SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Abstrak Kritik sastra merupakan sebuah studi yang relatif baru dalam bidang ilmu sastra. Bidang ini berkembang awalnya sebagai cabang retorika di masa pra romantik Eropa. Penulisan kritik sastra di Indonesia tidak jauh berbeda dengan situasi di Eropa bahkan kritik sastra di Indonesia sudah terlambat satu dekade dibandingkan dengan perkembangan di Eropa. Tulisan mengenai kritik sastra dapat kita temukan di media cetak seperti majalah-majalah yang memuat karya sastra pada tahun-tahun 1940-1949. Penulisan kritik sastra yang dimuat pada masa itu banyak ditemukan di majalah Pandji Islam, Pandji Poestaka, Poejangga Baroe, Pantja Raja, Siasat, dan Daja . Kebanyakan kritik sastra yang ditulis pada periode awal tersebut termasuk jenis kritik ekspresif dan pragmatik. Kritikus pada masa itu menilai bahwa karya sastra haruslah mengandung kebaikan bagi khalayak pembacanya.
Kata Kunci:
Kritik sastra, majalah, dan periode awal
Abstract
Literary criticism is a new field in Literary studies. This field grotwh firstly as a sub of rhethoric
1 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
diciplines at prae- Europe Romantic age. Critics as a studying in Indonesia literary was left behind one decade from Europe. The Fact of having fallen behind because of Indonesian modern literary always step one backward of Europe Literary progress. Writings of Indonesian literary criticism could we find in magazines and printing media which have presented of literary works such as Panji Islam, Pandji Poestaka, Poejangga Baroe, Pantja Raja, Siasat, and Daja. Most of the writings at the begining periode are pragmatical and expressive critics. According to criticus on that periode said that works of literary must contain values and goodness for the readers.
Key word:
Literary criticism, magazines, and primary periode
2 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
1. I. Pendahuluan
Kritikan sastra merupakan keahlian yang relatif masih baru di Eropa dan berkembang pada abad ke-19; terutama dalam bidang pendidikan puisi, biasanya dianggap sebagai cabang retorika, dan kritikan pra-romantik yang sebagian besar terdiri dari pengantar dan esai-esai peristiwa. Walau Coleridge dapat digambarkan sebagai bapak kritik praktis, namun kritikan sastra secara keseluruhan berjalan terus hanya sebagai bagian sampingan sejarah sastra, sampai munculnya kaum Kritikan Baru (New Criticism) dan kaum Formalis Rusia yang menekankan pendekatan sinkronik (Sweeney, 1987:25).
3 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Di Indonesia, bidang kritik sastra bahkan jauh lebih terlambat jika dibandingkan dengan di Eropa. Boleh dikatakan bahwa kita berada satu abad di belakang kemajuan Eropa dalam hal perkembangan sastra tercetak (literature). Terutama jika mengingat betapa masih mudanya usia perjalanan sastra modern Indonesia yang menurut (Pradopo, 1994:1) baru muncul tahun 1908 ketika berdirinya organisasi kebangsaan yang pertama kali yakni Boedi Oetomo dan kemudian dilanjutkan dengan berdirinya Komisi Bacaan Rakyat yang pada tahun 1917 menjadi Balai Pustaka. Pada masa itu, terbitan Balai Pustaka dianggap sebagai barometer karya sastra yang bermutu sehingga novel Azab dan Sengsara (Balai Pustaka, 1920) menjadi tonggak bermulanya karya sastra Indonesia modern. Namun, pendapat Pradopo mengenai tonggak kemunculan sastra Indonesia modern ini mulai diperdebatkan ketika para pengkaji sastra dari Pusat Bahasa (1998 dan 2005) menggali dan menerbitkan hasil penelitian terhadap karya-karya pengarang Cina Peranakan. Hasil penelitian subbid pengkajian sastra Pusat Bahasa (1998) berhasil menemukan satu majalah berbentuk buku yang bernama Warna Sari (1912) yang memuat sebuah cerpen berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer. Cerpen tersebut ditulis dalam bahasa Melayu- Cina Peranakan bukan Melayu Tinggi. Namun, syair dan pantun sudah mendahului diterbitkan di surat kabar dan majalah seperti yang ditemukan dalam surat kabar Bentara Melayu (1877) yang terbit di Minangkabau (Sunarti, 2011:60).
Setelah masa itu, semakin banyak ditemukan syair, puisi, cerita pendek, cerita bersambung, dan roman di surat kabar dan majalah baik milik Cina Peranakan maupun Melayu Pribumi. Seiring dengan ramainya terbitan karya sastra di surat kabar dan majalah maka mulai bermunculan pula tanggapan, ulasan, dan timbangan buku terhadap karya-karya yang dipublikasikan itu. Tanggapan dan ulasan inilah yang kemudian dikelompokan sebagai kritik sastra yang masih ramai terbit di surat kabar dan majalah pada tahun 1940—1949 setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
Beberapa majalah yang memuat tanggapan dan timbangan buku pada periode awal tersebut adalah adalah Panji Islam, Poedjanga Baroe, Pandji Poestaka, Pantja Raja, Siasat, dan Daja. Meski tergolong muda usianya, penulisan kritik dan esai dalam majalah yang terbit pada tahun 1940--1949 memperlihatkan suatu gairah dan semangat yang menakjubkan secara kwantitas. Setiap minggu dan bulan selalu ada tulisan yang memuat kritikan sastra di majalah tahun 40-an tersebut.
Ditenggarai, beberapa faktor yang memicu tumbuhnya kritik dan esai pada tahun 40-an tersebut adalah semangat keberaksaraan luas (celik huruf) sebagai akibat dikenalnya penggunaan mesin cetak kepada masyarakat luas oleh pemerintahan Inggris di Batavia pada
4 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
tahun 1817 (Gallop, 1990:92). Minat pembaca yang besar terhadap karya-karya yang diterbitkan seperti terbitan Roman Medan mendapatkan tanggapan yang luas dari para kritikus. Salah satu tanggapan terhadap penerbitan Roman Medan itu bahkan disebut sebagai Banjir Roman pada masa itu oleh salah seorang penulis kritik pada masa 1940-an awal (Sapardi, 2005:167).
Jumlah surat kabar dan majalah yang banyak muncul pada tahun itu juga memberi ruang yang luas bagi pemuatan tulisan-tulisan kritik sastra. Apalagi jika tulisan-tulisan itu memuat polemik dan perdebatan antara satu penulis dengan penulis lainnya. Kritik yang dimuat kadangkala sangat keras dan saling serang dengan kata-kata. Namun, ada juga kritik dan ulasan yang membahas karya dan fungsi pragmatis dari karya tersebut serta dikaji oleh kritikusnya dari sudut pandang agama, budaya, dan norma-norma yang berlaku pada masa itu.
1.2. Masalah
Terdapat tiga masalah yang akan disorot dalam tulisan ini.
1).Bagaimana penulis kritik membahas dan menuliskan kritik sastra dalam majalah-majalah yang dimuat pada masa 1940-1949 itu? 2).Ukuran apa yang digunakan dalam menentukan baik buruk suatu karya dalam kritik-kritik yang ditulis? 3). Serta kritik jenis apa yang paling sering digunakan oleh penulis kritik dalam majalah tahun 1940-an adalah persoalan-persoalan yang hendak dibahas dalam tulisan ini
1.3. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencoba mendeskripsikan dan menganalisis tulisan mengenai kritik sastra yang
5 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
pernah dimuat dalam tujuh majalah pada kurun waktu 1940--1949. Bagaimana kritik sastra disampaikan pada periode awal dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia modern yang tergolong muda itu. Penelitian ini juga akan mengungkapkan kecenderungan argumentasi yang digunakan oleh kritikus dalam mengulas sebuah karya sastra. Pengelompokan terhadap tulisan kritik yang dimuat dalam majalah itu akan menghasilkan klasifikasi kritik sastra sebagaimana yang dilakukan oleh (Suroso dkk, 2009: 19-30). Penelitian ini juga akan mencoba menyigi retorika yang digunakan oleh kritikus pada periode awal tersebut dalam tulisan-tulisan mereka. Untuk itu, kita dapat membaca keragaman kritik dan esai yang terbit pada tahun tersebut dalam majalah: Pandji Islam, Poedjangga Baroe, Pandji Poestaka, Pantja Raja, Siasat, dan Daja serta beberapa majalah lainnya. Namun, demi kepentingan penulisan ini, tidak semua tulisan kritik sastra yang pernah terbit di majalaha itu dibicarakan.
1.4. Metode
Penelitian ini akan banyak mengandalkan kajian pustaka yang bersumber pada majalah yang terbit pada tahun 1940-1949 seperti yang disebutkan di atas. Tulisan kritik yang pernah dimuat dalam ketujuh majalah yang terbit pada periode tersebut akan menjadi korpus utama penelitian.
Data yang ada akan dibaca dengan teknik close reading lalu dikelompokan dan dibandingkan agar dapat dilihat jenis kritik yang digunakan pada masa itu. Kemudian dilakukan analisis terhadap argumentasi dan retorika yang digunakan oleh penulis kritik dalam ulasannya. Close reading dan deskritptif-analisis adalah langkah-langkah teknis yang dilakukan dalam penelitian ini.
1.5. Landasan Teoritis
I.A Richards (1966) pernah melahirkan satu bukunya yang terkenal yakni, “Practical Criticism” yang boleh dikatakan sebagai awal dari aliran “New Criticism”, yaitu aliran yang menitikberatkan
6 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
“close reading”; yang memberi perhatian mendalam pada teks yang sedang kita baca, perhatian yang menguraikan makna dan wahana makna. Dan sebenarnya pendekatan ini juga berpegang pada prinsip bahwa ketika berupaya memahami puisi (teks sastra) kita tidak dapat memisahkan makna dan bentuk, keduanya begitu erat meleburkan diri satu sama lain. Pendekatan ini juga mirip dengan yang dianut oleh sastra Perancis dan disebut sebagai explication du texte yaitu tujuan pembacaan ialah untuk membongkar sedalam-dalamnya muatan sajak (teks sastra) dan memperkaya pengalaman membaca (Sweeney, 1987:87).
Di kemudian hari setelah New Criticism sudah lama berakar pada pranata pangajaran sastra, sebagaimana kita dapat menduga sebelumnya, ada arus baru yang melawan practical criticism . Pertentangan ini beralasan juga dengan misalnya menyatakan bahwa kita perlu keterangan tambahan untuk menilai sebuah teks sastra secara utuh. Naskah di depan mata kita, kalau tidak menyebut siapa penulis, tanggal terbit, atau judul, tidak memadai. Kita perlu tahu siapa penulis supaya kita dapat memadankan riwayat hidupnya dengan makna sajak (teks) atau peristiwa yang disebut dalam sajak atau teks sastra lainnya, termasuk kritik sastra.
M.H. Abrams (1981: 36-37) mengelompokkan kritik sastra daalam empat golongan yakni; kiritik mimetik, pragamatik, ekspresif, dan objektif. Kritik mimetik (mimetic criticism) adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai tiruan, cerminan, atau penggambaran dunia nyata. Kritik pragmatic ( pragm atic criticism ) adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada khalayak pendengar atau pun pembaca. Efek itu dapat berupa efek estetis, paedagogis, maupun efek lainnya. Kritik ekspresif ( expressive criticism ) adalah kritik yang memandang karya sastra dalam hubungannya dengan penulis ( creator ). Baik buruk sebuah karya sangat tergantung pada si pengarang. Kritik objektif ( objective criticism ) adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang beridir bebas dari pengarang, khalayak, dan konteks sosial yang menghasilkanya.
Pengelompokan jenis pendekatan kritik sastra yang lebih kompleks lagi dilakukan oleh Suroso dkk (2009: 19---22) yang mengambil sumber dari berbagai pendekatan kritik dunia. Menurunya kritik dapat dikelompokan atas bentuk yang terbagi pada dua jenis kritik: 1). Kritik teoritis yakni kritik sastra yang mendasarkan prinsip-prinsip kerjanya pada pembahasan sastra yang konkrit seperti, wawasana, konsep, asas, hokum dan kaidah kritik sastra. 2).Kritik terapan yakni kritik sastra yang melihat bagaimana karya sastra itu diterapkan dan bukan lagi membahas sebatas
7 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
konsep atau kaidahnya. Berdasarkan metode penerapannya, kritik terbagi atas 3 bagian; 1) kritik jusisla yakni kritik yang menganalisis karya sastra berdasarkan pokok, organisasi, teknik, gaya, dan pertimbangan individual kritikusnya berdasarkan sumber yang terdapat dalam karya sastra. 2) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsur karya berdasarkan fenomena yang ada secara objektif dalam teks itu sendiri tanpa men ggunakan standar-standar umum yang ditetapkan dari luar teks. Cara kerja kritik seperti ini banyak digunakan oleh pengikut strukturalis. 3). Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang menggambarkan sifat-sifat umum yang terasa dalam bagian-bagian khusus karya sastra dan menyatakan tanggapan yang ditimbulkan secara langsung.
Baik Abrams maupun Suroso (dkk) sebetulnya tidak memiliki prinsip yang terlalu bercanggahan. Pengelompokan kritik sastra yang sudah ada pada Abrams (1981) diperluas lagi oleh Suroso dkk (2009) dengan mengutip berbagai sumber tulisan mengenai kritik sastra. Kedua pendekatan kritik sastra inilah yang akan dimanfaatkan dalam menganalisis tulisan-tulisan kritik sastra yang dimuat dalam majalah tahun 1940-an tersebut.
II. Kritik dan esai dalam Majalah Pandji Islam (1940)
Pandji Islam merupakan majalah yang berbasiskan agama Islam dan banyak memuat artikel dan tulisan yang bertemakan ajaran Islam. Kritik dan esai yang dimuat dalam majalah ini juga mengaitkan seni dengan ajaran agama. Seperti kritik pragmatik yang dilontarkan Natsir yang menulis "Pemandangan Tentang Boekoe-Boekoe Roman", PI. N0.1, Th.VI, 8 Januari dan N0. 2, 15 Januari 1940. Dalam tulisannya itu, M. Natsir mengritik roman-roman yang banyak terbit di kota Medan pada waktu itu. Di awal tulisannya, Natsir tidak menolak fenomena kemunculan
8 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
roman sebagai salah satu genre sastra yang patut dipertimbangkan. Namun, ia agak keberatan terhadap isi roman yang "tidak mengandung isi, dan tidak mempunyai ruh". Roman-roman seperti ini menurutnya tidak memberi manfaat bagi masyarakat pembacanya. Karya sastra seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakatnya, terutama bagi pembaca kaum muda yang begitu mudah terpengaruh ketika membaca karya seperti roman. Ia juga mengkritik roman-roman tersebut karena menyajikan tulisan-tulisan yang disebutnya dengan istilah "asyik-masyuk", yang dapat menyesatkan pembacanya terutama pembaca remaja. Lebih jauh Natsir menolak pandangan "seni untuk seni" terutama jika seni itu tidak mempunyai tujuan untuk kebaikan pembacanya. Ia juga menyarankan agar penulis Indonesia tidak terlalu kebarat-baratan dalam mencari ide karena negara kita sendiri juga kaya dengan sumber cerita, terutama cerita untuk anak-anak. Natsir juga mengharapkan penulis-penulis lebih banyak lagi menggali khasanah kesusasteran Arab yang bernafaskan ajaran Islam seperti kisah para Rasul yang bermanfaat bagi kemajuan ummat, sebagaimana yang disampaikannya dalam kutipan esainya berikut ini.
"Saudara-saudara, sekali lagi: Generatie kita yakan timbul miskin ditentang bacaan yang baik-baik, dan yang munasabah dengan umur dan pengertiannya. Mereka amat suka kepada cerita-cerita yang penuh pengalaman (avonturen, bukan sensatie). Mereka telan buku-buku "Jules Verne, Robinson Crusoe, Fillias Fog", dll. Kapankah pujangga-pujangga kita yang mempunyai talent akan menggubahkan perjalanan Ibnu Batutah, umpamanya supaya sedap menjadi bacaan bagi anak-anak kita Muslimin? Anak-anak kita itu, dan kaum guru dan pendidik kita menanti-nanti! Ini sebagai umpama saja. Yang lainpun boleh juga. Anak Muslimin kita yang lebih besar sedikit amat perlu kisah pahlawan-pahlawan tempat menggantungkan cita dan simpatinya. Saudara maklum bahwa kisah pahlawan itu adalah satu alat yang penting untuk pembentuk ideologi anak-anak kita, lebih-lebih dalam masa pancaroba itu (PI,N0.2, Th.VI, 15 Januari 1940).
9 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Kegelisahan Natsir terhadap dominasi sumber bacaan barat bagi generasi muda Islam di Indonesia pada masa itu menjadi landasan kritiknya. Natsir mencoba menawarkan alternatif sumber bacaan lain seperti sejarah Indonesia, riwayat ummat Muhammad dari zaman Rasulullah S.A.W sampai ke Khulafarrasyidin dan kisah para sahabat di zaman keemasan Islam. Menurutnya, sumber-sumber kesusasteraan Islam yang kaya dengan bahan sejarah itu amat layak untuk dibahas dan disampaikan kepada khalayak pembaca majalah Panji Islam. Di sini kita melihat pendekatan kritik Natsir masih bertumpu pada pendekatan diakronis dan bersifat positivistik. Bidang kajian sastra masih dikaitkan dengan pendekatan sejarah yang pada masa itu dianggap sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Pendekatan kritik seperti ini tidak terlepas dari pendekatan filsafat yang selalu berupaya mencari kebenaran ilmu pengatahuan melalui pendekatan sejarah. Untuk lebih mendekatkan ummat Islam kepada ajarannya, maka alih-laih menggunakan bahan bacaan seperti Jules Verne atau Robinson Crusoe Natsir justru menganjurkan khalayak pembaca Pandji Islam agar lebih mengenal tokoh-tokoh dunia Islam seperti Nabi Muhhammad SAW, Ibnu Batutah, Al-Farrabi, dan lain sebagainya. Natsir mencoba mengajak pembaca sastra untuk mencontoh kepada pujangga-pujangga dari dunia Islam yang lebih sesuai dengan nilai-nilai agama dan keyakinan yang dianut oleh sebagian besar pembaca majalah ini. Etos diri yang ditampilkan Natsir dalam tulisan ini sangat bersifat pedantik. Tulisan ini dengan sendirinya juga mengandung unsur paedagogis yang menjadi ciri dari kritik pragmatik sebagai jenis kritik yang digunakan oleh Natsir dalam tulisannya ini, seperti yang disampaikan (Abrams, 1981:37). Nilai-nilai agama Islam menjadi landasan nilai yang dianjurkan oleh Natsir kepada khalayak pembacanya untuk mengatasi nilai-nilai barat yang dikandung dalam bahan bacaan yang dikritiknya dalam tulisan itu.
Selain menampilkan jenis kritik pragmatis, majalah Pandji Islam juga memuat kritik objektif seperti timbangan buku yang kebanyakan ditulis oleh redaksi Pandji Islam. Beberapa artikel yang mewakili kritik objektif ini adalah seperti berikut:
(1) "Timbangan Boekoe; Serikat MBB", karya A. Damhoeri
(2) "Timbangan Boekoe; Karena Anak Kandung", karya M. Enri
(3) "Timbangan Boekeo; Depok Anak Pagai", karya A. Damhoeri
(4) "Timbangan Boekoe; Belenggoe", karya Armijn Pane
10 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
(5) "Timbangan Boekoe; Tjinta dan Kewajiban", karya L. Wairata
(6) "Timbangan Boekoe: Soera Azan dan Lontjeng Geredja", karya A. Hasjmy.
Biasanya, diakhir resensi buku, redaksi PI mencantumkan harga buku dan informasi mengenai tempat untuk mendapatkan buku tersebut. Dalam membicarakan buku baru tersebut, redaksi senantiasa menyebutkan beberapa kekurangan dari buku yang baru muncul tersebut, misalnya kekurangan pada sampul depan dari buku Depok Anak Pagai karya Damhoeri yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan isi cerita.
Satu tulisan yang memuat polemik antara dua penulis dalam majalah Pandji Islam juga dapat kita temukan dalam majalah ini. Polemik itu terjadi antara M. Sala dengan Joesoef Sou’ib.
M. Sala menulis satu kritikan yang bejudul "Roman Tjoerian". Tulisan itu ditujukannya kepada pengarang Roman Medan Joesoef sou’ib yang dituduh telah melakukan penjiplakan atas sebuah roman yang berjudul “Uitvinder”. Roman itu pertama kali pernah dimuat dalam majalah Cina Peranakan yang juga terbit di Medan. Kemudian cerita yang sama diterbitkan kembali dalam majalah Pandji Islam yang kemudian dituduh sebagai karya plagiat oleh M. Sala. Joesoef Sou'ib kemudian menjawab tuduhan itu juga dalam Pandji Islam . Ia menyebutkan bahwa kritikan yang ditulis oleh M. Sala terhadapnya sangat tendesius sebab roman yang berjudul “Uitvinder” itu adalah karya aslinya yang pernah dimuat di majalah Liberty (1936) dengan menggunakan nama samaran. Redaksional karya yang dimuat di majalah Liberty menggunakan bahasa Melayu-Cina Peranakan karena majalah itu adalah milik kelompok Cina Peranakan di Medan.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh M. Sala, terbukti bahwa penjelasan Sou’ib itu dapat dipertanggungjawabakan dan M. Sala memang melakukan kekeliruan atas tuduhannya kepada
11 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Sou'ib yang disebutnya telah melakukan pencurian dalam tulisannya "Roman Tjoerian",(PI. N0.13, Th.VI, 1 April 1940). Berikut petikan tuduhan M.Sala kepada Sou’ib.
“Dalam hal itu saya sangat memuji atas kecakapan Joesoef sou’yb dalam ‘mengubah cerita’ itu hingga hampir tak kentara, laksana tukang bengkel sepeda yang sudah biasa mengubah bentuk sepeda curian”.
Resensi yang lugas itu kemudian mendapat sambutan yang tidak kalah garangnya dari Sou’ib yang kemudian membalas tudingan itu dengan menyarankan si pengkritik untuk belajar ke Medan . berikut kutipan bantahan yang disampaikan oleh Sou’ib.
12 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
“tetapi kritikus yang jempol itu telah nganglong! Joesoef Sou’yb telah dicacai makinya mencuri karangan Joesoef Sou’yb! Kasihan! Kalau persamaan antara Abdul hamid dengan Imam Al-Ghazali atau Matu Mona denga Hisbullah Parinduri ada orang yang silap, masih mungkin rasanya dimaafkan! Tetapi kalau antara Joesoef Sou’yb dengan Joesoef Sou’yb masih ada yang tidak menyamakan, patutlah mata orang itu di…operasi! Kita harapkan skandal dalam kota tempat kediaman penulis itu sekarang ini (Solo, Js) ada bengkel mata, akan sudi kiranya mengoperasi mata penulis M.Salah ini denga gratis, dong! Inilah macamnya kritikus yang jempol! Jurnalis yang …picisan! Tuan jurnalis, mesti cermat dan usut periksa --- lebih baik belajar dulu ke Medan.”
Setelah mencermati tulisan polemik antara kedua penulis itu, kita melihat cara berpolemik antara keduanya masih menggunakan retorika debat kusir dan gaya bahasa digunakan merupakan bahasa sehari-hari yang cenderung banal dan vulgar. Kata-kata kasar dan umpatan serta saling hujat menjadi landasan retorika yang digunakan oleh kedua penulis. Akibatnya, kritik yang muncul adalah kritik debat kusir seperti yang biasa kita dengar di kedai yang sarat dengan muatan emosional dan menodai sikap intelektualitas para penulisnya. Hal ini tak pelak juga akan menodai visi dan misi dari majalah Panji Islam serta sama sekali jauh dari nilai-nilai Islami yang dicantumkan dalam majalah ini yakni Panji Islam sebagai media cetak yang mengusung semangat keislaman yang rahmatanlil-allamin kepada pembacanya.
III. Kritik dan Esai dalam Majalah Poedjangga Baroe (1941)
Kritik dan esai dalam Majalah Poejangga Baroe termasuk banyak ditemukan. Tapi untuk penulisan ini hanya disingung dua esai yang ditulis oleh dua orang penulis senior sekaligus
13 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
sebagai pendiri dan pengurus majalah ini yaitu: esai yang berjudul: “Mengapa Pengarang Modern Soeka Mematikan?", karya Amijn Pane ( PB. No.9, Th. VIII, Maret 1941 ) dan "Kedoedoekan Perempoen Dalam Kesoesasteraan Timoer Baroe", karya Sutan Takdir Alisyahbana, ( PB, No.7, Th.VII, Januari dan No. 8, Februari 1941 ). Esai-esai yang ditulis dalam tahun ini adalah reaksi atas bangkitnya kesusasteraan Indonesia Modern yang dituangi oleh semangat dan pemikiran barat seperti yang tergambar dalam esai-esai yang ditulis oleh Takdir dan Armijn Pane. Jika kita bandingkan dengan esai dan kritik sebelumnya (dalam Majalah Panji Islam ) terasa sekali perbedaan isu yang diangkat dan retorika yang digunakan dalam menulis kritik. Majalah Pandji Islam mengutamakan tulisan-tulisan yang mengandung nilai-nilai ajaran Islam dan menolak sumber pemikiran barat (Eropa dan Kristen) seperti esai dan kritik yang ditulis oleh M. Natsir di atas. Sebaliknya esai dan kritik yang dimuat dalam Majalah Poejangga Baroe justru memuat ide dan gagasan agar memanfaatkan sumber-sumber belajar khazanah sastra dunia yang pada saat itu acuannya adalah barat. Penulis-penulis kritik dalam P oejangga B aroe tidak terbatas pada pahaman agama tertentu melainkan lebih mengusung nilai-nilai yang bersifat universal termasuk Islam, Eropa, dan Amerika. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa penulis-penulisa Poejangga Baroe sangat kebarat-baratan dan Sutan Takdir dianggap sebagai motornya.
Salah satu tulisan kritik dan esai Armijn Pane menyinggung tendensi pengarang modern Indonesia yang suka mematikan tokoh dalam ceritanya. Armijn menenggarai alasan pengarang-pengarang modern seperti, Hamka dalam Kapal Van Der Wijck, Marah Rusli dalam Siti Nurbaya , dan Sutan Takdir Alisyahbana dalam Layar Terkembang , mematikan lakon-lakon ceritanya adalah untuk menarik simpati pembaca terhadap kisah yang disajikan dengan kematian tokoh utama cerita tersebut. Armijn juga mengaitkan hal tersebut dengan semangat zaman yang mempengaruhi penulis-penulis modern Indonesia waktu itu yang dinilainya terpengaruh oleh semangat romantik abad 18 di Eropa. Pernyataan Armijn tersebut dapat kita lihat dalam kutipan esainya berikut ini.
14 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
"Semangat semua pengarang itu tidak ada bedanya dengan semangat romantik yang timbul di Eropah, pada penutup abad ke 18, terus berpengaruh dalam abad ke 19. Zaman romantik itu berlawanan dengan zaman yang sudah lalu, ialah zaman pikiran, zaman rationalisme, waktu orang terlalu banyak mengakui kekuasaan pikiran, lalu mengabaikan perasaan dan dunia angan-angan. Demikian juga di negeri kita ini. Kesusasteraan zaman baru sebagai kesusasteraan dalam zaman romantik di Eropah dahulu, ditimbulkan oleh suatu semangat baru yang tidak suka akan kebiasaan yang sudah kaku dan beku, yang tidak dihidupkan oleh perasaan lagi, kebiasaan yang mengenal segala lapangan pergaulan hidup”. (PB, No.9, Th.VIII. Maret 1941)
Armijn Pane membandingkan antara karya-karya pengarang Indonesia yang dikritiknya sebagai pengikut dari gerakan romantik di Eropa abad ke 18 hingga 19. Hal ini agak disayangkan oleh Armijn karena menurutnya ide gerakan romantik yang terlalu mendewa-dewakan perasaan itu sesungguhnya sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman yang lebih baru yakni lebih mengagungkan rasionalisme daripada perasaan. Dengan demikian, menurut Armijn, gagasan yang dibawa oleh penulis-penulis yang mematikan tokoh utama dalam novel mereka dianggapnya masih bersifat kaku dan beku serta tidak melihat kepada perkembangan masa yang selalu berubah. Dengan kata lain, pengarang novel yang demikian dianggapnya sebagai penulis yang kurang memiliki kepekaan kepada keluasaan dan keragaman kehidupan. Persoalan sosiologis dan konteks sosial menjadi acuan berpijak dalam tulisan kritik yang dibuat oleh Armijn Pane sehingga tanggapannya dapat disebut kritik ekspresif dan mimetik. Karya dianggap sebagai tiruan kehidupan.
Jika Armijn menitikberatkan kritikannya pada sikap pengarang yang cenderung mematikan tokoh utama sebagai cerminan gerakan romantik maka Takdir Alisyahbana membuka pikiran pembaca Poejangga Baroe dengan membandingkan karya-karya asing yang bertemakan kebebasan dan kedudukan wanita dengan karya sastra Indonesia yang juga membahas hal yang sama. Esainya ini sangat bersifat sosiologis karena ia mengaitkan antara adat dan
15 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
kebiasaan yang dianut di suatu tempat (timur) dan persinggungannya dengan ilmu pengetahuan (barat). Ia menjelaskan kedudukan wanita timur umumnya dan Indonesia khususnya setelah berkenalan dengan pikiran barat. Takdir menyebutkan bahwa akan terjadi goncangan yang hebat ketika kedua pemikian (barat dan timur) ini bertemu terutama di kalangan wanita tersebut karena wanitalah yang sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dalam masyarakat di timur dibandingkan dengan kaum pria. Seperti yang disampaikannya dalam kutipan esainya berikut ini.
"Umumnya di mana-mana perempuan lebih kuat dipegang oleh adat-istiadat daripada laki-laki. Ia lebih terikat kepada dusun, kepada rumah, kepada kerabat, dan dalam lingkungan pergaulan yang kecil itu, hidupnya lebih diikat pula oleh berbagai kebiasaan dan adat-istiadat. Sebaliknya yang terkuat memegang adat-istiadat itiu ialah perempuan pula." (PB, N0. 7, Th. VIII, Januari 1941)
Esainya yang terdiri atas dua bagian itu dan termuat dalam duapuluh tiga halaman dan merupakan esai yang sangat panjang jika dibandingkan dengan esai-esai yang dimuat dalam majalah lain. Dalam bagian kedua esainya, Takdir menyebutkan nasib wanita-wanita Timur yang mencoba meraih kemerdekaan dan kebebasan yang bersumber dari pemikiran barat itu. Umumnya wanita-wanita yang memilih kehidupan bebas ala barat tersebut, seperti menentukan nasib sendiri, memilih calon suami sendiri, dan berkarir di luar rumah, mengalami kehidupan yang tragis, sebagaimana yang dialami oleh Hamidah dalam Kehilangan Mestika karya Selasih atau nasib malang Yukiko yang memilih jadi biksu karena tidak jadi kawin dengan kekasih hatinya dalam Perkawinan Jepang karya Etsu Sugimoto. Dalam bagian akhir esainya, Takdir ternyata tetap memposisikan perempuan sebagai sosok yang paling bertanggungjawab dalam mengurus anak dan keluarga; sehingga sekalipun wanita telah meraih kemerdekaannya (setara dengan laki-laki) selayaknya ia tetap mempertahankan keluarganya, sebagai ibu bagi keturunannya. Dalam hal ini Takdir Alisyahbana sepakat dengan kelompok feminist gelombang ketiga yang lebih toleran dibandingkan kaum feminist gelombang pertama yang lebih radikal dalam hal kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Pemikiran-pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana pada masa itu dapat dianggap sangat visioner dan jauh ke depan meski isu feminisme belum sampai di Indonesia saat itu. Namun, tulisan Takdir ternyata sudah lebih dulu memuat isu-isu feminis di majalah Pujangga Baroe , seperti yang termaktub dalam tulisannya berikut ini.
16 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
"Maka dengan hal yang demikian pergerakan pembebasan perempuan dapatlah kita simpulkan sebagai berikut: Perempuan melepaskan dirinya dari ikatan adat-istiadat yang dipegang oleh perempuan untuk menjadi perempuan kembali dengan kemauan sendiri.
Maka kembalilah ia sebagai bunda keturunan yang baru yang dengan insyaf memikul panggilannya dan kewajibannnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam arti semulia-mulianya dan seindah-indahnya ia menjadi Selma Hanim dengan indahnya dilukiskan oleh Jakub Kadri dalam roman Ankara yang sudah sering saya sebut itu. Oleh karena penuh hatinya oleh pekerjaan pembangunan negeri dan bangsa Turki yang baru, segala sesuatu yang dihasilkan dan diciptakan oleh bangsa Turki terasa kepadanya selaku ciptaannya sendiri; segala kegirangan dan kesedihan bangsa Turki terasa kepadanya sebagai kegirangan dan kesedihannya sendiri." (PB, N0.10, Th. VIII, Februari 1941)
Demikianlah pandangan Takdir mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Menurutnya meski perempuan sudah maju dalam pendidikan karir, tugasnya sebagai ibu dan istri tetap menjadi nomor satu dalam kehidupannya sebagai anggota sosial dalam masyarakat. Termasuk sebagai anggota bangsa yang besar seperti tokoh ideal yang dicontohkannya pada sosok Selma Hanim dalam roman Ankara karya pengarang Turki Jakub Kadri di atas.
IV. Kritik dan Esai dalam Majalah Pandji Pustaka (1945)
17 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Tahun 1945 dalam kesusasteraan Indonesia memiliki makna yang khusus karena situasi zaman revolusi dan tekanan Jepang yang sangat keras dalam menyensor terbitan sastra Indonesia waktu itu. Dalam tulisan ini, saya hanya membicarakan kritik dan esai yang dimuat dalam majalah Pandji Pustaka yang masih terbit pada masa Jepang menduduki Indonesia.
Kritik dan esai yang muncul pada masa pendudukan Jepang ini nyata sekali harus sesuai dengan kebijaksanaan Jepang. Dalam beberapa esai yang saya baca, umumnya, penulis-penulis itu tidak lupa mencantumkan kehebatan negara Nippon. Esai-esai yang ditulis isinya lebih tenang dan dingin apabila dibandingkan dengan esai dan kritik yang menggebu-gebu seperti dalam Majalah Poejangga Baroe. Sebagai contoh adalah satu tulisan Jassin, yang berjudul "Oentoek Kemadjoean Kesoesasteraan Indonesia", (PP. N0.23, Th.XXII, 1--1604 H/1945). Isinya mengingatkan pembaca bagaimana menyiasati kesusasteraan Indonesia yang masih muda dalam hal sejarah dan pengarang-pengarangnya. Dalam tulisannya ini, Jassin juga menganjurkan agar pengarang terutama penyair untuk kembali belajar kepada syair yang penuh dengan kedalaman isi.
"Kita telah mengenal syair-syair dan pantun-pantun, hasil kesusasteraan kita yang berharga juga memang pada tempatnya dan pada masanya. Pantun-pantun masih ada mendapat penghargaan dari yang muda-muda, tapi syair-syair kurang laku bagi mereka, karena tidak dapat menggentarkan perasaannya. Hal ini menurut pendapat saya, adalah suatu kemunduran. Pantun-pantun lama yang penuh perasaan sedih dan duka serta cinta berahi itu, ialah hasil ciptaan pujangga-pujangga lama yang muda-muda usianya, sedangkan syair, melihat isinya, ialah buatan pikiran pujangga lama yang sudah lebih masak."
Jassin dalam esainya tersebut menganjurkan agar pengarang Indonesia modern tidak melupakan akar budaya dan sastra lama seperti pantun dan syair. Kritikan Jassin dalam tulisannya ini bersifat pedantik. Ia membandingkan antara pantun dan syair. Menurutnya syair lebih baik dari pantun karena hasil tulisan pujangga lama yang sudah masak (lebih bijaksana) jika dibandingkan dengan pantun yang banyak memuat isi cinta birahi yang ditulis oleh anak muda. Kritik Jassin merupakan kritik ekspresif yang simplistis. Kritik sastranya sangat berorientasi kepada pengarang yang diukurnya dari usia penulisnya. Semakin tua penulisnya maka tulisannya akan lebih matang. Demikian juga ketika dia membandingkan antara syair dan pantun; syair lebih baik nilainya karena lebih lama dikenal dalam kesusteraan Indonesia. Jassin melupakan bahwa pantun juga jauh lebih lama hidup di tengah masyarakat tradisional di
18 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Nusantara tetapi tidak dalam bentuk tulisan melainkan hidup dalam khazanah tradisi lisan masyarakat. Landasan kritik Jassin dan baik buruk sebuah karya sastra dianggap sebagai sarana curahan, luapan emosi, ucapan, proyeksi atau ekpspresi pikiran dan perasaan pengarang (Suroso dkk, 2009:27).
Dalam tulisan lain, Jassin menyiratkan juga semangat perjuangan dan harapan yang tinggi terhadap kesuburan kesusasteraan Indonesia modern di masa depan seperti yang dapat kita baca berikut ini.
"Dimasa perang ini banyak jiwa yang tumbuh besar. Tumbuh besar diam-diam, seperti juga pohon beringin tumbuh diam-diam. Tapi dalam tumbuh itu hendaknya masing-masing jiwa mengembangkan tenaga dan kesanggupannya seluas-luasnya dan seperti kemungkinannya, supaya kesusasteraan Indonesia menjadi suatu perlambang pula bagi tanah Indonesia, subur dan beribu macam kekayaan hasil buminya."
Jassin menggunakan perbandingan dan ibarat untuk mengembangkan ide dan gagasan dalam tulisannya. Gaya penulisan seperti ini merupakan stilistika yang sering kita jumpai dalam retorika penulis-penulis Indonesia di periode awal. Analog yang digunakan adalah pohon beringin yang merupakan analog klise yang sering kita jumpai dalam karya sastra tradisional di Nusantara. Analog semacam ini merupakan sebuah topoi (unsur yang berulang) yang banyak digunakan dalam tulisan-tulisan karya sastra lama. Di sini Jassin mengibaratkan pengarang dan kesusasteraan Indonesia seperti pohon beringin yang tumbuh besar secara diam-diam karena masih berada di bawah tekanan penjajah Jepang yang gemar melakukan sensor terhadap tulisan-tulisan yang dimuat di media cetak pada masa itu.
Esai Poliama yang yang berjudul "Semangat Djerman Baroe Didalam Hasil Kesoesasteraannja" (PP.N0.6, Th.XXIII, 15 Maret , 1945) merupakan salah satu esai yang secara eskplisit menggambarkan semangat propaganda Jepang. Penulis esai ini membicarakan kemajuan kesusasteraan Jerman dalam kerangka berfikir propaganda Jepang, yakni memuji-muji sajak yang berisikan semangat cinta tanah air, rela mati dan tidak takut menghadapi maut dalam medan perang, seperti yang terdapat dalam sajak Jerman. Semangat cinta tanah air yang dikemukakan dalam sajak Jerman itu mengingatkan kita pada semangat Bushido dalam militer Jepang. Meskipun ia tidak langsung memuji Jepang dalam tulisannya, tetap makna tersirat dalam tulisan itu mengandung semangat persekutuan antara Jerman dan Jepang sebagai dua
19 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
negara yang sama-sama menganut ideologi fasisme pada masa perang dunia kedua.
Untuk menghindari sensor Jepang, beberapa penulis esai juga mencoba menulis tentang kesusasteraan asing, seperti "Kesoesasteraan Arab Diantara Seni dan Boedi", karya A. Aidid, (PP.No.1, Th.XXIII, 1 Januari 1945). Beberapa diantara esai yang terdapat dalam majalah Pand ji Poestaka ini ada juga mengemukakan esai tentang seni lukis di Indonesia, "Menoedjoe Seni Roepa Indonesia",karya S.M.A (PP. N0.3, Th.XXIII, 1 Februari 1945).
V. Kritik dan Esai dalam Majalah Pantja Raja (1947)
Dalam Majalah Pantja Raja, terdapat satu tulisan HB Jassin yang menanggapi gugatan
20 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
seorang pembaca terhadap karya Idrus yang berjudul "Heiho", yang terbit dalam majalah yang sama. Dalam tulisannya yang berjudul "Sentiment dan Sentimentaliteit Jepang", (Pantja Raja, N0.5. Th.II, 15 Januari 1947), Jassin menjelaskan kepada pembaca yang telah mengirimkan suratan gugatan tersebut sebagai berikut:
"Tapi kalau tuan hendak mencari isipun di dalam karangan Heiho ini tentu dapat. Heiho adalah suatu dakwaan. Dakwaan bangsa Indonesia terhadap penjajah yang membiarkan bangsa Indonesia tetap tinggal bodoh. Baik di masa Belanda apalagi di masa Jepang. Kartono ialah perlambang orang banyak, rakyat Indonesia yang bodoh, bukan oleh karena bodoh memang bodoh, tapi karena kurang pendidikannnya. Apakah maksud kami harus diteruskan "tradisi" kebodohan ini dengan memuatkan lukisan tentang kebodohan ini? Kalau orang merasakan kebodohan itu dan merasakan penghinaan kepada bola nasib yang berupa Heiho bodoh itu, bertenaga baiklah karangan ini. Seharusnya tuan tidak protes kepada Pantja Raja, tidak protes kepada pengarangnya, tapi harus prostes kepada Jepang, kepada Belanda, kepada sejarah. Tapi tuan tidak usah berputus asa. Sebab sejarah memberikan kesempatan berubah-ubah. Tergantung kepada tuan sendiri, kepada bangsa Indonesia sendiri apakah mau berubah, atau mau tetap jadi fosil yang mati sampai kiamat.”
Jika kita bandingkan esai Jassin yang ditulisnya dalam Pantja Raja 1947 dengan esainya yang dalam Pandji Poestaka 1945, terlihat Jassin lebih berani mengemukakan tanggapannya mengenai penjajah (Jepang) dari sebelumnya. Dari tanggapan Jassin dalam Pantja Raja itu, terlihat sikapnya yang berpihak kepada sastrawan Idrus yang telah menulis cerita tersebut. Terlepas dari keberpihakan Jasin, ia telah memperlihatkan sebuah upaya sebagai seorang kritikus yang mencoba menjembatani perbedaan pemahaman antara seorang pembaca dengan pengarang. Jassin berusaha menjelaskan maksud pengarang dalam karyanya dengan menuliskan cerita seperti Heiho itu sebagai alat untuk menggugah kesadaran pembaca dan bangsa Indonesia terhadap kelalaian bangsa Indonesia selama dijajah oleh Belanda dan Jepang. Dalam kritikan Jassin yang terakhir ini sifat pedantic dari tulisannya tidak tercermin lagi. Dia lebih menekankan pemahaman terhadap teks yang dibacanya dan mengkritik sikap apatis bangsa Indonesia yang menerima nasib menjadi Heido bodoh seperti yang tergambar dalam karya Idrus yang ditanggapinya itu.
21 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
VI. Kritik dan Esai dalam Majalah Siasat (1948)
Majalah Siasat dengan lembar Gelanggang-nya merupakan majalah yang mulai muncul sejak tahun 1947--1955. Kritik dan esai sastra yang dimuat dalam lembar Gelanggang ini cukup banyak ditemukan, namun yang saya bahas hanya satu esai terbitan tahun 1948 karena esai tahun 1947 sudah tidak ditemukan lagi. Produktivitas penulisan kritik dan esai sastra memang jauh di bawah dibandingkan dengan penulisan karya sastrsa dalam majalah tersebut.
Penulis kritik dan esai sastra dalam Majalah Siasat lembar Gelanggang, berasal dari kalangan sastrawan dan non sastrawan. Tulisan-tulisan HB. Jassin, sebagai penulis esai yang produktif masa itu justru tidak ditemukan dalam Gelanggang . Beberapa pengarang dan sastrawan yang menulis dalam Gelangang ini adalah, Ali Audah, Asrul Sani, Abu Hanifah, Aoh K. Hadimadja, Pramudya Anantatoer, Rosihan Anwar, dan Sitor Situmorang. Selain para sastrawan tersebut, terdapat pula beberapa orang dari kalangan kritikus murni seperti, R.A Jodjana dan S. Wandhi.
Umumnya tulisan para kritikus dan esais dalam majalah Siasat lembaran Gelanggang ini masih dipengaruhi oleh semangat zaman kemerdekaan sehingga tema-tema yang mencuat adalah tema-tema tentang kebebasan, kemerdekaan yang baru saja terlepas dari penjajahan. Diantara esai yang ditampilkan masih banyak memuat isu kemiliteran, seperti "Ketentaraan dalam Kesesusasteraan", karya Rosihan Anwar, (Siasat, 8 Oktober 1950). Kritik dan esai yang ditulis selanjutnya, banyak sekali membicarakan tentang penyair Chairil Anwar dan karyanya sebagai inspirator bagi penyair Angkatan 1945. Salah satu esai yang membahas tentang Chairil, dapat dilihat dalam tulisan Asrul Sani yang berjudul "Penduniaan Penyair Indonesia", (Siasat. N0.61, Th.II. 2Mei 1948).
Dalam esainya itu Asrul menyinggung tentang sajak Chairil yang terkenal "AKU" yang dinilainya sebagai semangat revolusioner seorang penyair yang telah menemukan dunianya. Revolusi yang dimaksudkan oleh Asrul dalam tulisannya itu bukan revolusi secara fisik tetapi adalah revolusi dalam pemikiran, seperti kutipan berikut ini.
"Sebetulnya revolusi itu--di sini revolusi fikiran--telah timbul sejak tersembulnya ucapan tadi.
22 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Perkataan "AKU" yang terdapat dalam kalimat ini telah sumbang bunyinya, telah meluar biasa. Dalamnya terkandung kehendak berlepas diri dari sesuatu yang mengikatnya. Jiwa yang seperti ini hidup terus dengan diam-diam--pada masa itu mengadakan perhubungan dengan tidak menurut "cara-cara resmi" amat sulit di luar Pusat Kebudayaan."
Inilah yang dimaksud dengan semangat Chairil yang merasuki pengarang se-zamannya, semangat pemberontakan dalam sastra Indonesia yang saling mendukung antara penyair dan kritikus maupun esaisnya. Semangat ini merasuki gairah dunia sastra Indonesia waktu itu yang baru saja terlepas dari sensor Pusat Kebudayaan Jepang. Selain membicarakan Chairil dan karyanya, esai dan kritik sastra dalam Majalah Siasat selanjutnya juga membahas tentang kepenyairan Sitor Situmorang yang dinilai juga sebagai salah satu sastrawan yang membawa angin segar bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Ditinjau dari isinya, kritik dan esai dalam majalah ini pada umumnya merupakan Kritik yang berbentuk hasil kritik objektif yang mengungkapkan kondisi kesusasteraan berdasarkan tema maupun penokohan. Tema-tema karya sastra yang sebelumnya banyak berkiblat pada keagamaan dan bersifat dogmatis, berubah menuju tema-tema yang lebih dapat menjawab tantangan hidup.
VII. Kritik dalam Majalah Daja (1949)
Sekalipun majalah ini sangat singkat usianya, hanya setahun (1949--1950), di dalamnya termuat tulisan-tulisan esai dan kritik yang berkualitas karena ditulis oleh penulis-penulis yang telah berpengalaman dan terlatih, seperti, Idrus, Amal Hamzah, Trisno Sumardjo, dan Widijawati.
Obyek yang dibahas dalam Majalah Daja terdiri atas beragam masalah kesusasteraan, seperti "Sandiwara dan Film Sebagai Alat Pendidik Masyarakat", tulisan Rustam Sutan Palindih ( Daya, N0. 13, Th.I, 1 Agustus 1949 ), "Resensi:India", tulisan Dr. T.S.G. Mulia (
23 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Daya, N0.15, Th.I, 1 September 1949 ), "Dapatkah Bahasa Sunda Didemokrasikan?", tulisan M.A. Salmoen ( Daya, N0.18. Th.I, 15 Oktober 1949 ), dan "Alexander dengan Diogene", tulisan Trisno Sumardjo ( Daya, N0.2, Th.II,1 Februari 1949 ). Selain itu, terdapat juga tulisan yang membahas kesusasteraan tetapi bukan dalam bentuk esai, melainkan dalam tulisan yang bersifat eksposisi yang tidak disajikan dalam bahasa yang populer. Tulisan itu tidak memiliki ciri-ciri sebuah esai yang bersifat ringan dan memiliki unsur subyektivitas. Tulisan-tulisan itu hanya cocok untuk buku pelajaran anak didik yang belajar kesusasteraan. Tulisan-tulian seperti ini ditulis hanya oleh satu orang yaitu P.L., seperti "Short Story" ( Daya, N0.12, Th.I, 15 Juli1949 ), "Sajak", ( Daya, N0.13, Th. I, 1 Agustus 1949 ), "Sajak dan Bentuk",( Daya, N0.18, Th. I, 15 Oktober 1949 ).
Esai-esai yang ditulis oleh Idrus kebanyakan bersifat kritik objektif karena berisikan teori-teori Idrus dalam menilai karya sastra. Beberapa diantara karya esai Idrus dalam majalah ini adalah seperti berikut.
(1) "Cerita Pendek", Daya, N0.13, Th.I, 1 Agusutus 1949
(2) "Tehnik Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.14, TH. I, 14 Agustus 1949
(3) Bentuk Dalam Kesusasteraan", Daya, No.16, Th.I, 15 September 1949
24 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
(4) "Isi Djiwa Pengarang", Daya, N0.15, Th.I, 1 Oktober 1949
(5) "Manifestasi Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.18, Th.I, 15 Oktober 1949
(6) "Watak Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.20, Th.I, 19 November 1949
Dalam tulisan-tulisannya yang bersifat teknis tersebut, Idrus mencoba melontarkan gagasan-gagasannya mengenai kesusasteraan yang terkadang sangat abstrak dan sulit dipahami seperti tulisannya yang berjudul "Menuju Kesadaran Dalam Kesusasteraan". Tulisan ini kemudian ditanggapi oleh Jassin dan akhirnya menjadi polemik antara keduanya. Jassin menilai teori Idrus tersebut bukan merupakan hal yang baru dan tidak memiliki nilai estetika dari dalamnya. Jawaban yang diberikan oleh Idrus dalam menanggapi kritikan Jassin terasa sangat subjektif dan emosional sehingga isinya banyak sekali mengandung penolakan dan hujatan terhadap pendapat Jassin kepada tulisannya.
Dalam esainya yang lain, Idrus mengemukakan mengenai "Manifestasi dalam Kesusasteraan", (Daya, No.18, Th.I, 15 Oktober 1949). yang dimaksud oleh Idrus dengan "manifestasi dalam kesusasteraan" itu adalah:
"Manifestasi dalam kesusasteraan adalah trem kedua (trem pertama ialah bentuk) dalam proses tehnik dalam kesusasteraan yang membawa pengarang dari halte isi jiwa pengarang yang bergerak ke halte penghabisan yang kita namakan kesusasteraan..."Manifestasi tidak lain daripada penguasaan bahasa pertama-tama dan yang kedua, latihan menulis"
Analogi yang digunakan Idrus terhadap kesusasteraan agak di luar kebiasaan yang lazim untuk
25 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
saat itu ketika ia menggunakan istilah trem dan halte sebagai perbandingan untuk teknik dalam menguasai kesusasteraan. Agaknya penggunaan istilah trem dan halte dalam tulisan Idrus pada masa itu sebagai upaya mendekatkan jarak antara konsepnya yang masih abstrak tersebut dengan transportasi yang digunakan masyarakat pembaca di perkotaan terutamanya dan akan kurang berhasil jika pembacanya berasal dari luar Jakarta yang belum pernah melihat trem pada masa itu. Apalagi jika dijadikan analog untuk memahami manifestasi kesusateraan seperti yang dimaksudkan dalam tulisan Idrus di atas.
Bagaimanapun, Idrus termasuk penulis yang rajin dan luas bacaannya. Keluasaan bacaanya itu terbaca dari rujukan tulisan-tulisannya dalam Majalah Daya yang selalu mencantumkan pendapat penulis-penulis dunia, seperti Andre Gide, Pirandello, dan Rougemont. Ia memiliki kerangka konseptual yang kuat dalam mengemukakan sebuah istilah atau gagasan. Walau kadangkala agak sulit untuk mencerna gagasan Idrus yang terasa telah meloncat terlalu jauh dengan situasi kesusasteraan Indonesia pada waktu itu.
VIII. KESIMPULAN
Sejarah kritik dan esai yang terdapat dalam rentang waktu 1940--1949 dalam tulisan ini merupakan suatu penggambaran singkat terhadap situasi penulisan kritik dan esai pada tahun tersebut. Sekalipun tidak menyeluruh, tetapi tulisan ini mewakili tulisan-tulisan kritik dan esai yang pernah dimuat dalam majalah tahun 1940—1949.
Kritik dan esai yang dimulai dari Panji Islam 1940 memiliki bentuk dan isi kritik yang sangat kental dengan isu dan warna keagamaan. Esai-esai yang dimuat mengutamakan kritik pragmatik yakni, mengandung himbauan kepada pembaca agar membaca karya yang bermanfaat bagi pembaca sastra sesuai dengan nilai-nilai Islami sebagai landasan majalah tersebut. Majalah Pandji Islam juga memuat kritik sastra yang menjelaskan pemahaman kesusasteraan sebagai alat untuk menyampaikan ajaran, pendidikan, dan menanamkan nilai-nilai yang bersifat paedagogik. Tulisan kritik sastra seperti itu menjadi ciri kritik yang banyak dimuat baik dalam majalah Pandji Islam maupun Pandji Poestaka
26 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
.
Tema keagamaan itu kemudian diganti dengan gagasan-gagasan dari barat dalam tulisan-tulisan kritik sastra di Majalah Poejangga Baroe tahun 1941. Pendapat para pemikir barat menjadi sumber rujukan utama bagi penulis kritik seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Pemikiran yang lebih universal tanpa terpasung oleh sekat-sekat agama, suku, bangsa menjadi landasan tulisan mereka . Bahkan isu jenderpun sudah menjadi sorotan yang dimuat dalam kritik dan esai di majalah Poejangga Baroe . Pengutamaan pemikiran yang rasional dan meninggalkan sikap romantisme dalam berkarya merupakan ajakan yang ditulis oleh Armijn Pane dalam kritik sastranya di majalah ini.
Di masa pendudukan jepang (1942-1945) Indonesia mengalami masa transisi yang sama sekali berbeda dengan masa pendudukan Belanda. Kolonialisme Jepang yang sangat represif dan agresif menutup “kebebasan” pers yang dulu dinikmati masa kolonial Belanda. Jepang melakukan sistem sensor yang ketat sehingga membungkam kebebasan pengarang Indonesia pada masa itu. Dengan demikian, isi esai dan kritik sastra pun mengalami nasib pemasungan dan sensor ala Jepang. Karya-karya yang dimuat haruslah mengikuti kemauan Pusat Kebudayaan Jepang sebagai lembaga sensor penguasa pada masa itu. Sebagaimana yang perna dimuat dalam Pandji Poestaka. Akibatnya, lahirlah kritik dan esai yang sangat hati-hati dan memuat semangat propaganda Jepang seperti tulisan-tulisan yang memperlihatkan kehebatan Asia Timur Raya dengan Jepang sebagai pemimpinnya dan tulisan-tulisan yang memuji-muji Jerman sebagai sekutu Jepang pada masa itu.
Semangat anti Jepang menjadi isu kritik sastra yang mencuat setelah kekalahan Jepang di awal kemerdekaan Indonesia. Tulisan esai dan kritik sastra Indonesia yang pernah memuat semangat anti Jepang itu dapat kita temukan dalam majalah Pantja Raja tahun 1946--1947. Semangat ini sesuai dengan situasi zaman ketika bebasnya Indonesia dari penjajahan. Semangat kemerdekaan dan pemberontakan itu semakin terasa dalam kritik dan esai yang termuat dalam Majalah Siasat yang mulai terbit tahun 1947--1955. Penulis kritik dan esai yang sekaligus adalah penyair dan wartawan itu, dipenuhi oleh semangat pemberontakan dan revolusioner dari Chairil Anwar. Sedangkan Idrus dapat dianggap salah seorang penulis kritik dan esai yang produktif dalam Majalah Daya
27 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
tahun 1949. Tulisan kritik dan esai milik Idrus kemudian, lebih banyak berbicara tentang teori sastra, kritik objektif dan sosiologis. Meski gagasan-gagasan Idrus mengenai kesusateraan kadangkala terasa masih abstrak dan sulit dicerna bagi pembacanya pada masa itu.
28 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Daftar Pustaka
Abrahm, M.H., 1981. A Glosary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston.
Alisyahbana, Sutan Takdir. "Kedoedoekan Perempoen Dalam Kesoesasteraan Timoer Baroe",
Poejangga Baroe, No.7, Th.VII, Januari dan No. 8, Februari 1941.
Aidid, A. "Kesoesasteraan Arab Diantara Seni dan Boedi", Pandji Poestaka .No.1, Th.XXIII, 1
Januari 1945.
Anwar, Rosihan. "Ketentaraan dalam Kesesusasteraan", Siasat, 8 Oktober 1950.
29 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Damono, Sapardi Djoko. 2005. “Banjir Roman” dalam Revolusi, Nasionalisme, dan Bajir Roman .
Jakarta: Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional.
Gallop, Annabel Teh. 1990. “Early Malay Printing: an Introduction to the British Library Collections”. JMBRAS. LXIII (1): 85-124.
Idrus. "Cerita Pendek", Daya, N0.13, Th.I, 1 Agusutus 1949
------- "Tehnik Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.14, TH. I, 14 Agustus 1949
----------- “Bentuk Dalam Kesusasteraan", Daya, No.16, Th.I, 15 September 1949
30 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
-----------"Isi Djiwa Pengarang", Daya, N0.15, Th.I, 1 Oktober 1949
---------- "Manifestasi Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.18, Th.I, 15 Oktober 1949
---------- "Watak Dalam Kesusasteraan", Daya, N0.20, Th.I, 19 November 1949
Jassin, HB. "Oentoek Kemadjoean Kesoesasteraan Indonesia", Pandji Poestaka. N0.23,
Th.XXII, 1--1604 H/1945).
-------------- "Sentiment dan Sentimentaliteit Jepang", Pantja Raja, N0.5. Th.II, 15 Januari 1947.
Mulia, Dr. T.S.G. "Resensi:India", Majalah Daya, N0.15, Th.I, 1 September 1949.
31 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Natsir, Mohammad. "Pemandangan Tentang Boekoe-Boekoe Roman", Pandji Islam. N0.1, Th.VI, 8
Januari dan N0. 2, 15 Januari 1940.
Nur Mudjiningsih, Erlis. Dkk. 2008. “Cerpen-Cerpen Indonesia Periode Awal” Laporan Penelitian
Subbid Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional.
Pane, Armijn. “Mengapa Pengarang Modern Soeka Mematikan?", Poejangga Baroe. No.9, Th. VIII,
Maret 1941).
32 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Poliama. "Semangat Djerman Baroe Didalam Hasil Kesoesasteraannja" Pandji Poestaka.N0.6,
Th.XXIII, 15 Maret , 1945.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Jogja: Gadjah Mada Universiti Press.
Sala, M. "Roman Tjoerian", Pandji Islam. N0.13, Th.VI, 1 April 1940.
Sani, Asrul. "Penduniaan Penyair Indonesia", Siasat. N0.61, Th.II. 2Mei 1948.
Sutan Palindi, Rustam. "Sandiwara dan Film Sebagai Alat Pendidik Masyarakat", Majalah Daya,
33 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
N0. 13, Th.I, 1 Agustus 1949.,
Suroso dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Jogjakarta: Elmatera Publishing.
Salmoen, M.A. "Dapatkah Bahasa Sunda Didemokrasikan?", Majalah Daya, N0.18. Th.I, 15
Oktober 1949
Sumardjo, Trisno. "Alexander dengan Diogene", Majalah Daya, N0.2, Th.II,1 Februari 1949.
Sunarti, Sastri. 2011. “Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar dan Majalah Terbitan Awal di Minangkabau: 1859-1940-an”. Disertasi. Program Studi Ilmu Susastra, Universitas Indonesia.
34 / 35
SOROTAN ATAS KRITIK DAN ESAI DALAM MAJALAH PANJI ISLAM, POEDJANGGA BAROE, PANJI POES Ditulis oleh Sastri Sunarti Selasa, 19 November 2013 15:02 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 19 November 2013 15:17
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality And Literacy In The Malay World. Berkeley: University of California Press.
Richard, I.A., 1966. Practical Criticism: A Study of Literary Judgment. London: Routledge & Kegan
Paul Ltd.
Joomla SEO by AceSEF
35 / 35