Cerpen Edisi 23: Perawan Ditulis oleh Alda Kusuma Selasa, 30 Juni 2009 06:57 -
Desa Karangsetra heboh. Masalahnya, saat Agustusan lalu Pak Lurah Mardi mengumumkan akan melakukan tes keperawanan bagi remaja putri di desa itu. Menurut Pak Lurah, hal itu merupakan salah satu ikhtiar untuk mengurangi kerusakan moral. Di telinga Habibah masih terngiang pidato Pak Lurah di Balai Desa waktu itu. “Bapak-bapak, Ibu-ibu. Saya prihatin akan keadaan remaja putri di desa kita. Selama dua bulan ini, kita mendengar ada 2 kasus remaja putri hamil di luar nikah. Selain itu Bapak Ibu sekalian, sepasang siswa SMA asal desa kita, melakukan adegan mesum di kamar mandi sekolah dan rekamannya kini telah menyebar kemana-mana,” demikian Pak Lurah. “Ehm..., “ Pak Lurah Mardi berdehem sejenak lalu melanjutkan ,” .... oleh karena itu saya putuskan akan membuat program “tes keperawanan” bagi remaja putri di desa kita. Yang sudah tidak perawan, kita hukum dan bina dengan memasukkan mereka ke panti rehabilitasi. Di sana, mereka akan diajari mengaji, menyulam, atau ketrampilan rumah tangga lainnya….“
Para hadirin saling pandang. Lalu, suasana yang semula hening berubah menjadi gaduh. Tak lama, terdengar juga suara siulan dari kelompok bapak-bapak dan para pemuda “Suit…suit..”. Di sisi yang lain, sebagian remaja putri yang telah menyadari makna pidato pak Lurah menjadi pucat ketakutan. Para Ibu mengelus dada. Entah mengiyakan, entah cemas memikirkan nasib yang bakal menimpa puteri mereka.
*******
Habibah berdiri diantara antrian panjang siswi sekolah SMU Karangsetra yang hendak dites keperawanannya. Pak Lurah rupanya telah berkoordinasi dengan Kanwil Diknas di Kabupaten. Pak Kanwil katanya menyetujui ide tersebut. Dijelaskan bahwa dokter Puskesmaslah yang akan bertugas melakukan tes keperawanan tersebut.
“Siswi-siswi tak perlu takut,” kata Pak Rusdi, Bapak Kepala sekolah memulai penjelasannya, “Karena nantinya kalian akan ditangani oleh seorang dokter. Ia juga akan dibantu oleh Pak Mantri, Bu Bidan, dan beberapa orang kader Posyandu. Selain itu, kalian juga akan didampingi oleh wali kelas, guru agama dan
1/5
Cerpen Edisi 23: Perawan Ditulis oleh Alda Kusuma Selasa, 30 Juni 2009 06:57 -
guru BP (Bimbingan Penyuluhan, red). Hanya siswi yang “nakal” lah yang akan takut pada pemeriksaan ini. Kalau kalian masih perawan, mengapa mesti merasa ketakutan?” demikian Pak Rusdi, mulai menuduh sambil menyampaikan pertanyaan yang seolah retoris.
Para siswa mulai gaduh, ada yang bersuit-suit, ada pula yang berteriak-teriak seakan-akan memberi semangat. Sementara para siswi yang berbaris, mulai gelisah. Perasaan mereka campur aduk antara bingung, pasrah, marah, malu, takut bahkan ada yang ingin berontak dan lari dari antrian. Dalam benak, mereka menebak-nebak, apa yang akan dilakukan para petugas terhadap tubuh mereka.
“Emangnya kita mau diapain, sih?”, kata Sumi yang
berwajah polos.
“Ih,.. ntar kamu dipegang-pegang lho sama Pak Dokter sambil dilihatin Bidan galak itu! Mana Pak Kamso guru BP itu, matanya suka jelalatan,” cetus Ani, yang suka beladiri, “Kalau berani macam-macam, kutonjok dia.”
“Ih ngeri….Aku nggak mau diperiksa, ah.” kata
Habibah.
“Kenapa, Bah?Memangnya kamu sudah nggak perawan ya?’, semakin tak mengerti.
“Bayangin, Sum. Masa kita dipaksa untuk membuka aurat di bukan muhrim kita?” Ujar Habibah.
tanya Sumi yang
depan orang yang
2/5
Cerpen Edisi 23: Perawan Ditulis oleh Alda Kusuma Selasa, 30 Juni 2009 06:57 -
“Tapi Sum, kalau aku menolak dites, aku takut Abahku marah. Dikiranya aku nggak suci lagi. Aku juga takut dikeluarkan dari sekolah. Jadi, bukan karena ketahuan tidak perawan. Toh, Allah-lah yang lebih tahu apakah kita bisa menjaga kehormatan atau tidak. Aku marah karena kenapa hanya perempuan yang dites. Kenapa laki-laki tidak ada tes keperjakaan. Apa karena tidak ada bekasnya?“ panjang lebar Habibah memuntahkan kegeramannya.
Tiba-tiba terdengar namanya dipanggil oleh petugas Posyandu.
“Habibah….! Masuk !”
Dengan langkah gontai dan perasaan masygul, Habibah memasuki ruang UKS. Ruang UKS telah berubah. Semuanya serba putih. Mulai dari seprei dipan sampai kain penyekat ruang. Habibah jadi tambah ngeri. Ia merasa seperti berjalan di ruang kosong yang gelap karena tak sedikitpun punya bayangan yang akan terjadi di depan nanti. Tiba-tiba ia teringat novel Ahmad Thohari yang dipinjam dari Mbak Rani, anak budenya yang kuliah di Jurusan Sastra Indonesia di UGM Yogyakarta, Ronggeng Dukuh Paruk. Bibah merasa dia seperti tokoh Srintil dalam novel itu yang dipaksa untuk menjalani upacara
“Bukak Klambu”. Upacara untuk memperebutkan keperawanan, memperebutkan selaput dara seorang perempuan yang oleh masyarakat hendak ditahbiskan menjadi seorang ronggeng.
“Buka celana dalamnya, lalu duduk di kursi itu, Neng Bibah!” perintah Bidan Siti sambil menunjuk sebuah kursi tinggi dengan tempat sandaran yang agak miring ke belakang berwarna hitam. Bibah hanya berdiri tertegun. Di pojok ruangan, seorang petugas Posyandu mencatat namanya, dan menunggu perintah untuk mengisi kolom hasil tes yang harus ditulisnya.
3/5
Cerpen Edisi 23: Perawan Ditulis oleh Alda Kusuma Selasa, 30 Juni 2009 06:57 -
“Ayo buruan! Kok malah diam saja. Antrian masih panjang!”
ulang bidan Siti.
Dengan perasaan enggan, Bibah perlahan-lahan menurunkan celana digenggamnya erat-erat. Susah payah ia menaiki kursi hitam itu.
dalamnya lalu
“Neng, rileks saja ya, jangan tegang! Punggung disandarkan! Kedua kaki dibuka. Yang kanan naikkan ke tempatnya dan yang kiri juga. Silakan, Dok!” Kata Bidan Siti sambil mempersilakan Dokter Irawan untuk memeriksanya.
Mata Bibah terpejam. Ia gemetaran. Ngeri betul rasanya. Bibah teringat masa kanak-kanaknya, waktu ia, Sumi, dan Narti belajar mengendarai sepeda. Sepeda tinggi besar berwarna hitam yang dikenal sebagai “Sepeda Onta.”
Terdengar olehnya, dokter Irawan mengenakan sarung tangan. Lalu, itu mulai menyentuh pahanya. Refleks kakinya menutup.
“Jangan ditutup kakinya! Saya jadi susah!” tegur dokter
tangan dokter
Irwan.
Kepala Bibah menjadi berputar-putar. Ia ingat ketika sepedanya melaju kencang. Ketika melewati sungai ia kehilangan keseimbangan. Gubrak! Sepedanya terjatuh. Ia meringis. Dirasakannya kembali rasa perih diantara kedua selangkangannya. Tiba-tiba ia tersentak dan berteriak.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak……!!!!!!!!!!!!!!”
4/5
Cerpen Edisi 23: Perawan Ditulis oleh Alda Kusuma Selasa, 30 Juni 2009 06:57 -
Habibah segera meloncat dari kursinya dan berlalri ke luar ruangan. Segera ia benahi pakaiannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia sudah tidak peduli lagi akan akibat yang akan diterimanya nanti. *********** Desa Karang Setra heboh lagi karena tiba-tiba menjadi perbincangan yang marak di media massa. Peristiwa tes keperawanan mendapat protes dari sejumlah aktivis dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya itu, demonstrasi penolakan akan tes keperawanan itu juga berlangsung di mana-mana. Bahkan Ibu Menteri pun angkat bicara. “Tes keperawanan itu ide ngawur yang melecehkan perempuan. Saya khawatir, justru ide begini yang akan menumbuhsuburkan perdagangan anak perempuan.” Dan ternyata, Lurah Mardi sekedar menjadikan isu tes keperawanan tersebut sekedar untuk menarik simpati para calon pemilih pada Pilkades tahun depan. Ia sengaja mengangkat isu itu untuk mendongkrak kembali namanya yang jeblok gara-gara bobolnya tanggul irigasi yang menyebabkan panen gagal dua kali. Pak Lurah ingin dilihat sebagai orang yang peduli pada dekadensi moral sehingga naik kembali pamornya. Habibah marah karena merasa jadi korban ambisi Pak Lurah. Dalam hati ia berjanji, ia akan terus bersuara menentang ketidakadilan dan membela perempuan yang didzalimi. Ia tahu bahwa Allah mendengarkan suaranya, seperti Dia mendengarkan gugatan Khaulah binti Tsa’labah yang terekam dalam Surat Al Mujaadilah.
5/5