaga kota temanku. Sekitar tiga puluh menit selepas lepas landas dari dermaga kota temanku, aku dan penumpang lain turun ke pulau yang kami tuju. Sejauh itu, aku tak melihat tanda-tanda kepengemisan di pulau tersebut. Aku melihat keadaan pulau tersebut biasa-biasa saja. Seperti kebanyakan pulau lain yang berjarak tidak begitu
jauh dengan perkotaan. Pulau yang disebut temanku pulau pengemis ini, terlihat cukup membaur dengan peradaban modern. Nampak televisi di ruang tunggu dermaga. Sepeda motor dan mobil di jalan-jalannya. Beberapa parabola dan ada pula antena alias tower agak raksasa. Tebakanku, antena alias tower itu adalah milik salah satu perusahaan telekomunikasi. Apa benar ini kampung pengemis. Atau kampung pengemis ada di pedalaman dari pulau ini. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Atau kampung pengemis hanya rahasia umum yang tidak nyata. Aku pun menyusuri jalan, beberapa tukang becak menawari jasa, demikian pula tukang-tukang ojek. Namun aku menolak dengan lembut. Aku sedang ingin berjalan-jalan dan menikmati pulau ini sendirian. Hingga pada suatu titik, aku berhenti. Aku melihat sebuah papan nama. Bukan papan nama sebuah kantor, melainkan papan nama di sebuah rumah yang keterangan nama di papan itu sangat menarik perhatianku. Tertulis di sana: Kepala Kampung Pengemis. Diseret rasa ingin tahu, aku menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya. Seseorang berjenis kelamin pria membuka pintu lalu menyapaku ramah kemudian memersilakan untuk masuk ke ruang tamu. “Saya mahasiswa dari sebrang, Pak. Datang ke sini dengan niatan untuk jalan-jalan.” “Mau jalan-jalan, atau cari pekerjaan, atau penelitian, silakan saja, Dik. Pulau ini terbuka untuk umum. Nah, kecuali kalau ada orang asing mau merampas hak kampung ini, baru para penduduk akan bertindak tegas.” Ucap orang itu dengan senyuman di bibirnya. Dia lalu pamit sebentar untuk ke dalam beberapa saat. Ketika kembali ke ruang tamu, di tangannya sudah ada nampan membawa dua minuman kemasan kaleng yang nampak segar. Dia memersilakanku meminumnya. Aku pun menikmati minuman itu, tapi tidak menghabiskannya. “Kampung ini sering didatangi mahasiswa-mahasiswa, ada yang
mau meneliti, jalan-jalan maupun cari kerja. Kata orang sih, di kampung ini memang banyak lapangan pekerjaannya. Padahal tidak juga.” “Maksud Bapak?” “Ya mata pencaharian utama di kampung ini kan hanya satu, kalau pun ada mata pencaharian lain, ya itu sekadar hobi.” “Apa mata pencaharian utama itu, Pak?” aku menyelidik. “Mengemis.” Dia menyamankan duduknya dengan bersandar di sandaran sofa. “Nah, kalau adik lihat tadi ada pedagang, tukang jaga dermaga, tukang becak, tukang ojek, atau ada pula petani, maka itu sekadar hobi, Dik. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan seperti itu maksimal hanya…, ya… rata-rata dua kali seminggu. Selebihnya, mereka dan kami semua memilih untuk menyebrang ke luar pulau. Mengemis di sana. Dapat hasil, kami nikmati di sini. Kami bangun pulau ini. Sehingga pulau ini nampak tidak ketinggalan jaman. Meskipun tidak memiliki tempat-tempat wisata yang bergengsi, maupun tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Kami tidak mau bergantung pada alam untuk memajukan pulau kami. Kami bekerja. Nyatanya sekarang, kami sukses. Adik kebetulan saja ke sini pas saya ada di rumah, padahal sering kali saya juga menyebrang ke luar pulau. Pergi ke kota-kota untuk mengemis.” Aku tertegun mendengar penjelasan kepala kampung itu. Tanganku meraih kaleng minuman di hadapanku. Dan kembali meminum isinya. Kali ini sampai habis. Tercetus di pikiranku, menjadikan kampung ini sebagai objek penelitian adalah ide yang benar-benar brilian. “Rencananya Adik mau pulang kembali ke kota kapan? Ehm saya bertanya begini sebab hari kan memang sudah menjelang senja. Maksudnya: kalau adik memang pengen jalan-jalan atau ceritacerita sama saya, Adik boleh kok menginap di sini. Besok baru
pulang. Kebetulan sekarang ini istri dan anak-anak saya sedang mengemis di luar pulau sana. Mungkin adik juga pengen tahu cara-cara mengemis yang baik, nanti saya ajari. Itu juga kalau adik mau. Kalau tidak suka sama pekerjaan ini, ya saya tidak memaksa.” Aku berpikir sejenak. Pak kepala kampung yang baik itu membuka minuman kaleng miliknya, disodorkannya pada ku. Aku tersenyum menerima suguhan itu. Mungkin dia melihat gurat lelah di keningku sehingga memberiku minuman lagi. “Baiklah, Pak. Kalau memang tidak merepotkan, saya tidur di sini saja satu malam. Besok saya pulang.” *** Banyak pengalaman dan penjelasan yang ku terima dari kepala kampung itu. Nyaris semalaman kami berbincang perihal apa saja yang ingin kami obrolkan. Baru pukul dua dini hari aku berangkat tidur. Pukul sepuluh pagi hari minggu, aku sudah di dermaga penyebrangan pulau pengemis. Bersiap ke kota temanku di sebrang. Sebelum berangkat meninggalkan pulau pengemis, aku dan kepala Kampung Pengemis bersalaman. Dia mendoakanku semoga aku sukses dalam hidup, doa standar dari orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Selepas sekitar tiga puluh menit lepas landas dari dermaga pulau pengemis, kapal yang mengangkut aku dan orang-orang dari kampung pengemis sandar di dermaga penyebrangan kota temanku. Temanku yang ternyata telah berada di dermaga pun menghampiriku. Kami bersalaman. Dia mengajak aku makan di sebuah warung sederhana namun bersih di sekitar dermaga. Kami makan dengan lahap di sana. Sesudah makan, masih di warung itu, aku membuka ransel ku. Menarik sebuah map yang ada di dalamnya dan membuka map tersebut. Lalu berkata pada temanku. “Aku baru dapat pekerjaan dari kepala kampung sana. Menjadi
sukarelawan pencari sumbangan. Di map ini ada surat tugas beserta amplop-amplop perlengkapannya. Lumayan. Menurut aturan, dari seratus persen sumbangan yang kita peroleh, kita sebagai sukarelawan pencari sumbangan dapat bagian tujuh puluh persen. Maklum lah, aku kan nantinya lelah, biaya transportasi dan lain sebagainya kan juga dari aku. Tiap bulan tiga puluh persen dari hasil sumbangan bisa ditransfer melalui bank, bisa pula di antar langsung ke pulau tadi langsung ke kepala kampung. Bagaimana menurutmu?” Aku bisa melihat jelas di raut wajah temanku. Keningnya berkerut. Matanya memincing lalu semakin melebar. Dia pun menggeleng-geleng seraya menarik dan membuang napas panjang. Raut orang heran melekat di wajahnya. Kemudian dia berucap mantap tapi tak begitu keras terdengar. “Gila!” ucapnya. Aku tak tahu apa yang membuatnya heran. Aku pun tak paham arti dari satu kata yang baru diucapkannya. (*)
Kampung Pengemis (Part 1) free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin jogjaprewedding jogjaprewedding yogyakartaberita indonesiayogyakarta wooden craftAku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya.
“Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada
pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.”
Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius.
“Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambu Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak.
“Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang
punya metode baru untuk meminta-minta.” menjelaskan dengan wajah serius.
temanku
itu
“Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini
memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu
berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak
seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.”
“Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”
tidak
pernah
“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau.
Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nanti-
nanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Klik Kampung Pengemis (Part 2)
Sepotong Setia Kursi yang kududuki terasa berguncang. Lalu kurasakan sepetak gambar di jendela mulai berganti seperti layar televisi. Pandanganku menerawang ke luar. Hanya punggung rumah yang saling berhimpitan yang akan kulihat hingga stasiun Sepanjang. “Bapak sakit.” Pesan dari Ibu hanya dua kata, tetapi lebih dari cukup untuk memanggilku pulang. Bapak memang mengidap diabetes. Penyakit turunan dari Eyang itu akan kambuh ketika Bapak terlalu banyak berpikir. Sudah tiga bulan lamanya kami tak bertatap muka. Kesibukan kampus selalu kujadikan senjata. “Terserah kamu saja. Semoga sehat dan sukses selalu.” Ucap Ibu ketika aku menolak pulang entah kali keberapa. Kalimat itu awalnya kupahami sebagai pengertian dari Ibu. “Aku pulang.” Kalimat itu kukirimkan sebagai pesan balasan. Klakson masinis bersiul panjang. Kabar bahwa kereta akan berhenti di stasiun selanjutnya: Wonokromo. Ketika ia benar-benar berhenti, penumpang yang jumlahnya puluhan merangsek masuk tak sabaran. Berimpitan, dan saling sikut mencari nomor kursi yang telah ditentukan. *** Wajah tua Bapak terbayang. Dan segala ingatan tentangnya hadir bagai kolase yang ditampilkan acak. Sekarang, misi Bapak dan misiku tak lagi sama. Segalanya mulai
berubah ketika aku masuk kuliah. Organisasi eksekutif kampus mengajakku membaur dengan banyak orang, pun menyublim di berbagai aksi sosial. Organisasi yang justru merusak, kata Bapak. “Kamu berubah, Nduk! Jadi liar dan urakan.” Kritis dan frontal yang disebut Bapak sebagai keliaran. Berani dan terbuka yang disalah artikan sebagai urakan. “Bapak ndak suka?” Balasku. Semua bermula dari keinginanku ikut serta demo kenaikan BBM dua tahun lalu. Aku yang saat itu berstatus mahasiswa baru meminta izin Bapak-Ibu. “Mau jadi apa kamu, Nduk berani ikut-ikut demo?” Akupun mengulas jawaban panjang yang sudah tentu tidak Bapak dengar. “Tak usahlah kau ikut-ikut demo. Tugasmu hanya belajar biar jadi akuntan yang benar!” Tentangan Bapak tidak kudengar. Selain solidaritas dengan teman-teman angkatan, akupun sudah terikat janji dengan Mas Damar. “Kembalikan harga BBM! Jangan sengsarakan rakyat yang kadung melarat!” Tak kuhiraukan peluh membasahi tubuh yang terpanggang di bawah terik matahari. Meminta Pertamina mengkaji ulang kenaikan harga BBM. “Berlindung, Ranai!” Mas Damar menarikku dalam pelukannya ketika massa di belakang kami merangsek maju. Setelah menutup Jalan Jagir, kini sebagian mereka membakar ban
bekas lalu merusak pagar pembatas berkawat. “Kau harus siap, apapun yang akan terjadi nanti.” Bisik Mas Damar. “Apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu ada untukmu…” Aku memalingkan muka. Peluh membasahi pelipis. Panas yang kurasakan jelas tak sebanding dengan yang sekarang dirasakan Mas Damar. Hari ini ia bersama BEM SI menggelar aksi demonstrasi dua tahun kepemimpinan presiden di depan gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di barisan paling depan ia berdiri membawa spanduk bertuliskan ‘tagih janji 2 tahun Jokowi-JK untuk negeri’. Harusnya aku juga di sana. Ikut serta membawa lima tuntutan reformasi mahasiswa[1]. Dan unjuk rasalah langkah tepat penyuara kepentingan rakyat. “Rakyat yang mana?” Tanya Bapak pekan lalu saat aku pamit izin demo lagi. Rakyat serupa nenek renta yang duduk di atas rinjing bersandar dinding toilet di ujung gerbong. Memangku sebuah tas plastik beranyam yang terlihat kosong. “Wong cilik dong, Pak!” Bapak lalu tersenyum mencibir. “Reformasi sekarang ini kan ya karena mahasiswa, Pak.” Selorohku membela diri. Aku ingin mengingatkan Bapak akan peristiwa besar delapan belas tahun lalu. Peluit masinis melenguh panjang. Papan bertuliskan Stasiun
Kertosono terpampang besar-besar. “Mari saya bantu” Jarak pintu kereta cukup tinggi dari peron. Nenek yang tadi naik dari Stasiun Sepanjang mengulur senyum. “Boleh.” Aku kemudian memondong tas jinjingnya. “Mbah kenapa tadi duduk di dekat toilet?” Tanyaku. Semenjak kereta melewati stasiun Mojokerto, penumpang banyak yang turun. Menyisakan hampir seperempat kursi kosong. Tetapi kulihat ia tetap duduk bersandar dinding toilet di atas rinjing yang sekarang digendongnya. “Ning, petugas loket tadi bilang Mbah ndak dapat tempat duduk karena belinya mepet. Mbah ndak berhak duduk di kursi.” Senyum di wajahku memudar. Aku meremas kertas di genggaman. Membentuknya menjadi bulatan paling kecil lalu membuangnya sembarangan. Sepotong pelajaran berharga dari seorang nenek renta akan kursi di kereta. Hanya sepotong, tetapi itu adalah hak penumpang. Bukan masalah besar atau sepele, namun kesetiannya akan prinsip luhur. Menjaga kejujuran pada selembar tiket miliknya. Pantang seseorang mengambil hak orang lain, kecuali berdasarkan kerelaan. Dan sang nenek memilih duduk di atas rinjingnya, bersandar pada dinding toilet yang bau. Lidahku kelu. Wajahku kebas karena malu. Malu karena tiket yang kupunya, nomor tempat dudukpun tak tertera. *** *Penulis adalah mahasiswi semester 6 prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi-
[1] Disingkat literasi mahasiswa. Tindak tegas mafia kasus kebakaran hutan dan lahan; tolak reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta; tolak tax amnesty yang tidak pro rakyat; tolak perpanjangan izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017 dan komitmen terhadap usaha hilirisasi minerba; dan cabut hokum kebiri, selesaikan akar permasalahan kejahatan seksual pada pempuan dan anak.