Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Dia datang saat hujan turun. Mengetuk pintu rumah kami dengan penuh ketergesaan. Bapak yang bergegas membukakan pintu, memutar engsel pintu itu diiringi deritan suara yang memanjang, seperti suara rintihan keluarga kami yang telah berbulan bulan di landa kesedihan.
Seluruh tubuhnya kedapatan basah kehujanan. Kami melihatnya seperti menemukan sosok tubuh yang entah datang dari belahan kampung mana. Kami semua terpana. Bapak sedari tadi terus memandanginya, seperti menemukan kekaguman entah dari bagian tubuh mananya pula.
Ibu kemudian bergegas berlari ke depan pintu, lalu ibu menghela sebelah tangannya yang basah dan menyuruhnya duduk di sampingnya. Tanpa bicara ibu memberikanya sebuah piring plastik dan menyandukkan nasi ke piringnya. Dia menyantap nasi pemberian ibu dan mengambil ikan mujair yang sedari tadi memang tinggal sepotong. Ikan itu sebenarnya kepunyaan ibu, sebab kami telah mengambil bagian kami masing-masing. Dia terus menyuap nasinya tanpa menoleh kepada kami.
Ibu kembali memberikan sesanduk nasi kepiringnya. Dia melahapnya juga tidak menoleh ke arah kami. Adikku Cut Putri sedikit terkekeh melihatnya. Aku menepuk paha adikku itu supaya ia jangan tertawa. Mungkin dikiranya dia sama seperti Apa Lambak yang sering makan sambil tertawa di kampung kami. Tapi menurutku dia tidaklah seperti Apa Lambak. Dia pasti tidaklah gila.
Dia sangatlah cantik. Rambutnya panjang sebahu. Hidungnya mancung. Meski di dalam gigilnya karena kehujanan, aku masih dapat melihat raut kecantikan itu padanya. Aku tafsir usianya palinglah baru dua puluh tahun. Beda dua tahun lebih tua dariku.
Dia juga pastilah berasal dari kampung yang jauh, sebab tidak ada kampung terdekat dari kampung kami. Kampung kami terletak di kaki bukit dan dikelilingi hutan-hutan kecil. Butuh jarak berkilo-kilo untuk sampai ke kampung kami. Jika ke kota kami harus menempuh waktu kurang lebih satu jam penuh untuk sampai ke tepi jalan raya dengan berjalan kaki. Dan itupun dengan menyusuri jalan setapak yang kadang menurun dan menanjak. Jalan itu tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Tapi dia sebenarnya berasal dari kampung mana?
1/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Tiba-tiba seekor anjing hutan mengeluarkan lengkingannya yang memanjang, aku mengira pastilah anjing itu kedinginan, atau malah merintih menahan kelaparan. Sebab ayam hutan dan kelinci sudah jarang ditemukan. Bapak berkisah sudah lebih sepuluh tahun penduduk di kampung kami suka berburu ke hutan mencari makanan, sebab padi di sawah di kampung kami sampai sekarang masih diserang hama yang mematikan. Begitu juga dengan burung pipit yang semakin berlimpah jumlahnya, menyerang padi dikala pemilik sawah sudah pulang ke rumah. Pastilah kini anjing hutan kehabisan bahan makanan.
Dia pun telah menghabiskan makanannya, lalu mencelupkan sebelah tangannya pada mangkuk kaca yang terpacak di atas meja.
“Kamu dari mana?” tanya ibu.
“Ya, kamu dari mana?” tanya bapak pula.
Dia tidak menjawab. Dia memandangi ibu. Cukup lama. Dia hanya semakin menggigil. Mungkin masih kedinginan.
Ibu lalu berjalan meninggalkan kami. Ibu rupanya menuju ke arah kamar yang berada di sudut dapur. Aneh, ibu mau memasuki kamar itu. Kamar itu adalah bekas tempat tidur kakak Cut Hasnah. Sudah lebih lima bulan ini ibu belum mau memasuki kamar itu. Selama ini, setiap kali ibu memasuki kamar itu, ibu akan diserang rasa kesedihan yang semakin mendalam tentang kakak Cut Hasnah. Bapaklah yang melarang ibu supaya jangan memasuki kamar itu lagi, karena bapak tidak ingin melihat ibu terus berduka. Sejak itulah ibu berhenti memasuki kamar kakak Cut Hasnah.
Kakak Cut Hasnah meninggal enam bulan yang lewat. Dia ditemukan tewas berlumuran darah dengan dua lobang menggangga bekas tembakan di tubuhnya, persis setelah terjadi kontak senjata antara TNI dengan GAM yang selama ini berdiam di hutan paling ujung, jaraknya kira-kira lebih tiga kilometer dari kampung kami. Ibu bersedih sekali atas kejadian itu. Berhari-hari ibu tidak mau makan dan lebih suka mengurung diri. Setiap kali memasuki kamar kakak Cut Hasnah, perasaan ibu akan bertambah bersedih. Bahkan kami pernah mendapatkan tubuh ibu tergeletak di kamar kakak Cut Hasnah karena pingsan.
2/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Ibu lalu terlihat ke luar dari kamar itu dengan membawakan sehelai baju untuknya. Ibu kemudian menyuruhnya masuk ke kamar itu. Sedangkan di luar hujan masih turun.
@@@
Pagi hari dia telah menyiapkan makanan di atas meja rumah kami. Aku melihatnya di atas tempat tidurku yang terletak di depan kamar adikku Cut Putri. Ibu melihatku dan menyuruh segera bangun dan pergi ke kamar mandi.
Tapi sebentar aku telah ke luar. Kulihat ibu bersama bapak terus memperhatikannya dari kursi. Dia memakai pakaian kebaya almarhum kakak Cut Hasnah. Pakaian itu berwarna biru. Dia bertambah sangat cantik memakai pakaian itu.
“Ibu, dia sangatlah cantik,” seruku.
Bapak melotot memandangiku, mungkin dia marah mendengar ucapanku barusan. Memang bapak masih melarangku walau hanya untuk sekedar mengagumi perempuan. Apalagi berpacaran. Padahal umurku sudah delapan belas tahunan. Bapak pernah berujar, bahwa pacaran hanya berujung pada kemaksiatan, dan itu dilarang Tuhan. Maka bapak menyuruhku untuk menghindarkan. Aku hanya diam bila bapak memberi ceramah tentang itu di Dayah bersama santri-santri lainnya.
“Dia memang cantik,” sambung ibu.
“Siapa namanya bu.”
3/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
“Belum tahu, dari semalam dia masih belum mau bicara. Dia pastilah mengalami peristiwa yang menyedihkan.”
“Tapi menyedihkan karena apa?” tanya bapak.
“Entahlah.”
“Lihat bu, pak, dia terlihat rajin sekali. Ham, ah nikmatnya. Pastilah dia telah menggoreng ikan asin yang di beli bapak di pasar kemaren. Coba rasakan harumnya, bu.”
“Ya, dia memang rajin. Dia seperti mengingatkan ibu akan Cut Hasnah,” kata ibu sendu.
“Jangan begitu,” kata bapak sambil memegang tangan ibu.
Ketika dia selesai bekerja di dapur, ibu menyuruhnya duduk bersama kami. Ibu kemudian menceritakan tentang perihal keluarga kami padanya: tentang aku dan adikku Cut Putri. Ibu juga tidak lupa menceritakan kesukaanku pada kelapa muda, dan juga tentang perangai adikku itu yang beberapa bulan belakangan ini suka sekali bermain perang-perangan dengan anak laki-laki .Padahal dia anak perempuan. Mendengar itu dia sedikit tersenyum.
Ibu tidak lupa juga menceritakan tentang pekerjaan bapak sebagai guru di Dayah milik bapak sendiri. Terakhir ibu menceritakan tentang kakak Cut Hasnah. Tapi mendengar cerita ini dia terlihat murung dan seperti bersedih.
“Begitulah, dia meninggal dalam usia muda,” keluh ibu.
4/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
“Mungkin sudah takdirnya bu,” jawab bapak.
“Tapi sebenarnya nak, kami sekeluarga memang sangat bersedih atas kepergiannya. Kami tidak tahu mengapa sekarang ada persitiwa seperti ini. Ada tentara yang memasuki kampung dan menangkap serta menembak orang-orang yang tidak terlibat GPK. Di kampung kami sudah lebih sepuluh orang yang dibawa dan sampai sekarang tidak tahu kabar beritanya,” cerita bapak padanya.
“Hus, jangan keras-keras Pak, nanti terdengar oleh cuak,” kata ibu.
“Biar saja.”
“Ah bapak, jangan begitu, ibu takut.”
“Tapi, anak sendiri dari mana?” tanya bapak padanya.
Kali ini dia juga tidak menjawab tanya bapak. Dia hanya menekukkan wajah dan memandangi jari-jari tangannya sendiri. Dia entah memikirkan apa. Kami terdiam dan menunggu apa yang akan dikatakannya. Tapi tidak, dia tidak mengatakan apa-apa, sebab tidak lama kemudian dia bergegas meninggalkan kami dan menuju ke kamar kakak Cut Hasnah.
“Ada yang salah?” tanya bapak
“Yang pasti dia punya masalah. Sejak dia muncul di depan pintu semalam, sebenarnya ibu sudah mengira dia mempunyai masalah yang sangat besar dibawanya. Kasihan. Tapi itulah, sampai sekarang dia belum juga mau bicara. Jadi ibu tidak tahu apa masalahnya.”
“Mungkin dia diusir bapaknya,” seruku tiba-tiba.
5/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
“Kau tahu dari mana?” tanya bapak.
“Hanya mengira bapak.”
“Ah, kau sama juga seperti ibumu, terkadang suka main tebak.”
Ibu mendengarnya hanya tersenyum.
“Tapi mengapa dia tidak mau bicara?’ tanya bapak lagi.
“Mungkin dia masioh trauma,’’ jawab ibu .
“Tapi trauma karena apa?”
“Entahlah.”
@@@
Esok paginya dia tiodak keluar kamar seperti hari kemaren. Beberapa lama kami menunggu berharap dia segera ke luar kamar itu. Tapi setelah cukup lama bapak kemudian menyuruh ibu untuk mengetuk pintu kamar. Ibu menuruti perintah bapak. Tapi ibu kemudian tidak mendapat jawaban apa-apa. Dengan penuh penasaran ibu membuka pintu kamar itu. Kami terpana, sebab kami tidak menemukannya. Dia pergi kemana?
6/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Rupanya ibu menemukan sepucuk surat diatas meja. Surat itu ditulisnya pada kertas buku yang agak lusuh. Ibu mengambil surat itu. Surat itu dutujukannya kepada keluarga kami. Bapak lalu menyuruh ibu untuk membacanya.
Kepada keluarga di sini. Terutama ibu Sungguh, semula aku mengira kampung ini akan membawa ketenangan nagiku. Kampung yang aku kira akan bisa melupakan secabik luka, tapi ternyata tidak bu, kampung ini bahkan menciptakan luka baru, kepedihan baru. Sebab aku seperti kembali menemukan luka di kampung ini. Cerita yang ibu sampaikan tentang Cut Hasnah adalah secabik luka di hati ini. Juga tentang orang-orang kampung di sini yang sering dituduh GPK.
Bu, padahal telah jauh kutinggalkan kampung halamanku. Kampung yang telah menciptakan luka pertama. Luka yang rasanya tidak sanggup aku pikul karena beratnya menyesakkan batin dan kepala ini. Setelah aku mengetahui keadaan di kampung ini, rupanya tidak ada bedanya dengan kampung asalku. Ibu, betapa aku kecewa dan bersedih sekali.
Jika ibu dan keluarga di sini bertanya mengapa aku tidak sanggup bersuara, itu karena aku telah diperkosa. Itulah sebabnya aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun bila aku ditanya. Karena bibirku telah terlalu berat untuk mengucapkan sebaris kata. Ibu mungkin tidak tahu, betapa aku begitu jijik dengan bibirku sendiri. Sebab bibirku telah mereka lumat dengan rakus saat mereka memperkosaku.
Mereka tidak hanya memperkosaku, bu. Tapi juga mereka telah membunuh kedua orang tuaku. Bapak ditembak di depan rumah dan kepalanya dipenggal, lalu kepala itu di arah ke ujung kampung. Dan dipamerkan kepada penduduk untuk menakuti-nakuti mereka. Sedangkan ibu meninggal secara mendadak karena tak kuasa melihat bapak.
Aku mengira di kampung lain tidak ada kejadian seperti itu, tapi ternyata tidak, sebab di kampung ini pun juga terjadi. Bu, terus terang aku tidak tahu tentang masalah ini. Aku tidak tahu mengapa babak di tuduh GPK kecuali hanya nama. Aku juga tidak tahu apa itu operasi jaring merah. Aku juga tidak tahu apa itu DOM. Sebab aku hanyalah gadis desa yang beruntung digilai oleh banyak pemuda di kampung kami.
7/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Tapi kini tentu tidak. Mereka tentu tidak menggilaiku lagi. Sebab aku tidak suci lagi. Tapi juga kini mereka semua entah di mana. Ada yang mengatakan mereka telah lari ke hutan untuk menyelamatkan diri, sebab takut di tuduh GPK. Dan ada yang tersebut dari mereka telah ditembak. Bu, aku sangat sedih mereka telah ditembak, sebab mereka pemuda yang baik-baik. Suka ke Meunasah mengaji dan mendengarkan ceramah Tengku Meunasah. Mereka bukanlah pemuda-pemuda berandal yang suka mengganggu perempuan secara keterlaluan. Meskipun kadang mereka iseng menggoda kami jika pulang dari mengaji. Tapi kami tidak marah, sebab kami senang ada yang memperhatikan .
Bu, aku telah jatuh cinta pada salah satu dari mereka. Namanya Abang Usman. Orangnya berkulit hitam. Hidungnya mancung. Dia manis, bu. Tapi dia juga lari ke hutan demi menyelamatkan diri. Bu, aku sangat sayang pada Abang Usman. Aku sedih ditinggalkan. Aku sangat sedih sekali.
Bila aku mengenangnya, hati ini bertambah luka, bu. Sebab bila Abang Usman tahu keadaanku sekarang, dia pastilah tidak akan menggodaku lagi. Sebab aku tahu, lelaki mana yang mau dengan perempuan yang bekas diperkosa?
Bu, aku tidak tahu bagaimana caranya aku diperkosa. Yang aku ingat ada tentara menarik sebelah tanganku ke dalam kamar secara paksa. Mereka menutup mulutku dengan bajuku yang terletak di atas tempat tidur, dan salah satu dari mereka menarik rokku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika terbangun aku mendapatkan tubuhku tidak tertutup sehelai kain pun, dan rasa sakit yang menyerang kemaluanku. Hanya itu, bu.
Oh ya bu, aku mengucapkan terimakasih sekali pada ibu dan bapak yang telah memberi tempat tinggal ketika kehujanan kemaren. Juga tidak lupa juga tolong sampaikan salamku pada Hasbi dan Cut Putri.
Demikianlah luka yang bersemayam di hati ini.
8/9
Tamu Keluarga - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Farizal Sikumbang Selasa, 31 Desember 2013 07:32
Dari Juraini
Kami semua terpana. Seperti tidak percaya. Perlahan ibu melipat surat itu. Kulihat ada bening di mata ibu, juga bapak. Adikku Cut Putri termenung muram. Kami lalu terdiam membisu. Larut dalam renungan-renunagan sendiri. Tiba-tiba Cut Putri berteriak,” bu, aku mau main perang-perangan lagi,” katanya yang cukup megagetkan. Kami lalu memandangi kepergian adik kecil itu, sampai menghilang di balik pintu. (Padang 2004-2005).
Farizal Sikumbang, lahir di Padang. Karyanya terkumpul secara kolektif, Dari Zefir Sampai Puncak Pujiyama (Cerpen 2005), Duka Aceh Luka Kita (Puisi 2005). Tinggal di Padang. Alamat: Jl Raya Korong Gadang. Rt 5/2 No;33. Kec Kuranji. Kel Korong Gadang. Padang. Joomla SEO by AceSEF
9/9