Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Pengantar Assalamu’alaikum Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah, ke hadirat Ilahi Rabbi yang telah mengutus Nabi Muhammad saw. untuk mengangkat harkat diri manusia, laki-laki dan perempuan. Swara Rahima edisi ke-28, hadir kembali dengan kajian Suplemen bertema Refleksi Ramadhan untuk Pekerja Perempuan yang Termarjinalkan.
Memaknai bulan Ramadhan tidaklah hanya dalam pengertian ritual ibadah semata, dimana di dalamnya setumpuk amalan ibadah dapat dikerjakan, baik secara kolektif maupun individu. Mulai dari puasa menahan makan, minum, dan hawa nafsu, atau tarawih bersama, tadarus Alquran, maupun zikir di masjid untuk memperbanyak mengingat Allah swt. Lebih dari itu, ibadah Ramadhan seharusnya dapat memunculkan sikap nyata sebagai bentuk relasi kehidupan kita dengan sesama (hablun min al-naas), setelah membangun relasi baik dengan Tuhan ( hablun min Allah) melalui ibadah-ibadah tersebut.
Salah satu jalan utama membangun sikap nyata itu adalah dengan mengakui dan memenuhi hak-hak sesama, terutama para Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah kita yang selama ini telah banyak berjasa.
Di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, seorang PRT juga memiliki pengharapan yang sama dengan para majikannya atau pengguna jasanya, untuk dapat merasakan nikmat bulan penuh berkah ini. Sebagai hamba Allah, tentu mereka ingin menjalankan amalan-amalan ibadah selama bulan Ramadhan. Apalagi saat lebaran tiba, sebagai insan yang menanggung rindu karena berbulan- bulan tak bersilaturrahmi dengan keluarga, mereka juga pasti ingin segera bertemu, berbagi kegembiraan dan berlebaran bersama kerabat. Sayangnya, tidak semua dari mereka bisa memperoleh hak dan kesempatan itu. Padahal semua itu adalah sebagian dari hak yang mereka miliki. Memang, PRT selama ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kita. Kita lupa bahwa mereka juga memiliki hak-hak dasar sebagai pekerja sekaligus manusia. Selama ini disadari atau tidak, pengertian yang mengendap dalam pemahaman kita masih menempatkan PRT sebagai “pembantu rumah tangga” bukan sebagai “pekerja” yang mengerjakan seluruh tugas-tugas rumah tangga kita. Mestinya, pemahaman itu sudah bergeser kepada pengertian “pekerja rumah tangga”. Sehingga sikap dan pandangan kita terhadap mereka lebih memuliakan mereka, dari pada sekedar memperlakukan sebagai “pembantu” tanpa hak-hak dasar yang sepantasnya mereka terima. Sebab, baik pengguna jasa maupun PRT tak ada kelebihan di antara keduanya. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. PRT memiliki jasa untuk ditukarkan dengan upah
1 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
yang layak dengan mengerjakan pekerjaan domestik kita. Terlebih lagi, semangat mereka bekerja, mencari rejeki Allah swt. di muka bumi adalah bukti kemuliaan yang mereka miliki, untuk tidak bergantung pada orang lain. “Dan bagi masing-masing mereka mendapatkan derajat dari apa yang mereka kerjakan, dan agar Allah mencukup kan bagi mereka ( balasan, rejeki) pekerjan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada dirugikan” . (Qs. Al Qaaf : 19)
Lalu bagaimana kita harus merefleksikan ibadah- ibadah kita di bulan Ramadhan ini, agar kita dapat lebih menghargai hak-hak PRT kita? Hj. Afwah Mumtazah Fuad, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Kempek Gempol Cirebon, yang sekaligus mudiroh Madrasah Takhasus lil Banat (MTLB) pada pesantren tersebut, dalam kajian ini menguraikan kepada kita terkait hal tersebut. Ajakannya untuk berefleksi terhadap makna puasa dan Ramadhan ini, sangat menarik kita kaji. Mudah-mudahan ini akan menambah semangat kita dalam menegakkan keadilan bagi sesama. Selamat berpuasa. Selamat membaca!
***
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa Ramadhan yang ditunggu-tunggu tibalah sudah. Semua umat muslim bersibuk ria menyambut kehadirannya dengan penuh suka cita. Rutinitas tahunan segera dimulai. Bangun dini hari untuk menyiapkan makanan sahur dan sore hari kembali menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa, mengisi hari-hari dengan berbagai ritual ibadah seperti shalat tarawih berjamaah dan tadarus Alquran. Hingga menjelang lebaran tiba, ketika setiap orang mulai sibuk dengan agendanya. Mudik atau pulang kampung yang menjadi tradisi tahunan, tak ter- kecuali mereka yang sehari-hari bekerja di rumah kita. Baik sebagai tukang masak, tukang kebun, sopir, pengasuh anak dan lain-lainnya; semua menuntut haknya untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman mereka.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu seluruh muslim di dunia. Bulan penuh berkah dan berbanjir pahala. Bulan yang di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, maka pantas jika kemudian bulan ini dinobatkan sebagai Sayyid al Syuhur (rajanya beberapa bulan). Refleksi spritualitas seseorang akan meningkat tajam di bulan ini, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk amalan- amalan shalih semacam zakat, sedekah, membayar fidyah, yang semuanya berimplikasi kepada realitas sosial keberpihakan nilai-nilai Islam kepada kaum papa.
2 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Segala bentuk ibadah dalam Islam, selalu terdapat pesan moral di dalamnya, terlebih ketika memaknai pesan moral yang terdapat dalam puasa di bulan Ramadhan. Di bulan ini terdapat ritual puasa yang sifatnya riil, yang mengajarkan rasa senasib dengan kaum papa. Ajaran tersebut adalah menahan rasa haus dan lapar, kesabaran untuk menahan diri dari menyakiti orang lain dan sebagainya. Begitu mulianya pesan moral ini, sampai-sampai Rasulullah saw. menakar harga suatu ibadah itu dinilai dengan sejauh mana seseorang menjalankan pesan moralnya. Pesan moral di sini bisa diartikan sebagai peningkatan akhlak.
Di antara pesan moral peningkatan akhlak tersebut adalah perlakuan terhadap PRT. Hal ini ditunjukan dalam suatu hadis yang meriwayatkan, bahwa pada bulan Rama- dhan, ada seorang perempuan yang mencaci maki pembantunya. Kebetulan saat itu Rasulullah saw. mendengarnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Rasulullah bersabda, “Makanlah makanan ini.” Perempuan itu menjawab, “ Saya sedang ber puasa, ya Rasulullah” . Rasulullah kembali bersabda, ”Bagaimana mungkin kamu ber puasa padahal kamu mencaci maki pembantumu? Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu sehingga tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang-orang yang shaum dan betapa banyaknya orang yang kelaparan .” 1)
Sepanjang sejarah manusia, ibadah puasa selalu menyerukan pesan ‘menahan dan mengendalikan diri sendiri’. Sedangkan menurut Ismail Al Faruqi, puasa adalah latihan terbaik dalam seni pengendalian diri (The art of self-mastery). Pengendalian diri dalam puasa sifatnya sangat personal. Artinya hanya dapat dilakukan dan dipertanggung jawabkan secara pribadi, dalam arti tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Oleh karena itu, puasa adalah sarana latihan yang strategis sekaligus sebagai pendidikan tanggung jawab pribadi.
Karena sifatnya yang privat dan personal, jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan ibadah yang sangat rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika dibandingkan dengan shalat (dalam hal ini, shalat berjamaah), zakat dan haji, maka ibadah puasa akan jelas berbeda. Ketiga komponen ibadah tersebut melibatkan pengetahuan banyak orang, sehingga mudah untuk “dipamerkan” kepada sesama manusia, namun puasa sangatlah bersifat individual. Oleh karenanya, Allah swt. menyatakan dalam hadis qudsi-Nya, “Ibadah puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya.” 2)
3 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Makna Shiyam, Ramadhan, Syahr dan Lailatul Qadar
Kata puasa dalam bahasa Arab disebut al Shiyam berasal dari bangunan kata shaama yashuumu-shauman- wa shiyaaman . Al shiyam menurut bahasa Arab berarti meninggalkan diri dari sesuatu. Dalam Al Raghib, yang disebut shaum adalah tidak melakukan sesuatu, baik yang berkaitan dengan makanan, pembicaraan maupun perjalanan. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan disebut “kuda berpuasa”. Kata Abu Ubaidah, setiap orang yang meninggalkan makan, tidak mau bergerak, dan tidak mau berbicara (di dalam bahasa Arab) disebut shaim. Sedangkan menurut istilah syara’ yang disebut dengan shiyam adalah menahan diri dari makan minum dan bercampur dengan istri, dengan niat dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Ramadhan, berasal dari kata Ar ramdhu, yang artinya saat matahari terik sekali. Berasal dari sebuah kata mabni pada fathah yang mesti dibaca ramadhana, bukan ramadhanu atau ramadhani. Ramadhan berarti membakar sesuatu. Menurut Al Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasyaf, dahulu ketika orang Arab memindahkan nama bulan itu ke dalam bahasa Arab --karena yang menamai bulan-bulan itu sebetulnya bukan bangsa Arab, tapi bangsa Babylonia yang telah mengenal perhitungan peredaran bulan--, mereka menggantinya berdasarkan waktu ketika mengalami bulan-bulan itu. Sehingga ada nama Rabi’ al Awwal dan Rabi’ al Akhir. Rabi’ artinya musim semi, karena kebetulan waktu itu Rabi’ Al Awwal jatuh pada musim semi. Akan tetapi perhitungannya memakai perhitungan peredaran bulan, bukan perhitungan peredaran matahari, maka bulan Rabi’ Al Awwal atau Rabi’ Al Akhir tidak selalu jatuh pada musim semi. 3)
Pada waktu pengalihan nama-nama bulan itu lah, Ramadhan jatuh pada musim panas sehingga disebutlah Ramadhan sebagai musim yang sangat panas. Meskipun kemudian Ramadhan tidak selalu jatuh pada saat musim panas, khususnya di negara-negara lain, juga di Indonesia, Ramadhan kerap terjadi pada musim panas (baca: kemarau). Maka Ramadhan lebih bermakna filosofis, sebagai bulan yang membakar dosa-dosa orang yang berpuasa.
Syahr berasal dari kata syahara yang berarti muncul. Kata syahr kerap digunakan dalam pengertian ada sesuatu yang terbuka atau dikenal. Merujuk pada pemahaman masyhur dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang sangat dikenal. Orang Arab akan mengatakan sya hara al amr jika suatu perkara muncul ke permukaan. Bulan disebut syahr karena ia diketahui lewat penglihatan yang masyhur. Datangnya bulan harus berdasarkan berita yang kemudian tersebar secara masyhur. Ini yang kemudian menjadi suatu dalil bahwa datangnya puasa harus berdasarkan ru’yat, artinya ada orang yang melihat dan menyampaikan kepada orang banyak.
4 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Sejatinya kedatangan Ramadhan kali ini, disambut dengan suka cita. Sebagai bulan pembersihan jiwa sekaligus ajang perenungan untuk bertafakur dan bersyukur atas segala limpahan karunia-Nya. Allah telah memberikan rejeki umur panjang untuk dapat berjumpa kembali dalam bulan seribu bulan atau Lailatul Qadar. Lail berarti malam, sedangkan qadar mempunyai arti penetapan dan pengaturan. Sehingga lailatul qadar adalah sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan kehidupan manusia, di mana Allah telah menurunkan Alquran pada malam itu, sebagai pengatur atau pembeda jalan kebenaran dan ke- sesatan. Sebagian ulama menafsiri layla al qadar dengan arti malam kemuliaan, sementara al Qadar secara terpisah mempunyai arti lain yaitu sempit. Sebab pada malam itu para malaikat turun berbondong-bondong ke bumi untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Dari penafsiran-penafsiran tersebut, makna lailah al-qadar dapat disimpulkan sebagai malam yang penuh kemuliaan, malam turunnya Alquran yang merupakan pedoman manusia sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil. Lailatul qadar sendiri bukanlah suatu hari pada bulan Ramadhan yang dapat dipastikan tanggal dan harinya. Sebagian ulama hanya menangkap isyarat yang di- kemukakan Rasul bahwa lailatul qadar jatuh pada hari-hari ganjil sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27,dan 29 Ramadhan. Tentang rahasia datangnya lailatul qadar, Abdullah Yusuf Ali menafsirkan, bahwa lailatul qadar adalah peristiwa mistis. Bila seseorang mengalaminya maka ia akan merasakan perbedaan yang jelas antara yang benar dan yang salah, sehingga ia akan mengalami transformasi spiritual. Ia mengalami kesadaran, bahwa ada sesuatu yang benar dalam hidup ini, yang akan diproyeksikan dalam pengalaman hidupnya meng- akibatkan terjadinya semacam kelahiran kembali. Di sinilah maknanya, bahwa ia menjadi lebih baik dari seribu bulan. 4)
Maka sebagai peristiwa mistis, semestinya ada usaha-usaha untuk mendapatkannya dalam arti sebagai halawatul iman. Bentuknya adalah peningkatan intensitas ibadah-ibadah sunah, antara lain melakukan i’tikaf, berdzikir, berdoa dan tadarus dibarengi tadabbur atas kandungan Alquran serta mengeluarkan zakat. Yang pada tahap selanjutnya, dari proses tadabur tersebut lahir niat yang kemudian direfleksikan dalam bentuk menumbuh-kembangkan empati kepada sesama, khususnya kaum mustadha’fin. Dalam hal ini para PRT yang tidak diuntungkan, meliputi eksploitasi tenaga, waktu dan upah yang tidak terbayarkan, serta tindak kekerasan majikan.
Memaknai bulan Ramadhan tidak hanya dalam pengertian lafal belaka, sebagai suatu ritual ibadah dalam bentuk menahan makan, hawa nafsu amarah maupun seksual, tetapi lebih pada bagaimana kita dapat membahagiakan orang lain sebagaimana kita berharap akan rahmat dan maghfirah yang berlimpah dari sang Rabb di bulan mulia ini. Ramadhan dan Pekerja Rumah Tangga Kita Sebagaimana komunitas yang lain, komunitas PRT hampir sama ekspresifnya dalam
5 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
menyambut Ramadhan dengan suka cita. Berharap pahala Allah sebagaimana lazimnya yang lain, juga kerinduan kepada keluarga di kampung setelah berbilang bulan tidak berjumpa disertai niatan berbagi rejeki dengan mereka. Tapi sayang, tidak semua dari mereka bisa mendapatkan kemudahan seperti ini, jangankan untuk berbagi suka dan rejeki, untuk sekedar menghilangkan kepenatan diri saja, mereka tidak menda- patkannya. Padahal ini adalah sebagian dari hak yang mereka miliki.
Ironisnya, sebagian besar negara yang mayoritas penduduknya muslim khususnya Indonesia, banyak tidak memberikan hak-hak pekerjanya dengan layak dan sesuai dengan spirit ajaran Islam. Penelantaran dan penyiksaan terhadap PRT hingga berujung kepada kematian masih selalu saja terjadi. Dalam Islam, ketimpangan-ketimpangan yang memposisikan pekerja yang terampas hak dan kewajibannya disebut sebagai yang dizalimi (mazhlumin), yang tidak diuntungkan ( maghl ubin ) dan yang terpinggirkan ( mustadha’fin ). 5)
Mengusut banyaknya ketimpangan pada pekerja, yang berakhir dengan adanya potret mazhlumin, maghlubin dan mustadh’afin adalah seperti mengusut benang merah, karena permasalahan yang ada benar-benar multi kompleks. Tingkat keterampilan dan pendidikan yang rendah adalah faktor penyebab rendahnya daya tawar, yang ujung-ujungnya bermuara pada kemiskinan. PRT dengan latar belakang kondisi seperti itu, hendaknya dijadikan sebagai fenomena Ramadhan bagi seluruh muslim. Mereka patut menjadi bahan perenungan untuk mengubah kita menjadi pribadi yang lebih peduli, menghargai sesama dan meningkatkan kadar ketakwaan melalui pelatihan kesabaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu sebab lahirnya PRT adalah kemiskinan. Ini menjadi st arting point yang signifikan dari imbas rendahnya penghasilan dan adanya kesenjangan dalam stratifikasi sosial antara buruh tani dan pemilik lahan di desa yang merupakan kantong- kantong terbesar penghasil PRT.
PRT indentik dengan perempuan. Gambaran ini melekat erat dalam masyarakat karena menganggap seluruh pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan. Sebenarnya ada yang menarik untuk dicermati, yaitu terbentuknya proses wacana bahwa perempuan indentik dengan PRT. Wacana tersebut tidaklah bersifat transedental, melainkan hasil kontruksi atau bentukan
6 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
di dalam masyarakat. Bila ditelusuri lebih lanjut, pandangan bahwa perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga (pekerjaan rumah) bisa menjadi fondasi konstruksi wacana identiknya PRT dengan perempuan. Jennifer Saul mengungkapkan pembagian tugas seperti ini berawal dari pandangan bahwa kehidupan rumah tangga merupakan wilayah personal yang yang tidak boleh disamakan dengan kehidupan wilayah publik yang politis. Padahal, menurut Saul, keluarga membentuk dan dibentuk oleh faktor yang sudah jelas bermuatan politis yang dapat menjelma misalnya melalui pola didik, penerapan hukum dan pembagian kerja. Sebagai akibatnya, paham bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan perkembangan anak- anak dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersifat politis. Sebuah paham yang personal dan dianggap benar atau wajar. 6)
Sebagian besar PRT (90%) adalah perempuan, merupakan komunitas masyarakat yang rentan (vulnerable) mengalami ketidakadilan. Ada dua faktor yang menyebabkan kerentanan ini terjadi yaitu : pertama ; faktor internal seperti karena berjenis kelamin perempuan, karena profesinya sebagai pekerja rumah tangga, dan sebagai kelompok masyarakat yang termiskinkan yang memiliki problem hidup yang berbeda dengan komunitas masyarakat lainnya. Kedua ; faktor eksternal yaitu sesuatu yang menyangkut wilayah (domain) tempat kerja dan tempat tinggal mereka. Keduanya adalah dalam ranah rumah tangga ( domestic sphere) dan dalam tempat kerja. Sehingga dalam satu kesempatan dan dalam waktu yang sama, mereka dimungkinkan mengalami dua bentuk kekerasan sekaligus: kekerasan domestik dan kekerasan di tempat kerja.
Dulu PRT merupakan singkatan dari “pembantu rumah tangga”. Tapi kemudian bergeser kepada pengertian “pekerja rumah tangga”. Ada konsekuensi logis dari pergeseran ini. Tidak hanya meningkatkan status dan martabat semata, tapi lebih pada memanusiakan manusia dan memanusiakan pekerja. PRT bukan lagi orang yang ’ngenger’ di rumah majikan, bukan jongos atau babu yang bisa diperintah kapan saja. Ada variabel yang sama berbanding lurus antara PRT dan majikan, suatu hubungan yang simbiose mutualisma, saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Yang satu butuh tenaga sementara yang lainya butuh penghasilan atau upah.
Sebagai manusia PRT mempunyai hak untuk hidup layak, hak berekspresi, hak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, hak berbicara dan lainnya. Sementara sebagai pekerja, PRT mempunyai hak mendapatkan upah layak, waktu istirahat, hari libur, jaminan kesehatan dan beban kerja sesuai upah dan kemampuan. Dan sebagai perempuan, PRT memerlukan
7 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
istirahat di kala haid, hamil dan menyusui. Hak-hak ini tercantum dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor13 tahun 2003 maupun dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 224 Tahun 2003.
Dalam undang-undang tersebut diatur beberapa hal penting yang menyangkut waktu istirahat bagi pekerja, tepatnya pasal 79 disebutkan: 1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti ke- pada pekerja/buruh 2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. Istirahat mingguan, 1 (hari) untuk 6 (hari) kerja dalam 1(satu) minggu, atau 2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. c. Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2(dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan, masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6(enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak lagi berhak atas istirahat tahunannya dalam 2(dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam ) tahun 7).
Di samping masa istirahat tersebut, seorang pekerja rumah tangga atau buruh dalam suatu perusahaan atau pabrik, berhak mendapatkan kesempatan secukupnya untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Hak ini sangat jarang bisa didapatkan oleh pekerja perempuan yang berstatus sebagai buruh dalam pabrik konveksi milik perusahaan asing.
Adalah Fauziyah, seorang alumni pesantren di Jawa Barat yang karena alasan ekonomi tidak dapat melanjutkan pendidikannya, terpaksa mengalami pengalaman pahit, pada saat ia menjadi buruh konveksi di daerah Bogor, Mandor pabrik yang dikepalai langsung oleh seseorang berkebangsaan Thailand/WNA kerap memberikan sanksi kepada Ziyah, karena dianggap indisipliner dalam hal waktu hanya karena ia mencuri waktu untuk melakukan shalat Dzuhur dan ’Ashar.
Kenyataan ini sebenarnya tidak harus terjadi, karena telah diatur dalam pasal 80, yang berbunyi : “Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh
8 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.” Apresiasi Islam terhadap Produktivitas Manusia Islam senantiasa mendorong umatnya untuk bergerak aktif dan kreatif. Islam membenci segala bentuk kemalasan dan berpangku tangan. Dalam satu hadis diriwayatkan bahwa Allah bangga terhadap Nabi Daud as yang selalu memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa yang dia usahakan dengan tangannya dan kepada Nabi Zakaria as. meskipun ia adalah tukang kayu. Ini mengisyaratkan bahwa segala bentuk pekerjaan apakah wiraswasta, dagang, profesional, guru hingga petani dan buruh adalah bentuk pekerjaan yang mulia dihadapan Allah ketika semuanya diperoleh karena murni dari cucuran keringatnya. Apalagi bila pekerjaan tersebut dilakukan dengan dilandasi dengan tujuan-tujuan mulia, semacam untuk menafkahi keluarga, mencari penghidupan lebih baik untuk pendidikan keluarganya dan lain-lain. Islam memotivasi umatnya untuk produktif jelas tergambar dari ayat-ayat sebagai berikut: Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, apabila diku- mandangkan panggilan untuk sembahyang pada hari Jumat, maka bergegaslah (hadir) untuk mengingat Allah dan tinggalah aktivitas jual-beli. Demikian itu lebih baik apabila kamu me- ngetahui. Apabila telah menunaikan sembahyang , maka ber- gegaslah menyebar ke penjuru bumi, carilah rejeki Allah dan ingatlah Allah sesering mungkin, agar kamu menjadi orang- orang yang sukses.”(Qs. al Jum’ah .62 :9-10) Artinya : “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rejekinya”(Qs. al Mulk: 15) Artinya: “Tidak ada sesuatu makanan yang lebih baik bagi seseorang , melainkan apa yang dihasilkan dari karya ta- ngannya sendiri”(Bukhari, dalam Shahihul Bukhari) Artinya: “Sesungguhnya kami telah mendapatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan di muka bumi ini (sumber) penghidupan.” (Qs. Al A’raf : 10) Artinya: “Merantaulah kalian, niscaya kalian menjadi kaya.” (HR. Thabrani) 8) Dari paparan ayat-ayat dan hadis tersebut di atas, amat jelas bahwa Islam sangat menganjurkan manusia untuk bekerja, tidak menjadi parasit dalam kehidupan orang lain, apalagi sampai meminta-minta. Sehingga jika dalam keadaan yang terpaksa sekalipun sampai mengharuskan orang tersebut pergi dari kampung halamannya untuk semata-mata mencari fadhal Allah adalah diperbolehkan. Begitupun jika harus berhijrah ke luar negeri dengan alasan perbaikan ekonomi dengan menjadi TKI/TKW sekalipun.
Persoalan krusial yang tidak boleh diabaikan adalah pada era perdagangan bebas seperti sekarang ini dapat dipastikan ada pergesaran peran gender dalam rumah tangga. Tekanan
9 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
ekonomi, mendorong banyak perempuan untuk masuk ke lapangan kerja, meski terjebak dalam kubangan pekerjaan yang bersifat marginal, meski sekarang ada kekuatan baru yang menguntungkan perempuan, tapi sayangnya tak cukup kuat untuk melawan kekuatan lama yang menempatkan perempuan pada posisi marginal, di lapangan pekerjaan.
Khususnya bagi kelas menengah ke bawah, kehidupan relatif lebih sulit dibanding kelas atas. Tipe perekonomian yang makin terbuka dan terintegrasi, tak mudah dinikmati oleh lapisan masyarakat ini. Keterbatasan penguatan akses sumber daya ekonomi (economic resources) mereka, mengakibatkan daya kompetisi yang terbatas pula di arena perdagangan bebas dunia. Tekanan tersebut memaksa para perempuan kelas menengah ke bawah menjadi tenaga komersial. Berdasarkan uraian di atas, masuknya perempuan ke sektor publik lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dari pada meningkatnya emansipasi perempuan. Riset menunjukan, alasan pertama perempuan Asia menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) semata karena didorong oleh faktor ekonomi (kemiskinan). Sementara mereka sadar, pekerjaan tersebut justru akan merendahkan dirinya, disamping amat besar risikonya. 9)
Keterbatasan ekonomi atau kemiskinan ini, yang sejatinya membuat perempuan mengambil keputusan terpahit. Ibarat dua gambar dalam satu mata keping uang, perempuan mesti memilih antara kebutuhan dan direndahkan, tapi hal itu terpaksa menjadi satu-satunya pilihan dalam hidup. Semestinya semangat mereka untuk mengubah nasib agar menjadi lebih baik, mampu membuat paradigma orang berubah menjadi lebih menghargai mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan menunaikan atau memberikan hak dan kewajiban pekerja perempuan dengan sebaik-baiknya, dibanding hanya menistakan posisi mereka dalam kelas marginal. Islam sendiri justru menganggap mereka adalah orang-orang yang terhormat di mata Tuhan, sebab mencari nafkah dari hasil tetesan keringat dan tenaganya, terutama sekali bukan dengan meminta-minta.
Adalah fenomena baru yang amat menggelisahkan yaitu banyaknya peminta-minta usia paruh baya dari kalangan ibu-ibu di usia produktif dan anak-anak kecil seiring dengan krisis global dewasa ini. Tidak hanya bertebaran di kota-kota tapi masuk ke pelosok desa dengan kurun waktu yang sangat intensif. Dalam pandangan Islam, meminta-minta sangat menurunkan kehormatan dan martabat kemanusiaan serta menodai jiwa peminta- minta itu sendiri. Meminta-minta hanya diperkenankan, setidaknya dalam dua hal: pertama meminta kepada penguasa, dimana Allah telah memperkenankannya, kedua meminta dalam kondisi yang amat terpaksa, dalam batas dlaruri dan mendesak. Namun demikian harus pula diukur sekedar keperluannya. 10)
10 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Menurut Ibnu Qoyim, meminta-minta adalah suatu tindakan perkosaan (tindakan lalim) terhadap hak Allah, hak orang yang dimintai dan hak si peminta itu sendiri. Yang dimaksud “memperkosa hak Allah” karena dengan perbuatan meminta-minta, si pelaku telah menggantungkan kebutuhan dan permintaan dirinya kepada selain Allah. Padahal menunaikan hidup dan menjaga kehormatan adalah termasuk bagian ubudiyah/ibadah. Berarti si pelaku telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, dalam ungkapan yang lebih tegas dia telah merusak kepercayaanya dan mengotori keikhlasannya terhadap Allah.
Sedang yang dimaksud dengan “memperkosa hak orang yang dimintai”, peminta telah menghadapkan kepada suatu kesulitan pada orang yang dimintai, yaitu diberi berat, tidak diberi susah. Setidaknya dalam kondisi tertentu kalau memberi tidak ikhlas, kalau tidak, akan berakibat kurang baik. Sementara yang dimaksud dengan “memperkosa hak si peminta-minta sendiri” karena dengan melakukan perbuatan ini ia dengan sengaja telah menodai dirinya, mengotori perangainya serta menempatkan diri pada kedudukan yang sangat rendah. Lebih dari itu ia telah menjual murah kehormatan dan harga dirinya.
Realitas ini, yang sebenarnya harus dipersoalkan oleh banyak orang ketika dikorelasikan dengan anggapan memandang rendah orang lain dibanding menistakan peran pekerja yang telah susah payah mengeluarkan tenaganya, meski hanya dengan berperan sebagai pekerja rumah tang- ga semata. Kesabaran mereka seharusnya patut diacungi jempol.
Akan lebih bijak jika semua orang pada bulan Ramadhan ini, sedikit saja meluangkan waktu untuk berpikir sejenak akan kesabaran PRT, bukan sekedar memikirkan kemiskinan yang “semu” dari nasib peminta-minta yang notabene masih kuat bekerja. Kesabaran adalah alat dari upaya mewujudkan amar ma’ruf nahi munkar dan kebenaran. Puasa adalah latihan mengendalikan dan menguasai diri untuk membangun kesabaran. Puasa yang terus menerus selama 30 hari dalam sebulan mengantarkan seseorang untuk terbiasa dengan kesabaran, sekaligus sebagai latihan pengendalian terhadap insting-insting yang inheren dalam eksistensi manusia itu sendiri. Sebagian insting manusia yang terpenting adalah hawa nafsu, khususnya seks dan nafsu perut atau makanan. Dorongan kedua insting tersebut sangat kuat dalam diri manusia, sehingga seperti yang dikutip dari Ismail Al Faruqi, bahwa pemenuhannya merupakan syarat pokok bagi stabilitas individu dan sosial. Karena keduanya merupakan wilayah yang paling sensitif dalam kehidupan manusia. Dari sisi inilah, puasa mempunyai peranan yang strategis dalam pembelajaran pengendalian diri. Dimulai dari Imsak hingga ifthar (berbuka), kaum muslimin dilatih menjauhi kedua nafsu tersebut. Dalam arti menjauhkan diri dari seks dan makanan. Melalui proses pengendalian diri dalam makanan dan nafsu seksual, sejatinya yang lebih urgen dalam puasa adalah menahan nafsu keburukan. Jika dikorelasikan dengan PRT, maka ada keharusan majikan yang berpuasa harus lebih bisa menahan amarahnya jika PRT melakukan kekeliruan ataupun kesalahan dalam pekerjaannya. Sang majikan harus sekuat tenaga untuk tidak berkata buruk, mencaci apalagi sampai melakukan tindak kekerasan fisik.
11 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Sebagai muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa, manakala ia tidak bisa menahan diri ia akan dihadapkan pada konsekuensi puasa yang sia-sia, yakni hanya mendapatkan rasa lapar semata, tanpa pahala. Bentuk pengendalian diri dalam berpuasa semacam itu, disebut sebagai bentuk jihad nafs (self restraint).
Imam Al Ghazali mengelompokan puasa kepada tiga tingkatan: pertama, puasa awwam (biasa) yaitu mengendalikan atau menjauhkan diri dari keinginan-keinginan yang berkaitan dengan pemuasan nafsu makan dan nafsu seksual dengan istri pada siang hari, walaupun sebenarnya perbuatan ini dihalalkan. Mereka hanya mampu mengendalikan diri dari keinginan lahiriah atau fisik semata.
Kedua, puasa khawwash (istimewa) yaitu mengendalikan atau menjaga diri dari nafsu-nafsu telinga, mata, tangan, dan seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan zalim dan salah. Puasa semacam ini biasanya dilakukan oleh orang-orang saleh. Mereka mengendalikan diri untuk tidak melihat hal-hal yang tidak benar atau yang tidak diridhai Allah. Mereka menahan diri dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan menjauhkan diri dari kejelekan lidah semacam mencaci-maki, berbohong, menggunjing, memfitnah dan menyinggung perasaan orang lain. Di samping itu, segala bentuk pendengaran telinga, dan langkah kaki yang mengarah kepada kezaliman benar-benar dihindari untuk dilakukan.
Ketiga, puasa khawwas al khawwash (yang teristimewa), yaitu mengendalikan dan menjauhkan diri dari pada pikiran-pikiran yang rendah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan duniawi. Sepanjang hari hanya mengingat Allah semata, tanpa disibukkan memikirkan 11) masalah- masalah lainnya.
Dengan berbagai upaya tersebut, kaum muslimin dalam hal ini yang memainkan peranan sebagai PRT maupun majikan sama-sama mempunya kesempatan melakukan refleksi diri (se lf reflection ) yang dapat bermuara pada pencerahan dan kebangkitan rohani ( spiritual enlightment ).
Proses pengendalian diri dalam puasa pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang secara rohani telah tercerahkan, ditempa melalui pelatihan kesabaran yang kontinyu, tawakkal, percaya akan rahman-rahim Allah yang tidak akan membiarkan manusia dalam kenestapaan tanpa ujung. Dari ibrah puasa tersebut, Insya Allah kita akan menjadi lebih manusiawi
12 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
memperlakukan PRT dengan semestinya, sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana pekerja lain pada umumnya. Begitupun PRT, ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dan enjoy dalam menyelesaikan tugasnya, ketika ia benar- benar diperlakukan secara manusiawi. Kompensasi Ujrah dalam Islam. Sebagaimana telah dijelaskan, Islam memberikan apresiasi tinggi terhadap kreatifitas kerja manusia. Terlepas apakah ia berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan, karena ketika pelarangan itu ditujukan, maka jelas akan melanggar prinsip dasar manusia. Dengan bekerja, sese- orang akan mempunyai kehidupan yang lebih baik, tidak meminta-minta, tidak tamak, menjadi mandiri, dan dengan uangnya, ia dapat beramal saleh dengan jalan zakat, bersedekah serta membantu orang lain. Ini menjadi jalan memperoleh kehormatan di lingkungan masyarakatnya sekaligus sebagai pengamalan nilai-nilai yang banyak tercermin dalam Alquran dan hadis.
Spirit kemandirian juga tercermin dari nasihat Lukman kepada anaknya: Artinya : “ Wahai anakku, lakukanlah pekerjaan yang halal, agar kamu bisa memenuhi kebutuhan kamu dan tidak jatuh miskin. Karena ketika kamu jatuh miskin, ia akan mengalami tiga hal: lemah agamanya, pendek pikirannya, dan hilang kehormatannya. Lebih dari 12) itu ia akan direndahkan.” Prinsip-prinsip Islam adalah menegakan keadilan dan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Islam berusaha menghapus stratifikasi manusia dalam golongan kelas-kelas sosial dengan menyeimbangkannya dalam bentuk anjuran kewajiban zakat, dan sedekah. Segala bentuk kemadharatan karena kemiskinan harus dihilangkan dalam bentuk apapun. Solusi yang sederhana dari bentuk tersebut adalah upaya tolong menolong dengan pertimbangan tidak saling merugikan, memberatkan dan halal. Caranya adalah dengan menyewa tenaganya, selanjutnya diberi upah sebagai kompensasinya. Bentuk transaksi penyewaan ini tidak boleh semena-mena, karena mesti diingat adalah bahwa yang disewa adalah manusia, yang mempunyai harkat dan martabat.
Dalam konsep yurisprudensi Islam (fiqh), hubungan buruh dan majikan dikenal dengan istilah ijarah. Ijarah berarti pemberian jasa dari seseorang dengan upah tertentu dari majikan. Dari sini, kita mengambil beberapa hal pokok dari ijarah. Pertama terdapat dua orang yang melakukan transaksi ( ‘aqidain), yaitu majikan dan buruh/pembantu. Kedua ijab dan qabul, sebagai bukti adanya transaksi dan kedua belah pihak. Ketiga jasa yang diberikan buruh, yaitu berupa keahlian tertentu yang dimilikinya. Dan terakhir, upah (gaji) dari majikan. 17)
13 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Tentang upah atau ujrah Alquran secara sharih menggambarkannya dalam ayat: Artinya: “ Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Qs. Ath- Thalaq : 6) Prinsip sukarela dan transparan antara majikan dan pekerja harus menjadi bagian yang tidak diabaikan. Kontrak majikan dan pekerja dalam fiqh mu’amalah masuk dalam aqad ijarah dengan berlandaskan kepada dua prinsip utama: taradhin (kesukarelaan) dan ’adam al jahalah (transparansi). Taradhin adalah kerelaan satu pihak kepada yang lain. Prinsip ini menuntut pekerja sebagai pihak yang terlibat dalam kontrak rela mengetahui konsekuensi dari kontrak tersebut. Prinsip-prinsip ini juga menuntut seseorang menyepakati butir-butir kesepakatan bahwa dia tidak dalam kondisi terpaksa. Sedangkan ’ adam al jahalah adalah menolak spekulasi atau ketidakjelasan. Prinsip ini menuntut semua dalam semua hal yang telah disepakati dalam kontrak harus diketahui secara terbuka oleh kedua belah pihak, dengan tanpa ada yang disembunyikan. Ini mengacu kepada ayat berikut ini: Artinya: “Dan bagi masing-masing mereka mendapatkan derajat dari apa yang mereka kerjakan dan agar Allah men- cukupkan bagi mereka ( balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (Qs. Al Qaaf : 19 ) Muhammad Syauqy al Fanjari memaknai ayat tersebut dengan kontekstual, bahwa upah yang diberikan kepada pekerja hendaklah didasarkan atas pertimbangan kerja, bukan atas eksploitasi kezaliman. Dengan demikian apapun bentuk kezaliman harus diberangus. 20) Hal ini diperkuat oleh hadis: Artinya: “ Barang siapa memperkerjakan buruh, maka jelaskanlah upah buruh yang diterimanya.”(Hadis Musnad Abu Hanifah) Dari sini, dapat disimpulkan bahwa pekerja mempunyai kapasitas dalam mengambil keputusan untuk menentukan kerelaan besarnya upah yang dia terima. Kerelaan tidak akan dapat diwujudkan ketika tidak adanya transparansi, seperti sering terjadi di lapangan, di mana pihak pekerja mengalami banyak kerugian karena keterlibatan calo sebagai pihak ketiga memotong gaji pekerja di awal- awal bulan bekerja sama dengan majikan sebelumnya. Ujrah atau upah pekerja hendaknya diberikan setelah selesai masa pengerjaannya sesegera mungkin, jangan ditunda- tunda apalagi berniat menahannya dalam waktu yang lama. Sebagaimana halnya Nabi menganjurkan: Artinya: “Berikanlah upah pada karyawan sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani) Dari teks hadis tersebut, tersirat keharusan majikan memperhatikan keadaan pekerja rumah tangga atau buruhnya agar tidak terlantar. Jika pemberian upah yang terlambat saja adalah
14 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
tindakan yang dilarang, maka bagaimana jika memperlakukan buruh atau pekerja dengan perbuatan yang tidak manusiawi? Seperti: melakukan kekerasan, pelecehan, penyekapan dan membuat mereka tidak layak dari sisi makanan dan tempat serta tidak adanya jaminan kesehatan. Hal ini tentu tak dapat dibenarkan. Pekerjaan yang dibebankan juga sebaiknya berdasarkan kemampuan pekerja, dalam arti tidak dieksploitasi tenaga maupun waktunya. Ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan Allah: Artinya: “.......Seseorang itu tidak boleh, dibebani dengan sesuatu diatas kemampuannya...” (Qs. Al Baqarah : 233) Pekerja rumah tangga atau buruh perempuan mem- punyai hak-hak dasar lebih dibanding laki-laki, karena tanggung jawab reproduksi perempuan yang harus diemban, terkait dengan organ reproduksi yang dimilikinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Karenanya hak-hak melakukan kerja reproduksi ini harus diberikan tanpa menghilangkan hak-hak ekonomi bekerja sebagaimana Islam memberikan keringanan meninggalkan kewajiban-kewajiban ibadah seperti shalat, puasa dan lainnya ketika perempuan sedang menjalankan fungsi reproduksinya.
Hak-hak pekerja perempuan tersebut di atas, sejatinya telah sesuai dengan undang-undang, tertuang dalam pasal 81, 82, dan 83. Dalam pasal tersebut diatur mengenai hak istirahat karena sakit haid, hak istirahat selama 1,5 (satu setengah ) bulan sebelum melahirkan, dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan, dan hak untuk menyusui selama bekerja. Ini selaras dengan ajaran Islam sebagaimana halnya tertuang dalam ayat: Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk memenuhi amanat-amanat kepada para pemiliknya” (Qs.An Nisa’ : 58). Dalam ayat yang lain disebutkan: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah (hasil kesepakatan ) akad-akad (kontrak)…”(Qs. Al Maidah : 1). Amanah yang dimaksud adalah mengerjakan sesuatu haruslah dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Dalam konteks di sini adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi buruh atau pekerja sebagai bentuk kewajiban menjaga amanah tersebut. Amanah itu bisa berbentuk pekerjaan, waktu dan alat-alat produksi atau jabatan. Amanah dan iman adalah dua kosa kata yang tidak dapat dipisahkan. Amanah adalah bagian dari sub iman. Iman dalam bahasa Arab sering diartikan ’percaya’. Meski pengertian ini tidak mencakup keseluruhan makna yang dikandungnya. Kata ’iman’ memiliki akar kata yang sama dengan kata ’aman’ (aman, yakni sejahtera, sentosa dan tentram) dan ’amanah’ (bisa dipercaya atau diandalkan). Lawan kata ’aman’ adalah bahaya, sedangkan lawan kata ’amanat’ adalah’khianat’.
15 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan amanah adalah proses dari pengamalan iman. Iman seseorang tidak akan sempurna jika muslim tidak bersifat amanah. Ini dipertegas dengan hadis Nabi tentang tanda-tanda munafik: Artinya: Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tiga perkara yang terdapat dalam seorang munafik adalah apabila berbicara maka ia berbohong , apabila berjanji maka ia ingkar dan bila dipasrahi amanat maka ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ramadhan sebagai ajang peningkatan iman, akan menjadi tidak bermakna manakala seorang majikan mengabaikan proses penunaian amanah. Dalam hal ini seperti sengaja tidak membayarkan upah tepat pada waktunya, tidak memberikan jam kerja istirahat sebagaimana yang telah diatur undang-undang, serta tidak memberikan kesempatan untuk PRT mudik dalam rangka lebaran bersama sanak familinya.
Dalam konteks kekinian, ternyata banyak majikan tidak memberikan kesempatan kepada PRT untuk mudik berlebaran di kampung. Bukan hanya sekedar pelarangan semata, malah justru ada peningkatan yang cukup segniikan tindak kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan majikan terhadap pekerja, (baca: PRT). Luka berat bahkan kematian yang dialami PRT ini menunjukan indikasi bahwa tidak banyak orang yang berpikiran bahwa kebutuhan kita terhadap jasa mereka merupakan kontrak ijarah semata, sebagaimana kita membutuhkan bidang jasa lain. Orang lebih memandang jasa PRT dengan branded rendahan, sehingga merasa sah-sah saja bila memperlakukannya dengan sikap yang tidak manusiawi. Ironisnya ini dilakukan bukan oleh orang yang tidak mengerti, tapi justru orang yang terpelajar dengan kelas sosial yang mapan dari sisi pendidikan dan ekonomi.
Permasalahan ini yang sejatinya harus dikonstruksi. Mengubah kekeliruan paradigma bahwa PRT adalah branded rendahan adalah sebuah prioritas. Ramadhan sebagai sebuah perenungan untuk peningkatan spiritualitas muslim ke arah al Muttaqun (o rang-orang yang takut kepada Allah). Kata al Muttaqun berasal dari kata waqa’ yang berarti menjaga, melindungi dan menyelamatkan. Menurut Maulana Muhammad Ali, kata al Muttaqun dalam tafsir The Holy Quran diartikan sebagai orang-orang yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. 26)
Secara umum al Muttaqun sering diidentikkan dengan mereka yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar . Dengan berpegang kepada landasan taqwa, senantiasa mendorong orang bersikap adil. Makna al Mutaqqun seperti ini akan sangat sejalan dengan esensi puasa, yaitu mengendalikan
16 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
diri dari berbagai bentuk nafsu lahir dan batin.
Ketika kita yakin bahwa puasa Ramadhan adalah jalan menuju tahapan al Muttaqun atau dalam arti menjadi orang-orang yang bertakwa, niscaya seorang muslim akan dapat melepaskan simbol-simbol atau perlambang diri, yang membuka akses perbedaan manusia dari sisi kemuliaan, derajat, pangkat dan jabatan. Ini terjadi sebagai implikasi adanya pengamalan dan pengakuan terhadap ayat Alquran yang menyatakan bahwa “yang membedakan kemuliaan derajat manusia di sisi Allah adalah ukuran nilai ketakwaan seseorang.” Maka bukan sebuah kemustahilan bila kemudian seorang muslim yang menempati posisi majikan akan dapat mengubah perilaku jeleknya kepada PRT dengan bentuk perlakuan yang manusiawi dan pemenuhan hak dan kewajiban secara semestinya, jika dilandasi pemahaman dan keinginan yang kuat mencapai derajat al Muttaqun. Penutup Ramadhan, semestinya dijadikan renungan oleh semua pihak. Tidak hanya dari peningkatan ubudiyah semata, tapi lebih kepada memaknai kebaikan-kebaikan yang ditujukan dalam realitas sosial atau hablum min annas seperti memperlakukan dengan baik hak-hak pekerja dimulai dalam lingkup terdekat. Karena diakui atau tidak, keberadaan mereka sesungguhnya menjadi bagian tersembunyi dari keberhasilan dan ke- suksesan yang telah dicapai dalam hidup. Betapa kita merasa sangat direpotkan oleh berbagai pekerjaan jika tidak ada mereka, semuanya pasti harus terhandle di tangan kita.
Ramadhan memang bulan yang amat istimewa, ghirah kebaikan, semangat untuk sosial (baca: peduli kepada sesama) dimulai dari : pertama, memaknai arti kewajiban puasa sebagai refleksi seorang muslim dalam meleburkan diri menjadi masaakin dan fuqaraa’ dalam arti yang sebenarnya, dalam bentuk merasakan rasa lapar yang sama. Puasa dipandang sangat efektif dalam pembelajaran memahami kemiskinan yang sebenarnya dibanding seruan dakwah yang lain. Kedua, zakat, sebagai bagian dari kepedulian muslim terhadap kondisi saudara-saudaranya yang tidak beruntung, agar sama-sama dapat merasakan rejeki lebih. Ketiga, sebagai bahan perenungan untuk menumbuhkan kebaikan-kebaikan dalam diri. Kepulangan PRT dan orang-orang yang membantu kita, membuat kita bisa merasakan kecapaian, kelelahan dan stres yang luar biasa karena segala bentuk pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Dari sini, terdapat pelajaran bahwa betapa yang telah mereka kerjakan adalah sesuatu yang berat dan sangat susah. Maka sudah selayaknya, kita mengapresiasi hasil pekerjaan mereka dengan sebaik-baiknya, dengan memberi reward minimal dalam bentuk pelaksanaan hak dan kewajiban mereka sebagaimana mestinya. Wa llahu a’lam bish-shawab .
17 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Catatan Kaki 1) Jalaludin Rahmat, Renungan Sufistik, hal. 40 2) Azyumardi Azra, Malam Seribu Bulan, hal. 27 3) Jalaludin Rahmat, hal. 49 4) Azyumardi Azra, hal. 49 5) Faqihuddin Abdulkodir dkk, Fiqh Anti Trafiking, hal.279 6) Jurnal Perempuan, Edisi 39, hal. 60 7) Lihat Editus Edisu dan Libertus Jihani, Hak-hak perempuan 8) Lihat dalam Yusuf Qardhawi 9) Dikutip dari Jurnal Perempuan 2005, lihat : Daiva Stasiulis, 1997, Report and Violence Againts Migrant Workers. 12) Al-Ghazali, dalam Ihyâ Ulûm ad-Dîn, juz II, hal. 99 Daftar Pustaka
Abu Yazid, LL.M. Fiqh Realitas; Respon Ma’had Ali terhadap Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.Ahmad Yasin Asmuni, Targhib wa Tarhieb, Kediri: Petuk, 2008. Azra, Azyumardi, Malam Seribu Bulan: Renungan-renungan Ramadhan, Jakarta, Erlangga, 2005.Departemen Agama, Al Quran Dan Terjemahannya, Bandung, Diponegoro, 2005.Editus Adisu dan Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Perempu- an, Jakarta, Visa Media, 2006.Eva Kusuma Sundari, Perempuan Meng gugat, Yog yakarta: Apera Pustaka Utama, 2004.FMP3 Jawa Timur, Wanita-wanita: Pesantren Putri Menjawab, Kediri: Harapan Mandiri, 2006.Faqihuddin Abdulkodir dkk, Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon; Fahmina Institute, 2006. a l F a n j a r i , M u h a m m a d S y a u q i , H u q u q a l U m m a h w aWajibatuhum fi al Islam, Bulettin RMI, 1979. al Ghozali, Ihya Ulum al-Dien, Beirut, Dar al Fikr, 1991. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kyai atas wacana Agama dan Gender, Yogyakarta, LKiS, 2001 Jalaludin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung, Mizan, 1995 Jurnal Perempuan 39, Pekerja Rumah Tangga, Jakarta, Yayasan Jurnal perempuan, 2005 Jurnal perempuan 42, Mengurai Kemiskinan : Dimana perempuan?, Jakarta, Yayasan jurnal perempuan, 2005) al Qazwini, Sunan Ibnu Majah, juz II, Beirut, Dar Kutub al Ilmiyah, tt Yusuf Qardhawi, Problema Kemiskinan : Apa Konsep Is- lam?, Surabaya; Bina Ilmu, 1982 Profil penulis Hj. Afwah Mumtazah Fuad, lahir di Komplek Bapenpori (Balai Pendidikan Pondok Pesantren Putri) “Roudhotut Tholibien” Babakan C i w a r i n g i n C i r e b o n p a d a 2 9 J u l i 1 9 7 3 . Mengawali pendidikannya di SDN dan MtsN Babakan Ciwaringin Cirebon. Ia sempat nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran Kudus, kemudian pada tahun yang sama hijrah ke
18 / 19
Ramadhan dan Keberpihakan kepada Kaum Papa : Suplemen 9/Ed.28 Ditulis oleh Hj.Afwah Mumtazah Fuad Rabu, 18 Agustus 2010 13:23 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:13
Pondok Pesantren K r a p y a k “ Yay a s a n A l i M a k s u m ” Yo g y a k a r t a u n t u k melanjutkan pendidikan Aliyah Yasma pada tahun 1989. Setamat dari Krapyak, ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren al ‘Usyaaqil Quran (BUQ) selama satu tahun, yaitu pada 1991.
Pada 1992, terdaftar sebagai mahasiswi IAIN Sunan Kalijaga, sekarang UIN, tepatnya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis. Dan menamatkan pendidikan tingginya di IAIN Sunan Gunung Djati pada 1996. Kegiatan ibu dari Nada dan Eza kini sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kempek Gempol Cirebon, Mudiroh Madrasah Takhasus lil Banat (MTLB) pada pondok pesantren yang sama. Saat ini juga menjadi Ketua Umum Ikatan Hafizhat seKabupaten Cirebon, suatu lembaga yang mewadahi kegiatan hafizhat yang berada dibawah naungan NU periode 2008- sekarang. Di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga menjadi teman belajar mahasiswa ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) di Cirebon.
19 / 19