Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
Setelah bertahun-tahun, ia seolah temukan lagi kenangan masa kanak-kanak dan remajanya dalam sebuah film. Cinema Paradiso, tentu cukup masyhur. Sudah lama ia mendengar tentang film ini —dari diskusi kawan-kawannya dan sebuah resensi di suratkabar yang dibacanya sepintas lalu— tapi baru sekaranglah sempat ditontonnya. Ah, ia jadi sedikit menyesal akan ketelatannya yang menjengkelkan. Diputarnya lagi kepingan DVD yang ia rental itu untuk ketiga kalinya. Lalu membiarkan dirinya larut dalam perasaan sentimentil, seperti para penonton Paradiso di bioskop tatkala layar lebar menyuguhkan sepotong adegan sedih.
Oh, bagaimana mungkin pengalaman tokoh utama film itu nyaris menyerupai pengalamannya sendiri? Pikirnya naif. Bagaimana bisa suasana kehidupan kota kecil di Sisilia pada masa sekitar Perang Dunia Kedua yang menjadi latar film itu tampak begitu mirip dengan kondisi kota kelahirannya di tahun 80-an? Adakah dunia memang kerap dipenuhi kebetulan?
Kedua matanya tak berkedip menatap layar kaca, kembali mengikuti adegan demi adegan yang mulai dihafalnya selepas dua kali nonton. Sungguh, layaknya menelusuri masa silam. Ah, terkadang ia seperti menyaksikan adegan-adegan dalam hidupnya sendiri. Tentu saja ia tak bermaksud menyamai riwayat hidupnya yang getir dengan riwayat Salvatore Di Vita, si tokoh utama. Namun lihatlah, sampai hiruk-pikuk dalam bioskop pun terlihat persis dengan sejarah masa lalunya! Seolah-olah ia sedang memutar rekaman ingatan.
Ya, seperti Toto kecil, dulu ia juga keranjingan nonton film. Sehingga rasanya tak ada tempat paling membahagiakan dirinya selain gedung bioskop. Nyaris setiap malam ia pergi ke bioskop, tak peduli belum kerjakan tugas sekolah dan kena marah ibunya karena itu.
Memang tak setiap malam ia bisa menonton. Kadangkala ia tak punya uang. Namun entahlah, berbaur dalam keramaian di teras bioskop pun terasa begitu menyenangkan. Tentu, sembari memelototi poster-poster berbagai film yang ditempel pada lembaran papan tripleks —sebagian dilukis di kain lebar dan tergantung melambai-lambai— di muka bioskop. Lantas dalam benaknya bergeraklah gambar-gambar poster itu dihidupkan oleh imajinasinya yang liar. Aha!
Dari poster-poster itulah, orang-orang mendapatkan informasi film apa yang bakal diputar keesokan malam, bahkan hingga kurun waktu satu minggu mendatang. Tentunya selain melalui kabar yang disiarkan keliling oleh mobil pengiklan film. Seringkali harga karcis ikut ditempelkan
1/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
pula di bawah poster-poster itu, sehingga dengan demikian ia tahu berapa uang jajan yang harus disisihkannya.
Diteguknya kopi di cangkirnya yang telah dingin dan disulutnya sebatang rokok putih. Menghisapnya dalam-dalam lalu membiarkan asap kelabu memenuhi seisi ruangan. Sebagaimana nostalgia memenuhi bilik kepalanya. Ngungun.
Kejadian-kejadian itu berlangsung saat ia berusia sekitar 13-16 tahun, di mana ia sudah bisa membeli karcis sendiri. Pada masa yang lebih jauh, ia selalu diajak ayahnya ke bioskop. Sang ayah penggemar film koboi, jarang melewatkan kisah-kisah petualangan di jaman Amerika liar itu. Biasanya, sore-sore ia telah mandi dan bersalin pakaian. Maklum, film pertama sudah tayang jam lima petang dan berakhir sekitar pukul tujuh. Dilanjutkan lagi dengan tayangan kedua pada pukul delapan malam. Berdua, mereka ayah-anak berjalan kaki ke bioskop, tetapi seringkali ayahnya akan menggendongnya di punggung. Ai, tak mungkin ia lupakan masa-masa manis itu.
Namun kemudian, seiring kesibukan kerja terus bertambah, ayahnya tak bisa sesering sebelumnya lagi mengajaknya menonton. Dan untuk seorang anak yang sudah keranjingan film seperti dirinya, kenekatan pun jadi pilihan. Kendati awalnya tak diijinkan ibunya pergi ke bioskop sendirian, tetap saja ia bandel. Toh, ia selalu punya akal melewati para penjaga karcis. Dari menyelinap masuk di tengah keramaian penonton yang sudah tak sabaran, hingga berpura-pura jadi anak orang dengan cara mengekor diam-diam di belakang. Itu sebelum ia akrab dengan Mang Béruk, si penjaga karcis yang sesuai nama olokannya benar-benar bak raja kera dengan badan kekarnya di pintu masuk bioskop Gelora.
Begitulah, kenang-kenangan terus membuainya adegan demi adegan. Ai, masa kanak-kanak barangkali memang masa paling menggairahkan. Senantiasa kelewat mengharukan tatkala hadir lagi. Diusapnya kedua matanya yang agak berair. Terasa sedikit pedas. Tapi tak sejenak pun ia hendak berpaling dari tayangan film di layar kaca.
Masih hangat dalam ingatannya, betapa saban malam selalu ramai orang-orang yang lewat berjalan kaki pulang-pergi bioskop di bawah terang lampu jalan milik perusahaan timah. Bergerombol, tumpah ruah, sembari dengan berisiknya membicarakan film yang bakal atau habis ditonton. Ya, seperti kota kelahiran Toto di Sisilia dalam Cinema Paradiso, kala itu bioskop adalah satu-satunya hiburan di kota kecilnya yang hanya berpenduduk beberapa ribu jiwa. Murah-meriah. Begitulah. Sebuah kota kecamatan yang tertinggal, miskin, jauh dari
2/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
kemajuan. Tidak setiap orang punya televisi, sekalipun yang hitam-putih. Cuma beberapa orang saja yang memiliki video Betamax di rumah.
Dihirupnya lagi kopinya. Bibir cangkir dan cairan kental itu terasa sama dingin. Aha, setelah bertahun-tahun, puluhan tahun berlalu, batinnya. Agak gelisah.
Kini, betapa ia merindukan masa kecil yang manis itu. Merindukan suasana bioskop yang bising dengan tawa bergelak, seruan-seruan tegang, caci maki, lontaran kata-kata jorok, suara mendengkur dan tangis bayi. Tak pernah ia lupa kekonyolan-kekonyolannya dulu. Ah, seperti halnya si kecil Toto, ia pun pernah curi-curi merokok dalam bioskop bersama kawan-kawannya, atau dengan sepenuh takjub mengamati tembakan sinar proyektor yang terang dan berwarna-warni melesat keluar dari lubang persegi empat di tembok belakang penonton.
***
Tapi bagaimana cerita film itu bisa begitu mirip dengan kisah kanak-kanak dan remajanya? Pertanyaan itu masih saja bergelayut dalam risau pikirannya. Membuatnya kian ngungun di depan layar kaca. Bagaimana mungkin sebuah kota asing, jauh di belahan bumi lain —bermil-mil di seberang lautan, terpisah pula oleh kurun waktu puluhan tahun, bisa memiliki keserupaan dengan kota kecilnya? Ah, aneh memang rasanya membayangkan semua ini.
Bedanya, jika di kota kecil Toto mulanya hanya ada satu bioskop, di kota kecilnya waktu itu telah berdiri anggun dua buah gedung bioskop yang nyaris berseberangan. Bioskop Belia yang terletak di Jalan Muhidin memunggungi bioskop Gelora di Jalan Ali Seng. Yang satu lebih suka memutar film-film Barat dan Hongkong, satunya lagi gemar menayangkan film lokal dan India. Keduanya, sejak lama bersaingan merebut penonton. Menurut cerita ayahnya, bioskop Belia lebih dulu dibangun. Mulanya bernama bioskop Bintang, hanya berupa bangunan papan ketika didirikan oleh seorang juragan kayu di jaman Belanda.
Dibandingkan Gelora yang berkapasitas lebih luas, sesungguhnya bioskop Belia inilah yang lebih mirip dengan bioskop Paradiso. Sama dengan bioskop kesayangan Toto itu, Belia pun memiliki sebuah balkon kecil di dalam gedung dekat lubang tembak proyektor. Ya, meski tak
3/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
ada perbedaan harga karcis untuk para penonton yang duduk di sana seperti di Paradiso.
Oh, rasanya baru kemarin ia menonton film Tarzan di gedung tua itu! Duduk setengah bersandar di bangku reyot yang berderit-derit, di tengah pekat kepulan asap rokok dan berisiknya para penonton. Gairah itu serasa kembali membuncah di dadanya…. Lantas ia ingat Rusli, anak penjual karcis di bioskop Gelora yang dikenalnya jelang lulus SMP, yang membuat Mang Béruk seolah kehilangan kuasa. Hampir setiap malam, mereka berdua bisa masuk bioskop dengan gratis.
Tentunya ia masih hafal, bahkan dengan cukup detail penampilan kedua bioskop itu luar dalam. Sudut-sudut gedung yang dipenuhi sarang laba-laba, bangku-bangku kayu penuh ngengat dan kecoa dengan tikus yang suka berkeliaran di tengah penayangan film, kipas angin yang kerap macet. Bahkan aroma dalam gedung yang pengap bercampur pesing pun seakan masih bisa dibauinya….
Arus kenangannya makin menderas. Bayangan-bayangan masa silam itu terus berkelebat, seperti jalinan adegan di layar kaca. Silih berganti, kadang seperti montase. Ya, memang ada begitu banyak hal yang mirip satu sama lain. Suasana bioskop, tingkah laku para penonton, kebiasaan-kebiasaannya waktu kecil….
Bukankah seperti Toto kecil, dirinya juga gemar mengumpulkan potongan-potongan pita film yang terbuang? Kendati demikian, tidak seperti Toto yang bersahabat karib dengan Alfredo si proyeksionis bioskop Paradiso, ia tak pernah kenal dekat dengan Abun, tukang putar film di bioskop Gelora yang ceking itu. Apalagi Mang Amir, pemutar film di Belia yang terkenal pemberang, dan jelas tak suka anak-anak.
Biasanya, pita-pita film yang tergunting itu ia kumpulkan dari gudang tua tak terkunci di belakang bioskop Gelora, atau dipungutnya dari tong sampah kedua bioskop. Ia tahu betul di mana Abun dan Mang Amir meletakkan dan membuang pita-pita film putus atau sengaja dipotong itu. Atau kadang-kadang Awak, tukang bersih bioskop Belia yang sering datang ke rumah membawakan untuknya potongan-potongan negatif film itu.
Toh, kerapkali ibunya kurang senang dan menganggapnya menumpuk sampah di rumah. Tapi sambil tertawa ayahnya selalu membelanya jika sang ibu mulai menggerutu. Ia teringat
4/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
bagaimana dirinya juga suka menerawang potongan-potongan pita film itu di bawah terang lampu belajarnya seperti yang dilakukan Toto kecil di depan lampu minyak. Dan seketika sebuah film pun serasa kembali tayang di depan matanya, kendati cuma berupa potongan-potongan adegan tak utuh. Tentunya tak semua guntingan terbuang itu berasal dari film-film yang sudah ditontonnya. Dengan begitu, hanya bisa dikhayalkannya jalan kisah seperti yang ia lakukan setiap melihat poster-poster di muka bioskop. Kata pamannya, potongan-potongan pita film itu bisa dicuci-cetak layaknya negatif foto biasa. Namun sampai kini, sampai pita-pita film itu perlahan dilupakannya seiring bertambahnya usia lalu hilang tak berbekas, tak pernah ia membawanya ke tukang cuci foto.
Di kota kecilnya memang tak ada seorang pastor tua dengan lonceng kecil yang jadi juru sensor atas nama moralitas, sebab kau tahu Lembaga Sensor Film Indonesia telah menggunting terlalu banyak. Tapi di kedua bioskop kesayangannya, toh gulungan film sering sekali putus di tengah penayangan. Barangkali lantaran mesin proyektor yang sudah tua, atau Abun dan Mang Amir memang tak semahir Alfredo memutar film. Sehingga tak jarang berbagai gerutuan, umpatan dan teriakan keras “huuuuuh!” pun bergema di seantero gedung yang kedap suara. Tak rela serunya film terganggu di tengah keasyikan. Masih jelas dalam bayangannya, bagaimana muncul angka-angka dalam hitungan terbalik di layar sebelum akhirnya film kembali tayang.
Selain potongan pita film, Awak juga suka membawakan untuknya poster-poster selebaran yang biasa dilemparkan dari jendela pick-up Chevrolet pengiklan film dan disambut ramai oleh anak-anak di jalan termasuk dirinya. Tapi Ibu tak suka Awak. Menurut Ibu, Awak suka berseloroh saru, menceritakan adegan-adegan jorok saat ngobrol dengan ayah. Padahal di dekat mereka ada anak kecil.
Ya, lelaki berbibir tebal itu memang gemar bercerita, dan ia senantiasa betah mendengarkan berjam-jam, kadang sampai terkantuk-kantuk. Berbuih-buih mulut Awak dan sering ludahnya bepercikan keluar. Tentu itu sudah cukup membuat ibunya makin cemberut. Selain karena Awak dianggap mengganggu kesibukan ayah dengan kaset-kaset lagunya. Pembersih bioskop itu sering membawa banyak kaset yang pitanya kusut masai atau putus ke rumah. Kaset-kaset milik bioskop yang diputar menjelang penayangan film. Entahlah, ayahnya selalu dengan senang hati membenahi kaset-kaset tersebut: merapikan pita yang kusut, menyambung yang putus menggunakan cat kuku.
Bagaimana kabar lelaki kecil yang selalu mengenakan celana pendek itu sekarang? Apakah masih hidup? Dapat ia bayangkan sepinya hari-hari Awak, setelah bioskop di mana lelaki yang hafal adegan dan dialog banyak film itu mengabdi bertahun-tahun gulung tikar….
5/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
***
Alfredo benar, bisnis film lama cuma tinggal kenangan. Begitulah si tua itu penuh mafhum saat televisi membawa keajaiban baru ke kota kecilnya di Sisilia. Tapi kenangan itu pulalah yang membuat Alfredo sanggup bertahan dalam kebutaannya selepas kecelakaan di ruang proyektor. Ya, hanya kenangan pada bioskop tempatnya bertahun-tahun bekerja itulah, kenangan pada mesin proyektor dan film-film, yang menemani lelaki yang gemar mengutip kata-kata bijak dalam film itu melewati masa-masa tersulit di masa tuanya. Sembari meraba-raba masa depan yang kian membingungkan baginya, proyeksionis itu pun meyakinkan Toto remaja untuk pergi meninggalkan kota kecil mereka.
“Jangan kembali, jangan pikirkan kami, jangan menulis surat, jangan menengok ke belakang, jangan tunduk pada kenangan, lupakan kita semua,” begitulah nasehat Alfredo kala melepas anak lelaki yang sejak kecil diajarinya menjalankan proyektor itu di stasiun kereta.
Ah, ia jadi terkenang ketika dulu pertama kali pergi merantau. Tak ada yang melepaskan, tak ada nasehat, tak ada tangis haru, ketika ia menaiki kapal Pelni yang merapat ke pelabuhan kota kecilnya. Tapi sebuah kota kelahiran selalu jadi bayang-bayang yang tak mudah kita lupakan. Ke mana pun kita pergi, senantiasa ada yang terbawa. Entah itu aroma tanah, lanskap sebuah jalan, raut wajah orang-orang yang dicintai, atau ya kenangan pada sebuah bioskop…. Sebagaimana Toto tua yang telah jadi seorang sutradara masyhur itu akhirnya pulang saat mendengar kematian Alfredo setelah berpuluh tahun mencoba menguburkan sejarah dan kegetiran, cinta dan luka.
Toh, tak seperti Toto yang mampu melawan kerinduan dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja dan kemeriahan kota besar, ibarat bangau ia terbang tinggi tapi terlalu cepat hinggap lagi di tepian. Bukan lantaran seorang di masa lalunya meninggal, namun justru sebuah kelahiran yang mesti ia sambut dengan ragam perasaan berkecamuk di hati. Perlu dua minggu baginya untuk memutuskan membeli tiket kapal.
“Anakmu laki-laki,” surat dari Mira, sepupunya itu diterimanya pada suatu pagi yang basah. Bayi mungil itu manis, dengan hidung persis hidungnya. Tetapi bibir dan matanya milik Mira. Tak seorang pun dari keluarga yang tahu anak itu hasil hubungan gelap mereka. Tak juga suami Mira. Ah, seharusnya mereka bisa menahan diri di depan layar kaca malam itu, seharusnya ia
6/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
tidak menyewa VCD film romantis itu…. Tapi semua toh telah terlanjur menjadi bagian gelap riwayat hidupnya di kota kelahiran. Sejak itu sesekali ia akan pulang. Ia tak tahu, apakah ia lebih beruntung dari Toto karena dapat menyaksikan perubahan di kota kecilnya itu tahun demi tahun, atau justru sebaliknya….
***
Kenangan memang seolah jarak terjauh yang pernah kita tempuh. Dan sebuah kota seringkali lebih terikat pada waktu daripada ruang. Begitulah, Cinema Paradiso, film ini terus menghidupkan kota kecilnya lewat adegan demi adegan yang sentimentil.
Tentu, kota kecamatan itu telah jauh berubah pada kepulangannya yang terakhir. Meski sebagian —orang-orang tua yang makin uzur dan mulai terserang amnesia, tampilan satu-dua ruas jalan, bangunan-bangunan rumah dan toko— masih saja bertahan dalam keasingan. Seakan hidup di masa lalu. Sementara para pendatang baru terus bertambah setiap waktu untuk bekerja di penambangan, perkebunan sawit, atau jadi kuli bangunan. Ruko-ruko baru tumbuh di banyak ruas jalan, bagaikan cendawan di musim penghujan. Gedung-gedung walet menjulang di tengah kota, berdiri pula bank dan perkantoran.
Demikianlah, sebuah kota kecil menjalin nasibnya, bersalin rupa atau makin ditinggalkan. Ya, sebuah kota kecil, di mana-mana selalu sama. Kaum mudanya telah ditakdirkan tumbuh dewasa untuk pergi; mengadu nasib ke kota-kota besar. Bekerja atau berkuliah, apa bedanya. Orang-orang muda memang selalu memiliki dunia yang lebih luas, dengan harapan seperti langit terbentang. Semarak seperti layar bioskop terkembang.
Terkadang ia merasa tak lagi mengenal kota kelahirannya. Seakan-akan itu sebuah kota lain yang tak pernah dijelang. Tapi entahlah bagaimana jalan hidupnya bila dulu tak memutuskan mengemas ransel. Mungkin ia akan jadi seorang pegawai toko, tukang ikan, atau bekerja sebagai buruh penambang. Persis seperti yang dikatakan Alfredo kepada Toto remaja dalam Cinema Paradiso: “Pergilah dari sini. Tanah ini terkutuk. Hidup di sini hari demi hari, kau pikir inilah pusat dunia. Kau percaya tak akan ada yang pernah berubah. Lalu kau pergi selama satu atau dua tahun. Ketika kau kembali, semuanya telah berubah.”
Dan pemutar film yang malang itu seperti benar. Apa yang ia cari memang tak ada di kota
7/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
kecamatan kecil itu. Ia dan Toto bagaikan dua orang muda yang telah dikutuk untuk melupakan kampung halaman. Lantas ketika kembali, benangnya telah putus. Apa yang ia miliki telah lenyap.
Ya seperti Toto tua, kenangan pada dua bioskop itu merawat sebuah kota kelahiran dalam rapuh ingatannya sedemikian rupa setelah bertahun-tahun. Tampilan film yang penuh goresan di layar, gedung pengap dan bau pesing, bangku yang dingin, keras, reyot dan penuh kecoa, dengan orang-orang yang ribut dan merokok seperti cerobong asap, atau satu dua pasangan berciuman dalam gelap. Betapa semua itu dulu menjadi hari-harinya yang indah. Yang tak mungkin ia jenguk kembali. Sebab waktu —seperti diungkapkan narasi salah satu film yang diputar Alfredo di bioskop Paradiso— mengalir seperti sungai. Masa silam bukanlah gulungan pita film yang bisa diputar ulang proyektor.
Walau kedua bioskop kesayangannya tak diruntuhkan seperti bioskop Toto dengan diratapi para penduduk kota kecil Sisilia, toh nasib gedung-gedung tua itu tak jauh berbeda. Jika dalam film Cinema Paradiso, Dewan Kota membeli lahan tempat bioskop tua itu berdiri untuk area parkir, kedua bioskopnya telah lama beralih fungsi dan bentuk fisik. Belia menjadi tempat bilyar, lalu warnet, dan akhirnya deretan ruko baru. Nasib Gelora lebih mengiriskan lagi: dijadikan sarang walet! Pelatarannya yang luas kini ditutupi seng-seng karatan.
Ya, jaman berganti. Selalu ada yang hilang. Yang usang akan digantikan yang baru, begitulah roda sejarah berputar. Awalnya Gelora yang bergabung dalam jalinan bisnis bioskop lokal itu masih mencoba bertahan, di antaranya memutar film-film lama dengan karcis murah di hari Minggu siang. Tetapi antena parabola dan VCD player makin murah, televisi swasta bermunculan, tempat rental keping VCD menjamur. Orang-orang seolah bisa membangun bioskopnya sendiri di rumah, di ruang keluarga, dalam kamar tidur dengan secangkir kopi panas. Kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi kadang memang terkesan kejam….
Tentunya hingga kini orang-orang di kota kecilnya masih gemar nonton film, tapi ia tak tahu adakah atau berapa banyakkah dari mereka yang merasa kehilangan seperti dirinya. Toh, sesekali rasanya ia menemukan lagi suasana bioskop itu dalam tradisi nonton bareng pertandingan sepakbola di kafe-kafe. Waktu Piala Dunia 2010 lalu misalnya. Ah, setelah bertahun-tahun. []
8/9
Kenangan Pada Dua Bioskop - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander Rabu, 20 Juli 2011 22:33 -
Gaten, Yogyakarta, Desember 2010 Joomla SEO by AceSEF
9/9