Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
Pembaca yang dirahmati Allah swt., Suplemen Swara Rahima Edisi 40 kali ini berjudul “Pernikahan Dini : Antara Cerita dan Realita”. Tulisan yang merupakan hasil perenungan Pupah Masarah, seorang peserta program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima Angkatan I Wilayah Jawa Barat ini mengetengahkan fenomena pernikahan anak-anak di bawah umur yang ternyata masih terjadi di sekitar kita. Pernikahan dini, kenyataannya tidak sekedar peristiwa menghebohkan yang terjadi pada seorang gadis remaja Lutviana Ulfa dari Semarang beberapa tahun lalu. Namun, juga masih terjadi di sekitar kampung halaman Pupah di Garut, Jawa Barat serta di berbagai wilayah lain di Indonesaia maupun berbagai tempat di belahan dunia ini. Atas dasar keprihatinan itulah, si penulis ingin mengulasnya kembali.
Beragam alasan kenapa masih terjadi pernikahan dengan anak di bawah umur? Bagi pelaku, masih ada yang berdalih bahwa menikah dengan anak di bawah umur merupakan sunah Nabi dan ittiba’ Rasul, mengingat pernikahan Nabi dengan Aisyah dilakukan ketika Aisyah masih dalam usia anak-anak. Selain itu beragamnya pandangan fiqh mengenai pemaknaan atas istilah baligh, juga membuat aturan mengenai usia minimum perkawinan di berbagai Negara berpenduduk mayoritas muslim juga masih beragam.
Belum lagi, diskursus mengenai “wali mujbir” dan “birrul walidain”, yang mengkaitkan praktik kawin paksa sebagai manifestasi ketaatan anak terharap orang tua membuat peristiwa ini acapkali masih terjadi. Di perkotaan, pergeseran nilai-nilai dan norma masyarakat telah menyebabkan longgarnya batas pergaulan di kalangan remaja; ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan mereka akan kesehatan reproduksi telah menyebabkan banyaknya kasus kehamilan tak dikehendaki (KTD). Ujung-ujungnya, muncullah apa yang diistilahkan dengan Married by Accident (MBA) yang turut menyumbang masih tinginya pernikahan di usia anak ini.
Para pembaca setia Swara Rahima, Tentu banyak sekali akibat yang ditimbulkan karena pernikahan dini ini. Pada pasangan berusia remaja, tentunya mereka akan kehilangan banyak kesempatan untuk bermain dan belajar karena “anak-anak harus mengurus anak-anak”. Ketidaksiapan mereka dalam menata mahligai rumah tangga, mengakibatkan konflik dan pertengkaran karena peran-peran baru itu tak dapat dihindari. Sementara, bagi korban pernikahan dini akibat ‘kawin paksa’ yang dilakukan dengan orang dewasa tentu juga akan mengalami trauma psikis yang cukup panjang akibat perkosaan dalam perkawinan (marital rape). Hak-hak reproduksi dan seksual mereka rentan untuk diabaikan, dan ketidaksiapan organ reproduksi mereka yang mengalami kehamilan di usia dini mengakibatkan mereka berpotensi untuk
1 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
mengalami gangguan kesehatan reproduksi. Seperti kanker serviks atau persoalan gangguan kesehatan reproduksi yang lain, termasuk hadirnya penyakit menular seksual (PMS) maupun HIV/AIDS bila ternyata si anak dinikahkan dengan seseorang yang perilaku seksualnya suka gonta-ganti pasangan.
Hubungan antara anak dan orang tua, juga potensial mengalami ketegangan. Hal ini karena mereka merasa dirampas masa kanak-kanak atau remajanya, bahkan merasa diperjualbelikan oleh orang tua sendiri. Alih-alih si anak akan mengambil keputusan dengan sadar untuk berbakti kepada orang tua, justru yang terjadi bisa sebaliknya. Anak akan kehilangan respek dan rasa hormat pada orang tuanya yang ia pandang malah mempermainkan masa depan dan nasib kehidupannya.
Pembaca yang budiman, Semestinya, persoalan pernikahan dini ini menjadi keprihatinan kita bersama. Pandangan masyarakat yang patriarkhis dan mengabaikan pemenuhan hak anak semestinya dikikis pelan-pelan. Aturan formal (undangundang) mengenai perkawinan yang masih belum ideal, semestinya tidak tahu untuk diperbaharui demi kebaikan generasi penerus kita mendatang.
Dengan membaca tulisan ini, kami harapkan terjadi sebuah kesadaran baru untuk kritis terhadap fenomena pernikahan dini dan tidak akan mengorbankan putraputri kita sendiri. Semestinya, para orang tua juga mulai terbuka untuk berdialog tentang persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi dengan putra-putrinya. Agar nantinya mereka tidak salah mengambil jalan dan selalu menjadi pribadi yang berperilaku sehat dan bertanggung jawab.
Mudah-mudahan banyak manfaat yang bisa anda petik dari suplemen Swara Rahima edisi 40 ini. Dan tentunya tak lupa kami ucapkan: Selamat membaca!
Muharam 1434 H/ Desember 2012 M
Redaksi
_______________________
2 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita Oleh: Pupah Masaroh, S. Ag
A. Pendahuluan Berawal dari percakapan ringan tak sengaja dengan seorang perempuan yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan saya, terbuka fakta yang membuat saya sempat terdiam. Di zaman yang sudah serba maju dan modern saat ini terdapat realita miris yang terjadi pada perempuan-perempuan di daerah yaitu menjadi janda di usia yang masih sangat dini.
Sebut saja Eneng, di usianya yang baru menginjak 20 tahun sudah memiliki seorang anak berusia 7 tahun dan saat ini sedang dalam proses bercerai dari suaminya yang berusia 25 tahun. Yang membuat saya tercengang, dia tidak terbebani dengan stigma statusnya nanti menjadi janda.
Di daerah lain tepatnya di Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, sebut saja namanya Geulis yang kini berusia 20. Ketika usianya masih 13 tahun ia sudah dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya yang berusia jauh lebih tua yaitu 40 tahun. Padahal secara ekonomi, calon suaminya terbilang kurang mapan karena sehari-hari berprofesi sebagai penarik becak. Kini, Geulis telah memiliki anak usia 6 tahun dan telah melakukan gugatan cerai kepada suaminya setelah selama 7 tahun bekerja keras menjadi pencari nafkah utama keluarga dan tetap direndahkan.
3 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
Sebenarnya fenomena seperti ini di berbagai daerah cukup banyak terjadi dengan masa perkawinan yang beragam. Ada yang bertahan beberapa bulan, beberapa minggu, bahkan ada yang sampai hanya bertahan hanya 3 hari. Hal itu juga pada umumnya karena masyarakat di daerah merasa malu jika memiliki anak gadis yang belum menikah. Namun sebaliknya, mereka akan bangga dan senang jika anak gadisnya sudah ada yang melamar tanpa mempertimbangkan faktor usia atau faktor lainnya. Dalam istilah Sunda tanpa mempertimbangkan bebet, bibit dan bobot-nya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,2010), pernikahan pada usia 15-19 tahun mencapai 41,9 persen. Masih terdapat pula pernikahan pada usia sangat muda yakni usia 10-14 tahun sebesar 4,8 persen. Plan Indonesia, organisasi keman usiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata menikah pada usia 15-16 tahun. Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011.
Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT). “Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak,” ujar Bekti Andari Gender Spesialist Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita 12 Suplemen Swara Rahima Edisi 40, Desember 2012 Plan Indonesia.
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat, angka kejadian pernikahan dini berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36%. Dari banyaknya kasus di atas, timbullah pertanyaan “Mengapa masih banyak terjadi perkawinan dini dan dilegalkan?”
4 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
B. Memahami Beragam Perspektif tentang Pernikahan Dini dan Faktor Penyebabnya Hakikat pernikahan atau perkawinan pada dasarnya dilakukan untuk niat yang suci demi kebaikan yaitu menciptakan keluarga yang sakinah,mawaddah warohmah. Apa pun alasan yang melatarbelakangi nya, setiap pasangan tentu berharap dapat mewujudkannya. Hal ini karena perkawinan merupakan sunnatullah sebagaimana termaktub dalam Firman Allah swt.
Pada QS. Ar Rum : 21 sebagai berikut : Artinya : “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar Rum : 21)
Selain itu, dalam sebuah Hadis Nabi juga disebutkan : Artinya : “Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah. Sebab perkawinan itu akan dapat elbih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu kawin,maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat mengalahkan hawa nafsu.” (H.R. Jama’ah)
Sementara, pengertian “perkawinan” menurut Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 disebutkan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bardasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “
Dalam undang-undang ini juga dijelaskan ketentuan secara spesifik mengenai batasan usia minimum untuk melangsungkan pernikahan sebagaimana termaktub pada pasal 7 ayat 1 yang isinya sebagai berikut:
5 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.“
Sebagai seorang muslim yang sekaligus merupakan warga negara Indonesia yang baik, tentunya kedua dasar hukum di atas berlaku jika seseorang ingin melangsungkan suatu ikatan perkawinan. Namun, di lapangan perkawinan masih cukup banyak terjadi perkawinan yang tidak sesuai dengan kedua dasar hukum tersebut karena berbagai faktor. Pernikahan dini merupakan salah satu bentuk praktik perkawinan yang tidak sesuai dengan kedua dasar hukum tersebut.
Pernikahan dini secara umum berarti pernikahan yang dilakukan pada usia belia di bawah batas usia minimum melakukan perkawinan yang telah ditentukan undang-undang atau yang dalam konteks perbincangan fiqh Islam disebut baligh. Pemaknaan arti kata baligh sendiri, sebenarnya cukup beragam. Keragaman pemahaman itu juga sangat terkait dengan beberapa alasan. Jika menurut sudut pandang psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 tahun sampai 25 tahun, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai “ba’ah” (mampu), maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual) ” (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau menstruasi (haid) bagi perempuan) atau telah mencapai usia lima belas tahun. Ada apa dengan syabab?
Menarik apabila penjelasan mengenai hadis di atas, juga dikaitkan dengan sabda Nabi saw.
6 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
yang lain,
“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Pokok ajaran dalam Hadis di atas selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak agar mereka menjadi pribadi yang memiliki tanggung jawab personal juga menyimpan sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Sementara bila dikaitkan dengan Hadis sebelumnya, perilaku seksual juga mesti dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab, dimana hal itu merupakan konsekuensi tindakan sebagai orang dewasa.
Dengan demikian, istilah “ba’ah” dapat diinterpretasikan tidak saja “baligh” atau dewasa dalam konteks fisik, namun juga secara fisik, mental, ekonomi, dan sosial. Mengingat kedewasaan dalam keseluruhan hal tersebutlah yang memungkinkan seseorang mampu melangsungkan pernikahan secara sehat dan bertanggung jawab.
Dari sudut pandang Psikologi, pernikahan dini tergolong pernikahan yang dilakukan pada usia remaja.Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal : 12-15 tahun; (b) remaja madya : 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun.
Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai masa “ Strom & Stres ”. Frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).
Kondisi psikologis remaja yang labil inilah yang membuat orang tua khawatir untuk menikahkan
7 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
anaknya pada usia remaja/dini. Namun, hal ini pula yang mendorong sebagian orang tua untuk menikahkan anaknya pada usia dini dengan kekhawatiran yang berbeda. Secara psikologis, usia 19 sampai 25 tahun adalah usia terbaik untuk menikah karena sudah mencapai tingkat kematangan baik dalam psikis maupun biologis. Secara medis, perempuan sangat baik hamil pada usia 20 -30 tahun. Namun, perkawinan dan reproduksi yang dilakukan sebelum usia dewasa sebagaimana disebutkan di atas, dapat digolongkan sebagai pernikahan dini atau pernikahan pada usia anak-anak. Selain itu, masyarakat juga mengalami pergeseran nilai, sehingga di perkotaan perempuan menikah di atas usia 25-30 tahun adalah hal yang biasa.
Ada beberapa faktor yang mendorong masih banyaknya praktik pernikahan dini yang terjadi di masyarakat, khususnya di daerah-daerah, diantaranya:
1. Alasan Ekonomi Bagi sebagian masyarakat daerah terutama yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah, anak adalah beban berat yang harus ditanggung. Oleh karena itu, mereka harus mencari solusi untuk meringankannya. Namun, solusi yang mereka ambil kemudian menjadi sebuah langkah yang tidak tepat yaitu dengan menikahkan anak perempuannya pada usia dini bahkan sangat dini. Alasan para orang tua dengan menikahkan anak perempuannya, berkurang beban mereka. Pernikahan seolah menjadi sarana pengalihan tanggung jawab dari orang tua kepada suami.
2. Pergaulan Bebas
Pengetahuan yang minim tentang agama, iman yang lemah, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga terjadi dekadensi moral pada remaja sementara pergaulan tak terkontrol seringkali menyebabkan Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) yang akhirnya mengakibatkan terjadilanya Maried By Accident (MBA) atau pernikahan karena ‘kecelakaan’. Pernikahan seperti ini sangat rentan terjadi perceraian karena ketidaksiapan kedua belah pihak untuk menikah apalagi memiliki anak.
3. Sikap Over Protektif Orang Tua Kekhawatiran yang berlebihan pada orang tua terhadap Anaknya agar tidak terjerumus pergaulan bebas yang akan menimbulkan aib bagi keluarga, menyebabkan mereka menikahkan anaknya pada usia dini dengan dalih untuk menjaga kesucian (iffah). Pemahaman masyarakat yang berkembang terkait pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ra. sering menjadi legitimasi pernikahan ini. Hal ini juga disebabkan
8 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
rendahnya tingkat pendidikan para orang tua.
4. Pemalsuan identitas dalam Perkawinan Selain faktor-faktor di atas, adanya oknum yang turut andil dalam proses legalisasi pernikahan dini dengan membuat surat keterangan palsu diantaranya pencantuman usia yang ditambah pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seperti yang terjadi pada Eneng (diawal tulisan) ketika menikah tercantum usia 19 tahun pada KTP nya, padahal usia sebenarnya baru 13 tahun.
5. Beragamnya aturan dan pemahaman mengenai ketentuan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan.
Batasan usia pernikahan di berbagai negara berbeda-beda juga mendorong masih banyaknya praktik pernikahan dini di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim. Di Indonesia, sebagaimana dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 7 ayat 1, usia minimum perkawinan adalah 19 tahun untuk lakilaki dan 16 tahun untuk perempuan. Di Mesir, Libya, Malaysia, Pakistan, dan Yaman Selatan menetapkan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Di Yordania (laki-laki 16 tahun,perempuan 15 tahun), Yaman Utara (15 tahun untuk laki-laki dan perempuan), dan Maroko (18 tahun laki-laki, 15 tahun perempuan).
Beragamnya aturan ini terkait dengan banyaknya rujukan yang diambil dari literatur klasik Islam mengenai interpretasi makna baligh. Dalam ketentuan Islam, seseorang diperbolehkan menikah ketika sudah baligh (dewasa) dimana dalam fiqh klasik banyak disebutkan pada saat pertama haid bagi perempuan mayoritas pada usia 12-17 tahun), dan saat pertama laki-laki keluar air mani atau ‘mimpi basah’ (mayoritas pada usia 12-15 tahun).
Namun, di beberapa negara muslim seperti Irak dan Somalia usia minimum perkawinan telah ditetapkan sesuai dengan batasan dalam Konvensi Perlindungan Anak dimana tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yakni minimal berusia 18 tahun. Di Aljazair dan Bangladesh juga telah sesuai Konvensi Hak Anak namun masih membedakan usia minimum perkawinan bagi laki-laki (21 tahun) dan perempuan (18 tahun).
9 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
C. Dampak Pernikahan Dini Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi Undang-Undang pun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat tersebut.
Suatu studi literatur yang dilakukan oleh UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit untuk mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia muda.
Komunitas internasional menyadari pula bahwa masalah pernikahan anak merupakan masalah yang sangat serius. Implikasi secara umum bahwa kaum perempuan dan anak yang akan menanggun risiko dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda, selain juga meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual lainnya, dan kanker leher rahim. Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan tentunya merupakan hambatan dalam mencapai Millennium Developmental Goals (MDGs) pada 2015.
Sesungguhnya dampak pernikahan dini yang terjadi di masyarakat sangat beragam, hal tersebut seperti termuat di bawah ini:
1. Dampak Hukum : Pelanggaran terhadap Undang-undang. Adanya pelanggaran terhadap Undang-undang (UU) di Indonesia, antara lain: No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
10 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
kedua orang tua. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a] mengasuh,memelihara, mendidik dan melindungi anak.
b]. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
c] mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. UU No.21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tidak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
2. Dampak fisik atau biologis Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
3. Dampak psikologis Secara psikis, anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak sosial
11 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang Adanya perilaku seksual yang menyimpang yaitu perilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal.Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.
6. Rentan KDRT, Menurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.
7. Risiko terkena penyakit dan meninggal, Menurut medis, pada perempuan di bawah usia 18 tahun, sangat rentan terkena kanker serviks. Pada anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sedangkan, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.
8. Terputusnya akses pendidikan Walau berdasarkan data empiris ada pasangan yang menikah dini tetapi berhasil melanjutkan pendidikkannya dengan sukses, namun mayoritas pasangan yang menikah dini tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi terutama di daerah-daerah. Hanya 5,6 persen yang masih melanjutkan.
12 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
D. Merefleksikan Kembali Hakikat Pernikahan Terlepas dari apa yang melatarbelakanginya, pernikahan tentu mengandung konsekuensi bagi pelakunya dan membawa dampak baik yang positif maupun negatif. Hal ini menjadi berkah atau konsekwensi dari keputusan yang diambil. Ditinjau dari sisi agama, setidaknya ada 7 (tujuh) arti penting pernikahan yang perlu dipahami. Oleh karenanya daripada melakukan pernikahan dini, jauh lebih baik untuk terlebih dahulu mempersiapkan diri agar nantinya ketika memutuskan untuk menikah dapat menjalani kehidupan perkawinan secara sehat dan penuh rasa tanggung jawab.
1. Pernikahan memiliki arti perubahan atau komitmen untuk berubah. Perubahan apa? Perubahan kedewasaan. Jika masa anak-anak lebih mengedepankan dalam menuntut hak, maka semakin tambah usia dominan kewajiban yang harus dilakukan. Melalui pernikahan diharapkan tercipta komitmen untuk lebih dewasa dimana kewajiban lebih menonjol dibanding tuntutan hak.
2. Sebagai penyempurnaan agama. Dalam Islam, menikah adalah bagian dari agama. Islam sangat memperhatikan arti penting pernikahan, dalam Alquran banyak dibahas aturan-aturan dalam pernikahan. Pasangan yang akan menikah sebaiknya memiliki pengetahuan agama yang memadai untuk direalisasikan dalam menjalankan pernikahannya.
3. Mencari ridha Allah. Dalam pernikahan, selain mendapat kebahagian, banyak pula ujian dan godaannya. Pernikahan menjadi salah satu jalan mencapai ridha Allah menuju surga jika suami istri mampu menghadapi semuanya dengan berjalan secara sinergis sebagai satu kesatuan. Pernikahan yang kandas sering terjadi karena masing-masing mempertahankan ego dalam menghadapi masalah.
4. Mencapai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Pernikahan yang ideal akan terwujud jika berupaya keras untuk saling memahami dan menyesuaikan diri disertai mendekatkan diri kepada Allah.
5. Menjauhkan diri dari zina. Bagi mereka yang sudah “mampu”, dalam arti dewasa secara fisik,mental, ekonomi, dan sosial, hendaklah dapat memutuskan untuk segera menikah sebagai sarana untuk menyalurkan hasrat dan kebutuhan seksualnya secara sehat dan bertanggung jawab. Seks tidak hanya dipikirkan tapi sudah halal dilakukan. Dan mengambil keputusan untuk
13 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
menikah berarti seseorang dapat melakukan aktivitas seksual secara sehat, baik dalam makna prokreasi maupun rekreasi.
6. Mencegah timbulnya penyakit kelamin atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Penyakit ini merupakan penyakit tertua di dunia dan tetap bertahan karena kelemahan dasar manusia pada kesetiaan. Dengan dilandasi kejujuran dalam sebuah pernikahan, serta pengetahuan yang baik dan cukup mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, maka penyakit tersebut akan terhindarkan.
7. Fungsi reproduksi, dengan pernikahan, kelangsungan hidup manusia akan tetap terjaga sebagai khalifah di muka bumi . Setiap pernikahan baik yang dilakukan dalam usia matang atau pada pernikahan dini memiliki makna yang sama, yaitu prokreasi dan rekreasi. Pada pernikahan dini, kebanyakan pasangan belum siap untuk menghadapi tanggung jawab dan maupun untuk hidup secara mandiri, padahal pernikahan bukan sekedar untuk kebutuhan biologis bersama pasangan semata-mata.
Pada pernikahan yang dilakukan ketika pasangan telah dewasa, tidak saja secara fisik, namun juga secara mental, ekonomi, dan sosial, mereka telah siap menerima konsekuensi dari hubungan seksual secara sehat dan bertanggung jawab. Pasangan suami istri dapat saling menyayangi dan mendukung untuk membesarkan dan merawat anak-anak mereka serta menjalankan peran sebagai orang tua yang mempersiapkan lahirnya generasi mendatang.
Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah swt : Artinya : “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An Nisa : 1)
14 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
E. Penutup Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan serta tidak menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak; di samping juga harus memahami peraturan perundangundangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihat adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Pernikahan bukan akhir sebuah problem, namun merupakan awal dari sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan godaan dan ujian. Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seseorang sebelum melangkah ke jenjang tersebut. Mental yang kuat,keilmuan tentang agama maupun tentang kesehatan reproduksi harus dimiliki baik oleh pasangan maupun orang tuanya, sebagai bekal keterampilan dalam mengurus rumah tangga juga harus diperhatikan.
Meskipun sebagian ulama masih berpendapat bahwa pernikahan pada usia dini diperbolehkan (mubah) dalam agama, namun yang harus dipertimbangkan apakah kedua pasangan telah benar-benar siap secara fisik maupun psikis untuk menjalankannya? Hal ini penting agar nantinya tidak terjadi pernikahan yang kandas di tengah jalan atau membahayakan bagi pasangan terutama perempuan.
Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kaidah ushul fiqh : “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbi almashaalih”
Artinya : “Mencegah kemudharatan harus lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”
Oleh karenanya, mengingat madharat pernikahan dini jauh lebih besar dibandingkan manfaat
15 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
yang didapat, maka praktik pernikahan dini harus dihindari , ditentang, dan dihapuskan. Hal ini agar pada akhirnya nanti tercipta pernikahan ideal yang mampu mewujudkan keluarga yang sak inah, mawaddah, wa rahmah. Amin . {}
________________________ DA F T A R PU S T A K A Abdullah Gymnasiar. 2005. Sakinah Manajemen Qolbu untuk Keluarga. Bandung. MQ Khas Ahnan, Maftuh Asy 1997.
Rahasia Saling Membahagiakan Suami Istri. Surabaya. Terbit Terang Hurlock, B. Elizabeth. 1978. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta. Erlangga Nasihin, Abdullah Ulwan. 1990. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Bandung. As-Syifa Ronosulistyo, Hanny dan Amiruddin, Aam.2007.
Seks Tak Sekedar Birahi. Bandung. Khazanah Intelektual. Seri Perundangan. 2004. Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta, Pustaka Widyatama Swara Rahima. Edisi No. 38 Th XII Mei 2012. Pernikahan Usia Dini Tak dapat Dipungkiri namun Tak layak Diamini. Jakarta Yusuf Syamsu. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung. Remaja Rosdakarya http://famale.kompas.com/read/2011/10/06/15331434/3.dampak.buruk.pernikahan.dini
_______________________
TE N T A N G PE N U L I S Ibu guru ini bernama Pupah Masaroh, SAg., yang terlahir di Garut, 2 September 1977. Menamatkan pendidikan terakhirnya di Fakultas Tarbiyah, Sekolah Tinggi (STAI) Al Musaddadiyah, Garut ; di samping ia mondok di PP. Al Musaddaiyah Putri (1996-2000). Sebelumnya, Pupah melalui jenjang pendidikannya mulai dari SDN Taraju dan MTs. Al Hidayah di Garut. Pendidikan menengah atasnya dia lalui di Perguruan Muallimat dimana ia juga mondok di Pondok Pesantren Muallimat, Cukir, Jombang tahun 1993-1996).
16 / 17
Pernikahan Dini Antara Cerita dan Realita : Suplemen Edisi 40 Ditulis oleh Pupah Masaroh, S. Ag Jumat, 04 Januari 2013 08:29 - Terakhir Diperbaharui Senin, 14 Januari 2013 07:39
Ketika mahasiswa, Pupah aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan menjadi Ketua Korp PMII Putri (KOPRI) cabang Garut (1997-1999). Namun, kiprahnya sehari-hari memang tidak bisa jauh dari dunia pendidikan. Ia pernah menjadi guru Taman Kanak-kanak pada Raudlatul Athfal (RA) Al Musaddadiyah, Garut (2002-2007), menjadi Dosen di PGTK STAI Al Musaddadiyah, Garut (2002-2007), bahkan aktivitas berorganisasinya pun dia salurkan pada Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA), Kabupaten Garut (2000-2006).
Menikah dengan Urwah, SHi, Msi, (2006) pasangan ini kemudian dikaruniai 2 orang putra bernama Muhammad Dihya dan Muhammad Nadzif.
Pupah yang pernah mengikuti kegiatan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Angkatan I hingga tahun 2005 ini, sehari-harinya menjadi guru/staf pengajar pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Atikah Musaddad, Garut.
17 / 17