EDISI 1 / TAHUN 2017
Indeks Kesenjangan di Indonesia:
Tren, Tantangan dan Strateginya
EDISI 1 / TAHUN 2017
Daftar Isi
INDEKS KESENJANGAN DI INDONESIA:
TREN, TANTANGAN DAN STRATEGINYA
Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto Penyunting/Editor: Syahrir Ika, Farid Arif Wibowo, Novijan Janis, Riza Azmi, Hendro Ratnanto Joni, Eko Nur Surachman, Hadi Setiawan Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis PNM Sekretariat: Hani Widyastuti, Merta Liana Hafita, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron, Ana Arsiyani Penerbit: Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Percetakan: PT Prima Najah Mandiri Alamat: Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786 Email:
[email protected]
Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. IRF versi digital dapat diakses pada website DJPPR: www.djppr.kemenkeu.go.id
UTAMA: l Memahami Persoalan Ketimpangan di Indonesia: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Mengatasinya.................................................... 4 Oleh: Athia Yumna, Niken Kusumawardhani, dan Asep Suryahadi l Menabur “Gula Infrastruktur’’ untuk Memangkas Kesenjangan.......................11 Oleh: Mohamad Nasir l Mengatasi Kesenjangan Melalui Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Pinggiran...............................................................................................16 Oleh: Hendro Ratnanto MITIGASI RISIKO: l Penugasan BUMN dalam Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah.........22 Oleh: Ryan Astono Purwandhi l Internal Credit Rating (ICR) sebagai Bentuk Mitigasi Risiko Penjaminan..........27 Oleh: Simeon AP Conterius wawancara: l Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) ............................................32 Dr. Iskandar Simorangkir, S.E., M.A. (Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian) Oleh: Riko Amir, Tony Prianto, Hani Widyastuti edukasi fiskal: l Kebijakan APBN dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Indonesia........ 36 Oleh: Eko Nur Surachman l Tantangan dalam Perbaikan Angka Ketimpangan Pembangunan Melalui Penyediaan Fasilitas Layanan Kesehatan................................................41 Oleh: Roki Gangsar Winoto l Program Pemerintah Menekan Angka Ketimpangan ....................................... 46 Oleh: Okta Martua Sitanggang opini: l Solusi Ketimpangan dalam Perspektif Ekonomi Islam........................................ 51 Oleh: Eri Hariyanto l Mencermati Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah..................................57 Oleh: Erdian Dharmaputra Sekilas Info Risiko: l Perolehan Peringkat Investment Grade dari S&P .............................................. 63 l Hasil Reviu Transparansi Fiskal Tahun 2016......................................................... 63 Info Utang Pemerintah........................................................................................... 64 exposure..................................................................................................................... 66
2
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Editorial STRATEGI ATASI KESENJANGAN
P
ertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan dalam praktiknya sulit berjalan seiring. Angka kemiskinan yang menurun belum tentu mencerminkan pemerataan meningkat dan kesenjangan pendapatan yang menurun. Kondisi inilah yang sedang dialami Indonesia. Data BPS menunjukkan sejak 2011 rasio Gini Indonesia bertahan pada 0.41 dan per Maret 2016 turun sedikit menjadi 0.397. Rasio Gini ini masih jauh dari target pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu 0.36 pada akhir tahun 2019. Dalam posisi rasio Gini 0.39, Indonesia berada di peringkat keempat negara paling timpang di dunia. Sementara indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan ekonomi Indonesia bisa tumbuh rata-rata 5 persen, artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kurang berkualitas. Bagaimana cara memperbaikinya? Tantangannya tidak sedikit. Banyak penduduk Indonesia berusaha di sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan rakyat, yang memiliki lahan sangat terbatas (kurang dari 0,5 hektar per petani). Luas lahan ini semakin tergerus dengan meningkatnya pemukiman dan industri yang juga membutuhkan lahan yang luas. Mari kita lihat kemiskinan absolut dan relatif dari sisi sebaran lokasi geografis. Data BPS menunjukkan bahwa dari sisi kemiskinan absolut, lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat). Artinya, dari sisi jumlah, wilayah Jawa menjadi prioritas untuk diperhatikan. Sementara dalam pengertian kemiskinan relatif, nilai kemiskinan lebih tinggi di wilayah Indonesia Bagian Timur. Artinya, dari sisi relatif, luar Jawa perlu menjadi prioritas. Lima provinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi adalah Papua (28,5%), Papua Barat (25,4%), Nusa Tenggara Timur (22,2%), Maluku (19,2%), dan Gorontalo (17,7%). Bandingkan dengan rata-rata kemiskinan relatif sebesar 11 persen, jarak dengan Papua misalnya sekitar 17,5 persen, sementara jarak dengan Papua Barat sebesar 14 persen. Sebagian besar penduduk di provinsi-provinsi Indonesia Timur adalah petani dan tinggal di wilayah pedesaan. Di daerah pinggir, proses perkembangan ekonomi jauh dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan bisa menjadi jalan keluar, akan tetapi ongkosnya juga sangat mahal. Berbeda dengan daerah-daerah di Jawa yang jaraknya sangat dekat dan didukung sarana transpotasi yang baik dan murah Sering terjadi, anggaran memadai, tetapi penggunaanya
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
tidak optimal. Sering juga terjadi anggaran banyak diserap, akan tetapi kualitas proyek atau program buruk. Begitu juga tidak jarang ditemukan sasaran program yang tidak tepat, sehingga dampak anggaran pembanguan terhadap kemajuan pembangunan tidak signifikan. Sekitar Rp600 hingga Rp700 triliun dana APBN sudah ditransfer ke daerah, akan tetapi belum memberikan pengaruh yang signifikan untuk membangun ekonomi daerah. Setiap tahun daerah meminta alokasi transfer daerah naik, akan tetapi tidak diikuti dengan kualitas pembangunan yang dicapai. Mungkin saja ada persoalan perencanaan, mungkin juga persoalannya di tataran implementasi. Persoalan kemiskinan dan memburuknya kesenjangan bukan saja disebabkan oleh persoalan pengelolaan anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, tetapi juga persoalanpersoalan mendasar lainnya seperti kepemilikan lahan yang sangat terbatas. Begitu juga akses masyarakat terhadap pembiayaan lembaga keuangan (financial inclusion) masih rendah. Perbankan memang diakui berkontribusi terhadap kinerja makro ekonomi, akan tetapi belum bisa menyelesaikan gap di financial inclusion. Berkembangnya teknologi komunikasi dan informatika serta berbagai instrumen keuangan di pasar uang dan pasar modal yang berkembang sangat pesat, juga berkontribusi terhadap pelebaran kesenjangan pendapatan diantara golongan masyarakat kota dan desa serta daerah Jawa dan Luar Jawa. Untuk itu, gagasan Presiden Joko Widodo agar pembangunan dimulai dari daerah pinggiran dan mempercepat konektivitas infrastruktur merupakan terobosan besar yang harus dijalankan secara konsisten. Anggarannya harus cukup memadai, program dan proyek pembangunan harus tepat sasaran atau sesuai kebutuhan, pemerintah daerahnya harus bisa mengoptimalkan anggaran pembangunan daerah, serta mempunyai kesinambungan program dan anggaran dalam jangka panjang. Peran serta lembaga keuangan nonbank termasuk PIP (Pusat Investasi Pemerintah), Badan Layanan Umum Kementerian Keuangnan, juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan kesenjangan ekonomi melalui penyediaan akses pembiayaan yang mudah bagi masyarakat yang berusaha di sektor informal, berbisnis dengan skala super (ultra) mikro yang biasanya sulit akses ke pembiayaan perbankan yang mensyaratkan agunan aset. Bila program ini sukses dan didukung oleh reformasi agraria yang tepat, akan menjadi terobosan besar dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Demikian editorial. n Syahrir Ika
3
Memahami Persoalan Ketimpangan di Indonesia:
Apa, Mengapa, dan Bagaimana Mengatasinya
Oleh: Athia Yumna1, Niken Kusumawardhani2, dan Asep Suryahadi3 1. Senior Researcher of SMERU The Research Institute. Email:
[email protected] 2. Researcher of SMERU The Research Institute. Email:
[email protected] 3. Director of SMERU The Research Institute. Email:
[email protected]
1. Isu Ketimpangan di Indonesia
U T A M A
Dalam 15 tahun terakhir ini, Indonesia mampu mempertahankan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonominya pada kisaran 6% dan tingkat kemiskinan mengalami penurunan setiap tahun hingga mencapai 11% pada 2014. Meskipun tingkat kemiskinan sudah jauh berkurang, Pemerintah Indonesia kini menghadapi stagnansi laju penurunan kemiskinan dan juga peningkatan ketimpangan yang drastis. Ketimpangan di Indonesia meningkat lebih dari 30% selama 20012011, dimana rasio Gini1 bergerak dari 0,33 ke 0,41 yang merupakan rekor
tertinggi rasio Gini di Indonesia dan angka ini tidak berubah hingga 2014. Di 2 (dua) tahun terakhir, angka Gini bergeser sedikit ke angka 0,408 di 2015 dan 0, 397 di 2016. Dinamika perubahan tingkat ketimpangan tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah dan kejadian politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia maupun di dunia. Ketimpangan yang terus meningkat tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga menjadi fenomena yang tengah dihadapi negaranegara lain di dunia. Secara umum, dalam periode 2001-2015 terjadi tren peningkatan ketimpangan pendapat-
an, tetapi pada tahun-tahun tertentu rasio Gini menunjukkan penurunan atau stagnasi (Gambar 1). Rasio Gini pernah turun pada tahun 2006, 2008, dan 2015 sementara sepanjang tahun 2011-2014 nilainya cenderung tidak berubah pada titik 0.41. Perdebatan terkait ketimpangan berkutat pada pertanyaan utama yakni sejauh mana sebuah perekonomian harus menurunkan ketimpangan mengingat ketimpangan tidak selalu disebabkan oleh faktor yang buruk. Ketimpangan dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi yang dilakukan sekumpulan orang kaya yang memperoleh peningkatan
Gambar 1. Koefisien Gini 2001-2015
Sumber: BPS, RPJMN 2015-2019
4
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
kekayaan mereka melalui kerja keras, inovasi, dan kejujuran. Pada taraf tertentu, ketimpangan merupakan hal positif karena merepresentasikan penghargaan bagi inovasi. Namun demikian, untuk kasus Indonesia, studi Yumna et al. (2015)2 menunjukkan bahwa dampak ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi berbentuk kurva U terbalik. Dimana pada awalnya ketimpangan diasosiasikan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi setelah melewati tingkat tertentu, meningkatnya ketimpangan justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan yang tidak terkendali juga berdampak terhadap stabilitas sosial yakni meningkatkan kecenderungan terjadinya kekerasan dan konflik sosial (Tadjoeddin et al., 2016)3. Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi ketimpangan sebagai hambatan terhadap pertumbuhan dan menetapkan target penurunan ketimpangan mencapai 0.36 di 2019 pada dokumen RPJMN 2015-2019. Kebijakan penurunan ketimpangan dianggap memiliki implikasi jangka panjang yang baik untuk pertumbuhan ekonomi maupun stabilitas sosial. Jurang pendapatan yang semakin mengecil antara kelompok miskin dan kelompok sejahtera akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan juga menguatkan kohesi sosial di masyarakat.
dalam sebuah perekonomian mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. GIC memetakan pertumbuhan pengeluaran per kapita untuk setiap kelompok penduduk yang berada pada persentil terbawah (paling miskin) hingga persentil teratas (paling sejahtera). GIC Indonesia pada periode 20092015 menunjukkan seluruh penduduk mengalami peningkatan kesejahteraan yang tercermin dari pertumbuhan pengeluaran per kapita pada persentil bawah, menengah, maupun atas (Gambar 2). GIC periode 2009-2011 menunjukkan tingkat pertumbuhan konsumsi penduduk pada persentil atas meningkat lebih cepat daripada persentil bawah maupun menengah. GIC periode 2011-2014 menunjukkan tingkat pertumbuhan yang relatif setara untuk seluruh kelompok persentil. Sementara itu GIC periode 2014-2015 memberikan gambaran tingkat pertumbuhan pengeluaran penduduk pada persentil tengah dan atas tumbuh lebih cepat daripada persentil bawah. Ini berarti bahwa ketimpangan meningkat di Indonesia lebih disebabkan karena lebih lambatnya pertumbuhan pengeluaran kelompok
miskin dibandingkan dengan kelompok menengah dan kaya. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hal ini terjadi? Terdapat empat fenomena utama yang diduga berkontribusi terhadap naiknya ketimpangan di Indonesia, yakni: (i) commodity boom, (ii) transformasi struktural dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), (iii) rigiditas pasar tenaga kerja, (iv) subsidi BBM, serta (v) korupsi dan oligarki. a. Commodity Boom Sepanjang periode 2000-2010 harga komoditas dunia mengalami kenaikan atau yang biasa dikenal dengan istilah commodity boom. Hal ini ditandai dengan meningkatnya harga-harga komoditas utama dunia, seperti komoditas tambang (termasuk energi) di pasar global (Gambar 3a). Pada tahun 2010, harga komoditas dunia mencapai puncaknya sebagai konsekuensi dari kenaikan permintaan akibat pemulihan kondisi ekonomi global pasca resesi pada periode 20072008. Sebagai negara pengekspor komoditas, commodity boom yang terjadi memberikan dampak positif bagi nilai ekspor Indonesia. Data BPS me-
Gambar 2. Growth Incidence Curve Periode 2009-2015
2. Mengapa Ketimpangan Meningkat? Ketimpangan di Indonesia tidak terjadi akibat penduduk yang kaya bertambah semakin kaya sementara penduduk miskin bertambah semakin miskin. Kondisi ini terlihat dengan menggunakan bantuan kurva yang dikenal dengan istilah growth incidence curve (GIC) yang menyajikan secara visual bagaimana kelompok penduduk termiskin hingga terkaya INFO RISIKO FISKAL
Sumber: Diolah dari data Susenas 2009-2015
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
5
U T A M A
Gambar 3a. Indeks Harga Komoditas
Gambar 3b. Growth Incidence Curve
Sumber: Yusuf (2016)4
U T A M A
nunjukkan total nilai ekspor Indonesia tahun 2010 mencapai US$157,78 miliar atau meningkat 35% dibanding tahun 2009. Pada periode commodity boom pengeluaran penduduk pada persentil atas meningkat lebih tinggi dibandingkan penduduk pada persentil terendah atau penduduk termiskin (Gambar 3b). Setelah harga-harga komoditas mulai menurun sejak 2011, perubahan pengeluaran per kapita pada penduduk yang tergolong persentil terendah maupun teratas cenderung sama, yakni rata-rata 4% per tahun. Situasi ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ledakan harga komoditas memberikan keuntungan yang tidak merata pada seluruh lapisan penduduk, dan 40% penduduk termiskin menjadi kelompok yang paling tidak diuntungkan. b. Transformasi Struktural dan Rendahnya Kualitas SDM Transformasi struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa yang terjadi sejak tahun 1980an di Indonesia tidak diba6
rengi dengan perbaikan kualitas SDM yang signifikan, terutama SDM penduduk desil bawah dan menengah. Transformasi ini ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri dan jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, di sisi lain penurunan proporsi tenaga kerja di sektor pertanian terjadi lebih lambat dari penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB. Dengan kata lain, kue yang semakin kecil tadi tetap dinikmati oleh tenaga kerja yang besar dan tidak banyak berubah proporsinya di sektor pertanian. Dalam konteks transformasi struktural yang terjadi sekarang, sektor industri dan jasa memiliki dampak multiplier yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan dibandingkan sektor pertanian. Akan tetapi, meskipun memiliki potensi multiplier yang besar, 2 (dua) sektor ini membutuhkan kualitas SDM yang tinggi dan ratarata renumerasi yang lebih tinggi dibandingkan renumerasi tenaga kerja di sektor pertanian. Beberapa studi (seperti DeSilva dan Sumarto (2013)5
dan Chongvilaivan dan Kim (2016)6) juga menyimpulkan bahwa pendidikan menjadi faktor penting untuk menjelaskan ketimpangan di Indonesia. Capaian pendidikan yang berbeda berimplikasi pada perbedaan kemampuan individu dalam menghasilkan pendapatan yang akhirnya berujung pada ketimpangan pendapatan. c. Rigiditas Pasar Tenaga Kerja Fleksibilitas pasar tenaga kerja dipercaya mampu menciptakan iklim investasi di sebuah negara menjadi lebih atraktif sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja baru yang akan berujung pada pertumbuhan ekonomi bagi negara tersebut. Fleksibilitas pasar tenaga kerja umumnya diukur menggunakan rasio perputaran tenaga kerja, yang dipengaruhi oleh dua indikator utama yakni (i) kemudahan merekrut pegawai, dan (ii) kemudahan memutuskan hubungan kerja dengan pegawai. Data Sakernas 1998-2007 menunjukkan rasio perputaran tenaga kerja Indonesia cenderung konstan pada nilai 6-8% (Brusentsev et al., 2012)7 yang menandakan pasar tenaga kerja Indonesia sangat
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
rigid, misalnya apabila dibandingkan dengan rasio perputaran tenaga kerja di Amerika Serikat yang sangat tinggi, yakni mencapai 24% pada tahun 2014 (The Economist, 2014)8. d. Subsidi BBM Dalam sejarahnya, Pemerintah Indonesia memberikan subsidi energi kepada rakyatnya sebagai sebuah kewajiban layanan publik. Rakyat harus ikut menikmati produksi energi dalam negeri seperti minyak, batubara, dan sumber energi lainnya melalui harga yang murah. Subsidi energi, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM), dapat dikelola relatif lebih baik ketika Indonesia masih menjadi eksportir bersih (net exporter) dari produk minyak bumi. Harga BBM yang rendah di dalam negeri dipandang sebagai opportunity cost dibanding sebagai beban pengeluaran fiskal. Hal ini berubah sejak 2003 ketika konsumsi BBM Indonesia lebih besar dari kapasitas produksi minyak mentah dalam negeri dan menjadikan Indonesia sebagai importir bersih (net importer). Kenaikan konsumsi BBM dianggap wajar karena ekonomi yang sedang bertumbuh pula (lihat Gambar 11). Studi Coady et al. (2015)9 di 32 negara berkembang menunjukkan bahwa subsidi BBM bukan jenis subsidi yang ideal dari perspektif ekuitas karena memperparah ketimpangan pendapatan dan dinilai bukan sebagai upaya yang efektif untuk melindungi masyarakat miskin. Dampak negatif subsidi BBM terhadap kenaikan ketimpangan bisa melalui dua jalur, yaitu: 1) manfaat subsidi BBM didistribusikan ke dalam konsumsi energi RT, dan jumlah konsumsi energi RT dari masyarakat kaya biasanya lebih besar; 2) pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM dapat mendesak pengeluaran redistributif atau membutuhkan pembiayaan melalui pajak INFO RISIKO FISKAL
Dari berbagai kejadian dan kebijakan pemerintah dalam 15 tahun terakhir, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM diduga berkorelasi dengan turunnya angka koefisien Gini regresif. Studi ini memperlihatkan bahwa penduduk 20% terkaya menerima total manfaat subsidi BBM rata-rata 6 kali lebih banyak daripada penduduk 20% termiskin. Distribusi manfaat untuk subsidi bensin dan LPG bahkan terlihat lebih jelas konsentrasinya kepada golongan kaya dimana penduduk 20% terkaya menerima 27 kali dan 12 kali lebih banyak manfaat subdisi daripada yang diterima oleh penduduk 20% termiskin. e. Korupsi dan Oligarki Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Transparency International, 2016)10. Bagi para ekonom, korupsi tidak sesuai dengan prinsip efisiensi karena faktor “diamdiamnya” (secretive) tersebut. Korupsi adalah tindakan ilegal karena kontraknya tidak dapat ditegakkan oleh penegak hukum di pengadilan sehingga memberi kesempatan kepada orang yang disuap untuk meminta jumlah suap yang lebih besar kepada pembelinya (Kuncoro, 2008)11. Ada dua dampak korupsi terhadap ekonomi dan ketimpangan yang sering diperdebatkan dalam literatur walaupun dampak negatif yang disebutkan lebih banyak daripada dampak positifnya. Dampak negatif korupsi disebut bisa menurunkan kemampuan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
pemerintah untuk mengatur pasar, memperparah kemiskinan dan secara tidak langsung menurunkan investasi serta pendapatan negara dari pajak. Tingkat korupsi yang rendah di suatu negara juga diasosiasikan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Untuk kasus Indonesia, ditemukan juga bukti bahwa ada korelasi positif antara jumlah suap dengan waktu yang dibutuhkan untuk urusan prosedural dengan pejabat pemerintah (Kuncoro 2004)12. Di samping itu, dampak negatif korupsi terhadap ketimpangan dan distribusi adalah mempengaruhi upaya pembangunan manusia dan distribusi kekayaan, menciptakan sistem pajak yang bias, serta mempengaruhi penargetan, jumlah, kualitas, dan keluaran dari belanja sosial (Chene, 201413). Studi Dartanto et al. (2016)14 juga menemukan bahwa korupsi menyebabkan efektivitas program perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah berkurang untuk mengurangi ketimpangan.
3. Guncangan dan dinamika ketimpangan Dinamika tingkat ketimpangan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah dan kejadian politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia maupun di dunia (Gambar 5). Bagian ini berupaya memaparkan peristiwa atau kebijakan pemerintah yang terjadi sepanjang periode 2001-2015 untuk membantu mengidentifikasi pola yang terjadi dalam perubahan ketimpangan dalam kurun waktu tersebut. Dari berbagai kejadian dan kebijakan pemerintah dalam 15 tahun terakhir, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM diduga berkorelasi dengan turunnya angka koefisien Gini. Sepanjang tahun 2001-2015, pemerintah menaikkan 7
U T A M A
Gambar 5. Kejadian Ekonomi, Sosial, Politik pada 2001-2015 dan Dinamika Koefisien Gini
U T A M A
harga BBM pada enam tahun diantaranya yakni 2001, 2003, 2005, 2008, 2013, dan 2014. Kenaikan harga BBM pada enam tahun tersebut berkisar dari 17% (2003) hingga 88% (2005). Angka koefisien Gini pada tahuntahun setelah harga BBM dinaikkan cenderung mengalami penurunan, yakni pada tahun 2002, 2006, 2014, dan 2015. Angka koefisien Gini cenderung stagnan pada 2004 meskipun harga BBM pada 2003 naik sebesar 17%. Sementara itu, koefisien Gini pada 2009 justru meningkat setelah harga BBM pada 2008 dinaikkan sebesar 33%. Faktor eksternal yang terjadi bersamaan pada tahun 2008 seperti krisis harga pangan dunia dan dimulainya era commodity boom diduga menje8
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan harga BBM merupakan kebijakan yang memihak pada rakyat miskin mengingat sebagian besar subsidi BBM terserap oleh penduduk yang tergolong sejahtera atau kaya
laskan terjadinya peningkatan koefisien Gini sepanjang 2008-2009. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan harga BBM merupakan kebijakan yang memihak pada rakyat miskin mengingat sebagian besar subsidi BBM terserap oleh penduduk yang tergolong sejahtera atau kaya. Penduduk yang lebih sejahtera cenderung memiliki kendaraan bermotor dalam jumlah lebih banyak dibandingkan penduduk miskin, sehingga subsidi BBM memberikan manfaat yang lebih besar pada kelompok kaya dibandingkan kelompok miskin.
4. Kebijakan untuk Mengatasi Ketimpangan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pada umumnya
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
angka Rasio Gini turun ketika ada kebijakan kenaikan harga BBM karena subsidi BBM yang terbukti tidak prorakyat miskin dikurangi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi subsidi ini juga berdampak pada penurunan pendapatan rill dari rumah tangga miskin dan pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan instrumen kebijakan dengan memiliki disain penargetan yang jelas untuk memitigasi dampak negatif kenaikan harga energi bagi masyarakat miskin (Coady et al. 2015)15. Pertanyaan selanjutnya, apa peran kebijakan terutama kebijakan fiskal lainnya untuk lebih lanjut mengatasi ketimpangan? Kebijakan redistribusi, seperti pajak dan bantuan transfer, selama ini dipandang oleh sebagian besar ekonom dan pengambil keputusan sebagai obat utama yang diharuskan untuk mengatasi masalah ketimpangan. Disamping itu, kebijakan redistribusi tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, kecuali dalam kasus ekstrim. Bahkan kebalikannya, tingkat ketimpangan menjadi faktor penentu yang kuat dan robust dari pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan durasi pertumbuhan (duration of growth spell). Sehingga sangat keliru jika kita hanya memfokuskan diri kepada pertumbuhan dan membiarkan ketimpangan mengurus dirinya sendiri. Bukan hanya karena secara etis ketimpangan tidak diinginkan tetapi juga karena pertumbuhan yang dihasilkan dari kondisi ketimpangan tersebut adalah pertumbuhan yang rendah dan tidak berkelanjutan. Kebijakan redistribusi juga harus diikuti dengan prinsip efisiensi. Hal ini penting terutama untuk negara dengan tata kelola dan kapasitas administrasi yang lemah. Selain itu, kebijakan predistribusi, yaitu kebijakan yang terjadi sebelum proses distribusi seperti akses kepada layanan pendidikan dan kesehatan, serta INFO RISIKO FISKAL
Bukti empiris menunjukkan bahwa di Amerika Latin, ketimpangan berhasil diturunkan dengan kebijakan fiskal yang efisien dan berkualitas
inklusi keuangan dapat menciptakan kesempatan yang sama untuk semua dan mencegah terjadinya ketimpangan yang tinggi. Bagaimana dengan kebijakan pengeluaran sosial Indonesia sekarang? Berdasarkan data dari World Social Protection 2014/2015, pengeluaran perlindungan sosial (% terhadap PDB)16 Indonesia termasuk yang paling kecil di dunia, yaitu kurang dari 3%, jika dibandingkan dengan angka rata-rata seluruh negara di dunia yang sebesar 9,33% atau rata-rata pengeluaran sosial di negara-negara OECD yang sebesar 22% dalam kurun waktu antara 2010-2013 (angka terbaru bervariasi antar negara). Dari angka tersebut, pengeluaran sosial Indonesia juga adalah yang terkecil di antara negara-negara berkembang lain seperti Brazil, Cina, India, dan Afrika Utara. Pengeluaran sosial di Brazil adalah yang paling mendekati negara-negara OECD yaitu sebesar lebih dari 15% yang sebagian besarnya untuk program pensiun, Afrika Selatan sebesar 8.7% dengan persentase terbesar untuk pengeluaran di bidang kesehatan, di China sebesar 7% baru kemudian disusul India dan Indonesia.
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Sedangkan bukti empiris menunjukkan bahwa di Amerika Latin, ketimpangan berhasil diturunkan dengan kebijakan fiskal yang efisien dan berkualitas. Pajak langsung dan bantuan tunai menurunkan ketimpangan dan kemiskinan secara signifikan di Argentina, Brazil, dan Uruguay tetapi kurang signifikansinya di Bolivia, Meksiko, dan Peru. Sedangkan untuk dampak redistributif dari pajak langsung relatif kecil karena proporsinya yang kecil dalam PDB walaupun sebenarnya cukup progresif. Bantuan tunai cukup progresif jika dilihat dari angka absolutnya, kecuali di Bolivia yang programnya tidak ditargetkan untuk masyarakat miskin (Lustig et al. 2013)17. Kaitan erat antara upaya pengurangan ketimpangan dengan pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan membutuhkan kondisi yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah: a) perbaikan kualitas sumber daya manusia, dan b) perbaikan tata kelola/institusi. Rendahnya kualitas SDM di Indonesia merupakan tantangan yang perlu disikapi dengan serius mengingat SDM yang berkualitas merupakan modal yang sangat berharga bagi pembangunan berkelanjutan. Sementara itu tata kelola secara umum didefinisikan “tradisi dan kelembagaan yang dilakukan oleh yang berwenang di sebuah negara” (Kaufman, Kraay, and Maastruzzi, 2010)18. Hal tersebut meliputi: (i) Proses bagaimana pemerintah dipilih, diawasi, dan diganti; (ii) Kapasitas pemerintah untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan yang tepat; dan (iii) Rasa hormat dari warga negara dan negara untuk lembaga yang mengatur interaksi ekonomi dan sosial mereka. Tata kelola yang baik dan berkualitas tidak hanya menyangkut pemberantasan korupsi tetapi secara lebih luas bagaimana membuat pelayanan publik berjalan efisien disertai 9
U T A M A
dengan peraturan yang sehat. Dukungan kebijakan untuk mempertahankan momentum penurunan ketimpangan harus dilakukan secara lebih sistematis dan komprehensif, baik untuk golongan pendapatan paling bawah, menengah, maupun atas karena masalah ketimpangan tidak hanya masalah dalam satu golongan pendapatan saja (golongan
Catatan Kaki
U T A M A
1. Ukuran ketimpangan yang digunakan secara resmi di Indonesia adalah Rasio Gini. Sedangkan dimensi ketimpangan yang diukur adalah ketimpangan pengeluaran yang berasal dari data pengeluaran/konsumsi di data SUSENAS. Ukuran ketimpangan selain Rasio Gini dan dimensi ketimpangan non-ekonomi lain dibahas lebih mendalam dalam Yumna et al. (2015). 2. Yumna, Athia, M. Fajar Rakhmadi, M. Firman Hidayat, Sarah E. Gultom, and Asep Suryahadi (2015), “Estimating the Impact of Inequality on Growth and Unemployment in Indonesia”, Working Paper, SMERU Research Institute: Jakarta. 3. Tadjoedin, M. Zulfan, Athia Yumna, Sarah E. Gultom, M. Fajar Rakhmadi, M. Firman Hidayat, and Asep Suryahadi (2016), “Inequality and Stability in Democratized and Decentralized Indonesia, Working Paper, SMERU Research Institute: Jakarta. 4. Arief Anshory Yusuf (2016), “BAPPENAS Economic Dashboard: The “Unexpected” Relevance and Some Other Comments”, Presentasi Bulanan SDG’s Center, Universitas Pad-
10
miskin saja atau menengah saja atau kaya saja), tetapi merupakan masalah semua; serta meliputi strategi jangka pendek, menengah, dan panjang. Instrumen fiskal adalah alat utama yang dapat digunakan pemerintah untuk mempengaruhi distribusi pendapatan. Kebijakan yang dirancang tidak hanya memikirkan bagaimana menurunkan beban pengeluar-
an bagi penduduk desil terbawah tapi juga memikirkan bagaimana menciptakan alternatif penciptaan pendapatan (income generation) yang berkelanjutan bagi penduduk desil bawah dan menengah karena hal tersebut yang lebih berdampak pada penurunan ketimpangan dan selanjutnya pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. n
jadjaran, Bandung. 5. De Silva, Indunil and Sudarno Sumarto (2013), “Poverty-GrowthInequality Triangle: the Case of Indonesia”, TNP2K Working Paper 04, TNP2K: Jakarta 6. Chongvilaivan, Aekapol and Jungsuk Kim (2016), “Individual Income Inequality and Its Drivers in Indonesia: A Theil Decomposition Reassessment”, Social Indicator Research, Vol 126:79-98. 7. Brusentsev, V., Newhouse, D., and Vroman, W. (2012) “Severance Pay Compliance in Indonesia”, Policy research working paper no. 5933, World Bank, Washington D.C. 8. The Economist (2014). 9. Coady, David, Valentina Flamini, and Louis Sears (2015), “The Unequal Benefits of Fuel Subsidies Revisited: Evidence for Developing Countries”, IMF Working Paper, WP/15/250 10. Transparency International (2016), “How Do you Define Corruption?” see: http://www.transparency.org/ what-is-corruption/#define 11. Kuncoro, Ari (2008). “Corruption Inc”, Inside Indonesia 92: Apr-Jun 2008 (http://www.insideindonesia. org/corruption-inc) 12. Kuncoro, Ari (2004). “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-Level Data”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 40(3): 329-354.
13. Chene, Marie (2014), “The Impact of Corruption on Growth and Inequality”, Transparency International Helpdesk Answer, Transparency International 14. Dartanto, Teguh, Melly Meliyawati and Yusuf Sofiyandi (2016),”Good Intention-Bad Outcome: Social Assistance, Corruption, and Inequality in Indonesia”, presentation at the 5th Southeast Asia Studies Symposium Oxford University, April 2016. 15. Coady, David, Valentina Flamini, and Louis Sears (2015), “The Unequal Benefits of Fuel Subsidies Revisited: Evidence for Developing Countries”, IMF Working Paper, WP/15/250 16. Atau total public social protection expenditure (as % of GDP) 17. Kustig, Nora, Carola Pessino, and John Scott (2014), “The Impact of Taxes and Social Spending on Inequality and Poverty in Argentina, Bolivia, Brazil, Mexico, Peru, and Uruguay: Introduction to the Special Issue”, Public Finance Review, Vol. 42(3): 287-303. 18. Kaufman, Daniel, Aart Kraay, and Massimo Maastruzzi (2010), “The Worldwide Governance Indicators: Methodology and Analytical Issues”, Policy Research Working Paper WPS5430, World Bank. Washington DC.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Menabur “Gula Infrastruktur’’ untuk Memangkas Kesenjangan Oleh: Mohamad Nasir
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. Email:
[email protected]
D
alam sejarahnya, Indonesia telah mengalami beberapa kali era pemerintahan, dari era orde lama hingga era reformasi yang saat ini sedang berjalan. Telah ditanamkan dalam UUD 1945 bahwa salah satu tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia yang menyeluruh di wilayah Indonesia, bukan kesejahteraan untuk kelompok, suku, dan pulau tertentu. Pembangunan adalah salah satu upaya mutlak yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan utama tersebut. Indonesia pun telah merasakan pengalaman jatuh bangun dalam pembangunan ekonomi. Krisis ekonomi dan keuangan tahun 1998/1999 adalah peristiwa terakhir menimpa Indonesia dan berdampak luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dari sisi ekonomi, Indonesia terjerem-
bab dalam lilitan utang yang besar, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjun drastis, inflasi dan suku bunga yang tinggi, angka pengangguran yang tinggi, serta pertumbuhan ekonomi yang minus. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa dampaknya masih dapat dirasakan hingga sampai saat ini seperti beban obligasi rekap yang harus ditanggung oleh APBN. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi nasional secara perlahan mengalami perbaikan, dan mencatatkan diri sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten meskipun terjadi pelemahan ekonomi global pada tahun 2008. PDB per kapita Indonesia pun meningkat. Pada tahun 2015, PDB per kapita tercatat mencapai Rp44,8 juta (the World Bank. 2017). Terjadi kenaikan 7,9% dari tahun 2014 sebesar Rp.41,5 juta. Namun, persoalan bukanlah berhenti begitu saja, permasalahan distribusi
pendapatan yang tidak merata menjadi persoalan di Indonesia. IndonesiaInvestment (2017) mencatat bahwa kekayaan 43.000 orang terkaya Indonesia (0,02% dari total penduduk Indonesia) sebanding dengan 25% PDB nasional bahkan 40 orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan 10,3% PDB. Data Bank Dunia dan BPS (2016) dalam Indonesia – Investment (2017) menunjukan pula bahwa meskipun angka kemiskinan menurun namun kesenjangan akan kesejahteraan cenderung meningkat seperti terlihat dalam tabel-1. Berangkat dari fakta adanya kesenjangan di atas, tentunya Pemerintah menyadari bahwa mereka memiliki pekerjaan rumah (PR) yang berat. Bahkan mungkin dapat dikatakan seberat melakukan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, seberat apapun PR tersebut harus diselesaikan dengan segera untuk mewujudkan
Tabel-1 : Perkembangan Angka Kemiskinan dan Ketidaksetaraan Indonesia Uraian
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Kemiskinan Relatif (% dari populasi)
16.60
15.40
14.20
13.30
12.50
11.70
11.50
11.00
11.10
10.90¹
Kemiskinan Absolut (dalam jutaan)
37
35
33
31
30
29
29
28
29
28¹
Koefisien Gini/ Rasio Gini
0.35
0.35
0.37
0.38
0.41
0.41
0.41
0.41
0.41
0.40
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Keterangan ¹ : Maret 2016
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
11
U T A M A
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang merata, dan demi kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Grafik-1 : PDRB Per Kapita Harga Berlaku 2015-2016 dan Rasio Gini 2016
POTRET KESENJANGAN EKONOMI DAN IPM ANTAR DAERAH
U T A M A
Harus disadari bahwa pemerintahan sentralistik meninggalkan masalah kesenjangan ekonomi antar daerah. Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta menjadi pusat perekonomian nasional. Sementara itu, daerah lainnya seolah-olah terlupakan pembangunannya. Kebijakan yang yang mendasarkan diri pada kebutuhan semakin memperlebar kesenjangan. Era reformasi memahami permasalahan ini dan mengusung kebijakan otonomi daerah sebagai cara mempercepat pembangunan daerah sebagai upaya mengejar ketertinggalan dan mempersempit kesenjangan. Namun demikian, implementasi otonomi daerah menghadapi tantangan yang berat dan penyelesaian masalah kesenjangan berjalan pelan. Berikut potret kinerja kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Sumber : BPS. 2017.
Grafik-2 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Semester 2 Tahun 2016
Kesenjangan Ekonomi Dari sudut pendapatan perkapita sebagaimana terlihat dalam grafik-1, pendapatan per kapita penduduk berdasarkan provinsi terlihat “jomplang”. Untuk tahun 2015, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia dengan nilai Rp194,8 juta, disusul Kalimantan Timur dengan nilai Rp146,6 juta, Riau sebesar Rp102,8 juta, Kepulauan Riau sebesar Rp103,0 juta, Kalimantan Utara Rp97,8 juta, Papua Barat sebesar Rp72,1 juta dan Papua sebesar Rp48,3 juta. Provinsiprovinsi ini adalah provinsi dengan PDRB per kapita di atas PDB per kapita nasional sebesar Rp44,8 juta dengan tahun yang sama. 12
Sumber : BPS. 2017.
Rasio Gini nasional Indonesia mencapai 0,39 pada semester ke-2 2016 (BPS, 2017). Hampir keseluruhan daerah provinsi memiliki rasio Gini dalam rentang 0,3 s.d 4, kecuali Kepulauan Bangka Belitung yang mencapai 0,29. Terdapat beberapa daerah yang di atas rasio Gini nasional, seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Dari deretan provinsi ini, agak mengejutkan ketika DKI Jakarta dan DI Yogyakarta masuk di dalamnya sebagai daerah provinsi
yang memiliki gap kesenjangan yang di atas rata-rata atau tinggi. Berdasarkan data BPS (2017), Penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta jiwa atau 10,7% dari total penduduk yang tersebar di seluruh daerah provinsi per semester ke-2 tahun 2016. Jawa timur adalah yang tertinggi, disusul Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NTT, dan lampung. Namun bila dilihat dari sisi persentase terhadap total penduduk, Papua adalah provinsi dengan persentase tertinggi dengan nilai 28,4%, disusul
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Papua Barat 24,88, NTT 22,0%, Maluku 19,26%, Gorontalo 17,63%, Bengkulu 17,03% dan Aceh sebesar 16,43%.
Indeks Pembangunan Manusia Adanya kesenjangan juga dapat terlihat dalam dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). BPS (2017) menjelaskan bahwa IPM merupakan indikator yang menunjukan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM sendiri dibentuk dari tiga dimensi, yaitu 1) dimensi umur panjang dan hidup sehat, 2) pengetahuan, dan 3) standar hidup layak. IPM per provinsi mengalami perbaikan dari tahun 2011 ke tahun 2016. Pada tahun 2011, IPM tertinggi dicapai oleh DKI Jakarta dengan nilai 77,0 dan terendah dicapai oleh Papua dengan nilai 55,0 sehingga terjadi gap tertinggi sebesar 22. Sementara itu, pada tahun 2016, IPM tertinggi juga diraih DKI Jakarta dengan IPM 79,6, dan terendah juga tetap diraih Papua
dengan nilai 58,1. Gap tertinggi antar daerah yang terjadi di 2016 mencapai 21,5. Bila dibandingkan dengan gap 2011, angka ini menunjukan adanya kenaikan, tetapi tidak signifikan sehingga dapat dimaknai bahwa proses pendistribusian atau pemerataan berjalan di tempat mengingat masa telah berjalan 5 tahun. Banyak faktor penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial antar daerah di Indonesia. Beberapa penyebab tersebut diantaranya adalah keberadaan sumber daya alam yang berbeda, tingkat pendidikan sumber daya manusia, ketersediaan modal/pembiayaan, dan lainnya yang dimiliki atau tersedia di daerah yang bersangkutan. Ketimpangan semakin meningkat atau bertahan, ketika pelaksanaan pembangunan itu sendiri tidak dilaksanakan dengan merata. Pembangunan yang terfokus pada daerah tertentu yang sebelumnya sudah sejahtera membuat daerah lainnya semakin tertinggal dan akhirnya akan semakin meningkatkan kesenjangan kesejahteraan daerah tersebut de-
Grafik-3 : Indeks Pembangunan Manusia 2011 dan 2016
ngan daerah lainnya. Untuk mengatasinya, pembangunan ekonomi pada daerah tertinggal harus digenjot sehingga ketertinggalan dan kesenjangan terkikis hingga merata. Ketimpangan yang terjadi juga telah menjadi perhatian dan target penyelesaiaan Pemerintahan sekarang ini. Beberapa kebijakan akan dilakukan, antara lain : 1) memperbanyak pendidikan vokasi, 2) memperbesar alokasi anggaran untuk kesejahteraan kaum miskin, 3) penyaluran dana desa, 4) membuka akses perbankan, diantaranya melalui program KUR, 5) pembangunan proyek infrastruktur secara besar-besaran (presidenri. go.id, 2016). Arah kebijakan Pemerintah, nampaknya seirama dengan pandangan World Bank. World Bank (2016) dalam press releasenya, mengemukakan enam strategi dalam mengatasi ketimpangan dan pengentasan kemiskinan, yaitu : 1) pengembangan anak usia dini dan gizi, 2) perlindungan kesehatan untuk semua, 3) akses pendidikan bermutu untuk semua, 4) bantuan tunai kepada keluarga miskin, 5) infrastruktur pedesaan – terutama jalan dan penyediaan listrik, dan 6) sistem perpajakan yang progresif. Keenam strategi ini diperoleh dari pengalaman yang terjadi dibeberapa negara yang dianggap berhasil mengurangi ketimpangan secara signifikan seperti: Brasil, Kamboja, Mali, Peru dan Tanzania.
MEMANGKAS KESENJANGAN MELALUI INFRASTRUKTUR Telah disebutkan di atas, pembangunan infrastruktur adalah salah satu solusi untuk mempersempit kesenjangan antar daerah karena peranannya yang sangat penting dalam menstimulus pertumbuhan sektor-sektor lainnya dan pada akhirnya mendorong peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat daerah. Beberapa pihak menyebut infrastruktur sebagai peng-
Sumber : BPS. 2017.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
13
U T A M A
U T A M A
gerak roda perekonomian, dan dapat dimaknai bahwa perekonomian tidak bergerak tanpa adanya infrastruktur. Beberapa poin peran penting mengapa keberadaan infrastruktur dapat memangkas kesenjangan terurai dalam paragraf di bawah ini Pertama, infrastruktur dapat menarik tumbuhnya penempatan investasi usaha industri. Hal ini terjadi karena infrastruktur dapat berperan sebagai faktor input dan fasilitator atau intermediasi dalam pengembangan usaha bisnis atau industri. Salah satu contoh infrastruktur yang berperan sebagai faktor input adalah infrastruktur pembangkit listrik. Listrik merupakan input usaha dan merupakan kebutuhan dasar bagi industri. Tanpanya, mesin-mesin industri tidak bisa bergerak dan akhirnya tidak dapat memproduksi atau menghasilkan produk konsumsi atau output. Selain itu, listrik sebagai faktor input sangat mempengaruhi besarnya biaya pokok produksi (BPP) dan harga jual produk, karenanya pembangunan pembangkit listrik seharusnya berskala besar agar dapat menurunkan BPP industri dan dapat meningkatkan
daya saing industri. Contoh nyata peran listrik dalam mendukung program hilirisasi produk pertambangan adalah kebutuhan listrik dalam operasionalisasi smelter. Smelter membutuhkan tenaga listrik dalam jumlah yang besar dengan karakter tertentu. Oleh karena itu, Smelter sulit dibangun di Papua, Papua Barat, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lainnya bila tenaga listrik yang ada tidak cukup. Gambaran kondisi ketenagalistrikan di Indonesia terlihat di bawah. Sementara itu, contoh infrastruktur lainnya yang berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan industri adalah infrastruktur logistik seperti jalan untuk angkutan darat, bandar udara untuk angkutan udara, dan pelabuhan untuk angkutan laut. Infrastruktur sejenis ini sangat penting dalam mempertemukan pasar baik untuk produk input dan output yang dihasilkan. Tanpanya, industri tidak dapat beroperasi dengan baik seperti tidak dapat menjual barang produksinya ke pasar yang berada di daerah lain, atau berdaya saing rendah ketika infrastruktur yang ada tidak memadai dan membebani biaya
logistik bagi industri. Peran penting infrastruktur logistik dapat terlihat pada pengembangan ekonomi wisata di Raja Ampat, Papua Barat. Keindahan Raja Ampat sebagai tujuan wisata tidak diragukan lagi keindahan alamnya, dengan karakterkarakter khusus tertentu yang tidak dapat dibandingkan dengan karakter wisata laut lainnya. Namun, akses ke Raja Ampat cukup sulit karena ketersediaan jalan penghubung, bandara udara, listrik, dan akomodasi yang kurang memadai. Hal ini membuat wisatawan kurang tertarik untuk berkunjung ke sana. Di samping itu, dampak samping ketiadaan infrastruktur yang memadai tersebut membuat biaya berkunjung ke sana cukup mahal. Pertimbangan biaya membuat wisatawan dalam negeri lebih suka berkunjung ke luar negeri seperti ke Singapura dibandingkan Raja Ampat. Kedua, infrastruktur menciptakan dan mendorong penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Dalam penyediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur dapat melakukannya secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi karena dalam
Gambar-1 : Kondisi Ketenagalistrikan Nasional – 30 Agustus 2015
Sumber : satuenergi.com. 2017.
14
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
proses pembangunan infrastruktur dan pemeliharaannya membutuhkan atau menyerap tenaga kerja. Sebagai contoh, dalam pembangunan jalan dibutuhkan berbagai jenis kapasitas tenaga kerja, dari pekerja kasar sampai dengan pekerja profesional. Secara tidak langsung dapat menyediakan tenaga kerja ketika infrastruktur yang dibangun mampu menarik investasi melalui pendirian industri. Ketika beroperasi, industri membutuhkan dan menyerap tenaga kerja dengan berbagai karakter kapasitas tenaga kerja pula. Manakala lapangan pekerjaan tersedia, maka pendapatan penduduk meningkat, dan pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya beli dan taraf kehidupan. Ketiga, infrastruktur mendorong peningkatan kapasitas dan kesehatan sumber daya manusia. Di daerah tertentu, seperti Pulau Papua dan Kalimantan, dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang sedikit, tidak sebanding dengan wilayah yang sangat luas, dan penduduknya tinggal tersebar di daerah-daerah tertentu. Di sisi lain, penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan pada umumnya didasarkan pada cakupan jumlah penduduk. Karenanya, ketersediaan infrastruktur seperti jalan dan penerangan jalan atau listrik merupakan kebutuhan sebagai upaya penduduk di daerah terpencil dapat mengakses fasilitas tersebut dengan mudah. Sulit dibayangkan bagaimana penduduk yang berangkat sekolah harus melewati sungai dan jalan berlumpur dapat bersekolah dengan baik. Oleh karena itu, ketika akses mudah, penduduk terdorong untuk bersekolah dan berobat sehingga pendidikan dan tingkat kesehatan penduduk di daerah tersebut meningkat. Di samping itu, keberadaan infrastruktur telekomunikasi dan informasi seperti televisi dan internet dapat mempersempit gap antara penduduk daerah terpencil dengan daerah ramai INFO RISIKO FISKAL
atau sudah maju. Keempat, infrastruktur dapat mendorong pendistribusian penduduk secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan infrastruktur yang mampu menciptakan lapangan kerja, akses pendidikan dan kesehatan dapat mendorong penduduk yang berkapasitas tinggi di daerah tersebut untuk tetap tinggal untuk membangun daerah sendiri, dan tidak tergiur untuk berpindah ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Bahkan penduduk dari daerah padat tertarik untuk pindah ke daerah tersebut. Namun demikian, dalam konteks pendistribusian penduduk mengalami kesulitan yang timbul karena isu kedaerahan. Penduduk dari luar pada umumnya penduduk yang memiliki kapasitas dan modal yang lebih tinggi dibandingkan penduduk asli daerah itu. Karenanya, penduduk baru diperkirakan menguasai ekonomi daerah tersebut sehingga menciptakan persoalan kesenjangan baru dalam daerah tersebut. Untuk mengatasi persoalan ini, pembangunan kapasitas penduduk asli daerah perlu dilakukan sebagai bagian program paralel dari pembangunan infrastruktur. Selanjutnya, pendistribusian pendapatan harus dilakukan dengan baik di daerah tersebut.
PENUTUP Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan, tetapi Pemerintah menghadapi tantangan akan adanya ketimpangan atau kesenjangan antar daerah di wilayah Indonesia. Pendapatan dan taraf kehidupan penduduk seperti pendidikan dan kesehatan antar daerah begitu timpang, khususnya wilayah Indonesia Timur dengan Jawa. Pembangunan daerah tersebut perlu digenjot agar ketimpangan dapat dikikis hingga sepadan. Tahap permulaan pembangunan adalah pembangunan infrastruktur dasar
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
seperti ketenagalistrikan, jalan, pelabuhan, bandar udara, dan infrastruktur berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pembangunan infrastruktur dasar dipilih karena mampu menciptakan sendiri dan mendorong tumbuhnya industri, lapangan kerja, pendapatan, dan peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan serta tingkat kesehatan penduduk daerah tertinggal. Di samping itu, pembangunan infrastruktur dapat mendorong pendistribusian penduduk Indonesia secara merata dan proporsional di mana penduduk asli daerah telah nyaman menentap di daerahnya sendiri, sedangkan penduduk dari daerah padat tertarik untuk bermigrasi ke tempat daerah tersebut. Kemampuan infrastruktur ini bagaikan gula yang mampu menarik dan mendatangkan semut-semut. n
Referensi: 1. Presidenri.go.id. 2016. Langkah Nyata Mengurangi Ketimpangan Pendapatan. Diakses 3 Mei 2017. http://presidenri. go.id/topik-aktual/langkahnyata-mengurangi-ketimpangan-pendapatan.html 2. World Bank. 2016. Mengatasi Ketimpangan Penting untuk Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Tahun 2030. Press Release. Diakses 5 Mei 2017. http://www.worldbank.org/in/ news/press-release/2016/10/02/ tackling-inequality-vital-toend-extreme-poverty-by-2030 3. BPS. 2017. Data PDRB Per Kapita, Rasio Gini, Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin. Diakses 28 April 2017. 4. BPS. 2017. Indeks Pembangunan Manusia menurut Provinsi, 2010-2016.
15
U T A M A
Mengatasi Kesenjangan Melalui Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Pinggiran Oleh: Hendro Ratnanto
Kepala Seksi Persetujuan Proyek Sektor I pada Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Email:
[email protected]
Latar Belakang
U T A M A
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama hampir dua dekade terakhir mengalami perkembangan yang cukup baik. Meskipun ketidakpastian perekonomian global masih membayangi namun Indonesia telah berhasil keluar dari turbulensi ekonomi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi ke depan masih positif dan lebih baik dibanding negara-negara peers meskipun cenderung mengalami perlambatan sejak tahun 2011. Pertumbuhan PDB per kapita Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik sejak krisis ekono-
mi 1998. Namun demikian penggunaan PDB per kapita sebagai alat utama dalam mengukur kemajuan ekonomi Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh mengingat penduduk Indonesia memiliki karakteristik ketidaksetaraan yang tinggi dalam distribusi pendapatan. Salah satu ukuran yang diusulkan dalam literatur ekonomi pembangunan yang dapat merepresentasikan kesenjangan adalah rasio Gini. Angka rasio Gini mengindikasikan adanya potensi kesenjangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat di masa mendatang jika Pemerintah tidak segera mengambil tindakan.
Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2000 – 2017
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan, diolah
16
Angka rasio Gini sejak tahun 2011 hingga 2015 tidak menunjukkan perbaikan yaitu terhenti di level 0,41. Sedikit menurun menjadi 0,40 pada tahun 2016. Bahkan jika dirunut lebih kebelakang, sejak tahun 1999 menunjukkan adanya kecenderungan semakin meningkat. Pertumbuhan pendapatan per kapita yang disertai dengan peningkatan angka indeks Rasio Gini mengindikasikan adanya konsentrasi kekayaan yang besar untuk kelompok elit yang kecil. Sekelompok kecil masyarakat teratas tumbuh jauh lebih cepat, sedangkan sebagian besar masyarakat terbawah tidak tumbuh atau bahkan menurun. Target Pemerintah pada tahun 2017 adalah menurunkan indeks rasio Gini menjadi 0,39. Dalam rangka mencapai target tersebut, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan pro pemerataan yang tepat guna mendorong distribusi pendapatan. Nilai koefisien Gini 0 menunjukkan distribusi pendapatan yang merata, sebaliknya angka 1 mengindikasikan ketimpangan sempurna. Sehingga semakin mendekati angka 1 berarti ketimpangan semakin melebar dan sebaliknya. Berdasarkan nilai koefisien Gini pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia termasuk kategori sedang, tetapi jika Pemerin-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Grafik 2. Rasio Gini Indonesia dan PDB Per Kapita Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia, diolah
Tabel 1. Nilai Koefisien Gini Nilai Koefisien
Distribusi Pendapatan
< 0,4
Tingkat ketimpangan rendah
0,4 – 0,5
Tingkat ketimpangan sedang
> 0,5
Tingkat ketimpangan tinggi
tah tidak segera melakukan langkahlangkah konkret diperkirakan tingkat kesenjangan akan semakin tinggi di masa yang akan datang. Disamping itu masih terdapat
persoalan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang membutuhkan perhatian dan penanganan segera. Kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia masih cukup besar. Per-
Grafik 3. Distribusi Persentase PDRB Menurut Wilayah Tahun 2000-2015
Sumber: BPS, diolah
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
ekonomian nasional masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, sebagaimana terlihat pada Grafik 3. Pada grafik diatas terlihat adanya tingkat kesenjangan yang cukup tinggi dalam pemerataan pembangunan. Kontribusi wilayah Jawa-Bali terhadap pembentukan PDB Nasional selama kurun waktu 2000 – 2013 ratarata sekitar 61,91%. Sementara untuk wilayah Sumatera rata-rata sekitar 21,38%, Kalimantan sebesar 8,98%, dan Sulawesi sebesar 4,50%. Sedangkan kontribusi rata-rata paling rendah adalah dari wilayah Nusa Tenggara dan Papua masing-masing sekitar 1,45%, dan Maluku sebesar 0,33%. Terlihat bahwa konsentrasi perekonomian masih berada di Jawa, Bali dan Sumatera. Ini berarti bahwa pembangunan di Tanah Air yang telah berlangsung selama sekian puluh tahun dengan fakta pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat ternyata tidak disertai dengan pemerataan.
Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Pinggiran Untuk Meningkatkan Pemerataan Untuk menekan kesenjangan maka pembangunan ekonomi di luar wilayah Jawa-Bali-Sumatera terutama di Kawasan Timur Indonesia harus menjadi prioritas. Kebijakan yang berfokus pada investasi di pembangunan bidang infrastruktur, terutama yang terkait dengan kelancaran arus logistik atau konektivitas, merupakan salah satu strategi kunci untuk mencapai target mengurangi ketimpangan tersebut. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pembangunan infrastruktur merupakan salah satu isu strategis dan sasaran utama. Target infrastruktur terkait konektivitas yang harus dibangun dalam tahun 2015-2019 meliputi: 17
U T A M A
Jalan baru 2.650 km Jalan tol 1.000 km Pemeliharaan jalan 46.770 km
Pembangunan jalur Kereta Api 3.258 km di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terdiri dari : - KA Antar Kota 2.159 km - KA Perkotaan 1.099 km
Pembangunan 15 Bandara baru Pengadaan 20 pesawat perintis Pengembangan Bandara untuk pelayanan cargo udara di 6 Lokasi
Pembangunan pelabuhan penyeberangan di 60 lokasi Pengadaan kapal penyeberangan sebanyak 50 unit (terutama perintis)
Pembangunan 24 pelabuhan baru Pengadaan 26 kapal barang perintis Pengadaan 2 kapal ternak Pengadaan 500 unit kapal rakyat
Pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) di 29 kota Pembangunan angkutan massal cepat di kawasan perkotaan (6 Kota Metropolitan, 17 kota besar)
Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur RPJMN (dalam triliun Rupiah)
U T A M A
Infrastruktur Dasar
APBN
APBD
BUMN
Swasta
Jumlah Total
Konektivitas
783
220
379,2
445
1.827,2
Kelistrikan
124,3
0
596,5
786,5
1.507,3
Komunikasi, Air dan Perumahan
526
325,3
90,5
519,9
1.461,7
Total
1.433,3
545,3
1.066,2
1.751,4
4.796,2
Sumber: Bappenas
Pada tahun 2017 target infrastruktur yang harus dibangun meliputi pembangunan jalan sepanjang 836 km, pembangunan jembatan sepanjang 10.198 m, pembangunan tigabelas bandara (baru/lanjutan), 61 lokasi pelabuhan laut (pembangunan lanjutan fasilitas pelabuhan laut), jalur kereta api sepanjang 710 km (pembangunan tahap I dan lanjutan), tiga terminal penumpang (pembangunan lanjutan). Tantangannya adalah bagaimana program infrastruktur itu akan dibiayai. Tentu saja pembangunan infrastruktur memerlukan investasi yang sangat besar. Sumber pembiayaan selama ini lebih banyak menggantungkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar kemampuan APBN. Sebagaimana terlihat pada tabel 2, dari sisi pembiayaan kebutuhan anggaran untuk pembangunan infrastruktur Indonesia dalam kurun waktu 2014-2015 adalah sekitar Rp4.796,2 18
triliun. Kemampuan APBN dan APBD untuk mendanai pembangunan infrastruktur hanya sebesar 29,88 % dan 11,37 %, sementara kemampuan BUMN sebesar 22,23 %, sehingga 36,52% gap pendanaan tersebut diharapkan dapat dibiayai oleh swasta.
Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Untuk Mengatasi Ketimpangan Melalui Optimalisasi APBN Sebagaimana diuraikan di atas, pertumbuhan ekonomi di tanah air tidak disertai dengan pemerataan. Dalam setiap satu persen pertumbuhan tidak selalu secara otomatis langsung menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan. Bahkan suatu ekonomi yang didesain dengan pertumbuhan yang tidak inklusif bisa saja growthnya tinggi tetapi kemiskinan stagnan, kesenjangan makin tinggi dan pengangguran tidak terkurangi. Melihat peningkatan pendapatan di satu sisi
dan melebarnya ketimpangan di sisi lain, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan fiskal yang propemerataan. Salah satunya adalah membangun infrastruktur di daerah pinggiran. Sebagaimana tertuang dalam Nawacita, Presiden Jokowi berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satu tujuan dari program tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan. Upaya mengurangi kesenjangan adalah dengan mempercepat pembangunan infrastruktur di setiap daerah. Tidak lagi berorientasi ke wilayah Jawa atau Jawa-sentris, tetapi juga meliputi Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, Papua dan lainnya, bahkan juga di daerah pinggiran, perbatasan antar-negara, dan pulau-pulau terpencil. Dengan demikian diharapkan pembangunan infrastruktur dapat menciptakan titiktitik pertumbuhan ekonomi baru dan dapat menjadi trigger percepatan pemerataan pembangunan. Kesenjangan atau ketimpangan memang selalu menjadi tantangan pembangunan sejak dulu. Bahkan ketika pertumbuhan ekonomi melaju kencang, ketimpangan pendapatan tetap tak terhindarkan. Penurunan kesenjangan menjadi target pemerintah, karena jika tidak segera diatasi akan semakin lebar dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Dalam satu kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
juga meminta agar pembangunan infrastruktur dapat lebih menyasar masyarakat kecil. Dengan demikian proyek infrastruktur dapat berkontribusi terhadap penurunan ketimpangan pendapatan di Indonesia. Menteri Keuangan menyampaikan bahwa dengan growing middle class yang masih meningkat dan 10% masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan merupakan indikator bahwa kebutuhan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang inklusif untuk mengurangi kesenjangan adalah sangat mendesak. Pembangunan infrastruktur memerlukan investasi yang besar. Salah satu peran pemerintah dalam memfasilitasi pertumbuhan infrastruktur adalah dengan mengalokasikan anggaran belanja untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Namun keterbatasan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan program ini. Ditengah keterbatasan tersebut Pemerintah selalu berupaya meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun sebagaimana terlihat pada Grafik 4.
Tabel 4. Rincian Anggaran Infrastruktur Dalam APBN Tahun 2016 dan 2017
Sumber: DJA Kementerian Keuangan
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa alokasi anggaran infrastruktur mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada Tahun Anggaran 2015 terjadi peningkatan yang cukup drastis
Grafik 4. Perkembangan Anggaran Infrastruktur Dalam APBN Tahun 2009 - 2017
Sumber: DJA Kementerian Keuangan, diolah
INFO RISIKO FISKAL
U T A M A
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari Rp177,9 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran ini diperoleh dari realokasi anggaran subsidi BBM. Tahun 2017 Pemerintah kembali meningkatkan alokasi belanja infrastruktur menjadi Rp387,7 triliun. Khusus untuk tahun anggaran 2017 peningkatan belanja infrastruktur Pemerintah dilakukan melalui penambahan alokasi belanja K/L dalam APBN khususnya K/L yang menangani infrastruktur ekonomi, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Perhubungan, serta melalui penguatan kebijakan desentralisasi fiskal melalui peningkatan dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Anggaran belanja infrastruktur sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Terkait Transfer ke Daerah dan Dana Desa kebijakan umum pada tahun 2017 diarahkan untuk memperkuat implementasi desentralisasi fis19
U T A M A
arah kebijakan Anggaran Pendapatan kal dan Nawacita, yaitu membangun KPBU. Skema ini merupakan alternatif dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Indonesia dari pinggiran dengan terobosan dengan memobilisasi sumuntuk subsidi energi dipangkas dan dimemperkuat daerah dan desa dalam ber daya Badan Usaha dalam penyekerangka Negara Kesatuan Republik realokasi ke tiga program yang mendiaan layanan publik yang berkualitas Indonesia. Dalam rangka penguatan sehingga anggaran negara dapat dihejadi fokus utama percepatan pembakebijakan desentralisasi fiskal melangunan, yaitu infrastruktur, kesehatan mat. Beberapa proyek yang sebelumdan pendidikan. Selain itu percepatan lui peningkatan Dana Transfer Umum nya hampir terhenti karena menghapenyerapan anggaran didorong se(DTU) untuk Infrastruktur tersebut dapi kendala anggaran akhirnya dapat maka Pemerintah mengalokasikan berjalan kembali setelah distruktur jak awal tahun anggaran dan alokasi belanja negara sebesar Rp124 triliun. dengan skema KPBU, misalnya proyek anggaran pembangunan lebih diprioDalam APBN tahun 2017 anggaran SPAM Umbulan dan Palapa Ring. ritaskan ke Kawasan Timur Indonesia Transfer ke Daerah dan Dana Desa Palapa Ring merupakan contoh dalam rangka mencapai pemerataan telah ditetapkan lebih besar daripanyata Proyek KPBU yang keberadapembangunan nasional. Disamping itu Pemerintah juga memberikan keda anggaran belanja kementerian/ annya dapat mengatasi kesenjangan, lembaga. Anggaran belanja K/L sebekhususnya kesenjangan akses inforsempatan yang lebih luas bagi swasta (investor baik dari dalam maupun luar sar Rp763,6 triliun, sedangkan alokamasi antara Kawasan Barat dan Kanegeri) untuk turut andil memberikan si anggaran Transfer ke Daerah dan wasan Timur Indonesia. Proyek ini kontribusi dalam pembangunan infraDana Desa adalah sebesar Rp764,9 trimenjangkau daerah terpencil dan wiliun. Rincian alokasi anggaran untuk struktur nasional dengan didukung layah perbatasan sehingga dapat diTransfer ke Daerah dan Dana Desa oleh berbagai Paket Kebijakan Ekonokatakan bahwa Proyek ini merupakan dapat dilihat di Grafik 5. implementasi isu strategis penguatan mi yang diberikan. Sebagaimana Peraturan Menteri konektivitas nasional terutama berKeuangan No. 48/PMK.07/2016 tentang Kerjasama Pemerintah kaitan dengan pengembangan infraPengelolaan Transfer ke Daerah dan struktur komunikasi dan informatika dan Badan Usaha Dana Desa, minimal 15% Dana Bagi Hayang berdaya saing dan layanan yang (KPBU) Sebagai Skema berkualitas. sil (DBH) non-earmark dan Dana AloAlternatif Percepatan Saat ini sebagian besar proyek kasi Umum (DAU) dialokasikan untuk Pembangunan KPBU memang masih berada di Jawa. pembangunan infrastruktur. Dalam Infrastruktur Untuk Baru terdapat dua proyek KPBU terUndang-undang APBN 2017 DTU yang Mengatasi Kesenjangan terdiri dari DBH dan DAU sekurangSebagaimana diuraikan sebelumkait konektivitas yang berada di luar kurangnya 25% dialokasikan untuk Jawa yaitu proyek Jalan Tol Balikpanya terdapat gap pembiayaan infrabelanja infrastruktur daerah yang langstruktur yang diharapkan dapat diisi pan-Samarinda dan Manado-Bitung. oleh Badan Usaha baik milik pemeSkema ini relatif belum terlalu dikenal sung terkait dengan percepatan pemsehingga perlu upaya agar skema ini bangunan fasilitas pelayanan publik rintah maupun swasta melalui skema lebih memasyarakat. Keberdan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan hasilan Palapa Ring yang Grafik 5. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana kerja, mengurangi kemiskinDesa Tahun Anggaran 2017 (dalam triliun Rupiah) telah ground breaking di beberapa daerah pinggiran an, dan mengurangi kesendan terpencil serta sosialijangan penyediaan layanan publik antardaerah. Adapun sasi yang gencar dilakukan untuk Dana Desa, Jawa-Bali oleh Penanggung Jawab mendapat alokasi Rp 19,2 triProyek Kerjasama yaitu Menteri Komunikasi dan liun dan non-Jawa-Bali sebeInformatika kepada bebesar Rp 40,8 triliun yang akan disalurkan ke 74.954 desa. rapa pemerintah daerah di Sebagian besar alokasi Dana Kawasan Timur Indonesia Desa (68,02%) berada di luar menjadi publikasi yang baik Jawa-Bali. bagi skema KPBU sehingga Pemerintahan Presiden dapat menambah wawasan Sumber: DJA Kementerian Keuangan Jokowi telah mengubah pemerintah daerah tersebut 20
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Penyebab kesenjangan pada dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu kesenjangan antar individu, kesenjangan antar sektor, dan kesenjangan antar wilayah. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu upaya mengatasi kesenjangan tersebut, baik
pembangunan infrastruktur yang bersumber dari APBN maupun dari skema lain misalnya KPBU. Pusat pertumbuhan dan daerah sekitarnya perlu difasilitasi dengan infrastruktur wilayah yang terintegrasi dan terpadu, khususnya infrastruktur perhubungan darat, laut, udara, dan jaringan informasi dan komunikasi, serta pasokan energi, sehingga tercipta konektivitas nasional, baik secara domestik maupun secara internasional (locally integrated, internationally connected). Dana Desa yang disalurkan langsung dari APBN untuk memperbaiki fasilitas dasar di desa dengan memanfaatkan tenaga lokal akan meningkatkan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan, yang pada gilirannya akan memperkecil kesenjangan pendapatan. Untuk proyek-proyek
yang dikerjasamakan dengan Badan Usaha, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menyediakan fasilitas penyiapan proyek, dukungan kelayakan, penjaminan pemerintah dan skema pengembalian investasi agar proyek tersebut layak baik secara ekonomi maupun finansial sehingga semakin menarik minat investor. Melalui pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan secara terpadu dengan program peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kesehatan dan pendidikan, kesenjangan pendapatan antar individu, antar sektor dan antar wilayah dapat diperkecil. Hal ini terbukti pada tahun 2019 indeks Gini dapat diturunkan hingga 0,36 dan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,0% - 8,0% sesuai dengan target RPJMN. n
Referensi: 1. Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Bruto, https://www.bps. go.id/subjek/view/id/11#subjekViewTab3 2. Badan Pusat Statistik, Gini Ratio Menurut Provinsi, https://www. bps.go.id/linkTabelStatis/view/ id/1493 3. Indonesia-Investments, Produk Domestik Bruto, http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/ angka-ekonomi-makro/produkdomestik-bruto-indonesia/item253 4. Kementerian Keuangan, Undang Undang No. 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017, http://www.anggaran. depkeu.go.id/content/Publikasi/ NK%20APBN/2016%20UU%20 APBN%202017.pdf 5. Kementerian Keuangan, Nota Keuangan APBN 2017, http://www. anggaran.depkeu.go.id/content/ Publikasi/NK%20APBN/2016%20 NK%20RAPBN%202017.pdf 6. Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, Kebijakan APBN Tahun 2017, Bahan FGD, 14 Desember 2016
7. Kementerian Keuangan, Rincian Dana Desa APBN 2017, www.kemenkeu.go.id/apbn2017 8. Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, http://www. anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/ apbn/INFRASTRUKTUR.pdf 9. Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, http://www. anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/ apbn/INFRASTRUKTUR1.pdf 10. Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, http://www. anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/ apbn/infrastrukturAPBNP2015.jpg 11. Kementerian PPN/Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, http://www.bappenas.go.id/index. php?cID=5009 12. Kementerian PPN/Bappenas, Konektivitas Infrastruktur Wilayah dan Antar Wilayah, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bahan Presentasi, Mataram, 10 Desember 2014, http:// bappenas.go.id/files/6514/1826/9383/ Paparan_Deputi_Sarpras.pdf 13. Kementerian Perindustrian, Infrastruktur menjadi Solusi, http://www. kemenperin.go.id/artikel/15477/Infrastruktur-Menjadi-Solusi
14. K o m p a s . c o m , http://nasional.kompas.com/ read/2016/10/20/09573121/dua. tahun.jokowi-jk.dan.realisasi. membangun.indonesia.dari.pinggiran?page=all 15. O k e z o n e F i n a n c e , h t t p : / / economy.okezone.com/ read/2016/12/22/320/1573163/srimulyani-pembangunan-infrastruktur-harus-mampu-kurangikesenjangan 16. Persatuan Pelajar IndonesiaJepang, Proyek Infrastruktur Nasional: Merajut Asa Menggapai Ambisi, http://ppijepang.org/index.php/jurnal/ Umum/2017/2/1/834 17. PresidenRI.go.id, Langkah Nyata Mengurangi Ketimpangan Pendapatan, http://presidenri.go.id/ topik-aktual/langkah-nyatamengurangi-ketimpangan-pendapatan.html 18. World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 20162017, http://www3.weforum.org/ docs/GCR2016-2017/05FullReport/ TheGlobalCompetitivenessReport2016-2017_FINAL.pdf
mengenai adanya skema alternatif diluar APBN/APBD untuk pembangunan infrastruktur di daerahnya. Setelah Palapa Ring diharapkan disusul proyek-proyek lain yang distruktur dengan skema KPBU khususnya di kawasan timur Indonesia, sehingga secara bertahap dapat mengejar ketertinggalan kesenjangan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan pemerataan, dan meningkatkan daya saing Indonesia.
Penutup
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
21
U T A M A
Penugasan BUMN dalam Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah Oleh: Ryan Astono Purwandhi
Kepala Seksi Risiko Politik dan Tuntutan Hukum. Email:
[email protected]
Latar Belakang
m i t i g a s i r i s i k o
Pembangunan infrastruktur memainkan peran penting tidak hanya untuk peningkatan produktivitas dan daya saing Indonesia di pasar internasional, tetapi juga bagi peningkatan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antar wilayah. Dalam rangka memacu pembangunan infrastruktur tersebut dibutuhkan peran aktif semua pihak, tidak hanya Pemerintah Pusat akan tetapi juga peran serta dari Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta partisipasi swasta. Bappenas dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2015-2019, memproyeksikan bahwa kebutuhan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur Indonesia mencapai Rp 4.796,2 triliun. Kebutuhan dana tersebut terdiri dari kebutuhan belanja Kementerian/ Lembaga dan transfer daerah (APBN dan APBD) mencapai Rp 1.978,6 triliun (41,3 persen), juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 1.066,2 triliun (22,2 persen), dan partisipasi swasta senilai Rp 1.751,5 triliun (36,5 persen).1 Namun, seluruh sumber finansial tersebut belum cukup optimal untuk melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur terutama bagi daerah-daerah yang hanya menunggu inisiatif dari Pemerintah Pusat untuk menyediakan infrastruktur. Oleh karena itu, Pemda dituntut berperan 22
aktif untuk mencari sumber pembiayaan lain yang dapat diupayakan dalam rangka memacu pembangunan infrastruktur di daerah. Salah satu skema pembiayaan yang dapat mendukung penyediaan infrastruktur tersebut yaitu melalui pinjaman daerah terutama pinjaman daerah yang bersumber dari lembaga keuangan. Akan tetapi lembaga keuangan tidak berani menyediakan pembiayaan bagi Pemda untuk pembangunan infrastruktur, dikarenakan sebagian besar infrastruktur yang akan dibiayai merupakan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, atau penerangan umum halmana proyek tersebut tidak memberikan penerimaan langsung bagi daerah. Selain itu, tidak adanya instrumen yang dapat digunakan oleh lembaga keuangan untuk mengurangi terjadinya risiko politik di daerah yang secara langsung dapat mempengaruhi pemenuhan kewajiban finansial Pemda kepada lembaga keuangan. Berkenaan dengan belum optimalnya instrumen pinjaman daerah dalam rangka mendukung penyediaan infrastruktur, Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.08/2016 tentang Pemberian Jaminan kepada Perusahaan Perseroan (PT) Sarana Multi Infrastruktur dalam rangka Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah (“PMK 174/PMK.08/2016”),
mendorong pemerataan penyediaan infrastruktur di daerah. Dengan PMK dimaksud Menteri Keuangan mengaktifkan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (“PT SMI”) sebagai BUMN yang berfungsi menjadi fiscal tool untuk mendukung percepatan penyediaan infrastruktur daerah.
Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah dan Security Mechanism Penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur kepada PT SMI, sebagaimana telah dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebelumnya, merupakan tindak lanjut atas pelaksanakan pengalihan aset dari Badan Layanan Umum (BLU) PIP kepada PT SMI sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2015 (APBNP 2015) serta Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2015 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT SMI. Lebih lanjut, dalam rangka melaksanakan pengalihan investasi Pemerintah dalam PIP menjadi Penyertaan Modal Negara pada PT SMI, Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/ PMK.06/2015 mengamanatkan pemberian jaminan atas pinjaman kepada
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Gambar 1. Security Mechanism pembiayaan infrastruktur daerah
1. Dalam hal Pemda gagal bayar, SMI melakukan perhitungan tunggakan dan rekonsiliasi dengan Pemda yang gagal bayar. 2. SMI mengajukan pemenuhan kewajiban pemda yang gagal bayar kepada MK c.q DJPPR. 3. DJPPR melakukan pembayaran terlebih dahulu atas kewajiban Pemda kepada SMI menggunakan dana yang terdapat di dalam rekening dana jaminan penugasan. 4. Berdasarkan bukti pembayaran kepada SMI, DJPPR mengajukan permintaan pemotongan DAU/DBH kepada DJPK selaku KPA transfer ke daerah dan dana desa. 5. DJPK akan melakukan pemotongan DAU/DBH Pemda melalui penerbitan SPM penyaluran DAU dan/atau DBH. 6. Dana hasil pemotongan ditempatkan di dalam RKUN. 7. Atas pelaksanaan pemotongan tersebut, DJPK menyampaikan pemberitahuan kepada DJPPR beserta SPM penyaluran DAU dan/atau DBH selaku KPA Dana Jaminan Penugasan. 8. Atas pemberitahuan tersebut, DJPPR menyampaikan permintaan pemindahbukuan dana hasil pemotongan DAU/ DBH dari RKUN ke Rekening Dana Jaminan Penugasan kepada PKN-DJPB. 9. Berdasarkan permintaan tersebut, PKN-DJPB akan memindahbukuan dana hasil pemotongan dari RKUN ke dalam Rekening Dana Jaminan Penugasan.
m i t i g a s i
Sumber : Kementerian Keuangan
Pemda yang dialihkan dari PIP ke PT SMI, dan pinjaman baru yang disalurkan oleh PT SMI kepada Pemda. Adanya penugasan penyediaan fasilitas pembiayaan infrastruktur daerah tidak hanya berkenaan dengan penyediaan fasilitas pembiayaan namun juga dalam rangka memastikan tersedianya pelayanan publik melalui pembangunan infrastruktur di daerah. Sejalan dengan semangat penugasan dimaksud, dalam pelaksanaan pemberian pinjaman daerah oleh PT SMI, besaran suku bunga yang dapat dikenakan oleh PT SMI kepada Pemda ditetapkan sebesar imbal hasil Surat Berharga Negara dengan tenor setara dengan ditambahkan 0,75% (nol koma tujuh lima persen). Hal ini berbeda dengan besaran bunga yang telah dikenakan oleh PIP atas pinjamINFO RISIKO FISKAL
annya kepada Pemda (sebesar BI rate ditambahkan 2%). Lebih lanjut, Dalam menjalankan penugasan dari Menteri Keuangan secara efektif, PT SMI dilengkapi dengan mekanisme yang dapat memastikan pengembalian pinjaman, sehingga pelaksanaan penugasan oleh PT SMI tidak akan memberikan pengaruh negatif kepada kualitas aset PT SMI yang pada akhirnya PT SMI dapat memberikan kontribusi positif melalui fungsi leveraging aset bagi upaya Pemerintah untuk mengejar pembangunan infrastruktur di daerah (Security Mechanism). Mekanisme ini berangkat dari adanya jaminan dari Menteri Keuangan kepada PT SMI bahwa pemberian pinjaman daerah tidak akan mempengaruhi kualitas aset PT SMI. Selain itu, Menteri
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Keuangan juga memastikan bahwa Pemda dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana telah disepakati di dalam perjanjian pinjaman. Security Mechanism dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui penggunaan dana talangan dan pelaksanaan pemotongan DAU dan/atau DBH (“intercept”). Skema intercept dilakukan oleh Menteri Keuangan sebagai bentuk penggantian atas penggunaan dana jaminan penugasan pembiayaan infrastruktur daerah. Dalam APBN Tahun 2017 telah dialokasikan dana jaminan penugasan pembiayaan infrastruktur daerah sebesar Rp 203 milyar sebagai dana talangan kepada PT SMI atas tunggakan Pemda, halmana penggunaan dana dimaksud akan digantikan oleh dana yang dihasilkan dari pelaksanaan 23
r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
intercept terhadap Pemda yang gagal memenuhi kewajibannya kepada PT SMI. Dana Jaminan Penugasan PT SMI tersebut digunakan Menteri Keuangan dhi. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) untuk membayar tunggakan pinjaman Pemda kepada PT SMI. Selanjutnya, DJPPR akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan untuk melakukan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagai bentuk penggantian penggunaan Dana Jaminan penugasan PT SMI tersebut. Pelaksanaan mekanisme pemotongan DAU/DBH terhadap Pemda yang gagal bayar, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil. Sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH tersebut dikenakan terhadap Pemda yang memiliki tungggakan atas kewajiban pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, halmana Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah termasuk pinjaman yang berasal dari PT SMI selaku BUMN yang mendapatkan penugasan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan infrastruktur daerah. Adapun Security Mechanism pembiayaan infrastruktur daerah yaitu sebagai berikut:
Prioritas Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah Memperhatikan luasnya cakupan daerah yang dapat diberikan pinjaman daerah serta masifnya infrastruktur yang dapat dibiayai oleh PT SMI baik dalam konteks kuantitas maupun jenisnya, maka penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah perlu ada skala prioritasnya. Skala prioritas ini dibangun berdasarkan tujuan untuk melakukan pemerataan 24
distribusi pembangunan sehingga mengurangi kesenjangan antar wilayah baik wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Berdasarkan data di atas, pembiayaan yang telah disalurkan oleh PIP maupun PT SMI sebagian besar merupakan daerah yang mampu
memenuhi kriteria secara finansial yaitu daerah-daerah yang berada di wilayah Indonesia barat dan tengah.2 Oleh karena itu, dengan memperhatikan tujuan diatas, PT SMI ditugaskan untuk dapat memprioritaskan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia bagian timur.
Tabel 1. Data Portofolio Pinjaman Daerah oleh PIP dan PT SMI No
Entitas Pemda
Provinsi
Proyek
A. Portofolio Pinjaman Daerah oleh PIP yang dialihkan kepada PT SMI (Persero) 1
Bandar Lampung
Lampung
Jalan
2
Bangkalan
Jawa Timur
RSUD
3
Boalemo
Gorontalo
Jalan
4
Bulukumba
Sulawesi Selatan
RSUD
5
Buton
Sulawesi Tenggara
Jalan
6
Gorontalo
Gorontalo
Terminal
7
Halmahera Selatan
Maluku Utara
Jalan
8
Karangasem
Bali
Pasar
Karangasem
Bali
RSUD
9
Lampung Selatan
Lampung
Jalan
10
Lombok Tengah
NTB
Jalan
11
Lombok Timur
NTB
Pasar
12
Muna
Sulawesi Tenggara
RSUD
13
Padang
Sumatera Barat
RSUD
14
Palu
Sulawesi Tengah
RSUD
15
Pesisir Selatan
Sumatera Barat
RSUD
16
Sulawesi Barat
Sulawesi Barat
RSUD
17
Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan
Jalan
18
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara
RSUD
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara
Jalan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara
Jalan
Temanggung
Jawa Tengah
Pasar
19
B. Portofolio Pinjaman Daerah Pengelolaan PT SMI (Persero) 1
Konawe
Sulawesi Tenggara
RSUD
2
Gianyar
Bali
RSUD
3
Kolaka Utara
Sulawesi Tenggara
Jalan
Sumber : Kementerian Keuangan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Disamping itu, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh PT SMI dalam rangka pemberian pinjaman daerah, maka sektor infrastruktur yang diutamakan untuk pemberian pinjaman adalah sektorsektor yang belum memiliki anggaran yang memadai, dalam artian bahwa sektor yang diutamakan adalah sektor nonkesehatan dan nonpendidikan sebagai sektor yang perlu diutamakan oleh PT SMI dalam memberikan pembiayaan.
Substansi PMK 174/ PMK.08/2016 S e ca r a u m u m P M K 1 7 4/ PMK.08/2016 terdiri dari 10 (sepuluh) Bab dan 21 (dua puluh satu) Pasal yang mengatur ketentuan-ketentuan antara lain mengenai: 1. Tujuan Tujuan dari PMK adalah: (a) memberikan penugasan kepada PT SMI untuk menyediakan pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur daerah dalam bentuk pinjaman daerah sebagai program Pemerintah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui PIP; (b) menjamin kepastian pemenuhan Kewajiban Daerah kepada PT SMI; dan (c) memberikan penjaminan Pemerintah kepada PT SMI sehubungan dengan penugasan kepada PT SMI untuk menyediakan pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur daerah dalam bentuk pinjaman daerah. 2. Kriteria pinjaman Kriteria pinjaman yang ditugaskan kepada PT SMI yaitu Pinjaman yang digunakan oleh Pemda untuk membiayai kegiatan penyediaan infrastruktur dalam rangka pelayanan publik. Sedangkan lingkup infrastruktur daerah yang dapat dibiayai oleh PT SMI meliputi INFO RISIKO FISKAL
Sektor infrastruktur yang diutamakan untuk pemberian pinjaman adalah sektor-sektor yang belum memiliki anggaran yang memadai infrastruktur yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan infrastruktur yang dapat menjadi obyek pembiayaan perusahaan pembiayaan infrastruktur berdasarkan peraturan perundangundangan.3 3. Penugasan kepada PT SMI Menteri Keuangan menugaskan PT SMI untuk melaksanakan pemberian pinjaman kepada pemda yang dilakukan secara selektif
oleh PT SMI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun tata cara pinjaman daerah kepada PT SMI lihat Gambar 2. 4. Sumber dana penugasan Sumber dana PT SMI dalam melaksanakan penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah, dapat berasal dari: (1) Penyertaan Modal Negara; (2) pinjaman jangka menengah dan/atau jangka panjang yang berasal dari Pemerintah Republik Indonesia, Bank dan/atau Lembaga Keuangan baik dalam maupun luar negeri, termasuk Lembaga Keuangan yang bergerak di bidang pembangunan; (3) penerbitan surat berharga; (4) hibah; dan/atau (5) sumber-sumber lain yang sah. 5. Suku bunga penugasan Suku bunga penugasan pembiayaan infrastruktur daerah ditetapkan sebesar imbal hasil Surat Berharga Negara dengan tenor setara ditambahkan 0,75% (nol koma tujuh lima persen). Dalam hal terdapat kebijakan yang mempengaruhi pelaksanaan pemberi-
Gambar 2. Tata cara pinjaman daerah kepada PT SMI
Sumber: PT SMI Persero
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
25
m i t i g a s i r i s i k o
an pinjaman daerah, PT SMI dapat melakukan perubahan besaran suku bunga pembiayaan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. 6. Pelaksanaan pemberian pinjaman oleh PT SMI kepada pemda
m i t i g a s i r i s i k o
7. Penjaminan penugasan PT SMI Dalam rangka pelaksanaan penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah, Menteri Keuangan memberikan Jaminan kepada PT SMI. Jaminan dimaksud hanya diberikan 1 (satu) kali selama masa penugasan dalam bentuk surat jaminan yang ditujukan kepada PT SMI. Surat Jaminan berlaku sejak diterbitkan oleh Menteri sampai dengan berakhirnya masa penugasan dari Menteri kepada PT SMI dan telah terpenuhinya seluruh Kewajiban Pemda yang diberikan pembiayaan oleh PT SMI. 8. Mitigasi risiko dan pemantauan Pemda menyampaikan dokumen rencana mitigasi risiko kepada PT. SMI. PT. SMI menyampaikan data Pemda yang memperoleh pembiayaan infrastruktur, dokumen rencana mitigasi risiko dan dokumen lain kepada DJPPR dan DJPK. DJPPR, DJPK, PT SMI dan Eselon 1 26
terkait lainnya melakukan pemantauan dalam rangka memastikan pelaksanaan rencana mitigasi risiko dimaksud. 9. Penyelesaian gagal bayar Dalam hal Pemda mengalami gagal bayar kepada PT SMI yang
meliputi rekonsiliasi, pembayaran tunggakan Pemda kepada PT SMI, maka pada tahap awal akan digunakan dana jaminan penugasan PT SMI. Selanjutnya akan diaktifkan intercept sebagai bentuk penggantian atas penggunaan dana jaminan penugasan PT SMI dimaksud, dan penyaluran dana hasil intercept. 10. Ketentuan Lain-lain yang menyatakan bahwa pinjaman daerah yang dialihkan oleh PIP kepada PT SMI (existing loan) serta pinjaman yang belum efektif tetapi telah ditandatangani oleh PT SMI dengan Pemda sebelum berlakunya PMK 174/2016 tetap dijamin. Selain itu, PT SMI dan Pemda perlu melakukan penyesuaian ketentuan dalam perjanjian pinjaman dan dokumen terkait yang telah dialihkan dari PIP kepada PT SMI atau Perjanjian Pinjaman Pembiayaan yang telah ditandatangani antara PT SMI dengan Pemda namun belum berlaku efektif.
Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah dhi. Menteri Keuangan berharap dengan adanya penugasan penyediaan fasilitas pembiayaan infrastruktur daerah berupa pinjaman daerah bagi pembangunan prasarana dan/atau sarana untuk pelayanan publik dapat menjadi stimulus bagi daerah dalam rangka mengejar pembangunan infrastruktur. Dengan adanya kemudahan akses pembiayaan dimaksud Pemda dapat meningkatkan produktifitas masyarakatnya sehingga akan mendorong daya saing daerah tersebut baik ditingkat nasional maupun di tingkat internasional. Selain itu ketersediaan pelayanan publik yang memadai di daerah dapat mengurangi ketimpangan ekonomi antarwilayah sehingga dapat mencapai tujuan pemerataan distribusi pembangunan. n
Catatan Kaki: 1. Data kebutuhan pendanaan infrastruktur periode 20152019 berdasarkan siaran pers Kementerian PPN/Bappenas mengenai Capaian 2 tahun pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla: Percepatan Pembangunan Infrastruktur pada tanggal 21 Oktober 2016. 2. Portofolio Pembiayaan Daerah sebagaimana tercantum dalam laporan pelaksanaan penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah periode 30 November 2016 – 28 Februari 2017, yang disampaikan oleh Direktur Utama PT SMI kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayan dan Risiko tanggal 9 Maret 2017. 3. PMK atau PP tentang ruang lingkup usaha PT SMI.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Internal Credit Rating (ICR) sebagai Bentuk Mitigasi Risiko Penjaminan Oleh: Simeon AP Conterius
Kepala Seksi Pengembangan Model Analis. Email:
[email protected]
Pendahuluan Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan intensitas pelaksanaan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan anggaran belanja investasi di bidang infrastruktur sebagai prioritas pembangunan selain pada bidang kesehatan dan pendidikan. Belanja infrastruktur dianggap sebagai salah satu sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dalam memberikan dampak multiplier terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Secara bertahap, kebijakan ini diharapkan dapat merubah sumber pertumbuhan ekonomi yang semula sangat ditentukan oleh konsumsi rumah tangga menjadi pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi. Reformasi fiskal seperti ini sangat diperlukan agar dapat menjadikan anggaran negara sebagai instrumen untuk mendukung pertumbuhan dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Strategi pembangunan ekonomi tidak hanya dituntut untuk mampu menghasilkan pertumbuhan yang tinggi tetapi juga harus dapat dinikmati oleh seluruh kelompok lapisan masyarakat. Kurangnya investasi infrastruktur menimbulkan bottlenecks, tingginya biaya transportasi dan logistik, yang pada pada akhirnya berkontribusi pada rendahnya angka pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur INFO RISIKO FISKAL
akan mengurangi disparitas antara daerah yang sudah maju dengan daerah lain yang masih tertinggal. Disamping itu, Pembangunan infrastruktur di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Berdasarkan data dari Bappenas, skor kualitas infrastruktur Indonesia (4,2) masih tertinggal dibandingkan dengan skor rata-rata negara ASEAN (4,4) (Bappenas, 2017). Pemerintah pun menekankan akan fokus melakukan pembangunan infrastuktur dalam masa pemerintahannya karena infrastruktur Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain, sehingga mengurangi daya saing bangsa (Times Indonesia, 2017). Program Nawacita memasukan pengembangan infrastruktur (terutama yang
terkait penyediaan air bersih, infrastruktur dasar, dan infrastruktur pendukung konektivitas) sebagai salah satu sektor prioritas pembangunan. Sejak desentralisasi diberlakukan pada tahun 2001, kewenangan daerah mendorong peningkatan belanja infrastruktur dengan peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan sebelum desentralisasi. Hal ini diakibatkan dengan banyaknya fungsi pengeluaran yang ditransfer kepada Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, besarnya kebutuhan infrastruktur nasional belum mampu untuk dipenuhi oleh anggaran APBN ataupun APBD. (PT SMI, 2014). Dari data RPJM 2015-2019, total kebutuhan infrastruktur nasional adalah sebesar Rp 5.519 Triliun sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Dana Infrastruktur Nasional Tahun 2015-2019
Sumber:Bappenas, 2014
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
27
m i t i g a s i r i s i k o
Gambar 1. Deskripsi Penjaminan Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
m i t i g a s i r i s i k o
Sumber: Dit. SPP, DJPPR
Dari total kebutuhan sebesar Rp 5.519 T tersebut, kemampuan APBN dan APBD dalam membiayai proyek infrastruktur tersebut hanya sekitar 50%. Selanjutnya sekitar 19% yang mampu dibiayai oleh BUMN. Sehingga masih terdapat celah sebesar kurang lebih 30% dari total kebutuhan infrastruktur yang masih membutuhkan pembiayaan oleh pihak lain, misalnya oleh swasta (Bappenas 2014). Disinilah dibutuhkan peran Pemerintah baik di tingkat pusat ataupun daerah dalam menarik minat investasi swasta di sektor infrastruktur. Kementerian Keuangan telah menyiapkan berbagai dukungan untuk mendorong investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur seperti PPP, alokasi dana di APBN seperti Viability Gap Fund, tax holiday untuk investasi infrastruktur, dan juga memberikan jaminan untuk proyek-proyek tertentu. Reformasi yang komprehensif termasuk pengembangan sektor keuangan ini sangat penting untuk memberikan kepastian bagi investor 28
dalam melakukan usaha.
Penjaminan Sebagai Salah satu Dukungan Pemerintah Salah satu dukungan pemerintah yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur adalah dengan memberikan penjaminan. Jaminan pemerintah dapat diberikan terhadap pinjaman (loan guarantee) atau terhadap investasi (investment guarantee). Jaminan terhadap pinjaman bertujuan untuk memastikan bahwa pemberi pinjaman proyek pemerintah akan mendapatkan pengembalian atas pinjaman yang diberikan kepada penerima penjaminan. Penjaminan investasi dimaksudkan untuk melindungi investor dari risiko akibat perubahan kebijakan Pemerintah Pusat yang dapat mempengaruhi berjalannya proyek. Sebagai ilustrasi bentuk penjaminan adalah penjaminan terhadap proyek KPBU maupun terhadap kredit dapat dilihat Gambar 1. Sedangkan dalam hal penjaminan kredit dalam hal pembangunan
infrastruktur, Pemerintah melalui DJPPR dapat memberikan jaminan atas pinjaman yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, atau Pemda kepada perbankan atau pihak peminjam lainnya. Sebagai ilustrasi, berikut adalah deskripsi penjaminan pemerintah dalam program percepatan penyediaan air minum (PDAM), lihat Gambar 2. Salah satu fitur yang paling menarik dari penjaminan pemerintah adalah karena memungkinkan Pemerintah untuk menjamin kewajiban suatu proyek tetapi tidak menimbulkan kewajiban langsung (disebut juga kewajiban kontinjensi). Sebagai kewajiban kontinjensi, jaminan tidak perlu tercermin pada neraca penjamin (Pemerintah). Namun demikian, risiko penjaminan ini harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi Pemerintah. Disamping itu, lembaga pemeringkat juga memberikan perhatian yang cukup tinggi pada kewajiban kontinjensi pemerintah, terutama ketika kewajiban tersebut cukup besar. Sampai dengan akhir
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Gambar 2. Deskripsi Penjaminan Program Percepaan Penyediaan Air Minum (PDAM)
Sumber: Dit. SPP, DJPPR
Februari, nilai penjaminan pemerintah yang telah dikeluarkan untuk proyek infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa sam-
pai Desember 2016 Pemerintah telah melakukan penjaminan pada enam program pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan, penyediaan air bersih, jalan tol, dan KPBU. Dari total
komitmen kredit yang diperoleh pihak terjamin sebesar Rp314,3 T, yang telah ditarik sebesar Rp81,7 T, sehingga jumlah inilah yang menjadi kewajiban kontinjensi Pemerintah.
Tabel 2. Nilai Penjaminan Pemerintah No.
Rincian Program penjaminan Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional
Pihak Terjamin
Penerima Jaminan
Nilai Penjaminan Kredit / Investasi (miliar Rp)
Posisi Outstanding Kredit / Exposure Investasi (miliar Rp)
1.
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara (Proyek 10.000 MW Tahap I)
PT PLN (Persero)
Perbankan
Rp 93,543.04
Rp 46,603.56
2.
Percepatan Penyediaan Air Minum
PDAM
Perbankan
Rp 324.80
Rp 196.74
3.
Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN
PT PLN (Persero)
ADB & IBRD
Rp 14,779.60
Rp 3,058.71
4.
Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera
PT HK (Persero)
PT SMI (Persero)
Rp 2,721.34
Rp 1,000.00
5.
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas (Proyek 10.000 MW Tahap 2 )
PT PLN (Persero)
Pengembang Pembangkit Listrik
Rp 159,975.30
Rp 19,710.55
6.
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (Proyek infrastruktur dengan skema KPBU)
PT PLN (Persero)
Badan Usaha
Rp 42,995.20
Rp 11,111.57
Rp 314,339.28
Rp 81,681.13
Total Sumber: Buku Saku Profil Utang dan Penjaminan Pemerintah edisi Maret 2017
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
29
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
Pemberian dukungan berupa penjaminan pemerintah bagi proyek infrastruktur ini adalah contoh risiko fiskal pemerintah. Risiko adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan tekanan fiskal kepada APBN di masa mendatang. Risiko fiskal dari pemberian penjaminan infrastruktur ini adalah kewajiban kontinjensi bagi pemerintah. Kewajiban kontinjensi ini merupakan kewajiban potensial bagi pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya/tidak terjadinya suatu peristiwa, yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah. Macetnya suatu proyek yang dijamin oleh Pemerintah dapat menimbulkan risiko dari kewajiban kontinjensi pemerintah, misalnya harus dicairkannya kompensasi finansial sebagaimana diatur dalam kontrak/perjanjian. Oleh karena itu, Pemerintah harus memiliki mekanisme penilaian dan pemantauan risiko penjaminan yang bisa diandalakan.
Pengelolaan Risiko Penjaminan dengan Internal Credit Rating (ICR) Untuk mengelola risiko penjaminan Pemerintah yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Menteri Keuangan, maka telah diterbitkan KMK No. 222 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Penjaminan Pemerintah. Dalam KMK ini diatur mengenai kegiatan pengelolaan penjaminan pemerintah dalam proyek-proyek infrastruktur, yaitu: l melakukan perhitungan batas maksimal penjaminan; l menilai besaran risiko penjaminan yang berpotensi dapat membebani APBN; l memantau risiko penjaminan Pemerintah; dan l memastikan akurasi dan kelengkapan data untuk tujuan laporan 30
l Menganalisa rating dan probability
Macetnya suatu proyek yang dijamin oleh Pemerintah dapat menimbulkan risiko dari kewajiban kontinjensi pemerintah, misalnya harus dicairkannya kompensasi finansial sebagaimana diatur dalam kontrak/perjanjian
dan mitigasi risiko penjaminan Pemerintah. Salah satu bentuk dari kegiatan pengelolaan risiko sebagaimana diatur dalam KMK 222/2016 adalah dengan perhitungan Internal Credit Rating (ICR). Credit rating merupakan pendapat formal dan independen mengenai kemampuan peminjam untuk memenuhi kewajiban pinjamannya (Santos, 2012). Analisa ICR dilakukan (oleh Pemerintah sendiri) untuk menilai risiko kredit Perusahaan baik BUMN, BUMD, maupun Pemda yang mendapatkan penjaminan dari Pemerintah. Beberapa tujuan penyusunan ICR antara lain: l Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempegaruhi kemampuan membayar kewajiban pihak terjamin kepada kreditor. l Memperkirakan kemampuan pihak terjamin dalam memenuhi kewajiban pinjamannya sebagaimana yang disyaratkan oleh kreditor selaku penerima jaminan.
l
of default dari perusahaan yang akan dijamin oleh pemerintah. Sebagai alat evaluasi kinerja pihak yang dijamin oleh Pemerintah.
Ruang lingkup ICR adalah penilaian BUMN/BUMD/Pemda calon penerima penjaminan secara stand alone (kapasitas lembaga secara individual tanpa melihat dukungan dari induk, misalnya pemerintah pusat). Metodologi ICR kiranya hanya digunakan di internal Pemerintah dhi. Kemenkeu sebagai salah satu alat mitigasi risiko dan mengetahui kondisi dan kapasitas calon terjamin. ICR dapat membantu pemerintah untuk mengetahui kondisi dan kapasitas BUMN/BUMD/ Pemda/Badan Usaha calon penerima penjaminan, dalam memenuhi kewajibannya dalam kontrak KPBU. Metodologi ICR telah diadopsi oleh beberapa negara dan industri. Studi yang dilakukan oleh World Bank terhadap empat negara (Kolombia, Indonesia, Swedia dan Turki), diperoleh informasi bahwa keempat negara ini mulai mengembangkan dan/atau telah melakukan analisa ICR untuk menilai kapasitas BUMN, pemda, bank, dan lembaga pengelola dana infrastruktur-nya. Dalam melakukan penilaian ICR nya, keempat negara ini mengadopsi metodologi yang berbeda, Kolombia langsung menggunakan rilis lembaga rating seperti Moody’s dan S&P sebagai sumber data ICR, Indonesia dan Swedia mengembangkan metodologi sendiri tetapi masih berdasarkan metodologi dari lembaga rating global, sedangkan Turki mengembangkan metodologi sendiri berdasarkan analisa statistik (World Bank, 2016). Sedangkan di industri perbankan, analisa ICR telah diadopsi sejak Basel II untuk mencegah kebangkrutan bank dengan melakukan penilaian kapasitas calon kreditor (Vong & Patricio, 2005).
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Beberapa kekurangan yang mungkin ada pada ICR: l Kemungkinan adanya conflict of interest karena berada di posisi yang sama dengan calon terjamin (pemerintah); l Pengetahuan dan praktek terkait metodologi rating dan perhitungan probability of default dalam ICR yang terbatas; l Pemahaman asesor terkait bidang industri yang dinilai dalam ICR mungkin terbatas, sehingga dapat mempengaruhi hasil penilaian.
Penutup Investasi di bidang infrastruktur merupakan faktor yang penting di dalam perencanaan pembangunan di
Bibliography 1. Bappenas. (2014). Konektivitas Infrastruktur Wilayah dan Antar Wilayah. Jakarta: Bappenas. 2. Bappenas. (2017). Public Private Partnerships Infrastructure Project Plan in Indonesia 2017. Jakarta: Bappenas. 3. Investor Relation Unit Republic of Indonesia. (2017). Presentation Book IRU February 2017. Jakarta: Investor Relation Unit Republic of Indonesia. 4. Menteri Keuangan RI. (2016). KMK No. 222/KMK.08/2016 tentang Pengelolaan Penjaminan Pemerintah. Jakarta: Kementerian Keuangan RI. 5. Mulyono, R. (2016, Edisi 2). Pengelolaan Risiko Dukungan Pemerintah dalam Penyediaan Infrastruktur. Info Risiko Fiskal , pp. 40-45. 6. Noor, M. M. (2016, December 19). Mengenal KPBU, skema PPP di Indonesia. Retrieved March
INFO RISIKO FISKAL
Indonesia. Pembangunan infrastruktur diharapkan akan mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan perdagangan domestik, dan meningkatkan iklim investasi. Mengingat kebutuhan pembangunan infrastruktur yang sangat besar, Pemerintah tidak dapat sendirian melakukannya, tetapi perlu melibatkan berbagai pihak antara lain industri perbankan maupun lembaga swasta lainnya untuk membantu pendanaannya. Salah satu cara untuk dapat menarik keikutsertaan pihak perbankan maupun pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur adalah dengan memberikan jaminan Pemerintah atas kredit dan/atau investasi mereka. Sebagai penjamin, baik terhadap
pinjaman dan/atau investasi yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, Kementerian/Lembaga teknis ataupun Pemda, Pemerintah pusat (dhi. Kemenkeu) memiliki risiko yang harus dapat dikelola dan diukur secara berkelanjutan, salah satunya melalui pemantauan internal credit rating (ICR). Diharapkan rating serta probability of default yang ditetapkan dalam proses pemberian penjaminan dapat memberikan gambaran kondisi calon terjamin, baik bagi pemerintah pusat selaku penjamin, maupun bagi calon kreditur/investor. Selanjutnya, penyempurnaan terhadap metodologi analisa ICR serta penetapan probability of default kiranya dapat terus dilakukan, baik di internal Kemenkeu maupun dengan melibatkan pihak luar yang kompeten. n
21, 2017, from DJKN Kemenkeu web site: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/artikel/mengenal-kpbu-skema-ppp-di-indonesia 7. Presiden Republik Indonesia. (2015). Peraturan Presiden RI No. 38 tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Jakarta: Pemerintah RI. 8. PT. SMI. (2014). Panduan Penyelenggaraan Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) dalam Penyediaan Infrastruktur. Jakarta: PT. SMI. 9. Santos, K. (2012). Association of Corporate Treasurer: Corporate credit guide. Retrieved September 8, 2015, from Association of Corporate Treasurer web site: https:// www.treasurers.org/ACTmedia/ ITCCMFcorpcreditguide.pdf 10. Saraswati, D. I. (2015, November 1). Proyek KPS. Retrieved March 21, 2017, from Dini’s Blog : https:// diniindahsaraswati.wordpress. com/2015/11/01/proyek-kerja-samapemerintah-swasta/
11. Susantono, B. (2014, December 15). Berbagi Peran Membangun Infrastruktur. Retrieved March 21, 2017, from Bisnis Indonesia web site: http://koran.bisnis. com/read/20141215/251/382543/ berbagi-peran-membanguninfrastruktur 12. Times Indonesia. (2017, 2 17). Times Indonesia web page. Retrieved 3 20, 2017, from Times Indonesia web site: http://m.timesindonesia.co.id/ read/142651/20170217/180906/ lagi-jokowi-tekankan-pentingnya-pembangunan-infrastruktur/ 13. Vong, A., & Patricio, A. (2005). Credit Risk Assessment in the Macau Banking. Euro Asia Journal of Management , 123-137. 14. World Bank. (2016). Contingent Liabilities Risk Management: A Credit Risk Analysis Framework for Sovereign Guarantee and On-Lending. Washington: World Bank.
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
31
m i t i g a s i r i s i k o
w a w a n c a r a
Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF)
Dr. Iskandar Simorangkir, S.E., M.A.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian Oleh: Riko Amir1, Tony Prianto2, Hani Widyastuti3
1. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko APBN. Email:
[email protected] 2. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko BUMN. Email:
[email protected] 3. Kepala Seksi Pengungkapan Risiko Keuangan Negara. Email:
[email protected] Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, tren kesenjangan ekonomi di Indonesia semakin meningkat selama 10 tahun terakhir, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini Indonesia sejak tahun 2006 meningkat drastis dari 0.33 menjadi 0.41 pada tahun 2011 dan tetap di atas 0.40 sampai dengan 2015. Tahun 2016, Gini ratio turun menjadi 0.397. Dalam RPJMN, Pemerintah telah menetapkan target untuk menurunkan kesenjangan tingkat koefisien Gini menjadi 0.36 pada tahun 2019.
B
erdasarkan hal tersebut, kami memandang perlu untuk mengangkat tema kesenjangan di Indonesia dalam Buletin IRF edisi 1 2017. Bagaimana pandangan Bapak mengenai besaran Gini ratio Indonesia saat ini? Mengapa besaran Gini 32
ratio antara tahun 2006 s.d. 2016 belum dapat turun secara signifikan? Setelah krisis ekonomi tahun 1998 s.d. 1999, Gini ratio Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 1999, Gini ratio kita hanya 0,31, namun seiring berjalannya waktu, ternyata reformasi yang telah kita lakukan tidak
menjamin mengatasi kesenjangan. Hal tersebut tercermin dari Gini ratio terus berlanjut mengalami peningkatan sehingga menjadi sebesar 0.41 pada tahun 2015. Pada bulan Maret 2016 Gini ratio turun menjadi 0.397 dan kembali menurun pada bulan September 2016 menjadi 0.394 atau
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
kalau dibulatkan menjadi 0.39. Dalam perspektif ini, jika kita lihat rata-rata pertumbuhan ekonomi dari tahun 2010 s.d 2015 yang sebesar 5,53%, ternyata tidak dapat mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Gini ratio kita konsisten meningkat karena kita belum berhasil menurunkan pengangguran dan kemiskinan dalam jumlah yang signifikan khususnya di pedesaan. Berdasarkan data BPS sumber kemiskinan paling banyak terjadi di pedesaan. Orang miskin di desa sebanyak 13.96%, sedangkan di kota sebanyak 7.7%. Sebanyak 82% penduduk desa bekerja di sektor pertanian padahal kita tahu sektor pertanian merupakan sektor dengan produktivitas paling rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak pekerja/petani yang bekerja di sektor pertanian terjebak dalam kemiskinan dan pada lanjutannya memperburuk angka Gini ratio. Menurut Bapak, apa penyebab dan akar utama permasalahan kesenjangan secara umum di Indonesia? Kebijakan kita selama ini lebih banyak mengarah kebijakan ekonomi pasar yang belum sepenuhnya berkeadilan untuk masyarakat kelompok bawah/miskin sehingga yang menikmati porsi terbesar kue pembangunan adalah pemilik modal atau kelompok atas. Kenapa orang miskin makin lama makin miskin, tidak keluar dari kemiskinannya? Menurut pendapat saya ada 3 (tiga) penyebab utama orang miskin semakin miskin sehingga kesenjangan semakin melebar. Penyebab pertama adalah orang miskin tidak punya akses pendidikan yang baik. Orang miskin hanya mampu memenuhi dan bahkan kekurangan kebutuhan dasar seperti pangan sehingga mereka menjadi semakin tertinggal dalam pendidikan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah maka produktivitas rendah dan pada INFO RISIKO FISKAL
lanjutannya akan mendapat pekerjaan kasar atau buruh dengan gaji/upah yang rendah. Penyebab kedua adalah orang miskin kurang mendapat akses pekerjaan yang layak. Faktor ini merupakan implikasi pendidikan yang rendah sehingga si miskin tidak mungkin mendapat pekerjaan yang baik karena tidak mempunyai skill yang baik, karena tidak bisa mendapat pekerjaan yang baik atau bahkan tidak berkerja maka dia tetap terjebak dalam kemiskinannya. Penyebab ketiga adalah orang miskin tidak punya akses terhadap pembiayaan/kre-
Kebijakan yang mendasar untuk mengatasi masalah ini adalah Kebijakan Pemerataan Ekonomi yang di-launching oleh Presiden Jokowi di Boyolali beberapa waktu yang lalu dit. Keterbatasan permodalan mengakibatkan ketidakberdayaan si miskin untuk melakukan usaha baru ataupun melanjutkan usaha yang ada, sementara kelompok atas dengan mudah mendapatkan pinjaman dalam jumlah besar. Kondisi tersebut mengakibatkan semakin tingginya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Untuk mencapai target Gini ratio sebesar 0.36 pada tahun 2019, apa strategi dan kebijakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah? Kebijakan yang mendasar untuk mengatasi masalah ini adalah Kebijakan Pemerataan Ekonomi yang di-launching oleh Presiden Jokowi di
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Boyolali beberapa waktu yang lalu. Kebijakan Pemerataan Ekonomi adalah kebijakan ekonomi afirmatif yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat ekonomi lemah dan menengah agar memiliki equity (terutama lahan), kesempatan dan kemampuan SDM yang mempunyai daya saing. Kebijakan Pemerataan Ekonomi mempunyai 3 (tiga) pilar. Pertama, legalisasi dan redistribusi lahan untuk petani dan nelayan miskin. Kebijakan ini mencakup reforma agraria yang berupa proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses dan penggunaan lahan. Kebijakan reforma agraria ini dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu alokasi kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan pemberian legalitas akses perhutanan sosial kepada masyarakat bawah. Tujuan dari reforma agraria adalah 1) mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, 2) menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria, 3) menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan, 4) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, 5) meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan, dan 6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup serta menangani dan menyelesaikan konflik agraria. Petani penerima lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) akan melakukan pengembangan usaha pertanian dengan metode cluster dengan kepemilikan strata title dan tidak dapat dijual. Luas tanah yang menjadi objek TORA adalah 9 juta hektar tanah, dengan rincian 4,5 juta hektar berupa legalisasi aset dan 4,5 juta hektar redistribusi HGU/tanah terlantar dan pelepasan kawasan hutan kepada masyarakat bawah. Kedua, peningkatan kapasitas SDM khususnya pendidikan vokasi sehingga lulusannya siap masuk ke 33
w a w a n c a r a
w a w a n c a r a
dunia kerja. Untuk itu, pada pagu anggaran 2018 semua kementerian telah diminta untuk mengakodomodasi kebijakan pemerataan ekonomi dengan memasukkan pendidikan vokasi tersebut. Ketiga, pemberian kesempatan yang sama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM ritel perkotaan baik akses pekerjaan, akses pembiayaan maupun akses berusaha. Misalkan, fair access ke dalam sitem distribusi sehingga pengusaha kecil bisa mendapatkan harga yang murah dan bisa bersaing dengan pasar modern. Idenya kebijakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan dengan mempertahankan ekonomi berdasarkan demokrasi yang berbasis pada pasar yang berkeadilan supaya mencegah terjadinya konflik sosial. Dalam konsep kebijakan ini, maka kita berikan fasilitas kepada orang yang tidak mampu. Misalkan, orang yang mampu jangan kita berikan subsidi. Lebih baik subsidi tersebut kita distribusikan ke masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan. Saat ini Pemerintah juga melakukan reformasi subsidi. Contoh, subsidi BBM ternyata lebih banyak dikonsumsi orang-orang yang punya mobil dan kelompok orang kaya, sementara orang yang tidak mampu hanya sedikit menerima subsidi karena tidak punya mobil. Untuk mengatasi ketimpangan penerimaan subsidi tersebut, maka harga BBM dinaikkan, sementara untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat kelompok bawah akibat kenaikan harga BBM, kelompok bawah tersebut diberikan bantuan sosial antara lain berupa rastra dan bantuan sosial lainnya. Arah subsidi kita di dunia internasional dipuji karena kita mengalihkan subsidi menjadi tepat sasaran. Menurut saya, masyarakat hanya belum teredukasi dengan baik saja. Inovasi untuk mensejahterakan rakyat harus didukung dan tepat sasaran. 34
Setelah tiga pilar di-announce, apa saja tantangan yang akan dihadapi pemerintah? Tantangan terbesar adalah konsistensi implementasi dari kebijakan dalam jangka menengah dan panjang mengingat dampak penuh kebijakan baru dapat dirasakan dalam jangka menengah. Tantangan kedua adalah bagaimana merumuskan kebijakan besar itu secara detail ke kebijakan operasional. Banyak kebijakan tidak jalan karena tidak jelas pengaturannya dan tidak dibuat secara detail. Tantangan ketiga adalah masalah kecepatan dan keakuratan data mengingat redistribusi lahan harus diberikan kepada masyarakat bawah. Redistribusi lahan tidak harus menunggu data lengkap untuk seluruh Indonesia, tetapi begitu data untuk daerah tertentu benar dan akurat maka pembagian lahan dapat dilakukan. Kalau menunggu data sempurna seluruhnya maka implementasi kebijakan tersebut akan berjalan lambat karena memakan proses yang lama untuk mendapatkan data yang lengkap dan sempurna untuk seluruh Indonesia. Selain itu, resistensi masyarakat terhadap kebijakan tersebut juga tantangan yang tidak bisa diabaikan karena sebaik apapun kebijakan jika masyarakat tidak mau melaksanakan maka kebijakan tersebut tidak akan efektif. Hal ini harus kita benahi dengan memberikan edukasi yang baik kepada seluruh masyarakat untuk mengatasi masalah resistensi orang terhadap kebijakan yang dibuat Pemerintah. Pemerintah mencoba menahan inovasi-inovasi yang sekarang serba elektronik untuk memberikan kesempatan bagi golongan bawah. Kalau kita berkompetisi secara global tentunya kita akan kalah, Apakah ini tidak menjadi trade off? Apakah kita lebih baik untuk memberikan kesempatan itu kepada vokasi pendidikan, jadi rakyat yang belum paham inova-
si itu kita berikan edukasi dibanding kita memproteksi? Sebenarnya e-commerce di dalam konteks ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sharing economy. Dalam konsep sharing economy maka orang yang mempunyai faktor produksi akan menyewakannya/ menjualnya kepada orang yang tidak punya faktor produksi. Dengan adanya e-commerce maka akan mempermudah mempertemukan antara penjual dan pembeli sehingga akan mengurangi intermediary cost. Hal ini sebenarnya membuat ekonomi menjadi lebih efisien. Pada zaman dulu, hal ini tidak mungkin dilakukan karena tidak didukung teknologi digital. Transaksi tersebut merupakan barter versi modern. Misalkan, saya punya kelebihan faktor produksi mobil maka kalau saya biarkan akan jadi idle, namun kalau saya gunakan untuk taksi online saya punya pendapatan yang lebih dari faktor produksi saya. Faktor produksi tersebut, saya jual langsung kepada yang membutuhkan, yaitu pembeli. Karena tidak ada middle costnya, maka biayanya lebih murah dan yang menikmati adalah kedua belah pihak (win-win solution). Dengan latar belakang tersebut, maka dalam pandangan saya tidak ada trade-off untuk golongan bawah dan bahkan sebaliknya golongan bawah mendapat keuntungan. Apakah menurut Bapak, kesenjangan di Indonesia juga berkontribusi pada timbulnya konflik sosial? Mengutip dari buku Ami Chua dengan judul “The World on Fire How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability” bahwa ketimpangan yang semakin membesar bisa mengakibatkan 3 (tiga) hal. Pertama, reaksi negatif terhadap pasar, reaksi negatif terhadap demokrasi, dan konflik sosial bahkan pada kasus tertentu bisa menimbulkan genosida pada kaum minoritas. Sehubungan dengan hal
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
tersebut maka ketimpangan antara si kaya dan si miskin harus dikurangi segera mungkin melalui kebijakan ekonomi yang berkeadilan. Jika kelompok bawah atau usaha kecil dibiarkan bersaing maka mereka tidak mungkin bersaing dengan kelompok atas. Sehubungan dengan hal tersebut maka kelompok bawah perlu mendapat fasilitas baik berupa akses terhadap lahan, kesempatan yang sama, dan peningkatan SDM agar mampu mengejar kelompok atas sehingga pada lanjutannya dapat mereda ketegangan sosial antara di kaya dan si miskin. Apakah konsep equal opportunity (Kesetaraan kesempatan mendapatkan pendidikan, pekerjaan, akses pembiayaan, dan akses informasi) menurut Bapak dapat mengatasi masalah kesenjangan? Bagaimana tindakan Pemerintah untuk mewujudkan konsep tersebut? Menurut hemat saya, konsep equal opportunity kepada masyarakat berpenghasilan rendah akan dapat mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Dalam kebijakan pemerataan ekonomi maka kebijakan diarahkan pada prinsip yang berkeadilan (equity) dan bukan pemerataan fasilitas untuk semua golongan. Masyarakat miskin atau pengusaha kecil akan diberikan lahan, kesempatan dan peningkatan skill sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinannya dan naik kelas. Ketidakhadiran negara pada masyarakat berpendapatan rendah akan dapat mengakibatkan ketimpangan semakin melebar. Contoh ketimpangan yang terjadi di Indonesia antara lain pada bidang agraria dimana di beberapa provinsi terjadi penguasaan lahan secara besar-besaran oleh swasta non pertanian, sebanyak 7 (tujuh) dari 8 (delapan) komoditas perkebunan yang menguasai 52% lahan perkebuhan dan menghidupi 15.5 juta jiwa hanya mampu memberikan nilai tambah <30% dari kebutuhan, penyediaan INFO RISIKO FISKAL
Berdasarkan hasil riset sementara menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masal yang dilakukan Pemerintah menjadi salah satu penyebab Gini ratio di tahun 2016 menurun perumahan murah dan yang terjangkau <1% dari total kebutuhan. Kecilnya penyediaan perumahan karena harga tanah yang meningkat pesat, sementara pendapatan golongan bawah tidak meningkat sepesat harga tanah sehingga menyebabkan sebagian besar golongan bawah tidak mempunyai rumah dan semakin miskin. (Ada pendapat yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur di daerah memiliki peran dalam penurunan kesenjangan) Dari perspektif Pemerintah, bagaimana pembangunan infrastruktur di Indonesia yang sangat massive saat ini dapat berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan gini rasio? Terkait penurunan Gini ratio yang terjadi pada tahun 2016, kami melakukan riset kecil pada awal tahun 2017. Berdasarkan hasil riset sementara menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masal yang dilakukan Pemerintah menjadi salah satu penyebab Gini ratio di tahun 2016 menurun. Hal tersebut dapat terjadi karena pada awal pembangunan infrastruktur banyak tenaga buruh yang dibutuhkan yang umumnya adalah kelompok bawah. Sebagai contoh PT KAI merencanakan menyerap 25.000 pegawai untuk pembangunan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
jalur Kereta Api Cepat tersebut. Tapi hal ini tidak bisa bertahan lama, karena setelah selesai proyek infrastruktur mereka dapat menganggur lagi jika tidak ada pembangunan proyek baru lagi. Setelah proyek selesai maka yang menikmati keuntungan adalah pemilik modal. Dengan demikian pembangunan infrastruktur tidak sustain dalam jangka menengah sehingga diperlukan kebijakan lanjutan seperti pengembangan industri dari hulu ke hilir dengan basis bahan baku sumber daya alam Indonesia. Bagaimana strategi Pemerintah di bidang jaminan sosial (seperti bansos, BLT, raskin, BPJS) untuk mengurangi kesenjangan sosial di Indonesia? Secara konsep dan empiris, saya meyakini bantuan sosial dapat mengurangi kesenjangan sosial di Indonesia, tetapi sifatnya tidak permanen. Untuk mengatasi kesenjangan sosial secara permanen dibutuhkan kebijakan pemerataan ekonomi yang saya jelaskan sebelumnya. Bantuan sosial merupakan kebijakan yang umum yang dilakukan di hampir semua negara. Misalnya, Amerika Serikat (AS) punya jaminan sosial di mana pada saat pekerja menganggur dan tidak punya pendapatan, mereka dapat meminta food stamp yang diambil dari jaminan sosial mereka. Dari sisi policy, jaminan sosial merupakan solusi untuk mengatasi ketimpangan sosial yang bersifat sementara karena bansos merupakan hal darurat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat membutuhkan. Untuk mengatasi kesenjangan sosial secara permanen maka dibutuhkan kebijakan struktural, yaitu memberikan kesempatan dan fasilitas kepada masyarakat kelompok bawah untuk menaikkan pendapatan mereka dengan memberi lahan, meningkatkan skill melalui pendidikan vokasi serta kesempatan yang sama untuk berusaha dan bekerja. n 35
w a w a n c a r a
Kebijakan APBN dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Indonesia Oleh: Eko Nur Surachman
Pengajar pada PKN STAN. Email:
[email protected]
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
M
ewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adalah salah satu amanat penting konstitusi dasar negara yang tertulis dalam UUD 1945. Usaha untuk mewujudkannya telah dilakukan semua rezim Pemerintah selama lebih dari 7 dekade sejak Indonesia merdeka, sejak era Presiden Sukarno dengan kebijakan ekonomi terpimpinnya sampai era Presiden Joko Widodo dengan program Nawacitanya. Tantangan dan permasalahan struktur ekonomi dalam setiap era pemerintahan tersebut tentu berbeda-beda, ketika pada awal Indonesia merdeka, permasalahan utama terletak pada pengendalian tingkat inflasi yang sangat tinggi akibat dari penjajahan. Pada masa sekarang ini, tantangan perekonomian Indonesia berkutat pada 3 masalah inti yaitu pengentasan kemiskinan, peningkatan produktivitas dan daya saing, serta yang paling mengemuka sekarang adalah bagaimana mengatasi ketimpangan ekonomi di Indonesia yang masih sangat besar dan menjadi isu struktural di dalam perekonomian yang prioritas untuk dijawab, agar Indonesia lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Hal ini menjadi bertambah krusial apabila dikaitkan dengan bonus demografi Indonesia, dimana sekitar 36
1 dekade ke depan, penduduk Indonesia sebagian besar adalah angkatan kerja produktif. Langkah-langkah dan kebijakan fiskal yang antisipatif perlu dilakukan dari sekarang, agar struktur demografi ini benar-benar menjadi bonus, dan bukan sebaliknya, menjadi masalah yang menjadi beban perekonomian. Tulisan ini selanjutnya akan membahas langkah dan kebijakan yang perlu diambil oleh Pemerintah tersebut.
Potret Ekonomi Indonesia terkini dan permasalahannya Dalam perspektif ekonomi makro, perekonomian Indonesia dalam waktu 1 dekade terakhir tidak bisa
dipandang sebelah mata. Prestasi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara rata-rata, hanya bisa dikalahkan oleh Tiongkok dan India (Grafik 1). Ketika snapshot, kita arahkan ke 2 tahun terakhir, dimana dunia sedang dalam situasi ketidakpastian ekonomi yang kelam, sebagaimana akibat pelemahan harga komoditas dan turunnya tingkat produktivitas lokomotif pertumbuhan ekonomi global (Tiongkok, AS, Jepang, dan Eropa), Indonesia pun tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia yang patut dipertimbangkan kekuatannya (Tabel 1). Hal ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi di masa-masa sebelumnya sebagai fondasi dasar, yang
Grafik 1 : Rata-Rata Pertumbuhan PDB 2006-2015 Indonesia dibanding Negara G20 dan Negara Asean
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017 (data diolah)
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Tabel 1 : Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 2009-2016 Tahun
Quarter I
Quarter II
Quarter III
Quarter IV
2016
4.91
5.19
5.01
4.94
2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009
4.73 5.14 6.03 6.29 6.45 5.99 4.60
4.66 5.03 5.81 6.36 6.52 6.29 4.37
4.74 4.92 5.62 6.17 6.49 5.81 4.31
5.04 5.01 5.72 6.11 6.50 6.81 4.58
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017 (data diolah)
tabel 2. Capaian ini tidak bisa dilihat hanya dalam satu titik waktu, tetapi merupakan hasil akumulasi dari pembangunan dasar struktur perekonomian yang dilakukan dengan baik pada masa sebelumnya. Fakta dan data ekonomi Indonesia tersebut, patut membuat kita semua boleh berbangga. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri, struktur
ditetapkan dengan prudent namun efektif, yang kemudian terus dilanjutkan dengan pendekatan yang serupa, sehingga dalam jangka menengah dan panjang menjadikan struktur bangunan perekonomian menjadi robust dan sustainable. Hal ini tercermin dari besaran angka indikator capaian perekonomian Indonesia terkini sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 2. Indikator Makro Perekonomian Indonesia 2016 Indikator
Capaian
Inflasi terkendali dan Pasar Keuangan stabil
Inflasi 2016 3,02% Apresiasi Rp 2016 2,6% IHSG tumbuh 15,3%
Direct Investment
PMA tumbuh 10,7% (295 T), Q3 2016 PMDN tumbuh 18,8% (158 T), Q3 2016
Balance of Payment
Surplus USD 5,7 Miliar (Balance of Trade) Defisit transaksi berjalan USD 4,5 Miliar (1,8% PDB)
Cadangan Devisa
USD 111,5 Miliar setara dengan 8,1 bulan impor (Per November 2016)
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017 (data diolah)
Tabel 3: Dekomposisi PDB Indonesia Tahun 2015 – 2016 Ytd Q3 2015
Q4 2015
Ytd Q3 2016
Konsumsi Rumah Tangga
4.80%
4.80%
5%
Konsumsi Pemerintah
4.40%
5.40%
2%
Investasi
4.40%
5.10%
4.90%
Ekspor
-0.40%
-2%
-4%
Impor
-5.10%
-5.80%
-3.90%
PDB
4.71%
4.79%
5.04%
Sumber : Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2017 (data diolah)
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
demografi dan pertumbuhan kelas ekonomi menengah lah yang sebenarnya menjadi bahan bakar utama dari mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini (Tabel 3). Konsumsi masyarakat, secara konsisten dalam waktu 2 tahun terakhir menjadi salah satu sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan pada tahun 2016, konsumsi masyarakat ini menjadi leading factor yang menyelamatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang terdampak pelemahan ekonomi global, terutama sebagai akibat dari economic rebalancing Tiongkok dan ketidakpastian situasi politik di Amerika Serikat. Lebih jauh ketika kita melihat detail dalam struktur pertumbuhan ekonomi tersebut, kita patut mengernyitkan dahi dan berpikir, karena ternyata ketika pertumbuhan ekonomi tersebut didekomposisi berdasarkan area dan wilayah pertumbuhan, maka terlihatlah ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang cukup lebar. Di dalam perspektif antara pertumbuhan pedesaan dan perkotaan, kita bisa lihat dalam periode hampir 5 dekade kebelakang tren ketimpangan pertumbuhan di desa dan kota cenderung naik, terutama di wilayah perkotaan (grafik 2). Apabila dilihat dari perspektif kewilayahan, struktur pertumbuhan di Indonesia, masih di dominasi oleh kegiatan perekonomian di Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan yang berkontribusi hampir 60% dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka ini berbeda sangat jauh, misalnya dengan Papua, yang menyumbangkan porsi 2,5% pertumbuhan ekonomi Indonesia (Tabel 4). Permasalahan ketimpangan ini menjadi isu yang perlu dipecahkan, karena bukan hanya semata masalah penciptaan struktur perekonomian yang lebih kuat, namun juga karena amanat konstitusi dasar Indonesia di dalam UUD 45 yang memerintahkan 37
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Grafik 2: Tingkat Ketimpangan Indonesia Tahun 1970 – 2015
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017 (data diolah)
Tabel 4: Dekomposisi Pertumbuhan PDB di Indonesia berdasarkan Pulau
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Pulau
% PDB
Sumber Pertumbuhan
Jawa
58,40%
Industri Pengolahan, Perdagangan, Konstruksi
Sumatera
22%
Pertanian, Industri Pengolaham, Pertambangan
Kalimantan
7,70%
Pertambangan, Industri, Pertanian
Sulawesi
6,20%
Pertanian, Konstruksi, Perdagangan
Bali dan Nusra
3,20%
Pertanian, Pariwisata, Perdagangan
Papua
2,50%
Pertambangan, Pertanian
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017(data diolah)
negara untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, di seluruh wilayah Indonesia, tanpa terkecuali.
Kebijakan Pemerintah dalam merespon tantangan perekonomian Menghadapi tantangan ketimpangan dalam perekonomian tersebut, Pemerintah memberi respon dengan menciptakan kebijakan fiskal yang antisipatif yang menitikberatkan pada reformasi fiskal yang bertumpu pada 2 kebijakan utama yaitu reformasi struktural perekonomian Indonesia dan pengambilan kebijakan fiskal yang akomodatif dan independen. Reformasi struktural yang dilakukan Pemerintah adalah dengan menggeser leading factor pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari berbasis konsumsi menjadi ber38
basis investasi. Dalam hal ini, Pemerintah menargetkan porsi kontribusi pertumbuhan ekonomi dari sektor investasi mencapai 39% pada tahun 2020, naik dari capaian kontribusi yang berkisar 32% pada tahun 2013, 2014 dan 2015. Guna mempersiapkan dan mendukung kebijakan shifting growth leading factor ini, Pemerintah menetapkan kebijakan fiskal jangka pendek (tahunan) dengan menetapkan APBN yang mempunyai 3 nilai dasar yaitu optimalisasi penerimaan negara, belanja negara yang produktif dan berkualitas, serta pengelolaan pembiayaan APBN yang berpedoman pada prinsip kehati-hatian. Optimalisasi penerimaan negara dimulai dari penghitungan target penerimaan pajak yang realistis, dengan memperhitungan pertumbuhan ekonomi domestik dan global. Hal ini penting untuk memberi confidence
kepada pelaku pasar, baik pasar keuangan maupun pasar riil, sehingga dapat merencanakan dan mengeksekusi rencana bisnis dan investasi nya dengan baik. Dari sisi Pemerintah, dengan adanya kepercayaan diri dari pasar ini, akan membuat perekonomian berjalan baik, sehingga pada akhirnya pajak yang dipungut dari sektor perkonomian tersebut optimal dan sesuai dengan target. Pada tahun 2017, penerimaan pajak ditetapkan turun 3% dari target 2016, namun sesungguhnya nominal angkanya naik 13,5% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2016, serta PNBP ditargetkan naik 15% dari realisasi tahun 2016. Rencana penerimaan ini diharapkan dapat menjadi acuan yang realistis bagi stakeholders perekonomian Indonesia. Penetapan rencana tersebut kemudian diikuti dengan reformasi di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dengan bertumpu kepada reformasi kebijakan perpajakan yang mengacu pada revisi peraturan perundangan (UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Bea Materai) serta reformasi administrasi perpajakan, yang akan dilaksanakan dengan meningkatkan efektivitas penegakan hukum perpajakan, meningkatkan kualitas sistem IT perpajakan, manajemen database perpajakan yang lebih handal, dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM perpajakan. Reformasi ini dilakukan pada waktu yang tepat, ka-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Grafik 3: Perubahan Prioritas Belanja Pemerintah dari Tahun 2011 – 2017
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017 (data diolah)
rena Indonesia baru saja melakukan kebijakan pengampunan pajak, yang dinilai salah satu yang paling sukses di dunia. Hasil kebijakan pengampunan pajak ini selain dalam bentuk nominal berupa nilai aset yang dideklarasi dan uang tebusan, yang lebih penting sebenarnya adalah hasil berupa data perpajakan yang akan menjadi perluasan tax base dalam tahun-tahun mendatang dan juga meningkatkan kepercayaan masyarakat sebagai pembayar pajak dan pemerintah. Sisi belanja juga menjadi perhatian yang serius bagi Pemerintah untuk ditata ulang prioritisasinya, sehingga dapat mendukung kebijakan shifting growth leading factor kepada investment base dari consumption base, dalam strategi mengatasi ketimpangan perekonomian Indonesia. Hal ini diimplementasikan dalam me-
netapkan kebijakan peningkatan belanja produktif dan berkualitas, yang mengacu pada peningkatan belanja untuk pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar yang menjadi basis pertumbuhan ekonomi dan menjadi suprastruktur bagi sarana infrastruktur lainnya, seperti jalan arteri, pelabuhan pengumpan, dan bandara perintis. Perubahan prioritas belanja pemerintah ini dapat dilihat pada grafik 3. Semenjak tahun 2014, belanja subsidi, terutama subsidi energi dialihkan ke sektor produktif pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2011, APBN untuk pembangunan infrastruktur berkisar 125 triliun sedangkan pada APBN 2017, angka pembangunan infrastruktur naik drastis menjadi lebih dari 375 triliun, atau secara rata-rata naik 123,4%. Kenaikan
anggaran infrastruktur ini dilakukan dengan mengalihkan subsidi energi, yang porsi alokasinya turun rata-rata 66,2%. Sensitivitas kenaikan 1 triliun dalam belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur setara dengan pembangunan jalan baru sepanjang 155 km atau jembatan baru sepanjang 3,5 Km, dengan kata lain, peralihan subsidi energi ke belanja infrastruktur tersebut sangat berarti dalam menciptakan infrastruktur baru yang mempunyai trickle down effect ke perekonomian yang sangat besar. Sejalan dengan prinsip APBN yang menganut asas belanja yang lebih besar daripada pendapatan (defisit) dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, maka konsekuensi pembiayaan menjadi hal yang harus dilakukan Pemerintah. Poin penting dalam pembiayaan ini dititikberatkan pada pengelolaannya yang harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan digunakan untuk kegiatan yang produktif. Asas kehatihatian tercermin pada rasio utang terhadap PDB, dimana rasio Indonesia sangat jauh dibawah negara-negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat, bahkan juga jauh dari negara yang selevel dengan Indonesia dalam
Grafik 4: Perbandingan Rasio Utang Indonesia dengan Negara-Negara Lain
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
39
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
perspektif ekonomi seperti Malaysia, Thailand dan Filipina (grafik 4). Fakta ini patut menjadi kredit bagi pengelolaan pembiayaan di Indonesia, karena tidak hanya memenuhi ketentuan perundangan dimana ditetapkan maksimal rasio utang adalah 60% PDB, tetapi lebih lagi ketika dibandingkan dengan negara yang ekonominya comparable dengan Indonesia, rasio utang kita jauh lebih kecil. Apresiasi pada manajemen pengelolaan pembiayaan pemerintah tersebut memang patut diberikan, jika melihat fakta berikutnya di mana ternyata dengan pembiayaan yang relatif kecil terhadap PDB tersebut, mampu menjadi leverage yang maksimal bagi Indonesia dalam mencapai pertumbuhan Indonesia. (grafik 5) Indonesia paling optimal dalam memanfaatkan pembiayaan APBN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dimana dalam kurun 5 waktu terakhir, rata-rata defisit sebesar 2% dari PDB telah berhasil menjadi salah satu bahan bakar dalam memutar mesin ekonomi sehingga da-
pat tumbuh 5,5%. Jauh dari Jepang yang mengorbankan 7,7% defisit dan hanya memperoleh 0,6% pertumbuhan, atau Malaysia yang mengeluarkan 3,3% defisit, dan hanya mencapai pertumbuhan sebesar 2,7%. Bahkan ketika dibandingkan dengan India yang mampu mengalahkan capaian pertumbuhan Indonesia, dimana ekonomi India tumbuh 6,7% (1,2x lebih besar dari Indonesia), tetapi harus dibiayai dengan defisit anggaran sebesar 7,5% dari PDB (3,75x lebih besar dari Indonesia). Sebagai kesimpulan, tentu kebijakan-kebijakan ini perlu dilaksanakan dengan konsisten dan berkelanjutan, sehingga pada jangka menengah dapat mencapai tujuannya yaitu mengalihkan mesin pertumbuhan ekonomi dari sektor konsumsi kepada sektor investasi dan pada akhirnya, dalam jangka panjang, dapat memperkecil ketimpangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini akan membuat ekonomi Indonesia benar-benar berdiri pada struktur fondasi yang kuat, tidak hanya dalam perspektif besaran
angka, namun juga pada perspektif kewilayahan sebagai sumber pertumbuhan. Dengan demikian, amanat konstitusi dasar untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur di seluruh tanah air Indonesia dapat tercapai dan terealisasikan. n
Referensi: 1. Kementerian Keuangan RI, 2017. Presentasi Menteri Keuangan Road Show Universitas dan Akademisi. 2. Indonesia Investment, 2017. Produk Domestik Bruto Indonesia. Diakses pada Mei 2017. 3. https://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/ angka-ekonomi-makro/produk-domestik-bruto-indonesia/item253? 4. BPS. 2017. Data PDB Per Pengeluaran. Diakses 28 April 2017. 5. https://www.bps.go.id/QuickMap?id=0000000000
Grafik 5: Perbandingan Rasio Utang Indonesia dengan Negara-Negara Lain
Sumber : Kementerian Keuangan, 2017
40
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Tantangan dalam Perbaikan Angka Ketimpangan Pembangunan Melalui Penyediaan Fasilitas Layanan Kesehatan Oleh: Roki Gangsar Winoto Kepala Seksi Risiko Jaminan Sosial.Email:
[email protected]
P
emerataan pembangunan merupakan agenda utama Pemerintah saat ini, selain untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi juga memperbaiki angka ketimpangan yang direfleksikan dalam Gini ratio. Pemerintah menargetkan melalui RPJMN, pada tahun 2019 Gini ratio Indonesia sebesar 0.36 atau membaik sekitar 0.3 dari realisasi tahun 2016 sebesar 0.39. Arah kebijakan yang dilakukan antara lain melalui intensifikasi paketpaket kebijakan yang mendukung pemerataan pembangunan dan peningkatan pendapatan seperti KUR, menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas, mengintegrasikan pelaksanaan UU Desa dengan program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada peningkatan pendapatan, dan meningkatkan ‘equality of opportunities’, meningkatkan rasio pajak terhadap PDB serta pengeluaran publik yang pro-poor. Berbicara mengenai ketimpangan pembangunan, hampir seluruh pembangunan infrastruktur baik fisik dan non fisik selama ini tersentralisasi di Pulau Jawa dan Sumatera, begitu INFO RISIKO FISKAL
pula infrastruktur kesehatan. Kedepannya, pembangunan perlu difokuskan ke daerah selain Jawa dan Sumatera. Di sektor kesehatan, indikator
penting yang sering dirujuk oleh beberapa pihak untuk melihat kesiapan infrastruktur kesehatan adalah indikator health expenditure per capita,
Gambar 1: Perbandingan Belanja Kesehatan di Berbagai Dunia
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
41
m e i d t u i k g a a s s i i
social health insurance share dan out ouf pocket. Apabila dibandingkan dengan negara lain yang setara (peer countries), belanja kesehatan di Indonesia memang tergolong rendah, meskipun hal ini dipahami oleh beberapa pihak karena tax ratio Indonesia juga rendah. Indikator lainnya adalah out of pocket (tingkat pengeluaran biaya kesehatan tunai yaitu besarnya biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk memperoleh layanan kesehatan, termasuk didalamnya biaya jasa dokter, obat, dan biaya alat penunjang) Indonesia cukup tinggi sekitar 45.3%, yang menunjukkan masih kurangnya pendanaan dan supply side, yaitu jumlah fasilitas kesehatan dan dokter baik dari aspek jumlah, kualitas, dan distribusinya. Dalam hal ini Pemerintah diharapkan untuk memperbaiki indikator-indikator di atas melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dioperasikan oleh BPJS Kesehatan sejak tahun 2014. Sebenarnya, bagaimanakah kondisi riil infrastruktur kesehatan di Indonesia saat ini? Berdasarkan data
Sumber: Pusat Data dan Informasi. Kemenkes RI, 2016
dari Kementerian Kesehatan, infrastruktur kesehatan yang mencakup Puskesmas, rumah sakit, ketersediaan tempat tidur; tenaga kesehatan baik di Puskesmas maupun rumah sakit; dan pembiayaan kesehatan adalah sebagai berikut.
Sarana Kesehatan Jumlah Puskesmas di seluruh wilayah Indonesia sampai dengan 2015 adalah sebanyak 9.754 unit dengan komposisi 40% Puskesmas rawat inap dan 60% Puskesmas non rawat inap. Jumlah Puskesmas memang meningkat tiap tahunnya, tetapi dipandang masih kurang jika melihat rasio terha-
f r i i s s k i a k l o
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2016 (http:/bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi.
42
dap jumlah penduduk. Rasio Puskesmas per 30 ribu penduduk pada tahun 2015 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 1.15. Provinsi dengan rasio tertinggi yaitu Papua, sekitar 5.2 dan provinsi terendah Banten sekitar 0.58. Rasio ini belum menggambarkan distribusi yang baik, karena dipengaruhi oleh jumlah dan kepadatan penduduk. Jumlah rumah sakit sampai dengan tahun 2015 sebanyak 2.488 rumah sakit, sedangkan dilihat dari rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk, rumah sakit di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 1.21 per 1.000 penduduk. Rasio ini meningkat dibandingkan tahun 2014, yaitu sebesar 1.07 per 1.000 penduduk. Walaupun rasio tempat tidur terhadap jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2015 telah mencukupi, tetapi ketika dijabarkan per provinsi maka ditemukan masih ada enam provinsi dengan rasio tempat tidur terhadap penduduknya kurang mencukupi, yaitu Banten (0.92), Nusa Tenggara Timur (0.88), Lampung (0.86), Jawa Barat (0.84), Sulawesi Barat (0.78), dan Nusa Tenggara Barat (0.73). Rasio tempat tidur rumah sakit tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2.94, DKI Jakarta sebesar 2.43, dan Sulawesi Utara sebesar 2.28.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2016 (http:/bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi.
Dari aspek ketersediaan tenaga kesehatan, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 11. Definisi tenaga kesehatan meliputi tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain. Rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk merupakan indikator untuk mengukur ketersediaan tenaga kesehatan untuk mencapai target pembangunan kesehatan tertentu. Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2013 tentang Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 – 2025, target rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk pada tahun 2019 di antaranya rasio dokter umum 45 per 100.000 penduduk, rasio dokter gigi 13 per 100.000 penduduk, raINFO RISIKO FISKAL
sio perawat 180 per 100.000 penduduk, dan rasio bidan 120 per 100.000 penduduk. Pada gambar 3, diketahui bahwa rasio dokter terhadap 100.000 penduduk baik secara nasional maupun provinsi masih jauh dari target rasio dokter pada tahun 2019 yaitu 45 per 100.000 penduduk. Secara nasional, rasio dokter di Indonesia sebesar 16.06 per 100.000 penduduk. Angka ini masih belum mencapai target tahun 2014 yaitu 40 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio tertinggi yaitu Sulawesi Utara (39.18 per 100.000 penduduk) dan provinsi dengan rasio terendah yaitu Jawa Barat (10.95 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2015, total SDM Kesehatan di Indonesia adalah sebanyak 876.984 orang yang terdiri dari 647.170 orang tenaga kesehatan (73,8%) dan 229.814 orang tenaga penunjang kesehatan (26,2%). Tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak pada tahun 2015 yaitu perawat sebanyak 223.910 orang atau 34.6% dari total tenaga kesehatan, sedangkan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
tenaga kesehatan dengan jumlah paling sedikit yaitu tenaga kesehatan tradisional sebanyak 6 orang atau 0,001% dari total tenaga kesehatan. Provinsi dengan tenaga kesehatan paling banyak terpusat di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah (76.819 orang), Jawa Timur (69.405 orang), dan Jawa Barat (66.152 orang). Provinsi dengan jumlah tenaga kesehatan paling sedikit yaitu Kalimantan Utara sebanyak 2.887 orang. Apabila dilihat dari kecukupan dokter di Puskesmas, menurut ketentuan, Puskesmas non rawat inap setidaknya memiliki minimal jumlah dokter satu orang, sedangkan Puskesmas rawat inap minimal jumlah dokter dua orang, baik pada wilayah perkotaan, perdesaan, maupun kawasan terpencil dan sangat terpencil. Pada gambar 4, diketahui bahwa di Indonesia pada tahun 2015 terdapat 38.53% Puskesmas yang memiliki dokter melebihi jumlah standar yang ditetapkan, 35.9% Puskesmas sudah cukup dokter, dan 25.57% Puskesmas kekurangan dokter. Secara regional, proporsi terbesar Puskesmas yang cukup dan kelebihan jumlah dokter terdapat di regional Jawa-Bali (82.8%) dan Sumatera (81.7%), sedangkan proporsi terbesar Puskesmas yang kekurangan dokter terdapat di regional Nusa Tenggara-Maluku-Papua (52.78%). Total dokter spesialis di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar 48.651 orang yang terdiri dari 21.041 orang dokter spesialis dasar (43.25%), 8.201 orang dokter spesialis penunjang 16.86%), 18.363 orang dokter spesialis lain (37.74%), dan 1.046 orang dokter gigi spesialis (2.15%). Menurut jenis spesialisasi43
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Gambar 5: Beberapa faktor investasi di sektor kesehatan Indonesia menurut Ernst & Young
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Sumber: EY Indonesia
nya, dokter spesialis terbanyak yaitu dokter spesialis anak dengan jumlah 6.161 orang (12.66%). Provinsi dengan jumlah dokter spesialis terbanyak yaitu Jawa Barat (7.474 orang) dan Jawa Timur (6.240 orang), sedangkan provinsi dengan jumlah dokter spesialis paling sedikit yaitu Kalimantan Utara (59 orang), Sulawesi Barat (79 orang), dan Maluku Utara (83 orang).
Peran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gap kebutuhan infrasturktur kesehatan masih cukup besar dan belum merata. Lantas bagaimanakah peran program JKN dalam meningkatkan infrastruktur kesehatan dan upaya menarik investor untuk berinvestasi di bidang kesehatan? Salah satu target dari implementasi program JKN adalah kepesertaan 44
di mana seluruh penduduk Indonesia menjadi peserta program pada tahun 2019. Dengan target tersebut, Pemerintah memiliki tantangan untuk memperbaiki supply side. Selama tiga tahun implementasi, BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan klinik keluarga) sebanyak 20.593, meningkat sebesar 35% dari tahun 2014. Sedangkan kerjasama dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau rumah sakit baik milik publik atau privat, sampai dengan Oktober tahun 2016 BPJS telah bekerjasama dengan FKTL sebanyak 1.999 atau meningkat sebesar 80% dari tahun 2014. Tentunya hal ini belum belum dapat dikatakan memenuhi kebutuhan karena masih ada kendala-kendala dalam implementasi. Berdasarkan evaluasi BPJS Kesehatan atas kerjasama yang sudah dilakukan baik di FKTP atau FKTL masih ditemu-
kan beberapa tantangan, termasuk di antaranya sebaran FKTP dan FKTL belum merata (termasuk tenaga kesehatan), letak FKTP dan FKTL tidak sesuai dengan kebutuhan peserta program JKN, dan kondisi sarana prasarana yang belum sama di seluruh Indonesia. Dilihat dari peluang investasi di infrastruktur kesehatan, target capaian universal health coverage pada tahun 2019 membuka peluang bagi investor untuk berpartisipasi dengan pertimbangan adanya potensi peningkatan demand disandingkan dengan ketimpangan infrastruktur kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan Ernst & Young tahun 2015 yang berjudul Ripe for Investment: the Indonesian healthcare industry post introduction of universal health coverage disebutkan beberapa faktor investasi di sektor kesehatan di Indonesia masih menjadi hal yang menarik, antara lain kondisi makro
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Gambar 6: Perbandingan Anggaran Kesehatan terhadap Belanja Negara (RHS)
Sumber: Kementerian Keuangan
ekonomi yang cukup baik, populasi Indonesia yang besar, bonus demografi, dan belanja kesehatan yang relatif rendah. Dalam kajian tersebut disebutkan rekomendasi bagi calon investor yang disampaikan, sebagai berikut: Pertama, fokus pada layanan kesehatan spesialis yang terjangkau, karena di Indonesia terdapat regulasi (Perpres No: 39 Tahun 2014) yang melarang investor asing berinvestasi untuk pembangunan rumah sakit umum dan rumah sakit bersalin. Oleh karena itu, investor asing bisa masuk dan menguasai sekitar 67 % kepemilikan untuk klinik dan rumah sakit khusus non-maternity. Selain itu, investor asing juga bisa masuk ke klinik laboratorium dan klinik check-up. Kedua, membentuk kemitraan dengan investor dalam negeri yang dapat memberikan arahan mengenai proses perencanaan rumah sakit yang rumit dan pengetahuan mendasar yang penting mengenai sistem penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Sebaliknya investor asing dapat berbagi kepiawaian di bidang manajemen rumah sakit yang saat ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Ketiga, memulai investasi dari kota lapis kedua yang memiliki kesenjangan antara demand-supply layanan kesehatan yang lebih besar dan harga tanah yang lebih rendah dibandingkan kota-kota lainnya. Keempat, berinvestasi dalam pengembangan dokter-dokter berINFO RISIKO FISKAL
kualitas guna menciptakan standar pelayanan kesehatan yang tinggi dan reputasi yang baik. Kelima, pemantauan yang ketat terhadap biaya dan kebutuhan modal kerja, khususnya karena tarif layanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTL) maupun pembayaran dengan sistem paket atau yang lebih dikenal dengan Indonesia Case Base Groups (INA CBG’s) masih tergolong rendah. Meski tarif INA CBG’s relatif rendah, diyakini seiring dengan demand yang meningkat secara volume, investasi di bidang kesehatan akan menarik apabila dikelola dengan efektif dan efisien. Di sisi APBN, dengan keterbatasan kapasitas fiskal, Pemerintah berkomitmen mendukung pembangunan di sektor kesehatan dengan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5% dari belanja negara mulai tahun 2016. Selain itu, di tengah keterbatasan fiskal guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, Pemerintah juga mendorong pembangunan infrastruktur kesehatan melalui skema Public Private Partnership-PPP.
Penutup Dari data-data yang telah disampaikan di atas dapat dilihat bahwa masih banyak pekerjaan rumah Pemerintah untuk mengurangi ketimpangan sarana kesehatan antar daerah. Oleh karena itu, Pemerintah berko-
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
mitmen penuh untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur di bidang kesehatan yang tercermin dari komitmen pemerintah memenuhi amanah UU Kesehatan dengan mengalokasikan anggaran kesehatan dalam APBN minimal sebesar 5% dari belanja negara. Selain itu, program JKN SJSN diharapkan dapat membawa pengaruh positif bagi iklim investasi Indonesia di bidang kesehatan sehingga kedepannya, pembangunan fasilitas kesehatan tidak hanya bersumber dari APBN saja tetapi juga bisa berasal dari partisipasi aktif pihak swasta. n
Pustaka: • Sudarno Sumarto, Penasihat Kebijakan TNP2K, “Paparan Prospek dan Tantangan Pencapaian Sasaran Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Disampaikan pada Workshop Kebijakan Ekonomi Makro Maret 2017” • Profil Kesehatan Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, 2016 • Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional • Penelitian Ernst & Young tahun 2015 “Ripe for Investment: the Indonesian healthcare industry post introduction of universal health coverage.
45
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Program Pemerintah Menekan Angka Ketimpangan Oleh: Okta Martua Sitanggang
Pelaksana Seksi Pengungkapan Risiko Keuangan Negara. Email:
[email protected]
Pendahuluan
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Pemerataan ekonomi menjadi fokus program kerja yang telah disampaikan Presiden untuk tahun 2017 dan 2018. Hal ini seiring dengan tingginya angka koefisien Gini Indonesia yang belum menunjukkan penurunan signifikan. Secara umum, rasio Gini dianggap sebagai indikator paling ideal mengukur ketimpangan karena menggambarkan seluruh distribusi pendapatan atau konsumsi seluruh masyarakat suatu wilayah. Angka koefisien Gini Indonesia melonjak pada tahun 2011 dari 0,378 menjadi 0,410 dan terus berada diatas 0,400 hingga tahun 2015. Pada tahun 2016, meskipun telah menun-
jukkan penurunan menjadi sebesar 0,397 tetapi dinilai masih tetap tinggi oleh Pemerintah. Sebelum tahun 2010, koefisien Gini Indonesia mengalami fluktuasi, dengan rata-rata sebesar 3,5. Kemudian selama tujuh tahun terakhir terjadi peningkatan luar biasa, yang dirasakan nyata oleh masyarakat dan menjadi topik menarik bagi kaum akademisi. Grafik 1 merupakan angka koefisien Gini dengan pendekatan konsumsi, yang umum digunakan. Memahami ketimpangan membutuhkan perspektif yang luas didukung dengan data yang spesifik, sehingga diperoleh gambaran yang lengkap dan mendalam. Mengguna-
Grafik 1: Gini Index
46
kan koefisien Gini saja sebagai indikator ketimpangan bisa dikatakan belum cukup. Koefisien Gini dengan pendekatan konsumsi tidak secara efektif mengukur distribusi kekayaan, disebabkan peningkatan kekayaan tidak selalu diikuti peningkatan konsumsi ataupun sebaliknya. Indikator ketimpangan lainnya yang dapat digunakan adalah distribusi kepemilikan tanah dan distribusi kepemilikan harta kekayaan yang biasanya angkanya lebih tinggi dari angka koefisien Gini yang menggunakan pendekatan konsumsi. Menurut Deininger “Ketimpangan penguasaan lahan mengarah pada pertumbuhan jangka panjang yang rendah dan mengurangi pendapatan bagi masyarakat miskin, tetapi tidak untuk orang kaya,” sehingga ada siklus yang memerangkap orang – orang tidak punya tanah (ataupun modal) dalam kelas dengan pendapatan rendah. Kepemilikan tanah di Indonesia sangat timpang dan meningkat, jika mengacu pendapat Deininger kondisi ini dapat menjadi sumber risiko pertumbuhan ekonomi.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Ketimpangan Kepemilikan Tanah (1963-2003) National Tahun
Average land holding (ha)
Gini for land
1963
1.10
1973
1.00
0.55
1983
0.93
0.50
1993
0.83
0.64
2003
0.72
0.72
Sumber: Mishra (2009), UNSFIR, BPS, Sensus Pertanian
Risiko Ketimpangan Saat ini ketimpangan ekonomi dianggap sebagai sumber risiko dengan dampak yang cukup besar. Meningkatnya ketimpangan pendapatan dan polarisasi masyarakat berpotensi menyebabkan gesekan sosial dalam masyarakat. Terdapat korelasi positif antara naiknya rasio Gini dengan konflik yang terjadi di daerah tertentu. Data pada Grafik 2 menunjukkan jumlah peristiwa konflik dengan rasio Gini pada di daerah tersebut. Data ini mencakup 14 provinsi tahun 1997-2013 di Indonesia. Kejadian konflik sosial akibat kesenjangan seperti data diatas juga diafirmasi oleh Amy Chua, Profesor
Ilmu Hukum di Yale. Dalam bukunya World on Fire menyatakan bahwa dalam negara demokrasi dengan karakter pasar bebas yang ekonominya dikuasai oleh kalangan minoritas secara tidak proposional, hampir dapat dipastikan menimbulkan reaksi balik (backlash). Reaksi balik ini dibagi dalam tiga kategori, pertama reaksi balik terhadap pasar dengan target kaum makmur minoritas. Kedua, reaksi balik melawan demokrasi yang selama ini memberikan keuntungan besar kepada kaum minoritas. Ketiga, memicu reaksi kekerasan, bahkan dalam bentuk pembunuhan masal diarahkan kepada kaum yang ekonominya kuat. Keadaan ini meluruskan bahwa ketimpangan tidak hanya membawa masalah pada lapisan masyarakat paling bawah, tetapi juga berpotensi menyerang nilai paling fundamental suatu negara dan keamanan masyarakat yang selama ini menikmati pertumbuhan ekonomi. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh konflik sosial sulit dikuantifikasi, tetapi jumlahnya diyakini sangat signifikan. Baik yang dapat dilihat misalnya kerusakan infrastruktur maupun yang tidak dapat dilihat, misalnya indeks kepercayaan konsumen, aktivitas bisnis, dan investasi di
Grafik 2: Gini Rata-rata Konflik di Kabupaten
Sumber: Pierskalla dan Sacks (2014)
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
wilayah tersebut. Diluar masalah sosial, ketimpangan juga menimbulkan masalah ekonomi secara langsung. Sampai pada tingkat tertentu, ketimpangan diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diferensiasi imbalan menjadi insentif bagi kerja keras dan inovasi. Pemikiran ini adalah dasar menciptakan perekonomian yang kompetitif dan berkualitas tinggi. Namun, tingkat ketimpangan yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data simulasi pada Grafik 3, sampai pada titik tertentu kenaikan rasio Gini diiringi oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi. Namun setelah melewati titik puncak kenaikan rasio Gini menurunkan pertumbuhan ekonomi. Grafik 3 menunjukkan korelasi koefisien Gini 33 provinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut. Data yang digunakan adalah rata – rata pertumbuhan ekonomi 2007 s.d. 2013 dengan rata – rata rasio Gini 2007 d.d. 2013.
Karakteristik ketimpangan di Indonesia Ide paling mendasar dari pemerataan adalah bagaimana menyeimbangkan kemampuan ekonomi antara kelompok yang memperoleh keuntungan terbesar dari pertumbuhan ekonomi dengan kelompok yang kurang memperoleh manfaat selama pertumbuhan berjalan. Di Indonesia, data kelompok yang memperoleh keuntungan terbesar belum diperoleh dengan akurat. Di negara dengan tingkat keragaman yang tinggi, seperti Amerika Serikat dan Singapura, data ketimpangan mulai dikelompokkan lebih spesifik misalnya 47
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Grafik 3: Korelasi Pertumbuhan ekonomi dengan Koefisien Gini
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Province
Link between growth and inequilty
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
etnis, ras, dan gender. Pengelompokan berdasarkan isu sensitif ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang akurat, karena tingginya ketimpangan bukan semata – mata disebabkan oleh kebijakan ekonomi, tetapi bisa jadi sosio-kultural, dengan demikian kebijakan dapat diterjemahkan dengan tepat. Di Indonesia, data sensitif seperti ini belum bisa diakses dengan mudah. Dengan begitu, Pemerintah memilih menekan angka ketimpangan melalui kebijakan dan program yang netral secara sosial, misalnya berdasarkan provinsi atau pekerjaan. Dalam rangka menciptakan program dan mengarahkan kebijakan, pemerintah berusaha melihat lebih dalam kondisi ketimpangan yang ada di Indonesia. Memahami kondisi ini penting karena setiap pola yang berbeda membutuhkan penanganan yang unik. Apabila dilihat lebih da48
lam lagi, daerah urban dan pedesaan memiliki keadaan yang berbeda. Tingkat ketimpangan daerah urban lebih tinggi daripada rata-rata nasional, berbeda dengan pedesaan yang jauh di bawah rata-rata nasional. Keadaan ini menjadi lebih jelas apa-
Dalam rangka menciptakan program dan mengarahkan kebijakan, pemerintah berusaha melihat lebih dalam kondisi ketimpangan yang ada di Indonesia
bila melihat struktur ekonomi yang berjalan. Secara umum, perekonomian urban dipenuhi oleh sektor jasa dengan pertumbuhan yang mengagumkan, jasa keuangan, informasi dan komunikasi, jasa lainnya, transportasi dan pergudangan, dan jasa perusahaan berada di puncak pertumbuhan sektoral dengan pertumbuhan diatas tujuh persen tahun 2016. Di pedesaan, tingkat ketimpangan tidak setinggi di perkotaan, tetapi angkanya meningkat. Struktur perekonomian desa mulai berkembang, tidak sejenis dilingkaran pertanian, bahkan sektor pertanian mulai mengalami penurunan yang drastis. Disisi lain, sektor jasa masuk dan telah meningkatkan pendapatan penduduk desa. Korelasi positif terjadi antara masuknya sektor jasa di pedesaan dengan koefisien Gini. Apabila melihat gambaran besarnya, pertumbuhan ekonomi yang
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
tinggi satu dekade terakhir dirasakan juga oleh penduduk di pedesaan. Apabila dilihat berdasarkan sektor, ketimpangan pada sektor jasa di Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Tidak dapat dipungkiri dengan tingginya pertumbuhan sektor ini ditambah semakin banyak orang bekerja didalamnya, mulai dari asisten rumah tangga, baby sitter, guru, akuntan, kuasa hukum, dokter, konsultan, hingga desainer menaikkan koefisien Gini Indonesia. Penggabungan low-skilled service dan high-skilled service ke dalam satu terminologi menghasilkan Koefisien Gini yang tinggi. Hal ini tidak berarti Pemerintah harus menghindari pertumbuhan sektor jasa, namun bagaimana meningkatkan kualitas jasa yang dijual. Untuk itu, Pemerintah perlu memantau dan melakukan intervensi positif, terlebih data tahun 2014 menunjukkan orang yang bekerja di sektor jasa jumlahnya hampir sama dengan orang yang bekerja di sektor pertanian dan industri.
Daerah
Kota
Desa
Penggabungan low-skilled service dan highskilled service ke dalam satu terminologi menghasilkan Koefisien Gini yang tinggi
Program Pemerintah Pada tahun ini, Pemerintah fokus untuk mewujudkan pemerataan ekonomi melalui reforma agraria. Pemerintah telah merilis kebijakan baru terkait pembatasan kepemilikan tanah yang tertuang dalam Perturan Menteri ATR No. 18 tahun 2016. Penerbitan peraturan ini dimaksudkan untuk
mengurangi kesenjangan sosial, memeratakan kesejahteraan masyarakat, dan menjamin ketahanan pangan. Terbitnya peraturan ini dilandasi oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960. Pemerintah menargetkan redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta ha. Peraturan menteri ini mengetatkan pengalihan hak atas tanah dengan membatasi kepemilikan tanah paling luas 20 ha untuk kawasan tidak padat, 12 ha untuk kawasan kurang padat, 9 ha untuk kawasan cukup padat, dan 6 ha untuk kawasan sangat padat. Selain itu tanah pertanian milik perorangan dapat dialihkan hak miliknya kepada pihak lain apabila pihak lain tersebut berdomisili satu kecamatan dengan letak tanah dan tanah tersebut harus dimanfaatkan untuk pertanian. Regulasi ini menjadi penting karena sifatnya menahan kepemilikan tanah tetap dimiliki oleh target dan tetap digunakan sebagai lahan pertanian. Dengan implementasi peraturan
Tahun
40% Berpengeluaran Rendah
40% Berpengeluaran Sedang
20% Berpengeluaran Tinggi
Indeks Gini
2010
17.57
36.99
45.44
0.38
2011
16.10
34.79
49.11
0.42
2012
16.00
34.53
49.48
0.42
2013
15.40
34.83
49.77
0.43
2014
15.62
34.89
49.49
0.43
2015
15.83
34.60
49.57
0.43
2010
20.98
38.78
40.24
0.32
2011
19.96
37.46
42.58
0.34
2012
20.60
37.57
41.82
0.33
2013
21.03
37.96
41.00
0.32
2014
20.94
38.40
40.65
0.32
2015
20.42
37.53
42.05
0.33
f r i i s s k i a k l o
Catatan: - Dihitung dengan menggunakan data individu bukan data kelompok pengeluaran seperti pada tahun 1996-1999 - Diolah dari Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Triwulan I-2012, Triwulan I-2013 and Triwulan I-2014, BPS Sumber : Badan Pusat Statistik
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
m e i d t u i k g a a s s i i
49
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
ini ditambah redistrbusi dan sertifikasi tanah, dalam jangka pendek angka ketimpangan kepemilikan tanah dapat ditekan dan dalam jangka panjang pendapatan masyarakat yang memperoleh tanah meningkat dan berkontribusi aktif pada pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan pangan dan pengelolaan sektor pertanian. Langkah lain yang sedang ditempuh pemerintah adalah Program Satu Juta Rumah tiap tahun selama 20152019. Program ini dibantu oleh keberadaan UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Tabungan Perumahan Rakyat adalah penyimpanan sejumlah dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembaliakn berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tujuan program ini adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi peserta. Pada awal pelaksanaan program ini tahun 2015, menurut data resmi Badan Pusat Statisktik, jumlah status rumah milik sendiri sebesar 82,63 persen, status rumah sewa/kontrak 2015 sebesar 8,08 persen, dan tidak memiliki rumah sebanyak 9,29 persen. Pemerintah menawarkan tiga skema untuk melaksanakan program ini, KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP). KPR Sejahtera FLPP merupakan program pemberian bantuan dan kemudahan perolehan rumah bagi MBR dengan suku bunga rendah 5% fixed, jangka waktu kredit sampai dengan 20 tahun, uang muka ringan, bebas PPN serta bebas premi 50
PIP
PKH
Rastra
Perubahan angka kemiskinan (%)
-0,58
-0,39
-0,07
Perubahan Koefisien Gini (poin)
-0,21
-0,11
-0,17
Total alokasi yang diterima per KK (Rp)
7,3 T
2,6 T
7,6 T
Sumber: Kementerian Keuangan
asuransi dan asuransi kebakaran. Kedua, KPR Selisih Bunga memungkinkan masyarakat membeli rumah melalui KPR bersubsidi (bunga KPR 5% dan selisih bunga KPR dari bunga yang dipatok oleh bank ditanggung oleh Pemerintah). Ketiga, Bantuan Uang Muka, pemerintah akan memberikan bantuan pembiayaan sebagian uang muka KPR sebesar 4 juta rupiah. Pendekatan selanjutnya adalah pemberian bantuan sosial, sifatnya hibah (grant). Setidaknya ada tiga program yang sedang berjalan, program Beras Sejahtera (Rastra), Program Keuarga Harapan (PKH), dan Program Indonesia Pintar (PIP). Target ketiga program ini adalah keluarga miskin atau rentan miskin, dengan pertimbangan khusus. Program Beras Sejahtera (Rastra) ditargetkan untuk 15,5 juta rumah tangga paling bawah. Mekanismenya, setiap rumah tangga membeli beras dengan harga Rp1.600/ kg dengan batas 15kg/bulan. Program Keluarga Harapan ditargetkan untuk 6 juta rumah tangga pada tahun 2017 dan 10 juta rumah tangga pada tahun 2018. Dilakukan dengan transfer kas, kondisi yang menjadi pertimbangan adalah pendidikan dan kesehatan anggota keluarga. Setiap rumah tangga dapat menerima hingga 6 tahun. Yang ketiga Program Indonesia Pintar, ditargetkan untuk 18,28 juta pelajar, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Program Indonesia Pintar (PIP) efektif menekan koefisien Gini (-0,21 poin), sementara Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Beras Sejahtera (Rastra) efektif menekan angka ketimpangan (-0,11 poin) dan (-0,07 poin). Berdasarkan efektivitas
per 1 Rupiah, PKH dan PIP adalah yang paling efektif menekan angka koefisien Gini dan juga angka kemiskinan. Kesinambungan ketiga program ini sangat bergantung pada komitmen Pemerintah dan kemampuan fiskal.
Penutup Menekan koefisien Gini lebih kompleks dibandingkan angka kemiskinan, karena memiliki dua segmen penentu (segmen masyarakat atas dan bawah). Dengan melakukan intervensi hanya pada satu segmen, cenderung lebih efektif menekan angka kemiskinan. Untuk itu, diperlukan upaya menutup gap antara masyarakat atas dengan masyarakat bawah dengan mewujudkan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh semua kelompok masyarakat. n
Daftar Pustaka 1. http://msc.feb.ugm.ac.id/mscnew/images/stories/berita/seminar%20kemiskinan/2.pdf 2. https://berkleycenter.georgetown.edu/responses/povertyand-inequality-our-ethicalchallenges 3. Nota Keuangan 2017 4. P e r a t u r a n P e r u n d a n g undangan terkait 5. Global Risk Report 2017, WEForum 6. http://www.pewresearch.org/ fact-tank/2016/07/01/racialgender-wage-gaps-persistin-u-s-despite-some-progress/
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Solusi Ketimpangan dalam Perspektif Ekonomi Islam Oleh: Eri Hariyanto
Direktorat Pembiayaan Syariah. Email:
[email protected]
D
alam APBN tahun 2017 disebutkan bahwa arah kebijakan fiskal pada tahun tersebut adalah: (1) memberantas kemiskinan melalui penciptaan stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi, (2) mengurangi kesenjangan melalui penyediaan barang publik koreksi atas ekternalitas, mengatasi kegagalan pasar dan antisipasi ketidakpastian perekonomian, serta (3) meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat melalui redistribusi pendapatan dan perlindungan sosial. Dari ketiga arah kebijakan fiskal tersebut dapat ditarik garis merah bahwa Pemerintah menghendaki pengurangan kemiskinan dan ketimpangan menjadi prioritas utama arah kebijakan APBN 2017, dengan didukung oleh penciptaan kondisi perekonomian yang kondusif. Harapannya, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi akan berdampak terhadap peningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat Indonesia, sehingga dalam beberapa tahun ke depan masyarakat Indonesia meningkat kemakmurannya. Arah kebijakan fiskal yang menjadi fokus Pemerintah tentu didasari oleh kenyataan bahwa kondisi ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan produktivitas masyarakat masih berada pada tingkat yang memprihatinkan. Meskipun dalam lima tahun terakhir tingkat kemiskinan menunjukkan kecenderungan menurun, INFO RISIKO FISKAL
namun dari sisi jumlah kemiskinan di Indonesia, angkanya masih sangat tinggi. Todaro (2003) berpendapat bahwa ketimpangan yang ekstrim akan menimbulkan berbagai dampak antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil. Pemerintah menginginkan agar masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi segera terselesaikan agar tidak merembet ke masalah sosial dan stabilitas nasional. Masalah ketimpangan dan kemiskinan ini bukan saja merupakan masalah nasional tetapi juga masalah internasional yang perlu ditanggulangi bersama. Sebagaimana diketahui, negara-negara di dunia termasuk Indonesia, saat ini masih menghadapi masalah kemiskinan dan ketimpangan
yang cukup tinggi. Beberapa negara yang memiliki produk nasional bruto terbesar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru menghadapi ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi. Rusia, Denmark, India, Amerika Serikat, Thailand dan Indonesia adalah 6 negara yang memiliki ketimpangan tertinggi di dunia (Oxfam, 2017). Hal ini menjadi paradoks bahwa semakin tinggi produk nasional bruto dan pertumbuhan ekonomi, justru diikuti dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi. Dalam beberapa kasus, justru peningkatan pertumbuhan ekonomi semakin memperlebar ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin. Pertumbuhan ekonomi justru menyebabkan penduduk yang memiliki kekayaan (modal) akan semakin mudah menambah kekayaan mereka, sedangkan penduduk miskin
Gambar 1. Rasio Gini Indonesia Tahun 1993-2013
Sumber: A.A. Yusuf, Center for Economics and Development Studies
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
51
O P I N I
O P I N I
yang tidak memiliki modal justru semakin bertambah miskin dan hanya menyaksikan orang-orang kaya bertambah kekayaanya. Di Indonesia, masalah ketimpangan juga menjadi masalah klasik yang telah terjadi setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa ketimpangan secara umum justru semakin meningkat, bahkan pada rentang waktu antara tahun 2011 sampai dengan 2013 indeks Gini ratio mencapai posisi tertinggi yaitu kisaran 0,41. Pada sumber lain menyebutkan bahwa indeks Gini ratio sebesar 0,41 bertahan hingga tahun 2015 dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2016. Selain itu, menurut BPS (2013) ditingkat daerah ketimpangan juga terjadi hampir merata di seluruh provinsi dengan tingkat ketimpangan di kawasan perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Di tingkat global, menurut data yang ditunjukkan oleh wikipedia ketimpangan dalam 185 tahun terakhir justru menunjukkan tren yang semakin meningkat dan mendekati ketimpangan yang sempurna (koefisien Gini ratio mendekati angka 1), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kekayaan orang-orang kaya yang hanya segelintir semakin meningkat. Sedangkan masyarakat miskin dunia yang jumlahnya sangat banyak tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka dan semakin jauh tertinggal. Saat ini setidaknya 20% populasi masyarakat kaya dunia yang mampu menikmati lebih dari 70% pendapatan dunia, atau dengan kata lain sebanyak 80% populasi masyarkat miskin dunia hanya mampu menikmati kurang dari 30% pendapatan dunia. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa pertumbuhan saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan eko52
Tabel 1. Koefisien Gini Dunia Tahun 1820–2005 Tahun
1820
1850
1870
1913
1929
1950
1960
1980
2002
2005
Rasio Gini
0.43
0.53
0.56
0.61
0.62
0.64
0.64
0.66
0.71
0.68
Sumber: wikipedia.org
nomi. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi biasanya hanya mementingkan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) suatu negara, tetapi kurang memerhatikan masalah penyerapan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi justru menambah jumlah penduduk miskin dan memperlebar ketimpangan pendapatan antar individu. Menurut Eric Maskin (penerima penghargaan Nobel Ekonomi, 2007) mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi semata akan meniadakan terjadinya pemerataan dalam masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan. Menurut Hariyanto (2017) negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, banyak yang terjebak dalam ekonomi ekslusif yaitu keinginan untuk mengejar taraf perekonomian negara-negara maju dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dengan memacu pertumbuhan ekonomi sektor sekunder (industri manufaktur) dan tersier (industri jasa). Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi tetapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Disisi lain yakni di sektor primer, terutama sektor pertanian, kurang mendapatkan perhatian padahal sektor tersebut banyak sekali menyerap tenaga kerja. Akibatnya terjadilah ketimpangan pendapatan antar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dengan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini terbukti dengan data pertumbuhan ekonomi dari BPS pada tahun 2011 sebesar 6,2% menjadi 5,02% pada tahun 2016, sedang
Indeks Gini tetap berada pada kisaran 0,41 sampai dengan awal tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak secara otomatis mereduksi ketimpangan ekonomi sosial. Demikian juga apabila dilihat dari konstribusi pertumbuhan ekonomi juga masih menunjukkan adanya ketimpangan. Kontribusi PDB Jawa dan Sumatera sebesar 80,4% (2016) sedangkan wilayah lainnya yaitu Kalimantan (7,7%), Sulawesi (6,2%), Papua (2,5%) dan Bali Nusa Tenggara (3,2%). Dari data tersebut tampak sekali adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun namun kondisi tersebut juga dibarengi dengan peningkatan kesenjangan kekayaan antarpenduduk, peningkatan Indeks Gini dan peningkatan kesenjangan antar wilayah sebagaimana dipaparkan pada Gambar 2. Dampak dari kondisi tersebut masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tertinggal jauh oleh masyarakat kelas menengah dan atas. Kondisi di atas tentu menjadi tantangan agar ketimpangan dan kemiskinan segera diatasi dengan mencari penyebab sesungguhnya dan bukan hanya menyembuhkan gejala-gejala yang timbul (simptons) saja. Beberapa ekonom Indonesia menyebutkan penyebab-penyebab ketimpangan diantaranya adalah pengusaan kekayaan oleh sejumlah kecil warga negara yang didukung oleh faktor politik dan fundamental pasar yang menyebabkan kekayaannya semakin bertambah, mekanisme distribusi yang belum berjalan dengan baik, serta ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Gambar 2. Sebaran Pertumbuhan PDRB dan Kemiskinan Daerah Tahun 2016
Perlu ada pemikiran bersama untuk merumuskan kembali resep yang paling tepat untuk menyembuhkan kesenjangan dan kemiskinan dengan obat yang lebih sesuai dan tidak menggunakan resep yang sama untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan pada wilayah yang berbeda tanpa memperhatikan kondisi masyarakat setempat.
Pandangan Ekonomi Islam terhadap Ketimpangan Diantara pemikiran yang muncul saat ini dalam mengatasi masalah ketimpangan adalah pemikiran ekonomi Islam yang menekankan bahwa fokus mencapai kesejahteraan masyarakat bukan berasal dari peningkatan pertumbuhan ekonomi saja yang tercermin dari peningkatan produksi barang dan jasa. Bukan pula berfokus pada pembangunan fisik material individu, masyarakat dan negara semata. Tetapi ekonomi Islam lebih menekankan tercapainya kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat. Menurut As-Shatibi dalam Misanam, dkk (2008) disebutkan bahwa tercapainya kesejahteraINFO RISIKO FISKAL
an hakiki masyarakat apabila terdapat perlindungan terhadap pemenuhan keadaan dasar yang mampu meningkatkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia (maslahah). Selanjutnya disebutkan bahwa maslahah dasar yang selayaknya dipenuhi adalah agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql), keluarga, dan keturunan (nasl). Apabila maslahah tersebut dapat terpenuhi dengan baik, maka masyarakat diharapkan mencapai kesejahteraan yang berdimensi dunia dan akhirat (falah). Mengingat pentingnya pencapaian falah ini, umat Islam dalam sehari diingatkan setidaknya 15 kali yaitu ketika adzan dan iqomah dikumandangkan. Ekonomi Islam dengan segala cabangnya seperti Keuangan Islam dan Keuangan Publik Islam seolah menjadi mainstream baru sebagai jalan tengah atas dua kutub ekonomi yang dijalankan dalam satu abad terakhir yaitu kapitalis dan sosialis. Ekonomi Islam sebenarnya bukan suatu sistem ekonomi baru, karena ekonomi Islam sebelumnya telah dipraktikkan bersamaan implementasi ajaran Islam sesuai Alquran dan Sunah yang disebarluaskan oleh Baginda Rasulullah
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Muhammad SAW mulai tahun 609 M hingga berakhirnya Kekaisaran Ottoman Turki pada tahun 1924 (kurang lebih 14 abad). Sejak berakhirnya masa kekhalifahan tersebut, ekonomi Islam seolah tenggelam diiringi dengan menguatnya penerapan ekonomi kapitalis yang dipelopori oleh negara-negara Blok Barat (AS dan sekutunya) dan ekonomi sosialis yang dipelopori oleh negara-negara Blok Timur (Uni Sovyet dan sekutunya). Ada suatu kondisi umum yang menarik selama dua dekade terakhir bahwa penerapan kembali praktik kehidupan ekonomi Islami tidak diterapkan secara top-down (dari pemerintah ke masyarakat), tetapi praktik yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia saat ini lebih banyak diterapkan secara bottom-up (praktik kehidupan ekonomi Islami masyarakat yang diakomodasi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan). Sebenarnya sistem ekonomi Islam adalah konsep ekonomi universal berdasarkan wahyu Tuhan Semesta Alam sehingga sesuai dengan kondisi perkembangan kehidupan manusia dan dapat diterapkan sepanjang jaman. 53
O P I N I
O P I N I
Munculnya kembali arus ekonomi Islam dalam dua dekade terakhir, dilatarbelakangi oleh semangat untuk membangun kembali (rekonstruksi) sistem ekonomi yang lebih menekankan sisi etika dan kemanusiaan (humanis). Fokus utama pembangunan bukan hanya diarahkan kepada halhal yang bersifat material fisik semata, melainkan juga dikaitkan dengan aspek moral spiritual. Semakin berkembangnya penerapan Ekonomi Islam ini juga dilatarbelakangi oleh pandangan beberapa ahli ekonomi bahwa ekonomi kapitalis dan sosialis tidak berhasil membawa masyarakat dunia menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Penerapan sistem ekonomi yang menekankan pendekatan materi justru menyebabkan manusia kehilangan hakikat dan nilai kemanusiannya. Sebagai ekonomi jalan tengah, Ekonomi Islam tidak menegasikan peran individu dan mekanisme pasar dalam upayanya mencapai kesejahteraan masyarakat yang hakiki (falah). Dalam sistem ekonomi ini pula, peran Pemerintah selaku derivasi dari kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa dalam mengelola bumi (khalifatullah fil ardh) juga sangat penting. Peran antara individu-pasar dan Pemerintah (civil society and state) diletakkan dalam posisi seimbang dan proporsional dalam prespektif yang saling mendukung. Ekonomi Islam memandang permasalahan ketimpangan sebagai permasalahan alami, karena sesungguhnya sejak awal manusia diciptakan dengan kondisi yang berbedabeda (baik dalam hal kemampuan, keterampilan, minat, dll). Terjadinya ketimpangan juga dapat menjadi hikmah, karena dengan adanya ketimpangan tersebut justru tercipta aktivitas ekonomi disebabkan adanya ketergantungan antar individu dalam masyarakat. Di dalam Islam, perbedaan tersebut juga dipandang sebagai suatu ujian dari Tuhan Yang Maha Esa 54
agar segolongan orang tidak merasa lebih dari segolongan yang lain. Adanya perbedaan tersebut diharapkan terjadi hubungan yang saling melengkapi sesuai dengan perannya masingmasing. Sedangkan Chapra (2000) menyatakan bahwa salah satu masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena hal itu fitrah yang pasti terjadi. Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin tidak memiliki kesempatan bekerja. Peran Pemerintah dalam menangani ketimpangan ekonomi sosial sangat penting. Pemerintah, dalam perspektif ekonomi Islam, selain berperan dalam pengimplementasian nilai dan moral Islam juga berperan sebagai agen dalam mengalokasikan berbagai barang dan jasa kebutuhan publik karena ketidakmampuan pasar untuk menyediakan, melakukan distribusi pendapatan dan kemakmuran, serta menjalankan fungsi stabilitasi ekonomi dan keamanan. Konsep distribusi yang dijalankan oleh Pemerintah akan lebih mudah diimplementasikan apabila Pemerintah mampu menanamkan konsep moral sebagai faktor endogen dalam perekonomian. Sehingga, etika ekonomi menjadi hal yang sangat membumi untuk
mengalahkan setiap kepentingan pribadi.
Solusi Ekonomi Islam Kontemporer dalam Mengatasi Ketimpangan Sebagaimana dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, masalah distribusi pendapatan dan kesejahteraan menjadi menjadi masalah yang sangat penting dalam menekan tingkat ketimpangan dalam masyarakat. Pemerintah selayaknya mengambil peran dominan dengan membuat berbagai kebijakan berkelanjutan yang terkait masalah distribusi. Selain itu Pemerintah juga perlu mengajak seluruh komponen bangsa terlibat dalam kebijakan distribusi untuk mengurangi ketimpangan. Konsep distribusi memegang peranan penting dalam penciptaan kemakmuran yang merata dan berkeadilan. Konsep ini dijadikan sebagai alat ukur untuk menjamin adanya keseimbangan penguasaan aset dan kekayaan, agar kesenjangan yang muncul akibat dari perbedaan kemampuan antar individu/golongan manusia dapat ditekan. Mekanisme distribusi yang tidak baik akan menimbulkan kesenjangan. Ada beberapa prinsip yang patut dipedomani, sehingga proses distribusi dapat berjalan dengan baik. Beik dan Arsyianti (2016) menyebutkan beberapa prinsip tersebut diantaranya: 1. Prinsip paling utama bahwa distribusi pendapatan dan kesejahteraan dilakukan berasal dari sumber-sumber ekonomi yang tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Hal ini menjadi hal mendasar bahwa apabila Pemerintah menginginkan kemakmuran yang adil dan merata maka Pemerintah wajib menciptakan sumber-sumber ekonomi yang sesuai dengan ketentuan Sang Pemilik Semesta (Alquran
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Surat Al Baqarah ayat 276). Sumber-sumber ekonomi yang tidak sesuai dengan aturan Tuhan justru akan menyulitkan dan mendorong manusia menuju jurang kehancuran. 2. Pemerintah wajib membantu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Sebagai mana disebutkan sebelumnya, As-Shatibi menyebutkan bahwa terdapat 5 kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi karena berkaitan dengan fitrah manusia, yaitu: agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql), keluarga (nasb) dan keturunan (nasl). 3. Pemerintah memiliki kebijakan yang dapat mendorong perputaran modal, sehingga modal tidak hanya berputar pada sekelompok orang atau konglomerat saja. Allah SWT melarang hal ini sebagaimana tersebut dalam Alqur’an Surat Al-Hasyr ayat 7 (.... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu). Harta harus memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat. Pemerintah membantu memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat dari harta tersebut. Bahwa nanti kinerja setiap individu akan melahirkan hasil ekonomi yang berbeda, itu tidak menjadi persoalan, selama setiap individu itu diberikan akses dan kesempatan yang sama. 4. Harus disadari bahwa pada harta seseorang, terdapat bagian yang menjadi milik mutlak orang lain, yaitu kelompok fakir, miskin, baik yang meminta maupun yang tidak meminta sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat Al Ma’arij ayat 24-25 (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak INFO RISIKO FISKAL
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)). Harus selalu diingat bahwa konsep berbagi merupakan jantung ekonomi Islam yaitu melalui ibadah yang wajib ditunaikan (zakat) dan bentuk sharing kekayaan yang lain seperti infaq, wakaf, hibah dan waris. Dalam ekonomi Islam, terdapat dua sistem distribusi yang dapat digunakan untuk menekan ketimpangan yaitu: (1) Mekanisme ekonomi. Mekanisme ekonomi meliputi aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta dalam akad-akad mu’amalah, seperti membuka kesempatan seluasluasnya bagi berlangsungnya sebabsebab kepemilikan individu dan pengembangan harta melalui investasi, larangan menimbun harta, mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di segelintir golongan, larangan kegiatan monopoli, dan berbagai penipuan dan larangan judi, riba, korupsi dan pemberian suap (al-Jawi, 2007: 5). (2) Mekanisme non-ekonomi. Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif melainkan melalui aktivitas non-produktif, seperti pemberian hibah, shodaqoh, zakat dan warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna, jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata (al-Jawi, 2007: 6). Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya faktor-faktor penyebab non-alamiah, seperti adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi, seperti monopoli, penyimpangan distribusi, penimbunan, dan sebagainya dapat menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah untuk mengatasi
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
berbagai permasalahan ekonomi ini. Bentuk-bentuk pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi ini, sebagaimana dikemukakan oleh alJawi (2007: 6) antara lain adalah: a) Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan; b) Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik; c) Pemberian infaq, shadaqoh, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan; dan d) Pembagian harta waris kepada ahli waris. Dengan demikian, terdapat beberapa solusi yang ditawarkan untuk mewujudkan keadilan distributif dalam ekonomi Islam, di antaranya adalah: 1.
Zakat sebagai Instrumen Distribusi Zakat merupakan instrumen paling efektif dan esensial yang tidak terdapat dalam sistem kapitalisme maupun sosialisme. Secara ekonomi, zakat berfungsi distributif, yaitu: pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dari muzakki (orang yang berzakat) kepada mustahik (penerima zakat) serta zakat memungkinkan adanya alokasi konsumsi dan investasi. Penyaluran zakat akan menimbulkan terjadinya multiplier effect ekonomi pada masyarakat tidak mampu (dhu’afa) berupa peningkatan pendapatan dan daya beli. Sedangkan bagi muzakki akan mendorong motivasi ekonomi yang tinggi untuk senantiasa meningkatkan produktivitasnya agar memperoleh laba dan penghasilan yang tinggi sehingga dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam membayar zakat lebih besar lagi dari sebelumnya. Selain itu, zakat juga memiliki fungsi kontrol bagi muzakki dari sifat tamak, keserakahan, rakus 55
O P I N I
O P I N I
dan sifat hedonis yang mengedepankan materi dan kemewahan (Amalia, 2008: 23). Dengan demikian, pada dasarnya zakat merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Zakat merupakan sebuah sistem yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahik). Implementasi zakat merupakan komitmen yang kuat dan langkah yang kongkret dari negara dan masyarakat untuk menciptakan suatu sistem distribusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan permanen. Upaya ini merupakan wujud nyata dari upaya menciptakan keadilan sosial dan mencerminkan komitmen sosial dari ekonomi Islam (Misanam, dkk, 2008: 71). 2. Pemberdayaan Masyarakat Pemberian zakat kepada para mustahik (orang yang berhak) dapat diibaratkan sebagai suatu pertolongan pertama (darurat) untuk memberikan perlindungan terhadap pemenuhan keadaan dasar manusia yang selayaknya dipenuhi adalah agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql), keluarga, dan keturunan (nasl). Apabila kondisi darurat tersebut sudah dapat diamankan, maka tugas selanjutnya adalah memberdayakan para mustahik agar selekasnya menjadi muzakki atau mengubah dari orang yang menerima santunan menjadi pemberi santunan. Dengan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah dapat mengerahkan sumber dayanya untuk memberdayakan masyarakat sehingga mereka memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk membuat wirausaha. Selain itu, Pemerintah juga dapat membantu membuka jalur pemasaran bagi usaha masyarakat yang baru dirintis. 56
3. Penerapan Usaha Bersama dengan Sistem Bagi Hasil Instrumen penting lainnya dalam proses keadilan distribusi ekonomi adalah sistem usaha bersama (syirkah) dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing system). Sistem ini dapat membangun pola kerja sama dan persaudaraan antara pemilik modal (shohib al-mal) dan pihak yang memiliki skill (mudharib) sehingga terdapat transfer kekayaan dan distribusi pendapatan. Sistem bagi hasil akan mendorong para pelakunya untuk berperilaku jujur, transparan dan professional, terutama dalam pengelolaan keuangan sehingga pembagian keuntungan maupun kerugian diketahui oleh kedua belah pihak dan disitribusikan sesuai kesepakatan (Amalia, 2008: 25). Dalam konteks Indonesia, sebenarnya banyak sekali peluang yang dapat menggunakan sistem bagi hasil ini, misalnya dengan membuat koperasi syariah atau wirausaha yang berbasis akad musyarakah dan mudharabah. 4. Peran Pemerintah dalam Mengawal Mekanisme Pasar Ekonomi Islam mengedepankan asas kebebasan, termasuk dalam struktur pasar dianut sistem kerja sama yang bebas. Selama kekuatan penawaran dan permintaan berjalan secara alamiah maka harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar sehingga tidak diperkenankan intervensi dari pihak manapun, termasuk pemerintah. Semua orang sesuai dengan potensinya memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan transaksi secara legal sesuai aturan syariah. Untuk itu perlu pengaturan dan pengawasan agar mekanisme pasar berjalan dengan baik dan menghasilkan harga yang adil (Amalia, 2008: 26). Ada beberapa bentuk distorsi pasar yang dapat menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan
normal, sebagaimana dikemukakan oleh Karim (2007: 181) distorsi tersebut dapat disebabkan oleh: (1) rekayasa permintaan/false demand dikenal sebagai bai’ an-najasy, sedang rekayasa dari sisi penawaran (false supply) dikenal sebagai ihtikar dan tallaqi rukban; (2) tadlis (penipuan); dan (3) taghrir (ketidakpastian). Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah diperlukan dalam rangka melakukan regulasi dan kebijakan yang mengakomodir kepentingan para pihak. Islam mengakui mekanisme pasar bebas selama dilakukan dengan cara-cara yang adil. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus kejahatan pasar ini sering terjadi seperti penguasaan pasar dengan sistem kartel, penyelundupan barang, pemalsuan dan monopoli yang berujung pada penimbunan yang mengakibatkan kerugian di banyak pihak, terutama masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut harus cepat ditangani agar pasar dapat bekerja dengan wajar. Dengan menjalankan langkahlangkah tersebut dengan baik, niscaya distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam masyarakat akan dapat terlaksana dan dapat mengurangi terjadinya kesenjangan yang semakin ekstrem (exessive inequality) yang dapat berdampak terhadap memburuknya stabilitas sosial dan keamanan. Karena pentingnya fungsi distribusi, maka peran ini harus dijalankan oleh Pemerintah dan mengikat seluruh warga negara. Dengan distribusi yang baik, maka akan tercapai beberapa tujuan distribusi, diantaranya yaitu: (1) pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, (2) keseimbangan distribusi pendapatan dan kekayaan yang terjamin, dan (3) mengeliminasi kesenjangan ekstrem antarkelompok masyarakat. n *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan kebijakan institusi tempat penulis bekerja
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
Mencermati Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah Oleh: Erdian Dharmaputra
Praktisi pembiayaan infrastruktur daerah. Email:
[email protected]
A
genda percepatan pembangunan infrastruktur menjadi topik penting dalam satu dekade terakhir di Indonesia. Masalah ketersediaan infrastruktur merupakan persoalan penting yang harus segera ditangani oleh Pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di satu wilayah ditopang oleh ketersediaan infrastruktur yang mencukupi dan memadai (World Development Report, 1994). Studi ini juga menunjukkan bahwa konektivitas, ketersediaan infrastruktur dasar seperti rumah sakit, sekolah, listrik dan air merupakan isu utama dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi. Asian Development Bank (ADB, 2017) dalam laporannya mengindikasikan bahwa dalam lima tahun terakhir, terdapat gap kebutuhan pembiayaan infrastruktur, termasuk anggaran perubahan iklim, sebesar USD51 miliar atau Rp678,3 triliun. Total kebutuhan anggaran infrastruktur pada tahun 2017 mencapai USD74 miliar (Rp984,2 triliun) dan Pemerintah pada APBN 2017 baru mampu mengalokasikan anggaran sebesar USD28 miliar atau sebesar Rp378,3 triliun. Artinya, guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, realisasi anggaran infrastruktur harus dapat direalisasiINFO RISIKO FISKAL
kan secara optimal dan diperlukan adanya partisipasi pihak swasta dan badan usaha untuk mengambil porsi lebih besar guna menutupi gap pembiayaan infrastruktur. Namun demikian, upaya percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan tanpa masalah. Berbagai hambatan dan tantangan mengemuka sejalan dengan semakin kompleksnya isu dalam menyusun kerjasama pembiayaan infrastruktur antara pemerintah dan swasta. Per-
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
soalan mendasar dalam skema kerjasama pemerintah dan swasta/badan usaha adalah perspektif dalam mengelola ekspektasi manfaat investasi/ pembiayaan atas proyek infrastruktur. Kewajiban Pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dasar dalam pelayanan publik menjadi titik berat dalam pengambilan keputusan alokasi infrastruktur prioritas. Sektor yang masuk dalam alokasi anggaran APBN 2017 seperti jalan, air, jembatan dan pendidikan menggambarkan Peme-
Pembiayaan Infrastruktur APBN 2017
57
O P I N I
O P I N I
rintah masih fokus pada pembenahan penyediaan dan kualitas infrastruktur dasar. Pilihan sektor ini cenderung menempatkan pihak swasta/badan usaha memilih bersikap hati-hati. Selain pertimbangan atas kalkulasi return dan manfaat investasi, badan usaha juga mempertimbangkan bahwa sektor dan industri tersebut merupakan sektor terkait dengan kepentingan umum (high regulated industries), dimana kalkulasi biaya sangat berdampak pada expected return yang akan diperoleh (bankable). Salah satu contoh dapat ditemui pada pembiayaan air minum yang dikelola oleh Pemerintah atau PDAM, dimana isu tarif menjadi hal sensitif dalam perhitungan cost recovery yang dilakukan oleh swasta/badan usaha. Masalah serupa kerap juga ditemui di pembiayaan jalan tol, kelistrikan dan energi terbarukan serta infrastruktur dasar lainnya. Permasalahan dalam skema pembiayaan infrastruktur yang melibatkan kerjasama Pemerintah dan swasta/badan usaha juga diuraikan dalam laporan kajian Islamic Development Bank (2010). Dalam laporannya, IDB setidaknya menguraikan empat kendala yang harus diatasi oleh Pemerintah untuk meningkatkan partisipasi swasta/badan usaha dalam pembiayaan infrastruktur. Keempat permasalahan tersebut diantaranya adalah permasalahan tanah/pembebasan lahan, koordinasi dan hubungan kelembagaan Pemerintah, tata kelola (good governance) dan pengadaan barang/ jasa (procurement) dan keterbatasan sumber pembiayaan jangka panjang (IDB, 2010). Pemerintah dalam dua tahun terakhir secara gradual melakukan reformasi kebijakan ekonomi guna mengatasi masalah tersebut dan mendorong tumbuhnya dunia usaha dan pembiayaan infrastruktur. Secara total, Peme58
Tiga Langkah Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah 1. Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi dan penegakan hukum serta kepastian usaha; 2. Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan: penyederhanaan perijinan, penyelesaian tata ruang dan penyediaan lahan, percepatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlindungan hukum serta mendukung kepala daerah melaksanakan percepatan proyek strategis nasional di daerah; 3. Meningkatkan investasi di sektor properti dan perlindungan bagi masyarakat ekonomi lemah dan perdesaan.
rintah telah mengeluarkan 13 paket kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk mengurangi rentang birokrasi terkait dengan perizinan, deregulasi dukungan usaha dan industri, kepastian dan penegakan hukum, insentif perpajakan serta insentif untuk perluasan dunia usaha. Penyederhanaan proses perizinan dan kemudahan akses pembiayaan dan penegakan hukum dalam mendorong pertumbuhan sektor riil secara umum merupakan tema utama yang diusung dalam paket kebijakan ekonomi tersebut. Sejalan dengan paket kebijakan ekonomi untuk mendorong tumbuhnya inisiatif swasta/badan usaha mengambil peran dalam pembiayaan infrastruktur, alokasi anggaran infrastruktur pada APBN juga diarahkan untuk menyiapkan ketersediaan utilitas pendukung di kawasan Timur Indonesia dan daerah-daerah perbatasan. Keberpihakan “politik anggaran” Pemerintah di kawasan ini adalah untuk memastikan terpenuhinya layanan dasar masyarakat dan sekaligus menyiapkan tumbuhnya kawasan industri dan ekonomi baru. Keberpihakan “politik anggaran” ini sangat diperlukan guna mengurangi terjadinya gap atau kesenjangan akses infrastruktur antara daerah
Barat dan Timur Indonesia. Akses konektivitas wilayah Timur Indonesia masih sangat rendah dan terbatas, sehingga menyebabkan tingginya biaya logistik. Menurut data Kementerian Perhubungan (2016), biaya logistik dari Pelabuhan Priok Jakarta ke Jayapura (USD1000/kontainer) melebihi biaya logistik ke Cina maupun Singapura (USD400 dan USD185/kontainer). Efek domino tingginya biaya logistik memicu kenaikan harga-harga material yang menyebabkan tingginya biaya proyek infrastruktur. Inefisiensi biaya menyebabkan dampak naiknya belanja infrastruktur Pemerintah dan minimnya investasi di proyek-proyek infrastruktur di wilayah Timur Indonesia. Dengan kata lain, keberpihakan “politik anggaran” menemui kendala dengan semakin terbatasnya alokasi anggaran belanja Pemerintah. Dengan tingginya biaya dan keterbatasan anggaran APBN/APBD untuk pembiayaan infrastruktur daerah di wilayah Timur Indonesia menyebabkan pembangunan infrastruktur dilakukan secara bertahap. Satu proyek infrastruktur, misalnya rumah sakit, baru dapat diselesaikan dan dioperasionalkan dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun anggaran. Hal ini dapat berdampak timbulnya
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
risiko perlambatan manfaat utilitas proyek, dan terpapar risiko kenaikan harga akibat terjadinya inflasi. Lebih parah lagi, tidak jarang terjadinya risiko mangkrak akibat berubahnya kebijakan prioritas seiring dengan pergantian kepala daerah (gubernur/ walikota/bupati).
Inisiatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah A. Sinergi Pembiayaan Pusat dan Daerah untuk Proyek Infrastruktur Permasalahan perlambatan dalam penyelesaian proyek infrastruktur dapat disiasati oleh Pemerintah melalui sinkronisasi program dan sektor infrastruktur prioritas nasional dan daerah. Sinkronisasi dilakukan
INFO RISIKO FISKAL
melalui sinergi pembiayaan antara pusat (APBN) melalui kementerian teknis terkait dan pemerintah daerah (APBD). Sebagai contoh proyek pembangunan Jembatan Holtekam di Kota Jayapura, dimana terdapat sinergi pembiayaan antara Pemerintah Pusat (Kementerian PU), Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Jayapura. Pembangunan Jembatan Holtekam akan membuka akses masyarakat di Muara Tami menuju ke akses jalan ring road di Kota Jayapura. Biaya pembangunan Jembatan Holtekam sepanjang 733m membutuhkan biaya sebesar Rp1,5 triliun. Komposisi pembiayaan jembatan terdiri dari tiga bagian, untuk konstruksi utama sepanjang 433 meter menjadi tanggungan Pemerintah Pusat dengan alokasi dana sebesar Rp.
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
800 miliar. Sisanya, untuk konstruksi jembatan penghubung menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota dengan alokasi masing-masing sebesar Rp400 miliar dan Rp300 miliar. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota, proyek ini dapat diselesaikan dalam waktu selama tiga tahun. Sinergi pembiayaan antara pusat dan daerah pada proyek infrastruktur disatu sisi menunjukkan adanya komitmen bersama dan keselarasan untuk mengatasi permasalahan ketersediaan infrastruktur. Selain memangkas waktu penyelesaian proyek, sharing anggaran dalam pembiayaan infrastruktur juga memberikan dampak kelonggaran fiskal untuk alokasi belanja infrastruktur pada sektor
59
O P I N I
O P I N I
lainnya seperti pendidikan, air, dan kesehatan. Penyelarasan pembangunan infrastruktur antara pusat dan daerah selama ini seringkali berada pada tataran penyusunan program dan kebijakan prioritas pada level kementerian teknis. Dalam implementasi alokasi anggaran, pembiayaan infrastruktur dominan dilakukan melalui dana transfer khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah Daerah. Dengan keterbatasan DAK dengan jumlah alokasi yang relatif kecil dibanding biaya proyek infrastruktur seperti jembatan dan rumah sakit. Selain itu, besaran alokasi DAK sangat dipengaruhi oleh pencapaian target pendapatan Pemerintah, terutama dari penerimaan pajak. Sinergi sharing pembiayaan proyek infrastruktur antara pusat dan daerah memiliki beberapa potensi risiko yang dapat mempengaruhi percepatan penyelesaian kontruksi proyek. Untuk kasus Jembatan Holtekam, risiko sharing anggaran sangat ditentukan oleh kemampuan pendapatan APBD Pemerintah Daerah. Rentang waktu antara penetapan kesepakatan bersama (pusat/provinsi/kota) dan implementasi alokasi anggaran menjadi titik kritikal dalam penyelesaian proyek selain adanya perubahan kebijakan penganggaran pusat dan daerah. Inisiatif pembangunan Jembatan Holtekam telah digagas sejak tahun 2013 dan groundbreaking dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 2014 dan diharapkan 2018 dapat segera beroperasi. Progres fisik pekerjaan proyek hingga Maret 2017 sudah mencapai 62,8% dengan realisasi anggaran sebesar 61% dari biaya konstruksi yang menjadi porsi Pemerintah Pusat (Kementerian PUPERA). Sedangkan untuk porsi Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kota Jayapura, belum terdapat realisasi anggaran 60
Sinergi sharing pembiayaan proyek infrastruktur antara pusat dan daerah memiliki beberapa potensi risiko yang dapat mempengaruhi percepatan penyelesaian kontruksi proyek
akibat rendahnya pencapaian target pendapatan (terjadinya penyesuaian anggaran transfer) dan perubahan struktur kewenangan yang menjadi tugas pemerintah daerah sejalan dengan Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya, terdapat potensi proyek tidak dapat dilanjutkan (mangkrak) dengan tidak terealisasinya porsi pembiayaan yang menjadi bagian pemerintah daerah. Alternatif lain untuk menghindari proyek mangkrak, Pemerintah Pusat mengambil alih porsi biaya yang menjadi bagian Pemprov Papua dan Pemkot Jayapura. Hal ini tentu juga berdampak terhadap kemampuan Pusat untuk mengalokasikan kembali anggaran pada APBN. Akibatnya, potensi penundaan penyelesaian proyek sangat mungkin terjadi. Dan pada akhirnya, masyarakat kembali tidak dapat segera menikmati manfaat dari proyek jembatan tersebut. Secara umum, inisiatif sharing pembiayaan antara pusat dan daerah pada satu proyek infrastruktur merupakan inisiatif yang cukup menjanjikan untuk mengakselerasi pem-
bangunan infrastruktur. Namun perlu dipastikan dan dimitigasi potensi terjadinya perubahan alokasi sumber pembiayaan yang berasal dari APBN/ APBD mengingat biaya pembangunan infrastruktur yang cukup besar. Perlu ada timeline yang jelas saat dimulainya inisiatif dan implementasi proyek untuk menghindari terjadinya perubahan-perubahan terkait anggaran, regulasi, dan potensi perubahan struktur politik di daerah (pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif). B. Inisiatif Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Daerah Pinjaman daerah bukan merupakan inisiatif baru dalam strategi pembiayaan infrastruktur daerah. Skema pembiayaan ini sudah dilakukan sejak 30 tahun lalu dimana Pemerintah Pusat melakukan penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah (subsidiary loan agreement – SLA). Sumber dana penerusan pinjaman umumnya berasal dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Japan International Cooperation Agency (JICA) atau bahkan dari negaranegara maju. Skemanya, Pemerintah Pusat melakukan perjanjian pinjaman dengan calon kreditur, misalnya Bank Dunia, untuk pembiayaan infrastruktur yang lokasinya berada di daerah. Agar proses monitoring dapat berjalan efektif, Pemerintah Pusat melakukan penerusan pinjaman kepada Pemda atau BUMN/D (PDAM) dengan pertimbangan efisiensi dalam monitoring dan kewenangan daerah dalam rangka desentralisasi. Permasalahan dalam penerusan pinjaman mengemuka sejak 10 tahun terakhir, baik penerusan pinjaman kepada Pemda maupun BUMN dan BUMD (PDAM). Yaitu, terjadinya tunggakan atau kredit macet akibat
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
tidak optimalnya proses perencanaan, implementasi dan monitoring pelaksanaan proyek. Lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah/BUMN/ BUMD dalam perencanaan pinjaman menyebabkan tidak optimalnya penggunaan dana penerusan pinjaman. Seringkali inisiatif untuk melakukan pinjaman datang dari kementerian teknis (top down), bukan berasal dari inisiatif dan kebutuhan daerah. Akibat kurang optimalnya perencanaan, berdampak pada pelaksanaan penerusan pinjaman (proyek) yang seringkali tertunda/tidak tepat waktu dalam penyelesaian dan ditambah dengan monitoring progres dan manfaat dari proyek penerusan pinjaman. Permasalahan penerusan pinjaman menjadi mengemuka ketika pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut mengamanatkan pelimpahan urusan pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah dari Pemerintah Pusat beralih menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah, termasuk penerusan pinjaman. Kondisi ini berdampak pada ketidaksiapan Pemda menerima penerusan pinjaman sebagai utang daerah dan menindaklanjuti penyelesaian proyek. Pembiayaan infrastruktur daerah melalui penerusan pinjaman yang me-
nimbulkan berbagai permasalahan mulai mengalami transformasi pada tahun 2011. Peraturan Pemerintah No. 20/2011 tentang Pinjaman Daerah, membuka peluang bagi daerah untuk melakukan inisiatif pinjaman daerah, tidak hanya melalui penerusan pinjaman, tetapi dapat diperoleh melalui lembaga keuangan perbankan maupun non-perbankan. Dengan adanya kesempatan dan peluang daerah untuk mengakses pembiayaan langsung melalui pinjaman daerah, inisiatif dan skema pinjaman diharapkan menjadi lebih terarah, fokus dan merupakan kesepakatan bersama di daerah (Pemda dan DPRD). Mengacu kepada PP tentang Pinjaman Daerah tersebut, dimulai sejak proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring, stakeholders pinjaman daerah pada lingkup Pemda ikut serta dalam menentukan sektor dan proyek prioritas yang menjadi fokus percepatan pembangunan daerah. Keterlibatan pemangku kepentingan daerah dalam menyusun kesepakatan bersama untuk melakukan pinjaman daerah menjadi tolok ukur adanya komitmen politik anggaran untuk percepatan infrastruktur prioritas di daerah. Kesepakatan ini dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan peraturan daerah tentang pelaksanaan APBD. Fungsi kontrol atas inisiatif pinjaman daerah tidak hanya terjadi di daerah, namun juga di Pemerintah
Pusat (Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri), dimana kendali atas kemampuan keuangan daerah secara kumulatif sangat berdampak pada konstelasi keuangan negara. Pengendalian defisit dan kemampuan meminjam serta mengembalikan pinjaman merupakan kontrol tidak hanya pada aspek keuangan, namun juga memastikan pengelolaan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Inisiatif pinjaman daerah merupakan identifikasi daerah atas kebutuhan ketersediaan infrastruktur prioritas yang dapat meningkatkan akses pelayanan publik, meningkatkan potensi pendapatan daerah seiring dengan tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru.
Pembiayaan Daerah: Alternatif Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perkembangan inisiatif pembangunan infrastruktur daerah melalui skema pinjaman daerah saat ini masih merupakan instrumen pembiayaan yang paling applicable untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Skema ini relatif dapat dilakukan oleh setiap daerah karena didasarkan pada kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menyepakati kebutuhan prioritas dan kemampuan anggaran daerah. Namun, pada kenyataannya,
Profil Tunggakan Pemda dalam Penerusan Pinjaman
Sumber: Kemenkeu, 2016
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
61
O P I N I
O P I N I
proses politik yang dilakukan terkadang dilakukan melalui proses yang cukup panjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak kegagalan dalam identifikasi kebutuhan daerah akan berakibat jangka panjang terhadap anggaran keuangan daerah dan pemerintahan daerah. Namun demikian bila dilihat dari sisi penyelesaian proyek lebih cepat dan manfaat infrastruktur dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat, pinjaman daerah relatif lebih cepat dibanding dengan dua instrumen pembiayaan daerah di atas (penerusan pinjaman dan sharing pembiayaan). Hal ini dilihat mulai dari proses perencanaan pembiayaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur. Selain itu, dari sisi biaya dan alokasi anggaran pada APBD, infrastruktur yang dibiayai melalui pinjaman daerah lebih dapat termitigasi risiko kegagalan proyek, dimana perhitungan besarnya pembiayaan (project cost) sangat bergantung terhadap kemampuan keuangan daerah.
No
Item
Pembangunan infrastruktur melalui pembiayaan atau pinjaman daerah seharusnya dapat menjadi alternatif solusi disamping kerjasama Pemerintah badan usaha (KPBU) dan alternatif pembiayaan lainnya seperti obligasi daerah Terlepas dari keunggulan pinjaman daerah, ada beberapa potensi masalah dan risiko yang harus menjadi catatan. Satu diantaranya adalah terkait dengan komitmen politik antara kepala daerah dan DPRD atas rencana pinjaman daerah. Komitmen ini sangat diperlukan dalam memastikan pemenuhan kewajiban Pemda
Penerusan Pinjaman (SLA)
kepada pemberi pinjaman (lender) terkait dengan pergantiankepala daerah. Tidak dapat dihindari bahwa kewajiban pengembalian pinjaman akan melewati masa jabatan kepala daerah dan pergantian pimpinan DPRD, sehingga diperlukan kepastian pengembalian pinjaman dapat dialokasikan pada APBD. Dari paparan di atas, secara ringkas dapat disarikan inisiatif pembiayaan daerah melalui penerusan pinjaman (SLA), sharing pembiayaan pusat dan daerah serta pinjaman daerah dapat dilihat dibawah ini: Pembangunan infrastruktur melalui pembiayaan atau pinjaman daerah seharusnya dapat menjadi alternatif solusi disamping kerjasama Pemerintah badan usaha (KPBU) dan alternatif pembiayaan lainnya seperti obligasi daerah. Semakin banyaknya alternatif pembiayaan infrastruktur membuka peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan berimbang serta meningkatkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain. n
Sharing Pusat & Daerah
Pinjaman Daerah
1
Sumber Anggaran
APBN melalui pinjaman luar negeri
APBN (Anggaran kementerian teknis
APBD
2
Size Pembiayaan
Relatif cukup besar (skala nasional)
Sesuai dengan project cost yang menjadi prioritas Pusat dan Daerah
Sesuai dengan kemampuan APBD dan kebutuhan Daerah
3
Perencanaan
Dilakukan oleh Pusat
Bersama-sama antara Pusat dan Daerah
Daerah (Pemda dan DPRD)
4
Pelaksana Proyek
Pusat (Kementerian teknis)
Pusat dan Daerah (proses pengadaan dilakukan oleh Pusat)
Daerah
5
Monitoring
Pusat, Daerah dan pemberi pinjaman
Bersama-sama Pusat dan Daerah
Daerah
6
Pembayaran (repayment)
Pusat kepada Lender dan Daerah kepada Pusat (two steps loan)
Tidak ada repayment karena anggaran bersumber dari APBN dan APBD
Daerah (APBD)
7
Penyelesaian Proyek
Multiyears dan alokasi pada APBN/APBD secara bertahap
Multiyears dan alokasi pada APBN/APBD secara bertahap
Satu tahun anggaran atau multiyears (satu kali proses penganggaran dan pengadaan
62
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
P
Perolehan Peringkat Investment Grade dari S&P
ada tanggal 19 Mei 2017, Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat S&P. Peringkat ini menunjukkan adanya peningkatan peringkat kredit Indonesia oleh S&P dari sebelumnya ‘BB+’ menjadi ‘BBB-‘. Dalam laporannya, S&P menilai bahwa kenaikan peringkat tersebut merefleksikan berkurangnya risiko fiskal Pemerintah Indonesia, yang didorong terutama oleh penganggaran yang lebih realistis sehingga mengurangi kemungkinan adanya shortfall dalam hal pendapatan di masa yang akan datang yang bisa menyebabkan melebarnya angka defisit. Penciptaan anggaran yang lebih realistis ini juga dianggap bisa mengurangi risiko meningkatnya rasio utang pemerintah serta beban pembayaran utang. S&P juga mengapresiasi perkembangan pembuatan keputusan oleh Pemerintah yang lebih efektif dalam beberapa tahun terakhir sehingga mendorong fiskal yang berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang. S&P mencatat bahwa penyusunan kebijakan ekonomi dan keuangan saat ini telah semakin transparan dan
bisa diperkirakan oleh pasar. Dengan pencapaian peringkat investment grade ini berarti semua lembaga pemeringkat utama telah menempatkan Indonesia pada level investment grade. Sebelumnya peringkat investment grade sudah diberikan oleh lembaga pemeringkat internasional yang lain yaitu Fitch (Desember 2011) dan Moody’s (Januari 2012) selain Japan Credit Rating Agency – JCRA (Juli 2010), dan Rating and Investment – R&I (Oktober 2012). Pencapaian kondisi investment grade ini menunjukan adanya kepercayaan yang tinggi dari dunia internasional kepada perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global. Hal ini diharapkan dapat memberikan dampak positif pada perekonomian Indonesia terutama dalam hal
menarik potensi tambahan capital inflow yang bisa berdampak positif pada peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar, menurunkan beban biaya utang Pemerintah yang kemudian akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar pada anggaran negara. Hal ini juga bisa berpengaruh terhadap penurunan biaya utang BUMN dan swasta serta imbal hasil instrumen keuangan domestik karena harga surat utang pemerintah menjadi acuan atau rujukan karena sifatnya yang risk-free. Dalam jangka yang lebih panjang, kenaikan peringkat kredit ini bisa juga diharapkan memberikan dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama dari peningkatan investasi dan impor. Posisi Peringkat Kredit Indonesia saat ini:
Lembaga Pemeringkat Utang
Peringkat Utang
Outlook
Fitch
BBB-
Positive
Moody’s
Baa3
Positive
S&P
BBB-
Stable
Japan Credit Rating Agency
BBB-
Positive
Rating & Investment
BBB-
Positive
n f o
Hasil Reviu Transparansi Fiskal Tahun 2016
D
alam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, setiap tahunnya BPK melakukan reviu atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal pada Pemerintah Pusat yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Pelaksanaan reviu transparansi fiskal mencakup tiga pilar utama yaitu pelaporan fiskal, perkiraan dan penganggaran, serta analisis dan manajemen risiko fiskal. Ketiga pilar tersebut direviu dan dinilai pemenuhannya berdasarkan IMF’s Fiscal Transparency Code (IMF’s FTC). Level pemenuhan kriteria dibagi menjadi empat, Not Meet, Basic, Good, dan Advanced. Secara keseluruhan, hasil reviu menunjukkan Pemerintah telah memenuhi sebagian besar kriteria pilar transparansi fiskal.
INFO RISIKO FISKAL
Dalam pelaksanaan reviu transparansi fiskal ini, DJPPR bertanggung jawab atas pilar ketiga yaitu Analisis dan Manajemen Risiko Fiskal, dimana untuk tahun 2016 terdapat 1 kriteria yang mendapat kenaikan peringkat yaitu Risiko Fiskal tertentu, meningkat menjadi Good dari sebelumnya Basic. Faktor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 7
pendorong peningkatan tersebut adalah penjelasan mengenai perkiraan besarnya magnitude risiko utang dan risiko mandatory spending pada NK APBN/P 2016 dan dokumen pendukung lainnya. Hasil reviu atas pilar Analisis dan Manajemen Risiko Fiskal tahun 2015 dan 2016 sebagai berikut:
Kriteria Penilaian Risiko Ekonomi Makro Risiko Fiskal Tertentu Analisis Keberlanjutan Fiskal Jangka Panjang Kontinjensi Anggaran Manajemen Aset dan Kewajiban Jaminan Kerjasama Pemerintah Swasta Eksposur Sektor Keuangan Sumber Daya Alam Risiko Lingkungan Pemerintahan Lokal Perusahaan Publik
s e k i lO aP sI N iI
Hasil reviu 2016 Advanced Good Basic
Hasil reviu 2015 Advanced Basic Basic
Advanced Good Advanced Advanced Advanced Basic Advanced Good Good
Advanced Good Advanced Advanced Advanced Basic Advanced Good Good
63
r i s i k o
Info Utang Pemerintah
Posisi Utang Pemerintah Pusat Posisi
Utang Pemerintah Pusat
Info Utang Pemerintah
Posisi Utang Pemerintah Pusat
I N F O u t a n g p e m e r i n t a h
Indikator risiko Utang Pemerintah Pusat
Indikator IndikatorRisiko RisikoUtang UtangPemerintah Pemerintah Pusat Pusat
Sumber: Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat” DJPPR
PosisiKewajiban Pengelolaan Posisi Pengelolaan Penjaminan
Kewajiban Penjaminan
Posisi Pengelolaan Kewajiban Penjaminan
Rincian Program Penjaminan Jumlah Pihak Penerima No. Penugasan Percepatan Pembangunan Dokumen Terjamin Jaminan Rincian Program Penjaminan Jumlah Infrastruktur Nasional Penerima Penjaminan Pihak No. Penugasan Percepatan Pembangunan Dokumen Terjamin Jaminan Original Curr. Infrastruktur Nasional Penjaminan Percepatan Pembangunan Pembangkit 1 . Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara Percepatan Pembangunan (Proyek 10.000 MW Tahap I)Pembangkit 1 . Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara 2 . Percepatan Penyediaan Air Minum (Proyek 10.000 MW Tahap I) Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Percepatan Air Minum dariPenyediaan Lembaga Keuangan 32 .. Langsung Pembiayaan Infrastruktur Internasional kepada BUMNmelalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan 3 . Percepatan Pembangunan Jalan Tol di 4 . Internasional kepada BUMN Sumatera
Percepatan Pembangunan Jalan Tol di 4 . Percepatan Pembangunan Pembangkit Sumatera Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi 5. Percepatan Pembangunan Pembangkit Terbarukan, Batubara dan Gas (Proyek TenagaMW Listrik Yang2 )Menggunakan Energi 10.000 Tahap 5. Terbarukan,Pemerintah Batubara dan Gas (Proyek Kerjasama dengan Badan 10.000 MW Tahap 2 ) Usaha (KPBU) yang dilakukan melalui 6. Badan UsahaPemerintah Penjaminandengan Infrastruktur Kerjasama Badan (Proyek infrastruktur dengan Usaha (KPBU) yang dilakukanskema melaluiKPBU) 6. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur Total (Proyek infrastruktur dengan skema KPBU)
Posisi Outstanding Kredit/ Exposure Investasi (miliar Posisi Outstanding Kredit/ rupiah) Exposure Investasi (miliar rupiah) Original Curr. Eq. IDR
Nilai Penjaminan Kredit / Investasi (miliar rupiah) Nilai Penjaminan Kredit / Investasi (miliar rupiah)
11 PT PLN Perbankan (Persero) 2511 PT PLN Perbankan PDAM Perbankan 10 (Persero) 25 PTPDAM PLN Perbankan ADB & IBRD 210 (Persero) PT PLN ADB & IBRD 2 PT HK PT SMI (Persero) 3 (Persero) (Persero) PT HK PT SMI 3 (Persero) Pengembang (Persero) PT PLN Pembangkit 12 (Persero) Pengembang Listrik PT PLN Pembangkit 12 (Persero) Listrik PT PLN Badan Usaha 1 (Persero) PT PLN Badan Usaha 1 (Persero) 64
Asumsi menggunakan kurs tengah Bank Indonesia bulan Des 2016 (IDR/USD1)
Total
64
36
36 10
Eq. IDR
USD 3.96 Original Curr. IDREq. IDR 93,543.04
IDR 40,353.70 USD 3.96
USD 2.38 Original Curr. IDR 46,603.56 Eq. IDR
IDR 93,543.04 IDR 324.80
IDR 324.80 IDR 40,353.70
IDR 14,641.99 USD 2.38
IDR 46,603.56 IDR 196.74
IDR 196.74 IDR 14,641.99
210
IDR 324.80 USD 1.10
IDR 324.80 IDR 14,779.60
IDR 0.23 196.74 IDR 3,058.71 IDR 196.74 USD
2
USD 1.10 IDR 2,721.34
IDR 14,779.60 IDR 2,721.34
USD 0.23 IDR 3,058.71 IDR 1,000.00 IDR 1,000.00
3
IDR 2,721.34
IDR 2,721.34
3
12
USD 11.91
12 1
IDR 1,000.00
IDR 159,975.30
IDR 1,000.00
USD 1.47 IDR 19,710.55
USD 11.91
IDR 159,975.30
USD 3.20
IDR 42,995.20
USD 1.47 IDR 19,710.55 USD 0.83 IDR 11,111.57
1 64
USD 3.20 IDR 42,995.20 USD 20.17 IDR 314,339.28 IDR 43,399.84 13,436.00 USD 20.17 64 IDR 314,339.28 IDR 43,399.84
USD 0.83 IDR 11,111.57 USD 4.90 IDR 81,681.13 IDR 15,838.72 13,436.00 USD 4.90 IDR 81,681.13 IDR 15,838.72
Maturity Profile Pokok Penjaminan Kredit yang Dijamin Pemerintah (per 31 Desember 2016) Asumsi menggunakan kurs tengah Bank Indonesia bulan Des 2016 (IDR/USD1) 13,436.00
Maturity Profile Pokok Penjaminan Kredit yang Dijamin Pemerintah September 2016)2016) Maturity Profile Pokok Penjaminan Kredit yang(per Dijamin30 Pemerintah (per 31 Desember
13,436.00
6,000.00
45.00
6,000.00 5,000.00
40.00 45.00 35.00
dalam miliar dalam miliar
40.00 5,000.00 4,000.00
30.00
35.00 25.00 3,000.00 4,000.00
30.00 20.00 25.00 15.00
2,000.00 3,000.00
20.00 10.00 1,000.00 2,000.00
15.00 5.00
1,000.00
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
-
2035
5.00
Proyek FTP 1 (USD Eq IDR)
4,821.25
4,821.25
4,821.25
4,821.25
4,278.65
3,445.73
2,596.05
1,873.86
482.28
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Proyek FTP 1 (IDR)
4,290.47
3,665.87
2,452.14
1,124.70
975.15
667.95
667.95
667.95
588.46
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Proyek Direct Lending (USD Eq IDR)
2017 4,821.25 36.91 4,290.47
2018 4,821.25 38.39 3,665.87
2019 4,821.25 37.61 2,452.14
2020 4,821.25 32.01 1,124.70
201.49 2021 4,278.65 25.58 975.15
201.49 201.49 201.49 201.49 201.49 2023 2024 2025 2022 2026 1,000.00 3,445.73 2,596.05 1,873.86 482.28 25.58 12.64 6.52 2.44 2.03 667.95 667.95 667.95 588.46 -
201.49 2027 0.81 -
201.49 2028 -
201.49 2029 -
201.49 2030 -
Proyek Direct Lending (USD Eq IDR)
-
-
-
-
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
201.49
Proyek Jalan Tol (IDR)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,000.00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
36.91
38.39
-
-
-
Proyek Jalan Tol (IDR) Proyek FTP 1 (USD Eq IDR) Proyek PDAM (IDR) -RHS Proyek FTP 1 (IDR)
Proyek PDAM (IDR) -RHS
201.49 201.49 201.49 201.49 201.49 2032 2033 2034 2031 2035 -
32.01 : 25.58 6.52 Utang 2.44 2.03 0.81 - DJPPR Sumber Buku25.58Saku12.64“Profil Pemerintah Pusat”,
37.61
10.00
-
Sumber: Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat” DJPPR Sumber : Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat”, DJPPR
I N F O u t a n g p e m e r i n t a h
Penandatanganan Perjanjian Pengusahaan, Perjanjian Penjaminan dan Regres, Serta Nota Kesepahaman Terkait Penjaminan Proyek Jalan Tol Jakarta, 22 Februari 2017
e x p o s u r e
Sosialisasi Penyediaan Infrastruktur Daerah Melalui Penugasan Kepada PT SMI (Persero) Dalam Rangka Mengurangi Tingkat Kesenjangan Ekonomi Kendari, 18 Mei 2017
Workshop Baseline Assessment of the Fiscal Cost of Government Support for Infrastucture Bandung, 29-30 Maret 2017
Sosialisasi Pemanfaatan Dana Repatiasi Tax Amnesty Untuk Mendukung Pendanaan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Jakarta, 20 Februari 2017
Workshop Identifikasi dan Mitigasi Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak Semarang, 12-13 April 2017
Safeguards review mission & capacity building Palembang, 25-27 April 2017
e x p o s u r e
EDISI 1 / TAHUN 2017
Indeks Kesenjangan di Indonesia:
Tren, Tantangan dan Strateginya