Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Berpuluh-puluh tahun hidup begini. Tiba-tiba aku rasanya seperti terlambat. Waktu telah berhasil memburuku dan menawanku dalam keuzuran. Ragaku terperangkap dalam kelelahan dan kerentaan. Mustahil aku dapat terus berlari mengejar segala ketepatan waktu yang telah kutinggal. Diantara detik-detik waktu dalam ingatan, aku tetap mencoba menghitung detak jantungku. Adalah sebuah keajaiban aku tetap dapat mempertahankan diri hingga detik ini.
Waktu selalu membutuhkan pengganti disetiap masanya. Manusia-manusia baru dengan nafas yang masih hangat, kulit yang licin, sepasang penaka yang tajam, kaki yang tegak, tangan yang gesit, dan otak yang cemerlang. Waktu serupa kuasa yang pandai mendikte setiap peluang dan kesempatan. Dengan sendirinya waktu telah merubah segalanya, mengotak-otik seluruh keadaan menjadi barang baru yang sulit dikenali.
Wujud-wujud manusiapun semakin angker dan sangar. Langkah-langkah mereka tak hanya menginjak bayang-bayang sendiri. Juga kodrat kehakikian. Bahkan, segala sesuatu yang pada masanya terbilang sangat beradab, kini dipandang tingkah biadab
Jarum waktu takkan pernah memberi kasih pada orang-orang yang lalai, terus berputar tanpa kenal lelah, memutuskan apapun tanpa memberikan sedikitpun kesempatan untuk menggugat keberatan. Namun juga, karena waktu pulalah, aku pernah menjadi generasi, menggantikan peran moyangku terdahulu.
Saat itu aku justru hendak melawan waktu. Penuh pengharapan aku memasang doa-doa pada setiap malam. Namun aku tetap tak mampu berkutik walau hanya sejengkal titik. Yang aku dapatkan hanya berupa selah untuk berkeluh kesah. Lantas, airmataku pun meluncur keluar langsung dari sarangnya.
Dahulu, peran aku yang diwariskan leluhurku merupakan tugas yang dinggap penuh kemuliaan, namun tiba-tiba dipandang rendah serendah-rendahnya. Gemerisik angin liar seringkali mengabarkan desas-desus yang terdengar najis ditelinga. Masa kini, sosok paraji 1 tidak layak lagi menjadi penguasa atas tali pusar manusia-manusia baru. Segala gerak yang dilakukan oleh tangannya dianggap ancaman peradaban untuk masa mendatang.
1/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Apakah waktu sebenarnya takut pada kaprahku kini hingga mengucilkanku ke pojok-pojok dunia? Tidakkah sang waktu melihat melalui jarum-jarumnya kalau sebelum kedatangan bidan-bidan hebat itu, lestarinya manusia hingga akhir masa ini merupakan berkat segala usaha dan upayaku? Mengapa waktu begitu tega membutakan logika-logika manusia terhadap segala dedikasi dan pengabdianku selama ini?
Tidak.
Memang benar waktu telah merubah segalanya dan mengganti-ganti kondisinya, tapi aku yakin waktu takkan berlaku khianat. Waktu akan tetap terus bergerak sesuai dengan kenisbiannya. Dikala kesempitanku ini, suatu saat waktu pasti membantuku membuka sejarah. Semua ini hanyalah ulah manusia-manusia yang tak tahu diri. Sialnya, mungkin sebagian dari manusia itu adalah yang telah aku tarik sendiri dari dalam rahim ibunya.
Bukankah sebutan dukun beranak itu keluar langsung dari mulut-mulut manusia jahil? Dukun, sungguh sebuah kata yang memiliki nilai kafir ditelinga. Apakah selama ini aku telah melakukan kejahatan mengguna-gunai atau menyantet orang? Apakah aku pernah menjadi penyebab suatu wabah karena menyebar teluh, pelet, ganggaong, atau werejit?
Padahal tak pernah sekalipun aku mendeklarasikan tugas-tugasku itu sebagai pekerjaan, melainkan pengabdian. Dalam setiap tugasku, tak pernah aku peduli waktu, jarak, ataupun cuaca. Selama aku mampu, aku akan terus menembus tantanganku menjalani apa yang telah dipercayakannya padaku.
Akupun tak mengenal pamrih. Tak pernah sekalipun aku mengukur usaha-usahaku dengan hitung-hitungan materi. Aku selalu mengutamakan kebahagiaan pasangan yang tengah menanti buah hatinya. Segalanya aku jalani penuh rasa syukur dan ikhlas. Bagiku, ucapan terima kasih dan senyuman saja adalah harga yang tak bisa diterjemahkan melalui lidah. Bahwa, aku merasa senang diatas dunia ini telah memperoleh kebanggaannya.
Memang ada sejumlah persalinan yang kutangani tak berjalan sesuai kehendak. Selalu ada kendala disetiap persalinan yang menyulitkanku. Terkadang, kendala-kendala itu membuat nafasku lemah menyimpan putus asa. Selepas itu, aku lemparkan kutukan sendiri kedalam batin ini bahwa aku telah gagal. Bayi dan sang ibu tak terselamatkan.
2/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Namun itu bukanlah alasan untuk menyudutkanku. Tak pantas orang-orang menyumpahiku hanya karena adanya kegagalan. Urusan hidup dan mati adalah milik Tuhan semata. Bukan sesuatu yang patut diperkarakan pada seorang paraji. Barangkali, melalui kondisi semacam ini, Tuhan ingin mengingatkan umat- Nya pada sebuah keadilan dan keseimbangan hidup.
***$$$***
Memikirkan kemalangan sendiri begini, tiba-tiba mengingatkanku pada pelacur itu. Seringkali, dimalam buta, kulihat ia berada diluar. Pesona tubuhnya seakan memiliki wujud cahaya yang sanggup menerangi gelap malam. Namun, akhir-akhir ini tak kulihat lagi rupanya dan kesundelan tingkah lakunya pada lawan jenis.
Entahlah.
Barangkali ia telah bertobat dan pergi jauh-jauh hingga berada ditepi laut. Disana ia rendam seluruh bagian tubuhnya kedalam air garam demi melepas semua sial. Ia basuh sekujur kulit tubuhnya, kuku-kuku jarinya, dan rambut panjangnya sebagai ungkapam penyesalan dan rasa jijiknya pada nafas-nafas malam yang sempat dihirupnya. Ia juga sucikan kembali titik-titik aurat ditubuhnya dari segala belaian lelaki lapar yang sempat dicicipinya
Alangkah dahsyatnya waktu itu apabila telah sanggup merubah pelacur itu.
Ya, pelacur itu memang wanita memprihatinkan. Ia berkubang dan berkerumun dalam dekap malam, menjelma kunang-kunang diantara anai-anai. Gelap seakan menjadi arena liarnya yang paling takzim, menaburkan gelombang panas ke udara dari kesempurnaan ragawinya yang terbuka, memamerkan aurat dan uratnya kesana kemari seperti barang lelang saja. Kerlingan mata dan geraian rambutnya sungguh dapat membawa petaka terhadap nafsu para lelaki kelaparan.
3/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Dari semua itu, apa sebenarnya yang pelacur itu cari? Uangkah? Atau semata-mata akan sebuah kerinduan pada dekap hangat tubuh lelaki? Barangkali hanya untuk bersenang-senang melapas jenuh? Tapi juga, mungkin saja didalam benaknya bersemayam semacam dendam pada kaum lelaki. Siapa tahu?
Pada suatu malam yang mencekam, tak diduga-duga pelacur itu mendatangi rumahku. Ia mengetuk pintu berkali-kali dengan irama gelisah. Segera saja kubuka. Mengherankan, penampilan pelacur itu tak seperti yang kulihat sebelum-belumnya. Ia kehilangan sensualitasnya. Kini, wajahnya diliputi kemurungan. Bola matanya yang selalu binar menatap jalang sekonyong mengesankan sebuah arti kesepian dan kesendirian. Kendati tetap menampilkan semacam godaan. Bukan godaan untuk merangsang hasrat berahi lelaki, sebaliknya sebuah godaan yang dapat membangkitkan rasa iba siapapun. Perutnya buncit. Ada janin yang tumbuh berkembang di dalam rahimnya.
“Tolong aku, Mak”, keluhnya sambil memegang perutnya seakan-akan membawa benda yang sangat berat di dalam sana. Suaranya lemah dan parau. “Aku mau melahirkan. Aku sudah tak tahan lagi melawan hentakan sang jabang bayi. Rasanya rahim ini sudah terlalu sempit bagi janin ini untuk tumbuh berkembang”.
Mustahil aku membantu persalinan pelacur ini. Terlalu riskan aku mengotori kedua tangan ini dengan menarik janin itu keluar. Janin itu pasti terjadi atas pembuahan yang tak semestinya. Tak pasti benih lelaki mana yang telah berhasil menembus peranakan pelacur ini. Bayi yang dilahirkan ini akan tumbuh diantara kecacatan status. Tak tahu dipohon silsilah siapa nama dan riwayat hidupnya nanti akan disematkan. Demikianlah, bagaimana jadinya dunia ini apabila ditanahnya tumbuh dan berkembang sosok manusia tanpa silsilah pasti. Peraturan hukum dunia ini akan kehilangan nafsunya memberi arah yang baik pada umat manusia. Jalannnya akan semakin menimbulkan pertentangan. Semakin membingungkan. Semakin berantakan. Semakin antah berantah.
Yang membuatku tak habis pikir, pelacur ini justru membiarkan janin haram itu tetap tumbuh di dalam rahimnya. Padahal biasanya, selalu, seorang pelacur takkan membiarkan perutnya membundar buncit. Kehamilan bagaikan penyakit yang mengancam kiprah dirinya. Tanpa peri kemanusiaan, mereka akan sesegara mungkin menggugurkan kandungannya, lantas tampil kembali dengan kejalangannya dimuka para lelaki.
4/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
“Maaf”, gumamku dengan selipan nada penuh sesal, “Mak tidak bisa membantumu. Apa yang kau kandung itu adalah kesalahan. Tak cukup membenahi dosamu itu dengan hanya melahirkan anak itu. Bahkan, kelahiran anak itu takkan membawa berkah sedikitpun pada kehidupan dunia ini. Mak tidak mau terkena dampak buruknya. Mak tidak mau ikut memegang tanggung jawab atas keberadaan anak haram itu ke dunia”.
“Apa Mak pikir seharusnya saya menggugurkan kandungan ini sedari dulu?”
Aku membisu. Dua mulut jurang seakan telah membuka untuk menguji kredibilitasku. Aku berpikir-pikir mencari jawaban, namun tak kutemukan jua jawaban yang tepat atas pertanyaan wanita sundel ini.
“Mak”, sekali lagi pelacur itu menekankan, “pembuahan janin ini diluar kuasaku. Aku telah banyak menuai dosa dengan membiarkan banyak benih masuk kedalam tubuhku. Aku tak mau menambah dosaku lagi dengan menggugurkan kandungan ini”.
Aku tak percaya seorang wanita yang tak pandai membawa diri berbicara dosa. Apakah ia tak pernah memikirkan dosa saat berlaku intim pada sembarang muhrim? Apabila dosa dapat dilihat dengan mata telanjang, seluruh tubuh wanita ini pasti penuh dengan bilur-bilur dosa. Tapi, tak seluruhnya juga pelacur ini salah.
Janin yang terkandung didalam rahim pelacur ini pasti tak terjadi karena hubungan gelap semata. Dibalik semua itu pasti ada campur tangan Tuhan yang berkehendak. Lalu, apanya yang salah aku mendengar suara jerit tangis bayi yang keluar langsung dari rahim pelacur ini? Apanya yang berdosa apabila aku menyentuh, memandikan, dan memotong tali pusar bayi ini? Dosa tak bisa ditularkan hanya karena aku membantu persalinan dari hasil perzinahan. Dosa atau tidak, bayi yang ada dalam kandungan pelacur ini pasti tetap menuntut untuk melihat dunia, karena seperti bayi-bayi lainnya, bayi yang tercipta dari hasil perzinahanpun belumlah mengenal dosa apalagi menyentuhnya
Tuhan pun tak layak dituntut atas penyajian dosa-dosa itu. Yang berdosa adalah pelacur itu sendiri. Ia tak mampu menjaga kemaluannya sendiri dihadapan mata-mata yang haram untuk menatapinya. Ia tak mampu mengendalikan kelaminnya sendiri pada tubuh-tubuh yang terlarang untuk dimasukinya. Sementara, Tuhan tetap memelihara prinsip-Nya pada
5/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan-Nya sepanjang peradaban manusia dari zaman ke zaman, meskipun Ia memiliki tangan yang lebih dari leluasa untuk merubahnya. Tuhan hanya tak mau berlaku khianat ataupun curang pada ketentuan-Nya sendiri. Bahwa tetap saja ketentuan-Nya sedari dulu, adalah, ketika sel sperma yang telah dikeluarkan bertemu dan beradu dengan sel telur dalam hubungan intim baik secara resmi atau tak resmi, suka atau tak suka, maka siapapun juga akan merasakan keniscayaan yang serupa.
Akupun bersedia. Aku persilahkan pelacur itu masuk dan berbaring dengan kedua kaki mengangkang lebar diatas tikar. Aku sendiri berlutut menghadap perut pelacur itu. Pelan-pelan ku elus-elus perutnya, lalu mengurutnya dan mendorongnya keluar. Pelacur itu meraung keras dibawah tatapanku.
“Tarik nafas dalam-dalam”, dukungku mencontohkan, “lalu keluarkan lagi semuanya pelan-pelan”.
Pelacur itu mencoba menirukannya dengan suara erang kesakitan. Deretan giginya saling bergemelutuk riang menahan nyeri. Titik-titik keringat kelelahan muncul disepanjang keningnya hingga membasahi keseluruhan bentuk wajahnya.
Aku sendiri telah terbiasa mendengar jeritan wanita yang tengah merasakan sakitnya melahirkan hingga membuat telingaku pekak dan berdengung. Namun dibalik rasa sakit itu, selalu dalam bola mata sang ibu mengandung sebuah pengharapan besar dan kebahagiaan yang tak terkira nilainya. Sebaliknya dalam bola mata pelacur ini, aku tak menemukan kesan-kesan itu. Kesunyian yang menyelubungi malam pun terpecahkan dengan suara-suara tajam seorang wanita yang kehilangan semangat.
Bayi itu merayap keluar. Tanpa suara tangisan. Tanganku yang telah siap menadah sang jabang bayi lekas saja menjatuhkan bayi tersebut diatas tikar. Aku mundur kebelakang dan melihat bayi itu dengan mata terbelalak lebar. Malang nian anak ini. Selain karena terbentuknya didalam rahim tak diharapkan, kehadirannya ke duniapun hanya sekedar menyumbangkan bangkai.
Serupa nasib bayinya sendiri, pelacur itu kembali menghilang bak ditelan bumi. Tanpa pesan maupun berita. Tanpa pamit ataupun permisi.
6/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Pada suatu malam yang hening, tak diduga-duga, ia kembali mengetuk pintu rumahku. Kali ini ia terlihat cerah. Bola matanya bersih. Lekukan tubuhnya begitu ramping nan langsing.
Segera saja aku bertanya, “Mau apa kau datang kesini lagi?”.
“Aku mau minta kesediaan Mak. Aku mohon Mak mau memgangkatku jadi murid”.
Sebenarnya aku gembira dizaman yang semakin condong kearah pemahaman-pemahaman baru masih ada seseorang yang berniat mempelajari ilmu warisan leluhurku. Wanita lacur ini dapat menjadi generasi berikutnya, menggantikan peranku selama ini meskipun darah pelacur ini diluar garis keturunanku. Dengan begini, aku tak perlu lagi merasa berdosa kapada para moyangku. Tak perlu lagi aku memasang doa-doa tiap malam sampai bibir ini lecet dan mulut kering. Tugasku telah tertunaikan dengan dengan sempurna karena tradisi besar dari leluhurku tak sebatas didenyut nadiku saja. Sampai kapanpun ilmu yang diwariskan leluhur jangan hanya menjadi sejarah saja, namun dapat teramalkan sepanjang peradaban manusia itu berdiri.
Kendati disaat itu timbul pula semacam pemnberontakan batin terhadap kegembiraanku, mengingat status wanita yang berdiri dihadapanku kini adalah seorang tuna susila.
“Apa kau tidak sedang mabuk, wanita jalang?”
“Mak, diluar sana banyak wanita hamil karena kecelakaan sosial. Aku ingin membantu mereka seperti Mak yang telah membantu persalinanku”.
“Maksudmu kau ingin menjadi seperti Mak?”
“Aku ingin menggugurkan janin-janin yang tak semestinya tumbuh didalam rahim mereka”.
7/8
Tabir Antara Kesempatan dan Kesempitan - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Fajri Azhari Jumat, 27 Januari 2012 10:06
Aku kaget bukan kepalang. Dadaku seperti dihantam palu godam berkali-kali. “Bukankah dulu kau penah bilang perbuatan itu adalah dosa?”
“Dosa apabila kita berada dalam kesempitan. Namun, adalah suatu kebebasan apabila kita berada dalam banyak kesempatan”.
Sepasang mulut jurang yang selalu menemani disetiap langkahku tiba-tiba terasa terbuka kembali. Tapi tak seutuhnya pula pandangan sosial wanita lacur ini salah. Pikiranku sendiri dapat sedikit menterjemahkannya; semakin sedikit bayi tanpa silsilah pasti dilahirkan ke dunia, maka semakin teratur pula kondisi seluk beluk manusia. Joomla SEO by AceSEF
8/8