Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
Pengantar
Assalamu 'alaikum wr. wb. Suplemen Swara Rahima edisi kali ini menghadirkan tema Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak. Tulisan ini berusaha mengungkap lebih lugas realitas kawin kontrak di sejumlah kawasan di Indonesia, khususnya di daerah Bogor dan sekitarnya. Maraknya praktik kawin kontrak atau yang dalam kajian fikih disebut nikah mut'ah ini menjadi perlu disorot kembali karena dampaknya sudah sedemikian mengkhawatirkan. Dampak tersebut, tidak saja bagi kaum perempuan sebagai korban paling parah, tetapi juga sangat mencederai dan mencabik-cabik nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Islam dan juga semua agama.
Membicarakan topik kawin kontrak hampir tak lepas dari pro dan kontra. Walaupun mayoritas atau jumhur ulama di seluruh dunia menyatakan keharaman kawin kontrak berdasarkan dalil-dalil yang sangat mutawatir (dan karenanya valid atau sahih), namun masih saja ada sejumlah kalangan yang menjadikannya sebagai alat legalisasi pesta syahwat seksual. Mereka yang pro dengan kawin kontrak mengungkapkan sejumlah argumentasi dan dalil, salah satunya adalah faktor dorongan biologis, di satu sisi dan faktor kesulitan ekonomi di sisi lain. Begitu pula yang menolaknya, menampilkan sejumlah ayat, hadis, maupun dalil realitas sosial seputar dampak-dampak negatifnya. Tentunya, kesimpulan akhir akan dikembalikan kepada para pembaca yang bijaksana.
Tulisan dalam suplemen ini lebih merupakan upaya sharing informasi, wahana diskusi, dan, barangkali juga, menjadi penggugah semangat bagi para pembaca untuk dapat melakukan sesuatu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Karenanya, jika pembaca sepakat dengan yang disampaikan penulis, tentu sudah menunggu sejumlah tugas kemanusiaan atau kerja sosial yang patut digelar, yakni pembebasan perbudakan atau fakku raqabah terkait maraknya kawin kontrak. Perlu dicatat bahwa banyak kalangan menilai praktik kawin ini sebagai pelacuran terselubung atau bahkan perbudakan manusia yang menistakan.
Suplemen berikut berusaha memaparkan tema nikah mut'ah atau kawin kontrak dengan sejumlah problem sosial-ekonomi-budaya yang mengitarinya dari perspektif kritis. Di dalamnya juga dinukilkan pendapat para ulama, baik dari kalangan luar maupun ulama Indonesia. Bagaimana selengkapnya? Ikuti lembaran-lembaran berikut¬nya. Terima kasih.
1/6
Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
Selamat membaca. Wassalamu ‘alaikum w. w. Jakarta, Agustus 2007 Redaksi
Realitas Kawin Kontrak di Indonesia
Majalah Gatra, No. 39, 10 Agustus 2006 mengangkat laporan tentang petualangan para pelaku kawin kontrak di kawasan Bogor dan sekitarnya. Penggalan cerita di bawah ini diharapkan dapat menggambarkan realitas kawin kontrak di beberapa lokasi di Indonesia. Berikut beberapa petikannya.
Sebut saja L (23 tahun), bukan nama sebenarnya, asal Sukabumi, Jawa Barat yang menikah dengan I (55 tahun) asal negeri kaya minyak dengan mahar Rp 2 juta dalam waktu 2 hari. Bertempat di sebuah villa di kawasan Puncak, Bogor, ritual pernikahan yang terjadi setahun lalu itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Namun, itu dianggap sudah cukup untuk meng-"h alal "-kan hubungan L dan I sebagai suami-istri.
Selesai ijab kabul, I langsung memboyong L ke penginapannya di sebuah villa di Jalan Puncak Raya, Cisarua, Bogor. L, sesuai kontrak sebelum pernikahan, hanya menjadi "istri" I selama dua hari saja. Setelah itu, status L "bebas" lagi. Ia bisa kembali mencari "suami" baru yang ingin menikahinya dalam waktu dan maskawin tertentu.
L menekuni profesi sebagai "pekerja nikah mut'ah" sejak empat tahun lalu. Pada 2003, sete-lah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, L memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah dengan orang Arab Saudi bernama F (40 tahun).
2/6
Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
Merasa kurang cocok dengan F, L akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah itu, ia berkali-kali menikah mut'ah dengan orang-orang asal Timur Tengah di Indonesia. Dari U (38 tahun), A (35 tahun), H (40 tahun), hingga I (55 tahun) yang sudah disebut. Kini, entah mengapa, L kembali lagi ke pangkuan F sebagai pembantu rumah tangga sekaligus istrinya secara kontrak. "Rasa cemburu antara saya dan istri F jelas ada. Walau demikian, saya menikmatinya kok," tutur L. "Ya, namanya juga cari duit. Beginilah nasib saya," ucapnya, pasrah.
Pengalaman hampir sama dirasakan M. Perempuan 30 tahun asal Cilacap, Jawa Tengah ini pertama kali menikah dengan A (45 tahun) pada 2004. Dari A, M menerima mahar sebesar Rp 3 juta dan nafkah bulanan juga Rp 3 juta. Sebenarnya M ingin hidup selamanya dengan A. Namun, karena A memintanya pindah ke negeri asal, M menolak. Perjalanan rumah tangga A dan M pun berakhir setelah tujuh bulan.
Karena susah mencari pekerjaan, apalagi dengan tiga anak dari dua suami pribumi sebelum A, M terjun ke dunia kawin kontrak lagi. Dua tahun terakhir, M sudah menikah mut'ah lebih dari tujuh kali. Persisnya, ia bahkan mengaku lupa. Yang aneh dari M, meski sudah nikah mut'ah dengan A, ia juga menikah mut'ah dengan pria lainnya. Caranya, ketika A pulang ke negerinya, ia mencari sampingan dengan menikah mut'ah lagi dengan orang lain yang negerinya sama.
"Saya kan jualan. Jadi, bisa ditawarkan kepada yang lainnya," kata M sambil tertawa lirih. Meski orang sana dikenal tidak romantis, M mengaku merasakan kepuasan tersendiri. Selain berpostur tinggi-besar, kebanyakan orang sana selalu to the point (langsung) dalam soal hubungan intim. "Kemesraannya kalah dengan produk Indonesia," ujarnya.
Proses menuju pernikahan kontrak di Cisarua tidaklah rumit. Bisa menempuh tiga jalur: langsung berhubungan dengan mempelai perempuan, mucikari, atau melalui calo yang diteruskan ke mucikari. Kesepakatan biasanya terjadi setelah kedua calon pengantin bertemu membicarakan soal nominal maskawin dan batasan waktu hidup bersama.
Menurut Ln (31 tahun), seorang mucikari biasanya akan mempersiapkan tempat, wali nikah, dua orang saksi, dan bila diperlukan seorang penghulu untuk prosesi ijab kabul. Acara dilakukan secara diam-diam, tanpa resepsi dan perhelatan yang gemebyar lainnya.
3/6
Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
Lama rata-rata kawin kontrak itu bisa harian, mingguan, atau bulanan. Seperti dilakukan L dan M, menurut Ln, semua itu tergantung keinginan si perempuan Indonesia dan kecocokan orang dari negeri Timur Tengah tersebut. Ln adalah seorang mucikari yang biasa memasok perempuan Indonesia.
Jumlah maskawinnya pun beragam. Kata Ln, maskawin paling besar bisa mencapai Rp 10 juta. Namun, menurut Ar, (30 tahun), calo kawin kontrak, jumlah maskawinnya bisa mencapai US$ 2.000. Jumlah yang diterima L dan M, tutur Ar, termasuk sangat kecil.
Sepintas, prosesi nikah mut'ah ini tak jauh beda dengan nikah permanen. Syarat nikahnya juga terpenuhi. Selain ijab kabul, ada pula wali, saksi minimal dua orang, dan mahar yang disepakati. Kalaupun ada yang aneh adalah soal status walinya.
Dalam nikah mut'ah di Cisarua, wali bisa sia-pa saja. Tak harus saudara sedarah atau yang punya pertalian hak waris. Yang penting, ada figur "wali" yang bisa menikahkan mempelai perempuan sudah cukup. Contohnya, J yang menjadi wali ternyata tak punya hubungan apa-apa dengan L. Untuk aksi sandiwaranya itu, J menerima honor Rp 100.000.
Di sini, uang lebih berbicara daripada perdebatan soal sah-tidaknya nikah mut'ah ini. Ln menilai, nikah mut'ah di Cisarua sudah menjadi sumber penghidupan tersendiri bagi banyak orang. Selain Ja, L, dan M, Ln pun bersemangat mencari uang dari "bisnis" nikah mut'ah ini. L, misalnya, meski tidak menerima utuh, bisa mendapat setengah dari maskawinnya. Sisanya dibagi ke Ln. Di sini berlaku sistem "belah semangka", alias 50:50. Yang menarik, honor untuk wali dan saksi seperti J biasanya dibebankan pada mempelai laki-laki. Di sini berlaku sistem untung-untungan. Kalau si laki-lakinya sedang jadi "dermawan", seorang saksi atau wali bisa merima lebih banyak. Sedangkan honor calo lebih banyak pasti. Ia bisa mendapat setengah dari 50% bagian mucikari.
Terlepas dari itu, menurut Ar, tidak ada stan-dar baku dalam bisnis nikah mut'ah ini, baik untuk honor saksi, wali, calo, maupun jumlah maskawin yang harus dibayar si laki-laki. "Semua tergantung tawar-menawar," kata Ar. Belakangan, ketika nikah mut'ah di kawasan Puncak, Cisarua, marak lagi, polisi pun gerah dan mengamankan puluhan pasangan kawin kontrak.
4/6
Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
Apakah semua bernasib menyenangkan atau "untung"? Tentu banyak juga yang bernasib "buntung". Seperti halnya dialami oleh R (24 tahun), asal Cianjur Jawa Barat. Betapa sedihnya, di saat ia hamil, justru lelaki kawin kontraknya pulang ke negara asalnya dan tak mau bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Pulang kampungnya si laki-laki karena masa kawin kontrak yang disepakati telah usai. Belum lagi mahar yang ia peroleh pun tak sebesar teman-temannya yang lain, karena harus dibagi-bagi dengan para calo, mucikari, wali nikah dan saksi. Lagi-lagi, orang tua R yang akhirnya jadi "baby sitter" dadakan untuk merawat anak R dari hasil kawin kontrak yang dijalaninya hanya dalam waktu 5 hari saja.
Bertolak dari Realitas
Menengok realitas kawin kontrak di beberapa tempat, rasanya sungguh gado-gado campur antara sedih, kasihan, malu, dan jengkel. Betapa tidak, tujuan pernikahan sejati "membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah" yang terukir indah di setiap sudut undangan pernikahan atau terucap manis di saat acara akad/resepsi nikah seolah menjadi kata mutiara tanpa makna. Melihat fenomena kawin kontrak di atas, semua yang ideal itu telah berganti menjadi lomba berburu Rupiah, Dollar, atau Riyal.
Ada sebagian masyarakat menempuh jalur nikah mut’ah sebagai bagian dari pemahaman ajaran agama. Ada juga yang menganggapnya sebagai alat memperbaiki taraf hidup yang kian sulit. Karenanya, tidaklah heran bila di sejumlah kawasan di Indonesia, praktik nikah mut’ah atau kawin kontrak ini marak terjadi.
Banyak faktor yang melatarbelakangi marak-nya kawin kontrak. Misalnya, pemahaman agama yang sempit dan kering dari pesan utama ajaran agama itu sendiri. Faktor lainnya, adalah budaya masyarakat tertentu yang menganggap anak perempuan adalah aset keluarga yang pada saatnya dapat dijadikan sebagai alat pencetak uang. Selain itu, yang sangat lazim menjadi pemicu secara umum adalah faktor elit, yakni ekonomi sulit. Kisah-kisah di atas terjadi semuanya diawali dari kondisi ekonomi yang tidak baik.
Lebih parah lagi, sejumlah faktor tersebut ditambah dengan acuhnya para elit negeri yang tidak memberikan perhatian serius untuk menanganinya secara cerdas dan cespleng. Di sana-sini,
5/6
Kawin Kontrak; Dilarang tapi Marak : Suplemen Edisi 3/Ed.22 Ditulis oleh Nur Achmad & Nur Komariyah Selasa, 18 Agustus 2009 09:21 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 20 Agustus 2010 22:15
termasuk ketika menangani masalah pedila (perempuan yang dilacurkan atau yang dikenal PSK) seringkali penanganan yang diberikan para pejabat beserta perangkatnya lebih menggunakan pendekatan represif yang cenderung terjebak pada tindakan penganiayaan secara tidak manusiawi. Biasanya yang paling dikorbankan adalah perempuan sebagai kelompok yang rentan dan dianggap tidak melawan ketika ditangkap. Karenanya, yang sering terjadi dan dianggap mudah ditempuh oleh para aparat kepolisian adalah menangkap perempuan korban. Anehnya, seringkali sang mucikari dan laki-laki yang menjadi pasangan kawin kontrak tidak tersentuh hukum. Mereka dianggap tidak punya andil atas terjadinya praktik kawin kontrak. Padahal, kawin kontrak tidak akan terjadi jika tidak ada kedua pihak dan tim sukses yang meraup uang lebih mudah dibanding si korban.
Praktik kawin kontrak ini dinilai merugikan ber¬bagai pihak, baik secara person maupun sistem sosial-budaya. Dari sudut sosial-budaya, praktik kawin kontrak merusak sistem sosial-budaya luhur yang dianut oleh Bangsa Indonesia. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan embel-embel pema¬haman keagamaan. Hal demikian, tentu mencoreng citra agama secara umum yang seharusnya menjaga nilai-nilai moral. Sedangkan dikaitkan dengan person, martabat kemanusiaan seolah tergadaikan demi nafsu syahwat dan uang berlimpah. Lebih parah lagi, perempuan sebagai manusia yang juga memiliki kehormatan diri dikorbankan, bahkan korban yang paling dikorbankan. Belum lagi nasib anak-anak hasil kawin kontrak ini akan dikemanakan? Siapa yang akan mengurus mereka dalam meraih masa depannya? Bagaimana biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak ini? Padahal sebagai anak, mereka tidak punya saham sedikitpun dalam praktik kawin kontrak, juga tidak mendapatkan "bagi hasil" apapun darinya. Justru "saham" yang ditanam "bapak biologis"-nya itu yang kemudian tumbuh menjadi "anak".
Jelaslah, berbagai kerugian, baik moril dan materiil yang diderita sangatlah besar dan menimpa banyak pihak. Sekali lagi, martabat perempuan sebagai manusia, bahkan seluruh perempuan, dan anak-anak dilecehkan dan dijadikan kelinci percobaan. Nilai kemanusiaan telah direndahkan, digadaikan, dan dieksploitasi oleh kepentingan "bisnis syahwat" dalam bentuk kawin kontrak. Karenanya, kawin kontrak layak juga disebut perbudakan model baru.
6/6